Anda di halaman 1dari 6

mitos

RATU PANTAI SELATAN

Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama


Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari
daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh
yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang
yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan
para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai
rajanya.

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji


melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin (beringin) putih
tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon tersebut Raja lelembut yang
bertempat tinggal disana yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat
menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah/mukswa ke alam
sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung
masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya
bertambah sakti.

Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu


Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang
selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari
Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya
putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus.
Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong
dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah
dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna
dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada
suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon
kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan
kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang
cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat
dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang
sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri
Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh
wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau
Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi
ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat)
yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang
mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.

Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat


Wedatama yang berbunyi:

Wikan wengkoning samodra,

Kederan wus den ideri,

Kinemat kamot hing driya,

Rinegan segegem dadi,

Dumadya angratoni,

Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,

Ndedel nggayuh nggegana,

Umara marak maripih,

Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.

terjemahan bebas :

Tahu akan batas samudra

Semua telah dijelajahi


Dipesona nya masuk hati

Digenggam satu menjadi

Jadilah ia merajai

Syahdan Sang Ratu Kidul

Terbang tinggi mengangkasa

Lalu datang bersembah

Kalah perbawa terhadap

Junjungan Mataram

Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra,


seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari,
ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah
Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat,
kalah wibawa dengan raja Mataram.

Seorang putri cantik bernama Kadita. Dewi Kadita adalah anak dari Raja
Munding Wangi, Raja Kerajaan Pajajaran. Meskipun sang raja mempunyai
seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya berharap
mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara,
dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang Raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja tanpa ada
penantang atas takhtanya, dan ia pun berusaha untuk menyingkirkan Dewi
Kadita. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap Raja, dan meminta agar
sang Raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu Raja menolak. Raja
berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar
pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara hanya tersenyum dan
berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya. Tetapi walaupun
demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus
pembantunya untuk memanggil seorang dukun tukang tenung. Dia ingin sang
dukun meneluh atau mengutuk Kadita, anak tirinya. Sang dukun menuruti
perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan
kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau
busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak
tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan
mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau
sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk
atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu
Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya karena dianggap akan
mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan
puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa
menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi berkelana sendirian, tanpa tahu kemana
harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dewi Kadita yang berhati
yang mulia, tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu
meminta agar Sang Hyang Kersa mendampinginya dalam menanggung
penderitaan.

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di
Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih,
tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Tiba-tiba ia
mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Dia
melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan
itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-
tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih
cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa dalam
Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Rara Kidul yang
hidup selamanya. Kawasan Pantai Palabuhanratu secara khusus dikaitkan
dengan legenda ini.
Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau
melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau
selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan
mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.

Waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli (bertapa dengan


hanyut di atas air), sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai
Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan
Parang Kusumo, kemudian tiba-tiba di Laut Selatan terjadilah badai laut yang
dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-
ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah
mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang
kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana
alam tersebut.

Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria


sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak
lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul
melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng
Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati
sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana
alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya.

Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan


dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul
menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang
diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan
Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu
Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul
namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan
keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka
alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu konon mengandung makna simbolis bersatunya
air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air
sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya
adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi
kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.

Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng


Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja
Mataram ,termasuk Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-
raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi
suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana
III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga
Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta
sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja
Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul
sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua
menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset
dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu
Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku
ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng
Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati.

“Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah


lagi sebagai suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula
terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya.”

Anda mungkin juga menyukai