Anda di halaman 1dari 5

Pada zaman dahulu kala di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ada sebuah kerjaan yang

dipimpin oleh seorang datu atau raja. Raja tersebut diberi gelar Datu Samawa. Sang raja
memiliki seorang anak perempuan yang sangat cantik. Kecantikannya itu tersohor hingga ke
negeri tetangga. Namanya adalah Putri Lala Intan Bulaeng. Putri raja itu tak hanya memiliki
paras yang cantik, tetapi juga kepribadian yang baik. Maka dari itu, ia begitu dicintai oleh
rakyatnya.
Hingga pada suatu hari, Putri Lala tiba-tiba terjangkit sebuah penyakit yang aneh. Sang raja
tentu saja berusaha untuk menyelamatkan putrinya. Namun, semua usaha yang telah dilakukan
nampaknya belum membuahkan hasil. Datu Samawa bahkan meminta bantuan pemimpin
kerajaan lain, yaitu Datu Dompu dan Datu Bima untuk mencari tabib sakti guna menyembuhkan
putrinya. Sayangnya, lagi-lagi usaha mereka menemui jalan buntu.
Bertahun-tahun sudah Putri Lala Intan Bulaeng mengidap penyakit aneh. Namun selama itu
pula, masih belum ada yang mampu menyembuhkannya. Raja kemudian merasa sangat putus
asa. Terlebih lagi, ia juga tidak tega melihat istrinya yang setiap hari menangis meratapi kondisi
anak perempuannya. Sang raja kemudian memanggil para penasihatnya. Ia ingin meminta
pendapat dari mereka mengenai tindakan yang harus dilakukan selanjutnya.
Dari pertemuan tersebut kemudian diputuskan supaya raja mengadakan sayembara. Kemudian
katanya, “Barang siapa dapat menyembuhkan putriku yang sedang sakit parah nanti akan
kuberi hadiah.”
“Jika perempuan akan kuangkat sebagai anak. Namun jika laki-laki, nanti akan kujadikan
menantu, ” lanjutnya.
Para utusan raja kemudian menyebar untuk membagikan perihal sayembara itu. Ada yang
menuju ke arah barat, timur, selatan, dan utara. Dengan begitu, semakin banyak orang yang
mendengar dan mengikuti sayembara, semakin cepat pula putri disembuhkan.
Berita tentang sayembara itu terdengar hingga seantero negeri. Semua orang yang merasa
mampu menyembuhkan sang putri boleh mengikutinya. Kabar sayembara tersebut sampai juga
ke Pulau Sulawesi. Banyak tabib dari daerah tersebut kemudian menjajal peruntungannya
untuk menyembuhkan sang putri. Para tabib sakti yang datang memang kebanyakan berasal
dari tempat yang jauh-jauh. Mereka mengerahkan semua kemampuan untuk mengobati sang
putri. Sayangnya, tak ada satu pun yang berhasil. Raja tentu saja merasa
begitu sedih mengetahui fakta tersebut. Akan tetapi, ia masih berharap ada keajaiban yang
akan menyelamatkan putrinya.

Hari berganti hari, keadaan sang putri tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hingga pada
suatu hari, ada seorang kakek tua yang sudah renta bernama Daeng Paringgi datang ke istana.
Ia datang jauh-jauh dari Ujung Pandang untuk mengikuti sayembara meski jalannya sudah
susah dan menggunakan tongkat.  Setelah diizinkan masuk dan menghadap raja, kakek itu
memohon izin untuk mengikuti sayembara menyembuhkan Putri Lala Intan Bulaeng.
Katanya, “Ampun beribu ampun, Baginda. Hamba ke mari memberanikan diri untuk mengikuti
sayembara yang diadakan oleh Baginda. Apakah Baginda memperkenankan hamba untuk
mengikutinya?”

“Tentu saja, semua orang berhak mengikuti sayembara yang kuadakan,” jawab sang raja. Kakek
tersebut kemudian diantar oleh beberapa pengawal untuk bertemu menemui Putri Lala Intan
Bulaeng.
Mereka kemudian berjalan menuju sebuah bukit  yang terletak di sebelah timur istana. Di sana,
sang putri telah tidur di atas bale-bale yang sekelilingnya ditutup oleh kain putih. Setelah itu,
pengawal yang mengantar menjaga di luar bale. Kemudian, Daeng Paringgi masuk ke dalam
balai tersebut. Laki-laki tua kemudian berdoa sebelum mencoba untuk menyembuhkan sang
putri. Atas kuasa Tuhan, perempuan itu pun akhirnya sembuh. Putri Lala Bulaeng yang sudah
sembuh kemudian bersama-sama dengan Daeng Paringgi dan beberapa pengawalnya
menghadap raja. Ketika melihat sang putri di hadapannya sudah sembuh, tentu saja
membuatnya merasa sangat bahagia. Sesuai dengan perjanjian, seharusnya Datu Samawa
menjadikan Daeng Paringgi sebagai menantunya. Namun, melihat fisik sang tabib yang sudah
begitu tua, sang raja tentu saja tidak tega jika putri cantiknya menikah dengan lelaki itu.
Ia lalu berubah pikiran. Katanya,
“Daeng, rasa terima kasihku tak terhingga terhadap Daeng karena telah menyembuhkan
putriku. Maka sekarang, aku akan memberimu hadiah yang sangat banyak.”
“Jika Daeng menginginkan uang, maka aku akan memberikannya. Jangankan uang, emas
permata, atau harta apa pun itu akan aku berikan,” lanjutnya.
Mendengar hal tersebut, tentu saja Daeng Paringgi merasa kecewa. Ia sedih karena tiba-tiba
sang raja mengingkari janjinya. Dengan sopan, laki-laki tua itu menolak hadiah yang diberikan
oleh sang raja. Ia lalu berjalan keluar meninggalkan istana. Di lain sisi, Putri Lala Bulaeng merasa
iba setelah melihat wajah sedih Daeng Paringgi saat keluar istana. Ia kemudian berlari mengejar
pria itu menuju ke ujung tanjung. Dari jarak yang tidak begitu jauh, sang putri melihat Daeng
Paringgi menaiki sampannya. Saat itu juga, keajaiban pun terjadi. Kakek tua yang renta tersebut
berubah menjadi seorang pemuda yang begitu tampan dan gagah. Seketika itu, Putri Lala
Bulaeng merasa jatuh cinta.
Wanita muda itu lalu menghampiri sang pemuda. Katanya, “Apakah benar Tuan adalah kakek
tua yang mengobatiku tadi?”
“Iya benar, Putri. Kakek tua tadi adalah perwujudan hamba. Nama hamba yang sebenarnya
adalah Zainal Abidin. Hamba berasal dari Kerajaan Gowa.”
Sang putri kemudian mengangguk dan berkata, “Tuan, mari menghadap Ayahanda bersama-
sama. Tuanlah yang seharusnya menjadi suamiku sesuai dengan sayembara yang telah
diucapkan ayahandaku.”
Akan tetapi, usulan Putri Lala Bulaeng itu tidak disetujui oleh sang pemuda. “Maafkan hamba,
Putri. Namun, hamba tidak bisa kembali ke istana lagi.”
“Hamba tidak memiliki keberanian untuk menghadap sang raja. Karena siapalah hamba ini yang
hanya datang dari pulau seberang,” katanya sambil tersenyum.
Putri Intan Lala Bulaeng kemudian terdiam sejenak. Ia memikirkan cara untuk meyakinkan
Zainal Abidin supaya mau kembali ke istana. Lalu katanya, “Siapa pun Tuan dan dari mana
datangnya, apabila pandai membawa diri dan elok menempatkan sikap, maka akan jadi
saudaran sejiwa.”

“Jika Tuan tetap tidak bersedia, maka saya akan tetap berada di sini,” sumpahnya. Perkataan
tersebut membuat sang pemuda terhenyak. Namun, ia memang sudah berbulat hati untuk
pergi dan mengikhlaskan sang putri.
“Maafkan hamba, Putri. Tapi, hamba tetap tidak bisa. Semoga suatu hari nanti, kita
dipertemukan lagi jika Tuhan mengizinkan,” putusnya. Ia kemudian mengayuh sampannya dan
pergi menjauh dari sang putri.
Putri Lala Intang Bulaeng merasa sangat sedih karena ditinggal oleh cinta pertamanya. Ia pun
menangis  sejadi-jadinya.
Tanpa sadar, sang putri berlari mengejar pujaan hatinya hingga sampai ke tengah laut.
Akhirnya, wanita yang malang tersebut meninggal karena tenggelam. Sejak saat itu, tempat itu
kemudian diberi nama Tanjung Menangis untuk mengenang kisah sedih kedua sejoli ini.

Anda mungkin juga menyukai