Anda di halaman 1dari 13

Asal Usul Panumbangan

(Cerita Rakyat Panumbangan)

Alkisah, Putri Kencana Larang salah seorang putri kerajaan Pajajaran dipersunting raja
Majapahit yakni Prabu Brawijaya atau yang dikenal juga dengan julukan Gajah Wulung. Putri
Kencana Larang (ada yang menyebut juga Suci Larang) waktu itu sedang hamil tua. Tapi ia
memiliki satu keinginan, yakni ingin melahirkan di Pajajaran. Ia lalu meminta ijin pada
suaminya.

"Kakanda, ijinkan adinda untuk melahirkan putra kita di tanah kelahiran adinda di
Pajajaran," pinta Sang Permaisuri sambil menyembah.

Tapi ternyata Sang Prabu sangat khawatir dan tidak memberi ijin pada Sang Permaisuri.

"Maaf adinda sepertinya kanda tidak akan mengijinkan adinda pergi ke Pajajaran
mengingat kandunganmu yang sudah sangat besar dan mendekati waktu persalinan," tutur sang
prabu.

"Tapi kanda ini bukan keinginan adinda melainkan keinginan jabang bayi. Biasanya bila
keinginan yang ngidam tidak dipenuhi akan berdampak buruk pada sang bayi kalau kelak lahir
ke dunia.

"Tidak dinda. kakanda tetap tidak akan mengijinkan adinda untuk pergi ke Pajajaran. Di
sini kan banyak para tabib dan dukun beranak ternama yang dapat membantu persalinan dinda,"
Sang prabu tetap bersikeras tak mau mengijinkan istrinya pulang ke Pajajaran dalam keadaan
hamil besar.

Sang permaisuri tak dapat menolak titah raja. Ia hanya terdiam.

Waktu terus berlalu. Sang prabu akhirnya merasa kasihan dan prihatin melihat sang
permaisuri yang setelah kejadian penolakan itu dari hari ke hari kerjanya hanya bermuram durja.
Tak jarang tak sengaja terlihat oleh sang prabu sedang berlinang airmata seperti yang
memendam lara yang mendalam. Akhirnya melihat keadaan tersebut, dengan berat hati, sang
prabu mengijinkan istrinya pergi ke Pajajaran untuk melaksanakan persalinan di Pajajaran.
"Baiklah adinda. Kanda kabulkan keinginan adinda untuk melahirkan putra kita di Pajajaran
dengan syarat adinda harus dikawal oleh salah seorang menteri dan pasukan yang banyak dan
lengkap. Mendengar itu permaisuri sangat gembira dan bergegas berkemas untuk
pemberangkatan.

"Terima kasih banyak Kakanda! Sekarang juga adinda akan menyiapkan segala keperluan
untuk ke Pajajaran," Sang permaisuri sangat gembira

. Ia menjawab sambil menyembah berkali-kali.

Sang Prabu pun nampak ikut gembira melihat sang istri tampak kembali sinar kegemberian
di wajahnya.

Hari pemberangkatan pun tiba. Dengan penuh kekhawatiran sang prabu akhirnya melepas
kepergian sang istri di bawah kawalan menteri dan pasukan yang tangguh. Rombongan akhirnya
berangkat juga meninggalkan kerajaan Majapahit menuju Pajajaran. Paman Menteri dengan
gagah memimpin paling depan dengan menaiki seekor gajah yang besar.

Rombongan Putri Kencana Larang terus maju. Tak terasa sudah memasuki wilayah Pajajaran.
Ketika memasuki sebuah wilayah hutan lebat, mendadak Putri Kencana Laranga merasa
perutnya sakit. Ia merasa seolah mau melahirkan. Pinggangnya juga terasa sakit dan panas.

"Paman, kita berhenti dulu di sini. Perutku terasa sangat sakit. Mungkin tak lama lagi aku
akan melahirkan," ujar sang permaisuri sambil melenting-lenting kesakitan. Sang permaisuri lalu
berkata pada seorang nenek dukun beranak yang ia bekal dari Majapahit sebagai antisipasi kalau
ada apa-apa terjadi di perjalanan pada sang permaisuri.

"Embok tolong persiapkan segala keperluan untuk aku melahirkan!" Ujar Sang
Permaisuri.

Si nenek dukun beranak pun mengatakan sepertinya Putri Kencana Larang memang
sudah hendak melahirkan. Akhirnya ia bersama beberapa emban pengiring menyiapkan
persiapan untuk persalinan sang putri. Putri Kencana Larang memerintahkan pada Sang menteri
untuk menghentikan pasukannya di sana karena merasa waktu melahirkan sudah dekat dan
memerintahkan membuat pondokan darurat di hutan tersebut untuk mereka bermalam sementara
karena sang permaisuri yakin waktu persalinannya sudah sangat dekat. Paman menteri pun
menurut. Lalu mengatur prajurit untuk membuat pemukiman sementara untuk rombongan di
sana. Beberapa bangunan didirikan. Banyak pohon baik kecil maupun besar bertumbangan untuk
bahan bangunan. Tah akhirnya tempat tersebut suatu saat kelak akan terkenal dengan nama
Panumbangan karena banyaknya pohon yang tumbang dijadikan pemukiman tadi.

Cerita selanjutnya konon berlanjut pada kisah Maung Panjalu yang menyusul orang tua
mereka ke Majapahit dalam versi lain.

(Diceritakan kembali oleh Abah Unang dengan perubahan ilustrasi seperlunya)


Asal-usul Curug Tujuh

(Cerita Rakyat Panjalu)

Jaman dahulu kala di sebuah kerajaan yang termasuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Galuh,
sedang dilanda kemarau panjang. Sumur, kolam, sawah semua kekeringan. Akibatnya
masyarakat tidak dapat bercocok tanam. Mau bercocok tanam bagaimana, sungai dan rawa
sumber air yang menghidupi masyarakat kering kerontang. Hanya udara panas yang terasa
membakar kulit.

Masyarakat di daerah tersebut hampir semua kelaparan. Tubuh mereka kurus kering. Tinggal
tulang dibalut kulit rasanya tidak berlebihan untuk menggambarkan keadaan tubuh masyarakat di
sana. Yang sakit bukan satu atau dua orang. Bahkan yang meninggal akibat kelaparan pun sudah
banyak.

Ya kemarau panjang datang melanda. Hutan pun daun-daunnya meranggas, makin menambah
hawa panas di negara tersebut. Hewan-hewannya pun pergi entah kemana. Tidak mustahil sama
banyak yang mati seperti manusia. Pokoknya tiada air tersisa kecuali air mata. Banyak yang
hidup segan mati tak mau dihantui kesengsaraan dan kesedihan.

Suatu ketika sang raja menyamar menjadi rakyat jelata ingin tahu keadaan rakyatnya pada
masa kemarau yang sangat panjang ini. Batin sang raja merasa pedih. Airmatanya pun tak dapat
dibendung menyaksikan kesengsaraan rakyatnya akibat kemarau panjang ini.

"Ya Tuhan, apa dan dosa hamba sehingga rakyat hamba harus menderita seperti ini?"
Terdengar suara parau sang raja sambil menyeka air matanya yang jatuh.

Di suatu tempat raja mendekati sebuah rumah. Alangkah pedih hatinya ketika ia mendengar
dialog ibu dan anak yang diselingi tangisan karena sang anak minta makan kelaparan tapi ibunya
tak memiliki bahan makanan sedikit pun. Mereka hanya berharap pada suatu saat ayahnya yang
sedang mencoba mencari daun-daunnan dan buah-buahan ke hutan dapat kembali sambil
membawa hasil, walau mereka sebenarnya tak yakin karena tahu hutan pun sudah kering
kerontang.

Sang raja sudah tak tahan berlama-lama di sana. Dengan cucuran airmata ia secepatnya
pulang ke istana. Sesampai di istana ia bertanya pada patih mengenai persediaan pangan
kerajaan.

"Segera bagikan bahan makanan yang ada di gudang istana!" Perintah raja.

"Beribu ampun paduka! Tapi persedian bahan pangan kerajaan sudah sangat menipis," jawab
patih.

"Kita sebagai pengayom rakyat sudah seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat. Bagikan
semua bahan pangan yang tersedia di gudang kerajaan!" Sekali lagi raja memerintah. Lalu raja
menyarankan para petinggi kerajaan untuk belajar berpuasa dan segera membagikan bahan
makanan pada rakyat yang kelaparan. Sang patih pun segera membagikan beras dari gudang
kerajaan kepada rakyat.

"Paman patih, aku serahkan untuk sementara padamu. Aku hendak pergi bertapa minta
petunjuk Yang Kuasa untuk mengatasi musibah ini," berkata sang prabu. Sang raja kemudian
menyerahkan tampuk kepemimpinan untuk sementara pada sang patih karena ia bermaksud
untuk pergi bertapa minta petunjuk dan pertolongan Yang Kuasa agar dapat mengatasi bencana
kekeringan dan kelaparan di negara ini. Sang patih pun menyanggupinya.

Setelah berembug seperlunya, sang prabu berangkat untuk bertapa minta pertolongan pada
Yang Kuasa. Sepanjang perjalanan menuju pertapaaan sang raja hatinya merasa sedih melihat
tanah yang dilaluinya begitu kering dan belah-belah. Daun-daunan sudah kering kecoklatan. Dari
jauh terdengar suara gagak seperti memberitahukan berita ancaman kematian.

Setelah mendapatkan tempat yang dirasa tepat untuk bertapa, sang raja segera bermujasmedi
pada Yang Kuasa agar negara sesegera mungkin terlepas dari bencana dan seisi negara kembali
makmur hidupnya.

Tak terasa tiga purnama telah berlalu sang raja bertapa. Tapi hujan tak jua kunjung datang.
Korban semakin banyak berjatuhan.
Sang raja terus berdoa meminta pertolongan pada Yang Kuasa sambil menangis sedih.
Airmatanya mengalir melewati pipinya yang mulai keriput dan kurus akibat penderitaan yang
begitu lama. Makin lama airmatanya makin deras keluar dari kedua matanya.

"Air, air, air!" Terdengar riuh suara rakyat meneriakan kegembiraan.

Sang raja berdiri dengan gembira ketika dari tempat pertapaannya ia mendengar teriakan
gembira dari rakyatnya yang menyerukan air datang. Sang raja berdiri tengadah menghadap
langit. Tangannya diangkat ke atas seraya mengucap syukur pada Yang Kuasa atas nikmatnya.

Ya atas kehendak Yang Maha Kuasa air mata sang raja yang jatuh membanjiri tanah berubah
jadi besar lalu mengalir menyusuri bukit menjadi curug atau air terjun. Curug tersebut kemudian
terbelah jadi tujuh. Nah sejak itulah munculah curug tujuh. Curug tujuh yang meliputi Curug
Satu, Curug Dua, Curug Tiga, Curug Cibolang, Curug Cileutik, Curug Simantaja, dan Curug
Cibuluh.

(Diceritakan kembali oleh Abah Unang dengan perubahan ilustrasi seperlunya)


ASAL-USUL KAWALI

( Cerita rakyat Kawali)

Jaman dahulu di Kerajaan Galuh berkuasalah seorang raja bernama Bojong Galuh yang konon
menurut cerita adalah raja palsu karena nama aslinya Ki Bondan. Ki Bondan memiliki seorang
permaisuri yang bernama Nyi Ujung Sekar Jingga. Di negara tersebut juga tinggal seorang resi
yang sakti, disegani, dan dihormati oleh masyarakat seperti halnya pada raja. Ia bernama Ki Ajar
Sukaresi.

Dikisahkan Raja Bojong Galuh ingin mencoba kesaktian sang resi. Ia kemudian mengutus
pengawal untuk menjemput Ki Ajar Sukaresi ke istana.

"Pengawal, jemput Ki Ajar Sukaresi ke sini! Aku ingin mencoba sampai di aman kesaktian
dia," perintah sang raja.

"Daulat Gusti Prabu!" Pengawal menjawab, kemudian pergi menemui Ki Ajar Sukaresi.

"Maaf Ki Ajar, aku diutus raja untk menjemputmu ke istana menghadap beliau," kata
pengawal sesampai di tempat Ki Ajar Sukaresi. Ki Ajar Sukaresi pun manut dan ikut bersama
pengawal ke istana.

Sesampai sang resi di istana ia disuruh menaksir kandungan sang permaisuri apakah
anaknya laki-laki atau perempuan.
"Aku sudah mendengar kesaktianmu wahai Resi. Sekarang tolong buktikan padaku! Bila
kau benar sakti coba tebak bayi yang sedang dikandung istriku ini laki-laki atau perempuan?"
Sang raja bertanya dengan pongah. Sambil menyembah takdzim sang resi menjawab.

"Ampun beribu ampun baginda! Hamba bukanlah manusia sakti. Hamba tidak memiliki
kesaktian apapun. Tapi walau demikian seperti permintaan yang mulia tadi hamba akan menebak
anak yang dikandung permaisuri. Anak yang dikandung permmaisuri adalah laki-laki," demikian
jawaban Ki Ajar Sukaresi. Sebetulnya ia sudah waspada karena sudah mengetahui raja sedang
menipunya. Memang, raja ketika itu sengaja menipu Ki Ajar Sukaresi dengan tujuan untuk
menghancurkan pamor atau wibawanya. Raja memerintahkan pada Istrinya, Nyi Sekar Jingga,
menyimpan kuali di perutnya dan terus ditutupi dengan kain. Tentu saja perut Nyi Ujung
Sekarjingga jadi terlihat buncit seperti orang yang sedang hamil.

Mendengar jawaban Ki Ajar Sukaresi, Ki Bondan tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha. Kamu salah resi. Istriku sedang tidak mengandung. Itu hanya kuali yang ditaruh di
bagian perutnya. Karena engkau menjawab salah maka kamu harus dihukum pancung," ujar raja
sambil terus tertawa terbahak-bahak

Untuk membuktikan ucapannya raja menyuruh permaisuri menyibak kain yang menutup
kuali tersebut. Tapi begitu permaisuri menyibak sedikit kain penutup tersebut, wajah raja
mendadak pucat pasi. Kaget, malu, marah, bercampur jadi satu. Mau tidak begitu bagaimana?
Ternyata di perut sang permaisuri tidak ada kuali. Kuali itu telah hilang. Sebagai gantinya perut
permaisuri benar-benar besar dan benar-benar hamil. Raja mengakui kekalahannya. Dengan
malu raja menyuruh sang resi pulang. Ki Ajar Sukaresi lantas kembali ke pertapaannya di
Gunung Padang.

"Baiklah resi, aku mengakui kehebatanmu. Terimakasih telah memberiku pelajaran! Silahkan
sekarang aku persilahkan engkau kembali ke Gunung Padang," bertutur sang raja.

Ki Ajar Sukaresi kembali ke pertapaannya di Gunung Padang. Namun diam-diam ternyata raja
menyuruh prajuritnya untuk membuntuti Ki Ajar Sukaresi dan membunuhnya. Dasar Ki Ajar
Sukaresi sakti, semua prajurit yang mengeroyoknya kalah dengan mudah. Tapi walau demikian,
akhirnya Ki Ajar Sukaresi mengalah. Ia pun tak melawan. Dengan tubuh yang penuh luka ia
melanjutkan perjalanan menuju pertapaannya di Gunung Padang.

Kembali ke masalah kuali. Ternyata kuali tersebut secara gaib telah ditendang oleh Ki Ajar
Sukaresi dari perut Nyi Ujung Sekar Jingga. Ki Ajar Sukaresi memohon pada Yang Kuasa agar
Nyi Ujung Sekar Jingga benar-benar hamil, dan ternyata dikabulkan. Kuali tersebut hilang dan
digantikan oleh janin dalam kandungan Nyi Ujung Sekar Jingga. Ketika lahir ternyata memang
anaknya benar laki-laki. Dalam satu versi cerita anak tersebut diberi nama Ciung Wanara.
Tempat jatuhnya kuali yang ditendang secara gaib tersebut jatuh di daerah yang bernama
Selapanjang. Tempat tersebut selanjutnya berubah nama jadi Kawali. Nah di tempat jatuhnya
kuali tersebut juga munculah mata air yang kian hari kian luas dan menjadi sumber air yang
sekarang diberi nama Cikawali. Tempat tersebut kini ada di dalam situs Astana Gede Kawali.

Selama dalam perjalanan menuju Gunung Padang, Ki Ajar Sukaresi berjalan dalam keadaan
penuh luka. Darah mengucur dari luka-lukanya. Malah sempat jatuh dan telentang seperti
layaknya posisi orang tidur. Tempat tersebut dinamakan Cikedengan. Berasal dari ngedeng atau
kalau dalam bahasa Indonesia posisi tidur.

Di suatu tempat luka Ki Ajar Sukaresi mengeluarkan darah berwarna kuning. Tempat tersebut
kemudian diberi nama Cikonéng yang berasal dari warna darah berwarna kuning atau koneng
dalam bahasa Sunda. Ketika hampir sampai ke Gunung Padang, Ki Ajar Sukaresi mengeluarkan
darah berwarna bening dan di daerah tersebut diberi nama Ciherang. Ciherang dalam bahasa
Indonesia bermakna air bening.

(Diceritakan kembali oleh Abah Unang dengan perubahan ilustrasi seperlunya)


ASAL-USUL SITU LENGKONG

(Cerita Rakyat Panjalu)

Dikisahkan Prabu Cakradewa memiliki putera bernama Boros Ngora. Boros Ngora yang
sejatinya akan dijadikan pewaris takhta kerajaan diperintahkan untuk mencari ilmu kesejatian
sebelum ia naik tahta.

"Wahai ananda, sebelum engkau naik tahta, ayahanda berharap engkau mampu menguasai
ilmu kesejatian diri. Sekarang pergilah! Cari ilmu tersebut dan jangan pulang sebelum kau
menguasainya!" Sabda Sang Prabu.

"Baiklah ayahanda. Ananda akan ikuti perintah ayahanda. Sekarang ananda mohon ijin dan
restu dari ayahanda," Boros Ngora menjawab sambil menyembah.

Singkat cerita Boros Ngora pergi berkelana mencari ilmu kesejatian. Selang beberapa tahun
berkelana ia kembali ke kerajaan karena ia merasa ilmu yang digalinya telah cukup. Prabu
Cakradewa begitu kaget dan murka begitu melihat di tubuh Boros Ngora terlihat tato semacam
jampi kesaktian dari Ujung Kulon yang dianggap bertentangan dengan ilmu kesejatian karena
mengandung ilmu sihir atau ilmu hitam.
"Boros ngora, aku tak terima karena ilmu kesaktian yang kau miliki tak sesuai dengan
falsafah atau anggon-anggon kapanjaluan yakni makan yang halal, berpakaian yang suci, tekat,
ucapan, dan tingkah laku yang benar. Sekarang pergilah dari istana ini! Cari ilmu kesejatian yang
benar-benar sejati!" Titah Sang Prabu.

Akhirnya sang prabu memerintahkan Boros Ngora kembali berkelana untuk mencari ilmu
kesejatian. Sebelum berangkat Boros Ngora diberi bekal tempurung kelapa yang bagian
bawahnya sudah dilubangi oleh Sang Prabu. Boros Ngora tidak boleh pulang sebelum mampu
membawa air di tempurung kelapa yang sudah dilubangi bagian bawahnya tanpa menetes
apalagi tumpah. Tempurung kelapa tersebut diberi nama Gayung Bungbas.

Sanghyang Boros Ngora berkelana ke sana ke mari. Menyusuri lembah, menaiki bukit.
Memasuki hutan, mendaki gunung. Tapi tetap saja ia tak menemukan jawaban untuk masalah
hidupnya. Akhirnya ia merasa lelah. Dalam kelelahannya ia memilih bertapa. Dalam tapanya ia
memperoleh wangsit bahwa jawaban untuk semua persoalan yang dihadapinya itu ia harus
berangkat ke suatu tempat dengan menyeberang lautan yakni sebuah tempat yang bernama
Mekah.

Singkat cerita Sanghyang Boros Ngora sampai juga di tanah Mekah. Ia bertanya pada
penduduk di sana mengenai orang yang akan mampu memberi ilmu kesejatian yang tengah
dicarinya. Tapi tiada seorang pun yang faham apa yang dimaksud oleh Sanghyang Boros Ngora.

Dengan ijin Allah, Sanghyang Boros Ngora mendapat petunjuk dari seseorang tak dikenal
untuk datang ke sebuah tenda. Boros Ngora pun langsung pergi ke sana. Di dalam tenda tampak
seorang lelaki tua tengah menulis menggunakan pena.

"Aku sangat haus dan lelah. Mungkin aku bisa ikut istirahat dan minta seteguk air pelepas
dahagaku kepada orang yang berada di dalam tenda itu," batinnya.

"Sampurasun," ujar Boros Ngora dan saking kelelahannya dia langsung masuk lalu duduk di
dalam tenda tanpa menunggu dipersilahkan dahulu oleh tuan rumah.

Pena yang dipegang oleh orang di dalam tenda itu jatuh dan menancap di tanah karena si
lelaki yang sedang menulis tersebut merasa kaget ada orang asing tiba-tiba masuk ke tendanya
tanpa mengucap salam.
"Maaf kakek! Aku telah mengejutkanmu," Cepat-cepat Sanghyang Boros Ngora minta maaf
dan hendak mengambilkan pena yang jatuh dan menancap di tanah. Orang yang ada di dalam
tenda hanya tersenyum ia mafhum yang datang adalah tamu jauh.

Tapi aneh. Walau Sanghyang Boros Ngora telah mengerahkan seluruh tenaganya malah
kesaktiannya untuk mencabut pena tersebut, pena tersebut malah tidak bergeming sedikit pun.
Dari sana Sanghyang Boros Ngora sadar, yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Ternyata
yang dihadapinya adalah Syaidina Ali sahabat Rasulluloh.

"Kamu dari mana kisanak?" Baginda Ali menjawab. Sanghyang Boros Ngora pun
menceritakan seluruh kisahnya pada Baginda Ali.

"Ijinkan aku berguru padamu wahai kakek!"

"Mungkin ini sudah takdir Allah Subhanawataala untuk mempertemukan kita di sini. Kalau
engkau mau mengucapkan dua kalimat syahadat aku mau menjadi gurumu," kata Baginda Ali.
Sanghyang Boros Ngora setuju. Kemudian ia masuk Islam mengucap dua kalimah syahadat
dibimbing Baginda Ali.

Dari sana Sanghyang Boros Ngora mulai berguru pada Sayidina Ali. Ilmu kesejatian yang
dicarinya ternyata ada pada diri Baginda Ali.

Singkat cerita setelah selesai berguru pada Baginda Ali, Sanghyang Boros Ngora kembali ke
Tanah Sunda. Ia diperintahkan menyebarkan agama Islam di Tanah Sunda. Namanya juga
diganti jadi Syeh Haji Abdul Iman. Waktu itu oleh Sayidina Ali dibekali tongkat atau cis, jubah,
dan pedang yang terkenal dengan nama pedang Zulfikar.

Sebelum pulang ke Tanah Sunda Sanghyang Boros Ngora mengisi tempurung yang bawahnya
sudah dilubangi yang dibekalkan ayahnya tempo hari dengan air Zamzam. Dengan ijin Allah air
tidak mengucur dari tempurung. Sampai di Tanah Sunda air tersebut ditumpahkan di sebuah
wilayah yang bernama Pasir Jambu. Air tersebutlah yang konon berubah menjadi sebuah kolam
besar yang disebut sekarang Situ Lengkong. Tempurung kelapa berlubang bekas membawa air
Zamzam tersebut dilemparkan ke arah Gunung Sawal. Konon tempurung tersebut berubah jadi
tanaman sejenis paku yang daunnya mirip tempurung (Gayung Bungbas).
Prabu Cakradewa sangat gembira mengetahui Sanghyang Boros Ngora telah berhasil
memperoleh ilmu kesejatian. Tapi ia menolak untuk diislamkan dengan alasan sudah tua dan
ingin bertapa. Akhirnya Prabu Cakradewa mengangkat Sanghyang Lembu Sampulur 2,
puteranya yang pertama, jadi raja Panjalu menggantikannya. Sedangkan Sanghyang Boros Ngora
malah terus berdakwah menyebarkan syiar Islam sampai ke Tasikmalaya, Garut, Bandung,
Cianjur, dan Sukabumi.

Selang beberapa tahun dari peristiwa tersebut, Prabu Sampulur 2 hijrah ke Cimalaka Gunung
Tampomas Sumedang. Nah setelah kejadian tersebut, Sanghyang Boros Ngora dinobatkan jadi
raja Panjalu Islam yang pertama. Ia kemudian mengangkat adiknya Raden Panji Barani jadi
patih. Peninggalan Raden Panji Barani disebut Cibarani.

Kembali lagi ke permasalahan Situ Lengkong, ada yang mengartikan sanada artinya semacam
teluk yang meluas di sekitar kelokan sungai.

Di tengah Situ Lengkong terdapat pulau kecil yang disebut Nusa Larang. Artinya hampir
sama dengan Mekah yakni tanah yang disucikan atau tanah pengharaman. Haram dari berbagai
perbuatan maksiat. Banyak pantangan masuk ke Nusa Larang. Tidak sembarangan orang dapat
masuk. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang jiarah ke Nusa Larang karena di
dalamnya terdapat makam-makam keluarga Boros Ngora dan disebut Dien Al Islam. Di Nusa
Larang yang dianggap pusat pemerintahan kerajaan Panjalu waktu Boros Ngora berkuasa
dimakamkan Raden Tumenggung Cakranagara 2, Raden Demang Aldakusumah, Raden
Tumenggung Argakusumah (Cakranegara 4), dan Raden Prajasasana Kiai Sakti. Prabu Boros
Ngora dimakamkan di Geger Omas, Ciomas Panjalu. Di tempat tersebut terdapat makam yang
kini terkenal dengan makam Dalem Penghulu Gusti atau Dalem Mangkubumi.

(Diceritakan kembali oleh Abah Unang dengan perubahan ilustrasi seperlunya)

Anda mungkin juga menyukai