Nana Sastrawan
Tetapi, kehidupan rukun itu terjadi tidak hanya ketaatan para pendudukan akan
ajaran agama, melainkan Negeri tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat
arif, bijaksana serta adil. Raja Prabu Permana Di Kusumah, seorang raja sakti,
memiliki ilmu tata Negara yang luhur, berbudi mulia. Sang raja dikenal oleh
masyarakat selalu mencintai penduduk di Negerinya, terutama kepada orang-
orang miskin, dia lebih mementingkan rakyatnya daripada urusan pribadi. Itulah
mengapa Negeri yang sudah subur, semakin makmur, aman sentosa, gemah ripah
loh jinawi. Negeri yang terletak di bumi Parahyangan, menganut ajaran Sunda.
Prabu Permana Di Kusumah memiliki dua orang istri; Dewi Pangreyep dan Dewi
Naganingrum. Keduanya adalah wanita yang cantik dan cerdas, namun memiliki
perbedaan sifat. Dewi Pangreyep memiliki sifat pemarah dan mudah cemburu,
serta angkuh sedangkan Dewi Naganingrum adalah seorang istri yang penyabar,
rendah hati dan baik. Namun, Raja memerlakukan mereka secara adil, sehingga
tidak pernah terjadi perselisihan di dalam istana.
Suatu hati Raja Prabu Permana Di Kusumah memanggil penasihat kerajaan, Uwa
Batara Lengser. Ia ingin mengutarakan kegelisahan dalam dirinya, suatu hal yang
selalu mengganggu hari-harinya.
“Uwa Batara…, wilujeung tepang, kumaha damang?[1] (https://mbludus.com/ciung-
wanara/#_ftn1)” sapa Prabu Permana Di Kusumah.
“Mulai sekarang panggil aku, Prabu Barma Wijaya!” suara raja berwajah tampan
itu menggelegar di dalam ruangan.
Sangat terlihat perbedaan sikap dan sifat dari Prabu Barma Wijaya, ini yang
membuat Uwa Batara Lengser semakin tidak percaya. Yang dia yakini, sifat dasar
dari manusia tak akan pernah hilang walau berganti wujud sekalipun.
Prabu Barma Wijaya tertawa terbahak-bahak. Dia sangat senang melihat seluruh
pejabat kerajaan tunduk dan patuh kepadanya, kecuali Uwa Batara Lengser, dia
masih diam tak bergeming dari tempat duduknya.
“Uwa Batara Lengser!” Prabu Barma Wijaya berdiri, wajah tampannya memerah,
sementara yang hadir tertunduk cemas.
“Apakah Uwa Batara sangsi kepada kekuasaan Sang Hyang Tunggal? Atau… Uwa
Berniat jahat atas kerajaan ini?” Prabu Barma Wijaya geram.
“Beribu ampun Baginda, hamba tidak bermaksud demikian.”
“Jika begitu, Uwa bukan orang yang bijaksana. Uwa tidak lebih baik dari buah
yang busuk, Uwa hanya monyet yang hidup di tengah ladang petani, berharap
mendapat pisang, namun terperangkap oleh kurungan.”
“Ampun Baginda…,”
“Sudahlah Uwa Batara, sudah kukatakan bahwa Uwa Batara tak lebih dari seekor
monyet, hanya seekor monyet.. hahahahaha.” Prabu Barma Wijaya tertawa
terbahak-bahak, kemudian dia melotot ke arah para menteri, dan para menteri
juga ikut tertawa terbahak-bahak.
Uwa Batara tertunduk, dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian melangkah
meninggalkan Bale Riung, langkahnya melangkah gontai, hatinya terluka atas
sikap seorang raja, dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa Prabu Barma
Wijaya kelak akan terpenjara seperti seekor monyet, tak bisa berbuat apa-apa
hanya berkaok di dalam kurungan.
***
Hari berganti hari, kerajaan semakin tidak terkendali. Para pejabat senang
mabuk-mabukan dan berjudi sabung ayam, ini diakibatkan oleh Prabu Barma
Wijaya yang senang main sabung ayam, rakyat Galuh kehilangan pemimpin yang
dulu bijaksana, mereka namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin ini
sudah kehendak Sang Hyang Tunggal.
Bukan hanya rakyat Galuh yang merasakan. Dewi Pangreyep dan Dewi
Naganingrum juga merasakan hal yang sama, mereka sering dibentak dan
diperlakukan kasar, dan mereka tidak pernah digauli layaknya suami dan isteri.
Ini mengakibatkan mereka kesepian dan hidupnya tertekan di dalam istana.
Namun, mereka hanyalah perempuan, tak bisa berbuat banyak, hanya pasrah.
“Hamba berdua juga gelisah memikirkan itu Raka Prabu,” jawab Dewi Pangreyep,
sedangkan Dewi Naganingrum hanya tertunduk.
“Lalu apa pendapatmu?” tanya Prabu Barma Wijaya.
“Bagaimana jika kita minta pendapat Uwa Batara?” Dewi Naganingrum angkat
bicara.
Prabu Barma Wijaya terlihat enggan, namun mau tidak mau dia harus memanggil
Uwa Batara Lengser, sebab dialah satu-satunya penasihat kerajaan yang dipercaya
oleh kedua ratu ini. Uwa Batara memasuki istana, dia bersimpuh dihadapan Raja
dan mendengarkan seluruh cerita kedua Dewi itu. Kepalanya manggut-manggut,
ilmu batinya sangat tajam sehingga dia mengetahui bahwa sebenarnya ada hal
tersembunyi di kerajaan ini.
“Hamba hanya bisa mengusulkan untuk meminta petunjuk dari pertapa Ajar
Sukaresi, dia pertapa yang sangat sakti.”
“Pertapa Ajar Sukaresi?” Prabu Barma terkejut, dia baru mendengar nama
pertapa itu selama hidup di kerajaan Galuh.
“Dia seorang pertapa yang tengah singgah di tanah Parahyangan Gusti, ilmu
tafsirnya sangat tinggi, dan dia memiliki sifat arif bijaksana.”
“Darimana Uwa Batara mengenalnya?”
“Panjang ceritanya Baginda Raja, tapi… Hamba hanya bertemu ketika hamba
menyepi ke hutan larangan.”
Prabu Barma Wijaya terdiam sejenak—matanya seolah berpikir dan menimbang-
nimbang usulan Uwa Batara. Hanya saja, selama ini dia memang tidak pernah
membutuhkan jasa seorang pertapa untuk urusan kerajaan, baginya semuanya
bisa ditangani dengan caranya sendiri.
“Baiklah, panggil dia!” seru Prabu Barma Wijaya setelah lama berpikir.
Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari keberadaan Ajar Sukaresi, namun
tidak mudah untuk mencari pertapa sakti itu. Raja sendiri sudah berhari-hari
murung, dia memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya dari tafsir mimpi.
Bukankah mimpi itu menandakan bahwa kedua Dewi akan hamil, namun mana
mungkin? Dia tidak pernah tidur bersama dengan kedua Dewi itu.
“Mimpi ini sudah biasa terjadi kepada wanita yang akan mengandung,” ucap Ajar
Sukaresi, dia tersenyum kepada Prabu Barma Wijaya.
“Hamil? Kedua istriku akan hamil? Bagaimana bisa?” Prabu Barma Wijaya bangkit
dari singgasananya.
Semua yang hadir terdiam—memandang aneh kepada raja yang terlihat sangat
gelisah. Tentu saja Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum juga gelisah, mereka
sadar bahwa Prabu Barma Wijaya tidak pernah menyentuhnya. Prabu Barma
Wijaya menyadari ekpresinya mengejutkan para pejabat kerajaan, seharusnya dia
bahagia mendengar kehamilan kedua isterinya.
Mendengar jawaban pertapa Ajar Sukaresi, Prabu Barma Wijaya murka, batinnya
yang tidak ingin ada bayi laki-laki yang memang sudah menjadi pertanda akan
kehancuran dirinya. Dia bangkit lalu mencabut keris saktinya. Lalu ditusukan ke
dada Ajar Sukaresi, namun keris itu bengkok, tidak mempan menghujam dada
Ajar Sukaresi.
Semua yang hadir ternganga—mereka tak percaya akan apa yang dilihatnya, tidak
ada satu pun yang mampu melawan keris sakti sang raja. Uwa Batara manggut-
manggut menyaksikan itu semua, kini dia yakin bahwa Prabu Barma Wijaya
bukankah Prabu Permana Di Kusumah, sebab tidak setiap orang mampu
menggunakan keris sakti kecuali raja itu sendiri. Namun, teka-teki siapa
sebenarnya Prabu Barma Wijaya belum terjawab, masih terlalu jauh untuk
diteropong dengan ilmu kebatinan.
“Apakah Baginda Raja menghendaki aku mati? Bila begitu, maka Hamba akan
mati.” Setelah berkata begitu, Ajar Sukaresi jatuh tak bernyawa.
Ucapan itu membuat Prabu Barma Wijaya marah besar, namun dia tidak bisa
membunuh janin tersebut, jika membunuhnya maka harus membunuh Dewi
Naganingrum. Dia mengatur siasat, menghasut Dewi Pangreyep yang sudah
memiliki dasar sifat angkuh dan cemburu. Dirayunnya Dewi Pangreyep untuk
memusnahkan bayi Dewi Naganingrum ketika lahir, dengan alasan bahwa
Hariang Banga akan menjadi raja pengganti Prabu Barma Wijaya. Dewi Pangreyep
terhasut, ketika Dewi Naganingrum akan melahirkan, dia lalu memerintahkan
Dewi Naganingrum menutup matanya dengan cahaya lilin agar penglihatan Dewi
Naganingrum kabur, untuk memudahkan mengelabui. Dewi Pangreyep berpura-
pura membantu persalinan Dewi Naganingrum, setelah bayi itu lahir, yang
ternyata adalah bayi laki-laki, segera dimasukan ke keranjang dan dihayutkan di
Sungat Citanduy. Sementara, keranjang bayi itu diganti oleh anak anjing.
Setelah menyadari bahwa Dewi Naganingrum melahirkan bayi anjing, dia sangat
bersedih. Prabu Barma Wijaya memerintahkan Uwa Batara untuk membunuh
Dewi Naganingrum di hutan larangan, Prabu Barma Wijaya menyebarkan fitnah
bahwa Dewi Naganingrum dikutuk. Namun Uwa Batara Lengser tidak
membunuhnya. Dia malah membangunkan gubuk di hutan, dan merobek baju
Dewi Naganingrum, lalu melumuri pakaiannya dengan darah bayi anjing.
***
Beberapa tahun kemudian Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy. Hiduplah
sepasang suami isteri yang sudah tua. Hidupnya sehari-hari hanya memasang
keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Di sungai itulah sepasang
suami isteri menemukan bayi putih, mungil dan juga sangat segar terperangkap di
keramba. Mereka menyakini, bahwa bayi itu adalah keturunan raja, sebab sangat
berbeda dengan bayi yang biasa lahir di desanya.
Keyakinannya semakin kuat, semakin lama, bayi itu besar dan tumbuh menjadi
pemuda rupawan, gagah perkasa dan memiliki kecerdasan. Pemuda itu sangat
berbeda dengan pemuda di desanya, itu mengapa dia sangat istimewa berada di
desa itu. Saking merasa suami-isteri itu bukanlah orang yang pantas untuk
merawat bayi itu, hingga sekarang belum diberikan nama. Bahkan pernah ketua
desa juga ingin memberikan nama, hanya tetap saja dia juga merasa tidak ada
yang pantas untuk bayi tersebut. Hingga dia menjadi pemuda tanpa nama.
Suatu hari, Pemuda rupawan mengajak kepada orang tua yang telah
mengasuhnya untuk berburu. Seumur hidup, dia memang tidak pernah berburu,
semasa hidupnya orang tua itu hanya menangkap ikan di sungai. Pemuda
rupawan itu sangat takjub ketika memasuki hutan, termasuk orang tua yang telah
merawatnya. Banyak sekali hewan-hewan yang dijumpainya, dan hewan-hewan
itu sangat indah, lincah.
“Aki, lihatlah! Ada seekor burung yang indah di atas pohon itu!” seru Pemuda
rupawan ketika melihat burung berbulu warna-warni.
Tiba-tiba ada seekor monyet loncat dari pohon besar ke pohon besar lainnya,
membuat burung itu terbang tinggi. Monyet itu bertengger di atas pohon yang
paling tinggi, seolah tak terganggu akan kedatangan mereka.
“Pergilah! Temukan asal-usulmu, dan jangan lupakan di sini, jadilah seorang yang
berbudi luhur.”
Ciung Wanara berpamitan untuk pergi ke Galuh, namun sebelum pergi dia
dibekali sebutir telur ayam. Dan janganlah dimakan telur itu, tapi carilah seekor
unggas untuk mengeraminya, sebab kehidupan lebih berharga dari kematian. Jika
telur menetas dan menghasilkan ayam, maka ayam itu akan menolong dalam
kehidupan, sebaliknya jika telur itu dimakan, maka akan merasa kelaparan
sepanjang hidup, sebab makan adalah simbol kerakusan.
Namun dalam perjalanan menuju Galuh, Ciung Wanara tersesat di tengah hutan
larangan. Semakin dia berjalan, semakin dia masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon
tinggi menjulang, Batu-batu curam, dan ilalang-ilalang terhampar. Ciung Wanara
terus berjalan, sebelum matahari terbenam, ia tidak ingin bermalam di hutan.
Namun, takdir berkata lain, malam telah tiba, dan dia memutuskan untuk
mencari goa.
Di dalam goa, terdapatlah seekor naga jelmaan pertapa Ajar Sukaresi, awalnya dia
sangat takut melihat naga melingkar di batu besar di tengah goa.
“Aku adalah Nagawiru, untuk apa kau masuk ke dalam pertapaanku?” tanyanya
dengan suara menggelegar.
“Aku tidak bermaksud mengganggu pertapaanmu, aku hanya ingin beristirahat.”
“HHHrrrr!!! Hendak kemana kamu pergi?”
“Ke tanah Galuh, mencari orang tuaku,” jawab Ciung Wanara tegas.
Nagawiru tertarik dengan Ciung Wanara, lalu dia meminta menceritakan kisah
hidup Ciung Wanara. Diceritakanlah seluruh kejadian yang menimpa dirinya,
hingga dia diberikan sebutir telur ayam untuk dierami. Namun, hingga kini, dia
belum menemukan unggas untuk mengerami telur itu. Anehnya, Nagawiru yang
sangat menyeramkan itu menjadi baik setelah mendengar perkataan Ciung
Wanara, lalu dia juga bersedia mengerami telur ayam tersebut, hingga menetas
menjadi anak ayam jantan.
***
Perjalanan ke kerajaan Galuh bukanlah hal yang mudah, Ciung Wanara harus
naik gunung turun gunung, masuk hutan keluar hutan. Untung saja, dia dibekali
ilmu oleh Nagawiru hingga tak pernah mundur jika ada bahaya mengancam.
Anak ayam jantan yang dibawa juga telah besar, gagah dan kuat, suara kokoknya
nyaring menembus cakrawala.
Tibalah dia puser dayeuh[5] (https://mbludus.com/ciung-wanara/#_ftn5) Galuh,
dimana sedang diadakannya sabung ayam, sebuah pesta besar dalam adu ayam
jago. Raja dan rakyatnya menyukai acara seperti ini, sehingga terkadang para
petinggi kerajaan bergabung di sini. Ciung Wanara juga bergabung, melihat apa
yang terjadi, ternyata ayam jago Prabu Barma Wijaya yang ikut sabung ayam
selalu menang, tak ada yang mengalahkan sehingga tampaklah kesombongan raja
itu semakin tinggi.
“Aku akan memberikan apa saja bagi ayam siapa saja yang dapat mengalahkan
ayamku!” Raja Prabu Barma Wijaya susumbar.
Tidak ada yang berani melawan ayam jago milik Prabu Barma Wijaya. Ayam yang
gagah, memiliki taji yang kuat, sekuat baja, mampu merobek wajah ayam jago
lainnya dengan sekali hentak.
Semua orang memandang ke arah Ciung Wanara. Uwa Batara Lengser yang
tengah berada di situ memerhatikan Ciung Wanara, kemudian dia mendekat, lalu
berbisik.
“Siapa kisanak? Sepertinya batin ini mengatakan bahwa kisanak bukan orang
jauh,” tanya Uwa Batara Lengser.
“Aku Ciung Wanara, dari desa Geger Sunten, datang ke Galuh mencari keluargaku
yang telah menghanyutkan aku ke sungai Citanduy,” jawab Ciung Wanara.
Uwa Batara Lengser terkejut mendengar itu—dia menyadari bahwa Ciung Wanara
adalah anak dari Dewi Naganingrum yang kini sedang menyepi di hutan larangan.
“Mintalah setengah dari kerajaan sebagai imbalan jika menang, pada saatnya
kisanak akan mengetahui kebenaran.”
Ciung Wanara tertegun mendengar bisikan Uwa Batara, namun dia akhirnya
menyetujui, lalu mengutarakan kepada Prabu Barma Wijaya. Tentu saja Prabu
Barma Wijaya menyanggupinya karena yakin ayamnya akan menang. Dia juga
meminta Ciung Wanara dipenggal jika kalah. Setelah sepakat, adu ayam jago
dimulai, semua menyaksikan dengan hati berdebar-debar.
Ayam jantan Ciung Wanara yang dierami oleh Nagawiru menyimpan kesaktian
Nagawiru, dia beratrung dengan gagah berani hingga ayam jantan Prabu Barma
Wijaya kalah dan mati, sesuai janjinya setengah dari kerajaan diberikan kepada
Ciung Wanara. Tanpa menunggu lama, Ciung Wanara menjadi raja, saat itulah
Uwa Batara Lengser datang kehadapannya lalu menceritakan segala kebusukan
Prabu Barma Wijaya hingga rela menukar dirinya dengan anak anjing.
Geram Ciung Wanara mendengar itu. Dia kemudian membangun penjara besi, lalu
mengatur siasat untuk menjebak Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangreyep,
mereka diundang untuk melihat-lihat penjara besi tersebut. Hingga masuk ke
dalamnya, saat itulah Ciung Wanara mengurung keduanya.
Hariang Banga tidak terima mendapatkan kabar bahwa Dewi Pangreyep, ibu
kandungnya di penjarakan oleh Ciung Wanara. Dengan pasukannya, mereka
menyerang kerajaan Ciung Wanara, perkelahian tidak bisa dihindari, kerajaan
Galuh yang tenteram, kini berubah menjadi lautan darah. Mayat bergelimpangan
dari para prajurit yang sebenarnya mereka adalah para prajurit yang dulunya
bagian dari kerajaan Galuh, ini disebut perang saudara.
Ciung Wanara dan Hariang Banga berduel, ilmu pencak silat yang dimiliki oleh
keduanya sangat tinggi, mereka saling serang hingga ke tepian sungai Brebes.
Pertempuran belum ada yang menang. Saat itulah, Prabu Permana Di Kusumah
muncul bersama Dewi Naganingrum mengejutkan Uwa Batara. Dengan kesaktian
Prabu Permana Di Kusumah melerai perkelahian, lalu menggiring ke duanya ke
penjara besi dimana Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangreyep di kurung.
“Kalian saksikan kebesaran Sang Hyang Tunggal menghukum orang yang sangat
kejam!” ucap Prabu Permana Di Kusumah.
Usai berkata demikian, Prabu Barma Wijaya berubah menjadi Aria Kebonan,
menteri yang dikabarkan menghilang.
“Aria Kebonan, janji adalah sumpah, tak bisa dilanggar oleh siapa saja yang
mengucapkannya. Kau telah berjanji padaku akan membawa kerajaan Galuh
kepada kemakmuran dan kebaikan, namun nafsu telah menghancurkan dirimu
sendiri. Inilah akibatnya orang yang mengikuti hawa nafsu, tak ubahnya seperti
monyet.”
Setelah berkata, Aria Kebonan yang dulu dikabulkan keinginannya oleh Prabu
Permana Di Kusumah untuk jadi raja Galuh berubah menjadi monyet, sementara
Dewi Pangreyep menjadi seekor burung gagak, mereka dilepaskan di hutan
larangan.
Setelah itu Prabu Permana Di Kusumah memberikan wejangan kepada Ciung
Wanara dan Hariang Banga.
“Uwa Batara Lengser, yakini saja apa yang sudah Uwa yakini, maka disitulah letak
kebenaran akan terungkap.”
Menjadilah pemimpin yang adil dan bijaksana, gemar membantu kepada rakyat
yang miskin. Sebab, kekuasaan tidaklah kekal, bahkan bisa mencelakai jika
dibawa kepada keburukan.
Sesama Saudara tidak boleh bermusuhan, justru harus saling bahu-membahu
dalam kebaikan.
Berita Terkait
Rabu, 03 Agu 2022, 11:00:45 WIB
()
1 comment Sort by Newest
Add a comment...
Heri AS
Saya fikir itu sejarah penuh makna.
Walau ternyata hanya dihargai sebagai sebuah cerita, seharusnya menjadi materi-ajar di seluas
tanah Jawa.
Like · Reply · Mark as spam · 48w
Tuliskan Komentar
Website
http://dowmiananda.com
Post a Comment
Novel
(https://disdik.purwakartakab.go.id/berita/detail/malem-taun-baru)
TWITTER FEED
Tweets by Dinas Pendidikan Purwakarta (https://twitter.com/PendidikanKita9?ref_src=purwakarta.info)
INSTAGRAM TIMELINE
FACEBOOK PAGE