Anda di halaman 1dari 3

Kumpulan Cerita Rakyat Banjarmasin

7 Maret 2013 ·

"HIKAYAT TANJUNG PURI DAN TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI"

Dahulu kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim
Mangku Praja, permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik hati. Mereka
mempunyai dua putri yang cantik jelita: si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri
Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras,
angkuh dan sombong. Putri Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati.
“Anakku, kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencari pendamping hidup. Ayah
sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata baginda kepada kedua
putrinya.
“Ya, Ayahanda…,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
“Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita? Sepeninggal
ayahanda, kami tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,” Putri Roro
Sulastri menimpali pembicaraan ayahnya dengan sombong.
“Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah hatinya,” sahut
ayahnya.
Pandangan hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri menganggap nasihat
ayahnya hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi mencamkannya benar-benar,
dan dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan
kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran dari kerajaan
seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua orang putri yang cantik
rupawan. Di kalangan rakyat jelata pun, nama kedua putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia
beramanat:
“Anak-anakku, sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami, sebagai
pendamping hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi amat
mencintai ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang dapat menyembuhkan sakit
ayahnya, jika perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka berdandan
dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit ayahnya sendiri. Wajahnya tak
sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada punggawa
kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan mengawinkan kedua putriku
dengan siapa pun yang mereka pilih. Soal syarat, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk
menentukannya…”
***
Rakyat kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat baginda raja
sedang sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik membicarakan kecantikan dua putri
raja itu.
“Duhai, Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda
kampung kepada teman-temannya.
“Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya, tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahut temannya yang lain lagi.
Tak lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja. Pengawal
membacakan titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri… Pengumuman, pengumuman…! Aku, Raja Halim
Mangku Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Barang
siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk mengetahui syaratnya.
Tertanda, Raja Halim Mangku Praja…”
***
Sepekan setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja
Halim Mangku Praja. Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa
tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakitnya.
Di Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke istana
untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek sekali, senyumannya
bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang. Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu Cakra.
Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga beniat mempersunting putri
Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa terpukau
dengan kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai, Putri Galuh Sewangi… Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran Hanung
dengan percaya diri.
“Sebentar, Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat
menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,” sahut Putri Galuh Sewangi.
Pangeran Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi,
setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan menahan rasa malu,
penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya direguk dan
disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim Mangku Praja duduk di
tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai suaminya,
menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi ia tak sudi
menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro Sulastri yang buruk membuat
Pangeran Hanung kehilangan selera.
“Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan merendahkan
orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah kumiliki. Siapa
yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah, kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta prajurit
dan dan orang-orang di sekitarnya.
“Kurang ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang! Timpakul! Kamu juga, Joko!
Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan
sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahana membelah angkasa. Suara
gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat. Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak,
tumbang dan roboh. Pepohonan di alun-alun tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan
terbelah.
Semua orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan istana. Jerit
tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat Kerajaan Tanjung Puri panik
dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk membabi buta. Gelombang banjir selama
berhari-hari menyapu dan meluluhlantakkan istana, bangunan, kampung-kampung dan
permukiman seluruh warga kerajaan.
***
Alkisah, Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek Wisata Tanjung
Puri. Air danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi. Setiap malam Jumat, di
danau itu konon kadang tercium bau wangi.
Konon, danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapi orang-orang tertentu saja
yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masih dipercaya oleh sebagian warga. Pasangan
yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau tak ingin kapuhunan , karena dikariau
buaya.

Anda mungkin juga menyukai