Keinginan Sultan Amai untuk melawat ke daerah palasa tidak dapat dibendung
lagi. Dia perintahkan perangkat kerajaan untuk menyiakan segala sesuatunya,
terutama alat-alat pemburuan dan pemburu-pemburu yang mahir.
“Besok adalah hari baik menurut perhitungan bulan di langit. Kita benahi malam
ini semuaperlengkapanyang akan dibawa. Kumpulkan semua tukang masak untuk
menyiapkan bekal yang tahan lama atau tidak mudah basi selama perjalanan”,
perintah Sultan Amai kepada paaha (Pertahanan kerajaan).
Malam itu dii istana sibuk membuat penganan, dan para paaha sibuk menyiapkan
perlengkapan perburuan. Seekor kuda hitam menyiapkan perlengkapan perburuan.
Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap telah siap untuk dinaiki oleh Sultan
Amai.
Perjalanan yan jauh ini untuk pertama kalinya terjadi, dibandingkan dengan
perjalanan sebelumnya. Oleh sebab itu bekal dendeng rusa lebih banyak disiapkan
sebagai lauk dalam selesai makan, Sulltan Amai merokkok daun enau (hawu
lalahe) dengan tembakau yang bagus, sambil memperhatikan air yang mengalir di
antara bebatuan.
Tiba-tiba pandangan tertuju pada benda yang terapung-apung di air dengan
memantulkan cahaya yang berkilau-kilauan kena air sinar matahari. Pantulan
cahaya itu terasa menghangatkan tubuhnya, seolah-olah ada sesuatu yang
menjalari aliran darahnya sehingga menegakkan bulu roma. Benda yang hanyut
itu semakin mendekat, dan akan melewati antara batu di mana beliau beredam
tadi.
Sultan Amai membuang rokoknya yang tinggal separuh. Perlahan-lahan beliau
turun kembali ke tempat mandi tadi. Benda tadi semakin dekat di depannya, dan
spontan tangannya menjangkau benda tersebut. Ternyata benda itu adalah sehelai
rambut, yang dililitkan pad sebuah tongkol jagung (milu).
Baginda membuka helaian rambut itu dan ternyata panjang rambut itu tiga hasta.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik rambut yang sangat panjang dan lembut
itu?
“Tidak salah tambut ini pasti milik seorang perempuan, tetapi anak raja dimana?.
Apakah telah dekat istana Kerajaan Palasa>” gumam Sultan Amai. Pada sast itu
juga baginda bergegas meninggalkan tempat ia mandi, lalu dengan tepukan
tangan, ia menyuruh para pengiring dan pengawal untuk berkumpul.
Saya harap kalian sudah segar kembali, dan kita kembali melanjutkna perjalanan
menuju Negeri Palasa. Menurut keyakinanku, bahwa telah dekat Kerajaan Palasa,
atau kita sudah berada di wilayah dataran Palasa. Itulah sebabnya kita segera
berangkat, jangan sampai ada yang ketinggalan.
Ada tugas untuk kepentinganku dan tugas untuk kepentingan kerajaan
Hulontalangi. Saya harap kalian, akan siap menjalankan tugas ini, dengan teliti
dan penuh kesetiaan, tutur Sultan Amai.
“Kami telah siap menjalankan, Paduka Sultan. Beritahukanlah tugas itu, agar tidak
menjadi beban pemikiran kami, “jawab salah seorang paaha.
Perjalanan mereka.
Besoknya, menjelang fajar bergeraklah rombongan itu menuju hutan rimba yang
lebat. Mendaki dan menurun mereka tempuh. Sepanjang jalan mereka
mempergunakan kesempatan berburu rusa, dan dari hasil buruan itu mereka
buatkna dendeng.
Setelah sebulan berjalan, mendaki gunung dan menuruni lembah, sampailah
mereka pada sebuah sungai yang jernih airnya. Bunyi air yang mengalir di sela-
sela batu, seperti nyanyian indah pada kesunyian dan kesepian hutan itu, membuat
kerinduah di relung hati yang paling dalam.
Di situ Sutan Amai berhasrat untuk mandi, kebetulan pada saat itu panas matahari
sangat terik. Semua pengiring disuruhnya mencuci diri mereka pada air sungai
yang sangat jernih itu.
Sultan memilih tempat yang agak dalam, di antara batu-batu besar yang berbentuk
altar. Setelah lama berendam dalam air, ia naik ke atas batu altar itu dan membuka
bekalnya.
Hal yang eperti ini sangat disukai oleh baginda, melebihi nikmat yang lainnya.
Begitu penyelidikannya.
“Tuanku Sultan, pemilik rambut itu adalah Puteri Eaja Palasa, yang terkenal
dengan kecantikan wajahnya. Namanya adalah Puteri Owutango.
Beliau masih gadis dan menurut penuturan orang-orang kampong bahwa telah
banyak para pangeran dari negeri seberang dating meminang namun semuanya
mundur, karena tidak sanggup melaksanakan peryaratan yang telah ditetapkan
oleh sang puteri “jawab pengawal tadi.
“Mengapa begitu?. Apakah karena ia sangat cantic, atau karena rambutnya sangat
panjang, ia tidak lagi menghargai dan meremehkan para pangeran dari negeri
seberang? “Tanya sang Sultan yang mulai menganalisa penuturan sang pengwal
tadi.
“Tuanku Sultan… menurut pendengaran hamba, bahwa Tuan Puteri anak raja
palasa itu, adalah pemeluk agama Islam yang teguh, dan “Baiklah kalua begitu…..
di tanganku ada sehelai rambut wanita, panjangnya tiga hasta. Tugas kaliah adalah
mencari pemilik rambut tersebut, apakah masih gadis atau sudah punya suami.
Seandainya ia masih gadis, maka aku akan meminangnya, untuk kujadikan
seorang istri atau permaisuri”, titah sang Sultan.
“Kalau ia sudah punya suami, bagaimana pendapat tuanku Sultan?. “ Tanya
seorang pengawal. Sultan menjawab : “Kalau ia sudah bersuami akan kujadikan
sebagai saudara atau menjadi sahabatku selama di Krajaan Palasa.
Dengan beriring-iringan, rombongan Sultan masuk wilayah Kerajaan Palasa. Di
sebuah hutan yang tidak jauh dari pusat perkampungan Kerajaan Palasa, mereka
mendirikan kemah. Bekal mereka masih banyak untuk sebulan lamanya berada di
tempat itu.
Sementara, para pengiring dan pengawal sibuk mencari informasi (kabar) tentang
puteri yang memiliki rambut sepanjang tiga hasta, dan dalam tempo dua hari,
salah seorang pengwal (paaha) menghadap Sultan untuk melaporkan hasil
persyaratan yang dijukannya terlalu sulit untuk dilaksanakan oleh para
pelamarnya, itulah smapai kini sang puteri belumm ada yang menyuntingnya.
“Benarkah itu ? lagi pula persyaratan apa lagi, sehingga para pelamar tiada
mampu melaksanakannya?. “Tanya Sultan Amai dengan penuh penasaran.
“Kurang jelas tuanku, hamba belum sejauh itu menanyakannya,” jawab pengawal.
“Kalau begitu, baiklah… besok siapkan, hantaran awal perkenalan dengan
Baginda Raja Palasa, berupa sirih, pinang dan tembakau, serta buah-buahan segar,
dan petiklah bunga-bunga yang indah yang terdapat di dalam hutan ini untuk sang
Puteri Raja itu.
Beritahukan kepada panggoba, bahwa mereka mulai hari akan kuangkat sebagai
telangkai dan menjadi utusan bermusyawarah dengan Baginda Raja, dan kerabat
kerajaan, dan sampai meminang sang puteri; dan beritahukan kepada sang puteri,
bahwa aku ingin menjadikan dia menjadi istriku dan permaisuri Sultan Amai.
Ingatkan kepada mereka, bahwa aku tidak akan menghendaki kegagalan kali ini,
apapun yang menjadi persyaratan, akan kita musyawarahkan di sini. Aku tidak
akan mengikuti jejak para pangeran lainnya. Kalah sebelum berhadapan
(berjuang), “titah sang Sultan.
Baiklah… tuanku... akan segera hamba sampaikan dan persiapkan, “jawab
pengawal sambal bermohon diri, meninggalkan sultan. Malam itu juga para
Panggoba dan para paaha sibuk menentukna siapa yang akan menjadi juru bicara
di antara mereka.
Persiapan telah dibenahi, dna sepanjang malam mereka bersemedi untuk
memohon kekuatan dari sang pencipta, agar diberikan kemampuan untuk
berhadapan dengan Baginda Raja Kerajaan Palasa, Serta Tuan Puteri damba’an
Sultan Amai.
Di kerajaan Palasa sendri, terutama di istana raja tampak kesibukan menyambut
tamu dari Kerajaan Hulontalangi, yang sebelumnya telah diberitahu akan
kedatangan utusan kerajaan dalam rangka peminangan sang puteri. Ketika
kerajaan dalam rangka peminangan sang puteri, para tamu diterima dengan baik
dan dijamu dengan selayaknya.
“Maaf beribu maaf, Tuanku. Kami dari negeri seberang, dari sebuah kerajaan
yang bernama Hulontalangi (Gorontalo) bersama Sultan Amai, putera Baginda
Raja Matolodula Da’a, yang sampai saat ini memerintah Kerajaan Hulontalangi.
Kami dating kemari sekedar melihat-lihat keindahan dan kemakmuran Kerajaan
Palasa, sambal berburu rusa. Namun dalam perburuan itu, Tuanku Sultan Amai
menemukan sehelai rambut yang tergulung pada sebuah tingkol jagung. Ketika
Sultan Amai mengurai helai rambut tersebut ternyata memiliki panjang tiga hasta.
Rambut yang begitu indah, memukau dan tuanku Sultan Amai tergerak hatinya
untuk mengetahui siapa gerangan pemilik rambut yang begitu indah. Siang malam
Sultan merenung, gelisah dan resah, dalma kesendiriannya Sultan telah bertekad
untuk menemukan pasangan hidupnya di kerajaan ini, karena siapa tahu pemilik
rambut in, atau di dalma istana ini,” sembah telangkai dari Sultan Amai.
“Bagaimana tuan-tuan tahu dengan pasti, bahwa rambut itu adalah milik puteri
kerajaan ini ataupun di dalam istana?” tutur baginda raja sambal tersenyum.
“Maaf sebanyak maaf, kami telah menyelidikinya, dan kami tidak sangsi lagi
bahwa rambut tersebut milik sang Puteri Kerajaan Palasa, atau tegasnya milik
puteri dalam istana tuanku ini. Baginda Raja, jika dapat kami ingin
mempersembahkan hantaran awal pertemuan atas nama kerajaan Hulontalangi
berupa pembuka kata seperti sirih; pinang dan tembakau, dan disertakan buah-
buahan segar sebagai tanda penghargaan dan ikatan kedua kerajaan, untuk
memulai persahabatan mulai hari ini, persaudaraan atau kekeluargaan,
sebagaimana yang berlaku di kerajaan kami.
Dan lainnya, disertakan pula rangkaian bunga untuk sang puteri dari Raja Palasa
berasal dari Sultan Amai, pertanda awal ikatan antara Sultan Amai dengan tuan
puteri dari Raja Palas,” tutur Panggoba yang bertindak sebagai juru bicara atau
telangkai,sambal menyodorkan hantaran itu satu persatu di hadapan Baginda Raja
dengan disaksikan oleh kerabat istana.
Para penasihat raja (tokoh agama), kaum kerabat istana, telah hadir untuk
mendengarkan berita apa gerangan yang akan disampaikan oleh utusan para tamu
seberang.
“Maaf, sebanyak maaf kami haturkan kepada Tuanku Baginda, kerabat istana
yang telah begitu baik menerima dan menjamu kami di istana yang mulia.”
“Terima kasih… atas penghargaan ini, bagi kami merupakan suatu penghormatan
kedatangan tuan-tuan di istana ini, dan sudah sepatutnya kami menjamu tamu
dengan sebaik-baiknya. Penghargaan kepada tamu adalah suatu kewajjiban kami
sebagai umat muslim.
Sebelum melanjutkan pembicaraan, perkenankanlah kami mengtahui dari
manakah negeri tuan-tuan, serta maksud kedatangan melihat dan melawat ke
kerajaan Palasa yang sederhana ini. Kerajaan manakah asal tuan-tuan dan
siapakah raja yang memerintah kerajaan itu agar kita dapat menjalin persahabatan
yang tulus, saling menukat pengalaman,” tutr Baginda Raja Palasa. Allah dengan
akal dan kesempurnaan dari makhluk apapun di dunia ini,” tutur Baginda Raja
Palasa.
“Muda-mudahan harapan kami, bukanlah sekedar harapan, dan apa yang Baginda
Raja khawatirkan tidak akan terjadi, karena kami menyadari, bahwa kami masih
mencari pengalaman sebagai bekal utama dalam mengarungi kehidupan ini,”
jawab sang utusan.
Puteri Owutango bersama Bunda Ratu masuk ke ruangan sidang dan mengambil
tempat duduk di sisi Baginda Raja Palasa. Utusan telangkai pihak laki-laki (Sultan
Amai) terpesona akan keindahan tubuh dan rambut yang terurai panjang sampai
ke tumit.
Dengan senyum keramahannya, sang puteri membalas penghormatan sang tamu.
Ayahnya baginda raja berpaling kepada puterinya, Owutango: “Owutango, di
depan kita talah datang utusan dari Kerajaan Hulontalangi. Mereka datang dari
jauh, dan mereka telah mempersembahkan hantaran adat sebagai pertanda awal
persahabatan dan persaudaraan untuk kerajaan ini.
Di antara hantaran adat ini, termasuk Baginda Raja menerima hantara itu
memeriksa dan menelitinya, lalu disodorkan kepada penasihat kerajaan (golongan
agama).
“Terima kasih atas penghargaan ini, kami sangat menjunjung tinggi adat kerajaan
Hulontalangi. Kami pula mengirimkan salam dan penghargaan kepada Raja dan
seluruh isi Kerajaan Hulontalangi. Bagi kami hantaran seperti ini perlu diketahui
oleh seluruh pelaksana adat negeri ini, di mana system kerajaan yang berlaku
adalah musyawarah dan mufakat.
Pemilik rambut tersebut adalah puteri kami, hanya semasih dalam kandungan
ibunya adalah milik kami berdua, tetapi sesudah lahir sampai menjadi gadis dia
adalah milik kerabat dan milik kerajaan.
Namun sebagaimana lazimnya, tidak keseluruhan hidupnya diatur oleh orangtua,
kerabat dan kerajaan, salah satunya masih kami serahkan sebahagian putusan
kepada diri pribadinya, apabila hal-hal itu menyangkut kebahagiaan, peningkatan
hidupnya, dan kehidupannya di masa depan”, jawab Baginda Raja Palasa.
“Sungguh cara kehidupan yang sangat terpuji di kerajaan ini, Baginda Raja. Kami
sangat kagum akan kebijaksanaan Baginda terhadap puterinya selaku orangtua.
Alangkah bahagianya jika kedua kerajaan ini akan saling menyatu dalam
pendapat, dan saling terikat dalam suatu kebijaksanaan, dan alangkah bahagianya
jika harapan kerajaan tersebut akan lahir dari putusan puteri baginda raja, dengan
demikian pengalaman akan bertambah, pengetahuan akan berkembang, dan rakyat
akan hidup rukun dan sejatera, saling menghargai satu sama lain,: tutur sang
telangkai.
“Terima kasih…, baiklah dalam kesempatan ini kami hadirkan puteri kami
Owutango pada majelis siding kerajaan yang terhormat ini, dengan harapan
jangan menjadi perhatian jika seandainya putusan puteri kami berbeda dengan
harapan tuan-tuan, dan jika itu terjadi, maka pertemuan ini adalah kunjungan
kekeluargaan, mempererat rasa persaudaraan antara dua kerajaan.
Tiada saling dendam, tiada saling permusuhan, karena kita adlaah manusia yang
kejadiannya dari satu asal, manusia yang diberkahi hantaran khusus untukmu
yang dilambangkan dengan rangkaian bunga yang indah. Tentunya kau paham,
bahwa utusan ini telah membawa rahmat bagimu. Putera Raja Hulontalangi yang
bernama Sultan Amai, ingin memperkokoh persahabatan dan menambah jumlah
kerabat istana, dengan harapan akan mempersunting dirimu sebagai pendamping
hidupnya.
Dari makna hantaran adat ini Ayahanda telah mengambil suatu kesimpulan bahwa
Sultan Amai telah memberikan suatu penghargaan dan penghormatan kepada
Kerajaan Palasa, yang pantang untuk ditolak. Namun ibarat kain baju, kau adalah
pemakainya, ibarat jarum kami adalah benangnya.
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami, dukamu adalah duka dan resah kami.
Untuk itu, keputusan akhir adalah pada dirimu, putriku. Nah…. Dipersilahkan
anakku untuk memberikan pendapatmu agar jelas pada para tamu dari seberang,
apa yang menjadi isi hatimu dan yang tersirat pada kata hatimu,” tutur Baginda
Raja kepada puterinya.
Puteri Owutango menundukan wajahnya, lama ia termenung. Semua yang hadir,
para tamu yang duduk menunggu dengan resah dan gelisah, gerangan putusan apa
yang akan terucap dari bibir yang mungil dan merekah itu.
Tidak lama kemudian puteri Owutango mengangkat wajahnya, lalu ia berkata
“Baginda Raja ayahku, para penasihat kerajaan dan para utusan kerajaan
Hulontalangi yang saya hormati, saya mohon maaf dan ampun lebih dahulu,
seandainya putusan hamba ini tidak berkenan di hati Baginda Raja dan para tamu
utusan kerajaan Hulontalangi.
Hamba pula memohonkan apabila putusan ini tidak berkenan di hati, karena
hanya itu yang terucap dan terlahir dari lubuk hati yang paling dalam
kembalikanlah pada hamba, karena kata-kata yang terucap adalah milik hamba
sendiri, bukan milik Baginda Raja dan pula bukan milik negeri (kerajaan).
Sebagai layaknya seorang wanita, hambapun telah membayangkan seorang suami
yang perkasa, berbudi luhur, cinta akan tanah air, dan tentunya lebih mencintai
Allah yang menjadikan dirinya dan menjadikan semesta alam.
Walaupun belum bertemu muka, apalagi bertukar pendapat, hamba telah menilai
dari hantaran adat ini, bahwa Sultan Amai patut dihormati sebagai seorang
pangeran, dan hamba tidak ada daya dan kekuatan untuk menolak sebagai calon
suami hamba.
Untuk itulah hamba termenung, karena merasakan bahwa untuk merobah cara
persiapan batin. Karena akhir kehidupan ini adalah mati, maka selayaknya
persiapan utnuk hidup berdua dalam satu atap memerlukan persamaan pendapat,
persamaan pengertian dan saling mengetahui hak dan kewajiban sebagai suami
dan sebagai isri.
Oleh sebab itu, perkenankanlah pula hamba memajukan beberapa permohonan
kepada calon suami saya Sultan Amai, agar beliau sependapat dengan hamba
dalam mengarungi bahtera rumah tangga sebagai berikut :
Pertama : “hamba adalah pemeluk Agama Islam yang teguh, dan agama ini telah
hamba anut sejak kecil. Sebagaimana Baginda Raja dan Ibunda Ratu menerima
agama Islam dari datuk dan niniknya turun temurun. Tentunya hambapun
menginginkan agar suami hamba adalah pemeluk agama Islam yang teguh,
bersama orang tuanya dan kerabat kerajaannya, agar keturunan kamipun tidak
saling bersilang keyakinan karena orang tua dan kerabatnya tidak sepaham.
Kedua : oleh karena perkawinanini diatur oleh adat dan agama, maka hamba
memohonkan agar masing-masing kami akan menghargai hak dan kewajiban
sebagaimana terdapat dan tersirat dalam ajaran Islam.
Ketiga : jika dapat persyaratan yang berawal dari permohonan hamba ini
terpenuhi hamba mohon Sultan akan tinggal disini selama tiga tahun untuk belajar
mengetahui tiga hasta rahasia dari rambut yang pernah Sultan dapatkaj sumber
kekagumannya.
Demikian dahulu putusan hamba, sekali lagi hamba mohon ampun dan mohon
maaf, apabila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati, kembalikanlah kepada
saya pemiliknya.”
Semua kerabat dan para tamu utusan dari Kerajaan Hulontalangi terpaku selama
Puteri Owutango menjelaskan putusannya. Barulah mereka menyadari bahwa
keputusan sang Puteri dikatakan mudah tapi sulit, dikatakan sulit tapi mudah,
karena putusan itu bukan menyangkut fisik suatu benda nyata, tertapi menyangkut
rasa dan keyakinan.
“Telah sama kita dengarkan, apa yang menjadi kehendak permohonan sang puteri,
elok buruknya, kami mohonkan pendapat yang tulus dari tuan-tuan utusan Sultan,
bagi kami selaku orang tua dan sebagai pimpinan kerajaan Palasa tidak ada unsur
paksaan. Kita tidak perlu terburu-buru memberikan suatu jawaban, waktu cukup
tersedia hari ini. Hari esok atau hari-hari lainnya.
Namun demikian kami pula tidak akan membatasi seandainya tuan-tuan telah
menyimpulkan jawaban pada hari in juga, karena semua jawaban tuan-tuan akan
kami hargai dan kami hormati,” tutur Baginda Raja.
Kami mohon ampun dan maaf sekali lagi Baginda Raja, Ibunda Ratu dan Tuan
Puteri Owutango serta seluruh kerabat kerajaan ini. Permohonan Tuan Puteri akan
kami bawa pulang, untuk dipertimbangkan oleh majelis kerajaan Hulontalangi,
terutama oleh Sultan sendiri.
Sebagai utusan kami hanya diberikan hak dan kewajiban untuk menyampaikan
maksud yang suci sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya, dan sebagai
utusan kami pula hanya diberikan hak untuk menerima putusan untuk dibawa
pulang.
Pertimbangan dan jawaban adlaah di tanga nSultan dan kerabat kerajaan
Hulontangi. Hanya kami bermohon kembali kepada Baginda Raja kiranya
perkenankan dahulu kami menyampaikan hasil perundingan dan putusan puteri
Owutango, dan juga kiranya Baginda Raja berkenan pula menerima kami kembali
untuk mempersembahkan hasil pertimbangan kerajaan dan Sultan Amai.
Baiklah jika demikian… akhir dari pembicaraan tuan-tuan sebagaimana yang
telah diadatkan dan sepatutnya kami menghargai dan menghormati. Sampaikan
salam kekeluargaan untuk menilai dirinya sebagai putera mahkota Kerajaan
Hulontalangi.
Kesempatan inilah membulatkan keyakinannya untuk memeluk Agama Islam,
akan tetapi bagaimana dengan Ayahanda Baginda Raja Hulontalangi? Perubahan
sikap sang Sultan mempengaruhi kegiatan para pengawalnya dalam menjalankan
perintah. Ada keresahan di hati mereka, selama Sultan Amai bersemedi
(mengasingkan diri).
Meraka pula tidak menghendaki perkawinan Sultan Amai gagal, karena bagi
bagaimanapun juga hati mereka telah tertambat dengan cara-cara Baginda Raja
menjamu mereka selama di istana, dan kehalusan budi pekerti dari Puteri
Owutango.
Akhirnya keresahan itu sirna, ketika Sultan Amai menyatakan kesediaannya untuk
memeluk agama Islam. Dengan tegas Sultan memerintahkan seorang utusan
kembali ke Kerajaan Hulontalangi untuk memberitahukan perkawinannya dengan
Puteri Kerajaan Palasa.
Jika ada di antara para pengikut tidak mau memeluk Agama Islam, Sultan kembali
memerintahkanagar pulang bersama utusannya. Namun ternyata seluruh para
pengawal telah siap mengikuti keyakinan Sultan Amai.
Pernikahan itu begitu meriah di kerajaan Palasa. Selama empat puluh malam dan
empat puluh hari pesta rakyat, di Kerajaan Palasa, karena suka cita mereka akan
Puteri Owutango yang telah mendapatkan jodoh, setelah sekian banyak pangeran
dari negeri seberang yang tidak kembali karena adanya persyaratan yang
dimajukan Puteri Owutango kepada mereka.
Meraka bagai matahari dan bulan,Sultan para pengwal, tinggal di kerajaan selama
tiga tahun, dan mereka mempergunakan kesempatan untuk mendalami ayat-ayat
suci Al-Quran dan hokum Fikih. Ternyata Sultan Amai tidak saja mahir dalam
perburuan, tetapi juga mahir dan fasih menyampaikan risalah Islam kepada
daerah-daerah yang belum mengenal agama islam. Kami kepada Baginda Raja
Hulontalangi, kerabat istana dan kerajaan terutama Sultan Amai sendiri.
Kami iringi kepergian tuan-tuan dengan do’a restu kami sekeluarga, Insya Allah
Tuhan melindungi dan melimpahkan rahmatnya kepada keluarga anda sehingga
dapat kembali berkumpul dengan mereka dalam keadaan rukun dan damai.”
Demikianlah, lama Sultan merenung ketika mendengar jawaban putusan sang
puteri tambatan hatinya. Helaian rambut tiga hasta itu tidak pernah lepas dari
tangannya. Selama sebulan Sultan mengasingkan dirinya bersemedi di atas altar
batu yang bersejarah dalam hidupnya, untuk menetapkan suatu keyakinan untuk
memenuhi persyaratan sang Puteri Owutango.
Tentang agama Islam, Sultan telah tidak mengasingkan lagi akan kebenaran
agama itu. Ia telah banyak mempelajarinya dari para pedagang Islam dari benua-
benua tetangga. Namun keberaniannya untuk menjadi pengikut Muhammad
belum terlaksana, karena situasi dan kondisi Kerajaan Hulontalangi belum
memukinkan.
SULTAN AMAI
Genap sudah tiga tahun. Sultan Amai memboyong sang istri untuk
kembali ke daerah asalnya di Kerajaan Hulontalangi. Selama tiga tahun mereka
hidup rukun dan bahagia, namun belum ada tanda-tanda kehamilan pada Puteri
Owutango. Hal ini tidak lepas juga dari perhatian sang Baginda Raja Palasa.
SAHARIBULLAH
Pertemuan Bunda Puteri Owutango dan puteranya Matolodula Kiki, sangat
mengharukan keluarga istana dari Sultan Ternate. Sang puteri menciumi wajah
puteranya dengan isakan sendu melepas kerinduannya. Sultan menyambut
Matolodula dengan penuh keramahan seorang Bapak Kandung yang penuh
dengan kasih sayang dan rasa tanggung jawab.
Matolodula serta melihat ketampanan adiknya Saharibullah, ia merasa
kagum dan menyayangi adiknya seperti menyayangi dirinya sendiri. Saharibullah
selain tampan, juga baik budi bahasanya, dan sangat menghormati kakaknya.
“Kalian berdua seperti pinang dibelah dua… memiliki persamaan wajah
dan persamaan kegemaran…” ujar Sultan ketika melihat keduanya bersiap-siap
berlatih menunggang kuda. Mereka berdua telah diserahkan Sultan kepada
seorang Ulama terkenal dari negeri Mesir.
Di suatu hari, ketika mereka selesai latihan beladiri, mereka berdua
menunggang kuda menuju Tanah Merah, melihat panorama pantai di waktu
matahari terbenam. “Apa saja yang kakak lakukan di Kerajaan Hulontalangi?”
Tanya Saharibullah sambal memandangi abangnya.
“Banyak… Sari, membantu ayahku mengendalikan keadaan negeri dan
mengawasi para petani yang menggarap sawah dan lading milik kami,” jawab
abangnya Matolodula. “Apakah kakak juga berguru menunggang kuda dan belajar
memanah?” Tanya Saharibullah.
Menunggang kuda adalah kegemaranku. Memanah aku kurang
mempelajarinya. Ilmu bela diri yang kupelajari adalah tonggade, yaitu adu
kekuatan dalam posisi duduk, lalu langga adu keterampilan dan kelincahan tangan
tanpa senjata, dan yang disebut longgo yaitu seperti langga tetapi memakai senjata
Sumala, atau keris.
Bagaimana dengan perkembangan agama syiar Islam di Kerajaan
Hulontalangi kak?” “Sayang, baru sebagian yang memeluk itu. Dan ayahku tak
pernah berputus asa, mengajak dan menyebar luaskan ajaran Allah kepada siapa
saja penduduk kerajaan” jawab kakaknya.
Ibu kita sangat baik, kak. Hmmm… beliau pernah bercerita kepada adikku
seorang… Saharibullah…” sambal tersenyum.
Keduanya memacu kudanya masing-masing berbalik pulang menuju ke
istana. Puteri Owutango sangat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah
mempertemukan dia dengan puteranya yang beetahun-tahun dirindukannya.
Apalagi melihat kenyataan kedua puteranya saling menyayangi, rajin menuntut
ilmu, dan mendalami Al Qura’an.
Bertahun0tahun Matolodula menempa dirinya untuk menjadi seorang
kesatria yang berilmu tinggi, menguasai ilmu agama dan pemerintahan.
***
Akhir-akhir ini tampaknya Sultan sibuk benar. Hamper setiap hari beliau
tidak ada di istana. Hal ini mulai menarik perhatian istrinya. Tapi ia segan
menanyakan tentang kesibukan Sultan itu.
Ketika pada suatu malam Sultan kembali dari pemantauan tentang keadaan
bandar Ternate, ia memberanikan diri mendekati Sultan.
“Sultan… tampaknya putera kita telah mahir memainkan pedang, dan telah
matang dalam ilmu-ilmu agama. Aku sangat bangga dan bahagia Sultan dan
sangat berterima kasih atas perhatianmu kepada putera Matolodula. Anak itu
begitu sayang dan menghormatimu, seperti ayah kandungnya. Tapi akhir-akhir ini
Sultan lebih banyak di luar istana dari pada di istana.
Aku tahu bahwa kerajaan banyak memerlukan perhatianmu. Bolehkah aku
sedikitnya mengetahui tentang kesibukanmu di kerajaan, barangkali aku dapat
menyumbangkan pendapat sekedar meringankan beban dan tanggung jawabmu,
suamiku ?” tutur istrinya dengan manja.
Sultan tersenyum, dan memandangi istrinya dengan penuh kasih sayang.
Sedikitpun ia tidak memperlihatkan keresahan, pada hal pikirannya sedang
bergelut dengan berita-berita hangat tentang kedatangan bangsa portugis akan
menanamkan kuku penjajahan di Kerajaan Ternate dan sekitarnya.
Terasa perdagangan mulai merosot, kapal-kapal anak negeri yang menjual
rempah-rempah ke wilayah lain, ditunjuk oleh armada Portugis. Akibatnya
kekacauan melanda arus lalu lintas laut, dan mempengaruhi ekonomi dari semua
kerajaan.
“Aku ingin membahagiakan hidupmu, wahai istriku, selama aku masih
mampu untuk melakukan kewajibanku. Sebagai seorang Sultan yang
memerintahkan negeri ini, tentunya tidak lepas juga aku bertanggung jawab atas
keselamatan penduduk. Hanya perlu engkau tahu, bahwa sudah tiba saatnya
Matolodula untuk kembali, sebagai misi kita ke Kerajaan Hulontalangi…”
Sultan Amai semakin tua, dan tidak berdaya menundukan kerajaan induk
Hulontalangi. Kebrutalan dan kesesatan, dana du domba yang menimbulkan
perang sodara telah merembes ke kerajaan lain, termasuk pada kerajaan Sultan
Amai sendiri…” ujar Sultan dengan nada ramah.
“Dari mana Sultan tahu tentang situasi Kerajaan Hulontalangi?” Tanya
istrinya dengan penuh selidik.
“Dari seorang pedagang rempah-rempah yang lolos dari intaian para
pembajak dalam perjalanan pulang dari Kerajaan Hulontalangi.
Pembajak bukan saja orang Mangindano, tetapi ada juga bangsa-bangsa
asing yang sedang mengadakan ekspansi ke daerah-daerah, mulai membajak
setiap para pedagang, untuk mendapatkan berita situasi tentang daerah sasaranya.
Rupanya sasaran bangsa asing itu telah mengarah ke Kerajaan
Hulontalangi. Dan jika kerajaan-kerajaan itu hanya saling bermusuhan, tidak
dapat membina kesatuan dan persatuan maka kesempatan bangsa asing akan
masuk ke kerajaan tersebut dengan mudah. Sultan Amai hanya mengharapkan
bantuan kerajaan yang seagama di luar Kerajaan Hulontalangi, termasuk Kerajaan
Palasa,” tutur Sultan denganrasa prihatin.
“Apakah Sultan telah membicarakannya dengan Putera Matolodula?”
Tanya istrinya mengandung kecemasan.
:Belum, aku ingin membicarakannya di hadapanmu istriku, agar
Matolodula tidak salah menanggapi pandanganku, bukan begitu?” kata Sultan.
Puteri Owutango termenung memikirkan tentang puteranya.
Rasanya ingin ia menyuruh puteranya itu untuk membantu dan
menyelamatkan ayahnya Sultan Amai. Bagaimanapun ia masih menyayangi
Sultan Amai, apalagi masalah yang seperti ini Sultan Amai sering memintakan
pendapatnya. Diam-diam ia menemui Matolodula, yang pada senja itu sedang
menikmati panorama alam diatas anjungan.
“Ibu, ada apa? Ada yang perlu Ananda bantu?” Tanya putera Matolodula
kepada ibunya.
“Akh… tidak apa-apa. Ibu hanya rindu untuk berbincang-bincang. Selama
ini rasanya kita tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap sebagaimana biasa, karena
kesibukan kita masing-masing. Barangkali cukup waktu anakku untuk bertukar
pendapat dengan Bunda. Apakah kau tidak sibuk malam ini?”
“Masalah apa, Bu? Kelihatannya Ibu sangat serius. Mengapa ayah Sultan
tidak bersama ibu kemari?” Tanya Putera Matolodula.
“Ayahmu ke balairung mengikuti pertemuan para patih kerajaan. Tengah
malam baru ia pulang anakku. Bagaimana dengan hasil latihanmu pada perguruan
itu, apakah sudah dapat diandalkan ilmu-ilmu itu menurut pertimbanganmu?” kata
Puteri Owutango.
“Mengapa ibu bertanya demikian ?” Tanya puteranya.
“Akh, tidak apa-apa. Hanya aku ingin tahu apakah kau tidak rindu pada
ayahmu ?”
“Rindu juga… Bu, barangkali ibu ada berita tentang ayah Sultan Amai,
terutama tentang kesehatan beliau di Hulontalangi,” Tanya puteranya yang sudah
mulai penasaran.
“Ada, Kerajaan Hulontalangi mengalami kegoncangan. Bangsa asing
mulai merebes ke kerajaan-kerajaan di pesisir utara, dengan dalih mencari pasaran
rempah-rempah.
Aku dengar dari Sultan sendiri, bahwa kemerosotan akhlak dan kesesatan
mulai meluas. Ayahmu tentunya sudah semakin tua. Kemampuannya sudah
semakin terbatas untuk menanggulangi kekacauan dan pemberontakan,” keluh
sang puteri.
“Bunda… barangkali sudah tiba saatnya aku harus bertindak, untuk
Kerajaan Hulontalangi, pesan ayahanda masih kupegang teguh. Akhir-akhir ini
aku selalu didatangi bayangan ayah yang menyuruhku segera kembali.
Kadang-kadang aku terjaga dari tidurku, merenungi ucapannya di saat aku
berangkat kemari. Ibunda… perkenankanlah aku kembali, untuk melindungi
kerajaan Hulontalangi. Oh… ibu tidak usah bersedih, jagalah adinda Saharibullah
untuk menegakkan syi’ar Islam di Kerajaan Ternate.
“Baiklah anakku, jika telah bertekad untuk kembali jagalah dirimu baik-
baik, jagalah ayahmu, dan tegakkanlah kebenaran Islam di kerajaan itu. Tentang
kepergianmu kembali ke Kerajaan Hulontalangi akan kusampaikan dan
kurundingkan dengan Sultan dan dengan adikmu Saharibullah, agar keikhlasan
dan restu Sultan senantiasa mengiringi perjalanmu, Nak.
Senja itu tampak kedua putera kerajaan memacu kudanya menuju pantai.
Mereka adalah Matolodula dan adiknya Saharibullah, yang tampan dan ceria
mengadakan latihan bersama di lapangan.
“Sahari… “ abangnya memanggil tanpa menoleh. Pandangannya lepas ke
batas kaki langit, sedangkan tangannya bertumbu pada ke dua lututnya yang
sedang duduk santai pada batang pohon yang telah tua, terdampar di atas pasir
yang putih.
“Ada apa… Kak?” Sahari menoleh sambal memperhatikan sikap abangnya
yang menantap kaki langit. Sahari agak terperangah ketika lama abangnya
menjawab pertanyaannya.
“Maukah kau merelankan aku pergi… kembali ke Kerajaan Hulontalangi,
adikku?” Matolodula menatap wajah adiknya.
“Untuk apa kakak kembali, bukankah kita di sini bersama ibu, lagi pula
tegakah kakak meninggalkan Ibunda yang setiap saat merindukan kehadiranmu?”
jawab Sahari.
“Sahari…, kita laki-laki dan kita berdua adalah putera mahkota. Mengapa
kita terlalu cengeng dalam menempuh kehidupan ini? Apalah gunanya kita
berguru ilmu bela diri, jika hanya kita pakai untuk bermanja di depan ibunda?
Kita perlu bertarung. Kita perlu belajar berjuang mempertahankan kebenaran dan
keadilan, dan bila perlu kita berkewajiban mengusir penjajah dari bumi leluhur
kita, bukankah begitu Sahari?
“Kalau begitu, aku akan ikut bersamamu Kakak, kita tinggalkan Gunung
Gamalama, kita tinggalkan Pantai Luari Tagalaya dan Malifut, serta Danau
Laguna, kita akan pergi mengembara dengan tujuan mengamankan setiap kerajaan
dan kita sebagai misi muslim kita tegakkan kalimat tauhid di mana saja kita
singgah. Bawalah aku kakak bersamamu, supaya kita tidak berpisah…” kata
Sahari sambal memandang abangnya.
“Kau… kau memang hebat adikku… duduklah kembali pada tempatmu
semula. Aku sangat bangga dengan tekadmu… sungguh Kakak telah salah
sangka… oh… Subbahanallah, mengapa terlalu cepat aku meremehkan adikku…”
Matolodula memeluk adiknya, sambal membelai punggungnya.
“Mari kita bicara sebagai dua laki-laki yang dewasa dan memiliki
tanggung jawab adikku! Kita harus berdua berjuang mempertahankan kerajaan
kiita masing-masing. Kau adikku adalah putera mahkota di Kerajaan Ternate, dan
kewajibanmu adalah membela leluhur kira di sini. Dan akupun adalah putera
mahkota yang berkewajiban membela Kerajaan Hulontalangi. Bersyukurlah kita,
bahwa kita berasal dari seorang Ibu yang bijaksana, dan kita mewarisi mehkota
kesultanan dari dua ayah dan dua kerajaan yang berprinsip sama…”
“Jadi bagaimana seharusnya, menurut pendapat Kakak?” Tanya
Saharibullah. “Kita harus pisah, Kerajaan Hulontalangi membutuhkan
kehadiranku, dan membutuhkan pemikir dan pengendali kerajaan. Ayahku Sultan
Amai mengharapkan bantuan untuk mengendalikan kerajaan serta menegakkan
syiar Islam.
Tinggallah kau di sini, kewajibanmu menjaga Kerajaan Ternate, menjaga
Sultan, dan terutama menjaga Ibunda permata hati kita berdua.
Maukah kau adikku, menjaga ibu, mendo’akan kakak, dan memberikan
semangat juang yang tinggi kepada seorang abang yang akan mempertahankan
tanah leluhurnya ?” Matolodula kembali memeluk adiknya.
“Aku paham… Kakak, baiklah kalua begitu, aku akan tinggal di sini,
menjaga kerajaan, dan menjaga ibunda… aku telah mengikhlaskan kau pergi.
Insya Allah kita akan berjumpa sebagaimana Bunda harapkan,” jawab Sahari
dengan berlinang air mata karena sendu dan rindu akan abangnya.
“Terima kasih dik… legalah rasanya hati ini untuk melangkah pergi, Insya
Allah Tuhan senantiasa memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada kita
sekeluarga.”
“Tapi apakah kakak telah rundingkan dengan Ibunda bersama Sultan
tentang rencana ini ?” Tanya Sahari.
“Sudah dik... ibunda malah menyuruh aku harus membujukmu untuk
mendapatkan restu dari adikku tersayang…” kata abangnya sambal tersenyum.
“Ooh… terima kasih Kakakku… marilah kita pulang, Sultan dan Ibunda
barangkali telah gelisah menunggu kita berdua. Tak lama kemudian tampak
mereka berdua memacu kudanya lewat jalan pulang ke Istana.
Di anjungan istana telah menunggu Ibunda dan Sultan yang sejak tadi
mata mereka tidak lepas dari ujung jalan.
“Assalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh !”
“Wa Alaikumssalam Warrahmatullahi Wabarakatuh…” jawab Sultan dan
Ibunda Ratu. Keduanya mencium tangan kedua orang tua yang mereka cintai, lalu
mengambil tempat duduk di sisi Ibunda Ratu.
“Sudahkah kalian berbincang-bincang tentang kepergian abangmu
Sahari?” Tanya Sultan, sambal mempermainkan tasbih di tangannya.
“Sudah Ayah. Kami telah sepakat untuk membagi tugas dan tanggung
jawab terhadap kerajaan dan terhadap ke dua orang tua, kami akan saling
membantu, di saat kerajaan memerlukan bantuan, terutama dalam menegakkan
syiar Islam pada kedua kerajaan yang sama,” jawab Sahari dengan takzimnya.
“Bagus… anakku Matolodula, kepergianmu kali ini adalah misi dari
kerajaan muslim, untuk mengibarkan panji Muslim di tanah seberang. Semua
persiapan keberangkatanmu telah kusiapkan, armada kerajaan akan mengantarmu
samapi keperbatasan dan tinggal beberapa perahu armada yang tangguh
mengawalmu sampai ke Kerajaan Hulontalangi.
“Rerima kasih Tuanku Sultan… hamba mohon maaf dan ampun apabila
selama di kerajaan ini ada kekhilafan yang telah hamba lakukan. Amanat dan
petuah Tuanku Sultan, akan hamba laksanakan dengan penuh rasa tanggung
jawab. Hamba mohon restu perjalanan ini, selamat sampai ke Kerajaan
Hulontalangi.
Hamba pula menitipkan slaam penghormatan dan ucapan terima kasih
kepada Tuanku Syech Darussalam, dan pelatih Ilmu beladiri dan ilmu perang,
yang selama ini telah banyak membimbing hamba dalam asuhannya,” pinta
Matolodula.
“Jagalah ayahmu nak, bantulah Sultan Amai dalam mengendalikan
pemerintahan. Hati-hatilah dengan siasat adu domba, jangan sampai ayahmu
terpancing…” ujar inunda ratu. Puteri Owutango memeluk puteranya. Sebuah
keris kecil dan sebuah ikat pinggang berkepala ukiran emas, diserahkannya
kepada putera Matolodula.
“Bawalah pusaka ini, jagalah baik-baik, aku tidak berputeri. Jika kau
mendapatkan istri shaleh, hadiakanlah pending in kepada istrimu. Insya Allah kau
akan berhasil menegakkan ajaran Allah, dan menjadikan Islam adalah sendi adat
dari Kerajaan Hulontalangi.
Ada perasaan haru dan sedih di hari Matolodula ketika memandangi wajah
ibunya, dan adiknya Saharibullah, namun dikuatkannya hatinya, dibisikannya ke
telinga adiknya : “Jagalah ibunda baik-baik.” Dijabatnya tangan adiknya,
menncium keningnya, dan selesai menjabat serta mencium tangan ibunya Puteri
Owutango serta Sultan Ba’abullah, maka naiklah ia ke perahu yang membawanya
ke Kerajaan Hulontalangi dan ayahnya Sultan Amai!
NAIK TAHTA
Betapa gembira hati Sultan Amai ketika mendapatkan berita bahwa Putera
Matolodula Kiki akan kembali ke Hulontalangi. Raja Wadipalapa kakeknya, telah
merelakan Kerajaan Hulontalangi kepada cucunya Matolodula Kiki.
Suatu hari tahun 1870, Raja Wadipalapa mengundang Sultan Amai dan
Putra Motolodula ke Balai Permusyarawatan.
“Hari ini siding Bantayo Pobo’ide akan memutuskan pelaksanaan
penyerahan pemerintahan Kerajaan Hulonthalangi kepada yang berhak
menggantikan aku sebagai Raja Hulontalangi. Dalam pandangan yang sudah tua
ini aku meyakini bahwa Matolodula mampu, dan berkewajiban memikul tanggung
jawab pemerintahan Kerajaan Hulontalangi.
Namum perlu aku ingatkan bahwa berita kedatangan bangsa asing untuk
menjajah daerah ini, memerlukan persiapan kekuatan pembela kerajaan yang
tangguh dan setia. Rasanya dalam usia yang mulai rapuh ini, harapan untuk
mempertahankan kerajaan aku tak mampu lagi.
Oleh sebab itu, satu-satunya harapan ini kuwariskan kepada cucuku
Matolodula yang baru kembali dari Ternate. Mata bathinku telah melihat akan
kemampuan dan keterampilan cucuku untuk mempertahankan kerajaan ini dari
serangan bangsa asing. Nah, bagaimana pendapatmu cucuku matolodula ?”
Matolodula tertunduk, lalu ia berpaling memandang ayahnya Sultan Amai.
Sultanpun menatap pandangan puteranya denngan penuh harap agar ia menerima
tawaran kakeknya.
“maafkan hamba Baginda Raja. Hamba memohon sebelum cucunda
dilantik, agar penduduk Kerajaan Hulontalangi mengadakan pesta rakyat yang
semeriah-meriahnya,” ucap putera Matolodula dengan takzimnya.
“Apa maksudmu dengan pesta yang meriah itu cucuku ?” Tanya kakeknya
dengan penuh perhatian.
“Sebelum pesta rakyat yang meriah, di mana nanti seluruh kegiatan para
penduduk yang paling digemari dan telah menjadi tradisi di kerajaan ini
dipertontonkan sebagai hiburan rakyat. Seluruh penduduk berpesta pora, masing-
masing kelompok menyiapkan makanan kesukaan mereka. Arak dan tuak
disediakan untuk menyemarakan pesta rakyat. Segala macam bentuk judi,
penyabung ayam, bisikedo, patui, bakubanti, tonggade, langga dan longgo,
silahkan dimainkan, hamba ingin menyaksikan dengan jelas,” ucapnya.
“Tentu…. tentu cucuku…. dan engkau akan dihormati dan dielu-elukan
seluruh rakyat. Sebagai raja yang mewarisi kekayaanku, dan mewarisi sifat-sifat
kepemimpinanku,” jawab Baginda raja dengan bersemangat.
Sultan Amai terperangah, ingin memprotes gagasan gila itu, tapi mulutnya
serasa terkunci. Puteranya menatap ayahnya seakan dia pula telah tahu apa yang
berkecamuk dalam bathin ayahnya.
Ia menatap dengan pandangan yang cukup membiaskan sebuah rahasia
dibalik permintaannya. “Masih ada lagi permintaan hamba Baginda Raja,
bolehkah cucunda menjelaskan kembali rencana pelaksanaan pelantikan hamba
Baginda ?” tuturnya.
“Silahkan…. cucuku…. anak muda yang patut aku banggakan….” jawab
Baginda dan tersenyum.
“Hamba ingin acara pelantikan dilaksanakan di lokasi kerajaan. Hamba
mohon didirikan sebuah panggung yang tinggi, besar dan luas, dan mempunyai
tangga dua buah, sebelah kiri dan kanan, yang disebut tangga tolitihu.
Di tengah-tengah panggung hamba mohon disiapkan sebuah Dulanga
besar. Panggung itu dipagari dengan bambu kuning dengan pilar-pilar bamboo
yang bersilang, dan hamba mohon seluruh raja-raja, ketua-ketua adat, kimlaha,
para hulubalang kerajaan, para wombuwa, panggoba, pantongo dan pegawai
syara’ yang dibawah pemerintahan Kerajaan Hulontalangi, berhimpun di tempat
yang khusus, untuk menyaksikan penobatan hamba.
Pesta rakyat dimulai dua minggu sebelum acara puncak yaitu pelantikan
para primadona pada upacara dayango (tari pemujaan setan), dan seluruh gadis-
gadis cantik di seluruh wilayah kerajaan, agar mulai saat ini berlatih menari
supaya pada malam pelantikan itu dapat hamba pergunakan untuk memilih gadis
perawan yang dapat hamba angkat menjadi istri hamba dan dapat pula menjadi
permaisuri kerajaan.”
Seluruh peserta sidang gemuruh tertawa, juga baginda raja turut bersuka
cita melihat keseriusan cucunya yang telah lanjut usia belum juga menikah.
“Hebat kau, cucuku. Tentu tidak seorang saja yang engkau pilih. Adat
raja-raja di sini, perlu memiliki sepuluh selir di samping seorang permaisuri,
ha….ha…. benar-benar kau mewarisi keperkasaan kakekmu…. Cucuku.
janganlah seperti ayahmu, yang ditinggal istrinya, tak mau menikah sepanjang
hayatnya. Lihat belum apa-apa sudah loyo dan renta….!” jawab baginda raja
sambal menguyah sirih pinangnya.
Sultan Amai menarik nafas dalam-dalam berulang kali ia mengucapkan
istigfar lewat bibirnya yang memucat. Ia sendiri tidak tahu lagi berapa jumlah
sudara-sudaranya, keponakanya, bahkan barangkali cucu-cucu mereka….
nauzubillah….
“Teruskan…. teruskan rencana itu cucuku, akku sema-kin tertarik dengan
gagasanmu….” perintah Baginda.
“Baiklah Baginda Raja, selesai pelantikankusemua penduduk tiada yang
terkecualli, akan menjabat tanganku, naik dari tangga tolitihu sebelah kanan dan
turun pada tangga sebelah kiri, dengan demikian aku dapat mengenal wajah para
penduduk kerajaan ini dari dekat.
Untuk itu pula aku sangat mengharapkan melalui kuasa baginda raja agar
pada hari pelantikanku, tak ada lagi laki-laki yang memiliki rambut panjang,
semua memendekkan rambutnya, mencukur kumisnya, berpakaian rapi dan
bersih. Bagi para wanita, semua mencuci rambut dengan kelapa ramuan, mandi
dengan berlangir, dan memakai rangkaian bunga rampai pada sanggulnya.
Pada malam pelantikan semua dupa akan mengepul asap wewangian. Para
gadis hamba mohon pada acara jabatan tangan, akan mencium tangan hamba, agar
hamba dapat merasakan aliran darah pada tubuh mereka, dan hembusan nafas
mereka di tangan hamba, agar hamba dapat menentukan kesetiaan dan keluhuran
budi mereka, untuk kupilih calon istri”.
“Bagus kalau demikian, semuanya akan kulaksanakan wahai cucuku.
Ternyata kau adalah cucuku yang baik, harapan kerajaan dan harapan semua
penduduk. Tapi satu yang kau lupa…. tolong jelaskan pada sidang ini apa
gunanya Dulanga yang dipersiapkan di tengah-tengah anjungan itu cucuku?”
Tanya Baginda Raja.
“Oh…. ya hamba lupa, bahwa pada acara puncak pelantikan hamba,
semua babi-babi tanpa sisa, agar dipotong dan darahnya di tamping pada Dulanga
tersebut. Hamba ingin menghormati darah babi sebagai makanan kebanggaan
penduduk, mewarnai acara perkenalan hamba pada saat pelantikan itu Baginda
Raja.
Pada kedua tangga tolitihu, agar ditanamkam sebelah menyebelah batang
pinang yang buahnya masih muda, dengan disangga oleh dua buah bamboo yang
menyerupai mulut buaya yang sedang menganga, dan memasang janur sebagai
hiasan adat. Bagi hamba Ngango Lo Huawayo (mulut buaya) adalah perlambang
kedamaian dan janur yang berumbai tidak rata, melambangkan penduduk dengan
segala ragam kehidupannya.
“Bagus, semuanya akan dilaksanakan, masih ada permintaanmu yang
lain?” Tanya Baginda Raja sambal mengusap janggutnya yang putih perlambang
keperkasaannya.
“Terakhirnya permohonan hamba Baginda Raja yang pertama kali
menjabat tanganku adalah baginda sendiri sebagai kakekku yang akan
menurunkan warisan keperkasaanya pada diriku, dan yang terakhir menjabat
tanganku adalah ayahku sendiri Sultan Amai yang mewariskan ketabahan pada
diriku. Itulah permohonan hamba cuumu ini Baginda Raja, hamba mohon maaf
apabila teralalu banyank mencetuskan gagasan dihadapan sidang kerajaan ini”.
***
Pesta rakyaat berlangsung dengan meriah. Bukan saja dua minggu, empat
puluh hari empat puluh malam, pesta itu berlangsung dengan meriah. Sultan Amai
dan puteranya telah membentuk pasukan keamanan yang disebut “Bala” dengan
memilih cabang-cabang persilatan yang tangguh untuk memantau kegiatan
penduduk dan mencegah keributan ataupun perkelahian.
Permainan judi, tarian dayango, pertunjukan ilmu kekebalan, bahkan
pertarungan minum racun ramuan ilmu-ilmu hitam menjadi bahan tontonan yang
cukup mengasyikkan. Pasangan muda-mudi yang mabuk, dan mulai mencari
semak-semak untuk melampiaskan nafsu maksiat, tak lepas dari pemantauan para
anggota bala dan para Paaha (pengawal istana).
Penduduk dari kerajaan-kerajaan lain, datang berduyun-duyun selain
menyaksikan pesta rakyat itu, mereka juga mengikuti pertandingan sepak raga,
menyabung ayam dan judi.
Tibalah saatnya acara puncak yaitu acara pelantikan putera mahkota untuk
dinobatkan menjadi raja Kerajaan Hulontalangi. Dulanga telah penuh dengan
darah babi. Penyembelihan babi secara masaal menambah gairah penduduk untuk
berpesta pora dengan makanan kesukaan mereka.
Seluruh penduduk tua muda, besar dan kecil, semua tampak berpakaian
rapi. Para gadis berdandan secantik mungkin, sebahagian melakukan karena
perintah raja, dan sebahagian karena bertujuan memikat sang pangeran Raja Muda
dan tampan, siapa tahu akan terpilih menjadi teman hidup atau menjadi
permaisuri.
Ketika seluruh rakyat telah berhimpun seluruhnya, putera Matolodula
dengan gagah memakai stelan busana raja, sebuah model yang disebut Bo’o
Takowa Da’a, dengan rantai emas menghubungkan kancing si Raga-raga ke
sakunya yang berisi jam berbingkai emas hadiah sultan Ba’abullah.
Pada ikat pinggangnya berkepala pending emas terselip keris pusaka
Kerajaan Palasa kemudian tertutup oleh sarung sutera berwana keemasan.
Kepalanya memakai alapiah (kopiah), sebuah destar berwarna hijau bertahtakan
emas dan intan. Beliau dinaungi oleh paying-payung kebesaran yang disebut
Toyunga Bilanga, dengan empat warna khas yaitu : merah, kuning, hijau dan ungu
yang disebut tilabataila.
Di sisinya berjalan ayahnya Sultan Amai dengan busana seorang syekh
dengan seragam jubah putih, dengan untaian tasbih (tatudi) di tangannya. Saat
menaiki tangga tolitihu masih sempat Matolodula membisikan kepada ayahnya
Sultan Amai : “Betapa bahagianya jika Ibunda Ratu Owutango turut menyaksikan
peristiwa yang mengukir sejarah Islam di daerah ini, bernilai tinggi untuk generasi
sesudah kita, ayah.”
Sultan Amai mengangguk, ada genangan air mata pada pelupuk matanya,
pertanda kebahagian berbaur dengan rasa haru. Mereka melangkah terus dengan
pasti menuju anjungan sementara gendering kebesaran dan laga sayiya
mengalunkan irama mengatur langkah sang raja muda belia itu.
Baginda Raja Wadipalapa telah menunggu di anjungan dengan perangkat
kerajaan dan para raja-raja lainnya sebagai tamu agung. Genderang tanda
pelantikan dimulai. Para ketua adat menghaturkan sembah, lalu dengan tuja’i
(syair) mempersilahkan Baginda Raja Wadipalapa, mengganti alapiah dengan
makuta (mahkota) di atas kepala Raja Muda Matolodula, dan sekaligus
menyerahkan tongkat serta keris pusaka milik kerajaann kepada cucunya.
Genderang penobatan gagap gempita, dan semua penduduk riuh
mengucapkan selamat kepada Raja Matolodula. Putera Mahkota Matolodula
resmilah menjadi Raja Hulontalangi.
Tibalah saat acara puncak jabatan tangan untuk sang Raja. Sultan Amai
mengatur tatacara rakyat untuk naik ke anjungan yaitu menurut kelompok
kerajaan. sesuai acara yang mula pertama yang menjabat tangan Raja Matolodula,
adalah raja Wadipalapa untuk mempergunakan kesempatan itu.
Ketika mereka bertatapan, Raja Matolodula mencelupkan telunjuknya ke
dalam Dulanga, dan meletakkan telunjuknya itu tepat di tengah-tengah dahi beliau
(bonto), lalu ia memeluk kakeknya, sambil membisikkan :
Tanda di atas dahimu sang Raja
Saksi nyawa dan dirimu (jasadmu)
Islam adalah agamamu sang Raja
Muhammad yang harus kau ikuti
Qur’an kitabmu yang mengantar
Akhirilah makan yang haram.
Selesai Raja Wadipalapa, berturut-turut para pemangku adat, dan ketika
penduduk mulai menjabat tangannya, maka dengan lantang Raja Matolodula
mengiringi bonto dengan kata-kata “terakhir kali ini kau makan”.
Raja Wadipalapa terperangah, sungguh di luar dugaannya bahwa cucunya
sebijak itu menjadikan penduduk menjadi muslim dalam waktu sehari saja.
Beliau merasa kagum dan merasa tidak bernilai apa-apa yang telah
dilakukannya untuk kerajaan Hulontalangi selama ini, selesai pemberian bonto,
maka putera Raja Matolodula dengan lantang meneriakan tiga kali, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar dan semua rakyat membalas Allahu Akbar. Lalu
Matolodula mengucapkan dua kalimat syahadat, yang diikuti oleh seluruh rakyat
yang hadir.
Saudara-saudara seluruh rakyat Hulontalangi, hari ini aku rajamu, Islam
agamamu, Muhammad Nabi junjunganmu, Al Qur’an adalah kitab sucimu, dan
pengucapan dua kalimat syahadat adalah pengakuanmu, bonto menjadi saksi
penobatan sebagai muslim di dunia dan di akhirat.
Empat puluh hari, siang dan malam, semua rakyat telah melakuakn apa
yang dilarang oleh Islam, makanan yang haram telah berakhir dengan darah babi
di atas dahimu, sebagai sumpah pembersihan diri. Darah babi itu harus kalian
hapus dengan bersujud melaksanakan lima waktu, dan apabila kamu sia-siakan
maka bontho itu akan muncul dan menghalangimu masuk sorga.
Oleh sebab itu, mulai hari ini, aku tidak melihat lagi ada para penduduk
yang memelihara babi. Sebagai raja aku telah mengangkat sumpah apabila
makanan yang haram ini akan singgah di tubuhmu tidak akan selamat dari segala
macam penyakit kulit sampai engkau ingat dan sadar akan kekeliruanmu.
Mulai peristiwa inilah, setiap acara adat pengislaman upacara khitanan
(penyunatan) atau mandi-lemon anak-anak, diberi bonto, namun oleh karena pada
saat ini, tiada lagi pemotongan babi, maka darah pada mahkota ayam jantan
menyerupai warna darah babi. Perkembangan jaman berjalan terus maka
ditemukan bahwa percampuran kunyit dengan kapur mereka manfaatkan sebagai
darah mahkota ayam, pada setiap upacara adat, dan telah dikenal dengan nama
alawahu-tilihi.
Demikianlalah Kerajaan Hulontalangi, aman dan damai di bawah
pimpinan Raja Matolodula, dan syair Islam mulai semarak (menyebar luas),
sehingga Sultan Amai dapat mendirikan mesjid Hunto di Tiyeningo (Siendeng),
yang sampai saat ini sebagai bukti autentik sejarah kerajaan Hulontalangi yang
menjadi pusat perkembangan Islam untuk daerah sekitarnya.