Anda di halaman 1dari 34

PUTRI OWUTANGO

Keinginan Sultan Amai untuk melawat ke daerah palasa tidak dapat dibendung
lagi. Dia perintahkan perangkat kerajaan untuk menyiakan segala sesuatunya,
terutama alat-alat pemburuan dan pemburu-pemburu yang mahir.
“Besok adalah hari baik menurut perhitungan bulan di langit. Kita benahi malam
ini semuaperlengkapanyang akan dibawa. Kumpulkan semua tukang masak untuk
menyiapkan bekal yang tahan lama atau tidak mudah basi selama perjalanan”,
perintah Sultan Amai kepada paaha (Pertahanan kerajaan).
Malam itu dii istana sibuk membuat penganan, dan para paaha sibuk menyiapkan
perlengkapan perburuan. Seekor kuda hitam menyiapkan perlengkapan perburuan.
Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap telah siap untuk dinaiki oleh Sultan
Amai.
Perjalanan yan jauh ini untuk pertama kalinya terjadi, dibandingkan dengan
perjalanan sebelumnya. Oleh sebab itu bekal dendeng rusa lebih banyak disiapkan
sebagai lauk dalam selesai makan, Sulltan Amai merokkok daun enau (hawu
lalahe) dengan tembakau yang bagus, sambil memperhatikan air yang mengalir di
antara bebatuan.
Tiba-tiba pandangan tertuju pada benda yang terapung-apung di air dengan
memantulkan cahaya yang berkilau-kilauan kena air sinar matahari. Pantulan
cahaya itu terasa menghangatkan tubuhnya, seolah-olah ada sesuatu yang
menjalari aliran darahnya sehingga menegakkan bulu roma. Benda yang hanyut
itu semakin mendekat, dan akan melewati antara batu di mana beliau beredam
tadi.
Sultan Amai membuang rokoknya yang tinggal separuh. Perlahan-lahan beliau
turun kembali ke tempat mandi tadi. Benda tadi semakin dekat di depannya, dan
spontan tangannya menjangkau benda tersebut. Ternyata benda itu adalah sehelai
rambut, yang dililitkan pad sebuah tongkol jagung (milu).
Baginda membuka helaian rambut itu dan ternyata panjang rambut itu tiga hasta.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik rambut yang sangat panjang dan lembut
itu?
“Tidak salah tambut ini pasti milik seorang perempuan, tetapi anak raja dimana?.
Apakah telah dekat istana Kerajaan Palasa>” gumam Sultan Amai. Pada sast itu
juga baginda bergegas meninggalkan tempat ia mandi, lalu dengan tepukan
tangan, ia menyuruh para pengiring dan pengawal untuk berkumpul.
Saya harap kalian sudah segar kembali, dan kita kembali melanjutkna perjalanan
menuju Negeri Palasa. Menurut keyakinanku, bahwa telah dekat Kerajaan Palasa,
atau kita sudah berada di wilayah dataran Palasa. Itulah sebabnya kita segera
berangkat, jangan sampai ada yang ketinggalan.
Ada tugas untuk kepentinganku dan tugas untuk kepentingan kerajaan
Hulontalangi. Saya harap kalian, akan siap menjalankan tugas ini, dengan teliti
dan penuh kesetiaan, tutur Sultan Amai.
“Kami telah siap menjalankan, Paduka Sultan. Beritahukanlah tugas itu, agar tidak
menjadi beban pemikiran kami, “jawab salah seorang paaha.
Perjalanan mereka.
Besoknya, menjelang fajar bergeraklah rombongan itu menuju hutan rimba yang
lebat. Mendaki dan menurun mereka tempuh. Sepanjang jalan mereka
mempergunakan kesempatan berburu rusa, dan dari hasil buruan itu mereka
buatkna dendeng.
Setelah sebulan berjalan, mendaki gunung dan menuruni lembah, sampailah
mereka pada sebuah sungai yang jernih airnya. Bunyi air yang mengalir di sela-
sela batu, seperti nyanyian indah pada kesunyian dan kesepian hutan itu, membuat
kerinduah di relung hati yang paling dalam.
Di situ Sutan Amai berhasrat untuk mandi, kebetulan pada saat itu panas matahari
sangat terik. Semua pengiring disuruhnya mencuci diri mereka pada air sungai
yang sangat jernih itu.
Sultan memilih tempat yang agak dalam, di antara batu-batu besar yang berbentuk
altar. Setelah lama berendam dalam air, ia naik ke atas batu altar itu dan membuka
bekalnya.
Hal yang eperti ini sangat disukai oleh baginda, melebihi nikmat yang lainnya.
Begitu penyelidikannya.
“Tuanku Sultan, pemilik rambut itu adalah Puteri Eaja Palasa, yang terkenal
dengan kecantikan wajahnya. Namanya adalah Puteri Owutango.
Beliau masih gadis dan menurut penuturan orang-orang kampong bahwa telah
banyak para pangeran dari negeri seberang dating meminang namun semuanya
mundur, karena tidak sanggup melaksanakan peryaratan yang telah ditetapkan
oleh sang puteri “jawab pengawal tadi.
“Mengapa begitu?. Apakah karena ia sangat cantic, atau karena rambutnya sangat
panjang, ia tidak lagi menghargai dan meremehkan para pangeran dari negeri
seberang? “Tanya sang Sultan yang mulai menganalisa penuturan sang pengwal
tadi.
“Tuanku Sultan… menurut pendengaran hamba, bahwa Tuan Puteri anak raja
palasa itu, adalah pemeluk agama Islam yang teguh, dan “Baiklah kalua begitu…..
di tanganku ada sehelai rambut wanita, panjangnya tiga hasta. Tugas kaliah adalah
mencari pemilik rambut tersebut, apakah masih gadis atau sudah punya suami.
Seandainya ia masih gadis, maka aku akan meminangnya, untuk kujadikan
seorang istri atau permaisuri”, titah sang Sultan.
“Kalau ia sudah punya suami, bagaimana pendapat tuanku Sultan?. “ Tanya
seorang pengawal. Sultan menjawab : “Kalau ia sudah bersuami akan kujadikan
sebagai saudara atau menjadi sahabatku selama di Krajaan Palasa.
Dengan beriring-iringan, rombongan Sultan masuk wilayah Kerajaan Palasa. Di
sebuah hutan yang tidak jauh dari pusat perkampungan Kerajaan Palasa, mereka
mendirikan kemah. Bekal mereka masih banyak untuk sebulan lamanya berada di
tempat itu.
Sementara, para pengiring dan pengawal sibuk mencari informasi (kabar) tentang
puteri yang memiliki rambut sepanjang tiga hasta, dan dalam tempo dua hari,
salah seorang pengwal (paaha) menghadap Sultan untuk melaporkan hasil
persyaratan yang dijukannya terlalu sulit untuk dilaksanakan oleh para
pelamarnya, itulah smapai kini sang puteri belumm ada yang menyuntingnya.
“Benarkah itu ? lagi pula persyaratan apa lagi, sehingga para pelamar tiada
mampu melaksanakannya?. “Tanya Sultan Amai dengan penuh penasaran.
“Kurang jelas tuanku, hamba belum sejauh itu menanyakannya,” jawab pengawal.
“Kalau begitu, baiklah… besok siapkan, hantaran awal perkenalan dengan
Baginda Raja Palasa, berupa sirih, pinang dan tembakau, serta buah-buahan segar,
dan petiklah bunga-bunga yang indah yang terdapat di dalam hutan ini untuk sang
Puteri Raja itu.
Beritahukan kepada panggoba, bahwa mereka mulai hari akan kuangkat sebagai
telangkai dan menjadi utusan bermusyawarah dengan Baginda Raja, dan kerabat
kerajaan, dan sampai meminang sang puteri; dan beritahukan kepada sang puteri,
bahwa aku ingin menjadikan dia menjadi istriku dan permaisuri Sultan Amai.
Ingatkan kepada mereka, bahwa aku tidak akan menghendaki kegagalan kali ini,
apapun yang menjadi persyaratan, akan kita musyawarahkan di sini. Aku tidak
akan mengikuti jejak para pangeran lainnya. Kalah sebelum berhadapan
(berjuang), “titah sang Sultan.
Baiklah… tuanku... akan segera hamba sampaikan dan persiapkan, “jawab
pengawal sambal bermohon diri, meninggalkan sultan. Malam itu juga para
Panggoba dan para paaha sibuk menentukna siapa yang akan menjadi juru bicara
di antara mereka.
Persiapan telah dibenahi, dna sepanjang malam mereka bersemedi untuk
memohon kekuatan dari sang pencipta, agar diberikan kemampuan untuk
berhadapan dengan Baginda Raja Kerajaan Palasa, Serta Tuan Puteri damba’an
Sultan Amai.
Di kerajaan Palasa sendri, terutama di istana raja tampak kesibukan menyambut
tamu dari Kerajaan Hulontalangi, yang sebelumnya telah diberitahu akan
kedatangan utusan kerajaan dalam rangka peminangan sang puteri. Ketika
kerajaan dalam rangka peminangan sang puteri, para tamu diterima dengan baik
dan dijamu dengan selayaknya.
“Maaf beribu maaf, Tuanku. Kami dari negeri seberang, dari sebuah kerajaan
yang bernama Hulontalangi (Gorontalo) bersama Sultan Amai, putera Baginda
Raja Matolodula Da’a, yang sampai saat ini memerintah Kerajaan Hulontalangi.
Kami dating kemari sekedar melihat-lihat keindahan dan kemakmuran Kerajaan
Palasa, sambal berburu rusa. Namun dalam perburuan itu, Tuanku Sultan Amai
menemukan sehelai rambut yang tergulung pada sebuah tingkol jagung. Ketika
Sultan Amai mengurai helai rambut tersebut ternyata memiliki panjang tiga hasta.
Rambut yang begitu indah, memukau dan tuanku Sultan Amai tergerak hatinya
untuk mengetahui siapa gerangan pemilik rambut yang begitu indah. Siang malam
Sultan merenung, gelisah dan resah, dalma kesendiriannya Sultan telah bertekad
untuk menemukan pasangan hidupnya di kerajaan ini, karena siapa tahu pemilik
rambut in, atau di dalma istana ini,” sembah telangkai dari Sultan Amai.
“Bagaimana tuan-tuan tahu dengan pasti, bahwa rambut itu adalah milik puteri
kerajaan ini ataupun di dalam istana?” tutur baginda raja sambal tersenyum.
“Maaf sebanyak maaf, kami telah menyelidikinya, dan kami tidak sangsi lagi
bahwa rambut tersebut milik sang Puteri Kerajaan Palasa, atau tegasnya milik
puteri dalam istana tuanku ini. Baginda Raja, jika dapat kami ingin
mempersembahkan hantaran awal pertemuan atas nama kerajaan Hulontalangi
berupa pembuka kata seperti sirih; pinang dan tembakau, dan disertakan buah-
buahan segar sebagai tanda penghargaan dan ikatan kedua kerajaan, untuk
memulai persahabatan mulai hari ini, persaudaraan atau kekeluargaan,
sebagaimana yang berlaku di kerajaan kami.
Dan lainnya, disertakan pula rangkaian bunga untuk sang puteri dari Raja Palasa
berasal dari Sultan Amai, pertanda awal ikatan antara Sultan Amai dengan tuan
puteri dari Raja Palas,” tutur Panggoba yang bertindak sebagai juru bicara atau
telangkai,sambal menyodorkan hantaran itu satu persatu di hadapan Baginda Raja
dengan disaksikan oleh kerabat istana.
Para penasihat raja (tokoh agama), kaum kerabat istana, telah hadir untuk
mendengarkan berita apa gerangan yang akan disampaikan oleh utusan para tamu
seberang.
“Maaf, sebanyak maaf kami haturkan kepada Tuanku Baginda, kerabat istana
yang telah begitu baik menerima dan menjamu kami di istana yang mulia.”
“Terima kasih… atas penghargaan ini, bagi kami merupakan suatu penghormatan
kedatangan tuan-tuan di istana ini, dan sudah sepatutnya kami menjamu tamu
dengan sebaik-baiknya. Penghargaan kepada tamu adalah suatu kewajjiban kami
sebagai umat muslim.
Sebelum melanjutkan pembicaraan, perkenankanlah kami mengtahui dari
manakah negeri tuan-tuan, serta maksud kedatangan melihat dan melawat ke
kerajaan Palasa yang sederhana ini. Kerajaan manakah asal tuan-tuan dan
siapakah raja yang memerintah kerajaan itu agar kita dapat menjalin persahabatan
yang tulus, saling menukat pengalaman,” tutr Baginda Raja Palasa. Allah dengan
akal dan kesempurnaan dari makhluk apapun di dunia ini,” tutur Baginda Raja
Palasa.
“Muda-mudahan harapan kami, bukanlah sekedar harapan, dan apa yang Baginda
Raja khawatirkan tidak akan terjadi, karena kami menyadari, bahwa kami masih
mencari pengalaman sebagai bekal utama dalam mengarungi kehidupan ini,”
jawab sang utusan.
Puteri Owutango bersama Bunda Ratu masuk ke ruangan sidang dan mengambil
tempat duduk di sisi Baginda Raja Palasa. Utusan telangkai pihak laki-laki (Sultan
Amai) terpesona akan keindahan tubuh dan rambut yang terurai panjang sampai
ke tumit.
Dengan senyum keramahannya, sang puteri membalas penghormatan sang tamu.
Ayahnya baginda raja berpaling kepada puterinya, Owutango: “Owutango, di
depan kita talah datang utusan dari Kerajaan Hulontalangi. Mereka datang dari
jauh, dan mereka telah mempersembahkan hantaran adat sebagai pertanda awal
persahabatan dan persaudaraan untuk kerajaan ini.
Di antara hantaran adat ini, termasuk Baginda Raja menerima hantara itu
memeriksa dan menelitinya, lalu disodorkan kepada penasihat kerajaan (golongan
agama).
“Terima kasih atas penghargaan ini, kami sangat menjunjung tinggi adat kerajaan
Hulontalangi. Kami pula mengirimkan salam dan penghargaan kepada Raja dan
seluruh isi Kerajaan Hulontalangi. Bagi kami hantaran seperti ini perlu diketahui
oleh seluruh pelaksana adat negeri ini, di mana system kerajaan yang berlaku
adalah musyawarah dan mufakat.
Pemilik rambut tersebut adalah puteri kami, hanya semasih dalam kandungan
ibunya adalah milik kami berdua, tetapi sesudah lahir sampai menjadi gadis dia
adalah milik kerabat dan milik kerajaan.
Namun sebagaimana lazimnya, tidak keseluruhan hidupnya diatur oleh orangtua,
kerabat dan kerajaan, salah satunya masih kami serahkan sebahagian putusan
kepada diri pribadinya, apabila hal-hal itu menyangkut kebahagiaan, peningkatan
hidupnya, dan kehidupannya di masa depan”, jawab Baginda Raja Palasa.
“Sungguh cara kehidupan yang sangat terpuji di kerajaan ini, Baginda Raja. Kami
sangat kagum akan kebijaksanaan Baginda terhadap puterinya selaku orangtua.
Alangkah bahagianya jika kedua kerajaan ini akan saling menyatu dalam
pendapat, dan saling terikat dalam suatu kebijaksanaan, dan alangkah bahagianya
jika harapan kerajaan tersebut akan lahir dari putusan puteri baginda raja, dengan
demikian pengalaman akan bertambah, pengetahuan akan berkembang, dan rakyat
akan hidup rukun dan sejatera, saling menghargai satu sama lain,: tutur sang
telangkai.
“Terima kasih…, baiklah dalam kesempatan ini kami hadirkan puteri kami
Owutango pada majelis siding kerajaan yang terhormat ini, dengan harapan
jangan menjadi perhatian jika seandainya putusan puteri kami berbeda dengan
harapan tuan-tuan, dan jika itu terjadi, maka pertemuan ini adalah kunjungan
kekeluargaan, mempererat rasa persaudaraan antara dua kerajaan.
Tiada saling dendam, tiada saling permusuhan, karena kita adlaah manusia yang
kejadiannya dari satu asal, manusia yang diberkahi hantaran khusus untukmu
yang dilambangkan dengan rangkaian bunga yang indah. Tentunya kau paham,
bahwa utusan ini telah membawa rahmat bagimu. Putera Raja Hulontalangi yang
bernama Sultan Amai, ingin memperkokoh persahabatan dan menambah jumlah
kerabat istana, dengan harapan akan mempersunting dirimu sebagai pendamping
hidupnya.
Dari makna hantaran adat ini Ayahanda telah mengambil suatu kesimpulan bahwa
Sultan Amai telah memberikan suatu penghargaan dan penghormatan kepada
Kerajaan Palasa, yang pantang untuk ditolak. Namun ibarat kain baju, kau adalah
pemakainya, ibarat jarum kami adalah benangnya.
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami, dukamu adalah duka dan resah kami.
Untuk itu, keputusan akhir adalah pada dirimu, putriku. Nah…. Dipersilahkan
anakku untuk memberikan pendapatmu agar jelas pada para tamu dari seberang,
apa yang menjadi isi hatimu dan yang tersirat pada kata hatimu,” tutur Baginda
Raja kepada puterinya.
Puteri Owutango menundukan wajahnya, lama ia termenung. Semua yang hadir,
para tamu yang duduk menunggu dengan resah dan gelisah, gerangan putusan apa
yang akan terucap dari bibir yang mungil dan merekah itu.
Tidak lama kemudian puteri Owutango mengangkat wajahnya, lalu ia berkata
“Baginda Raja ayahku, para penasihat kerajaan dan para utusan kerajaan
Hulontalangi yang saya hormati, saya mohon maaf dan ampun lebih dahulu,
seandainya putusan hamba ini tidak berkenan di hati Baginda Raja dan para tamu
utusan kerajaan Hulontalangi.
Hamba pula memohonkan apabila putusan ini tidak berkenan di hati, karena
hanya itu yang terucap dan terlahir dari lubuk hati yang paling dalam
kembalikanlah pada hamba, karena kata-kata yang terucap adalah milik hamba
sendiri, bukan milik Baginda Raja dan pula bukan milik negeri (kerajaan).
Sebagai layaknya seorang wanita, hambapun telah membayangkan seorang suami
yang perkasa, berbudi luhur, cinta akan tanah air, dan tentunya lebih mencintai
Allah yang menjadikan dirinya dan menjadikan semesta alam.
Walaupun belum bertemu muka, apalagi bertukar pendapat, hamba telah menilai
dari hantaran adat ini, bahwa Sultan Amai patut dihormati sebagai seorang
pangeran, dan hamba tidak ada daya dan kekuatan untuk menolak sebagai calon
suami hamba.
Untuk itulah hamba termenung, karena merasakan bahwa untuk merobah cara
persiapan batin. Karena akhir kehidupan ini adalah mati, maka selayaknya
persiapan utnuk hidup berdua dalam satu atap memerlukan persamaan pendapat,
persamaan pengertian dan saling mengetahui hak dan kewajiban sebagai suami
dan sebagai isri.
Oleh sebab itu, perkenankanlah pula hamba memajukan beberapa permohonan
kepada calon suami saya Sultan Amai, agar beliau sependapat dengan hamba
dalam mengarungi bahtera rumah tangga sebagai berikut :
Pertama : “hamba adalah pemeluk Agama Islam yang teguh, dan agama ini telah
hamba anut sejak kecil. Sebagaimana Baginda Raja dan Ibunda Ratu menerima
agama Islam dari datuk dan niniknya turun temurun. Tentunya hambapun
menginginkan agar suami hamba adalah pemeluk agama Islam yang teguh,
bersama orang tuanya dan kerabat kerajaannya, agar keturunan kamipun tidak
saling bersilang keyakinan karena orang tua dan kerabatnya tidak sepaham.
Kedua : oleh karena perkawinanini diatur oleh adat dan agama, maka hamba
memohonkan agar masing-masing kami akan menghargai hak dan kewajiban
sebagaimana terdapat dan tersirat dalam ajaran Islam.
Ketiga : jika dapat persyaratan yang berawal dari permohonan hamba ini
terpenuhi hamba mohon Sultan akan tinggal disini selama tiga tahun untuk belajar
mengetahui tiga hasta rahasia dari rambut yang pernah Sultan dapatkaj sumber
kekagumannya.
Demikian dahulu putusan hamba, sekali lagi hamba mohon ampun dan mohon
maaf, apabila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati, kembalikanlah kepada
saya pemiliknya.”
Semua kerabat dan para tamu utusan dari Kerajaan Hulontalangi terpaku selama
Puteri Owutango menjelaskan putusannya. Barulah mereka menyadari bahwa
keputusan sang Puteri dikatakan mudah tapi sulit, dikatakan sulit tapi mudah,
karena putusan itu bukan menyangkut fisik suatu benda nyata, tertapi menyangkut
rasa dan keyakinan.
“Telah sama kita dengarkan, apa yang menjadi kehendak permohonan sang puteri,
elok buruknya, kami mohonkan pendapat yang tulus dari tuan-tuan utusan Sultan,
bagi kami selaku orang tua dan sebagai pimpinan kerajaan Palasa tidak ada unsur
paksaan. Kita tidak perlu terburu-buru memberikan suatu jawaban, waktu cukup
tersedia hari ini. Hari esok atau hari-hari lainnya.
Namun demikian kami pula tidak akan membatasi seandainya tuan-tuan telah
menyimpulkan jawaban pada hari in juga, karena semua jawaban tuan-tuan akan
kami hargai dan kami hormati,” tutur Baginda Raja.
Kami mohon ampun dan maaf sekali lagi Baginda Raja, Ibunda Ratu dan Tuan
Puteri Owutango serta seluruh kerabat kerajaan ini. Permohonan Tuan Puteri akan
kami bawa pulang, untuk dipertimbangkan oleh majelis kerajaan Hulontalangi,
terutama oleh Sultan sendiri.
Sebagai utusan kami hanya diberikan hak dan kewajiban untuk menyampaikan
maksud yang suci sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya, dan sebagai
utusan kami pula hanya diberikan hak untuk menerima putusan untuk dibawa
pulang.
Pertimbangan dan jawaban adlaah di tanga nSultan dan kerabat kerajaan
Hulontangi. Hanya kami bermohon kembali kepada Baginda Raja kiranya
perkenankan dahulu kami menyampaikan hasil perundingan dan putusan puteri
Owutango, dan juga kiranya Baginda Raja berkenan pula menerima kami kembali
untuk mempersembahkan hasil pertimbangan kerajaan dan Sultan Amai.
Baiklah jika demikian… akhir dari pembicaraan tuan-tuan sebagaimana yang
telah diadatkan dan sepatutnya kami menghargai dan menghormati. Sampaikan
salam kekeluargaan untuk menilai dirinya sebagai putera mahkota Kerajaan
Hulontalangi.
Kesempatan inilah membulatkan keyakinannya untuk memeluk Agama Islam,
akan tetapi bagaimana dengan Ayahanda Baginda Raja Hulontalangi? Perubahan
sikap sang Sultan mempengaruhi kegiatan para pengawalnya dalam menjalankan
perintah. Ada keresahan di hati mereka, selama Sultan Amai bersemedi
(mengasingkan diri).
Meraka pula tidak menghendaki perkawinan Sultan Amai gagal, karena bagi
bagaimanapun juga hati mereka telah tertambat dengan cara-cara Baginda Raja
menjamu mereka selama di istana, dan kehalusan budi pekerti dari Puteri
Owutango.
Akhirnya keresahan itu sirna, ketika Sultan Amai menyatakan kesediaannya untuk
memeluk agama Islam. Dengan tegas Sultan memerintahkan seorang utusan
kembali ke Kerajaan Hulontalangi untuk memberitahukan perkawinannya dengan
Puteri Kerajaan Palasa.
Jika ada di antara para pengikut tidak mau memeluk Agama Islam, Sultan kembali
memerintahkanagar pulang bersama utusannya. Namun ternyata seluruh para
pengawal telah siap mengikuti keyakinan Sultan Amai.
Pernikahan itu begitu meriah di kerajaan Palasa. Selama empat puluh malam dan
empat puluh hari pesta rakyat, di Kerajaan Palasa, karena suka cita mereka akan
Puteri Owutango yang telah mendapatkan jodoh, setelah sekian banyak pangeran
dari negeri seberang yang tidak kembali karena adanya persyaratan yang
dimajukan Puteri Owutango kepada mereka.
Meraka bagai matahari dan bulan,Sultan para pengwal, tinggal di kerajaan selama
tiga tahun, dan mereka mempergunakan kesempatan untuk mendalami ayat-ayat
suci Al-Quran dan hokum Fikih. Ternyata Sultan Amai tidak saja mahir dalam
perburuan, tetapi juga mahir dan fasih menyampaikan risalah Islam kepada
daerah-daerah yang belum mengenal agama islam. Kami kepada Baginda Raja
Hulontalangi, kerabat istana dan kerajaan terutama Sultan Amai sendiri.
Kami iringi kepergian tuan-tuan dengan do’a restu kami sekeluarga, Insya Allah
Tuhan melindungi dan melimpahkan rahmatnya kepada keluarga anda sehingga
dapat kembali berkumpul dengan mereka dalam keadaan rukun dan damai.”
Demikianlah, lama Sultan merenung ketika mendengar jawaban putusan sang
puteri tambatan hatinya. Helaian rambut tiga hasta itu tidak pernah lepas dari
tangannya. Selama sebulan Sultan mengasingkan dirinya bersemedi di atas altar
batu yang bersejarah dalam hidupnya, untuk menetapkan suatu keyakinan untuk
memenuhi persyaratan sang Puteri Owutango.
Tentang agama Islam, Sultan telah tidak mengasingkan lagi akan kebenaran
agama itu. Ia telah banyak mempelajarinya dari para pedagang Islam dari benua-
benua tetangga. Namun keberaniannya untuk menjadi pengikut Muhammad
belum terlaksana, karena situasi dan kondisi Kerajaan Hulontalangi belum
memukinkan.

SULTAN AMAI
Genap sudah tiga tahun. Sultan Amai memboyong sang istri untuk
kembali ke daerah asalnya di Kerajaan Hulontalangi. Selama tiga tahun mereka
hidup rukun dan bahagia, namun belum ada tanda-tanda kehamilan pada Puteri
Owutango. Hal ini tidak lepas juga dari perhatian sang Baginda Raja Palasa.

Pada suatu hari, Baginda memanggil puterinya, lalu ditanyai tentang


kerelaannya meninggalkan istana. Sang Puteri hanya meneteskan air mata sambal
memeluk ayahnya, iapun berkata: “Sebagai muslimah saya menghargai haknya
untuk mendampingi suami kemana saja ia pergi. Namun saya juga berhak akan
meninggalkannya, apabila ia tidak lagi mematuhi ajaran-ajaran agama, dan
mengabaikan kewajibannya sebagai suami. Insya Allah, jika Tuhan berkenan,
saya memohon doa restu ayah, untuk di karuniai seorang anak laki-laki,
sebagaimana harapan Baginda Raja. “Tahun 1525 Kerajaan Hulontalangi, telah
siap menerima kedatangan Sultan Amai bersama iistrinya Puteri Owutango.
Baginda Raja Hulontalangi telah menyiapkan tempat khusus untuk tempat tinggal
mereka tidak jauh dari pusat kerajaan, yang bernama Hunto.
Penyambutan dan penerimaan secara adatpun dilaksanakan, yaitu
perangkat raja-raja yang tergabung dalam Kerajaan Hulontalangi dikumpulkan
sebagai berikut : Raja Tumelo, Raja Buta’iyo, Raja Bulango, Raja Huangobotu,
Raja Dembe, Raja Padengo, Raja Tabango, dan Raja Biawa’o.
Kedelapan raja inilah yang mempersiapkan upacara penyambutan Sultan
Amai dengan secara adat kebesaran Kerajaan Hulontalangi. Raja Kerajaan Palasa,
Baginda Ogumoyolo memerintahkan delapan orang raja di bawah, atau bagian-
bagian Kerajaan Palasa masing-masing bernama : Raja Tamalate, Raja Tambo’o,
Raja Tieningo, Raja Hulangata, Raja Siduan, Raja Sipayo, Raja Soginti dan Raja
Bunuyo, sehingga penyambutan Sultan Amai sangat meriah, masing-masing
melaksanakan adat kerajaannya.
Raja Matolodula Da’a yang dikenal dengan namanya dalam sejarah
dengan sebutan Raja Wadipalapa, yang berkedudukan di Suwawa sebagai pusat
Kerajaan Hulontalangi, memerintahkan agar pesta rakyat dilaksanakan selama
empat puluh hari empat puluh malam dengan kesenian daerah/kerajaan masing-
masing.
Dari Kerajaan Hulontalangi, kesenian rakyat adalah permainan seni bela
diri yang disebut Toonggade, dan seni tari yang disebut Sengge Keelo, dengan
menampilkan gadis-gadis cantic yang menawan hati. Tak ketinggalan pula
permainan judi dan menyambung ayam, diselingi dengan tuak enau, sehingga
selama pesta rakyat itu banyak terjadi perkelahian, dan kemaksiatan lainnya.
Peta rakyat ini sangat menarik perhatian Puteri Owutango. Banyak hal-hal
yang ditemukan untuk diajukan kepada Sultan Amai, agar dapat dirubah
disesuaikan dengan yang ada di Kerajaan Palasa.
“Suamiku Sultan Amai, aku telah paham, bahwa dari persyaratan yang kau
laksanakan ternyata tidak seluruhnya kau tepati. Tentunya keadaan ini tidak akan
merubah jalan kehidupan rumah tangga kita. Hanya satu hal yang kuharapkan,
agar kau daoat memegang teguh amanat ayahku, Baginda Raja Palasa, yaitu
dalam situasi yang bagaimanapun syiar agama Islam kita sebarluaskan”, tutur
Puteri Owutango pada suatu malam ketika mereka sedang duduk-duduk
menghirup udara senja.
“Itulah yang kupikirkan, wahai istriku. Merubah situasi yang seperti ini
memerlukan waktu yang agak lama, sedangkan kebiasaan penduduk dengan
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama telah berurat berakar dalam
kehidupan mereka. Tentunya sulit di tengah-tengah kegembiraan mereka
menyambut kita, kita langsung menerapkan syiar agama, apalagi yang
menyangkut kebiasaan mereka seperti berjudi dan minuman keras. Kesempatan
masih ada, lagi pula hal ini telah kurundingkan dengan para pengikut kita,
menyusun strategi penyebaran agama Islam pada penduduk”, jawab Sultan Amai.
Sultan Amai rupanya belum dapat membaca apa yang tersirat dalam
pikiran Puteri Owutango, istrinya. Diam-diam istrinya telah mengatur strategi
pemerintahan, bahwa daerah Tamalate akan dijadikan pusat penyebaran agama
Islam di bawah pemerintahannya, sedangkan Sultan Amai mewilayahi daerah
Tieningo (Siendeng), terjadilah dua kerajaan, yaitu kerajaan Tamalate dan
kerajaan Tieningo.
Kerajaan Tamalate di bawah pimpinan Puteri Owutango, sedangkan
Kerajaan Tieningo di bawah pimpinan Sultan Amai. Membangun mesjid,
pembaruan adat pada kedua kerajaan itu mulai digiatkan. Paham-paham animism
antara lain menutup dan membuat pintu yang baru pada rumah duka, mulai
dihilangkan.
Sultan Amai mulai memperindah dan menata Mesjid Hunto dengan
menjadikan mesjid itu sumber ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah duniawi
dengan bersendikan kitabullah. Sampai saat ini mesjid tersebut masih ada,
walaupun telah ada perbaikan di sana sini.
Suatu ketika, saat di suatu senja, sultan Amai berkata : “Istriku, telah lama
aku mendambakan seorang pengganti diriku, namun sampai saat ini belum
terkabul. Telah empat kali kau hamil, tetapi belum cukup Sembilan bulan jabang
bayi itu menghilang. Keresahan ini kadang-kadang menjadi beban pemikiranku
setiap hari.
Mungkin kau terlalu terbenam dengan kegiatanmu setiap hari dengan
urusan pemerintahan dan syiar agama, sehingga kau lupa memikirkan tentang hal
ini seperti yang kukatakan tadi,” ungkap Sultan.
“Itu hanya dugaanmu Sultan, akupun demikian, tetapi sebagai umat
beragama, dan percaya akan kesabaran dan kekuasaan Tuhan Allah, kita
menunggu rahmat itu datang, dan apabila tiada, kita pasrah. Allah Maha Tahu dan
pemelihara kehidupan ini.
Seandainya keturunan kita tidak beroleh dari rahimku, aku rela kau kawin
lagi Sultan, agama menghalalkan cara itu. Hanya yang kumohon kau jangan salah
langkah mengambil jalan pintas, hanya karena keinginanmu terkabul dan menjaga
perasaanku semata-mata.
Sebagai seorang muslim kita harus memiliki sifat keterbukaan , karena hukum dan
aturan mengatasi permasalahan ada terkandung dalam ajaran agama, “jawab
istrinya.
“Untuk kawin lagi, tentunya tidak mungkin, dan hal itu bukanlah suatu
penyelesaian. Kita harus berusaha, dan hal ini telah kita rundingkan bersama
ayahanda Baginda Raja. Kita harus memenuhi dan melaksanakan keputusan
Baginda Raja, yaitu mempersatuakan adat Kerajaan Palasa dengan Kerajaan
Hulontalangi, memohon restu, disaat kandungamu yang kelima ini berumur tujuh
bulan,” jawab Sultan.
“Apa maksudmu, Sultan? Adat apa yang perlu kita untuk menjaga
kehamilan ini ?” Tanya Puteri Owutango.
“Begini, kita persatukan kedua adat kita, untuk merestui jabang bayi di
saat berumur tujuh bulan. Peristiwa adat ini disebut Molontalo, yaitu adat
menolak gangguan setan dengan meraba perut yang dilakukan oleh bidan
kampung, dan pembacaan/pengajian doa shalawat oleh imam. Insya Allah dengan
terlaksananya adat ini, jabang bayi itu akan memenuhi keinginan kita untuk
mendapatkan seorang putera,” jawab Sultan Amai sambal membelai perut
istrinya.
Peristiwa adat Molontalo ini, untuk pertama kalinya diadakan, dan sampai
kini telah membudaya di Gorontalo. Demikianlah Kerajaan Hulontalangi bersuka
cita atas kelahiran seorang putera mahkota, dan oleh Baginda Raja sebagai
eyangnya, memberikan sebuah nama pewaris kerajaan yaitu Matalodula Kiki, atau
Matolodula Kecil.
Cinta dan kasih saying sang puteri tercurah pada anaknya seorang,
sehingga kedua kerajaan ditangani langsung oleh Sultan Amai. Puteranya menjadi
tumpuan harapan meneruskan cita-citanya untuk menjadikan penduduk Kerajaan
Hulontalangi menjadi pemeluk agama Islam yang teguh. Dibekalinya putera
Matolodula dengan ilmu-ilmu agama dan pendidikan kebathinan serta taktis
perang. Para pengawalnya dari Palasa, menurunkan ilmu bela diri dan
menunggang kua.
Sebagai manusia biasa yang dapat dipengaruhi oleh nafsu, dan suami yang
normal, Sultan Amai menagih perhatian yang khusus dari istrinya.namun istrinya
terlalu tenggelam dengan kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Pemikirannya
terlalu syarat dengan cita-cita yang tak pernah terwujud. Pusat kerajaan
Hulontalangi mesih penuh dengan kemaksiatan, agama Islam sukar menembus
pusat kerajaan, kadang-kadang tantangan yang dihadapi adalah cemohan.
Suwawa dan sekitarnya masih terus tenggelam dengan bisikedo salah satu
permainan judi yang mempergunakan persendian tulang kambing atau sapi,
sementara penyambungan ayam menjadi acara pokok di setiap pertemuan.
Sultan Amai mulai merasa diremehkan, situasi rumah tangga mereka
semakin krisis, ditambah lagi dengan msalah pertikaian-pertikaian pendapat dan
masalah bagi hasil. Adakalanya penduduk mulai memfitnah antara Baginda Raja
Wadipalapa denga Sultan Amai.
Sultan Amai mulai merasakan pendiriannya goyah, kekuasaan mulai
merasuk dirinya. Namun Puteri Owutango masih mencoba mengendalikan
suaminya untuk menyadarkan kehilafannya.
“Mengapa harus ada pertengkaran di antara kita Sultan? Bukankah selama
ini, aku telah membantumu untuk menegakkan kalimat tauhid di wilayah kerajaan
ini. Keinginanmu telah terkabul, aku telah mempersembahkan untukmu seorang
putera mahkota, yang saat ini telah mulai berangkat dewasa. Bukankah itu adalah
perwujudan kesetiaanku selama ini?” keluh istrinya.
“aku paham Owutango, tetapi keadaan ini sudah terlambat. Pelayananmu
terhadap diriku, tidak lagi seperti dahulu. Penolakanmu setiap aku melaksanakan
kewajibanku sebagai seorang suami, telah menyimpulkan bahwa engkau telah
berpaling, dan telah mengkhianati ikrar cinta kita.
Engkau malah lebih ceria, apabila bercanda dengan para pengawal dari
Palasa, daripada bercanda/bermanja dengan aku. Aku telah mulai menganggap
rumah ini seperti neraka,” kata Sultan dengan penuh emosi.
“Sultan… sejak kapan aku berpaling dan mengkhianatimu? Tentunya aku
tidak mengharapkan akhir perkawinan kita ini dengan perceraian, hanya karena
kecemburuanmu tanpa alasan! Putera Matolodula sudah akilbaliq (dewasa), sudah
pantas untuk memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Aku telah rela
melepaskan tampuk pimpinan Kerajaan Tamalate untuk dipimpinnya, supaya aku
akan memutuskan perhatian untuk melayanimu. Engkau harus ingat Sultan,
bahwa Kerajaan Suwawa telah terancam dengan pasukan Kerajaan Mongondow,
sementara penduduk semakin asyik menyambung ayam, berpesta pora dengan
arak dan tuak, di tengah-tengah kesibukan permainan besikedo.
Sultan sendiri tidak pernah memikirkan keselamatan Baginda Raja yang
semakin hari semakin tua, sementara risalah Islam tidak pernah Sultan
dengungkan di telinganya (telinga orang tuanya). Itulah yang menjadi beban
pemikiranku, dan juga merupakan suaatu tuntutan persyaratan yang kumajukan
kepadamu di saat Sultan melamar aku.
Sultan telha mengungkap dua rahasia dari ketiga hasta rambutku, namun
satu hasta yang belum, yang kini menjadi tanda Tanya, sanggupkah Sultan
menjalankannya atau tidak,”jawab Puteri Owutango dengan tegas.
Sultan Amai terperangah, namun karena merasa bahwa kewibawa’annya
mulai limbung, ia meninggalkan Puteri owutango, menuju bantayo pobbo’ide
(Balai Permusyawaratan). Berhari-hari ia tak pulang, kewajibannya sebagai
seorang suami mulai terabaikannya.
Tuduhan semakin gencar kepada Puteri Owutango, dengan dalih bahwa
Kerajaan Palasa akan menguasai Kerajaan Hulontalangi. Hal ini telah menyangkut
mertabat Kerajaan Palasa, dan Puteri Owutango tidak dapat dibendung lagi
tekadnya untuk kembali ke daerah asalnya.
Dihimpunnya para pengikutnya dan para pengawalnya, diutarakannya
keinginannya untuk kembali ke daerah Kerajaan Palasa.
“Wahai para pengikutku yang setia. Sultan Amai telah mengingkari janji
setianya terhadap diriku istrinya. Telah bulat keyakinanku untuk kembali
keharibaan Baginda Raja Palasa.
“Ampun Tuan Puteri, hamba berempat, biarlah menetap di sini, karena
bagaimanapun, istri dan anak-anak kami tidak akan ikut serta kembali ke Palasa,
“tutur salah seorang raja dari Palasa.
“Siapa-siapa yang akan tinggal di sini?” Tanya sang puteri.
“Kami berempat masing-masing Raja Tamalate, Tambo’o, Siendeng dan
Hulangata, tuan puteri,” jawab salah seorang dari mereka.
(Ket: dari nama-nama mereka inilah terjadi nama-nama kelurahan yang ada di
Kota Selatan Kota Gorontalo, yaitu Tamalate Siendeng).
“Bagus…, terakhir permintaanku kepada kalian berempat yang akan
tinggal di sini, sebagai pengabdian terakhir pada Kerajaan Palasa, aku mohon
dengan sangat, malam ini juga lubangi semua perahu-perahu yang ada di pantai,
agar kepergianku ke Kerajaan Palasa, tidak akan terganggu dengan para penyusul
yang akan dikerahkan oleh Sultan Amai.
Kepada Raja Tamalate dan Siendeng (Tieningo), jagalah puteraku
Matolodula dengan baik, dan bimbinglah ia dalam mengendalikan pemerintahan,
serta menjalankan syi’ar agama di Kerajaan Hulontalangi.
“Baiklah Tuan Puteri, kami siap melaksanakan perintah tuan puteri dengan
baik,” jawab mereka.
Besoknya menjelang dini hari, empat buah perahu besar telah
meninggalkan pelabuhan Hulontalangi (Milango Lo Hulontalo) menuju ke timur.
Sultan Amai yang tidak mendugaa sama sekali keputusan yang nekad dari istrinya
terperanjat ketika seorang utusan melaporkan bahwa istrinya telah pergi
(berlayar).
Sultan memerintahkan seluruh pengawal untuk menyusul ke pantai. Tiba
di pantai, semua pengawal diperintahkan menyusul dengan perahu yang ada di
pantai namun semua perahu yang ada telah berlubang, sehingga usaha semua
gagal.
Sultan Amai berputus asa dan meyesali semua tindakannya yang sering
menimpakan kesalahan pada istrinya. Seluruh kerajaan gempar akan kepergian
sang puteri. Satu-satunya pelipur lara adalah anaknya, Matolodula, yang
menanggapi bahwa kepergian ibunya adalah karena ulah ayahnya juga.
Perahu yang ditumpangi oleh Puteri Owutango meluncur dengan
tenangnya. Pada hari kelima, tak pernah terbayangkan oleh mereka, bahwa di
lautan berkeliaran pasukan Kerajaan Ternate, yang menyerang Kerajaan Palasa
bagian Timur. Empat pengawal Puteri tertinggal di Biilato, Paguyaman sekarang.
Mereka meneruskan pengembaraannya sampai ke Bumbulan, Paguat.
Perahu dari puteri Owutango tertangkap, dan puteri ditawan. Empat
pengawal menetap di sana (Paguat), mengusai empaat Linula (perkampungan)
yaitu Siduan, Sipayo, Soginti dan Bunuyo. Mereka mengembangkan Agama
Islam, dan membudayakan adat istiadat kerajaan Palasa.
Puteri Owutangodi bawa ke Ternate mengadap Baginda Sultan
Ba’abullah. Melihat paras Puteri Owutango yang cantic jelita, Sultan Ba’abullah
bernenan hatinya mempersunting puteri Owutango sebagai istrinya. Dari
kehidupan rumah tangga yang harmonis, mereka dikarunai seorang putera yang
diberi nama Saharibullah. Puteranya itulah yang menggantikan Sultan Ternate,
setelah Baginda wafat.
PUTERA MATOLODULA KIKI
Kerinduan Puteri Owutango kepada anaknya Matolodula, membuat
hidupnya selalu resah. Di tengah-tengah kemewahan yang dipersembahkan oleh
Sultan Ternate, rupanya tidak meredakan kerinduannya akan puteranya di
seberang. Sampai pada suatu saat Sultan Ternate menanyakan kepada Puteri
Owutango tentang keresahannya, namun hal ini tidak pernah terjawab. Ia takut
Sultan akan berpen-dapat lain, tentang kepada anaknya itu.
Oleh sebab itu, kerinduan yang tidak terwujud, dipendamnya saja dalam
dada, hanya ia selalu bermohon kepada Allah, di suatu saat akan dipertemukan
juga dengan puteranya Matolodula.
Putri Owutango menjadi pendiam, dan mulailah ia memperdalam ilmu
meditasi. Puteranya Saharibullah diserahkannya kepada pakar ilmu kesatriaan,
dan kepada ahli ilmu agama (ulama). Sultan mulai memperhatikan perubahan
sikap dari istrinya. Sultan merasa perlu menghibur istrinya, dari pada memantau
kerajaan (memantau kerajaan belum dilaksanakannya).
Dengan tabah ia selalu menasihati istrinya, bahwa bagaimanapun besarnya
keresahan dalam kalbumu, tidak akan selesai apabila dipendam sendiri. Luluh
juga hati sang puteri mendengar keramahan dan kelembutan kata-kata suaminya.
“Sultan, maukah tuanku, menerima kenyataan atas diriku, apabila di suatu
anakku Matolodula, datang menemaniku di kerajaan ini>” Tanya puteri dengan
manja kepada suaminya.
“Aku ingin kau tidak akan mengingkari kenyataan ini, sebagaimana kau
menerima kenyataan mendapatkan diriku seorang janda yang beranak satuu. Aku
merindukan puteraku, aku ingin titisan darah kakeknya sendiri mengalir pada
tubuh Ananda Matolodula”.
“Hanya itu permohonanmu saying? Kau merindukan anakmu, itu wajar,
karena naluri keibuanmu, bukan begitu? Tentunya kau tidak merindukan Sultan
Amai, bukan?” tutur suaminya sambal berseloroh.
“Sultan..., mengapa sejauh itu pandanganmu terhadap diriku? Kalau aku
masih mencintai Sultan Amai, untuk apa aku kembali ke daerah asalku Kerajaan
Palasa…?” jawab istrinya.
“Ah… tidak apa-apa, aku hanya bercanda saying… Bagiku anakmu adalah
juga anakku. Tentunya aku tidak akan membedakan kasih saying antara Sahari
dan Matolodula. Mereka adalah kakak beradik, putera mahkota dari dua kerajaan.
Mereka perlu memperdalam ilmu agama, agar perjalanan hidup mereka
berguna di dunia dan akhirat. Lagi pula aku membutuhkan generasi penerus kita,
mengembangkan syiar agama di seluruh pelosok kerajaan di belahan utara Selebes
dan pulau-pulau sekitaran Halmahera,” jawab Sultan. Puteri Owutango
mengenggam tangan Sultan lalu menciumnya.
“Maha suci Allah…, terima kasih suamiku, Hilangkanlah kecemburuanmu
itu di hatimu, aku merindukan anakku, bukan Sultan Amai. Keinginanku untuk
menjadikan penduduk Kerajaan Hulontalangi memeluk agama Islam sepenuhnya
belum tercapai. Aku tahu bahwa Sultan Amai tidak mampu menyadarkan
orangtuanya, Baginda Raja Matolodula Da’a untuk memeluk Agama Islam dan
diangkat menjadi tokoh Islam di Hulontalangi. Babi masih merupakan makanan
kebanggaan, serta judi dan minuman keras/arak menjadi adat kebiasaan setiap
pesta dan kenduri.
Menyambungkan ayam, laki-laki memelihara rambut panjang, masih
merupakan tradisi sehingga membedakan antara laki-laki dan perempuan terlalu
sulit. Dayango semakin di Imani, istri piaraan menjadi lambing keperkasaan.
Peranan wombuwa dengan persembahan darah perawan, merupakan suatu
keharusan setiap tahun, dengan dalih menyuburkan tanah. Akibatnya perkosaan,
perzinahan dan pemujaan setan telah menjadi kebiasaan di kerajaan itu, tidak
mengherankan, Kerajaan Tiyeningo dan Tamalate, merupakan sasaran adu domba
karena Sultan Amai dianggap merusak tanah leluhur,” keluh sang puteri.
“Lalu mengapa kau dan Sultan Amai tidak berusaha terus menegakkan
tauhid Allah, di tengah-tengah kemorosotan moral para penduduk, malah hanya
lari meninggalkan suamimu sendirian?” Tanya suami Sultan Ba’abullah dengan
penuh perhatian.
“Itulah kegagalanku, dan itulah biang keladi pertengkaranm dan timbulnya
sifat ketidakpedulianku kepada Sultan Amai. Aku telah dianggap terlalu jauh
mencampuri urusan keluargannya. Keseriusanku memikirkan persoalan itu
mengakibatkan kegairahanku hilang sama sekali, sehingga aku telah melalaikan
kewajibanku sebagai seorang istri. Akhirnya Sultan Amai menuduhku telah
melakukan perbuatan seorang dengan pengikutku. Nafsu dan amarah, dan nafsu
kekuasaan telah merajai hati dan jiwanya.
Tertutuplah jalan untukku untuk mengungkap jalan pemikiran dan
mengatur strategi syi’ar Islam. Ia telah menjauhi bahkan mungkin membenciku.
Hal itu telah kuterima sebagai resiko, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk
kembali ke Kerajaan Palasa,” tutur Puteri Owutango.
“Lalu selanjutnya…?” pinta suaminya sambal membelai rambut istrinya
dengan penuh kasih sayang.
“Lalu aku bertemu dengan pasukanmu. Mereka menangkapku dan
membawanya ke kerajaan ini. Kita bertemu lalu menikah, tentunya hal ini
merupakan suatu babak dari perjalanan hidupku…” jawab istrinya.
“Lalu kau menyesal, atau merasa terpaksa menerima lamaranku. Atau ada
alasan lain…?” Tanya Sultan sambal tersenyum.
“Yah… mungkin juga takdir, atau sejenisnya, aku tidak tahu…, sudahlah…,
masih ada yang lebih penting kita sepakati, yaitu syiar agama dan pengembangan
agama kita di daerah kerajaan mana saja, aku kira itu yang perlu kita benahi….,
ayolah kita tidur, malam telah larut,” kata istrinya sambal menggandeng tangan
suaminya menuju ke peraduan.
***
Di kerajaan Tiyeningo dan Tamalate, Matolodula mulai merasakan, bahwa
ia sering berbeda pendapat dengan ayahnnya Sultan Amai. Dia lebih banyak
diamdari pada mempertahankan pendapatnya di depan ayahnya. Satu-satunya
yang dapat menerima dan mempertimbangkan pikiran dan keresahannya adalah
ibunya Puteri Owutango.
Kini ia seperti kehilangan tempat berlindung, dan tempatnya bermanja.
Pikirannya semakin kalut, dan mulailah ia terbawa arus anak-anak remaja dan
mulai belajar memasuki kehidupan penduduk yang dalam kesesatan.
Sultan Amai mulai khawatir akan sifat-sifat Matolodula yang keras kepala.
Ia sering termenung, dan banyak berkhalwat, memohon keampunan dari Allah.
Kehidupan puteranya mulai tidak teratur. Penasihat istana kewalahan memberikan
bimbingan. Sampai pada suatu ketika Sultan Amai memanggil-nya menghadap ke
tempatnya berkhalwat untuk berbicara dari hati ke hati.
“Aku prihatin dengan keadaan dirimu anakku, kau mulai melupakan
ajaranku dan ajran Ibumu (yang melahirkanmu). Satu-satunya harapan kami
adalah dirimu, putera penerus keturunanku, dan penerus cita-cita ibundamu,”
Sultan Amai memulai pembicaraan.
“Kau mulai hebat anakku, ayah turut salut akan ketegaran dan jalan
pemikiranmu, tapi tentunya tidak akan mengurangi tatakrama adat istiadat leluhur
kita bukan? Anakku, masih banyak pengetahuan yang harus kau kuasai, untuk
meredakan nafsu angkara murka. Dan untuk mencari ilmu pengetahuan itu tidak
saja hanya di kerajaan ini. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat,
demikianlah yang diajarkan Rasul Allah kepada umat manusia yang telah
disempurnakan dengan akal dan pikiran.
Jika kau ingin dirimu lebih hebat dari apa yang kau miliki saat ini, susullah
ibundamu. Kau yang harus banyak berguru dari dia dan kaum alim ulama yang
ada di sana. Kau harus lebih hebat dari ayahmu… kau tidak boleh loyo, dan payah
semangat sebelum berjuang…”
Matolodula mengangkat mukanya, menatap wajah ayahnya, yang mulai
tampak lebih tua. Dari pipi ayahnya mengalir air mata, namun pandangannya tak
berkedip menghujam dada puteranya. Matolodula terenyuh, baru pertama kali ini
selama hidupnya melihat ayah bersedih. Ia bersujud dan mendekap ayahnya,
diciumnya dada ayahnya dengan rasa haru dan kasihan.
“Aku telah gagal anakku… Aku telah mengingkari janji ibumu, sementara
rumah tanggaku hancur berantakan yang berawal dari salah paham dan prasangka.
Aku menyesal… tetapi penyesalan itu terlambat. Aku hanya merasakan ketegaran
jasmani bukan ukuran untuk menaklukkan semua tantangan. Ketegaran jasmani
perlu di tunjang dengan pertimbangan dan kebijaksanaan yang lahir dari alam
pemikiran yang mantap dan terkendali.
Sepanjang kehidupanku, rasanya aku telah banyak menundukkan musuh
dari segala penjuru mata angina, dan dalam kemenanganku aku mendapatkan
penghargaan dengan kedudukan, kekuasaan dan jabatan. Tapi dua musuh yang
ada di depan mata, aku gagal menundukkannya… anakku !
“Siapa-siapa musuh itu ayahanda? Katakanlah, hamba akan mengadakan
penyesalan ayah”.
“Belum saatnya, anakku. Engkau harus mempersiapkan diri, pertahanan
fisik dan mental perlu kau tingkatkan. Anakku, jika usia ini tidak lagi sempat
merobah keadaan, beban itu menjadi tanggung jawabmu. Musuh itu masih
berkeliaran di mana-mana termasuk dirimu, anakku !” tutur Sultan Amai.
“Ayahku Sultan, boleh hamba tahu, di manakah Ibu berada? Apakah ayah
tidak berhasrat untuk menjemputnya dan memulai perjuangan yang baru untuk
merubah keadaan Kerajaan Hulontalangi?”
Ibumu kini berada di Kerajaan Ternate. Aku terlambat untuk
menjemputnya, dan tidak mungkin lagi untuk hidup bersama sebagaimana
sediakala”.
“Mengapa?”
“Ibumu telah dipersunting oleh Sultan Ternate, Sultan Ba’abullah. Sebagai
tawanan pasukan Ternate, ia telah menyerah kepada keadaan yang terjadi.
Di sana telah lahir seorang anak dari ibumu yang menjadi putera mahkota
Kerajaan Ternate, yaitu adikmu diberi nama Saharibullah. Ibumu adalah wanita
yang paling agung, dan menjadi tumpuan kasih saying di hatiku”, Matolodula
menatap wajah ayahnya dengan pandangan yang resah. Terlalu sulit ia menebak
perasaan ayahnya.
“Jika demikian, mengapa ibu menghianati ayah dan menghianati
perjuangan negeri? Itukah akhir kesetiaan yang pernah ayah banggakan ?” kata
puteranya dengan harapan penjelasan lebih lanjut dari ayahnya.
Sultan Amai menarik nafas dalam-dalam, sungguh ia tidak pernah
menduga akan lahir tanggapan dan pemikiran dari puteranya seperti dalam
pertanyaan tadi. Dia merasa perlu memberikan penjelasan yang paling bijaksana,
agar ia tidak akan mendendami ibunya.
“Kuharap kau memandang sesuatu persoalan dengan pikiran yang dewasa
dan tidak dikuasai nafsu. Tadi telah ayah katakana bahwa musuh yang tidak
kelihatan lebih hebat dari musuh bersenjata ampuh. Ayahmu termasuk yang gagal
menaklukkan nafsu. Ayah terlalu banyak menyakiti ibumu, banyak hal yang
seharusnya tidak perlu kau tuduhkan, terjadi antara kami.
Tapi sudahlah… hal ini tidak perlu engkau kaji lebih dalam. Hanya yang
pasti dank au yakini bahwa ibumu tidak membenciku dan membencimu. Ibumu
sampai saat ini sangat merindukan dirimu. Percayalah, ibumu adalah seorang
wanita paling bijaksana, cantik, anggun, dan berwibawa. Ia sangat
menyayangimu, dengan kasih sayang yang tiada akhir. Pertemuan dengan ibumu
adalah suatu keharusan anakku, kau harus mendengar dan melaksanakan perintah
dan petunjuk, baik sebagai seorang ayah, maupun sebagai seorang raja di negeri
ini. Kau paham, anakku?
“Jadi ayah menyuruhku pergi dari sini menyusul ibu, lalu bagaimana
keadaan ayah nanti sepeninggalanku? Ayah… jangan hukum puteramu seperti
ini…” jawab putera Matolodula dengan tersisak.
Sultan Amai tersenyum, ternyata puteranya masih menyayanginya, diusap-
usapnya kepala puteranya, lalu lama dibenamkannya wajah puteranya ke dadanya.
“Kau harus pergi anakku, kau harus menimba ilmu dari negeri seberang.
Harapan ayah harus kau penuhi, jika engkau kasih dan cinta pada raja di kerajaan
ini. Kau harus dapat merubah semua tradisi kebejatan moral (maksiat) yang
dilakukan oleh penduduk, ke jalan yang diridhoi Allah.
Kakekmu tidak mampu, bahkan kakekmu tidak mau memeluk agama kita.
Kakekmu tidak sebagai muslim, karena masih dibuai dengan kekuasaan dan
nafsu. Itulah cita-cita ibumu yang tidak pernah aku penuhi… Kuharap jangan kau
sia-siakan pertunjukkan ini, bekal pertahanan fisik dan mental hanya dapat kau
timba dari Kerajaan Ternate. Jika engkau selamat sampai di seberang, sampaikan
salam dan maaf yang tak terhingga untuk ibumu dan Sultan Ternate, pandai-
pandailah membawa diri dan perbanyaklah ilmu pengetahuan yang bermanfaat
untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Pahamkah kau anakku…?”
“Paham… ayah…, hamba akan berusaha menepati janji dan mena’ati
amanah ini selama hayat dikandung badan… sampai mati,” jawab Putera
Matolodula.

SAHARIBULLAH
Pertemuan Bunda Puteri Owutango dan puteranya Matolodula Kiki, sangat
mengharukan keluarga istana dari Sultan Ternate. Sang puteri menciumi wajah
puteranya dengan isakan sendu melepas kerinduannya. Sultan menyambut
Matolodula dengan penuh keramahan seorang Bapak Kandung yang penuh
dengan kasih sayang dan rasa tanggung jawab.
Matolodula serta melihat ketampanan adiknya Saharibullah, ia merasa
kagum dan menyayangi adiknya seperti menyayangi dirinya sendiri. Saharibullah
selain tampan, juga baik budi bahasanya, dan sangat menghormati kakaknya.
“Kalian berdua seperti pinang dibelah dua… memiliki persamaan wajah
dan persamaan kegemaran…” ujar Sultan ketika melihat keduanya bersiap-siap
berlatih menunggang kuda. Mereka berdua telah diserahkan Sultan kepada
seorang Ulama terkenal dari negeri Mesir.
Di suatu hari, ketika mereka selesai latihan beladiri, mereka berdua
menunggang kuda menuju Tanah Merah, melihat panorama pantai di waktu
matahari terbenam. “Apa saja yang kakak lakukan di Kerajaan Hulontalangi?”
Tanya Saharibullah sambal memandangi abangnya.
“Banyak… Sari, membantu ayahku mengendalikan keadaan negeri dan
mengawasi para petani yang menggarap sawah dan lading milik kami,” jawab
abangnya Matolodula. “Apakah kakak juga berguru menunggang kuda dan belajar
memanah?” Tanya Saharibullah.
Menunggang kuda adalah kegemaranku. Memanah aku kurang
mempelajarinya. Ilmu bela diri yang kupelajari adalah tonggade, yaitu adu
kekuatan dalam posisi duduk, lalu langga adu keterampilan dan kelincahan tangan
tanpa senjata, dan yang disebut longgo yaitu seperti langga tetapi memakai senjata
Sumala, atau keris.
Bagaimana dengan perkembangan agama syiar Islam di Kerajaan
Hulontalangi kak?” “Sayang, baru sebagian yang memeluk itu. Dan ayahku tak
pernah berputus asa, mengajak dan menyebar luaskan ajaran Allah kepada siapa
saja penduduk kerajaan” jawab kakaknya.
Ibu kita sangat baik, kak. Hmmm… beliau pernah bercerita kepada adikku
seorang… Saharibullah…” sambal tersenyum.
Keduanya memacu kudanya masing-masing berbalik pulang menuju ke
istana. Puteri Owutango sangat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah
mempertemukan dia dengan puteranya yang beetahun-tahun dirindukannya.
Apalagi melihat kenyataan kedua puteranya saling menyayangi, rajin menuntut
ilmu, dan mendalami Al Qura’an.
Bertahun0tahun Matolodula menempa dirinya untuk menjadi seorang
kesatria yang berilmu tinggi, menguasai ilmu agama dan pemerintahan.
***
Akhir-akhir ini tampaknya Sultan sibuk benar. Hamper setiap hari beliau
tidak ada di istana. Hal ini mulai menarik perhatian istrinya. Tapi ia segan
menanyakan tentang kesibukan Sultan itu.
Ketika pada suatu malam Sultan kembali dari pemantauan tentang keadaan
bandar Ternate, ia memberanikan diri mendekati Sultan.
“Sultan… tampaknya putera kita telah mahir memainkan pedang, dan telah
matang dalam ilmu-ilmu agama. Aku sangat bangga dan bahagia Sultan dan
sangat berterima kasih atas perhatianmu kepada putera Matolodula. Anak itu
begitu sayang dan menghormatimu, seperti ayah kandungnya. Tapi akhir-akhir ini
Sultan lebih banyak di luar istana dari pada di istana.
Aku tahu bahwa kerajaan banyak memerlukan perhatianmu. Bolehkah aku
sedikitnya mengetahui tentang kesibukanmu di kerajaan, barangkali aku dapat
menyumbangkan pendapat sekedar meringankan beban dan tanggung jawabmu,
suamiku ?” tutur istrinya dengan manja.
Sultan tersenyum, dan memandangi istrinya dengan penuh kasih sayang.
Sedikitpun ia tidak memperlihatkan keresahan, pada hal pikirannya sedang
bergelut dengan berita-berita hangat tentang kedatangan bangsa portugis akan
menanamkan kuku penjajahan di Kerajaan Ternate dan sekitarnya.
Terasa perdagangan mulai merosot, kapal-kapal anak negeri yang menjual
rempah-rempah ke wilayah lain, ditunjuk oleh armada Portugis. Akibatnya
kekacauan melanda arus lalu lintas laut, dan mempengaruhi ekonomi dari semua
kerajaan.
“Aku ingin membahagiakan hidupmu, wahai istriku, selama aku masih
mampu untuk melakukan kewajibanku. Sebagai seorang Sultan yang
memerintahkan negeri ini, tentunya tidak lepas juga aku bertanggung jawab atas
keselamatan penduduk. Hanya perlu engkau tahu, bahwa sudah tiba saatnya
Matolodula untuk kembali, sebagai misi kita ke Kerajaan Hulontalangi…”
Sultan Amai semakin tua, dan tidak berdaya menundukan kerajaan induk
Hulontalangi. Kebrutalan dan kesesatan, dana du domba yang menimbulkan
perang sodara telah merembes ke kerajaan lain, termasuk pada kerajaan Sultan
Amai sendiri…” ujar Sultan dengan nada ramah.
“Dari mana Sultan tahu tentang situasi Kerajaan Hulontalangi?” Tanya
istrinya dengan penuh selidik.
“Dari seorang pedagang rempah-rempah yang lolos dari intaian para
pembajak dalam perjalanan pulang dari Kerajaan Hulontalangi.
Pembajak bukan saja orang Mangindano, tetapi ada juga bangsa-bangsa
asing yang sedang mengadakan ekspansi ke daerah-daerah, mulai membajak
setiap para pedagang, untuk mendapatkan berita situasi tentang daerah sasaranya.
Rupanya sasaran bangsa asing itu telah mengarah ke Kerajaan
Hulontalangi. Dan jika kerajaan-kerajaan itu hanya saling bermusuhan, tidak
dapat membina kesatuan dan persatuan maka kesempatan bangsa asing akan
masuk ke kerajaan tersebut dengan mudah. Sultan Amai hanya mengharapkan
bantuan kerajaan yang seagama di luar Kerajaan Hulontalangi, termasuk Kerajaan
Palasa,” tutur Sultan denganrasa prihatin.
“Apakah Sultan telah membicarakannya dengan Putera Matolodula?”
Tanya istrinya mengandung kecemasan.
:Belum, aku ingin membicarakannya di hadapanmu istriku, agar
Matolodula tidak salah menanggapi pandanganku, bukan begitu?” kata Sultan.
Puteri Owutango termenung memikirkan tentang puteranya.
Rasanya ingin ia menyuruh puteranya itu untuk membantu dan
menyelamatkan ayahnya Sultan Amai. Bagaimanapun ia masih menyayangi
Sultan Amai, apalagi masalah yang seperti ini Sultan Amai sering memintakan
pendapatnya. Diam-diam ia menemui Matolodula, yang pada senja itu sedang
menikmati panorama alam diatas anjungan.
“Ibu, ada apa? Ada yang perlu Ananda bantu?” Tanya putera Matolodula
kepada ibunya.
“Akh… tidak apa-apa. Ibu hanya rindu untuk berbincang-bincang. Selama
ini rasanya kita tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap sebagaimana biasa, karena
kesibukan kita masing-masing. Barangkali cukup waktu anakku untuk bertukar
pendapat dengan Bunda. Apakah kau tidak sibuk malam ini?”
“Masalah apa, Bu? Kelihatannya Ibu sangat serius. Mengapa ayah Sultan
tidak bersama ibu kemari?” Tanya Putera Matolodula.
“Ayahmu ke balairung mengikuti pertemuan para patih kerajaan. Tengah
malam baru ia pulang anakku. Bagaimana dengan hasil latihanmu pada perguruan
itu, apakah sudah dapat diandalkan ilmu-ilmu itu menurut pertimbanganmu?” kata
Puteri Owutango.
“Mengapa ibu bertanya demikian ?” Tanya puteranya.
“Akh, tidak apa-apa. Hanya aku ingin tahu apakah kau tidak rindu pada
ayahmu ?”
“Rindu juga… Bu, barangkali ibu ada berita tentang ayah Sultan Amai,
terutama tentang kesehatan beliau di Hulontalangi,” Tanya puteranya yang sudah
mulai penasaran.
“Ada, Kerajaan Hulontalangi mengalami kegoncangan. Bangsa asing
mulai merebes ke kerajaan-kerajaan di pesisir utara, dengan dalih mencari pasaran
rempah-rempah.
Aku dengar dari Sultan sendiri, bahwa kemerosotan akhlak dan kesesatan
mulai meluas. Ayahmu tentunya sudah semakin tua. Kemampuannya sudah
semakin terbatas untuk menanggulangi kekacauan dan pemberontakan,” keluh
sang puteri.
“Bunda… barangkali sudah tiba saatnya aku harus bertindak, untuk
Kerajaan Hulontalangi, pesan ayahanda masih kupegang teguh. Akhir-akhir ini
aku selalu didatangi bayangan ayah yang menyuruhku segera kembali.
Kadang-kadang aku terjaga dari tidurku, merenungi ucapannya di saat aku
berangkat kemari. Ibunda… perkenankanlah aku kembali, untuk melindungi
kerajaan Hulontalangi. Oh… ibu tidak usah bersedih, jagalah adinda Saharibullah
untuk menegakkan syi’ar Islam di Kerajaan Ternate.
“Baiklah anakku, jika telah bertekad untuk kembali jagalah dirimu baik-
baik, jagalah ayahmu, dan tegakkanlah kebenaran Islam di kerajaan itu. Tentang
kepergianmu kembali ke Kerajaan Hulontalangi akan kusampaikan dan
kurundingkan dengan Sultan dan dengan adikmu Saharibullah, agar keikhlasan
dan restu Sultan senantiasa mengiringi perjalanmu, Nak.
Senja itu tampak kedua putera kerajaan memacu kudanya menuju pantai.
Mereka adalah Matolodula dan adiknya Saharibullah, yang tampan dan ceria
mengadakan latihan bersama di lapangan.
“Sahari… “ abangnya memanggil tanpa menoleh. Pandangannya lepas ke
batas kaki langit, sedangkan tangannya bertumbu pada ke dua lututnya yang
sedang duduk santai pada batang pohon yang telah tua, terdampar di atas pasir
yang putih.
“Ada apa… Kak?” Sahari menoleh sambal memperhatikan sikap abangnya
yang menantap kaki langit. Sahari agak terperangah ketika lama abangnya
menjawab pertanyaannya.
“Maukah kau merelankan aku pergi… kembali ke Kerajaan Hulontalangi,
adikku?” Matolodula menatap wajah adiknya.
“Untuk apa kakak kembali, bukankah kita di sini bersama ibu, lagi pula
tegakah kakak meninggalkan Ibunda yang setiap saat merindukan kehadiranmu?”
jawab Sahari.
“Sahari…, kita laki-laki dan kita berdua adalah putera mahkota. Mengapa
kita terlalu cengeng dalam menempuh kehidupan ini? Apalah gunanya kita
berguru ilmu bela diri, jika hanya kita pakai untuk bermanja di depan ibunda?
Kita perlu bertarung. Kita perlu belajar berjuang mempertahankan kebenaran dan
keadilan, dan bila perlu kita berkewajiban mengusir penjajah dari bumi leluhur
kita, bukankah begitu Sahari?
“Kalau begitu, aku akan ikut bersamamu Kakak, kita tinggalkan Gunung
Gamalama, kita tinggalkan Pantai Luari Tagalaya dan Malifut, serta Danau
Laguna, kita akan pergi mengembara dengan tujuan mengamankan setiap kerajaan
dan kita sebagai misi muslim kita tegakkan kalimat tauhid di mana saja kita
singgah. Bawalah aku kakak bersamamu, supaya kita tidak berpisah…” kata
Sahari sambal memandang abangnya.
“Kau… kau memang hebat adikku… duduklah kembali pada tempatmu
semula. Aku sangat bangga dengan tekadmu… sungguh Kakak telah salah
sangka… oh… Subbahanallah, mengapa terlalu cepat aku meremehkan adikku…”
Matolodula memeluk adiknya, sambal membelai punggungnya.
“Mari kita bicara sebagai dua laki-laki yang dewasa dan memiliki
tanggung jawab adikku! Kita harus berdua berjuang mempertahankan kerajaan
kiita masing-masing. Kau adikku adalah putera mahkota di Kerajaan Ternate, dan
kewajibanmu adalah membela leluhur kira di sini. Dan akupun adalah putera
mahkota yang berkewajiban membela Kerajaan Hulontalangi. Bersyukurlah kita,
bahwa kita berasal dari seorang Ibu yang bijaksana, dan kita mewarisi mehkota
kesultanan dari dua ayah dan dua kerajaan yang berprinsip sama…”
“Jadi bagaimana seharusnya, menurut pendapat Kakak?” Tanya
Saharibullah. “Kita harus pisah, Kerajaan Hulontalangi membutuhkan
kehadiranku, dan membutuhkan pemikir dan pengendali kerajaan. Ayahku Sultan
Amai mengharapkan bantuan untuk mengendalikan kerajaan serta menegakkan
syiar Islam.
Tinggallah kau di sini, kewajibanmu menjaga Kerajaan Ternate, menjaga
Sultan, dan terutama menjaga Ibunda permata hati kita berdua.
Maukah kau adikku, menjaga ibu, mendo’akan kakak, dan memberikan
semangat juang yang tinggi kepada seorang abang yang akan mempertahankan
tanah leluhurnya ?” Matolodula kembali memeluk adiknya.
“Aku paham… Kakak, baiklah kalua begitu, aku akan tinggal di sini,
menjaga kerajaan, dan menjaga ibunda… aku telah mengikhlaskan kau pergi.
Insya Allah kita akan berjumpa sebagaimana Bunda harapkan,” jawab Sahari
dengan berlinang air mata karena sendu dan rindu akan abangnya.
“Terima kasih dik… legalah rasanya hati ini untuk melangkah pergi, Insya
Allah Tuhan senantiasa memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada kita
sekeluarga.”
“Tapi apakah kakak telah rundingkan dengan Ibunda bersama Sultan
tentang rencana ini ?” Tanya Sahari.
“Sudah dik... ibunda malah menyuruh aku harus membujukmu untuk
mendapatkan restu dari adikku tersayang…” kata abangnya sambal tersenyum.
“Ooh… terima kasih Kakakku… marilah kita pulang, Sultan dan Ibunda
barangkali telah gelisah menunggu kita berdua. Tak lama kemudian tampak
mereka berdua memacu kudanya lewat jalan pulang ke Istana.
Di anjungan istana telah menunggu Ibunda dan Sultan yang sejak tadi
mata mereka tidak lepas dari ujung jalan.
“Assalamu Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh !”
“Wa Alaikumssalam Warrahmatullahi Wabarakatuh…” jawab Sultan dan
Ibunda Ratu. Keduanya mencium tangan kedua orang tua yang mereka cintai, lalu
mengambil tempat duduk di sisi Ibunda Ratu.
“Sudahkah kalian berbincang-bincang tentang kepergian abangmu
Sahari?” Tanya Sultan, sambal mempermainkan tasbih di tangannya.
“Sudah Ayah. Kami telah sepakat untuk membagi tugas dan tanggung
jawab terhadap kerajaan dan terhadap ke dua orang tua, kami akan saling
membantu, di saat kerajaan memerlukan bantuan, terutama dalam menegakkan
syiar Islam pada kedua kerajaan yang sama,” jawab Sahari dengan takzimnya.
“Bagus… anakku Matolodula, kepergianmu kali ini adalah misi dari
kerajaan muslim, untuk mengibarkan panji Muslim di tanah seberang. Semua
persiapan keberangkatanmu telah kusiapkan, armada kerajaan akan mengantarmu
samapi keperbatasan dan tinggal beberapa perahu armada yang tangguh
mengawalmu sampai ke Kerajaan Hulontalangi.
“Rerima kasih Tuanku Sultan… hamba mohon maaf dan ampun apabila
selama di kerajaan ini ada kekhilafan yang telah hamba lakukan. Amanat dan
petuah Tuanku Sultan, akan hamba laksanakan dengan penuh rasa tanggung
jawab. Hamba mohon restu perjalanan ini, selamat sampai ke Kerajaan
Hulontalangi.
Hamba pula menitipkan slaam penghormatan dan ucapan terima kasih
kepada Tuanku Syech Darussalam, dan pelatih Ilmu beladiri dan ilmu perang,
yang selama ini telah banyak membimbing hamba dalam asuhannya,” pinta
Matolodula.
“Jagalah ayahmu nak, bantulah Sultan Amai dalam mengendalikan
pemerintahan. Hati-hatilah dengan siasat adu domba, jangan sampai ayahmu
terpancing…” ujar inunda ratu. Puteri Owutango memeluk puteranya. Sebuah
keris kecil dan sebuah ikat pinggang berkepala ukiran emas, diserahkannya
kepada putera Matolodula.
“Bawalah pusaka ini, jagalah baik-baik, aku tidak berputeri. Jika kau
mendapatkan istri shaleh, hadiakanlah pending in kepada istrimu. Insya Allah kau
akan berhasil menegakkan ajaran Allah, dan menjadikan Islam adalah sendi adat
dari Kerajaan Hulontalangi.
Ada perasaan haru dan sedih di hari Matolodula ketika memandangi wajah
ibunya, dan adiknya Saharibullah, namun dikuatkannya hatinya, dibisikannya ke
telinga adiknya : “Jagalah ibunda baik-baik.” Dijabatnya tangan adiknya,
menncium keningnya, dan selesai menjabat serta mencium tangan ibunya Puteri
Owutango serta Sultan Ba’abullah, maka naiklah ia ke perahu yang membawanya
ke Kerajaan Hulontalangi dan ayahnya Sultan Amai!

NAIK TAHTA
Betapa gembira hati Sultan Amai ketika mendapatkan berita bahwa Putera
Matolodula Kiki akan kembali ke Hulontalangi. Raja Wadipalapa kakeknya, telah
merelakan Kerajaan Hulontalangi kepada cucunya Matolodula Kiki.
Suatu hari tahun 1870, Raja Wadipalapa mengundang Sultan Amai dan
Putra Motolodula ke Balai Permusyarawatan.
“Hari ini siding Bantayo Pobo’ide akan memutuskan pelaksanaan
penyerahan pemerintahan Kerajaan Hulonthalangi kepada yang berhak
menggantikan aku sebagai Raja Hulontalangi. Dalam pandangan yang sudah tua
ini aku meyakini bahwa Matolodula mampu, dan berkewajiban memikul tanggung
jawab pemerintahan Kerajaan Hulontalangi.
Namum perlu aku ingatkan bahwa berita kedatangan bangsa asing untuk
menjajah daerah ini, memerlukan persiapan kekuatan pembela kerajaan yang
tangguh dan setia. Rasanya dalam usia yang mulai rapuh ini, harapan untuk
mempertahankan kerajaan aku tak mampu lagi.
Oleh sebab itu, satu-satunya harapan ini kuwariskan kepada cucuku
Matolodula yang baru kembali dari Ternate. Mata bathinku telah melihat akan
kemampuan dan keterampilan cucuku untuk mempertahankan kerajaan ini dari
serangan bangsa asing. Nah, bagaimana pendapatmu cucuku matolodula ?”
Matolodula tertunduk, lalu ia berpaling memandang ayahnya Sultan Amai.
Sultanpun menatap pandangan puteranya denngan penuh harap agar ia menerima
tawaran kakeknya.
“maafkan hamba Baginda Raja. Hamba memohon sebelum cucunda
dilantik, agar penduduk Kerajaan Hulontalangi mengadakan pesta rakyat yang
semeriah-meriahnya,” ucap putera Matolodula dengan takzimnya.
“Apa maksudmu dengan pesta yang meriah itu cucuku ?” Tanya kakeknya
dengan penuh perhatian.
“Sebelum pesta rakyat yang meriah, di mana nanti seluruh kegiatan para
penduduk yang paling digemari dan telah menjadi tradisi di kerajaan ini
dipertontonkan sebagai hiburan rakyat. Seluruh penduduk berpesta pora, masing-
masing kelompok menyiapkan makanan kesukaan mereka. Arak dan tuak
disediakan untuk menyemarakan pesta rakyat. Segala macam bentuk judi,
penyabung ayam, bisikedo, patui, bakubanti, tonggade, langga dan longgo,
silahkan dimainkan, hamba ingin menyaksikan dengan jelas,” ucapnya.
“Tentu…. tentu cucuku…. dan engkau akan dihormati dan dielu-elukan
seluruh rakyat. Sebagai raja yang mewarisi kekayaanku, dan mewarisi sifat-sifat
kepemimpinanku,” jawab Baginda raja dengan bersemangat.
Sultan Amai terperangah, ingin memprotes gagasan gila itu, tapi mulutnya
serasa terkunci. Puteranya menatap ayahnya seakan dia pula telah tahu apa yang
berkecamuk dalam bathin ayahnya.
Ia menatap dengan pandangan yang cukup membiaskan sebuah rahasia
dibalik permintaannya. “Masih ada lagi permintaan hamba Baginda Raja,
bolehkah cucunda menjelaskan kembali rencana pelaksanaan pelantikan hamba
Baginda ?” tuturnya.
“Silahkan…. cucuku…. anak muda yang patut aku banggakan….” jawab
Baginda dan tersenyum.
“Hamba ingin acara pelantikan dilaksanakan di lokasi kerajaan. Hamba
mohon didirikan sebuah panggung yang tinggi, besar dan luas, dan mempunyai
tangga dua buah, sebelah kiri dan kanan, yang disebut tangga tolitihu.
Di tengah-tengah panggung hamba mohon disiapkan sebuah Dulanga
besar. Panggung itu dipagari dengan bambu kuning dengan pilar-pilar bamboo
yang bersilang, dan hamba mohon seluruh raja-raja, ketua-ketua adat, kimlaha,
para hulubalang kerajaan, para wombuwa, panggoba, pantongo dan pegawai
syara’ yang dibawah pemerintahan Kerajaan Hulontalangi, berhimpun di tempat
yang khusus, untuk menyaksikan penobatan hamba.
Pesta rakyat dimulai dua minggu sebelum acara puncak yaitu pelantikan
para primadona pada upacara dayango (tari pemujaan setan), dan seluruh gadis-
gadis cantik di seluruh wilayah kerajaan, agar mulai saat ini berlatih menari
supaya pada malam pelantikan itu dapat hamba pergunakan untuk memilih gadis
perawan yang dapat hamba angkat menjadi istri hamba dan dapat pula menjadi
permaisuri kerajaan.”
Seluruh peserta sidang gemuruh tertawa, juga baginda raja turut bersuka
cita melihat keseriusan cucunya yang telah lanjut usia belum juga menikah.
“Hebat kau, cucuku. Tentu tidak seorang saja yang engkau pilih. Adat
raja-raja di sini, perlu memiliki sepuluh selir di samping seorang permaisuri,
ha….ha…. benar-benar kau mewarisi keperkasaan kakekmu…. Cucuku.
janganlah seperti ayahmu, yang ditinggal istrinya, tak mau menikah sepanjang
hayatnya. Lihat belum apa-apa sudah loyo dan renta….!” jawab baginda raja
sambal menguyah sirih pinangnya.
Sultan Amai menarik nafas dalam-dalam berulang kali ia mengucapkan
istigfar lewat bibirnya yang memucat. Ia sendiri tidak tahu lagi berapa jumlah
sudara-sudaranya, keponakanya, bahkan barangkali cucu-cucu mereka….
nauzubillah….
“Teruskan…. teruskan rencana itu cucuku, akku sema-kin tertarik dengan
gagasanmu….” perintah Baginda.
“Baiklah Baginda Raja, selesai pelantikankusemua penduduk tiada yang
terkecualli, akan menjabat tanganku, naik dari tangga tolitihu sebelah kanan dan
turun pada tangga sebelah kiri, dengan demikian aku dapat mengenal wajah para
penduduk kerajaan ini dari dekat.
Untuk itu pula aku sangat mengharapkan melalui kuasa baginda raja agar
pada hari pelantikanku, tak ada lagi laki-laki yang memiliki rambut panjang,
semua memendekkan rambutnya, mencukur kumisnya, berpakaian rapi dan
bersih. Bagi para wanita, semua mencuci rambut dengan kelapa ramuan, mandi
dengan berlangir, dan memakai rangkaian bunga rampai pada sanggulnya.
Pada malam pelantikan semua dupa akan mengepul asap wewangian. Para
gadis hamba mohon pada acara jabatan tangan, akan mencium tangan hamba, agar
hamba dapat merasakan aliran darah pada tubuh mereka, dan hembusan nafas
mereka di tangan hamba, agar hamba dapat menentukan kesetiaan dan keluhuran
budi mereka, untuk kupilih calon istri”.
“Bagus kalau demikian, semuanya akan kulaksanakan wahai cucuku.
Ternyata kau adalah cucuku yang baik, harapan kerajaan dan harapan semua
penduduk. Tapi satu yang kau lupa…. tolong jelaskan pada sidang ini apa
gunanya Dulanga yang dipersiapkan di tengah-tengah anjungan itu cucuku?”
Tanya Baginda Raja.
“Oh…. ya hamba lupa, bahwa pada acara puncak pelantikan hamba,
semua babi-babi tanpa sisa, agar dipotong dan darahnya di tamping pada Dulanga
tersebut. Hamba ingin menghormati darah babi sebagai makanan kebanggaan
penduduk, mewarnai acara perkenalan hamba pada saat pelantikan itu Baginda
Raja.
Pada kedua tangga tolitihu, agar ditanamkam sebelah menyebelah batang
pinang yang buahnya masih muda, dengan disangga oleh dua buah bamboo yang
menyerupai mulut buaya yang sedang menganga, dan memasang janur sebagai
hiasan adat. Bagi hamba Ngango Lo Huawayo (mulut buaya) adalah perlambang
kedamaian dan janur yang berumbai tidak rata, melambangkan penduduk dengan
segala ragam kehidupannya.
“Bagus, semuanya akan dilaksanakan, masih ada permintaanmu yang
lain?” Tanya Baginda Raja sambal mengusap janggutnya yang putih perlambang
keperkasaannya.
“Terakhirnya permohonan hamba Baginda Raja yang pertama kali
menjabat tanganku adalah baginda sendiri sebagai kakekku yang akan
menurunkan warisan keperkasaanya pada diriku, dan yang terakhir menjabat
tanganku adalah ayahku sendiri Sultan Amai yang mewariskan ketabahan pada
diriku. Itulah permohonan hamba cuumu ini Baginda Raja, hamba mohon maaf
apabila teralalu banyank mencetuskan gagasan dihadapan sidang kerajaan ini”.

***
Pesta rakyaat berlangsung dengan meriah. Bukan saja dua minggu, empat
puluh hari empat puluh malam, pesta itu berlangsung dengan meriah. Sultan Amai
dan puteranya telah membentuk pasukan keamanan yang disebut “Bala” dengan
memilih cabang-cabang persilatan yang tangguh untuk memantau kegiatan
penduduk dan mencegah keributan ataupun perkelahian.
Permainan judi, tarian dayango, pertunjukan ilmu kekebalan, bahkan
pertarungan minum racun ramuan ilmu-ilmu hitam menjadi bahan tontonan yang
cukup mengasyikkan. Pasangan muda-mudi yang mabuk, dan mulai mencari
semak-semak untuk melampiaskan nafsu maksiat, tak lepas dari pemantauan para
anggota bala dan para Paaha (pengawal istana).
Penduduk dari kerajaan-kerajaan lain, datang berduyun-duyun selain
menyaksikan pesta rakyat itu, mereka juga mengikuti pertandingan sepak raga,
menyabung ayam dan judi.
Tibalah saatnya acara puncak yaitu acara pelantikan putera mahkota untuk
dinobatkan menjadi raja Kerajaan Hulontalangi. Dulanga telah penuh dengan
darah babi. Penyembelihan babi secara masaal menambah gairah penduduk untuk
berpesta pora dengan makanan kesukaan mereka.
Seluruh penduduk tua muda, besar dan kecil, semua tampak berpakaian
rapi. Para gadis berdandan secantik mungkin, sebahagian melakukan karena
perintah raja, dan sebahagian karena bertujuan memikat sang pangeran Raja Muda
dan tampan, siapa tahu akan terpilih menjadi teman hidup atau menjadi
permaisuri.
Ketika seluruh rakyat telah berhimpun seluruhnya, putera Matolodula
dengan gagah memakai stelan busana raja, sebuah model yang disebut Bo’o
Takowa Da’a, dengan rantai emas menghubungkan kancing si Raga-raga ke
sakunya yang berisi jam berbingkai emas hadiah sultan Ba’abullah.
Pada ikat pinggangnya berkepala pending emas terselip keris pusaka
Kerajaan Palasa kemudian tertutup oleh sarung sutera berwana keemasan.
Kepalanya memakai alapiah (kopiah), sebuah destar berwarna hijau bertahtakan
emas dan intan. Beliau dinaungi oleh paying-payung kebesaran yang disebut
Toyunga Bilanga, dengan empat warna khas yaitu : merah, kuning, hijau dan ungu
yang disebut tilabataila.
Di sisinya berjalan ayahnya Sultan Amai dengan busana seorang syekh
dengan seragam jubah putih, dengan untaian tasbih (tatudi) di tangannya. Saat
menaiki tangga tolitihu masih sempat Matolodula membisikan kepada ayahnya
Sultan Amai : “Betapa bahagianya jika Ibunda Ratu Owutango turut menyaksikan
peristiwa yang mengukir sejarah Islam di daerah ini, bernilai tinggi untuk generasi
sesudah kita, ayah.”
Sultan Amai mengangguk, ada genangan air mata pada pelupuk matanya,
pertanda kebahagian berbaur dengan rasa haru. Mereka melangkah terus dengan
pasti menuju anjungan sementara gendering kebesaran dan laga sayiya
mengalunkan irama mengatur langkah sang raja muda belia itu.
Baginda Raja Wadipalapa telah menunggu di anjungan dengan perangkat
kerajaan dan para raja-raja lainnya sebagai tamu agung. Genderang tanda
pelantikan dimulai. Para ketua adat menghaturkan sembah, lalu dengan tuja’i
(syair) mempersilahkan Baginda Raja Wadipalapa, mengganti alapiah dengan
makuta (mahkota) di atas kepala Raja Muda Matolodula, dan sekaligus
menyerahkan tongkat serta keris pusaka milik kerajaann kepada cucunya.
Genderang penobatan gagap gempita, dan semua penduduk riuh
mengucapkan selamat kepada Raja Matolodula. Putera Mahkota Matolodula
resmilah menjadi Raja Hulontalangi.
Tibalah saat acara puncak jabatan tangan untuk sang Raja. Sultan Amai
mengatur tatacara rakyat untuk naik ke anjungan yaitu menurut kelompok
kerajaan. sesuai acara yang mula pertama yang menjabat tangan Raja Matolodula,
adalah raja Wadipalapa untuk mempergunakan kesempatan itu.
Ketika mereka bertatapan, Raja Matolodula mencelupkan telunjuknya ke
dalam Dulanga, dan meletakkan telunjuknya itu tepat di tengah-tengah dahi beliau
(bonto), lalu ia memeluk kakeknya, sambil membisikkan :
Tanda di atas dahimu sang Raja
Saksi nyawa dan dirimu (jasadmu)
Islam adalah agamamu sang Raja
Muhammad yang harus kau ikuti
Qur’an kitabmu yang mengantar
Akhirilah makan yang haram.
Selesai Raja Wadipalapa, berturut-turut para pemangku adat, dan ketika
penduduk mulai menjabat tangannya, maka dengan lantang Raja Matolodula
mengiringi bonto dengan kata-kata “terakhir kali ini kau makan”.
Raja Wadipalapa terperangah, sungguh di luar dugaannya bahwa cucunya
sebijak itu menjadikan penduduk menjadi muslim dalam waktu sehari saja.
Beliau merasa kagum dan merasa tidak bernilai apa-apa yang telah
dilakukannya untuk kerajaan Hulontalangi selama ini, selesai pemberian bonto,
maka putera Raja Matolodula dengan lantang meneriakan tiga kali, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar dan semua rakyat membalas Allahu Akbar. Lalu
Matolodula mengucapkan dua kalimat syahadat, yang diikuti oleh seluruh rakyat
yang hadir.
Saudara-saudara seluruh rakyat Hulontalangi, hari ini aku rajamu, Islam
agamamu, Muhammad Nabi junjunganmu, Al Qur’an adalah kitab sucimu, dan
pengucapan dua kalimat syahadat adalah pengakuanmu, bonto menjadi saksi
penobatan sebagai muslim di dunia dan di akhirat.
Empat puluh hari, siang dan malam, semua rakyat telah melakuakn apa
yang dilarang oleh Islam, makanan yang haram telah berakhir dengan darah babi
di atas dahimu, sebagai sumpah pembersihan diri. Darah babi itu harus kalian
hapus dengan bersujud melaksanakan lima waktu, dan apabila kamu sia-siakan
maka bontho itu akan muncul dan menghalangimu masuk sorga.
Oleh sebab itu, mulai hari ini, aku tidak melihat lagi ada para penduduk
yang memelihara babi. Sebagai raja aku telah mengangkat sumpah apabila
makanan yang haram ini akan singgah di tubuhmu tidak akan selamat dari segala
macam penyakit kulit sampai engkau ingat dan sadar akan kekeliruanmu.
Mulai peristiwa inilah, setiap acara adat pengislaman upacara khitanan
(penyunatan) atau mandi-lemon anak-anak, diberi bonto, namun oleh karena pada
saat ini, tiada lagi pemotongan babi, maka darah pada mahkota ayam jantan
menyerupai warna darah babi. Perkembangan jaman berjalan terus maka
ditemukan bahwa percampuran kunyit dengan kapur mereka manfaatkan sebagai
darah mahkota ayam, pada setiap upacara adat, dan telah dikenal dengan nama
alawahu-tilihi.
Demikianlalah Kerajaan Hulontalangi, aman dan damai di bawah
pimpinan Raja Matolodula, dan syair Islam mulai semarak (menyebar luas),
sehingga Sultan Amai dapat mendirikan mesjid Hunto di Tiyeningo (Siendeng),
yang sampai saat ini sebagai bukti autentik sejarah kerajaan Hulontalangi yang
menjadi pusat perkembangan Islam untuk daerah sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai