Anda di halaman 1dari 154

NANDAR

HIDAYAT

NANDAR HIDAYAT


SANTANA

&
GARUDA BULU EMAS

1

NANDAR HIDAYAT

ENDORSMENT

Kisah yang ditulis oleh Bung Nandar ini,bersetting di zaman Sunda


Kuno, yakni zaman Kerajaan Sunda Galuh, sekitar abad 7 Masehi,
dimana terjadi konflik antara Prabu Tarusbawa dan Wretikandayun.

Namun, lakon yang terjadi sebagian besar memang adalah “fiksi”


yang bermain di zaman tersebut. Dan memang begitulah novel silat
sejarah pada umumnya.

Tujuannya memang bukan mencari kebenaran sejarah yang mutlak,


karena toh ternyata memang tidak ada kebenaran mutlak dalam
penulisan sejarah.

Tujuan novel ini tentunya memperkaya nuansa sejarah, agar punya


aroma hiburan, serta menjadi titik pijak bagi penggemar sejarah
untuk memperkaya wawasan sejarahnya, serta bagi generasi muda,
berfungsi bagi “pintu pembuka” untuk menyelami lautan sejarah
lebih mendalam.

-Viddy AD Daery , penulis novel sejarah--- serial “Pendekar


Sendang Drajat”

2

NANDAR HIDAYAT

SANTANA adalah anak seorang pimpinan perampok yang kejam


dan ganas. Namun dalam hati sanubarinya memberontak terhadap
perbuatan ayahnya. Sebaliknya dia ingin menjadi seorang pendekar
yang berbudi luhur dan suka menolong yang lemah.

Beruntung saat usianya masih kecil ketika ayahnya ditangkap oleh


pasukan prajurit khusus, seorang resi menolongnya,
mengangkatnya jadi anak dan mendidiknya dengan ajaran budi
pekerti yang luhur. Selain itu dia juga digembelng dengan ilmu-ilmu
silat yang diajarkan sang resi sehingga dia menjadi seorang
pendekar yang tangguh.

Setelah dewasa dia diberi tugas oleh sang resi untuk membantu
perjuangan Sanjaya, saudara seperguruannya, seorang pangeran
Galuh yang dititipkan karena di istana Galuh telah terjadi
penggulingan kekuasaan.

Namun jalan yang ditempuh Santana tidak serta merta langsung


membantu sahabatnya itu. Dia harus mengembara dulu seorang diri.
Dalam pengembaraannya ini dia melakukan banyak hal di antaranya
berbuat baik kepada orang-orang yang dahulu telah dirampok
ayahnya.

Dan berbagai halangan serta rintangan lainnya yang dihadapi


Santana sampai dia bertemu dengan GARUDA BULU EMAS.

3

NANDAR HIDAYAT

1.

ASMARA TERLARANG DI ISTANA GALUH

Suara Kendang Rampak menghentak diiringi alunan gamelan


berirama Ketuk Tilu, ditabuh sekelompok nayaga dengan penuh
semangat membuat suasana pesta di malam bulan purnama di
dalam istana Galuh semakin meriah. Beberapa gadis manis
berparas jelita tampak melenggak-lenggok lemah gemulai
memperagakan tarian Ketuk Tilu. Tarian yang cukup terkenal pada
masa itu. Semua orang yang menyaksikan tampak terhanyut dalam
alunan gamelan yang menghentakkan jantung dan terbuai oleh
keindahan gerakan penarinya. Bahkan sampai ada beberapa orang
yang melantai ikut Ngibing bersama penari yang cantik-cantik itu.

Pesta yang diadakan di istana tepatnya di ruangan besar


yang bernama Bale Gede sebuah ruangan khusus untuk menjamu
para tamu kerajaan dan acara-acara khusus seperti Istrenan atau
penobatan termasuk juga pesta semacam ini. Ruangan ini tidak
berdinding maupun sekat, hanya ada atap yang berbentuk indah
terbuat dari kayu yang ditopang tiang-tiang berjumlah banyak di
setiap sisi dan sebagian di tengah ruangan yang juga terbuat dari
kayu besar seperti kayu jati.

Ini adalah pesta yang diadakan oleh raja sekaligus pendiri


kerajaan Galuh, Prabu Wertikandayun. Sebagai rasa syukur atas
kemajuan yang telah dicapai kerajaan Galuh yang baru beberapa
tahun berdiri. Selain untuk para pejabat dalam istana dan kerabat
keluarga istana, Prabu Wertikandayun juga mengundang seluruh
raja-raja bawahan kekuasaan Galuh dengan maksud agar mereka
pun ikut merasakan kesenangan itu.

4

NANDAR HIDAYAT

Prabu Wertikandayun juga memiliki sifat yang rendah hati,


tidak membeda-bedakan siapapun dimatanya. Tampak sang prabu
dengan pakaian kebesaran raja yang penuh wibawa yang di
kepalanya melingkar tanda kebesarannya yaitu Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake, ikut berbaur bersama raja-raja bawahannya
menikmati suasana yang meriah ini, bahkan tampak sesekali dia
bercanda ria, menganggap semua orang seperti teman
sepermainannya. Sehingga para raja bawahan merasa lebih dekat,
tidak merasa sungkan yang berlebihan, dan menjadi lebih hormat
serta setia kepada Sang Maha Raja yang kedudukannya paling
tinggi di Galuh. Hal ini membuat tali persaudaraan di antara mereka
semakin erat.

***

Di antara semua orang yang tampak larut dalam


kegembiraan, ada satu orang yang sepertinya tidak merasakan hal
itu. Seorang lelaki muda berwajah tampan dan gagah yang di
keningnya melingkar sebuah mahkota kecil yang duduknya agak
terpisah dari yang lainnya, matanya selalu memandang kearah
barisan tempat duduk permaisuri beserta para putri keraton. Dialah
Raden Amara putra bungsu sekaligus calon pewaris tahta Galuh.
Sang Putra Mahkota.

Dia tidak tertarik oleh gemulainya para penari, dia tidak


tergoda oleh nikmatnya makanan yang dihidangkan, dia juga tidak
tergiur oleh manis dan segarnya buah-buahan dan aneka minuman.
Dia lebih tertarik dan memperhatikan seseorang yang duduk
disebelah ibundanya yang berada di barisan tempat duduknya para

5

NANDAR HIDAYAT

putri keraton. Seorang perempuan yang cantik rupawan berkulit


kuning langsat telah mempesonakan sang pangeran, membuat
kedua matanya seolah tak mau berkedip, jantung berdetak kencang
dan perasaannya tak menentu.

Seorang perempuan yang mengingatkannya dulu ketika dia


ditugaskan oleh ayahandanya untuk menyampaikan surat penting
kepada Prabu Tarusbawa, Maharaja baru di Tarumanagara. Surat
yang berisi bahwa semua wilayah yang berada di sebelah timur
sungai Citarum tidak lagi mengakui kekuasaan Tarumanagara dan
memisahkan diri sebagai kerajaan yang berdaulat penuh di bawah
bendera Galuh dengan Prabu Wertikandayun sebagai rajanya.

Ketika di perjalanan menuju Tarumanagara, secara tak


sengaja Raden Amara berjumpa dengan seorang gadis yang
kecantikannya begitu mempesona. Saat itu dia merasa gerah dan
ingin mandi sebentar karena kebetulan dia melewati satu sungai
kecil yang airnya tampak bening dan segar mengalir di antara
bebatuan sungai yang berwarna hitam gelap.

Begitu sampai di sungai dia melihat seorang gadis yang baru


saja selesai mencuci pakaian. Seorang gadis dengan rambut hitam
panjang terurai, wajahnya begitu anggun memancarkan kelembutan,
dia mengenakan pakaian atas berupa kemben disambung dengan
pakaian bawah berupa Sinjang yaitu sebuah kain panjang yang
biasanya bercorak batik.

Karena begitu cantiknya Raden Amara sampai terpana, dia


lupa kalau dia hanya ingin mendinginkan badannya di sungai.
Perasaanya jadi berdebar-debar. Sungguh gadis yang teramat
cantik seperti bidadari yang turun dari Kahyangan. Sementara si
gadis yang berkulit kuning langsat dan terlihat begitu mulus
pertanda dia selalu merawat tubuhnya dengan baik jadi tersipu malu
dipandang oleh seorang pemuda yang gagah lagi tampan,

6

NANDAR HIDAYAT

diam-diam hatinya pun tertarik kepada ketampanan si pemuda.

“Hyang Widi Yang Agung!” ucap Raden Amara. “Apakah


engkau telah menurunkan bidadari-Mu disini?” lanjutnya yang
merupakan sebuah pujian atas kecantikan si gadis.

Si gadis yang rambutnya panjang terurai lurus sampai


menutupi punggungnya tertunduk semakin tersipu malu.

“Tuan jangan mengigau,” katanya agak gugup. Suaranya


begitu lembut dan merdu semerdu suara suling Sunda dan semakin
memikat hati Raden Amara. “Saya bukan bidadari, saya hanya
menusia biasa.”

“Tapi, aku seperti melihat bidadari!”

“Ah, tuan terlalu berlebihan…” walaupun menunduk tapi


sesekali dia melirik juga karena ingin melihat ketampanan pemuda
di depannya.

“Siapa namamu?”

Si gadis tampak malu untuk menjawab, namun akhirnya dia


mengatakan juga namanya.

“Pohaci Rababu!” jawabnya.

“Ooh, nama yang begitu indah seindah orangnya…” lagi-lagi


sang pangeran memuji, sepertinya dia sudah benar-benar terpikat
oleh si gadis yang bernama Pohaci Rababu ini.

“Maaf, tuan siapa?” tanya Pohaci Rababu memberanikan diri.

“Aku Amara!” Jawab sang pengeran yang membuat si gadis


tampak terkejut. Rupanya dia mengenal nama Amara adalah salah

7

NANDAR HIDAYAT

seorang putra raja Galuh. Maklumlah si gadis tidak tahu karena saat
ini Raden Amara berpenampilan seperti rakyat biasa saja, yaitu
memakai baju tanpa lengan tanpa kancing yang ujung bawahnya
diikat oleh ikat pinggang yang sekaligus mengikat celana
komprangnya di bagian bawah. Maka dengan segera dia menjura
hormat kepada si pemuda.

“Maafkan saya Raden…”

“Tidak usah seperti itu, nyai!” potong Raden Amara seraya


memegang pundak Rababu hendak mengangkatnya supaya tidak
berlutut. Hyang, alangkah lembutnya kulit Rababu saat dipegang,
ingin rasanya dia memegang lebih lama. Tapi segera dilepas
kembali.

“Nyai Rababu…”

“Ya, Raden…”

“Sebenarnya aku ingin lebih lama lagi bersama Nyai,


mengunjungi rumah Nyai, berkenalan dengan orang tua Nyai, dan
ingin lebih akrab lagi dengan Nyai…” Kata Raden Amara pelan yang
secara tidak langsung mengungkapkan perasaanya kepada Rababu
walaupun baru bertemu sekarang.

Rababu hanya diam, rupanya dia juga memiliki perasaan yang


sama kepada raden Amara. Sekarang gadis ini memberanikan diri
menatap sang pangeran. Ternyata pengeran dari Galuh ini memang
gagah, tidak dipungkiri kalau dia juga telah jatuh cinta kepada sang
pangeran.

“Tapi…” lanjut Raden Amara. “Saat ini aku sedang


mengemban tugas dari ayahanda Prabu mengantarkan surat kepada
Prabu Tarusbawa di Tarumanagara. Tapi aku berjanji sepulangnya
dari sana aku akan menemui Nyai kembali. Maukah Nyai

8

NANDAR HIDAYAT

menungguku?”

Beberapa saat Rababu terdiam lalu menjawab. “Ya, Raden!”

Raden Amara merasa senang mendengar jawaban itu.


Hatinya seperti melambung tinggi ke angkasa. Tampaknya si gadis
sudah membukakan pintu buat dirinya. Kemudian dia pamit untuk
melanjutkan perjalanan.

Selama di perjalanan dia selalu terbayang akan pesona


kecantikan Pohaci Rababu, seperti ingin cepat-cepat kembali
menemui sang pujaan hatinya lalu membawanya ke istana.

Oleh karena itu raden Amara mempercepat perjalanannya.


Sesampainya di Tarumanagara dan menyerahkan surat titipan
ayahandanya, ternyata dia baru mengetahui kalau Prabu Tarusbawa
telah mengganti nama Tarumanagara menjadi Sunda. Dan
tanggapan atas isi surat itu dia tidak mempermasalahkan kalau
Galuh dan semua wilayah disebelah timur sungai Citarum
memisahkan diri asalkan berjanji kedua kerajaan akan
berdampingan selalu dengan damai dan tidak akan saling
menyerang satu sama lain.

Begitu Raden Amara sudah mendapatkan jawaban dari Prabu


Tarusbawa, dia segera kembali ke Galuh. Tapi sesampainya di
istana dia sangat terkejut ternyata Pohaci Rababu telah dinikahkan
oleh ayahandanya dengan kakak pertamanya Rahyang
Sempakwaja.

***

9

NANDAR HIDAYAT

Raden Amara belum juga menolehkan pandangannya. Dia


seperti menyelami dalam-dalam kecantikan Pohaci Rababu dari
jauh. Seperti tidak ingin melepasnya walaupun dia tahu sekarang
gadis anggun yang dijumpai di sungai dulu telah menjadi istri
kakaknya. Tapi rasa cintanya kepada Rababu belum hilang.

Sejak pernikahan Rababu dengan kakaknya itu, Raden Amara


tidak pernah lagi melihat perempuan pujaan hatinya karena Rababu
diboyong oleh suaminya ke tempat tinggalnya yaitu sebuah
padepokan sederhana di daerah gunung Galunggung. Karena
Rahyang Sempakwaja, suami Rababu, lebih memilih hidup sebagai
seorang Pandhita atau Resi ketimbang mengurusi tugas
kenegaraan. Jadi, Rahyang Sempakwaja beserta Pohaci Rababu
tidak tinggal di istana.

Akan tetapi rasa cinta Raden Amara yang semakin


menggebu-gebu terhadap Rababu membuat dia tidak bisa
melupakannya begitu saja. Setiap saat yang ada dalam pikirannya
hanyalah Rababu, wajah perempuan rupawan itu selalu terbayang.
Semakin hari semakin bertambah berat rasa rindunya kepada
Rababu. Dan dia pun hampir gila. Untung saja dia mendapat akal
bagaimana caranya agar dia bisa berjumpa lagi dengan Rababu.

Dalam sebuah pasewakan rutin antara raja dengan para


pejabat istana di ruangan yang bernama Bale Mangu. Raden Amara
menyampaikan sebuah usul yang sebenarnya hanyalah akal-akalan
saja agar dia bisa berjumpa dengan Rababu.

“Ayahanda prabu,” ucap Raden Amara sambil menjura hormat


kepada Prabu Wertikandayun yang duduk di kursi kebesaran raja
dengan sikap penuh wibawa. “Bolehkah ananda mengajukan sebuah
usul?”

“Apa yang ada di benakmu, ananda?” balik tanya sang Prabu

10

NANDAR HIDAYAT

sambil terenyum. “Sebuah usul, apa itu?”

“Begini ayahanda…” Raden Amara menarik napas sejenak.


“Semenjak Galuh memisahkan diri dan berdaulat penuh dari
Tarumanagara yang kini berganti nama Sunda. Kerajaan ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mungkin lebih
maju dibandingkan dengan Sunda…” Raden Amara berhenti sejenak
untuk menarik napas.

“Lanjutkan, ananda,” sela Prabu Wertikandayun seraya


menyapukan pandangan ke semua orang yang hadir.

“Ada baiknya ayahanda prabu serta kita semua yang ada di


istana mengadakan acara pesta sebagai rasa syukur kepada Hyang
Widi atas kemajuan yang telah kita capai…”

“Oh, bagus, bagus, teruskan ananda!” ujar sang Prabu.


Pejabat yang lain tampak mengangguk-anggukan kepala.

“Kita undang para kerabat yang tinggal di luar istana, juga


semua raja-raja bawahan Galuh untuk ikut merayakannya.” lanjut
Raden Amara.

Prabu Wertikandayun angguk-angguk.

“Hamba setuju, gusti prabu!” ujar salah seorang patih yang


bernama Wirantaka. “Usulan Raden Amara sangat bagus untuk
mempererat tali persaudaraan antara gusti prabu sebagai penguasa
dengan raja-raja bawahan. Tentunya agar mereka lebih setia lagi
kepada gusti prabu.”

“Baiklah aku juga setuju, ananda!”

Akhirnya keputusan sang prabu juga menyetujui usulan puta

11

NANDAR HIDAYAT

bungsunya.

Dan acara pesta itu kini sedang berlangsung meriah. Rencana


sang pangeran berjalan dengan lancar apalagi kesempatannya
untuk mendekati Rababu semakin terbuka lebar karena Rababu
datang sendirian. Rahyang Sempakwaja dikabarkan sedang sakit
jadi tidak bisa menghadiri acara ini. Jadi Rababu datang untuk
mewakili suaminya.

***

Saat malam telah larut, pesta pun usai. Semua orang telah
kembali ke peraduannya masing-masing. Untuk para tamu
undangan sudah dipersiapkan asrama khusus yang tempatnya di
ruangan Puragabaya yaitu yang pada hari-hari biasa menjadi tempat
istirahatnya para perwira kerajaan. Termasuk Kamar untuk istirahat
Pohaci Rababu berada di Kaputren yang tempatnya menyatu
dengan Bale Bubut yaitu tempat bersemayamnya keluarga raja.

Bale Bubut letaknya di belakang Bale Gede yang dipisahkan


oleh Buruan (=halaman) yang menghubungkannya adalah jalan
setapak yang lebarnya kurang dari satu tombak terbuat dari
batu-batu pipih tersusun rapi dan di pinggirnya tertanam
tanaman-tanaman hias berbunga indah sepanjang jalan. Bale Bubut
juga berada di tengah-tengah antara Puragabaya dan Istal.

Saat malam yang sepi itulah Raden Amara yang sudah


berganti pakaian dengan sebuah jubah pendek tipis berwarna putih
menutupi bagian atas tubuhnya, tampak bergerak
mengendap-endap menuju kamar Rababu.

12

NANDAR HIDAYAT

Sebelumnya dia memastikan bahwa keadaan cukup aman.


Begitu sampai di depan pintu kamar dia melihat damar di dalam
kamar masih menyala pertanda bahwa orang di dalamnya belum
tidur. Lantas dia langsung mengetuk pintu pelan-pelan namun cukup
terdengar oleh orang di dalamnya.

“Siapa?” tanya Rababu dari dalam pelan.

“Aku, Nyai!” jawab Raden Amara.

Begitu mengenali suaranya Rababu membuka pintu. Raden


Amara langsung masuk ke dalam dan menutup pintu kembali
dengan cepat. Begitu di dalam kedua orang ini saling pandang
beberapa saat lamanya. Seperti mencurahkan kerinduan yang
terpendam tanpa kata-kata. Tampak Rababu sudah berganti
pakaianya berupa jubah tipis putih panjang menutupi seluruh
badannya. Namun karena tipis, lekuk tubuhnya dari balik jubah jadi
terlihat tembus pandang. Mereka saling manatap lekat penuh
makna, dalam hati masing-masing terasa bergejolak besar.

Suasana di kamar itu jadi hening, hanya dua pasang mata


saja yang berbicara.

“Kanda Amara.” ucap lirih Rababu. Ada perasaan takut ada


juga senang berjumpa lagi dengan sang pangeran.

“Nyai…” balas Raden Amara juga lirih masih menatap lekat


kakak iparnya. Bibirnya mendadak kelu untuk bicara. Mungkin
belum bisa karena perasaannya bercampur aduk antara rindu dan
senang. Sesaat suasana jadi hening lagi.

“Bagaimana kabarmu, Nyai?” tanya Raden Amara setelah


bisa menguasai perasaannya. Masih menatap wajah cantiknya
Rababu.

13

NANDAR HIDAYAT

“Baik, kanda…” jawab Rababu juga menatap wajah pangeran


tampan itu. Mungkin rasa rindunya belum habis.

”Aku sudah lama merindukan hal ini, Nyai..”

“Begitu juga aku kanda, ini sangat kebetulan sekali, kanda


Sempakwaja juga sedang sakit..”

“Dengar, Nyai. Sebenarnya aku sudah tahu kalau kanda sakit,


dan acara pesta ini adalah atas usulku kepada ayahanda Prabu..”

“Apa!” Rababu terkejut tapi perasaannya itu segera hilang


begitu melihat Raden Amara tersenyum, sebuah senyum yang
memikat karena keluar dari wajah pangeran yang begitu tampan dan
mempesona. Pangeran yang sebenarnya menjadi pujaan hatinya.

“Jadi kanda sengaja mengatur semua ini?”

“Ya, hanya untuk bertemu Nyai, aku begitu sangat


merindukanmu Nyai..”

“Tapi aku adalah istri kakakmu..”

“Tapi aku tahu isi hatimu Nyai..” suara Raden Amara


memelan sambil mendesah dan mendekatkan wajahnya ke wajah
Rababu, dekat sekali. Lalu berbisik lirih. “Lupakan dulu tentang
keadaan yang menghalangi kita untuk sementara ini, aku tahu
semua ini tabu bagi kita. Adat di negeri kita melarangnya.”

“Maafkan aku,”

“Kenapa harus minta maaf, Nyai?”

“Ketika aku mendapat kabar dari ayahku, bahwa Prabu


Wertikandayun akan menjodohkan salah seorang putranya

14

NANDAR HIDAYAT

denganku, aku mengira itu adalah kanda Amara, tapi ternyata…”


Rababu tak bisa melanjutkan karena tak kuat menahan isak
tangisnya.

Raden Amara mengerti maksud ucapan Rababu, lalu dia


menimpali. “Aku juga yang salah, aku terlambat memberitahukan
kepada ayahanda, seandainya…” dia tak melanjutkan ucapannya.
Menarik napas sejenak. Menahan perasaan menyesal yang sangat
dalam.

“Seandainya waktu itu aku pulang lebih cepat dari kerajaan


Sunda…” Raden Amara melanjutkan. “Seandainya setelah bertemu
nyai di sungai dulu aku tidak melanjutkan perjalanan tapi
memberitahu ayahanda lebih dahulu, seandainya…” Raden Amara
tak bisa melanjutkan perkataanya karena Rababu tiba-tiba
menghambur ke dalam pelukannya sambil terisak-isak. Memeluk
erat seperti ingin melepaskan beban berat yang membelenggunya.
Ya, rasa cinta kepada raden Amara adalah penderitaannya karena
dia sudah bersuami. Dibandingkan dengan Rahyang Sempakwaja
suaminya, jelas Raden Amara lebih gagah dan tampan, karena
suaminya hanyalah seorang yang mempunyai cacat di badannya
yaitu giginya tanggal atau ompong.

Raden Amara tak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia


memeluk erat-erat tubuh mulus Rababu. Bukankah ini yang
diinginkan dari rencananya mengadakan pesta? Bukankah ini yang
sangat diharapkannya, bisa berdekatan dengan sang pujaan hatinya
walau sudah menjadi milik orang?

Cinta memang bisa membuat buta segalanya, termasuk buta


adat dan aturan, mereka telah lupa bahwa hal itu adalah tabu untuk
dilakukan. Semakin lupa lagi karena nafsunya yang membara,
Raden Amara memeluk Rababu erat karena kecintaanya yang
sudah melekat lama, dia begitu sangat bernafsu menginginkan
kakak iparnya ini, kalaupun tidak bisa memilikinya secara utuh

15

NANDAR HIDAYAT

setidaknya untuk malam ini sajalah dia bisa memilikinya. Begitupun


Rababu, dia tidak peduli lagi bahwa dia telah bersuami, semua ini
karena perasaan cintanya kepada Raden Amara, pemuda yang
datang lebih dulu sebelum dia di jodohkan dengan suaminya
sekarang. Dan dia semakin pasrah menikmati keindahan yang
sangat tercela ini.

Keindahan tabu!

Bagi Rababu, saat-saat seperti ini tentu sangat


dibutuhkannya. Menghabiskan waktu bersama kekasih hatinya.
Seseorang yang telah mencuri hatinya pada saat pandangan
pertama. Satu hal yang banyak merasuki hati perempuan adalah
mengingat, mengenang, membanggakan, bahkan mengharapkan
kembali cinta pertamanya.

Dan, dikamar yang temaram itu mereka telah dilanda mabuk


asmara terlarang. Tiada seorang pun di istana Galuh yang tahu
bahkan sampai prajurit jaga yang setiap malam selalu berkeliling
menjaga kemanan juga tidak tahu.

Tetapi bagi seorang resi yang sangat sakti mandraguna, yang


bisa menerawang ke alam jauh. Walaupun berada di suatu tempat
yang jauh dari istana, walaupun dirinya dalam keadaan sedang
sakit. Dia bisa merasakan apa yang terjadi di istana khususnya di
kamar Rababu. Dialah Rahyang Sempakwaja.

***

Walaupun pesta hanya satu hari, tapi Pohaci Rababu


menginap di istana sampai empat hari lamanya. Ketika dia telah
kembali ke padepokan suaminya di Galunggung, Rahyang
Sempakwaja yang sudah mengetahui perbuatan nista istrinya tidak
pernah menggauli lagi sampai akhirnya Rababu mengandung
kemudian melahirkan seorang anak laki-laki, dan Rahyang

16

NANDAR HIDAYAT

Sempakwaja memberikan nama Sena kepada anak laki-laki itu.


Sena artinya salah, maksudnya anak yang lahir dari hubungan
salah.

Selanjutnya atas pengakuan Rababu tentang hubungan


gelapnya dengan raden Amara, Sena diserahkan kepada ayah
aslinya dan dirawat di istana, bahkan raden Amara memberinya
nama Bratasenawa.

Ketika prabu Wertikandayun meninggal, raden Amara


menggantikannya sebagai raja dengan gelar Rahyang Mandiminyak.
Rahyang Mandiminyak mempunyai seorang istri yang sah yaitu
Dewi Parwati, putri Ratu Shima dari kerajaan Kalingga. Dari istrinya
ini dia mempunyai anak perempuan yang diberi nama Sannaha yang
setelah dewasa dinikahkan dengan Sena atau Bratasenawa.

Ketika Ratu Shima membagi dua kerajaan Kalingga kepada


dua putranya yaitu Raden Narayana dan Dewi Parwati sendiri.
Rahyang Mandiminyak bersama Dewi Parwati bertolak ke Kalingga
dan memerintah kerajaan yang menjadi bagian Dewi Parwati yaitu
wilayah bagian utara yang diberi nama Bhumi Sambhara.
Sedangkan kerajaan Galuh diserahkan kepada Sena alias
Bratasenawa.

17

NANDAR HIDAYAT

2.

ANAK PENJAHAT

Dalam kegelapan malam di sebuah jalan terjal berbatu yang di kiri


kanannya terhampar sawah-sawah yang luas seperti lautan tak
bertepi. Jalan yang tidak begitu lebar menuju sebuah bukit bernama
Cibaringkeng. Dua puluh orang yang berpakaian prajurit dan
menunggangi kuda yang dipimpin oleh seorang berpangkat senopati
tampak menggebrak kudanya supaya melaju cepat. Prajurit
berkuda, berarti mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang memiliki
kepandaian khusus dan lebih tinggi dari prajurit biasa. Kalau bukan
melaksanakan tugas yang teramat penting, tentunya mereka tidak
akan bergerak malam-malam begini.

Mereka adalah prajurit pasukan khusus dari kerajaan


Indrakila, sebuah kerajaan kecil bawahan Galuh. Mereka ditugaskan
untuk meringkus sekawanan perampok yang merajalela dan
meresahkan rakyat Indrakila. Kawanan perampok ini dipimpin oleh
seorang yang sangat sakti namun ganas dan kejam kepada
mangsanya, namanya Kuntawala. Sebelumnya tidak ada orang
yang mampu menghentikan kekejaman perampok ini, untuk itulah
prajurit khusus ini ditugaskan. Konon para perampok ini tinggalanya
di sebuah bukit bernama bukit Cibaringkeng.

Senopati Aji Dharma adalah orang yang dipercaya oleh istana


untuk memimpin rombongan ini. Mengapa demikian? Karena sang
senopati sudah dikenal cerdik dalam mengatur taktik perang bahkan
sebelum menjabat sebagai senopati dia sempat menjadi seorang
pendekar pilih tanding di dunia persilatan.

“Menjelang pagi nanti kita harus sudah sampai di bukit


Cibaringkeng!” Kata senopati Aji Dharma diantara suara derapnya

18

NANDAR HIDAYAT

kaki kuda. Dia berada paling depan.

“Siap, tuan!” Sahut semua prajurit bersamaan, kompak.

“Begitu sampai disana, kita langsung bergerak sesuai


rencana kita kemarin!”

“Siap, tuan!”

Jalan yang mereka lewati banyak bebatuan terjal, apalagi


malam ini rembulan tidak menampakkan diri dan bintang-bintang
pun tertutup awan hitam sehingga suasana semakin gelap. Tapi bagi
mereka semua itu bukan sebuah halangan, dengan kepandaian
yang mereka miliki tanpa harus melihat pun mereka bisa merasakan
keadaan sekitarnya. Sehingga mereka bergerak seperti keadaan di
siang hari saja.

***

Bukit Cibaringkeng, terletak di wilayah kerajaan Indraprahasta


sebelah utara dan agak ke timur tepatnya di sebuah desa bernama
Leuwi Munding, sebuah bukit yang sebenarnya sudah bisa disebut
gunung karena besar dan ketinggiannya yang sudah seukuran
gunung. Tapi orang-orang di sekitarnya lebih suka menyebut bukit,
mungkin dulunya hanya sebuah bukit kecil yang kemudian
membesar. Ternyata tidak banyak orang yang tinggal di sekitarnya
di karenakan sekarang di puncak bukit itu sudah dijadikan sarang
perampok.

Menjelang pagi sebelum terdengar ayam berkokok. Puncak


bukit masih tampak hening, sebuah rumah panggung besar terbuat

19

NANDAR HIDAYAT

dari kayu yang berdiri di situ juga tampak sepi karena para penghuni
di dalamnya masih terlelap dalam mimpi. Hanya sebuah lampu kecil
yang masih terlihat kedap-kedip apinya dihembus angin malam.
Rumah panggung itulah yang dijadikan tempat tinggal para rampok
pimpinan Kuntawala.

Maklumlah sekawanan rampok ini masih terlelap tidur, karena


sudah terbiasa setiap malamnya mereka lewati untuk
bersenang-senang menikmati hasil rampokan dan itu mereka
lakukan sampai larut malam sehingga mereka mulai tertidur jika
sudah merasa lelah dan ngantuk.

Taktik senopati Aji Dharma memang tepat. Saat-saat seperti


ini meringkus mereka tentu akan lebih mudah. Saat itulah prajurit
khusus yang dipimpin senopati mulai bergerak sesuai tugasnya
masing-masing. Enam belas prajurit mengepung di sekeliling rumah,
empat orang yang lainnya bersembunyi di tempat lainnya sementara
senopati Aji Dharma berada di tempat terpisah lagi.

“Suiiiit!”

Terdengar siulan keras, itu adalah siulan perintah dari


senopati. Sesaat kemudian empat prajurit yang mengepung bagian
depan rumah bergerak melompat ke teras rumah lalu mendobrak
pintu dengan keras.

Brakk!

Pintu jebol.

Tujuh orang di dalam rumah yang sedang terlelap terkejut


seraya langsung bangkit sambil menghunus senjata dan bersikap
waspada.

“Siapa kau!” Teriak salah seorang yang dekat dengan pintu

20

NANDAR HIDAYAT

begitu langsung melihat empat orang di depan pintu.

Empat prajurit yang mendobrak pintu tadi langsung melesat


mundur kembali dengan gerakan yang amat enteng dan cepat
pertanda kepandaian mereka memang tinggi. Hal ini memancing
dua orang anggota rampok mengejar mereka keluar.

Set!

Dua anggota rampok ini mendarat di halaman rumah siap


melancarkan serangan namun mereka terkejut karena di sana tidak
melihat siapapun, empat prajurit itu sudah lenyap di kegelapan.
Belum hilang rasa terkejutnya tiba-tiba dari atas langit terasa angin
menyambar dengan kuat ke arah dua rampok ini.

Sreeet!

Tak sempat berkelit karena hari masih gelap dua anggota


rampok ini tiba-tiba terjatuh ke tanah lalu badannya terseret jauh.
Ternyata angin yang menyambar itu adalah sebuah jala besar
terbuat dari tambang yang langsung menjaring dan menyeret
mereka ke arah kegelapan tanpa sempat berteriak lagi. Di tempat
yang gelap itulah sudah menunggu dua prajurit lain yang langsung
melumpuhkan dua perampok ini.

Kelima orang perampok lain yang agak terlambat melihat


keluar rumah karena gerakan yang kalah cepat terkejut mengetahui
dua kawan mereka sudah hilang padahal kejadian hanya beberapa
kejap yang lalu. Ternyata salah seorang dari mereka adalah anak
kecil yang masih berumur sepuluh tahun. Dia adalah Santana
anaknya sang pimpinan rampok, Kuntawala. Sedangkan Kuntawala
sendiri yang kini berdiri tak jauh darinya adalah seorang yang
perawakannya tinggi besar berkepala botak dengan kumis tebal
melintang di atas bibirnya yang memberi kesan seram di wajahnya.

21

NANDAR HIDAYAT

Sangat pantas untuk wajah seorang pemimpin rampok.

Kuntawala menggeram marah, sangat marah. Karena di


pagi-pagi buta ini sudah ada yang mengganggu ketentramanya saat
beristirahat. Siapa lagi yang datang mengantarkan nyawanya?
Pikirnya dalam hati.

“Tuan, ada orang yang mau main-main dengan kita!” Ujar


salah seorang anak buah Kuntawala dengan nada sombong,
mungkin karena selama ini mereka tak ada yang mengalahkan.

Kuntawala tidak menyahut, dia lebih mempertajam


pandangannya ke sekitar halaman rumah. Suasana tampak sunyi
seperti tak pernah terjadi apapun.

Sementara cahaya putih sudah terbersit di ufuk timur, namun


suasana di bukit itu masih gelap.

Brakk!

Mereka dikejutkan lagi dengan suara dinding yang jebol di


bagian belakang rumah. Serta merta dua orang anak buah
Kuntawala langsung menghambur ke sana, mengejar beberapa
orang yang telah mendobrak dinding rumah.

“Jangan kejar!” Teriak Kuntawala yang sudah merasakan


gelagat yang tidak beres namun terlambat, dua anak buahnya
sudah lenyap di belakang rumah.

Seperti tadi, begitu Kuntawala mengejar ke sarah sana.


Suasana langsung sepi seperti tidak terjadi suatu apapun. Dua anak
buahnya juga sudah lenyap lagi bagai ditelan kegelapan.

Meledaklah amarah Kuntawala. Dua tangannya mengepal

22

NANDAR HIDAYAT

sambil menggeram.

“Kurang ajar!” teriak Kuntawala memecah kesunyian pagi.


“Tunjukkan siapa kalian, jangan menjadi pengecut. Hadapi aku
dengan jantan!”

Namun sampai beberapa helaan napas keadaan tetap hening,


tak ada yang menyahuti teriakkan Kuntawala.

Dan hari pun mulai terang.

Disamping Kuntawala, anak kecil bernama Santana ini


sepertinya tidak merasakan takut atau apapun semacamnya. Raut
wajahnya hanya menyiratkan pandangan kosong tidak juga tampak
tegang seperti ayahnya. Mungkin karena masih polos belum
mengerti apa yang tengah terjadi walaupun sebelumnya dia sudah
sering diajak merampok bersama ayahnya.

“Ayo keluar!” Teriak Kuntawala lagi karena teriakannya yang


tadi tak ada yang menyahut.

Suwirya, anak buah Kuntawala yang tinggal seorang ini


tampak waspada. Kedua matanya seolah tak berkedip
memeperhatikan sekitar rumah, bersiap-siap kalau tiba-tiba ada
yang menyerang.

Tak berapa lama akhirnya muncullah senopati Aji Dharma dari


persembunyiannya diikuti dua puluh prajurit anak buahnya.
Beberapa di antara parajurit itu ada yang memegang ujung tali
sebuah jaring besar terbuat dari tambang. Ada dua jaring di setiap
jaring itu terlibat dua orang anak buah Kuntawala yang sudah tak
berdaya. Kalau tidak dengan cara yang cerdik tentulah anak buah
Kuntawala itu tidak akan kalah melawan sepuluh orang prajurit
sekaligus dalam pertarungan biasa.

23

NANDAR HIDAYAT

Melihat semua itu Kuntawala semakin berang, apalagi melihat


senopati Aji Dharma. Pasti senopati itu yang punya akal, pikir
Kuntawala.

“Senopati Aji Dharma!” Bentak Kuntawala marah.

“Ya, ini aku!” Sahut senopati dengan sedikit senyum.


Memandang Kuntawala dengan pandangan mengejek.

“Cuih! Sungguh suatu cara yang amat memalukan dan


pengecut!” Ujar Kuntawala. “Kalau berani hendak menangkapku
bertarunglah dengan jantan.”

“Kenapa harus malu!” Ujar senopati. “Untuk menangkap


penjahat sepertimu, tidak perlu memakai segala aturan dunia
persilatan. Karena kau bukan seorang pendekar. Bukankah kau juga
tidak mengenal belas kasihan kepada semua korbanmu?”

“Bedebah keparat…!”

“Menyerahlah, atau kau akan mati sia-sia!”

“Sombong kau Aji Dharma!” Bentak Kuntawala sudah habis


kesabarannya. Empat anak buahnya sudah diringkus tak berdaya,
dia harus menyelamatkan mereka. Maka seketika itu juga dia dia
melesat kedepan melancarkan pukulan tangan kosong namun
mengandung tenaga dalam yang tinggi ke arah senopati Aji Dharma.

Sang senopati sigap, hal ini sudah sering dia alami. Dengan
enteng dia berjungkir balik ke belakang menghindari serangan.

Blar! Blar!

Pukulan yang dilancarkan Kuntawala menimbulkan ledakan


besar di tanah. Sesaat kemudian dia sudah mendarat dan siap

24

NANDAR HIDAYAT

melancarkan serangan berikutnya.

“Bersiap!” Teriak senopati Aji Dharma yang sudah berdiri jauh


dari tempat berdirinya Kuntawala.

Empat belas prajurit bergerak mengepung.

“Dasar pengecut!” Teriak Suwirya, anak buah Kuntawala yang


tinggal seorang seraya melompat masuk ke arena pertempuran
mendampingi pimpinannya.

Ke empat belas prajurit itu tidak menggunakan senjata


pedang ataupun tameng seperti hendak perang. Tapi di tangan
mereka masing-masing membawa tali tambang besar terbuat dari
rotan yang ujungnya di buat suatu simpul. Cara ini seperti sedang
mengepung binatang buas.

Kuntawala dan Suwirya kerahkan kekuatan penuh, mereka


tahu kalau prajurit-prajurit ini adalah orang pilihan yang
kepandaaiannya tidak bisa dianggap remeh. Dengan ajian paling
dashyat yang mereka miliki mereka hendak menghancurkan semua
lawannya.

“Heaaa…!”

Diiringi teriakkan yang menggema, Kuntawala dan Suwirya


kerahkan tenaga dalam penuh dengan memutar-mutar kedua
tangannya secara bersamaan di atas kepala. Inilah ajian ‘Badai
Sagara’ ajian paling dashyat yang dimiliki dua orang rampok ini
apalagi dikeluarkan oleh dua orang sekaligus. Sebuah ajian yang
didapat dari gurunya Kuntawala sewaktu masih muda. Ajian yang
menggunakan tenaga dalam penuh untuk mengendalikan udara atau
angin di sekitarnya menjadi berhembus kuat, kencang dan dashyat.
Dengan hembusan angin yang dashyat itu maka lawan-lawannya
akan tertiup seperti kapas beterbangan. Ajian ini memang

25

NANDAR HIDAYAT

digunakan saat menghadapi kepungan atau lawan yang sangat


banyak.

Tangan-tangan yang berputar itu sedang mengendalikan angin


di sekitar bukit Cibaringkeng, menjadikannya berhembus kencang,
semakin kencang dan ganas sehingga berubah seperti badai yang
mengguncang bukit. Pohon-pohon kecil ada yang tercabut ada juga
yang bertumbangan, sedangkan pohon-pohon besar
bergoyang-goyang seperti hendak roboh dan rerumputan
beterbangan perputar-putar. Di bukit itu seperti sedang dilanda badai
angin puyuh yang dashyat.

Kuntawala lupa pada anaknya. Karena hembusan angin


laksana badai ini, Santana yang masih kecil dan belum memiliki
kemampuan apapun terbawa angin berputar-putar di atas. Dia
berteriak-teriak minta tolong namum suaranya lebih kecil dari suara
gemuruh angin jadi tiada seorang pun yang mendengar. Lama
kelamaan anak ini terpental jauh entah kemana dan di mana
jatuhnya.

Sementara itu senopati Aji Dharma masih berdiri tegak,


tampaknya dia memiliki kekuatan untuk tidak terbawa oleh
hembusan angin dashyat ini. Sedangkan para prajurit yang
mengepung tampak melayang-layang terbawa angin, namun posisi
mereka tetap seimbang sehingga tidak terbawa jauh oleh angin
bahkan keadaan ini sepertinya sengaja sebagai salah satu taktik
mereka.

Sangat cerdik, ke empat belas prajurit ini memanfaatkan


badai angin sebagai cara untuk menyerang, mereka
melayang-layang mengitari Kuntawala dan Suwirya yang terus
memutar tangannya guna menghasilkan tiupan angin yang lebih
dashyat lagi. Saat melayang di udara para prajurit saling melempar
dan menyambut ujung tali tambang sehingga tali-tali itu terpentang.
Jika dilihat dari atas mereka seperti sebuah kincir pemutar air

26

NANDAR HIDAYAT

dengan tali tambang itu sebagai jari-jarinya sementara titik


tengahnya adalah Kuntawala bersama Suwirya.

Pada saat itulah ke empat belas prajurit melayang turun ke


bawah sambil tetap berputar. Akibatnya Kuntawala dan Suwirya
menjadi terlilit oleh tali-tali yang kuat ini sampai beberapa lilitan
akhirnya mereka tak bisa bergerak lagi meskipun sudah
mengerahkan semua tenaganya namun lilitan itu lebih kuat lagi lalu.

Brukk!

Kuntawala dan Suwirya yang terlilit jadi satu terguling ke


tanah, mereka tidak bisa bersuara lagi karena lilitan itu membuat
mereka susah bernapas hanya kedua mata Kuntawala yang
menyorotkan penuh dendam. Angin badai pun berhenti berhembus
karena yang punya ajian sudah lumpuh.

“Bagus!” Ujar senopati Aji Dharma. “Kalian hebat dan pantas


mendapat hadiah yang besar.” Lanjutnya. “Bawa mereka semua ke
istana untuk menerima hukuman!”

“Tuan senopati…!” Salah seorang prajurit menyela.


“Bagaimana dengan anaknya Kuntawala?” Tanyanya mengingatkan.

“Jangan khawatir!” Jawab senopati. “Dia sudah terlempar jauh


entah kemana oleh ajian Badai Sagara. Orang dewasa biasa saja
bisa tewas di hantam angin itu, apalagi dia cuma anak kecil.”
Jelasnya menarik napas sejenak. “Kecuali ada orang yang
menolong atau keajaiban Hyang.”

Kemudian rombongan yang dipimpin senopati Aji Dharma ini


bergerak meninggalkan bukit Cibaringkeng dengan membawa hasil
yang memuaskan. Sekawanan perampok yang sudah lama
meresahkan rakyat kini sudah tak berdaya menjadi tawanan

27

NANDAR HIDAYAT

mereka.

Terbayang dalam pikiran mereka sejumlah hadiah yang akan


diberikan raja kepada mereka atas keberhasilannya. Semua ini
berkat taktiknya senopati Aji Dharma.

***

Santana melayang-layang seperti daun tertiup angin.


Terkadang dia menghantam sebuah pohon yang membuat tubuhnya
terasa remuk namun itu cuma sebentar karena ternyata di dalam
tubuhnya sudah terisi sebuah ajian bernama ‘Wadah Rahayu’ yang
gunanya untuk melindungi tubuh dari segala macam hantaman
benda atau senjata, sejenis ilmu kebal. Ajian ini sengaja
dimasukkan kedalam tubuh oleh ayahnya. Karena perbuatannya
yang merugikan banyak orang, Kuntawala merasa sangat perlu
memberikan perlindungan kepada anak semata wayangnya agar
sewaktu dalam bahaya, Santana tidak mengalami suatu cidera
apapun. Sementara dia sendiri tidak mamakainya karena sudah
merasa kuat.

Begitu jauh Santana terbawa angin hingga semakin jauh


semakin berkurang hembusan anginnya akhirnya bocah sepuluh
tahun ini terjatuh lalu terkapar pingsan di pinggiran sebuah hutan.

***

Santana membuka matanya, suasana hangat langsung


menyelimuti tubuhnya. Wajah polos itu memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Berada di mana dia? Tanyanya dalam hati. Lalu perlahan
dia bangkit ternyata dia berada diatas sebuah tempat tidur terbuat
dari kayu. Saat menyapukan pandangan ke sekeliling dia melihat
dinding-dinding kayu. Rumah! Ya dia berada di rumah tapi bukan

28

NANDAR HIDAYAT

rumahnya yang berada di bukit Cibaringkeng karena melihat bentuk


dan warnanya dinding rumah ini berbeda dengan rumahnya yang di
sana. Terus di rumahnya yang dulu tidak ada tempat tidur seperti ini
karena di sana jika tidur hanya di lantai beralaskan tikar pandan.

Ini rumah orang lain. Pikir Santana.

“Eh, sudah bangun jang!”

Satu suara terdengar. Dari luar pintu yang tak berdaun itu
masuk seorang kakek agak bungkuk berpakaian serba putih yang
bagian atasnya berbentuk selempang. Pakaian seorang resi.
Rambutnya yang sebagian memutih digelung ke atas. Ditangannya
membawa sepiring singkong dan ubi serta segelas air putih dalam
gelas terbuat dari bambu.

Santana tidak menjawab, dia hanya memandang lugu wajah


si kakek yang bersih bersinar membuatnya merasa nyaman.
Berbeda dengan ayahnya yang berwajah seram.

Si kakek meletakkan piring berisi ubi dan singkong serta air


putih itu di dekat Santana.

“Siapa namamu, jang?”

Santana masih diam entah bingung entah apa, namun si


kakek memaklumi akan sifat anak kecil yang terlihat polos ini.

“Ya, sudah.” Kata si kakek. “Sekarang makan saja dulu, kau


pasti lapar.”

Tanpa ragu lagi Santana mengambil satu singkong dan


memakannya dengan lahap. Perutnya memang terasa lapar. Begitu
lahap sehingga cepat habis lalu minum. Sehabis minum dia
menghela napas sesekali dia memandang ke arah si kakek yang

29

NANDAR HIDAYAT

masih memperhatikannya.

“Kalau masih lapar, ambil lagi. Itu semua untukmu.” Kata si


Kakek lagi. Dalam hati dia berkata. “Dalam tubuh anak ini ada satu
ilmu yang melindungi dirinya dari bahaya, orang tuanya pasti bukan
orang sembarangan. Lalu kenapa dia pingsan sendirian di jalan?”

“Aku benci ayah!” Tiba-tiba Santana berkata datar dengan


sorot mata hampa.

“Apa?” Si kakek terkejut sambil mengerutkan kening belum


mengerti apa maksudnya. Kata-kata itu pasti bukan ditujukan
untuknya.

“Aku benci ayah!” Kata Santana lagi.

“Kenapa dengan ayahmu, jang?” Tanya si kakek mencoba


mencari keterangan.

“Aku benci ayah!” Itu lagi yang diucapkan Santana malah


semakin keras dan terlihat perubahan wajahnya yang kini seperti
hendak menangis.

“Tenanglah, jang!” Ujar si kakek menenangkan sambil


memegang pundak Santana.”Ceritakanlah kenapa kau membenci
ayahmu?”

“Ayahku jahat…” Jawab Santana dengan suara datar lagi.

“O, ya…”

“Dia suka merampok orang…”

“Merampok?”

30

NANDAR HIDAYAT

Santana mengangguk pelan.

“Siapa ayahmu?”

“Kuntawala!”

“O…” Si kakek mengangguk-angguk kepala, dia tahu


sekarang siapa ayah anak ini. Siapa yang tidak kenal dengan
sekawanan perampok yang dipimpin oleh Kuntawala. Ternyata
pimpinan rampok itu mempunyai seorang anak laki-laki.

“Lalu di mana ayahmu?”

Santana menggeleng, diam sejenak lalu dengan kata-kata


yang belum lancar di menceritakan kejadian yang dia ingat di pagi
buta di rumahnya dulu. “Malam itu aku, ayah, dan teman-teman
ayah sedang tidur, lalu ada pintu didobrak, semua kaget,
teman-teman ayah ada yang hilang, waktu sudah pagi aku melihat
ada banyak orang di depan rumah, aku ingat ayahku memanggil
nama orang itu senopati Aji…Aji…Aji Dharma….” Begitulah cerita
polos Santana yang walau pun dituturkan dengan tidak jelas namun
si kakek tahu maksudnya apalagi mendengar nama Aji Dharma.
Senopati yang terkenal cerdik dan sakti itu pasti sudah meringkus
Kuntawala dan anak buahnya.

“Oh begitu ya, jang!” Timpal si kakek. “Tapi aki belum tahu
siapa namamu, jang?” tanya si kakek mengalihkan pembicaraan.

“Santana.”

“Santana?”

Si bocah mengangguk pelan.

31

NANDAR HIDAYAT

“Anak pemberani, maukah kau menjadi anak aki?”

“Aki bukan orang jahat, kan?”

Si kakek tertawa pelan. “Bukan, aki ini orang baik…”

“Nama aki siapa?”

“Namaku Wanayasa, orang-orang memanggil aki resi


Wanayasa…”

“Aki resi Wanayasa?”

“Ya!”

“Baik, aku mau menjadi anak aki. Tapi aki tidak merampok,
kan?” Santana sepertinya masih ragu.

Resi Wanayasa kembali tertawa kali ini agak mengekeh


melihat keluguan anak ini.

“Tentu tidak, Santana!” Jawabnya sambil mengelus-elus


kepala Santana dan untuk pertama kalinya anak ini tersenyum
setelah dari tadi tampak murung.

Akhirnya resi Wanayasa yang sudah lama hidup menyendiri


di tempat itu kini mempunyai seorang anak angkat laki-laki bernama
Santana. Walau Santana sebelumnya anak seorang kepala
perampok yang kejam. Namum sang resi berpikir anak ini masih
polos dan masih bisa dididik dengan budi pekerti yang baik. Tak
lupa karena dia juga seorang resi yang sakti mandraguna maka dia
pun mengajari Santana ilmu silat. Apalagi dalam tubuh Santana
sudah tersimpan ajian Wadah Rahayu sehingga dengan mudah
anak ini bisa menguasai apa yang diajarkan sang resi.

32

NANDAR HIDAYAT

Resi Wanayasa adalah salah satu anak raja Galuh pertama


prabu Wertikandayun. Dia adalah adiknya rahyang Sempakwaja dan
kakaknya raden Amara atau rahyang Mandiminyak. Sama seperti
kakaknya di juga lebih memilih hidup menjadi pandhita atau resi.

***

Di pinggir sebuah jalan yang menghubungkan kampung


dengan hutan dan keadaannya cukup sepi, Santana sedang sibuk
sendirian membereskan kayu-kayu bakar kecil yang sudah
dipotong-potong unutk diikat. Kebiasaan baru setelah diangkat
menjadi anak resi Wanayasa. Suatu kebiasaan yang membuatnya
merasa berharga dan berguna bagi orang tua angkatnya. Tidak
seperti dahulu berama ayahnya walaupun tidak kurang makan
bahkan selalu lebih tapi rasanya seperti hambar. Ayahnya tidak
pernah mendidiknya secara benar. Meski belum mengerti apa-apa
tentang kehidupan di dunia ini tapi sedikitnya dia tahu mana yang
benar dan mana yang salah.

Semua kayu bakar sudah diikat dan siap di angkat namun


tiba-tiba saja di jalan lewat tiga orang yang berpakaian prajurit
bersenjata lengkap masing-masing menunggang kuda berhenti tepat
di depan Santana.

“Lihat anak itu!” Seru salah seorang dari mereka.

“Rasanya aku pernah melihatnya,” Ujar yang lain.

Lalu ketiga prajurit ini turun dan menghampiri Santana yang


masih berdiri belum sempat mengangkat bawaannya. Melihat
pakaian tiga orang ini Santana teringat akan peristiwa di pagi buta di

33

NANDAR HIDAYAT

rumahnya dulu.

“Ya, tidak salah lagi.” Ujar sawung. “Ternyata dia masih


hidup!”

“Kau benar!” Lambada menimpali.

“Kebetulan sekali!” Timpal Sokanta juga.

Rupanya ketiga prajurit ini adalah prajurit yang dulu ikut


bersama senopati Aji Dharma meringkus Kuntawala dan anak
buahnya, dan mereka mengenali Santana. Mereka langsung
bergerak mengurung Santana seperti hendak menangkapnya.

“Hai, bocah!” Sapa Sokanta. “Apa kau anaknya Kuntawala?”


Tanyanya langsung.

Santana mengangguk pelan karena dia masih ingat nama


ayahnya walaupun resi Wanayasa menyuruhnya untuk
melupakannya.

“Jangan banyak basa-basi begitu, Kanta!” Sela Sawung


bersikap tidak sabar.

“Tenang dulu,” Kata Sokanta menenangkan kawannya. “Jang,


apa ayahmu ada bersamamu?”

Santana menggeleng, belum mengerti apa maksud


oarng-orang ini.

“Ah, dia pasti bohong!” Ujar Lambada.

“Jangan bohong!” Sentak Sawung tapi langsung ditenangkan


oleh Sokanta. Prajurit satu ini lebih sabar ketimbang dua orang

34

NANDAR HIDAYAT

kawannya.

“Jangan keras-keras sama anak kecil!” Pinta Sokanta pada


dua kawannya. “Jang…” Lanjutnya kepada Santana. “Kalau kau beri
tahu di mana ayahmu berada, aku akan memberimu hadiah yang
bagus.” Bujuknya.

Namun Santana menggeleng lagi sementara Sawung dan


Lambada sudah tidak sabaran untuk menangkap anak ini saja.

“Sudahlah!” Kata Sawung kemudian. “Kita langsung tangkap


saja anak ini untuk dijadikan sandra supaya Kuntawala meyerahkan
diri…”

“Benar!” Lambada mendukung. “Dari tadi juga aku berpikiran


seperti itu, Cuma kau saja Kanta, yang banyak bertele-tele…”

“Ya sudah terserah kalian!” Kata Sokanta.

Sawung jongkok di depan Santana lalu berkata. “Jang,


maukah kau ikut bersama kami?” Ajaknya

“Ya,” Lambada ikut-ikutan. “Nanti kau akan kami ajak


melihat-lihat istana Indrakila yang indah…”

Seperti tadi Santana hanya menggeleng-geleng kepala saja


membuat tiga prajurit ini kehabisan akal untuk merayunya supaya
mau ikut bersama mereka. Akhirnya dengan paksa Sawung hendak
menarik tangan Santana.

“Jangan bawa dia!”

Tiba-tiba satu suara menggema terdengar seperti datang dari


langit. Tiga prajurit terkejut. Lalu muncullah sekelebat bayangan
putih yang tidak tahu datangnya dari mana tiba-tiba sudah berdiri di

35

NANDAR HIDAYAT

samping Santana.

“Bapak resi Wanayasa!” Ucap tiga prajurit ini bersamaan


mengenali siapa yang datang.

“Kenapa kalian hendak membawa anak ini?” Tanya resi


Wanayasa.

Tiga prajurit ini tampak gugup seperti menghadapi atasannya


saja. Maklumlah resi sakti ini sudah terkenal di kalangan istana
bahkan mereka tahu bahwa sang resi adalah salah satu anak
penguasa Galuh.

“Begini bapak resi,” Sokanta memberanikan diri menjawab.


“Bolehkah kami mengajukan pertanyaan lebih dahulu?”

“Apa itu?”

“Kenapa bapak resi seperti melindungi anak itu?”

“Memang kenapa?”

“Bukankah dia anak Kuntawala pimpinan perampok yang


kejam itu?”

“Ya, aku tahu. Dia sudah kuangkat menjadi anakku…”

“Apa?!” Seru tiga prajurit lagi bersamaan.

“Aku tahu masalah kalian.” Kata sang resi. “Kuntawala


melarikan diri saat hendak diberi hukuman, begitu bukan?”

“Iya, bapak resi” Jawab Sawung.

“Ketahuilah,” Lanjut sang resi. “Anak ini tidak tahu menahu

36

NANDAR HIDAYAT

soal ayahnya karena sudah beberapa hari ini dia selalu bersamaku,
bahkan Kuntawala sendiri tidak tahu kalau anaknya aku rawat. Jadi,
kalian jangan berprasangka buruk padanya, jelas!”

“Iya, bapak resi!”

“Sebaiknya kalian pergi saja, anak ini sekarang adalah


tanggung jawabku!”

“Baik, bapak resi!”

Kemudian tiga prajurit ini menjura hormat dan pamit


meninggalkan resi Wanayasa bersama Santana.

***

37

NANDAR HIDAYAT

3.

PEMBERONTAKAN PURBASORA

“Aku datang menuntut hak!”

Suara itu datang menggema lebih dulu sebelum satu bayangan


berkelebat masuk ke dalam Bale Mangu di mana tengah
berlangsung pasewakan antara raja dan pejabat istana. Sosok ini
langsung berdiri di tengah-tengah.

Di atas kursi kebesaran raja, prabu Bratasenawa yang


mengenakan jubah kebesaran raja dan Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake terkejut dengan kedatangan tamu yang tak
diundang ini. Begitu juga dengan para pejabat istana yang lain.

“Purbasora!” Desis prabu Bratasenawa hatinya merasa curiga.


Sementara para pejabat lain terdengar saling bergumam.

“Kanda tidak diundang, dan datang dengan cara tidak sopan!”


Sapa prabu Bratasenawa kepada orang yang baru datang yang
bernama Purbasora. Seorang lelaki yang kira-kira tinggi badannya
sama dengan sang prabu namun umurnya sedikit lebih tua.

Lelaki bernama Purbasora ini hanya mengenakan pakaian


rakyat biasa, rambutnya memakai ikat kepala bercorak batik yang
dibentuk sedemikian rupa hingga terlihat menyerupai blangkon jawa.

“Aku bisa datang ke istana ini kapanpun aku mau!” Jawab


Purbasora dengan suara lantang dan angkuh. “Karena kerajaan ini
adalah milikku!” Lanjutnya sambil merentangkan kedua tangannya
kesamping.

38

NANDAR HIDAYAT

“Apa maksud kanda?” Tanya prabu Bratasenawa semakin


curiga namun masih tetap duduk dan bersikap tenang.

“Jangan berlagak bodoh, Sena!” Sentak Purbasora.

Sang prabu yang tadinya tenang kini tampak berubah raut


wajahnya ketika Purbasora menyebut nama kecilnya, nama yang
membuat dirinya merasa rendah dan malu.

“Tadi sudah aku katakan bahwa aku datang untuk menuntut


hakku!” Lanjut Purbasora. “Akulah pewaris tahta Galuh yang sah!”

“Benar juga kecurigaanku!” Ujar prabu Bratasenawa dalam


hati yang mengerti maksud Purbasora. “Aku mengerti kanda, tapi
semua itu ada aturanya…”

Tiba-tiba Purbasora tertawa terbahak-bahak kemudian


berkata. “Kau tahu aturan tapi kenapa kau masih duduk di situ?”

“Kanda memang benar!”

“Ya, terus kenapa lagi?”

“Menurut aturan, yang mewarisi kekuasaan seorang raja


adalah putra sulungnya…” Menjelaskan prabu Bratasenawa.

“Dan putra sulung aki prabu Wertikandayun suwargi adalah


Rahyang Sempakwaja ayahku,” Potong Purbasora. “Ini berarti
akulah yang mewarisi tahta Galuh karena aku adalah putra Rahyang
Sempakwaja!”

“Tunggu…” Sela prabu Bratasenawa. “Apakah kanda lupa


bahwa peraturan lainnya yang berupa syarat seorang raja adalah
memiliki tubuh yang sempurna, alias tidak diperbolehkan seseorang
yang mempunyai cacat di badannya menjadi seorang raja, dan itu

39

NANDAR HIDAYAT

dimiliki oleh uwa Sempakwaja dan juga uwa Wanayasa. Jadi


mereka tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja. Maka yang
kemudian yang berhak adalah ayahanda Mandiminyak.” Balas sang
prabu tidak mau kalah.

“Boleh saja ayahanda memiliki cacat, tapi aku sebagai


anaknya terlahir sempurna jadi menurutku garis warisnya langsung
kepadaku setelah kepempinan paman Mandiminyak berakhir!” Kata
Purbasora tetap mempertahankan pemikirannya.

“Tetap saja harus sesuai peraturan!”

“Peraturan apalagi!” Purbasora membentak lagi. “Lagi pula


apa hakmu menduduki tahta Galuh? Kau hanya seorang anak
haram yang lahir dari hubungan salah antara ayahmu dengan
ibundaku. Walaupun dilahirkan dari rahim yang sama, aku tak sudi
mengakuimu sebagai saudara!”

Naik pitamlah prabu Bratasenawa karena perkataan


Purbasora yang amat menghina. Dia bangkit dari duduknya.

“Jangan mengait-ngaitkan persoalan ini dengan masa laluku!”


Ujar sang prabu meninggi nada bicaranya.

“Kenapa, Kau malu? Ini kenyataan. Justru kau yang lebih


cacat dan tidak sempurna untuk menjadi seorang raja!” Maki
Purbasora.

“Cukup, kanda!” Potong prabu Bratasenawa sambil


mengangkat tangan kanannya. “Hubungan orang tuaku memang
salah, tapi setiap anak yang lahir itu dalam keadaan suci…”

“Peduli apa dengan ucapanmu!” Potong Purbasora lagi.


“Sekarang juga kau turun dari kursi itu dan serahkan kekuasaan

40

NANDAR HIDAYAT

Galuh kepadaku!” Perintahnya.

“Tidak bisa!” Sentak sang prabu yang sudang geram


lebih-lebih karena Purbasora mengungkit soal asal-usulnya yang dia
sendiri sebenarnya merasa rendah dan malu bila mengingat siapa
dirinya. Seorang anak yang lahir dari hasil perselingkuhan.
“Layakkah aku menjadi raja?” Tanyanya dalam hati.

“Aku hanya akan menyerahkan kekuasaan jika uwa


Sempakwaja sendiri yang meminta karena beliau masih hidup dan
kedudukannya sama dengan ayahanda, perintahnya berarti perintah
ayahanda juga” Jelas prabu Bratasenawa.

“Kenapa harus bertele-tele seperti itu?” Purbasora kesal.


“Anggap saja aku ini adalah utusan yang dikirim ayahanda
Sempakwaja untuk meminta tahta Galuh darimu, Sena!”

“Sekali lagi tidak bisa, karena aku memegang amanat dari


ayahanda Mandiminyak untuk menjaga keutuhan Galuh. Walau
harus mengorbankan nyawa…”

“Baiklah kalau begitu,” Kata Purbasora. “Aku terpaksa berbuat


kekerasan, Aku menantangmu perang tanding. Jika kau kalah maka
aku yang menjadi raja. Itulah satu-satunya cara.” Lalu dengan
angkuh Purbasora melangkah keluar, sebelum sosoknya lenyap di
balik pintu dia masih sempat bersuara. “Jangan remehkan aku
sekarang, Sena!”

Prabu Bratasenawa menarik napasnya lalu memberi isyarat


kepada yang hadir di situ untuk berdiri lalu berkata.

“Aku merasakan sesuatu yang tidak enak, aku akan


bertarung melawan saudaraku sendiri. Tapi aku yakin, kalian yang
ada di sini semua mendukungku…”

41

NANDAR HIDAYAT

Para pejabat itu menjura hormat.

Prabu Bratasenawa melanjutkan. “Aku berpesan kepada


kalian, jika aku kalah dan tahta Galuh jatuh ke tangan kanda
Purbasora. Hendaknya kalian jangan tetap di istana karena lambat
laun kalian pasti akan disingkirkan satu persatu atau sekaligus
semuanya, kecuali yang setia kepadanya. Aku sudah tahu sifat
kanda Purbasora.”

Para pejabat itu hanya menundukan kepalanya, entah apa


yang ada dalam pikiran mereka.

“Paman patih Jayengrana!” Panggil sang prabu kepada


patihnya.

“Hamba, gusti.” Patih Jayengrana menyahut.

“Aku percayakan kepada paman, jika aku kalah nanti aku


minta paman membawa lari istriku dan anakku Sanjaya mengungsi
ke tempat pertapaan uwa resi Wanayasa di Denuh.”

“Baik, gusti!”

Perasaan prabu Bratasenawa diliputi keresahan. Pirasatnya


mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Di belakang
Purbasora pasti ada sesuatu yang membuatnya kuat. Pikir sang
prabu menebak-nebak karena dia tahu siapa Purbasora sejak dari
kecil.

Dengan langkah yang kurang yakin namun pasrah penguasa


Galuh ketiga ini melangkahkan kakinya menuju alun-alun istana di
mana Purbasora sudah menunggu untuk menantangnya di sana.

42

NANDAR HIDAYAT

***

Di buruan depan Bale Mangu, sebuah halaman luas yang


ditanami dengan rumput-rumput lebat dan hijau.

Puluhan prajurit berdiri tegap berjaga di depan teras Bale


mangu. Begitu prabu Bratasenawa keluar mereka menjura hormat.
Di tengah halaman Purbasora beridiri angkuh. Dia tidak sendiri. Di
belakangnya berdiri dua orang dengan sikap yang sama. Satu
orang yang wajahnya agak mirip dengan Purbasora adalah
Demunawan saudara seayah seibu Purbasora. Sedangkan orang
yang satunya adalah lelaki yang badannya tinggi besar berbaju
merah dan kepalanya botak. Prabu Bratasenawa belum tahu siapa
orang ini lantas menduga orang inilah tampaknya yang menjadi
kekuatan besar buat Purbasora.

“Maafkan aku, Sena!” Ujar Purbasora. “Aku terpaksa


melakukan cara ini karena kau tidak mau menyerahkan kekuasaan
Galuh secara baik-baik.”

Di belakang sang prabu para pejabat lain sudah berdiri hendak


menyaksikan tarung patutunggalan antara raja mereka dengan
Purbasora yang masih saudara raja sendiri.

“Sang Hyang Widi beri aku kekuatan!” Gumam prabu


Bratasenawa memohon kepada yang Kuasa lantas dia melompat ke
tengah lapangan berhadapan dengan Purbasora.

Purbasora memberi isyarat kepada dua orang di belakangnya


agar menjauh dari arena. Demunawan dan si tinggi besar berkepala
botak pun mundur beberapa tombak.

Di saat semuanya sudah siap Purbasora berteriak.


“Bersiaplah, Sena!” Lalu menghambur memulai serangan.

43

NANDAR HIDAYAT

Sudah panas kuping prabu Bratasenawa setiap kali dipanggil


nama ‘Sena’ oleh Purbasora, maka dia pun langsung menghalau
serangan Purbasora tanpa banyak bertele-tele lagi dia langsung
keluarkan jurus-jurus mautnya.

Maka terjadilah pertarungan dua saudara satu ibu lain ayah


ini, yang satu ingin merebut kekuasaan karena merasa lebih berhak,
sedangkan yang satunya hanya mempertahankan karena mendapat
amanat dari raja yang dahulu.

Prabu Bratasenawa, Pubasora dan Demunawan, semasa


kecil mereka adalah satu perguruan di padepokan Rahyang
Sempakwaja ayahnya Purbasora. Walaupun Bratasenawa adalah
anak kesayangan Rahyang Mandiminyak, tapi dia selalu dikucilkan
oleh kedua saudaranya itu dengan alasan dia adalah anak salah,
anak yang lahir dari hubungan yang salah. Namun soal kepandaian
ilmu silat saat itu Sena selalu lebih unggul dari dua saudaranya itu.

Beberapa jurus berlalu baik prabu Bratasenawa maupun


Purbasora masih terlihat sama-sama bertahan belum ada yang
terdesak salah satunya. Sebenarnya prabu Bratasenawa sudah
menggunakan jurus ‘Tapak Wesi’ tingkat tinggi, jurus yang selalu
dia gunakan untuk mengalahkan Purbasora sewaktu masih muda
dulu. Tapi nampaknya Purbasora tidak gentar sedikitpun bahkan
seperti percaya diri bisa menghadapinya. Dengan berani, Purbasora
memapasi setiap serangan yang dilancarkan prabu Bratasenawa.
Ada satu yang dirasakan berbeda oleh sang prabu.

“Aku bukan orang yang dulu lagi, Sena!” Ujar Pubasora sambil
tersenyum mengejek. Tampaknya mengerti apa yang dirasakan
lawannya karena melihat perubahan wajah sang prabu. “Sekarang
kau tidak akan mudah mengalahkanku!”

Dalam hati sang prabu membenarkan perkataan Purbasora.


Tenaga dalam saudaranya itu sekarang telah meningkat di atas

44

NANDAR HIDAYAT

tenaga dalamnya. Jurus-jurus yang dikeluarkan pun bukan


jurus-jurus yang didapat dari Rahyang Sempakwaja. Rupanya dia
telah mempunyai guru lain selain ayahnya. Sekejap mata prabu
Bratasenawa melirik kearah laki-laki berkepala botak yang berdiri
bersama Demunawan. Mungkinkah dia guru barunya Purbasora?

Beberapa jurus kemudian mulailah prabu Bratasenawa


terdesak. Karena tenaga dalam lawa yang setingkat lebih tinggi
darinya, setiap pukulan yang dilancarkannya ditepis dengan mudah
bahkan bisa membalik menyerangnya. Akibatnya sang prabu
mendapat dua pukulan balasan sekaligus, yaitu pukulannya yang
menyerang balik ditambah pukulan lawan yang menyusul begitu
cepatnya.

Satu, dua pukulan menghantam bagian-bagian tubuh yang


penting, seperti iga, rahang, dan perut. Meskipun prabu
Bratasenawa telah meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya
disertai jurus-jurus yang lebih sempurna. Tapi kepandaian Purbasora
kini di atas angin.

Hal ini membuat semua orang yang menyaksikan menjadi


khawatir dengan raja mereka. Walaupun mereka tahu latar belakang
sang raja tapi mereka sangat menghormatinya karena sifatnya yang
sejak kecil sudah sangat baik dan berbudi luhur. Tidak seperti
Purbasora yang seharusnya lebih bersikap baik karena dia anak
seorang Pandhita. Memang, latar belakang seseorang tidak
menentukan apakah sifatnya akan baik atau sebaliknya.

Set!

Degh!

“Aaaakh!”

Semua orang kecuali Demunawan dan si tinggi besar

45

NANDAR HIDAYAT

berkepala botak terkejut melihat prabu Bratasenawa terpental lalu


jatuh berguling-guling. Dari sela-sela bibirnya menetes darah segar.
Karena tenaga semakin terkuras, sementara lawan semakin kuat,
sang prabu tak bisa menghindari pukulan yang mengandung tenaga
dalam tinggi.

Dia terluka di dalam tapi cepat bangkit kembali, sesaat


pandangannya kbur lalu cepat menenangkan pikiran, mengatur
napas dan aliran darah serta mengerahkan kekuatannya kembali
secara penuh. Dia sudah siap kembali!

Purbasora menyeringai penuh ejekkan lalu melirik ke arah


saudaranya. Demunawan dan orang berkepala botak membalas
dengan senyuman. Senyuman kemenangan karena sebentar lagi
Purbasora akan mengakhiri pertarungan ini dengan kemenangan di
tangannya.

“Selamat jalan ke neraka anak haram!” Teriak Purbasora


kemudian sambil menghentakkan dua tangan yang disertai ilmu
pukulan yang mengandung tenaga dalam ke arah prabu
Bratasenawa. Ajian ‘Angin Merah’ yang dia keluarkan, sebuah ajian
yang bial digunakan, dari kedua telapak tangannya menghembus
angin yang sangat panas dan bisa membakar lawan. Saat
mengeluarkan pukulan ganas itu tubuhnya sampai condong
kedepan.

Pada saat yang sama prabu Bratasenawa juga sudah


mengeluarkan pukulan andalannya yang disertai tenaga dalam
penuh. Ajian ‘Bayu Sukma’ yang didapat dari Rahyang
Sempakwaja. Sebuah pukulan angin padat yang mengandung
racun.

“Ciaaat!”

46

NANDAR HIDAYAT

Wuss!

Dari kedua tangan masing-masing melesat serangkum angin


panas yang dashyat yang akibatnya bisa dirasakan oleh
orang-orang di sekitarnya, tubuh mereka seperti terkena percikan
bunga api yang panas.

Blarr!

Dua pukulan dashyat beradu keras sehingga menimbulkan


ledakan dan menggetarkan seantero tempat, beberapa prajurit yang
berjaga di depan teras tampak bermentalan, sementara para pejabat
yang menyaksikan di dalam teras sampai tersurut beberapa
langkah.

Yang lebih mengejutkan adalah sosok prabu Bratasenawa


terpental jauh bagaikan daun ringan yang terhempas angin
melayang-layang. Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang
menempel di keningnya terlepas. Melihat hal itu Purbasora segera
menyambar benda yang menjadi tanda kebesaran raja itu.

Ternyata pukulan yang dikeluarkan Purbasora lebih kuat


dibanding dengan pukulannya sehingga dia tak dapat menghindar
lagi dan pukulan Purbasora menghantamnya dengan ganas. Bahkan
pukulan ajian ‘Bayu Sukma’-nya berbalik menghantamnya.
Tubuhnya terasa sangat panas sampai ke dalam saat terkena dua
hantaman sekaligus, hantaman pukulan lawan dan pukulanya
sendiri yang berbalik.

Saat tubuh prabu Bratasenawa melayang-layang jauh hingga


sampai ke kuta istana tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang
menyanggah tubuh sang prabu lalu dengan cepat berkelebat lagi,
lenyap.

Lelaki berkepala botak yang melihat kejadian itu terkejut lalu

47

NANDAR HIDAYAT

secepat kilat dia pun melesat mengejar sosok bayangan yang


menyambar tubuh prabu Bratasenawa.

Suasana di halaman depan Bale Mangu menjadi gempar.


Para pejabat istana segera meninggalkan tempat itu. Sementara
para prajurit yang berdiri di depan pendopo tampak bingung harus
berbuat apa karena kalau melakukan perlawanan sama saja dengan
bunuh diri. Purbasora terlalu tinggi ilmunya buat mereka walaupun
jumlah mereka lebih banyak. Akhirnya mereka hanya terdiam saja.

Purbasora tertawa terbahak-bahak. “Dengarkan seluruh rakyat


Galuh!” Serunya menggema karena disertai tenaga dalam. “Mulai
hari ini, aku Purbasora yang menjadi raja di Bumi Galuh,
ha…ha…ha…!”

Tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan ratusan prajurit


bersenjata lengkap, sepertinya sebelumnya mereka sengaja
bersembunyi. Dari pakaiannya dapat dikenali bahwa ratusan prajurit
ini adalah prajurit paling handal sejak jaman raja Purnawarman dari
Tarumanagara, yaitu pasukan Bhayangkara dari kerajaan Inrda
Prahasta.

Para prajurit Galuh yang sedang kebingungan akhirnya


menjatuhkan senjata mereka dan berlutut di hadapan Purbasora
yang sudah menyatakan diri sebagai raja.

***

48

NANDAR HIDAYAT

Di luar kuta atau pagar istana sebelah belakang.

Di jalan yang menuju hutan lebat yang pohonya besar-besar


dan tinggi, sesosok bayangan tampak berkelebat cepat sambil
memanggul tubuh prabu Bratasenawa yang terluka parah di dalam.
Di suatu tempat yang dirasakan sudah aman barulah dia
menghentikan larinya lalu menurunkan tubuh sang raja.

“Terimakasih paman patih Jayengrana!” Ucap sang prabu yang


masih sadar dan menahan rasa sakit di dadanya. Ternyata patih
Jayengrana mempunyai kesaktian yang lumayan.

“Gusti prabu, segera telan obat ini lalu pulihkan kembali


tenaga gusti,” Saran sang patih sambil memberikan beberapa obat
yang berbentuk bulat-bulat kecil.

Prabu Bratasenawa melakukan apa yang disarankan sang


patih.

“Tampaknya ada orang yang mengikuti kita!” Kata sang patih


lagi sambil melihat ke belakang.

Ternyata benar pirasat sang patih. Lelaki tinggi besar


berkepala botak kini sudah berdiri beberapa tombak di arah
belakangnya. Untungnya prabu Bratasenawa sudah hampir selesai
memulihkan kekuatannya. Ternyata Purbasora sekarang lebih
sakti, ujarnya dalam hati.

“Gusti prabu!” Kata sang patih lagi. “Gusti permaisuri dan


raden Sanjaya sudah menunggu di kereta kuda dan siap berangkat,
mereka menunggu di ujung jalan sana,” Lanjutnya sambil
menunjukkan arah yang di maksud. “Biar hamba yang menghadapi
orang ini!”

“Sekali lagi terima kasih paman,” Ucap sang prabu lalu berdiri.

49

NANDAR HIDAYAT

“Jika sudah tidak memungkinkan untuk melawan maka janganlah


paman memaksa diri untuk melawan lagi, lebih baik mundur dulu…”

“Baik, gusti!”

Kemudian prabu Bratasenawa segera berlari ke arah tempat


yang di maksud sang patih.

“Jangan lari kau!” Teriak si botak hendak mengejar sang prabu


namun keburu dihalangi oleh patih Jayengrana.

Di ujung jalan sana akhirnya sang prabu menemukan sebuah


kereta yang ditarik oleh dua kuda yang di dalamnya sudah ada
permaisuri beserta anaknya yang masih berumur sebelas tahun.
Tampak seorang kusir duduk di depan dan empat prajurit
pendamping berdiri di sekeliling kereta.

“Ki Kusir dan kalian prajurit!” Panggil prabu Bratasenawa


setibanya di situ.

“Hamba gusti!” Jawab mereka serentak sambil menjura


hormat.

“Kalian boleh pergi, biarkan kami sendiri yang pergi!”

Sesaat pak kusir dan empat prajurit melongo, sebagai abdi


tentunya mereka akan menemani perjalanan sang raja. Tapi apa
boleh buat kalau sang raja sendiri sudah memerintahkan demikian.
Mereka pun segera berlalu meninggalkan sang prabu beserta
keluarganya.

Kemudian kereta yang ditarik dua kuda itupun bergerak


meninggalkan tempat itu, meninggalkan istana Galuh yang kini telah
berpindah tangan kekuasaanya. Prabu Bratasenawa sendiri yang
menjadi kusirnya. Dalam hatinya masih mendendam terhadap

50

NANDAR HIDAYAT

Purbasora lalu dia berharap kepada Sanjaya anaknya, dia berharap


suatu saat nanti anaknya akan merebut kembali tahta Galuh dari
tangan Purbasora.

***

51

NANDAR HIDAYAT

4.

WEJANGAN SANG RESI

Di sebuah bukit kecil yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar


dan tinggi sehingga keadaannya terasa menyejukkan. Sebuah bukit
yang berada di daerah yang bernama Denuh, masih termasuk
wilayah Galuh. Dua orang anak kecil yang umurnya kira-kira
sebelasan tahun, yang satu berkulit sawo matang yang satunya lagi
berkulit putih tampak begitu semangat memainkan jurus-jurus silat
dengan gerakan-gerakan yang indah namun cepat dan berisi di
halaman depan sebuah rumah panggung terbuat dari kayu.

Udara pagi begitu sejuk dan segar menambah rasa semangat


kepada dua bocah itu. Resi Wanayasa berdiri di teras rumah
memperhatikan semua gerakan anak didiknya. Anak yang berkulit
sawo matang itu adalah Santana, anak angkatnya. Lalu siapa anak
satunya?

Diceritakan sekitar satu setengah tahun yang lalu setelah


Santana dijadikan anak angkatnya, resi Wanayasa kedatangan
prabu Bratasenawa anak Amara alias Rahyang Mandiminyak,
adiknya. Beserta Sannaha istri sang prabu, raja Galuh yang
tersingkir ini menitipkan Sanjaya, anaknya. Karena di istana telah
terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan Purbasora.
Sementara mereka berdua mengungsi ke negeri ibunya Sannaha,
Dewi Parwati.

Jadi anak berkulit putih itu adalah Sanjaya yang masih


cucunya sang resi. Dengan demikian Santana mendapatkan teman
sebayanya.

Resi Wanayasa dalam mendidik mereka tidak

52

NANDAR HIDAYAT

membeda-bedakan siapa Sanjaya dan siapa Santana. Tapi


semuanya dianggap sama sehingga antara keduanya terjalin
persahabatan yang akrab. Santana yang polos serta sikapnya yang
agak ketololan dan Sanjaya yang rendah hati, ramah, serta tegas
layaknya sifat seorang raja karena dia memang keturunan raja.

Tidak hanya memainkan jurus secara bersamaan, tapi


mereka juga kadang bertanding satu lawan satu dari mulai jurus
tangan kosong sampai menggunakan senjata. Namun karena
mereka masih kecil jadi senjata yang digunakan juga bukan senjata
betulan seperti pedang yang terbuat dari kayu dan lain-lainnya.

***

Enam tahun kemudian kedua anak itu kini menjadi remaja


yang beranjak dewasa yang gagah dan tangguh berkat gemblengan
resi Wanayasa. Santana selalu membiarkan rambutnya yang
gondrong terurai di pundaknya namun masih menampakkan pesona
yang indah apalagi saat tertiup oleh angin sehingga tampak
melambai-lambai ditambah wajahnya yang cukup tampan.

Sedangkan Sanjaya selalu merapikan rambutnya dengan cara


digelung, ini akan memudahkan dirinya saat bergerak dan terasa
ringan. Intinya kedua pemuda ini memiliki perawakan yang kekar,
dada bidang dan perut yang berbentuk kotak-kotak yang
menandakan ototnya kekar.

Saat tengah hari tiba mereka menghentikan latihan silatnya


lalu beristirahat sambil menyantap makan siang di teras rumah. Tak
lupa resi Wanayasa selalu menemani mereka saa-saat seperti itu.

53

NANDAR HIDAYAT

“Sanjaya!” Panggil sang resi memulai pembicaraan.

“Ya, ki!” Sahut Sanjaya.

Sementara Santana hanya melirik sambil memakan singkong


bakarnya dan mengusap-usap bagian belakang kepalanya dengan
tangan kiri.

“Kau masih ingat saat pertama datang kesini?” Tanya si


kakek yang agak bungkuk ini kepada Sanjaya.

“Emmh, masih!” Jawab Sanjaya sambil angguk-angguk.

“Apa yang dikatakan ayahmu sebelum kau dititipkan di sini?”

“Kata ayahanda begini, di sini kau akan menimba ilmu yang


lebih banyak dan lebih tinggi lagi yang tidak pernah diajarkan di
istana sampai kau dewasa dan siap mengantikan ayahanda. Begitu,
Ki!” Tutur Sanjaya.

“Terus apakah kau tahu keadaan istana waktu itu?”

Sanjaya terdiam sejenak lalu menggeleng. Kelihatannya dia


mengingat-ingat sesuatu.

“Kau ingat sesuatu?” Tanya sang resi yang langsung


mengetahui karena raut wajah Sanjaya yang demikian.

Di samping Sanjaya sepertinya Santana acuh saja sambil


menikmati makanan dan mengusap-usap bagian belakang
kepalanya padahal telinganya selalu siap mendengarkan
percakapan Sanjaya dan orang tua angkatnya itu.

Setelah menarik napas panjang Sanjaya menjawab. “Aku


ingat waktu itu, waktu hendak berangkat kesini. Pertama, aku dan

54

NANDAR HIDAYAT

ibunda diantar oleh patih Jayengrana menuju belakang istana yang


sudah ada kereta kudanya di sana, anehnya kenapa jalannya ke
belakang?” Tutur Sanjaya lagi lantas melanjutkan. “Kedua, saat aku
dan ibunda sudah berada di dalam kereta kuda. Tiba-tiba ayahanda
datang seperti tergesa-gesa dan langsung menyuruh pak kusir serta
prajurit pendamping pergi, katanya biar ayahanda sendiri yang
menjadi kusir…” Sanjaya mulai menangkap sesuatu yang aneh
dalam pikirannya. Maklum waktu itu dia masih kecil belum mengerti
apa-apa.

“Kemudian!” Lanjut Sanjaya seperti ada yang terlupa tadi.


“Pada saat perjalanan menuju kesini, ayahanda selalu terburu-buru
melarikan kudanya seperti sedang dikejar-kejar orang saja!”

Santana tampak angguk-angguk kepala sepertinya dia juga


mengerti dengan apa yang dituturkan Sanjaya. Ada yang aneh
dalam perjalanan Sanjaya dan kedua orang tuanya waktu itu,
kembali pemuda gondrong ini mengusap-usap bagian belakang
kepalanya.

Sanjaya menghela napas, dia berpikir-pikir baru terasa


sekarang kalau saat itu ada yang janggal. Mungkin kakeknya ini
sebenarnya tahu apa yang terjadi, makanya sejak tadi dia
menanyakan hal itu. Tapi apa maksudnya? Yang ini dia belum
memahami.

“Aki pasti mengetahui sesuatu!” Ujar Santana yang sejak tadi


cuma jadi pendengar.

“Ya, benar!” Timpal Sanjaya sambil menoleh kearah Santana.


Mendadak dalam pikirannya ada satu cara untuk memancing
kakeknya untuk memberi keterangan.

Sang resi memandang dua muridnya silih berganti, sepertinya

55

NANDAR HIDAYAT

dia tahu rencana cucu dan anak angkatnya itu.

“Baiklah!” Ujar sang resi.

Santana dan Sanjaya pun saling pandang lagi dan tersenyum,


umpannya mengenai sasaran.

“Untuk diketahui kalian berdua…” Kata si kakek. “Terutama


Sanjaya sebagai keluarga istana, terlebih dahulu akau akan
menuturkan asal-usulmu…”

Santana tegakkan badan yang semula duduknya nyeleneh.

“Kenapa kau?” Tanya Sanjaya.

“Ini serius!” Jawab Santana dengan raut wajah yang agak tolol
dan sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya. “Jadi aku
harus mendengarkan dengan seksama.”

Sanjaya tertawa mengikik. “Ada-ada saja kau!”

“Sudah siap?” Tanya sang resi.

“Siap, ki!” Jawab Santana sedangkan Sanjaya hanya


mengangguk.

Resi Wanayasa menarik napas sejenak lalu mulailah dia


bercerita. “Prabu Wertikandayun pendiri kerajaan Galuh mempunyai
tiga anak laki-laki. Yang pertama adalah Rahyang Sempakwaja,
kedua aku sendiri dan ketiga Rahyang Mandiminyak. Karena aku
dan kakakku memiliki cacat di tubuh maka kami tidak memenuhi
syarat untuk menggantikan beliau menjadi raja. Akhirnya jatuhlah
hak waris sebagai raja kepada Mandiminyak karena dia tidak
memiliki cacat.

56

NANDAR HIDAYAT

Selanjutnya kanda Sempakwaja dinikahkan dengan Rababu


yang ternyata antara Rababu dengan Mandiminyak sebelumnya
sudah saling jatuh cinta. Karena Mandiminyak sangat tergila-gila
kepada Rababu, jadi dia sering mencari cara bagaimana supaya
bisa bertemu dengan Rababu secara diam-diam sebab Rababu tidak
tinggal di istana melainkan di padepokan Sempakwaja. Kakakku itu
memilih hidup menjadi Pandhita seperti aku.

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Pada saat kanda Sempakwaja


dalam keadaan sakit, Mandiminyak mendapatkan cara yaitu
mengundang Rababu ke acara pesta syukuran di istana.
Sebenarnya acara ini juga atas usulannya kepada ayah prabu. Di
saat pesta itulah Mandiminyak dan Rababu bertemu secara
diam-diam bahkan lebih dari itu.

Dari hubungan yang diam-diam itulah akhirnya Rababu


mengandung lalu melahirkan anak yang diberi nama Sena oleh
Sempakwaja, sena yang artinya salah. Tapi Mandiminyak
memberinya nama Bratasenawa.”

Santana mengangguk-angguk sambil mengusap-usap bagian


belakang kepalanya. Sedangkan Sanjaya hanya menunduk, nama
yang disebut terakhir tadi adalah ayahnya. Ternyata ayahnya adalah
anak dari hasil hubungan salah atau gelap.

“Sebelumnya…” Sang resi melanjutkan.” Rababu sudah


mempunyai anak dari Kanda Sempakwaja yaitu Purbasora dan
Demunawan. Karena tahu bahwa Sena adalah bukan anaknya maka
kanda Sempakwaja menyuruh Rababu untuk menyerahkan Sena
kepada ayah aslinya yaitu Mandiminyak. Setelah dewasa Sena
dinikahkan dengan Sannaha anaknya Mandiminyak dari istrinya
yang sah yaitu Dewi Parwati…”

“Jadi ayahanda dan ibundaku adalah saudara satu ayah tapi

57

NANDAR HIDAYAT

lain ibu!” Ujar Sanjaya.

“Ya, betul!” Timpal Santana sambil angguk-angguk pelan.

Sang resi juga mengiyakan lalu melanjutkan ceritanya.


“Ketika Mandiminyak mendapatkan warisan dari ratu Shima,
mertuanya dari kerajaan Kalingga, maka tahta Galuh diserahkan
kepada Sena…”

“Warisan dari ratu Shima itu apa?” Tanya Santana memotong


sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya.

“Sebenarnya warisan itu untuk Dewi Parwati yaitu wilayah


kerajaan Kalingga sebelah utara yang diberi nama Bhumi
Sambhara.” Jawab sang resi.

“Wah, jadi raja lagi!” Ujar Santana.

“Ya, begitulah!” Timpal sang resi.

“Selanjutnya?” Tanya Sanjaya.

“Selanjutnya anak kanda Sempakwaja, Purbasora tidak


senang atas naik tahtanya Bratasenawa karena dia merasa lebih
berhak atas tahta Galuh sehingga dia memberontak dan
menggulingkan kekuasaan ayahmu, Sanjaya.”

“Apa?” Sanjaya tidak percaya. “Kapan itu terjadinya, apakah


saat aku sudah berada di sini?”

“Saat Barasenawa mengantarkamu ke sini itulah sebenarnya


di istana telah terjadi perebutan kekuasaan. Ayah dan ibumu
mengungsi ke negeri akimu karena tak bisa mempertahankan
tahtanya…” Jawab sang resi.

58

NANDAR HIDAYAT

Terjawab sudah keanehan yang dirasakannya dulu.

“Jadi sekarang Purbasora berkuasa di Galuh?” Tanya Sanjaya


kemudian setelah merenung sejenak.

“Ya, sudah enam tahun lamanya…” Jawab sang resu. “Dan


sekarang sudah saatnya kau merebutnya kembali!”

“Aku?!” Tanya Sanjaya.

Santana melongo mengusap-usap bagian belakang


kepalanya.

“Iya,” Jawab sang resi. “Bukankah kau juga seorang pangeran


Galuh yang kelak akan mewarisi tahta Galuh? Ilmu-ilmu yang sudah
aku ajarkan selama enam tahun sudah cukup mampu untuk
manghadapi Purbasora. Satu lagi…” Sang resi berhenti sejenak
menatap silih berganti kearah dua muridnya. “Ini adalah permintaan
ayahmu juga, Sanjaya. Dia menaruh harapan padamu agar kelak
menjadi penerusnya.”

Suasana jadi hening. Angin sejuk bertiup menyegarkan


mengibaskan rambut Santana yang terurai. Dalam hati Sanjaya
mulai tumbuh benih-benih dendam begitu mengetahui apa yang
terjadi atas ayahnya. Ternyata untuk inilah ayahnya menitipkan dia
di sini. Ini berarti amanat dari ayahnya.

“Terus sekarang bagaimana?” Tanya Santana memecah


keheningan.

“Sekarang sudah saatnya aku memberikan tugas kepada


kalian.” Jawab si kekek. “Kalian akan turun gunung,”

Santana dan Sanjaya saling pandang lalu menoleh lagi kearah

59

NANDAR HIDAYAT

gurunya.

“Tugasnya sudah aku katakan tadi…” Lanjut sang resi. “Yaitu


merebut kembali tahta Galuh dari tangan Purbasora untukmu
Sanjaya. Dan kau Santana, tugasmu adalah membantunya…”

“Ya, ki!” sahut Santana.

“Bukankah kau ingin menjadi seorang pendekar yang baik


hati!” Ujar sang resi kepada Santana sambil menatapnya. “Kau ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa kau orang baik dan suka
menolong tidak seperti ayahmu yang seorang perampok.” Tutur
sang resi mengucapkan kembali keinginan Santana waktu kecil
yang terdorong dari sifat ayahnya yang jahat maka dia ingin menjadi
orang yang lebih baik dari ayahnya.

“Ya, ki!” Jawab Santana lagi. “Kabarnya ayahku kini jadi


buronan kerajaan Indrakila. Aku ingin mencarinya bahkan kalau bisa
aku sendiri yang akan mengadilinya!” Geram Santana.

“Satu hal yang sangat penting yang harus kalian terapkan


dalam menjalankan tugas nanti,” Kata resi Wanayasa. “Yaitu
janganlah kalian melakukannya dengan didasari rasa benci dan
dendam. Karena dendam hanya akan membawa petaka bagi diri
kalian sendiri,” Sang resi menarik napas sejenak lalu menatap ke
arah Santana. “Termasuk juga kau, Santana!” Ujarnya. “Sebenarnya
dalam hatimu ada dendam terhadap ayahmu sehingga kau
berkeinginan untuk bersifat baik sebagai bentuk perlawanan
terhadap ayahmu yang jahat!”

Santana menundukan kepala merasa benar apa yang


diucapkan sang resi tentang perasaannya.

“Niatmu memang baik, Santana.” Lanjut sang resi lagi. “Tapi


sekali lagi, jangan timbulnya niat baikmu hanya karena nafsu

60

NANDAR HIDAYAT

apalagi dendam. Tetapi harus ikhlas, tanpa pamrih. Jangan


mengharapkan suatu saat orang akan mengatakan ‘wah ternyata
anak seorang perampok berhati baik, berbudi luhur’ dan
sanjungan-sanjungan lain…”

Santana makin menunduk.

“Ikhlaskan perbuatan baikmu, jangan mengharap balasan dari


manusia dan pasrahkan semua kepada Sang Hyang Widi.”

Kemudian sang resi berganti manatap pemuda yang


rambutnya digelung. “Sanjaya!” katanya.

“Ya, ki!”

“Memang secara garis keturunan kau adalah pewaris tahta.


Tapi janganlah merebut tahta hanya karena dendam ayahmu.
Karena ingin memiliki istana yang megah, harta yang melimpah
serta kekuasaan yang besar. Itu sama saja dengan merampok.
Dasarilah hatimu dengan niat menegakkan kebenaran, menumpas
kesewenangan, keserakahan dan ketidak-adilan. Lebih dari itu, dan
ini yang paling penting adalah memakmurkan negeri dan
menyejahterakan rakyat…” Panjang lebar sang resi memberi
wejangan kepada cucu dan anak angkatnya membuat
tenggorokannya terasa kering. Akhirnya dia meminum air yang
terhidang di depannya.

Sementara dua murid sang resi tampak mematung larut


dalam pikirannya masing-masing.

Kakek bungkuk yang rambutnya hampir memutih semua ini


menghela napas setelah minum air putih tadi kemudian melanjutkan
bicaranya.

“Kita boleh saja memiliki harta yang melimpah, kekuasaan

61

NANDAR HIDAYAT

atau kepandaian dan kesaktian. Tapi itu semua hanyalah titipan


semata dari Yang Maha Kuasa, bahkan termasuk nyawa kita juga.
Kita hanya mengaku-aku saja. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak
mengambilnya kembali, kita tak akan bisa berbuat apa-apa. Kalau
kita kehilangan harta atau kekuasaan baik itu dirampok atau direbut,
janganlah kita merasa keberatan atau merasa tak ada gunanya jika
hidup tanpa itu semua, justru itu akan meringankan tanggung jawab
kita atas harta yang kita miliki itu…”

“Tanggung jawab?” potong Santana belum mengerti.

“Karena kelak saat Yang Maha Kuasa memanggilmu, Dia


akan menanyakan dari mana kau mendapatkan harta lalu digunakan
untuk apa harta yang kau miliki itu…” Jawab sang resi. “Dari mana
kau mandapatkannya? Apakah dari jalan berdagang atau
merampok? Lalu digunakan untuk apa? Apakah hanya untuk
berpoya-poya menghambur-hamburkannya untuk diri sendiri? Atau
juga untuk menolong sesama yang kekurangan, berbagi dengan
yang lain?”

“Kalau dari merampok dan hanya untuk kesenangan sendiri?”


Tanya Santana lagi karena hal ini menyangkut pada pekerjaan
ayahnya.

“Kau akan dijebloskan ke Kawah Candra Dimuka!” Jawab


sang resi.

“Kawah Candra Dimuka?” Ulang Sanjaya.

“Ya, sama dengan neraka!”

“Ohh…” Kedua pemuda mengangguk.

“Apalagi kehilangan tahta atau kekuasaan!” Ujar sang resi

62

NANDAR HIDAYAT

lagi.

Sanjaya mengangguk-angguk pelan pertanda mengerti.


Memegang kekuasaan tentunya sangat besar lagi tanggung
jawabnya terutama dalam mensejahterakan rakyat. Sebab kalau
rakyat sampai sengsara sudah pasti bukan hanya akan dibenci dan
dicemooh oleh rakyat saja sewaktu masih hidup, tapi hukuman dari
Yang Maha Kuasa nanti akan lebih berat. Ada pepatah mengatakan
bahawa suara rakyat adalah suara Tuhan.

“Sudah paham, kalian?” Tanya sang resi kemudian.

“Ya, ki!” Jawab mereka serempak.

“Ada lagi!” Kata sang resi tiba-tiba. “Tegakkanlah kebenaran


walau harus menghadapi keluarga sendiri!”

Mungkin kata-kata itu ditujukan untuk Sanjaya, pikir Santana


dalam hati.

“Mulai besok pagi kalian akan turun gunung,” Beritahu sang


resi.

“Lho!” Sanjaya dan Santana saling pandang.

“Tapi, aku masih berat meninggalkan aki di sini,” Kata


Santana.

“Terus kapan mulainya kau akan berbuat baik? Mencari


ayahmu yang buron?” Balik tanya sang resi.

Santana pun terdiam sambil mengusap-usap bagian belakang


kepalanya.

“Tugas yang pertama adalah menemui prabu Tarusbawa di

63

NANDAR HIDAYAT

kerajaan Sunda,” Jelas si kakek.

“Untuk apa, ki?” Tanya Santana.

“Kenapa tidak langsung ke istana Galuh?” Sanjaya


menimpali.

“Aku tidak tahu!” Jawab sang resi. “Tapi aku mendapat kabar
bahwa kedua orang tuamu, Sanjaya. Sudah berada di sana…”

“Dari mana aki tahu?” Tanya Santana lagi, seperti hanya


menggoda saja.

Resi Wanayasa condongkan badannya dan mendekatkan


wajahnya ke wajah Santana, keningnya tampak mengerenyit
sampai kedua alisnya yang keputih-putihan seperti menyatu lalu
berkata setengah berbisik. “Aku kan resi yang sakti…”

Santana tertawa geli mendengarnya. “Ternyata aki bisa


bercanda juga…”

Sanjaya ikut tertawa melihatnya.

“Orang tuamu sudah menunggu di sana…” Kata si kakek


kepada Sanjaya. “Perihal ada apa atau untuk apa ke sana nanti juga
kalian akan mengetahuinya sendiri sesampainya di sana. Karena ini
juga termasuk penting, yaitu meminta restu kepada orang tua untuk
menjalankan tugas kalian nanti. Doa otang tua itu didengar oleh
Hyang. Ada juga yang mengatakan restu orang tua adalah restu
Hyang…”

“Aku juga mohon restumu, aki!” Memohon Santana.

“Tentu saja, Santana” Jawab sang resi. “Aku sangat


merestuimu, dan mendoakan kalian semoga selalu dalam lindungan

64

NANDAR HIDAYAT

Sang Hyang Widi!”

Tak terasa hari pun beranjak sore, sang surya sudah condong
ke barat. Pembicaraan pun selesai. Besok dua pemuda ini siap
melaksanakan tugas.

***

65

NANDAR HIDAYAT

5.

MENEBUS DOSA

Untuk menca​pai tahap yang dibutuhkan Sanjaya sebagai seorang


raja, dia harus menjalani ujian terakhir, berkelana di seluruh negeri
dalam waktu setidaknya satu tahun. Itulah tradisi yang selalu
dijunjung turun-temurun di negeri ini.

Banyak yang bisa dipelajari dan diserap dari petu​alangan


hidup di segenap pelosok negeri.

Sebagaimana semua leluhurnya, dia bisa menghirup udara


hutan dan pedesaan tiap hari, merasakan berbagai persoalan yang
dihadapi rakyat secara langsung, menyaksikan dengan mata sendiri
berbagai kemajuan, atau kemunduran, yang dialami negeri ini, dan
menimba dari siapa pun ilmu yang seringan apa pun, dan kalau
perlu turut memecahkan per​soalan sehari-hari yang dihadapi siapa
pun, demi bekal yang akan dibawanya ke singgasana istana.

Lebih dari itu, melalui pengembaraan seperti itu, dia bisa


benar-benar merasakan menjadi rakyat. Bagaimanapun, rakyat
adalah pemilik sebenarnya negeri ini.

Bagaimana ia bisa mengatur rakyatnya dengan baik dan


bijaksana kalau ia tak pernah mengalami rasanya menjadi rakyat?

Ujian ini harus dijalani Sanjaya sendirian. Terus kenapa resi


Wanayasa memberikan tugas kepada Santana untuk
membantunya?

Di sebuah ujung persimpangan jalan yang terbuat dari


susunan batu pipih itulah kedua pemuda ini sudah siap hendak

66

NANDAR HIDAYAT

melakukan perjalanan. Sesuai perintah sang resi, Sanjaya akan


berjalan kearah selatan untuk menyusuri seluruh pelosok negeri
Galuh hingga ke tempat tujuan terakhir yaitu negeri Sunda,
sedangkan Santana akan mengembara kearah utara namun
tujuannya sama berakhir di negeri Sunda. Setelah itu barulah
Santana melaksanakan tugasnya membantu Sanjaya yaitu
menggulingkan kekuasaan Purbasora di istana Galuh.

“Hari ini kita akan berpisah untuk sementara,” Sanjaya


memulai pembicaraan. Seperti biasa dia selalu meggelungkan
rambutnya keatas. Dia mengenakan baju tanpa lengan warna
coklat, celana sepanjang betis warna hitam dan memakai kain
pinggang atau sering disebut Dodot warna coklat bercorak batik
yang diikat oleh ikat pinggang warna hitam.

“Kita akan berjumpa di Sunda nanti,” Timpal Santana yang


rambutnya lebih suka dibiarkan terurai di pundaknya, pakaiannya
sama dengan sahabatnya itu hanya bajunya berwana biru dan
celananya berwarna abu-abu. Yang lainnya sama.

“Semoga dalam perjalanan nanti kau diberi kekuatan untuk


menghadapi segala rintangan yang akan menghadang.” Ucap doa
Santana untuk sahabatnya.

“Kau juga , sahabat!”

Lalu mereka saling berpelukan. Sungguh berat rasanya


sebuah perpisahan, bertahun-tahun mereka selalu bersama sejak
kecil. Kini di saat akan melaksanakan tugas dari gurunya mereka
harus menempuh jalan masing-masing. Mengapa begitu? Karena
jika nanti mereka menghadapi suatu masalah tidak akan saling
mengandalkan satu sama lain, tapi akan berusaha memecahkan
masalahnya sendiri. Secara tidak langsung akan melatih
kemandiriannya.

67

NANDAR HIDAYAT

“Sampai jumpa, saudaraku!” Ujar Sanjaya setelah


melepaskan pelukannya.

“Sampai jumpa,”

Kemudian Sanjaya membalikkan badan dan memulai


melangkahkan kakinya yang terasa berat. Di tangannya membawa
buntalan yang berisi pakaian ganti.

Santana memandang kepergian sahabat yang sudah seperti


saudaranya itu sambil mengusap-usap kepalanya dengan tangan
kanan karena tanga kirinya juga memegang buntalan yang sama
seperti Sanjaya.

“Semoga berhasil, tuan pangeran!” Teriak Santana setelah


Sanjaya jauh.

Dari jauh Sanjaya menoleh mendengar teriakkan sahabatnya


yang memanggilnya dengan sebutan ‘tuan pangeran’ karena baru
kali ini dia mendengarnya. Lalu dia tersenyum dan Santana
membalasnya sambil usap-usap kepalanya.

Setelah sosok Sanjaya tak terlihat lagi barulah pemuda


berambut gondrong terurai ini melangkahkan kakinya. Memulai
petualanganya. Ada banyak rencana dalam benaknya. Yang
pertama adalah mendatangi rumahnya yang dulu di bukit
Cibaringkeng karena dia ingat sesuatu di sana.

Karena di jalan yang dia lalui tampak sepi, dia ingin mencoba
ilmu meringankan tubuh dengan cara berlari. Dan…

Wusss!

Tubuh Santana melesat begitu ringan saat berlari. Larinya


laksana kuda jantan yang perkasa yang berlari dengan kecepatan

68

NANDAR HIDAYAT

penuh. Dia melihat pohon-pohon tinggi di pinggir jalan seperti


bergerak sendiri kearah belakangnya. Sambil berlari seperti itu anak
angkat resi Wanayasa ini mengingat-ingat jalan yang menuju bukit
Cibaringkeng.

Jalanan yang dilaluinya masih terlihat sepi seperti tak ada


kehidupan, atau memang jalan ini tak pernah dilalui seorangpun
selain Santana saat ini. Setelah beberapa ratus tombak jarak yang
ditempuh Santana barulah tampak dari kejauhan bukit Cibaringkeng
berdiri kebiru-biruan warnanya. Dari semula hanya berlari dengan
kecepatan luar biasa kini Santana ingin mencoba ilmu meringankan
tubuh yang lain yaitu melompat, melesat terbang seperti burung
hinggap dari satu dahan pohon ke dahan yang lain.

Set! Set ! Set!

Jarak yang seharusnya ditempuh seharian menjadi lebih


cepat, selama sepeminuman teh akhirnya sampai juga di ujung
perbatasan jalan. Batas yang menghubungkan jalan kampung
dengan jalan masuk ke lereng bukit. Di sebelah kanan jalan sebagai
tanda batas terdapat sebuah arca setinggi orang duduk yang
bentuknya tidak beraturan. Inilah jalan menuju bukit Cibaringkeng,
bukit tempat masa kecilnya tinggal bersama sang ayah si kepala
rampok yang kejam dan ganas.

Sesaat pemuda ini memperhatikan arca yang sudah


bertahun-tahun berdiri di situ. Jika diperhatikan, kadang-kadang
bentuknya seperti seekor monyet raksasa. Tapi Santana tidak
memperhatikan lebih dalam lagi, dia melanjutkan perjalanan menuju
puncak bukit, dia melesat lagi bagai burung terbang.

Santana mendarat di halaman depan rumahnya yang tampak


sepi dan sepertinya hampir ambruk. Dia menghela napas sejenak,
mengingat perjalanannya tadi yang menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia merasa lega bisa menggunakannya dengan benar tanpa

69

NANDAR HIDAYAT

mengalami kecelakaan atau sesuatu hal yang buruk lainnya.

Pintu rumahnya tampak terbuka lebar, semula Santana


mengira pintu itu terbuka sejak dulu. Sejak peristiwa penangkapan
ayahnya. Tapi begitu melihat lebih dalam lagi dia terkejut melihat
seseorang sudah berada di dalam rumahnya. Dengan gerakan cepat
dan ringan dia melesat masuk ke dalam rumah.

“Siapa kau!” Sentak Santana begitu sampai di dalam. Dia


melihat seorang lelaki yang berpakaian seorang resi warna merah
menyala yang kepalanya mengenakan sorban india yang juga warna
merah sedang mengemasi dua buah kotak besar yang berbentuk
seperti peti. Sepertinya dia baru saja memasukkan beberapa barang
ke dalam peti-peti itu.

Lelaki bersorban ini terkejut mendengar suara sentakan


Santana lalu menoleh. Ternyata wajah ditutupi dengan topeng
terbuat dari kulit yang berwarna merah.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Santana kemudian, kedua


matanya mengawasi lelaki ini. Sayangnya dia tidak dapat
mengenalinya karena wajah lelaki ini memakai topeng.

“Siapa kau, berani campuri urusanku!” Lelaki bersorban itu


balas membentak dengan suara sangar.

Mendengar suaranya Santana seperti ingat seseorang, tapi


tak ada waktu untuk mengingat-ingatnya karena tujuan utamanya
bukan itu.

“Aku Kuntawala, pemilik rumah ini!” Jawab Santana sengaja


memakai nama ayahnya.

Walaupun ditutupi topeng merah tapi dari gerakan kepalanya

70

NANDAR HIDAYAT

menandakan bahwa lelaki ini terkejut mendengar jawaban Santana.

“Berani-beraninya kau…” Ucapan lelaki ini terputus seperti


ada sesuatu yang dipendam dan tidak ingin orang lain tahu. Sejenak
dia memperhatikan Santana. Ada rasa heran dalam benaknya.

“Ini rumahku dan yang ada di dalam peti-peti itu adalah


barang-barang simpananku dulu, enak saja kau mau mencurinya?”
Gertak Santana.

“Apa katamu?”

“Itu barang-barang hasil rampokanku!”

Inilah tujuan Santana kembali ke rumahnya, yaitu teringat


akan barang-barang hasil rampokkan ayahnya dulu yang disimpan
di sebuah tempat teersembunyi dan sekarang hendak
mengambilnya. Tapi dia heran kenapa orang bersorban merah itu
sepertinya tahu tempat penyimpanan barang-barang itu?

Begitu juga lelaki bertopeng, di balik topengnya dia


menunjukkan wajah heran. Timbul banyak pertanyaan dalam
benaknya.

“Pembohong!” Sentak si baju merah. “Kau bukan Kuntawala!”

“Kau tidak percaya?” Ujar Santana. “Rupanya kau belum


mengenali siapa Kuntawala, perampok ganas dari bukit
Cibaringkeng!” Lanjutnya sambil bertolak pinggang tapi kemudian
kebiasaannya dilakukan juga yaitru mengusap-usap kepalanya.

“Aku tidak akan percaya ucapanmu, pemuda tolol!”

Santana terkesiap. “Lantas siapa kau, kenapa kau sembunyi

71

NANDAR HIDAYAT

di balik topeng?”

“Bukan urusanmu, sekarang enyahlah dari hadapanku!”

“Kau yang harus menyingkir!”

“Kurang ajar!”

Si topeng merah tak bisa lagi menahan kemarahannya. Dia


langsung saja kirimkan serangan pukulan tangan kosong kearah
pemuda berambut gondrong yang mengaku sebagai Kuntawala ini.

Dengan enteng Santana melakukan gerakan menghindar.


Inilah saatnya menguji kemampuan yang dimilikinya.

Ternyata tenaga dalam orang bertopeng merah ini cukup tinggi


juga saat Santana sengaja memapas serangan yang dilancarkan
lawannya. Sehingga dia harus mengerahkan lagi tenaga dalamnya
untuk mengimbangi lawannya.

Perkelahian tangan kosong pun terjadi di dalam rumah yang


tidak terlalu besar ini.

Selain ingin menguji kepandaian yang dia dapatkan dari ayah


angkatnya, resi Wanayasa alias Rahyang Kidul. Santana juga
sambil menjajagi kekuatan lawan, memperhatikan gerakan jurus dan
mencari celah kelemahannya.

Berbagai pukulan dan tendangan dihadapi dengan tenang.


Karena begitulah yang diajarkan sang resi kepadanya bahwa jika
menghadapi seorang lawan yang ringan maupun sangat tangguh
harus dengan tenang jangan disertai dengan nafsu atau ambisi
untuk menang.

Makin lama makin bertambah kuat tenaga dalam yang

72

NANDAR HIDAYAT

dikeluarkan karena satu sama lain belum ada yang terdesak. Jika si
topeng merah tampak ingin segera menjatuhkan lawannya, lain
halnya dengan Santana yang hanya berusaha untuk bertahan
sambil terus mencari celah untuk membalas serangan lawan.
Kesempatan itu pun datang walau sangat kecil. Tangan kanan
Santana bergerak menyusup di antara gerakan lawannya. Lalu…

Dess!

Ujung jari tengah Santana berhasil menghantam dada si


topeng merah. Walaupun Cuma ujung jari tapi kekuatannya lumayan
dashyat. Tubuh si topeng merah sampai terpental kebelakang dan
menabrak dinding rumah yang sudah rapuh akibatnya jebol. Tak
bisa menahan diri, tubuh si topeng merah terjatuh keluar rumah
namun dia segera bangkit. Napasnya terengah-engah memburu
penuh amarah.

Dalam hatinya si topeng merah yang kalau dilihat dari


perawakannya sudah berumur enam puluhan tahun merasa heran.
Ada seorang anak muda yang begitu mudahnya menjatuhkan
dirinya dalam adu jurus tangan kosong dengan tenaga dalam
seimbang.

Sementara Santana merasa kagum kepada dirinya sendiri,


ternyata dengan pengerahan kekuatan yang seimbang dengan
lawannya dia begitu mudah menjatuhkannya. Dia merasa seperti
melempar ranting pohon saja. Tapi rasa kagumnya segera ditepis
karena barangkali saja orang berbaju merah itu memiliki kekuatan
yang lebih tinggi lagi.

Karena penasaran akhirnya si topeng merah melakukan


penyerangan lagi. Kali ini tenaga dalamnya ditingkatkan. Apalagi
bagi Santana, pikirannya yang masih muda tentu ingin mencoba
segala hal termasuk menjajagi lagi sampai di mana kekuatan

73

NANDAR HIDAYAT

lawannya.

Pertarungan adu jurus tangan kosong terjadi lagi, kali ini di


halaman depan rumah.

Salah satu watak ajian ‘Wadah Rahayu’ yang sudah melekat


di badan Santana sejak kecil selain untuk kekebalan adalah bisa
mempelajari gerakkan jurus yang digunakan lawan dan bahkan
langsung bisa menggunakannya. Tentunya setelah ajian ini
disempurnakan. Itulah yang dilakukan Santana saat ini, saat
lawannya menyerang dia hanya mengindar dan menghindar tapi
perhatiannya tak luput dari gerakkan jurus lawan. Sampai ada
kesempatan untuk menyerang maka yang dia gunakan adalah jurus
lawannya sehingga si topeng merah semakin dibuat penasaran.
Kenapa pemuda ini memainkan juruas yang sama dengannya?
Apakah pemuda ini masih satu guru dengannya? Pikirnya.

Lain lagi dengan Santana, dia merasapelajaran dari guru


sekaligus ayah angkatnya telah berhasil dia gunakan dengan benar.

“Anak muda, tunggu!” Si topeng merah hentikan pertarungan.

Santana hanya usap-usap kepala, raut wajahnya jadi tampak


tolol.

“Siapa kau sebenarnya?” Tanya si topeng merah yang


penasaran.

“Bukankah sudah aku katakan. Aku Kuntawala!”

“Aku tahu siapa Kuntawala yang sebenarnya, kau dusta!”

“Terserah kau mau percaya atau tidak!”

“Satu lagi,” Kata si topeng merah. “Dari mana kau

74

NANDAR HIDAYAT

emndapatkan jurus yang sama denganku tadi?”

“Kau tidak perlu tahu!” Jawab Santana sambil meyeringai


mengejek.

“Baiklah, tidak ada gunanya lagi berlama-lama denganmu!”

“Aku juga, muka merah!”

Dengan gerakan cepat si topeng merah melompat ke dalam


rumah, yang dia tuju adalah dua buah peti kayu besar yang berisi
barang-barang berharga yang telah dikemasinya tadi.

Tapi Santana tidak membiarkannya begitu saja. Begitu si


topeng merah hendak menyambar dua peti itu, pemuda gonrong
dengan rambut terurai ini menghentakkan kedua tangan yang sudah
terisi pukulan jarak jauh.

Wusss!

Satu gelombang angin dashyat menghantam rumah kayu.

Brak!

Blarrr!

Rumah kayu yang sudah rapuh itu hancur bagaikan dihantam


banjir bah. Dua peti besar dan berat mencelat ke udara. Saat itulah
Santana melesat menyambar dua benda itu. Begitu berhasil
mendapatkan keduanya, lalu dia hinggap disalah satu pohon yang
tinggi dan berdahan besar dan dia berdiri di dahan itu sambil
membawa kedua peti di kedua tangannya. Dua peti itu sebenarnya
sangat berat kalau diangkat oleh tenaga biasa.

“Dasar pencuri busuk, kembalikan padaku!” Teriak si topeng

75

NANDAR HIDAYAT

merah yang baru saja terbangun dari reruntuhan rumah. Rumah


sarang perampok itu kini sudah hancur tak bebentuk lagi.

Santana menyeringai lalu mencibir. “Apa katamu, pencuri?”


Lalu tertawa mengekeh. “Kau yang pencuri, pengecut busuk!”

“Jahanam, keparat!” si topeng merah sangat marah besar.

“Sudah saatnya aku menggunakan barang-barang ini.” Ujar


Santana dengan suara lantang, maksudnya supaya terdengar oleh
si topeng merah itu. “Terima kasih sudah mengemasinya dengan
baik!”

Lalu pemuda ini melesat meninggalkan tempat itu membawa


kedua peti yang berisi harta yang dulu dipendam ayahnya.

Sementara si topeng merah berteriak marah, kesal dan juga


dendam. Bukan hanya karena kehilangan barang yang sudah
dikemasinya saja, tapi merasa dipecundangi oleh seorang anak
muda yang tampangnya masih seperti anak kemarin sore. Padahal
dia adalah seorang tokoh yang banyak diperbincangkan orang saat
ini.

Sambil berteriak marah si topeng merah ini melancarkan


serangan jarak jauh berupa pukulan angin dashyat yang ganas ke
arah Santana yang sudah melesat kabur, namun pukulannya ini
hanya mengenai dahan-dahan pohon hingga patah dan tumbang.

Sosok Santana begitu cepat lenyap dari pandangan mata.

***

76

NANDAR HIDAYAT

Semua yang terdapat dalam dua peti kayu yang besar ini
adalah perhiasan emas hasil rampasan yang disimpan khusus
untuk persediaan. Lalu untuk apa Santana membawa barang-barang
hasil rampokkan ayahnya dulu? Sebuah rencana sudah tertulis
dalam benaknya.

Dengan menjual beberapa perhiasan kepada juragan kaya,


Santana bisa membeli seekor kuda jantan yang digunakan untuk
mengangkut dua peti kayu besar itu yang dikaitkan pada samping
kiri kanan punggung kuda. Sementara Santana tetap jalan kaki
menuntun kudanya.

Di tengah perjalanannya, tiba-tiba Santana menemukan


seorang lelaki yang sudah hampir tua tengah duduk menggeletak di
tanah di bawah sebuah pohon besar. Punggungnya menyandar ke
sebagian akar pohon yang menyembul dari tanah. Lelaki ini tampak
kurus dan lemas seperti kekurangan makan.

“Maaf, kisanak kenapa?” Sapa Santana setelah sampai di


depan lelaki kurus itu.

“Saya lemas, den.” Jawab si kurus dengan suara memelas.

“Kisanak, belum makan?”

“Belum, den. Persediaan makanan saya dicuri binatang…”

Kemudian dari dalam buntalan kainnya Santana mengambil


sebungkus nasi campur lauknya yang dibelinya tadi sewaktu
melewati sebuah kedai makan, lalu memberikannya kepada lelaki
kurus itu.

77

NANDAR HIDAYAT

“Ini ki, buat kisanak saja. Kebetulan saya masih ada bekal.”

“Terima kasih, den!” Si lelaki langsung menerimanya dengan


senang hati karena dia memang sudah lapar sejak dari tadi.

“Dan ini juga buat kisanak.” Santana memberikan lagi


beberapa keping uang sisa hasil penjualan perhiasan yang dibelikan
kuda.

Si lelaki kurus tampak lebih senang lagi menerimanya sambil


mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

“Wah, aden baik sekali.” Ujar si lelaki kurus.

“Sudah menjadi kewajiban saya untuk saling tolong


menolong, ki.” Kata Santana sambil senyum.

“Kalau boleh tahu, siapa nama anak muda ini?”

Santana diam sejenak. Dia berpikir dalam hatinya apakah


akan menggunakan nama ayahnya seperti waktu bertemu dengan
lelaki bertopeng merah yang hendak mengambil perhiasan di
rumahnya atau nama dirinya sendiri? Tapi, lebih baik jadi diri sendiri.

“Saya Santana.”

“Baiklah, den Santana. Sekali lagi saya ucapkan banyak


terima kasih, semoga aden selalu dilindungi oleh Sang Hyang Widi.”

“Sama-sama, Ki.”

Kemudian lelaki kurus ini bangkit dan pamit kepada Santana.


Pemuda berambut gondrong terurai ini pun melanjutkan
perjalanannya.

78

NANDAR HIDAYAT

Dalam perjalanannya dia mengingat-ingat jalan yang dulu


sering dilewatinya bersama ayahnya. Hingga sampailah di sebuah
kampung kecil yang keadaannya begitu sepi karena di kampung itu
hanya terdapat kurang dari dua puluh rumah saja. Rumah-rumah
yang terbuat dari bilik bambu. Seketika dia teringat saat bersama
ayahnya dulu menjarah semua harta yang dimiliki penduduk
kampung ini.

Setelah menambatkan tali kuda ke sebuah pohon, Santana


mendatangi salah satu rumah yang terdekat.

“Sampurasun!” Ucap Santana sambil mengetuk pintu.

Tak lama terbukalah pintu rumah itu dan muncul seorang


lelaki setengah baya. Santana masih ingat wajah orang ini. Dulu
orang ini tampak sangat ketakutan saat dipaksa menyerahkan harta
bendanya.

“Siapa ya, dan ada perlu apa?” Sapa lelaki yang ternyata saat
bicara tadi giginya kelihatan ompong.

“Kisanak masih ingat saya?” Santana malah balik Tanya


sambil menyeringai dan usap-usap kepalanya. Sungguh aneh dia,
mungkin maksudnya siapa tahu lelaki ompong ini masih ingat
wajahnya waktu kecil dulu.

“Kau ini aneh anak muda.” Ujar si ompong. “Kau yang


mengetuk pintu malah kau bertanya seperti itu. Ya jelas saya tidak
tahu siapa kamu, melihat saja baru sekarang!”

Santana tersenyum. Berarti benar orang ini tidak mengingat


wajahnya, tentu saja karena waktu itu mana ada kesempatan untuk
melihat wajahnya walaupun jaraknya dekat. Yang ada hanyalah rasa
takut karena nyawanya terancam.

79

NANDAR HIDAYAT

“Baiklah!” Kata Santana. “Nama saya Santana, apakah


kisanak pernah mendengar nama saya atau tidak, bukan suatu
masalah karena kedatangan saya kemari adalah untuk berbagi
dengan warga kampung disini.”

Lelaki ompong ini tampak bingung lagi mendengarnya.

“Apa maksudnya?” Tanya si lelaki ompong.

“Sudahlah, saya tidak waktu lagi. Sekarang sebaiknya


kisanak kumpulkan saja semua kepala keluarga di kampung ini.”

Sesaat lelaki ini masih bingung tapi akhirnya menurut juga


apa yang dikatakan Santana.

Beberapa saat kemudian semua kepala keluarga di kampung


ini sudah berkumpul di depan rumah si lelaki ompong. Seperti kata
Santana tadi, dia ingin berbagi dengan warga kampung. Maka setiap
kepala keluarga diberikan beberapa perhiasan yang diambil dari
dalam salah satu peti. Tentu saja warga kampung tidak menyangka
akan ada orang baik yang memberikan perhiasan emas begitu saja
tanpa meminta balasan apa-apa. Dan yang terpenting dari itu adalah
semua warga jadi senang karena mempunyai perhiasan sebagai
bekal untuk kehidupan mereka.

Walaupun sudah dikeluarkan untuk memberi orang


sekampung, ternyata isi dalam peti masih banyak.

Santana pun melanjutkan perjalanan. Kali ini dia melewati


sebuah jalan yang kiri kanannya terhampar sawah-sawah yang luas
yang tanaman padinya masih berwarna hijau setinggi betis.

Ada rasa puas dalam hatinya setelah membagi-bagikan


beberapa perhiasan kepada orang-orang kampong tadi. Walaupun
dulu, ayahnya yang telah merampas harta mereka. Tapi perasaanya

80

NANDAR HIDAYAT

seolah-olah dia yang berdosa maka dia juga yang ingin menebus
dosa itu. Setidaknya sudah membuat warga kampung tadi merasa
senang. Hal lainnya adalah orang tidak perlu tahu kalau dia adalah
anak Kuntawala si perampok yang kejam. Begitupun dengan
ayahnya tidak perlu tahu bahwa anaknya masih hidup dan menjadi
orang baik sebagai bentuk perlawanan sikap terhadap sang ayah.

Benar juga kata sang resi, ayah angkatnya. Bahwa dalam


berbuat jangan sekali-sekali didasari dengan rasa dendam, tapi
harus ikhlas.

Teringat dengan ayah kandungnya, Kuntawala. Dalam benak


Santana muncul keinginan untuk segera mencarinya. Tentunya
bukan karena perasaan rindu. Tapi karena ingin membuat ayahnya
menjadi orang baik, sebaik-baiknya. Walaupun semua itu pasti
sangat tidak mungkin. Sebagai jalan satu-satunya adalah
melawannya.

Tapi, dia ingat lagi kata sang resi. Bahwa dia tidak perlu
mencari ayahnya karena pasti akan bertemu dengan sendirinya
pada waktu tertentu. Kata-kata sang resi yang ini membuat hatinya
penasaran. Apa maksud sang resi mengatakan demikian? Atau ini
suatu rahasia yang sebenarnya sang resi sudah mengetahuinya.

Sehubungan dengan hal ini, Santana teringat juga tentang


kabar ayahnya yang melarikan diri saat akan menerima hukuman
dari raja. Pertanyaannya, apa yang dilakukan ayahnya sekarang?
Apakah masih merampok seperti dulu atau sudah tobat?

Perjalanan Santana selanjutnya adalah mendatangi setiap


rumah atau orang yang dulunya pernah dirampok ayahnya. Itu juga
sebatas yang dia ingat saja. Kepada orang-orang itu dia
memberikan beberapa perhiasan sebagai tanda ganti rugi walaupun
orang yang menerimanya tidak mengetahui maksud yang

81

NANDAR HIDAYAT

sebenarnya.

Begitulah yang Santana lakukan sampai semua perhiasan


yang ada dalam dua peti itu hampir habis. Bahkan kudanya pun
sekarang sudah dijual lagi lalu sisa perhiasan itu hanya disimpan di
dalam buntalannya.

Selain kepada orang-orang yang telah dirampok ayahnya,


Santana juga memberi kepada orang-orang lain yang sangat
membutuhkan seperti keluarga yang sangat miskin, pengemis dan
lain-lain.

Saat perutnya terasa keroncongan, Santana mampir ke


sebuah kedai makan yang kebetulan dijumpainya. Sebuah kedai
pinggir jalan yang berada dekat dengan alun-alun sebuah desa yang
bernama desa Rancaputat. Kedai ini tidak terlalau ramai, hanya ada
beberapa orang saja yang sedang mengisi perut seperti Santana. Di
saat enak-enaknya makan tiba-tiba terdengar suara teriakkan.

“Jarnipa! Aku datang menantangmu!”

Suara teriakan itu terdengar sejauh sepuluh tombak dari kedai


tempat Santana makan. Seorang lelaki setengah baya berambut
putih yang berteriak tadi berdiri di depan sebuah rumah yang terlihat
agak mewah yang letaknya berada dekat dengan Bale desa.

“Siapa dia?” Tanya Santana kepada pengunjung kedai lain


yang berada di dekatnya.

“Dia Barjawata,” Jawab orang itu agak gemetar suaranya.


Sepertinya dia merasa takut.

“Barjawata?”

“Dia orang yang suka mengacau di kampung ini,” Lanjut orang

82

NANDAR HIDAYAT

itu lagi. “Dia pasti akan menantang Ki Lurah.”

Santana terus memperhatikan Barjawata yang berdiri di depan


rumah yang ternyata milik Ki Lurah setempat.

Sementara terdengar orang di samping Santana bercerita. “Ki


Lurah Jarnipa adalah orang paling sakti di desa ini dan juga sangat
baik terhadap warganya. Karena kebaikan hatinya dia ingin
menurunkan kepandaianya dalam ilmu silat kepada
pemuda-pemuda desa agar menjadi pemuda tangguh dan hebat.”

Santana mengangguk tanpa menoleh.

Ki Lurah Jarnipa tampak keluar dari dalam rumahnya,


sikapnya begitu tenang.

“Barjawata.” Kata Ki Lurah pelan. “Lebih baik kau bertobat


saja, hentikan sepak terjangmu yang meresahkan warga.”

“Heah!” Barjawata membentak. “Hentikan ceramahmu, aku


datang kesini bukan untuk diceramahi, aku tidak peduli dengan
keresahan warga, seharusnya kau yang berlutut di hadapanku dan
menyerahkan jabatan lurahmu, karena aku sekarang lebih sakti
darimu!” Barjawata tertawa pongah. “Biar kubuat mampus kau
sekarang!” Gertaknya.

Begitu habis ucapannya Barjawata langsung bergerak


menerjang kearah Ki Lurah Jarnipa. Yang diserang sudah waspada,
dengan enteng dia melesat keluar dari teras rumahnya lalu
mendarat di tempat yang lebih luas. Bersamaan dengan itu
Barjawata sudah melesat kembali kearahnya dengan tendangan
yang ganas.

Sekali lagi Ki Lurah berhasil menghindari serangan lawan


dengan mengeposkan badannya. Kejap berikutnya terjadilah

83

NANDAR HIDAYAT

pertarungan adu jurus dan kekuatan yang dikeluarkan


masing-masing. Beberapa saat lamanya pertarungan ini tampak
seimbang. Namun pada jurus yang ke sembilan belas, tampak
Lurah Jarnipa mulai terdesak. Kini dia sadar kalau tenaga dalamnya
berada di bawah Barjawata. Ternyata lawannya sudah mengalami
peningkatan yang pesat, pikir Ki Lurah dalam hati.

Saat itulah Lurah Jarnipa mulai mengeluarkan ajian


andalanya, tidak tanggung-tanggung dia keluarkan ajian tingkat
paling tinggi, dia merasa tidak perlu banyak bertele-tele menghadapi
lawannya yang berbahaya ini. Tenaga dalam dikerahkan penuh, dua
tangan dikepalkan dan tampak berubah warna menjadi merah
sebatas siku.

“Keluarkan ajian ‘Wisangjenget’-mu, aku tidak takut!”


Barjawata mengejek. Tak ketinggalan dia juga mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengeluarkan ajian ‘Nagasagara’.

Sementara di sekitar tempat itu para warga sudah


berdatangan menyaksikan pertarungan Ki Lurah Jarnipa dengan
Barjawata.

Kejap berikutnya terdengar suara bentakkan nyaring dari


dua orang yang sedang mengeluarkan ilmu andalannya
masing-masing. Ki Lurah dan Barjawata sama-sama melesat cepat
seperti banteng yang hendak beradu tanduk.

Wesss..

Dess!”

Dua pukulan sakti beradu. Dua sosok terpental menjauh


sampai beberapa tombak. Beberapa orang jantungnya
berdebar-debar tak karuan, cemas dan khawatir. Barjawata sempat
terguling tapi cepat berdiri lagi, tampaknya dia tidak mengalami satu

84

NANDAR HIDAYAT

cidera apapun. Sedangkan Ki lurah tampak terpental


melayang-layang.

Tiba-tiba saja satu sosok menyambar tubuh Ki Lurah Jarnipa,


menyelamatkannya dari bahaya. Kemudian ki Lurah dibawa masuk
kedalam kedai. Sosok yang ternyata Santana ini memberikan
pertolongan mengobati luka yang diderita Ki lurah di bagian dalam
dengan mengalirkan hawa sejuk melalui tangannya dengan cara
ditempelkan ke punggung Ki Lurah. Setelah dirasa cukup, Santana
mendudukkan Ki Lurah Jarnipa di sebuah kursi.

“Terima kasih, nak!” Kata Ki Lurah pelan.

“Ki Lurah duduk dulu disini, tenangkan pikiran dan atur


napas.” Kata Santana.

“Siapa kau, berani mencampuri urusanku?” Terdengar suara


membentak Barjawata.

Santana melompat keluar dari kedai langsung berhadapan


dengan orang berambut putih ini.

“Kau sudah keterlaluan, orang tua!” Serunya.

Barjawata mendengus. “Anak kemarin sore berani jual


tampang di mukaku!”

“Kalau kau mampu, belilah tampangku!” Tantang Santana lalu


usap-usap kepalanya.

“Kurang ajar, kau menantangku! Terima ini!”

Barjawata meloncat membuat gerakan menendang, yang


dituju adalah kepala pemuda berambut gondrong anak angkat resi
Wanayasa ini. Pada saat kaki lelaki berambut putih ini jaraknya

85

NANDAR HIDAYAT

sejengkal lagi menghantam muka. Santana gerakan tangan kanan


menangkis.

Tak!

Walau gerakannya pelan tapi tenaga yang keluar cukup kuat


sehingga membuat tubuh Barjawata berputar meliuk dan bagian
kepalanya jadi mendekat kemuka Santana, saat itulah tangan kiri si
gondrong ini memukul kedepan.

Buk!

Tubuh Barjawata jatuh bergulingan di tanah tapi dengan cepat


dia segera bangkit lagi. Dia menggembor marah, tidak disangka dia
begitu mudah dijatuhkan dalam sekali gebrak. Ternyata tenaga
dalam pemuda ini cukup tinggi juga. Lalu dengan cepat dia pun
menyerang kembali dengan kekuatan penuh dan jurus-jurus yang
lebih dashyat lagi dibanding ketika menghadapi Ki Lurah Jarnipa.
Namun walaupun lawannya masih muda ternyata tak bisa
dipandang sebelah mata.

Gerakan Santana lebih cepat, yang dituju adalah urat-urat


penting di bagian tubuh lawan. Walaupun dia membenci lawannya
ini tapi tak ada niat untuk membunuhnya. Ini adalah kali kedua dia
bertarung melawan orang setelah sebelumnya melawan orang
bertopeng merah yang sampai sekarang masih penasaran siapa
sebenarnya orang itu.

Pemuda gondrong ini juga tidak menyangka kalau dia bisa


mengimbangi lawannya, tenaga dalam Barjawata masih tergolong
lemah baginya.

Tek! Tek! Tek!

Bagian-bagian urat penting di tubuh Barjawata terkena

86

NANDAR HIDAYAT

pukulan dan sabetan yang cukup kuat, akibatnya dia merasa


urat-uratnya seperti putus tubuhnya menjadi lemas bahkan lumpuh.
Lalu…

Brukk!

Sosok Barjawata terkulai lemas tak berdaya. Yang dilakukan


Santana memang hanya melumpuhkan kekuatan lawan saja. Dia
ingat pesan gurunya, dalam keadaan apapun janganlah sampai
membunuh lawan. Cukup melumpuhkan kekuatannya saja. Dengan
begitu berarti telah membuat keputusan yang bijaksana. Karena
dengan membunuh, bukan suatu penghakiman yang baik.

Terdengarlah suara sorak sorai orang-orang desa yang


menyambut gembira atas tumbangnya Barjawata yang selama ini
telah meresahkan semua warga desa.

Beribu ucapan terima kasih pun terlontar dari semua warga


desa kepada Santana yang kini menjadi pahlawan. Bukan hanya
menyelamatkan nyawa Ki Lurah saja tapi juga membuat desa itu
menjadi tentram lagi.

Dan Santana melanjutkan kembali perjalanannya.

87

NANDAR HIDAYAT

6.

PERAMPOK CANTIK

“Serahkan semua benda yang kau punya!” Seru seorang gadis


berparas cantik berambut panjang terurai sampai punggung, berkulit
putih mulus dan berpakaian serba hitam. Gadis ini menghadang
perjalanan Santana di sebuah jalan sepi yang menuju hutan.

Sementara pemuda berambut gondrong terurai ini bukan


merasa terkejut karena perjalanannya terganggu, tapi dia malah
terpana melihat kecantikkan si gadis yang menghadangnya itu.
Gadis itu kira-kira berumur setahun lebih muda dari Santana.

Dari ucapan si gadis, Santana mengerti apa maksudnya


karena di belakang si gadis itu sudah berdiri empat orang lelaki
bertampang garang masing-masing sambil menghunus senjata
berupa sebuah golok besar.

“Nona cantik, aku hanya membawa buntalan kentut ini.” Ujar


Santana sambil mengacungkan buntalannya. Wajahnya
menyiratkan raut ketololan.

“Aku tahu, di dalamnya ada barang berharga!” Si gadis


bertolak pinggang. Rambutnya yang terurai melambai-lambai
terhembus angin.

Santana tersenyum, dalam hatinya dia sama sekali tidak


merasa takut. Malah dia seperti mengagumi paras si gadis yang
tampak anggun saat rambutnya melambai-lambai itu.

“Cepat serahkan, kalau tidak…” Getak si gadis tampak

88

NANDAR HIDAYAT

bengis sambil pelototkan matanya.

“Ah, nona cantik tidak usah galak-galak seperti itu. Aku akan
menyerahkan pakaian butut ini dengan senang hati. Karena nona
sangat cantik apalagi kalau sedang galak seperti itu…”

“Diam kau, jangan banyak mulut!” Gertak si gadis lagi. Empat


orang di belakangnya terlihat mengayun-ayunkan senjatanya.

Santana tersenyum lagi menatap ke arah si gadis,


senyumannya ini membuat wajahnya yang tampan jadi tampak lebih
mempesona. Diam-diam si gadis yang bersikap galak ini jadi
berdebar-debar juga jantungnya saat ditatap Santana.

“Kalau pakaian butut ini cukup berharga, ya silahkan ambil


saja…” Ujar Santana. Dalam hati dia berkata. “Cantik-cantik kok
galak, siapa dia ya?”

“Lekas berikan!”

Dengan tenang santana melemparkan buntalannya ke depan.


Salah seorang lelaki di belakang si gadis menyambutnya lalu
segera membukanya. Ternyata memang benar di dalamnya cuma
ada tiga pasang pakaian ganti. Karena sisa perhiasan yang dibawa
telah dijual dan uangnya kini tersimpan dalam kantung kain yang
diselipkan di balik ikat pinggang Santana.

Si gadis terkejut melihat isi buntalan itu. Dia mendengus tidak


percaya. Kembali matanya melotot tajam ke arah Santana seperti
hendak menelan bulat-bulat kepala Santana. Tapi si pemuda
gondrong ini tak merasa takut sedikitpun, dia hanya tenang-tenang
saja.

“Kurang ajar!” Sentak si gadis. Walaupun begitu kecantiknnya

89

NANDAR HIDAYAT

tidak pudar. “Di mana kau sembunyikan uangmu?”

“Bagaimana kau bisa tahu aku membawa uang?” Balik tanya


Santana.

“Diam! Serahkan uangmu atau nyawamu melayang!” Si gadis


sudah tidak sabar.

Diancam seperti itu anak angkat resi Wanayasa masih


tenang sambil diam-diam menghitung kekuatan lawan jika terjadi
pertarungan nanti.

“Kalau aku tidak punya uang?”

“Pembohong!”

“Kalau begitu aku serahkan nyawaku saja, mati di tangan


seorang gadis cantik aku tidak akan penasaran,”

Si gadis geram merasa dipermainkan sementara empat orang


yang tampaknya anak buah si gadis sudah mendengus-dengus
menahan amarah seperti harimau lapar.

“Pemuda sombong, rupanya kau belum mengenal Kuntiwala


anak Kuntawala!”

Santana hampir saja tertawa cekikikan mendengar nama si


gadis. Namun dia segera menahan tawanya. Apa benar ayahnya
mempunyai anak selain dia? Jadi penasaran juga akhirnya, dia
ingin tahu siapa sebenarnya gadis cantik ini?

“Baiklah nona cantik yang bernama Kuntilanak…”

“Apa katamu!”

90

NANDAR HIDAYAT

“E..eh, ya. Maksudku Kuntiwala kau boleh mengambil


nyawaku. Tapi kalau kau tidak bisa mengambilnya maka sebagai
gantinya kau mejadi milikku!” Santana sempat tercekat dengan
kata-katanya sendiri. “Ini keceplosan atau apa?” Katanya dalam
hati.

“Sombong tolol!” Si gadis yang mengaku bernama Kuntiwala


anaknya Kuntawala memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
segera menyerang Santana.

Dalam beberapa kejap Santana dikurung oleh lima orang yang


tampak bernafsu ingin segera menghabisi nyawanya. Ini adalah hal
pertama yang dihadapi Santana, melawan lima orang sekaligus.
Tapi dia tetap bersikap tenang, dia pasti bisa meyelesaikan
masalahnya.

Kejap berikutnya terjadilah pertarungan yang tidak seimbang


di jalan sepi di hari yang beranjak sore. Lima orang mengeroyok
satu orang. Santana diserang dari berbagai penjuru. Empat golok
besar menyambar mencari sasaran sedangkan gadis bernama
Kuntiwala menyerang dengan tangan kosong saja.

Santana menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk


menghadapi serangan beruntun ini. Sehingga dua serangan dari
arah kanan yang mengincar kepala dan tangan kanan, serta dua
serangan lagi dari arah depan dan kiri berhasil dihindarinya dalam
dua kali gerakan saja. Serangan itu hanya mengenai sasaran
kosong. Belum ada kesempatan bagi Santana untuk membalas
serangan karena lawan menyerangnya secara bersamaan dengan
gerakan yang sangat cepat pertanda mereka adalah orang-orang
yang sudah terlatih dalam ilmu silat.

Sampai beberapa jurus keadaan tetap sama, lima orang


perampok ini belum bisa menyentuh sedikitpun bagian tubuh
lawannya. Mereka tak ubahnya seperti sedang memburu seekor

91

NANDAR HIDAYAT

lalat yang begitu lincah dan sukar untuk disentuh.

Lama kelamaan gerakan mereka melambat, itulah


kesempatan bagi Santana untuk membalas. Gerakannya seperti
belut yang licin menyusup di antara sambaran-sambaran golok
lawan yang tajam. Lalu…

Dess!

Degg!

“Uuukh!”

Dalam satu gerakan sikut kanan Santana berhasil


menghantam tulang rusuk salah seorang anak buah Kuntiwala
sehingga orang ini mencelat keluar arena pertarungan. Orang ini
hanya terpental tanpa merasa kesakitan apapun. Bersamaan
dengan itu kaki kirinya berhasil menendang bagian perut lawan
lainya. Nasibnya sama dengan orang pertama yaitu terpental jauh
dari arena pertarungan. Tapi aneh orang ini juga tidak merasa
kesakitan saat perutnya ditandang.

Gerakan berikiutnya setelah kaki kirinya menendang lalu


disapukan memutar ke kiri dan ke kanan.

Dugh!

Dugh!

“Akh!”

Dua orang anak buah Kuntiwala yang tersisa terpental lagi.


Kini tinggal Kuntiwala saja sendirian menghadapi Santana.

Dalam menghadapi gadis ini sendirian, Santana tidak

92

NANDAR HIDAYAT

betul-betul serius menggunakan jurus maupun mengerahkan


tenaganya. Karena saat sengaja memapasi serangan ternyata
tenaga dalam si gadis tidak begitu besar walaupun sebenarnya
mempunyai gerakan yang cukup lincah dalam memainkan
jurus-jurusnya. Pertanda si gadis sudah terlatih dengan baik
sebelumnya.

Sebaliknya si gadis yang mengaku bernama Kuntiwala


anaknya Kuntawala merasa kesusahan untuk menjatuhkan
lawannya. Jangankan melukainya menyentuhpun tidak bisa.
Akibatnya dia semakin bernafsu ingin segera menjatuhkan Santana,
tapi apa daya kemampuannya tidak sebanding dengan pemuda
gondrong ini.

Tiba-tiba ke empat anak buah Kuntiwala sudah bersiap lagi


menyerang Santana. Dengan senjata terhunus mereka serentak
menyerbu ke arah Santana.

Wuutt!

Empat golok besar dan tajam menghujam mengarah ke


bagian dada. Santana yang sedang sibuk memperhatikan gerakan
jurus si gadis tidak sempat menghindar. Namun dia tetap tenang
karena tubuhnya sudah terlindungi oleh ajian ‘Wadah Rahayu’.

Traang!

Saat empat golok bersama-sama menusuk dada Santana,


ternyata tubuh Santana kuat dan keras laksana batu gunung.
Akibatnya malah sebaliknya, empat golok besar yang terbuat dari
baja yang kuat itu patah-patah menjadi beberapa bagian. Tangan ke
empat orang yang memegangnya pun terasa bergetar hebat seperti
habis memukul benda keras ditambah tubuh mereka juga terpental
lalu sama-sama terjatuh bergulingan.

93

NANDAR HIDAYAT

Kuntiwala tampak terkejut melihat kejadian itu. Belum hilang


rasa terkejutnya tiba-tiba Santana memutar badannya yang
berporos pada kaki kanannya, dua tangannya meraih tubuh bagian
atas Kuntiwala.

Sett!

Dalam sekejap Santana berhasil menarik si gadis itu dalam


keadaan tangan kanannya menekuk menjepit bagian leher si gadis
dan tangan kirinya memegang tangan kiri si gadis yang
ditelikungkan ke belakang punggung. Posisi Santana berada di
belakang si gadis. Sehingga si gadis dalam keadaan terkunci.
Walaupun sudah berusaha meronta-ronta untuk melepaskan diri
namun pegangan Santana begitu kuat.

Ke empat orang anak buah Kuntiwala sudah mengurung lagi,


tapi mereka bingung harus berbuat apa, pimpinan mereka berada
dalam kekuasaan lawan, senjata pun sudah tak ada.

“Jangan macam-macam!” Sentak Santana. “Ingat yang aku


katakan tadi, kalau kalian tidak bisa mengambil nyawaku berarti
pimpinan kalian ini menjadi milikku.”

Empat orang lelaki bertampang garang itu saling pandang,


mereka bingung.

“Lantas kami bagaimana?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Terserah kalian, aku memberi kalian kebebasan untuk


menentukan jalan hidup kalian masing-masing. Tapi satu hal yang
penting adalah, jadilah kalian orang yang baik-baik…”

Ke empat orang ini terdiam. Setelah berpikir beberapa saat


akhirnya ke empat orang ini memutuskan untuk pergi meninggalkan

94

NANDAR HIDAYAT

pimpinanya yang masih disekap Santana.

“Maafkan kami, nona.” Kata salah seorang dari mereka.


“Tampaknya kami akan menempuh jalan hidup kami
masing-masing. Bukan sebagai anak buah nona lagi. Karena terus
terang kami sudah jenuh menjadi penjahat.”

“Bagus!” Timpal Santana. “Pergilah!”

“Baik, terima kasih anak muda!”

Ke empat orang itu pun pergi. Tinggal Santana yang kali ini
melepaskan cekalannya sehingga si gadis bisa menarik napas lega.

“Sekarang aku milikmu,” Ujar si gadis kali ini suaranya pelan


tidak garang lagi seperti tadi. “Terserah kau mau apakan aku, aku
pasrah…”

Santana menyeringai sambil usap-usap kepala. “Aku tidak


akan menyakitimu, nona cantik.”

Suasana jadi sunyi. Beberapa saat mereka saling pandang,


wajah galak si gadis sudah tak tampak lagi malah sekarang
kelihatan semakin anggun dan kemanja-manjaan.

“Sebanarnya aku merasa heran…,” Kata Santana memecah


kesunyian. Mengapa kau mengaku bernama Kuntiwala anaknya
Kuntawala, kepala perampok yang buron itu?” Tanyanya sambil
mengambil buntalan yang tadi sempat dibuka oleh anak buahnya si
gadis.

Si gadis terdiam, tampaknya pemuda di sampingnya ini


mengetahui kalau dia berbohong tentang namanya. Mungkin juga
pemuda ini lebih tahu tentang seseorang yang bernama Kuntawala,

95

NANDAR HIDAYAT

pikir si gadis dalam hati.

“Apa yang kau ketahui tentang Kuntawala?” Si gadis balik


Tanya.

“Banyak!” Jawab Santana singkat.

“Baiklah aku akan berterus terang..” Kata si gadis menghela


napas sejenak. “Sebenarnya aku hanya memanfaatkan kesempatan
ketika mendengar kabar bahwa Kuntawala perampok yang terkenal
itu sudah tertangkap prajurit khusus kerajaan Indraprahasta. Ayah
dan ibuku juga seorang perampok yang sudah lebih dulu ditangkap
dan dihukum mati, maka aku ingin melanjutkan pekerjaan mereka
dan juga membalas dendam. Aku memakai nama Kuntiwala
anaknya Kuntawala.”

Santana angguk-angguk kepala, ternyata gadis ini juga sama


seperti dirinya. Anak perampok.

“Apa kau tidak takut diburu oleh para prajurit kerajaan yang
meginginkanmu tertangkap?” Tanya Santana lagi.

“Buat apa takut, aku sudah pasrah kalaupun tertangkap juga


pasti nasibnya sama dengan orang tuaku…” Jawab si gadis dengan
nada putus asa.

“Sudahlah, lebih baik sekarang kau menjadi orang baik saja.


Kau kan cantik, sayang kan kalau sifatnya jahat…”

Wajah si gadis jadi tampak merona merah mendengar ucapan


Santana. Maklum sekarang mendengarkannya dalam keadaan
biasa tidak seperti tadi dengan sikap galak sehingga ucapan
Santana yang beberapa kali memanggilnya ‘nona cantik’ bukan
merupakan sebuah pujian. Tapi sekarang lain.

96

NANDAR HIDAYAT

“Oh ya, terus siapa namamu sebenarnya?” Tanya Santana


lagi.

“Anting kemala.” Jawab si gadis sambil menundukkan kepala.

“Tuh kan bagus, kenapa harus diganti jadi


Kuntilanak…ehh…eh..!”

“Iiiih…!” Si gadis yang ternyata bernama Anting Kemala


semakin tertunduk malu. Sikapnya seperti berubah drastis dari
galak menjadi manja dan pemalu.

“Ih.. jadi tambah cantik!”

“Sudah ah, kau sendiri siapa?”

“Namaku Santana, dan aku anak Kuntawala yang asli.”

Anting Kemala terkejut mendengarnya, pantas saja


kebohongannya diketahui oleh pemuda di sampingnya ini. Tapi
paras si gadis mendadak berubah.

“Kenapa, kau tidak usah takut.” Ujar Santana. “Aku orang


baik tidak seperti ayahku, buktinya kau sudah melihatnya tadi. Kau
percaya kan?”

Anting Kemala kini tersenyum, begitu manis sekali. Ya, dia


mulai menyukai pemuda ini. Dari sorot matanya memang
menunjukkan bahwa dia orang baik. Kalau tidak, sudah sejak dari
tadi mungkin Santana akan menyakitinya apalagi pemuda ini
memiliki kekuatan yang lebih. Lebih-lebih lagi saat pertarungan tadi
tidak ada satu orang pun yang dibikin cedera termasuk dirinya.
Diam-diam gadis ini mengagumi kepandaian Santana.

97

NANDAR HIDAYAT

7.

GARUDA BULU EMAS

Sang surya sudah condong ke barat, sebentar lagi senja akan tiba.
Santana dan Anting Kemala sedang duduk-duduk disebuah gubuk
kecil pinggir jalan yang menghubungkan kampung dan hutan.
Sebuah hutan yang paling lebat pohon-pohonnya sehingga
keadaanya cukup gelap walau di siang hari karena cahaya matahari
hanya sedikit yang menembus ke dalamnya. Sebuah hutan yang
menurut orang-orang kampung di dekatnya adalah hutan angker.
Hutan ini menghampar luas melewati tiga desa yang berada di
sebeleah utara wilayah kerajaan Indraprahasta, yakni desa
Baturuyuk, desa Kasokandel dan desa Giri Mukti.
Di sebelah kiri kanan jalan terhampar sawah yang begitu luas
yang tanaman padinya masih hijau. Suasana mulai sepi karena
orang-orang yang bekerja di sawah sudah pulah ke rumahnya
amsing-masing.

Berada dekat dengan seorang gadis perasaan Santana


menjadi lain. Ada sesuatu yang sepertinya membuat dia semangat
yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin saja karena
sejak kecil sudah ditinggalkan ibunya, atau selama hidup bersama
resi Wanayasa dia tidak pernah melihat perempuan. Atau juga
karena gejolak jiwa muda yang sedang menggelora dan
menggebu-gebu akan satu hal tentang asmara. Mungkin yang
terakhir ini yang lebih tepat.

“Anting Kemala,” Ucap Santana dengan suara lembut dan


sambil menatap ke arah si gadis.

“Ya,” Jawab Anting Kemala balas menatap dengan tatapan


mesra, tampaknya si gadis sudah memberikan jalan untuk pemuda

98

NANDAR HIDAYAT

gondrong ini.

“Aku harus memanggilmu apa, Anting saja atau Kemala


saja?”

“Terserah akang saja,”

“Apa!” Santana agak tersentak mendengar dia dipanggil


dengan sebutan ‘akang’.

“Ya, terserah akang saja,” Jawab Anting Kemala sambil


mengulum senyum manis.

Santana tatap lagi si gadis dalam-dalam seakan-akam


hendak menembus ke dalam jantung. Lalu menghela napas pendek.

“Baiklah aku akan memanggilmu nyai saja…”

Anting Kemala mengulum senyum lagi, keanggunannya


makin bertambah saat senyumnya tersimpul di bibir yang tipis nan
ranum. Apalagi saat rambutnya berkibar terhempas angin sore. Bagi
Santana pemandangan ini lebih indah dari pemandangan di
sekelilingnya.

“Hyang Widi Yang Agung, sungguh suatu perhiasan yang


keindahannya melebihi semua yang terhampar di jagat raya ini.
Betapa cantiknya bidadari-Mu yang telah kau turunkan. Lebih cantik
dari indahnya sinar rembulan saat purnama. Seandainya engkau
mengijinkan, maka aku akan membawanya ke dalam mahligai
istanaku yang megah,” Begitulah beberapa bait syair pujian yang
dilantunkan Santana.

Anting Kemala masih tersenyum mendengarkanya, hatinya


juga sedang berbunga-bunga. Sekian lama dia menjadi pimpinan
perampok yang galak, akhirnya hatinya luluh kepada seorang

99

NANDAR HIDAYAT

pemuda gagah dan tampan di hadapannya yang ternyata anak


seorang perampok juga.

“Bukankah aku sudah menjadi milikmu, kang!” Ujar Anting


Kemala.

“Benarkah?” Tanya Santana seperti tidak percaya.

Si gadis berambut panjang terurai ini memegang tangan


Santana dengan lembut. Terasa hangat dan begitu lembut kulit si
gadis. Rupanya walaupun dia rampok tapi masih sempat merawat
tubuhnya juga.

“Akangkan berkata kalau aku dan anak buahku tidak bisa


menghabisi nyawa akang, maka aku menjadi milikmu,” Tutur Anting
masih memegang tangan si pemuda malah kini dia memberanikan
diri menyandarkan tubuhnya ke bahu Santana. Semankin hangat
tapi semakin kencang debaran jantung Santana sampai-sampai
kebiasaannya mengusap kepala dilakukaknya beberapa kali.
Memang benar dia mengatakan seperti itu sebelum pertarungan
terjadi, tapi rasanya masih belum percaya sebab waktu itu dia
hanya bicara asal-asalan.

Suasana pun sunyi yang terdengar hanyalah binatang malam


yang sudah mulai bersuara walaupun hari masih senja.

Pertemuan awal yang kurang berkenan ternyata telah


menumbuhkan benih-benih asmara di antara keduanya. Terbersit
dalam benak Santana suatu pertanyaan, apakah Anting Kemala ini
hanyalah salah satu dari ujian yang dia hadapi dalam menjalankan
tugasnya? Atau memang sengaja dikirim Tuhan untuk menemani
hidup dan perjalanannya? Sejenak dia teringat sahabatnya,
Sanjaya. Bagaimana keadaanya sekarang?

100

NANDAR HIDAYAT

“Nyai,” Santana memecah kesunyian.

“Ya kang,”

“Apa rencanamu selanjutnya?”

“Setelah aku bertemu dengan akang, entahlah aku tidak tahu


harus kemana lagi karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi,
aku juga tidak tahu mau apa.”

“Lantas apa yang ada dalam pikiran nyai sekarang?”

“Inginnya si, aku selalu dekat dengan akang, aku merasa


nyaman dengan akang. Kalau akang berkenan aku akan menemani
perjalanan akang…”

Santana terpana, memang ini jawaban yang diharapkannya.


Ternyata gadis ini sudah benar-benar pasrah kepadanya. Mungkin
benar Yang Maha Kuasa mengirimkan bidadari untuknya.

“Aku tidak pernah merasa sesenang ini, nyai. Dan aku begitu
bersemangat jika dalam pengembaraanku ada seorang bidadari
yang menemani.”

“Ah akang bisa saja!”

“Oh ya, sejak kapan nyai memakai nama Kuntilanak,


eeh..apa..tuh…!”

“Iiih akang mah…” Anting Kemala menggelayut manja ketika


digoda oleh Santana.

“Iya-iya deh…”

101

NANDAR HIDAYAT

“Kira-kira setahun yang lalu,”

“Lho, bukankah ayahku tertangkap saat umurku masih


sepuluh tahun, kira-kira tujuh tahun yang lalu?”

“Ya, saat itu juga aku baru berumur delapan tahun. Berita
tertangkapnya ayahmu tepat setelah pelaksanaan hukuman mati
untuk ayah dan ibuku. Aku dibesarkan oleh kakek. Dilatih ilmu silat.
Dan saat kakekku meninggal saat itulah aku berkeinginan untuk
meneruskan ayah dan ibu, menggantikan mereka menjadi pimpinan
perampok. Lalu aku menghubungi kembali anak buah orang tuaku
yang masih tersisa. Dan agar lebih ditakuti orang maka aku
memakai nama Kuntiwala anaknya Kuntawala…” Tutur Anting.

“Dan pada akhirnya nyai menjadi anak Kuntawala betulan…”


Sambung Santana seraya mencubit hidung si gadis yang lancip itu.

“Iiih, akang genit!”

Keduanya sama-sama tertawa lepas bahagia sepertinya


kehidupan ini sangat indah mereka rasakan. Seakan-akan dunia ini
hanya milik mereka berdua. Tanpa mereka sadari langit sudah
menjadi hitam pertanda malam sudah datang. Udara semakin dingin
menusuk tulang dan suara lolongan binatang malam semakin ramai.
Namun semua itu tak mereka hiraukan karena dua insan ini telah
terbuai dalam keindahan cinta yang menggelora.

Begitulah cinta.

***

102

NANDAR HIDAYAT

Cetarrr!

Suara petir menggelegar mengagetkan sepasang pemuda


yang sedang terlelap dalam buaian mimpi. Anting Kemala yang
terbaring dalam pelukan Santana makin eratkan pelukannya.

“Ada apa kang, mau hujan ya?”

“Entahlah, sepertinya benar mau hujan.”

Tiba-tiba saja angin di sekitar tempat tiu bertiup sangat


kencang. Pohon-pohon besar tampak bergoyang seperti hendak
roboh. Daun-daun yang kering rontok berhamburan bagai hujan.
Suasana malam jadi mencekam. Langit tampak gelap tak terlihat
satu pun kerlipan bintang apalagi rembulan semuanya tampak
seperti tertutup awan hitam.

Gubuk kecil yang mereka tempati juga bergetar seperti


hendak roboh, bahkan sebagian atapnya ada yang terbang terbawa
angin kencang.

“Kang, aku takut!” Rintih Anting Kemala.

“Tanang saja, nyai.”

Santana mendekap erat Anting Kemala sambil mengalirkan


hawa hangat karena tiupan angin kencang yang menerpa mereka
sangat dingin. Keindahan yang mereka rasakan sebelumnya seperti
terhapus begitu saja oleh keadaan mencekam seperti ini. Ada apa
ini? Dikira akan turun hujan tapi ternyata tidak. Malah angin bertiup
semakin kencang dan berputar-putar di sekitar tempat mereka
berada.

Cetarrr!

103

NANDAR HIDAYAT

Suara Guntur menggelegar lagi disertai kilat yang menyala


berwarna merah kehijau-hijauan. Dalam sekejap suasana menjadi
terang lalu gelap lagi.

Tiba-tiba terdengar satu suara manusia yang menggema yang


sepertinya berada sangat dekat dengan mereka namun tidak terlihat
wujudnya.

“Kalian telah melanggar pantangan di sekitar hutan ini. Kalian


telah berani berbuat nista. Kalian akan menerima hukuman dariku
atas perbuatan kalian yang mencemari wilayah hutan Mandapa!”

Suara itu lenyap. Petir menyambar lagi dan angin bertambah


kencang hembusannya.

Jleggarrr!

Suara Guntur semakin dashyat, angin pun berubah laksana


badai topan melanda berbentuk pusaran yang mengitari gubuk
tempat Santana dan Anting kemala berada.

Anting Kemala semakin cemas dan ketakutan. Belum pernah


dia mengalami keadaan yang begitu mencekam dan mengerikan
seperti ini. Badannya sampai gemetaran lalu dia kuatkan
pelukannya ke badan Santana. Kini pemuda itu benar-benar jadi
tumpuannya.

Sementara Santana hanya berusaha setenang mungkin


menghadapi situasi yang juga baru dialaminya. Masih terngiang
suara yang menggema tadi. Dia memperhatikan ke seluruh tempat
dengan pandangan tajam mencari dari mana asal suara itu. Namun
yang terlihat hanya kegelapan.

Jleggarrr!

104

NANDAR HIDAYAT

Kilat menyambar lagi tepat di atas atap gubuk. Serta merta


membuat gubuk itu hancur berkeping-keping dan kedua insan yang
baru saling jatuh cinta ini ikut terpental ke atas terbawa pusaran
angin. Kontan saja Anting Kemala menjerit-jerit ketakutan.
Beruntungnya dia masih berpegang erat ke tubuh kekasihnya.

“Kang, aku takut sekali!”

“Jangan lepaskan peganganmu nyai, kuatkan. Aku akan


berusaha membawa kita keluar dari pusaran angin ini!”

Tubuh kedua muda mudi ini melayang-layang berputar


mengikuti arah angin. Sebenarnya Santana sudah mengerahkan
kekuatannya menggunakan ilmu meringankan tubuh paling tinggi
untuk lepas dari jeratan pusaran angin yang sepertinya sengaja
mengurungnya.

Namun apa yang terjadi, Santana seperti kehilangan


tenaganya. Hal ini pernah dialaminya dulu sewaktu masih kecil yaitu
terbawa angin dashyat yang merupakan ilmu dari ayahnya. Tapia
arah anginnya hanya lurus saja tidak berputar-putar seperti ini.

Jleggarrr!

“Aaaah…!”

Anting Kemala menjerit setinggi langit saat kilat menyambar


lagi tepat mengenai mereka berdua. Akibatnya pelukan mereka
terlepas, untungnya Santana masih sempat meraih kedua tangan si
gadis.

“Jangan panik nyai!” Seru Santana. “Aku akan memegang erat


tanganmu!”

Kini mereka tampak seperti baling-baling yang berputar

105

NANDAR HIDAYAT

kencang dengan poros berada pada dua tangan mereka yang saling
memegang kuat. Walaupun masih berada dalam genggaman
kekasihnya, Anting Kemala tetap ketakutan terus menjerit-jerit tiada
henti. Dan…

Jleggarrr!

Satu kilat dashyat menyambar lagi tepat mengenai tangan


mereka yang saling menggenggam. Akibatnya pegangan mereka
tak bisa di pertahankan lagi. Terlepas sudah genggamannya.

Terdengar jerit menyayat bagai merobek langit keluar dari


mulut Anting Kemala. Tubuhnya melesat bagaikan disedot lenyap
terbawa pusaran angin. Sementara tubuh Santana juga bagai
dihempas ombak badai mencelat entah kemana tak bisa
diterka-terka karena kedaan yang begitu gelap gulita.

“Antiiing…!”

Suara jerit menyayat Santana. Suara jerit kehilangan.

Tiba-tiba dari atas langit yang gelap berkelebat satu bayangan


besar menukik ke arah tubuh Santana yang sedang
melayang-layang lalu menyambarnya kemudian lenyap di kegelapan
membawa tubuh Santana. Saat bayangan besar itu menyambar dan
sebelum sosoknya lenyap terlihat tiga petir menyambar seperti
mengejar sosok besar itu.

***

106

NANDAR HIDAYAT

Sinar sang surya di pagi hari yang hangat membelai wajah


Santana yang tampak masih terpejam matanya. Sehinngga pemuda
ini membuka kedua matanya. Yang pertama dilihatnya adalah langit
biru yang cerah. Lalu dia seperti terkejut. Ternyata saat
membangunkan badannya dia berada di atas batu besar yang
berbentuk balok yang terletak di sebuah bukit kecil yang tandus.
Hampir tak ada pohon satupun. Santana usap-usap kepalanya.
Tiba-tiba dia ingat gadis pujaannya.

“Nyai…, Anting…, Anting kemala!” Santana


memanggil-manggil nama gadis itu.

Pikirannya mendadak cemas dan kacau, dia begitu sangat


mengkhawatirkan keadaan Anting Kemala. Dia merasa kehilangan.
Baru kemarin dia mengenalnya dan langsung jatuh hati. Belum juga
sehari dia melewatkan waktu bersama gadis itu sekarang sudah
terpisah lagi.

Akhirnya dia menghela napas panjang.

“Hutan Mandapa,” Gumam Santana mengingat-ingat nama


yang disebutkan suara tanpa wujud yang menggema. “Kemana aku
harus mencari Anting?” Lalu dia usap-usap lagi belakang kepalanya
yang sudah menjadi kebiasaannya.

“Hutan Mandapa!”

“Kreak…kreak…!”

Santana terkejut tiba-tiba terdengar suara mengeak yang


begitu jelas dan dekat, lalau dia menoleh ke arah datangnya suara.
Dan dia semakin terkejut lagi dengan apa yang dia lihat sekarang.

107

NANDAR HIDAYAT

“Kreak…kreak…!”

Sejauh dua tombak dari arah kanan Santana di dekat sebuah


batu yang berbentuk balok pipih meninggi seperti daun pintu yang
tingginya setinggi orang dewasa, berdiri seekor burung garuda
berukuran besar alias raksasa yang tingginya sama dengan tinggi
batu pipih itu. Bulu di kepala dan kakinya berwarna hitam
sedangkan bulu di sayap, badan dan cakarnya berwarna kuning
keemasan. Begitu juga dengan kedua matanya yang tampak seperti
batu berlian berwarna kuning keemasan dan memancarkan sinar
menyilaukan.

Santana terpana melihatnya. Baru kali ini dia melihat seekor


burung raksasa. Lalu dia teringat keadaan dirinya, di mana dia
berada. Bukan lagi di tempat semula berada sewaktu masih
berduaan bersama Anting Kemala. Lalu di mana dia sekarang?
Bingung dan heran melanda pikirannya.

“Kreak…kreak…!”

Binatang raksasa ini mengeak lagi sambil mengepakkan


sayapnya yang sebelah kiri. Gerakannya seperti sedang memanggil
Santana, namum pemuda ini masih tertegun.

“Kreak…kreak…!”

Sekali lagi burung garuda raksasa ini melakukan hal tadi.


Dengan perasaan yang masih heran dan bingung akhirnya Santana
bangun dari duduknya, perlahan dia menghampiri burung itu.

“Kau memanggilku?” Tanya Santana sambil usap-usap


kepala.

Si burung tampak anggukkan kepala.

108

NANDAR HIDAYAT

“Kreak…kreak…!”

“Kau mengerti ucapanku?”

“Kreak…kreak…!”

“Kau tidak bermaksud jahat, kan?”

Kali ini si burung menggeleng.

“Tampaknya binatang ini mengerti bahasa manusia.” Ujar


Santana dalam hati. “Kenapa kau memanggilku?” Tanya Santana
kemudian kepada burung itu.

“Kreak…kreak…!”

Burung garuda raksasa yang bulunya sebagian berwarna


emas ini mengembangkan sayap kirinya ke arah batu kotak pipih
yang bentuknya seperti daun pintu itu. Seperti tangan manusia yang
menunjuk.

Sengaja tak sengaja Santana melihat ke batu itu. Barulah dia


sadar kalau di batu itu terdapat suatu tulisan yang berbentuk ukiran
huruf yang berjajar dari atas ke bawah.

“Oooh…”

Santana mendekati batu berbentuk daun pintu ini.


“Tampaknya burung ini ingin mengatakan sesuatu padaku melalui
tulisan di batu ini.” Gumam Santana. Untungnya dia sudah diajari
baca tulis oleh ayah angkatnya, resi Wanayasa. Lalu denga
perlahan dia mulai membaca tulisan yang tergurat di batu itu.

109

NANDAR HIDAYAT

Namaku Ismayana

Umurku sudah seratus dua puluh tahun

Sebenarnya aku adalah manusia biasa seperti kamu, tapi


aku dikutuk menjadi seperti yang kau lihat.

Santana berhenti sejenak lalu memandang garuda bulu emas


ini. Si burung tampak mengangguk.

Tiga puluh tahun lalu aku dikutuk oleh penguasa hutan


Mandapa yang bernama Birawayaksa.

Santana terkejut dan memandang lagi ke arah si burung lalu


tampak mengangguk pelan. “Jadi kau telah menolongku saat aku
terlempar oleh angin dashyat malam itu?”

Sang garuda mengangguk. Barulah Santana dapat


menyimpulkan keadaannya sekarang.

Birawayaksa dan aku sebenarnya adalah saudara kandung,


tapi dia selalu menggunakan ilmu-ilmu sest seperti sihir,
teluh, tenung dan pelet. Sehingga aku selalu menentangnya
dan dia tidak terima lalu dia menyihirku menjadi seperti ini
untuk selamanya. Artinya aku tidak bisa lagi kembali ke
bentuk semula sebagai manusia biasa.

Selama tiga puluh tahun ini, walaupun wujudku seekor


burung. Aku telah memperdalam ilmu-ilmu yang aku miliki
sebelumnya ketika menjadi manusia biasa. Dan aku juga
menciptakan ilmu-ilmu baru dalam wujudku yang seperti ini.
Sekarang ini aku sedang mencari seseorang yang bisa
mewarisi semua ilmuku untk menghentikan semua tindak
tanduk Birawayaksa. Dan orang itu sudah aku temukan yaitu

110

NANDAR HIDAYAT

kamu.

Santana berhenti lagi.

Selain itu juga aku akan menjadi binatang tungganganmu


jika kau hendak pergi kemana-mana. Kau harus menerima
semua ini karena kau juga harus menyelamatkan sahabatmu
yang kini ditawan Birawayaksa.

“Apa, maksudmu Anting Kemala?” Tanya Santana.

Sang garuda mengangguk. Santana menghela napas


panjang. Sekarang sudah mengerti semuanya. Ini adalah tantangan
baru dalam pengembaraannya, selain itu juga dia akan mendapat
tambahan ilmu dan yang lebih penting dan membuatnya semangat
adalah menyelamatkan gadis pujaan hatinya, Anting Kemala.

Dia ingat kata ayah angkatnya, Resi Wanayasa. “Teruslah


menuntut ilmu selama kau masih hidup. Karena manusia diwajibkan
menuntut ilmu sejak dilahirkan hingga ke liang kubur. Karena ilmu
di luar sana masih sangat banyak dan luas apalagi ilmu yang
berasal dari Tuhan. Seumpana seluruh lautan di dunia ini adalah
tinta, maka tidak akan mampu menuliskan semua ilmu-ilmuNya.”

“Baiklah!” Kata Santana setelah merenung beberapa saat.


“Tapi aku harus memanggilmu apa, aki Ismayana atau…?”

Sang garuda menggelng lau melebarkan kedua sayapnya


sehingga tampaklah kegagahan burung raksasa ini. Memperhatikan
sebagian besar warna bulunya akhirnya Santana mendapatkan satu
nama untuk burung ini.

“Wahai burung garuda raksasa yang berbulu emas, karena


bulumu yang sebagian berwarna emas maka aku akan menyebutmu

111

NANDAR HIDAYAT

Garuda Bulu Emas!”

“Kreak…kreak…!”

Sang garuda mengangguk lalu menggenjotkan kedua kaki,


melesat ke udara terbang berputar-putar di langit tiga kali kemudian
menukik turun lagi ke tempat semula.

Santana tersenyum dan mengusap-usap leher burung itu. Si


garuda tampak merendahkan badannya, Santana mengerti
maksudnya. Lalu pemuda ini naik keatas punggung garuda. Untuk
kedua kalinya burung ini terbang melayang di angkasa, sekarang
sambil membawa Santaa.

“Cihuy!” Teriak Santana girang. “Ternyata enak juga terbang


tinggi, tapi awas jangan terlalu tinggi dan capat. Aku masih takut
belum terbiasa.”

“Kreak…kreak…!”

Begitulah akhirnya Santana mempunyai teman sekaligus


guru baru yang wujudnya berupa seekor burung garuda raksasa
yang diberinya nama Garuda Bulu Emas.

Burung garuda raksasa jelmaan seorang kakek berumur


seratus dua puluh tahun yang bernama asli Ismayana ini mulai
mengajarkan dan mewariskan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada
Santana. Baik yang dimiliki selama hidup menjadi manusia biasa
maupun yang didapat dan diciptakan setelah menjadi seekor
burung. Yaitu selama tiga puluh tahun.

Walaupun hanya menggunakan bahasa binatang, namun


Santana yang berotak cerdas ini mudah memahaminya. Apalagi
saat memperagakan gerakan suatu jurus maka Santana hanya
mengikuti gerakan yang dilakukan si burung. Terlebih lagi karena di

112

NANDAR HIDAYAT

dalam tubuhnya sudah tersimpan ajian ‘Wadah Rahayu’, maka


untuk menguasai satu jurus saja dia tidak memerlukan waktu yang
lama.

Beberapa jurus yang dipelajarinya adalah, Cakar Garuda


Merobek Langit, Cakar Garuda Merobek Bhumi, dan Cakar Garuda
Membedah Sagara merupakan jurus yang mengandalkan kekuatan
jari-jari tangan untuk mencakar. Kemudian jurus Kepak Sayap
Memapas Angin merupakan jurus yang menggunakan kekuatan
kedua tangan penuh yang digerakan seperti sayap.

Selain jurus ada juga beberapa ajian yang dia pelajari yaitu
Ajian Bayu Jangjang Dadali ajian yang apabila kedua tangannya
dikepakkan seperti sayap maka akan keluar ratusan cahaya hijau
seperti hujan yang akan menghujani tubuh lawannya hingga tebakar.

Kemudian Ajian Dadali Ngajerit Maratan Langit, ajian ini


mengandalkan suara yang menjerit dashyat hingga menghasilkan
gelombang suara yang memekakkan telinga bahkan bisa
memecahkan kepala.

Juga Ajian Garuda Perkasa, sebuah ajian untuk kekebalan


dan kekuatan dashyat untuk merobohkan lawan yang sangat kuat
dan tangguh.

Yang menjadi hal terpenting adalah mengajari bagaimana


caranya untuk menangkal ilmu-ilmu sesat yang dimiliki Birawayaksa
penguasa hutan Mandapa. Beberapa pantangan serta kelamahan
saudara kandung si burung garuda ini. Kadang-kadang bila Santana
benar-benar tidak mengerti dengan maksud si garuda, maka burung
itu akan menuliskan maksudnya pada sebuah batu dengan cara
mematukkan paruhnya.

Seperti kabar yang diterima Santana dari membaca tulisan si


burung adalah tentang keberhasilan Purbasora dalam

113

NANDAR HIDAYAT

menggulingkam kekuasaan Prabu Bratasenawa di istana Galuh


yaitu karena mendapat bantuan dari murid Birawayaksa yang
bergelar Iblis Merah Hutan Mandapa.

Garuda Bulu Emas juga bukan hanya meminta Santana


untuk melenyapkan Birawayaksa saja, tapi juga semua ilmu-ilmu
sesat yang dimilikinya termasuk juga muridnya.

Tentu saja sudah pasti Santana akan melaksnakan tugasnya


karena kebetulan berkaitan dengan tugasnya yang pertama dari resi
Wanayasa yaitu membantu Sanjaya merebut kembali tahta Galuh
dari tangan Purbasora.

***

114

NANDAR HIDAYAT

8.

PEMBALASAN IBLIS MERAH

Perasaan senopati Aji Dharma sedikit diliputi rasa heran. Karena


tidak biasanya sang Raja memanggilnya secara khusus di ruangan
pribadi raja. Dalam hatinya menduga-duga kemungkinan sang raja
akan menanyakan perihal kaburnya Kuntawala yang sampai saat ini
belum juga ditemukan.
Sudah enam tahun lamanya dia menugaskan perwira
bawahannya untuk mencari dan menangkap Kuntawala. Namun
belum juga ada hasilnya.

Setelah melewati jalan setapak yang di kiri-kanannya terdapat


kolam-kolam kecil yang banyak ikannya dan dihiasi dengan
tanaman bunga teratai yang menjulur indah di atas air. Akhirnya
sampailah senopati di pintu Bangongong bangunan Bale Bubut.

“Sembah bakti hamba, gusti prabu,” Ucap senopati Aji


Dharma sembari menjura hormat ketika sampai di hadapan sang
raja yang tengah duduk di sebuah kursi di teras ruangan.

Sang Raja yang umurnya sudah setengah baya seumuran


dengan senopati sendiri mengangguk pelan, sorot matanya
memandang kosong. Dia tidak mengenakan pakaian kebesaran
raja, hanya sehelai kain sutra panjang yang dililitkan di tubuh bagian
atasnya, dibagian bawahnya menganakan celana bercorak batik
berwarna kuning keemasan. Senopati Aji Dharma duduk bersimpuh
di salah satu undakan tangga kayu yang tepat berada di depan sang
raja.

115

NANDAR HIDAYAT

“Aji Dhama,” Panggil sang raja sambil menatap tajam ke arah


senopati andalannya.

“Hamba gusti!” Sahut senopati, sebaliknya dia hanya


menunduk pertanda sangat hormat kepada junjungannya.

“Kau tahu, kita semua tahu, bahkan seluruh rakyat dari


kerajaan-kerajaan kecil bawahan Galuh tahu.” Sang raja memulai
pembicaraan. “Bahwa enam tahun yang lalu di istana Galuh telah
terjadi penggulingan kekuasaan oleh Purbasora atas prabu
Bratasenawa, yang menurut kabar dia masih saudaranya prabu
Bratasenawa, raja yang berkuasa pasa waktu itu…”

Sang raja berhenti bicara, namun senopati Aji Dharma tidak


berani untuk sekedar menyela saja. Dia hanya menunuduk hormat
menunggu sang raja melanjutkan.

“Dan sejak saat itu prabu Purbasora memaksa kepada


raja-raja kecil untuk menaikkan upeti, hal ini berimbas pada rakyat
yang menjadi tercekik bahkan sengsara. Karena apa yang mereka
keluarkan lebih besar dari apa yang mereka peroleh. Banyak raja
kecil yang menentang, namum kekuatan prabu Purbasora begitu
besar, kau tahu siapa yang membuat dia kuat?”

Setelah menjura dan menarik napas sejenak, sang senopati


menjawab. “Pasukan Bhayangkara dari Indra Prahasta yang
terkenal kuat dan menjadi prajurit utama sejak jaman Tarumanagara
berada di belakang prabu Purbasora karena antara mereka ada
ikatan kekeluargaan…”

“Itu pasti, selain itu juga ada lagi. Kau tahu?”

“Menurut kabar yang hamba terima, pada saat prabu


Purbasora berhasil mengalahkan prabu Bratasenawa dia dibantu

116

NANDAR HIDAYAT

oleh seseorang yang berjuluk Iblis Merah Hutan Mandapa.”

“Ya, kau benar!” Sang raja mengangguk-angguk.

“Menurut sebagian orang menyangka bahwa Iblis Merah


Hutan Mandapa adalah seorang tokoh berilmu sesat yang
bersemayam di hutam Mandapa , yang dulu lebih dikenal namanya
dengan sebutan Birawayaksa…” Menjelaskan senopati.

“Itu juga benar,” Timpal snag raja. “Tapi semua orang di dunia
persilatan juga tahu bahwa sifat Birawayaksa tidak suka terlibat
dalam urusan kenegaraan, apa lagi membantu pemberontakan
Purbasora, dia tidak suka kekuasaan…”

“Itu juga yang membuat hamba bingung.” Ujar senopati Aji


Dharma, tapi dalam hatinya masih bertanya-tanya untuk apa dia
dipanggil kesini? Masa hanya membicarakan soal kesewenangan
prabu Purbasora?

“Mungkin si Iblis Merah Hutan Mandapa ini hanyalah salah


satu muridnya Birawayasa,” Kata sang raja menduga-duga. “Dia
menggunakan nama Hutan Mandapa mungkin agar dia lebih
ditakuti, karena semua orang tahu bahwa hutan Mandapa tempat
bersemayamnya tokoh yang sangat ditakuti sekarang.”

“Dugaan gusti prabu lebih masuk akal,” Ujar senopati


mendukung pemikiran rajanya.

“Tapi, ada yang aneh!” lanjut sang raja, tampak ada perubahan
raut wajahnya. Kali ini dia memandang kosong jauh ke depan sana.

“Aneh?”

“Ya, senopati. Orang yang berjuluk Iblis Merah Hutan

117

NANDAR HIDAYAT

Mandapa itu ternyata mengenalmu..”

“Apa, mengenal hamba gusti?”

“Ya!”

“Ampun gusti!” Sang senopati menjura. “Bolehkah hamba


mengetahui dari manakah gusti prabu mangatahuinya?”

“Beberapa saat yang lalu dia datang menemuiku…”

Senopati Aji Dharma tersentak kaget. Ternyata ini yang


hendak disampaikan sang prabu kepadanya. Jangan-jangan sang
raja menduga kalau dirinya dan Iblis Merah Hutan Mandapa ada
suatu hubungan.

“Menemui gusti prabu?” Tanya sang senopati tidak percaya.

“Ya, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya, kerana dia


memakai topeng kulit merah.” Jawab sang raja. “Secara tiba-tiba dia
datang padaku dan mengatakan bahwa dia, Iblis Merah Hutan
Mandapa ingin menemuimu senopati…”

Sang senopati lebih terkejut lagi dan makin penasaran


karena sebenarnya jangankan mengenalnya, mengetahui ciri-cirinya
saja dia belum tahu.

“Untuk apa dia ingin menemui hamba?”

“Itu yang aku tidak tahu!” Jawab sang raja tanpa memandang
lagi ke arah senopati.

“Jadi sekarang apa yang harus hamba lakukan?” Senopati Aji


Dharma tampak berpikir, bingung.

118

NANDAR HIDAYAT

“Itu terserah kamu, sekarang dia sudah menunggumu di luar


kuta belakang istana.”

“Apa?”

“Pergilah menemuinya, selesaikanlah apa yang menjadi


persoalanmu dengan dia jika memang antara kau dan dia ada suatu
masalah…”

“Tapi, hamba sama sekali belum pernah mengenalnya apa


lagi bertemu dengan dia sebelumnya…”

“Aku hanya menyampaikan, senopati!”

Kemudian sang raja bergegas masuk ke dalam dengan raut


wajah yang hampa. Tinggal senopati Aji Dharma yang masih
terduduk, masih heran, aneh dan penasaran dengan apa yang telah
disampaikan rajanya.

***

Di luar kuta artinya di luar benteng istana. Di bagian belakang


yang tenyata sebuah kebun palawija milik istana, kebetulan saat itu
baru habis masa panen dan belum ditanami kembali sehingga yang
terlihat hanya tanah lapang yang banyak berserakan daun-daun dan
ranting-ranting kering.

Senopati Aji Dharma menghentikan langkahnya ketika di


depannya, sejauh empat ombak tampak berdiri seseorang tinggi
besar berpakaian seorang resi yang berwarna merah, pada
kepalanya orang ini memakai sorban India yang juga berwarna

119

NANDAR HIDAYAT

merah. Orang ini tidak menghadap kearah datangnya sang senopati


alias membelakanginya.

“Akhirnya kau datang!” Terdengar suara besar yang


tampaknya keluar dari orang tinggi besar berpakaian merah ini.
Rupanya walaupun tidak melihat namun bisa merasakan
kedatangan senopati.

“Aku tidak pernah mengenalimu!” Sahut senopati Aji Dharma


langsung.

“Tapi aku mengenalmu!”

“Siapa kau sebenarnya?” Tanya senopati yang masih


penasaran sejak diberi tahu oleh sang raja. “Sebelumnya aku tidak
pernah mengenal bahkan bertemu dengan orang yang berjuluk Iblis
Merah Hutan Mandapa.”

“Nanti kau akan tahu!” Kata si baju merah yang tak lain
adalah si Iblis Merah Hutan Mandapa adanya. Lalu orang ini
membalikan badannya. Dikiranya senopati akan melihat wajah
orang ini, ternyata benar apa yang dikatakan raja bahwa orang ini
memakai topeng kulit berwarna merah.

“Tapi nanti, setelah kau berada di neraka!” Lanjut Iblis Merah


Hutan Mandapa dengan suara yang ditekan.

Senopati Aji Dharma yang sudah merasa tidak enak sejak


awal menjadi curiga. Dari perkataan orang berbaju merah ini jelas
sedang menginginkan nyawanya.

“Aku tidak pernah berurusan denganmu.” Ujar senopati


berusaha mengelak. Bukan berarti dia takut atau gentar. Tapi
memang dia merasa tidak pernah berurusan dengan orang tinggi
besar ini. Ada pepatah mengatakan musuh jangan dicari tapi kalau

120

NANDAR HIDAYAT

bertemu dengan musuh jangan lari.

Iblis Merah Hutan Mandapa tertawa keras. Suaranya seperti


hendak merobek gendang telinga senopati Aji Dharma. Namun
senopati andalan kerajaan Indraprahasta ini sudah sigap. Suara
tawa yang disertai tenaga dalam sudah biasa dia hadapi.

“Itu karena kau belum melihat wajahku yang sebenarnya!” Ujar


Iblis Merah Hutan Mandapa.

“Kalau ada silang sengketa diantara kita sebelumnya,


seharusnya tidak bersikap pengecut seperti itu.” Timpal senopati
sedikit memancing amarah. Dalam benak senopati merasa seperti
pernah mendengar suara orang tinggi besar ini, tapi belum bisa
menebaknya. Mungkin karena umur yang sudah hampir lanjut.

Si tinggi besar alias Iblis Merah Hutan Mandapa kembali


tertawa terbahak-bahak. “Aku beri tahu sedikit tentang urusan kita
biar kau tidak mati terlalu penasaran. Urusan aku dan kau adalah…
dendam…ha…ha…ha…!”

Senopati Aji Dharma tetap masih penasaran. Kalau urusan


dendam, mungkin orang-orang di masa lalu yang merasa tersakiti
sewaktu sang senopati masih malang melintang di dunia persilatan.
Rasa penasaran itu akan terjawab kalau si Iblis Merah Hutan
Mandapa membuka topengnya.

“Oh, ya!” Lanjut Iblis Merah Hutan Mandapa. “Aku ingat dulu
kau adalah seorang pendekar pilih tanding yang tentunya
mempunyai banyak musuh. Dan aku mungkin salah satunya, tapi
tak apalah biarlah aku mewakili semua musuh-musuhmu di masa
lalu dan biarlah pula kau mati dalam penasaran, ha…ha…ha…!”

“Kalau begitu tidak usah banyak basa basi lagi,” Sela


senopati. “Silahkan lampiaskan dendammu jika itu bisa membuatmu

121

NANDAR HIDAYAT

tenang!”

Kembali suara tawa Iblis Merah Hutan Mandapa membahana


lalu berseru. “ Kau masih saja sombong Aji Dharma!”

Sejenak senopati Aji Dharma teringat dengan suara yang


membentak ini. Namun belum sempat ingatannya datang. Iblis
Merah Hutan Mandapa sudah bergerak melancarkan serangan
dengan jurus tangan kosong yang dialiri tenaga dalam.

Maka terjadilah pertarungan adu jurus tangan kosong yang


cukup mematikan karena keduanya sama-sama menyertakan
tenaga dalam di setiap gerakannya. Walaupun senopati Aji Dharma
sudah berpengalaman menghadapi banyak lawan dan mengenali
banyak jurus. Tapi jurus yang dikeluarkan Iblis Merah Hutan
Mandapa baru sekarang dia mengetahui dan menghadapinya.
Mungkin benar juga kalau Iblis Merah Hutan Mandapa adalah
muridnya Birawayaksa dari hutan Mandapa. Karena selama
berkelana senopati Aji Dharma belum pernah bertemu bahkan
menghadapi tokoh sesat yang satu itu.

Lima belas jurus sudah berlalu. Senopati Aji Dharma masih


bertahan. Namun saat dia terpaksa harus menangkis sebuah
pukulan lawan yang tak bisa dihindari, dia baru merasakan kalau
tenaga dalam Iblis Merah Hutan Mandapa berada di atasnya.
Terlebih lagi karena ukuran tubuh si Iblis Merah yang lebih besar.

Tap! Tap!

Dua telapak tangan beradu membuat tubuh senopati Aji


Dharma terdorong kebalakang sampai empat tombak. Hal ini
dilakukan terpaksa karena seperti tadi dia tak bisa lagi menghidari
pukulan lawan sehingga harus menyambutnya dengan papasan.

Sedangkan Iblis Merah Hutan Mandapa hanya tersurut satu

122

NANDAR HIDAYAT

tombak saja. Pertanda tenaga dalamnya bukan tandingan sang


senopati.

Sang senopati bukannya tidak menyadari hal ini, tapi dengan


rasa yakin dia masih bisa menghadapi lawannya. Maka saat jarak
berjauhan dia tingkatkan tenaga dalamnya bahkan langsung siap
mengeluarkan ilmu andalannya. Hawa saktinya dialirkan ke dua
telapak tangannya sehingga tampak memancarkan sinar
kemerah-merahan lalu kedua tangannya diputar-putar di depan
dadanya.

Wus! Wus!

Dari kejauhan dua telapak tangan yang bersinar tampak


seperti bintang berekor yang berputar-putar.

Di balik topeng merahnya Iblis Merah Hutan Mandapa


menyeringai angkuh penuh kesombongan karena dia merasa lebih
unggul dari senopati andalan kerajaan Indraprahasta ini. Bahkan
kalau dia mau, dia bisa saja merebut kekuasaan raja Indraprahasta.
Tapi dia lebih memilih kekuasaan yang jangkauannya lebih luas.

Wus!

Satu sinar merah yang memancar keluar dari salah satu


tangan senopati berkiblat menghantam kearah Iblis Merah Hutan
Mandapa. Namun dengan gerakan cepat dan mudah sang Iblis
Merah dapat menghindari serangan jarak jauh itu.

Blaar!

Sinar merah kiriman sang senopati mengenai tanah kosong.


Akibatnya daun-daun dan ranting kering berhamburan ke udara.

“Ha..ha..ha…!” Terdengar suara tawa Iblis Merah Hutan

123

NANDAR HIDAYAT

Mandapa. Tawa yang mengejek.

Wuss! Wuss!

Dua sinar berkiblat lagi dalam jarak waktu yang sangat cepat
dari sinar yang pertama.

Blaarr! Blaarr!

Namun pukulan dashyat ini kembali hanya menganai sasaran


kosong. Iblis Merah Hutan Mandapa begitu cepat gerakannya untuk
menghindar. Terdengar lagi tawanya yang menggelegar laksana
hendak mengguncang seantero tempat itu.

Sambil tersenyum mengejek lelaki tinggi besar bersorban


merah ini melompat ke udara melakukan gerakan jungkir balik
sambil mengerahkan hawa sakti ke dua tangannya. Kemudian saat
hendak mendarat dia hentakkan kedua tangannya kearah senopati
Aji Dharma yang masih bersipa-siap melancarkan serangan
berikutnya.

“Heaaa…”!

Wuuss!

Dari kedua tangan Iblis Merah Hutan Mandapa melesat dua


sinar hitam menggidikkan. Begitu sinar hitam itu terlepas keluar si
baju merah ini sudah mendarat dengan berdiri.

Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sinar merah


yang berasal dari dua tangan senopati Aji Dharma.

Wuuss!

124

NANDAR HIDAYAT

Jleggarrr!

“Aaaakh..!”

Dua pukulan dashyat beradu di udara sehingga menimbulkan


ledakan yang dashyat pula. Kebun ladang di belakang istana
bergetar hebat laksana dilanda gempa.

Kalau Iblis Merah Hutan Mandapa hanya bergetar saja


badannya saat terjadi ledakan, dia tidak terluka sedikitpun akibat
dari ledakan itu.

Lain halnya dengan senopati Aju Dharma. Akibat dari ledakan


dashyat itu tubuhnya terpental jauh hingga beberapa tombak.
Seluruh tubuhnya terasa sangat panas seperti terbakar. Panas
serasa membakar urat-urat di dalam tubuhnya hingga pecah dan
hancur lalu dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak lagi alias telah
melayang nyawanya. Berakhir sudah riwayat senopati Aji Dharma,
senopati andalan kerajaan Indraprahasta tanpa mengatahui pangkal
sebab permasalahannya dengan Iblis Merah Hutan Mandapa yang
menewaskannya.

Iblis Merah Hutan Mandapa mendekati mayat senopati Aji


Dharma lalu badannya membungkuk sedikit dan menarik topengnya
keatas. Dia memperlihatkan wajahnya setelah senopati tewas.

“Kau ingin tahu wajahku!” Katanya sambil menyeringai puas.


“Nih, lihatlah dengan puas, ha…ha…ha…!”

Tentu saja sang senopati tidak bisa lagi melihat wajah Iblis
Merah Hutan Mandapa. Karena dia sudah berada di alam sana.

***

“Aku sudah menyelesaikan urusanku dengan Aji Dharma.”

125

NANDAR HIDAYAT

Kata Iblis Merah Hutan Mandapa kepada sang raja Indraprahasta


yang berdiri di depan pendopo istana. Lalu dia menjatuhkan tubuh
senopati Aji Dharma yang sudah tak bernyawa yang semula
dipanggul di atas pundaknya.

Brukk!

Sang raja sebenarnya terkejut melihat kenyataan senopati


unggulannya telah jadi mayat. Namun dia sembunyikan wajah
terkejutnya dengan berdiam tanpa kata. Dalam hatinya berkecamuk
dendam. Ingin rasanya dia menghajar orang bertopeng merah yang
berdiri di hadapannya, tapi kemampuannya membuat dia merasa
pengecut.

Tanpa pamit lagi Iblis Merah Hutan Mandapa berkelebat pergi


meninggalkan halaman pendopo. Hanya suara tawanya saja yang
terdengar keras.

Sang senopati agul telah gugur.

***

126

NANDAR HIDAYAT

9.

PENYERBUAN KE GALUH

Sungai Citarum, sungai besar dan berair jernih yang menjadi


perbatasan antara Galuh dan Sunda. Siang hari yang terik ini
tampak beberapa kapal besar yang mengangkut sekitar tiga ratus
prajurit dari kerajaan Sunda tengah menepi kepinggiran sungai.
Sanjaya, adalah orang yang menjadi pimpinan rombongan
pasukan ini. Dia berada di kapal yang paling depan yang telah lebih
dulu menepi, dia beserta prajurit yang mendampinginya sudah
berada di daratan. Sementara kapal-kapal yang lain pun mengikuti.
Seperti biasa rambutnya selalu digelung keatas, kali ini dia
berpakaian sedikit resmi, yaitu sebuah pakaian untuk berperang.

Ini adalah perjalanan Sanjaya yang kembali hendak menuju


Galuh setelah sekian lamanya mengunjungi negeri Sunda. Dia
kembali membawa pasukan sebanyak ini untuk merebut kembali
tahta Galuh dari tangan Purbasora yang telah merebutnya dulu dari
tangan ayahnya, Bratasenawa.

Begitu banyak pengalaman dan pelajaran yang dia dapatkan


selama berada di Sunda. Seperti ketika pertama kali datang
kesana, dia mengutarakan tentang keinginnanya kepada prabu
Tarusbawa bahwa dia ingin meerebut kembali kekuasaan Galuh.
Sang prabu Tarusbawa tidak begitu saja langsung memberikan
bantuannya.

Prabu Tarusbawa ingin menguji kemampuan Sanjaya terlebih


dahulu. Di antaranya mempelajari kitab yang diciptakannya yang
bernama Pustaka Ratuning Bala Sarewu. Kitab tentang siasat
dan taktik perang. Selain itu juga harus menerapkan apa yang
didapat dari kitab tersebut, yaitu menghadapi pasukan bajak laut

127

NANDAR HIDAYAT

yang meresahkan di sekitar perairan kerajaan Sunda. Karena,


menumpas bajak laut ini juga merupakan bagian dari ujian umtuk
Sanjaya.

Dan, karena kecerdasan dan ketekunan serta keberanian


Sanjaya. Maka dia berhasil melewati semua ujian yang diberikan
prabu Tarusbawa. Semua perompak atau bajak laut yang merajalela
di perairan Sunda yang konon katanya didalangi oleh kerajaan
Sriwijaya dari Swarna Bhumi dapat ditumpas habis oleh Sanjaya.

Sebagai imbalannya atas keberhasilannya, prabu Tarusbawa


menikahkan cucunya yang bernama Teja Kancana kepada Sanjaya.
Selain itu juga, janji prabu Tarusbawa untuk membantu Sanjaya
ditepati yaitu memerintahkan tiga ratus prajuritnya untuk menyerbu
ke Galuh yang dipimpin langsung oleh Sanjaya.

Dan sekarang Sanjaya bersama pasukannya telah


menyebrangi sungai perbatasan Sunda dan Galuh, sungai Citarum.

Di balik keberhasilannya dalam menjalankan ujian serta tugas


selama di negeri Sunda, jauh di lubuk hatinya terdapat suatu rasa
yang menganjal. Suatu perasaan sepi dan hampa. Ya, sejak
pertama kali datang ke Sunda dan sekarang telah kembali lagi
menuju Galuh. Dia tidak ditemani sahabat karibnya dari kecil yaitu
Santana. Padahal sebelumnya mereka sudah berjanji akan bertemu
di Sunda. Namun sampai Sanjaya berhasil menguasai ilmu kitab
Pustaka Ratuning Bala Sarewu, menumpas bajak laut, dan
menikahi Teja Kancana. Santana belum juga muncul.

Padahal dia ingin sekali sahabatnya itu melihat keberhasilan


yang telah dicapainya, menyaksikan pernikahannya dengan Teja
Kancana. Bahkan lebih dari itu, dia ingin melewati ujian yang
diberikan prabu Tarusbawa bersama Santana. Biar bisa saling
merasakan suka dan dukanya seperti waktu kecil mereka bersama

128

NANDAR HIDAYAT

resi Wanayasa.

Namun dalam hatinya lagi, dia tidak pernah menaruh


prasangka yang buruk terhadap sahabatnya itu. Dia yakin pasti
Santana juga mengalami hal yang sama dengan dirinya atau
mungkin lebih sulit lagi rintangan yang dihadapinya, serta
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengatasinya.

Sanjaya masih yakin dia pasti akan berjumpa lagi dengan


sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri itu. Santana.

Ketika semua prajurit sudah mendarat dan berbaris rapi maka


merekapun bersiap melanjutkan perjalanan menuju pusat kerajaan
Galuh. Karena begitu mendaratkan kaki di sebelah timur sungai
Citarum berarti mereka sudah memasuki wilayah Galuh.

Berdiri di paling depan Sanjaya sudah siap memimpin


pasukan, tiba-tiba di atas langit terdengar suara menguik yang
begitu santar dan menggema.

“Kreaakk! Kreaak!”

Kejap kemudian tiba-tiba angin bertiup kencang, lalu


terlihatlah di udara setinggi puluhan tombak satu sosok yang
terbang melayang mendekat kearah pasukan Sanjaya. Makin dekat
makin jelas sosok yang terbang itu ternyata seekor burung garuda
raksasa berwarna kuning keemasan. Dan ketika semakin terbang
merendah barulah terlihat di atas punggung burung garuda ini ada
seseorang yang sedang duduk menunggangi.

Seseorang yang membuat Sanjaya tersenyum senang,


mengobati hatinya yang hampa, mengobati suatu kerinduan di sisi
batin yang lain. Seseorang yang sangat dikenal dan sangat dekat
dengannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

129

NANDAR HIDAYAT

“Santana!” Seru Sanjaya langsung berlari kearah orang yang


baru turun dari atas punggung garuda. Santana sahabat karibnya
sewaktu kecil.

“Sanjaya!” Seru Santana juga tersenyum lebar lalu mereka


saling berpelukan beberapa saat.

“Akhirnya kita bisa berjumpa lagi, Santana saudaraku!”

“Aku sangat senang tapi juga menyesal,”

“Menyesal kenapa?”

“Aku tidak menepati janji untuk berjumpa di Sunda,”

“Sudahlah, kita kan sudah bertemu. Lagi pula kau bukan tidak
menepati janji, hanya sedikit terlambat saja. Bukankah kau hendak
menyusulku?”

“Iya memang begitu, tapi tadi dari jauh aku melihat ada
beberapa kapal negeri Sunda sedang menyeberangi sungai
perbatasan. Ketika aku melihat lebih dekat ternyata kau berada di
barisan paling depan. Itu berarti kau sudah kembali, benarkan?”

Sanjaya mengangguk masih tersenyum. Betapa senang


hatinya. Lalu dia melihat kearah burung garuda raksasa yang berdiri
tak jauh di belakang Santana.

“Kau hebat!” Ujar Sanjaya. “Kau memiliki binatang tunggangan


yang luar biasa, dari mana kau mendapatkannya?”

“Namanya Garuda Bulu Emas.” Jawab Santana. “Nanti aku


akan ceritakan. Sekarang aku akan menemani perjalananmu, sudah
lama kita tidak melakukan perjalanan bersama. Sementara burung

130

NANDAR HIDAYAT

garuda itu aku biarkan terbang bebas dulu…”

Lalu Santana berseru kepada Garuda Bulu Emas. “Wahai


Bulu Emas, kau boleh pergi dulu nanti jika aku membutuhkan, aku
akan memanggilmu.”

“Kreaak! Kreaak!”

Garuda Bulu Emas mengeak sambil menganggukkan kepala


pertanda mengerti ucapan Santana. Kemudian sosoknya melesat
ke udara meninggalkan tuannya. Pada saat sayapnya mengepak,
angin di sekitar tempat itu terasa berhembus kencang.

Sanjaya menggeleng berdecak kagum. “Luar biasa!”


Gumamnya.

“Baiklah, kita berangkat!” Seru Santana.

Kemudian Sanjaya memberikan isyarat kepada pasukannya


untuk segera berangkat. Maka rombongan pasukan bersenjata
lengkap yang dipimpin Sanjaya ini bergerak meninggalkan tepian
sungai Citarum.

“Aku sudah tidak sabar ingin mendengar ceritamu selama di


negeri Sunda,” kata Santana.

“Aku juga tidak sabar ingin mendengar ceritamu sampai bisa


sehebat ini!” Timpal Sanjaya.

“Ah kau terlalu memuji, justru kau yang lebih hebat!”

Sepasang sahabat yang sudah seperti saudara ini pun saling


berbagi cerita pengalaman masing-masing selama di perjalanan.
Sehingga lamanya waktu dan jauhnya jarak yang ditempuh, tidak

131

NANDAR HIDAYAT

mereka rasakan.

***

Malam begitu sunyi mencekam. Namun suasana terasa


berkecamuk dalam hati Purbasora. Bagaimana tidak, berita tentang
akan adanya penyerangan pasukan Sunda ke istana Galuh yang
dipimpin oleh Sanjaya anaknya Bratasenawa telah membuatnya
resah. Apakah ini suatu pembalasan atas perbuatannya dulu
menyingkirkan Bratasenawa?

Lelaki setengah baya ini masih duduk di kursi kebesaran


yang telah dia rebut dari Bratasenawa tujuh tahun yang lalu. Dan dia
juga masih memakai baju kebasaran raja juga Mahkota Binokasih
Sanghyang Pake yang juga didapatnya dengan cara merebutnya
dari Bratasenawa.

Beberapa saat yang lalu baru saja diadakan pasewakan di


Bale Mangu ini. Ruangan yang dulu dia juga merebut paksa tahta
Galuh dari saudaranya satu ibu lain ayah. Para pejabat istana yang
lain sudah kembali ke peraduannya masing-masing.

Sebenarnya dia tidak perlu merasa resah apalagi takut seperti


ini. Sebab dia mempunyai pasukan yang sudah terkenal hebat
dalam peperangan. Pasukan Bhayangkara yang sudah turun
temurun menjadi pasukan utama kerajaan sejak jaman
Tarumanagara dulu. Pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indra
Prahasta.

Selain itu juga dia didampingi oleh tokoh yang sudah tidak
diragukan lagi kesaktiannya. Iblis Merah Hutan Mandapa murid
Birawayaksa penghuni hutan Mandapa yang terkenal angker.

Tapi tetap saja hatinya galau bahkan rasa takut sudah


merasuki relung hatinya. Dalam pikirannya terbayang akan suatu

132

NANDAR HIDAYAT

pembalasan akan yang menimpa dirinya. Walaupun dia memiliki


kekuatan yang lebih tapi serasa seperti tak ada apa-apanya.

“Apa yang membuat gusti prabu begitu tampak resah?”

Satu suara besar terdengar memecah lamunan Purbasora.


Seorang lelaki tinggi besar berpakaian seorang resi berwarna merah
yang kepalanya memakai sorban India dan wajahnya ditutupi topeng
kulit yang semuanya berwarna merah. Iblis Merah Hutan Mandapa,
sudah berdiri di hadapan sang raja Galuh.

Saat pertama kali Purbasora datang ke istana dan


menggulingkan Bratasenawa, orang yang berjuluk Iblis Merah Hutan
Mandapa ini tidak memakai topeng dan sorban seperti sekarang.

“Kanda Iblis Merah,” Panggil Purbasora setelah menghela


napas begitu mengetahui ada orang yang datang. “Aku heran
kenapa akhir-akhir ini kanda selalu mengenakan sorban dan juga
topeng?” Tanya Purbasora. Sebuah pertanyaan yang mencoba
menghilangkan kegalauannya.

“Saya baru saja menyelesaikan urusan lama,” Jawab Iblis


Merah Hutan Mandapa.

“Baiklah, aku tidak mau tahu urusan kanda. Karena ada yang
lebih meresahkan hatiku,”

“Tentang anaknya Sena yang hendak membalas dendam?”

“Ya, itu yang utama…” Purbasora merubah duduknya dari


menyender menjadi tegak lalu kedua matanya memandang orang
kepercayaannya ini.

“Tidak perlu ditakutkan, gusti!” Ujar Iblis Merah Hutan

133

NANDAR HIDAYAT

Mandapa.

“Aku percaya pada kanda, tapi aku heran dengan prabu


Tarusbawa. Aku dan dia sudah menjalin hubungan dengan baik
cukup lama, bahkan sudah sering pula menjalin kerja sama. Tapi
kenapa sekarang dia malah membantu Sanjaya?” Ungkap
Purbasora.

“Apa gusti prabu belum mengetahuinya?” Tanya Iblis Merah


Hutan Mandapa.

Purbasora menggeleng dengan pandangan kosong. Dua


telapak tangannya diletakkan di kedua lututnya. Sehingga tampak
seperti sedang bertolak pinggang.

“Dari kabar yang saya dapat,” Lanjut Iblis Merah Hutan


Mandapa masih berdiri tegak. “Sanjaya berhasil melaksanakan
syarat yang diajukkan prabu Tarusbawa untuk menikahi cucunya…”

“Syarat?”

“Syaratnya adalah menumpas bajak laut yang merajalela di


perairan wilayah Sunda yang konon katanya didalangi oleh kerajaan
Sriwijaya dari Swarna Bhumi…”

“Mmmh…!” Purbasora mengangguk-angguk sambil


mendongak dengan pandangan kosong.

“Sanjaya berhasil menumpas bajak laut itu kerana


mempelajari sebuah kitab yang bernama Pustaka Ratuning Bala
Sarewu,”

“Pustaka Ratuning Bala Sarewu?”

“Ya, sebuah kitab yang berisi tentang taktik cara berperang

134

NANDAR HIDAYAT

yang diciptakan oleh prabu Tarusbawa sendiri,”

“Jadi karena itu sebabnya,” Gumam Purbasora. Dalam


hatinya semakin galau, apakah mungkin kitab taktik perang yang
diciptakan prabu Tarusbawa itu telah dipelajari oleh prajurit Sunda
dan nantinya bisa mengalahkan pasukan Bhayangkaranya yang
terkenal tangguh?

Suasana jadi hening. Tapi jika melihat keberadaan Iblis Merah


Hutan Mandapa, memang tidak perlu ada yang ditakutkan.
Purbasora sangat percaya kepada orang ini. Dia ingat perintah
ayahnya, jika ingin mendapatkan kekuatan besar untuk menguasai
Galuh yang menurut ayahnya adalah haknya, maka dia harus
datang ke hutan Mandapa dan meminta bantuan penguasa hutan
itu. Lalu bertemulah dengan Iblis Merah Hutan Mandapa yang
megaku sebagai murid Birawayaksa. Bahkan sang Iblis Merah
bersedia membantunya menggulingkan kekuasaan Bratasenawa.
Dan dari Iblis Merah Hutan Mandapa-lah dia mendapatkan beberapa
ilmu dashyat hingga dia bisa mengalahkan Bratasenawa.

Tiba-tiba saja suasana yang hening itu dipecahkan oleh suara


gemuruh diluar istana. Suara yang lama kelamaan semakin jelas
yaitu suara ratusan orang yang sedang berteriak keras.

Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba lagi dari arah pintu


ruangan muncul dua sosok yang berkelebat melesat ketengah
ruangan dan mendarat tepat di sana. Ternyata mereka adalah dua
pemuda yang gagah. Yang satu berpakaian gagah layaknya
seorang pemimpin pasukan yang hendak menuju medan perang.
Yang satunya lagi hanya memakai baju biru tanpa lengan, bercelana
hitam, mengenakan kain pinggang batik dan ikat pinggang warna
hitam juga. Rambutnya terurai gondrong tanpa diikat kepala.

“Siapa kalian, berani masuk tanpa ijin?” Hardik Purbasora

135

NANDAR HIDAYAT

langsung berdiri.

“Aku Sanjaya!” Jawab salah seorang dari mereka yang


sebelah kiri, yang sebelah kanannya tidak lain adalah Santana.

Purbasora terkejut tak percaya benarkah yang di hadapannya


ini Sanjaya anak Sena. Berarti suara gemuruh di luar sana adalah
pasukan yang dibawa Sanjaya dari Sunda.

“Hei, rupanya kau di sini muka merah!” Seru Santana begitu


melihat lelaki bertopeng merah alias Iblis Merah Hutan Mandapa.
Tentu saja dia ingat peristiwa saat di rumahnya di bukit
Cibaringkeng. Lelaki bertopeng merah dan bersorban india yang
hendak membawa dua peti berisi perhiasan itu tidak lain adalah Iblis
Merah Hutan Mandapa.

“Siapa kau!” bentak Pubasora kepada Santana. “Lancang


sekali kau terhadap guruku, Iblis Merah Hutan Mandapa!”

“Wah!” Santana seperti terkejut tapi dengan muka tolol sambil


usap-usap kepala. “Ternyata kau yang berjuluk si Iblis Merah Hutan
Mandapa. Orang yang hendak mencuri di rumahku dulu!”

“Siapa yang mencuri!” Tukas Iblis Merah Hutan Mandapa.


“Justru kau yang telah merampas harta simpananku!”

“Apa, harta simpanan?” Santana usap-usap kepalanya lagi.

“Mau apa kau, Sanjaya?” Tanya Purbasora menyela di antara


perdebatan Iblis Merah Hutan Mandapa dan Santana.

“Tidak perlu kau tanyakan,” Jawab Sanjaya. “Karena kau


sudah tahu sendiri jawabannya. Aku sudah mendapat restu dari aki
resi Wanayasa, karena selama tujuh tahun aku dididik si sana. Aku
juga mendapat bantuan dari aki prabu Tarusbawa, ditambah

136

NANDAR HIDAYAT

sekutu-sekutu kerajaan Galuh dan Sunda di sebelah timur pulau


Jawa ini juga memihakku karena mereka masih satu keluarga
denganku.” Jelas Sanjaya menggertak.

Diam-diam Purbasora menciut nyalinya. Namun dia masih


percaya dengan Iblis Merah Hutan Mandapa di sampingnya.

Sanjaya melanjutkan. “Sekarang di luar sana para prajurit


pasukanku sudah mengepung, seberapa hebat pasukan
Bhayangkaramu yang sudah terkenal itu, aku yakin tak akan
mampu melawan pasukanku yang sudah terlatih taktik perang dari
kitab Pustaka Ratuning Bala Sarewu!”

Purbasora mendengus marah terlebih lagi ketika mendengar


suara Santana yang dianggap menghina gurunya.

“Sanjaya, biar aku urus si muka merah ini. Beberapa waktu


lalu aku belum selesai mempecundanginya.”

Iblis Merah Hutan Mandapa juga menggeram marah


mendengarnya dia merasa diremehkan bahkan dipermalukan.

“Kurang ajar sekali kau anak muda!” Bentak Purbasora. “Kau


tidak punya sopan santun!”

Santana hanya tertawa mencibir sambil usap-usap


kepala.”Gurumu!” Ujarnya. “Aku ingin melihat seperti apa wajah
gurumu yang sembunyi dibalik topeng bututnya!”

Habis berkata seperti itu, secepat kilat bahkan sampai tak


terlihat oleh Purbasora maupun Iblis Merah Hutan Mandapa, tangan
kanan Santana menyabet kedepan kearah topeng yang menutupi
wajah Iblis Merah Hutan Mandapa.

137

NANDAR HIDAYAT

Set!

Plak!

Kejap kemudian terdengar suara seperti kayu patah, ternyata


itu adalah suara topeng yang dikenakan Iblis Merah Hutan Mandapa
patah jadi dua sehingga tersibaklah wajah aslinya.

***

138

NANDAR HIDAYAT

10.

DI BALIK TOPENG MERAH

Santana sangat terkejut sekali begitu melihat wajah asli dari Iblis
Merah Hutan Mandapa. Karena dia begitu kenal sekali dengan
wajah ini. Sementara Pubasora dan Iblis Merah Hutan Mandapa
dibuat terpana dengan gerakan Santana yang tak terlihat itu. Sesaat
Santana menjadi gugup, hal ini dilihat oleh Sanjaya lantas dia
bertanya pelan.
“Kenapa kau, Santana?”

“Ternyata kata-kata aki resi berlaku juga padaku,” Jawab


Santana, namun Sanjaya masih belum mengerti maksudnya.

“Yang mana?” Tanya Sanjaya lagi.

“Tegakkanlah kebenaran walau harus menghadapi keluarga


sendiri.” Jawab Santana. Rupanya benar apa yang dikatakan resi
Wanayasa bahwa dia tidak perlu mencari ayahnya dan suatu saat
nanti juga pasti akan bertemu dengan ayahnya. Ternyata pada saat
seperti ini dia bertemu. Lebih terkejutnya ternyata ayahnya ikut
menjadi pemberontak bersama Purbasora. Akhirnya dia
menduga-duga, saat melarikan diri dari hukuman ayahnya mungkin
pergi ke hutan Mandapa kemudian berguru Birawayaksa dan
selanjutnya membantu pemberontakan Purbasora menggulingkan
ayahnya Sanjaya.

“Jadi siapa dia?” Tanya Sanjaya.

“Ayahku!”

139

NANDAR HIDAYAT

Sanjaya terkesiap mendengarnya.

“Gusti parabu, kita harus segera bertindak,” Ujar Iblis Merah


Hutan Mandapa. “Jangan takut ancamannya, dia hanya menggertak.
Justru kita lebih kuat!”

Purbasora mengangguk sambil menggeram. “Baiklah, aku


sama sekali tidak takut padamu Sanjaya!” Teriaknya serta merta
bergerak menerjang kearah Sanjaya. Terjadilah pertarungan antara
keduanya.

Sedangkan Iblis Merah Hutan Mandapa yang ternyata adalah


Kuntawala, ayahnya Santana. Walaupun sempat dipecundangi
sewaktu di bukit Cibaringkeng, namun hatinya masih penasaran
ingin menjajagi kekuatan pemuda ini. Dia sama sekali tidak tahu
kalau pemuda di hadapannya adalah anaknya. Mungkin juga dia
sudah lupa wajah Santana waktu kecil atau sudah lupa bahwa dia
juga memiliki seorang anak lelaki.

“Kenapa wajahmu tampak berubah, anak muda?” Tanya


Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa masih bersikap tenang
walau topengnya telah dibuat pecah sehingga tersingkap wajahnya.
“Apa nyalimu menciut setelah melihat wajahku?” Ejeknya.

“Apa kau muridnya Birawayaksa?”Tanya Santana tenang.

Kuntawala terbahak-bahak mendengarnya. “Tidak salah, kau


takut?”

Santana tersenyum. “Aku tidak takut sekalipun kau dibantu


oleh gurumu…”

“Sombong!”

“Tidak kusangka, kau melarikan diri di saat akan dijatuhi

140

NANDAR HIDAYAT

hukuman. Ternyata kau berguru kepada Birawayaksa dan sekarang


menjadi pembantunya Purbasora.”

Kuntawala terkesiap. “Siapa kau?”

“Ternyata kau juga sudah tidak mengenaliku!” Ujar Santana.


“Tentunya kau masih ingat pertarungan di bukit Cibaringkeng dulu…”

“Ya, kau memakai namaku!”

“Salah sendiri, kenapa mukamu ditutupi topeng!”

“Sudahlah anak keparat, aku tidak peduli lagi siapa kau.


Pertarungan tempo hari belum selesai, sekaranglah waktunya
menentukan siapa yang lebih kuat!”

“Baiklah, silahkan!”

“Huh, kubungkam kesombonganmu bocah ingusan!”

Kemudian Kuntawala bergerak melayangkan tinjunya ke


muka Santana, tentunya disertai tenaga dalam yang kuat. Namun
pemuda yang ilmunya bertambah berkat Garuda Bulu Emas ini
hanya meliukkan badan menghindar.

Wuss!

Pukulan Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa


mengenai sasaran kosong. Sekejap kemudian pukulan-pukulan
berikutnya menyusul dengan cepatnya, bahkan gerakannya seperti
bayangan. Dua tangan Kuntawala berkelebat laksana angin.

Santana memang masih muda umurnya namun soal


kepandaian tampaknya sudah menyamai tokoh seperti ayahnya ini.
Ini semua karena ajian ‘Wadah Rahayu’ yang mendarah daging di

141

NANDAR HIDAYAT

tubuhnya membuat dirinya cepat menguasai suatu jurus atau ilmu


apapun.

Pertarungan antara ayah dan anak pun terus berlanjut. Kali ini
Kuntawala alias Iblis Merah Hutan Mandapa mengeluarkan
jurus-jurus yang lain, yang tidak digunakan sewaktu di bukit
Cibaringkeng. Jurus-jurus yang didapat dari Birawayaksa gurunya,
walaupun berguru kurang dari setahun saja. Jurus-jurus yang
gerakannya aneh dan sangat sulit untuk diikuti atau ditiru lawan. Dia
sengaja menggunakannya karena sewaktu di bukit Cibaringkeng,
lawannya ini bisa menirukan gerakan jurusnya.

Tampaknya Santana mengerti apa yang dilakukan ayahnya


ini, tapi serumit apapun gerakan jurusnya dia masih bisa
memperhatikan. Namun kali ini dia tidak ingin melakukannya lagi,
dia hanya bergerak tenang namun gesit dan cepat menghindari
setiap serangan lawan baik pukulan maupun tendangan. Walaupun
dia sudah memiliki beberapa jurus baru yang didapat dari Garuda
Bulu Emas, namun dia merasa belum saatnya untuk
menggunakannya.

Lama-lama Santana terdesak juga, ruang geraknya untuk


menghindar semakin sempit. Maka terpaksa dia memapasi
serangan lawannya.

Tak! Tak!

Saat beradu tangan menangkis pukulan lawan ini, Santana


bisa merasakan seberapa besar tenaga dalam ayahnya. “Masih
seimbang!” Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba dia teringat dengan
ajian ‘Wadah Rahayu’ miliknya. Dia lupa kalau ajian ini watak
utamanya adalah kekebalan tubuh. Kenapa tadi malah memapasi
pukulan lawannya? Pikirnya. Lalu dalam benaknya muncul satu
rencana.

142

NANDAR HIDAYAT

Yaitu saat ada satu pukulan yang mengarah ke dadanya,


Santana sengaja membiarkannya tanpa menangkis tanpa
menghindar bahkan pura-pura lengah saja.

Dugh!

Tubuh Santana terdorong tiga langkah kebelakang, namun dia


tidak merasakan sakit. Malah lawannya menjadi terkejut dan
menghentikan serangannya.

“Ajian Wadah Rahayu!” Gumam Kuntawala, hatinya


menduga-duga. Dia teringat ajian ini dia sendiri yang
mendapatkannya dan satu-satunya orang yang memiliki ajian ini
adalah anaknya.

“Kau…!” Suara Kuntawala seperti tersendat.

Sedangkan Santana hanya menunjukkan raut muka dingin.


Dia memandang ayahnya seperti memendang sesuatu yang
dibencinya.

“Ternyata kau masih hidup, tapi kenapa kau menentangku?”


Suara Kuntawala agak gemetar.

“Aku hanya menegakkan kebenaran!”

“Kebenaran omong kosong, tidak tahu balas budi. Anak


durhaka!”

“Aku senang disebut anak durhaka, karena yang ku durhakai


adalah seorang perampok, pemberontak yang gila kekuasaan!”
Bantak Santana.

“Kurang ajar, kucabut kembali ajian Wadah Rahayu-mu!”

143

NANDAR HIDAYAT

Kuntawala alis Iblis Merah Hutan Mandapa berteriak murka.


Tak ada lagi Tanya dalam hatinya tentang bagimana anaknya masih
bisa hidup bahkan menjadi seorang yang berkepandaian tinggi,
karena hatinya kini sudah tertutup benci dan kecewa. Lebih kecewa
lagi bila mengingat harta simpanannya telah dirampas anaknya.

Dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi, kedua


tangannya menghentak kebawah.

Brat!

Lantai yang diijak kakinya timbul letupan kecil. Saat diangkat


kembali kedua tangannya sudah diselimuti sinar merah menyala
sebatas siku. Dua tangan itu seperti membara.

Wut!

Jerr!

Kemudian dua tangan Iblis Merah Hutan Mandapa


menghentak kedepan. Sinar merah yang menyelubungi taangannya
memancar kearah tubuh Santana, kejap berikutnya tubuh anaknya
ini bagaikan terlilit sinar merah menyala bahkan kali ini tampak
mengepulkan asap merah pula.

Santana tak bisa menghindar dari lilitan sinar merah ini,


karena tubuhnya seperti ada yang menyedot. Tubuhnya bergetar
hebat dan terangkat keatas sampai beberapa jengkal. Dia
merasakan seperti disengat ratusan semut namun saat tenaga
dalamnya dikerahkan lebih tinggi lagi rasa sengatan itu semakin tak
terasa. Mungkin benar, ayahnya ini sedang menyedot atau
melepaskan kembali ajian Wadah Rahayu yang tersimpan di
badannya. Tapi sang ayah tidak tahu kalau ajian ini sudah
dikembangkan dan disempurnakan selama digembleng oleh resi

144

NANDAR HIDAYAT

Wanayasa.

Sedangkan Kuntawala terus mengerahkan seluruh


kekuatannya untuk menyedot ajian ciptaannya. Keringat dingin
tampak mengucur di keningnya yang mengerut. Sementara urat-urat
leher dan kedua tangannya tampak menyembul kencang,
menandakan bahwa tenaga yang dikeluarkannya sangat besar. Dia
seperti sedang menarik gunung saja.

“Kenapa jadi sangat berat menarik ajian Wadah Rahayu dari


dalam tubuhnya?” Tanya Kuntawala dalam hati. Saat melihat
kesana, Santana tampak tersenyum. “Hiaaa…!” Dia berteriak
garang.

Tak peduli lagi anaknya atau bukan dalam benak si Iblis


Merah yang semula hanya ingin menyedot ajian Wadah Rahayu kini
berkeinginan untuk melenyapkan saja pemuda yang menjadi
lawannya.

Sedangkan Santana merasakan kekuatan sinar merah yang


menyelubunginya semakin kencang bahkan seperti mencekik
semua urat-urat penting di tubuhnya. Maka sebelum keadannya
menjadi parah dia segera tingkatkan tenaga dalamnya lebih tinggi
lagi. Kedua matanya menatap tajam kearah ayahnya sambil
memusatkan pikiran di kepala. Mulutnya tampak komat-kamit
merapalkan sesuatu.

Sebh!

Tubuh Santana yang semula terangkat kini bergerak turun


cepat lalu seperti menancap di lantai. Kuda-kudanya menjadi kuat
tak tergoyahkan. Lalu dari kedua tangannya keluar cahaya hijau
sebesar lidi dalam jumlah banyak seperti tali yang melilit. Inilah
ajian ‘Bayu Jangjang Dadali’ yang didapat dari Garuda Bulu Emas.
Perlahan kedua tangannya mengangkat seperti sayap garuda yang

145

NANDAR HIDAYAT

sedang mengembang. Selubungan sinar merah di badannya kini


sudah tak dirasakannya lagi.

“Yeaah!”

Santana berseru sambil megibaskan kedua tangannya


laksana garuda yang mengepakkan sayapnya.

Wutt!

Sinar-sinar hijau sebesar lidi yang melilit kedua tangannya


melesat memanjang dan bertambah banyak menjadi ratusan
sehingga bentuknya seperti hujan sinar menderu kearah Kuntawala.

Tes! Tes! Tes!

Hembusan hujan sinar hujau yang menerpa Kuntawala


menimbulkan suara seperti api yang terkena tetesan air. Saat itu
suasana di dalam istana seperti dilanda hujan salju, ini adalah suatu
ajian yang dikeluarkan Sanjaya yang sedang melawan Purbasora di
sebelah sana. Saat itulah tiba-tiba Iblis Merah Hutan Mandapa
terpental dan sinar merah di tangannya lenyap. Begitupun sinar
merah yang melilit di tubuh Santana.

Bruugh!

Tubuh Kuntawala terjatuh kelantai berguling-guling. Saat


dihujani sinar hijau tadi, tubuhnya di bagian tertentu seperti terkena
percikan kembang api yang sangat panas. Lalu dia terkulai lemas
tak berdaya seperti tak punya tenaga lagi untuk sekedar bangkit.

Santana menarik napas lega, sinar hijau di tangannya sudah


hilang. Lalu dia mendekati sosok ayahnya yang tergeletak tak
berdaya. Terdengar suara erangan dari mulut murid Birawayaksa ini.

146

NANDAR HIDAYAT

“Kau apakan aku?” Tanya Kuntawala hampir tak bersuara.


Untuk menggerakkan jarinya saja rasanya sangat sulit. Ternyata
kekuatan yang dimiliki anaknya ini sangat dashyat. Masih
beruntung dia tidak dibunuh.

“Aku melumpuhkan kekuatanmu.” Jawab Santana pelan. Ajian


Bayu Jangjang Dadali yang digunankannya tadi memang diarahkan
pada titik-titik tertentu saja dengan maksud melumpuhkan kekuatan
lawan.

“Oh ya!” Kata Santana lagi. “Aku ingin memberi tahu bahwa
harta simpanan yang aku bawa dulu telah kukembalikan kepada
pemiliknya.”

***

147

NANDAR HIDAYAT

11.

PURBASORA PEJAH

Sekarang kita ikuti pertarungan antara Sanjaya dan Purbasora yang


kejadiannya bersamaan dengan pertarungan Santana dan ayahnya.
Tampaknya Purbasora langsung mengerahkan seluruh
kekuatannya. Bagaimana tidak, dia ingin mempertahankan
kekuasaannya. Namun dalam hatinya tetap was-was karena diluar
istana suara gemuruh semakin santar terdengar. Pikirannya agak
terpecah.

Sebelumnya dia memang sudah memerintahkan agar semua


prajurit bersiap siaga untuk menghadapi serangan pasukan Sunda
yang kabarnya akan segera tiba, dan mungkin juga akan menyerang
sacara dadakan. Dan dugaannya benar kini perang itu telah terjadi.
Dia tidak tahu apakah prajuritnya bisa bertahan atau tidak.

Kembali ke pertarungan.

Purbasora sedikit merasa lega saat melancarkan


serangannya, saat pukulannya berpapasan dengan pukulan lawan.
Ternyata tenaga dalam lawan masih seimbang, sehingga dia merasa
bisa mengatasi anak Sena ini.

Hanya jurus tangan kosong yang mereka keluarkan. Sanjaya


tampak tenang menghadapi lawannya. Dia berhasil menipu
lawannya dengan mengeluarkan tenaga dalam yang seimbang. Hal
itu bisa dilihat dari raut wajah Purbasora yang tampak percaya diri.
Padahal Sanjaya hanya mengerahkan kurang dari setengahnya
saja.

148

NANDAR HIDAYAT

Set! Wut!

Tangan kanan Purbasora menyambar kebagian leher


Sanjaya, kali ini dia meningkatkan lagi kekuatannya.

Tak!

Dalam sekejap tangan kiri Sanjaya berhasil menangkisnya


dan sekaligus membuat Purbasora terkejut karena sambarannya
mental bahkan sampai mendorong badannya beberapa langkah.

Seketika wajah Purbasora pucat. “Ternyata anak ini masih


menyimpan kekuatannya!” Gumammnya dalam hati. Tidak
menyangka hanya gerakan menangkis saja bisa mendorong
tubuhnya.

Sanjaya tersenyum.

Purbasora menggeram lalu hentakkan kedua tangannya,


mengalirkan tenaga sakti kabagian kepalan tangan sehingga
tampak mengeluarkan cahaya merah dan juga mengepulkan asap.
Tampak dua kepalan tangannya seperti membara.

“Hiaah…!”

Wuss!

Purbasora hentakkan tangan lagi lalu dari kepalan tangannya


melesat dua bola api sebesar kepala menghantam kearah Sanjaya.

Namun pemuda yang sudah banyak ilmunya ini hanya


mengepos di tempat sehingga dua bola api yang sangat panas
ituhanya melintas di atas kepalanya lalu menghantam salah satu
tiang di ruangan itu.

149

NANDAR HIDAYAT

Brakk!

Tiang yang terbuat dari batu itu hancur dan roboh ke lantai.

Wuss!

Werr!

Sekali lagi dua bola api melesat menyerbu Sanjaya.


Tampaknya Purbasora tidak memberi kesempatan lawannya untuk
menyerang. Namun seperti tadi, serangan ini hanya mengenai
sasaran kosong. Kali ini mengenai lantai sehingga batu-batu
tersusun di lantai bermuncratan seperti air. Sanjaya yang begitu
gesit hanya melompat sambil jungkir balik.

“Kau merusak istana, kalau sudah tidak mau serahkan saja


padaku!” Seru Sanjaya membuat hati Purbasora semakin panas.

Kemudian lelaki hampir tua ini berteriak


sekencang-kencangnya, mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Dari
kedua kepalan tangannya yang semula hanya membara kini
berubah menjadi nyala api yang menjilat-jilat panjang. Dua
tangannya laksana obor besar yang apinya menjulur panjang hampir
menyentuh langit-langit.

Tidak hanya itu, dari mulutnya juga tampak menyembur lidah


api merah yang dashyat. Tak ubahnya seperti pemain srkus yang
menyemburkan minyak tanah ke api dari mulutnya.

Melihat hal ini, Sanjaya tahu kalau lawannya sedang


mengeluarkan ilmu andalannya yang ganas dan tentunya sangat
mematikan. Maka dia segera mengalirkan hawa saktinya ke seluruh
badannya. Hawa sakti yang dingin sedingin es.

Akalnya memang cerdik, untuk menghadapi yang panas, dia

150

NANDAR HIDAYAT

melawannya dengan yang dingin. Sanjaya mengeluarkan ajian


‘Bayu Giri’ yang didapat dari resi Wanayasa. Sebuah ajian yang
wataknya mendinginkan bahkan membekukan suasana sekitarnya
bila digunakan. Tentunya dengan pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi karena lawannya juga tampak mengeluarkan ilmu
pamungkasnya.

“Wayya!”

Purbasora menjerit sekencang-kencangnya laksana hendak


merobek dinding-dinding istana. Kedua tangan di putar-putar lalu
dihentakkan kedepan persis seperti melakukan gerakan mendorong
sampai-sampai badannya condong kedepan dengan salah satu kaki
menekuk di depan.

“Wusss! Werrr!

Lalu menyemburlah lidah api yang begitu besar dan dashyat


dari kedua tangan dan mulutnya menjadi satu menyambar kearah
Sanjaya. Siapa saja yang terkena api ini tubuhnya akan meleleh.
Jangankan manusia, baja yang kuat dan besar saja bisa leleh.
Sewaktu menghadapi Bratasenawa dia tidak menggunakan ajian ini
karena ayahnya Sanjaya ini tidak begitu sakti seperti Sanjaya
sekarang.

Sementara Sanjaya yang sudah bersiap-siap dari tempatnya


berdiri. Dengan kekuatannya yang sudah mengalir penuh dia juga
menghentakkan kedua tangannya kedepan menghadang serangan
lawan sebelum lidah api yang dashyat itu membakarnya.

Cess!

Dari dua tangan Sanjaya menyembur kabut putih dingin


seperti salju, semakin lama semakin besar bahkan seluruh ruangan
istana laksana dilanda hujan salju. Sehingga semburan lidah api

151

NANDAR HIDAYAT

yang berasal dari Purbasora perlahan-lahan mengecil. Hal ini juga


membantu Santana saat mengeluarkan ajian Bayu Jangjang Dadali.

Lep!

Lidah api pun menjadi padam tertutup kabut dingin. Kini


Purbasora tampak bergidik kedinginan. Seumpama sebatang besi
yang membara lalu disiram air, begitulah keadaanya sekarang.
Bahkan di sekujur tubuhnya tampak retak-retak seperti retaknya
kayu arang.

Wuss!

Bruukk!

Tubuh Purbasora mencelat lalu ambruk persis di samping


sosok Kuntawala yang barusan tergeletak lemah tak berdaya. Iblis
Merah Hutan Mandapa ini tampak bergidik melihat keadaan
Purbasora yang mengenaskan.

Tak berapa lama suasana yang seperti hujan salju itu kini
kembali seperti semula.

“Sanjaya!” Santana memenggil. “Aku serahkan ayahku ini


padamu untuk menerima hukuman yang setimpal sesuai peraturan
di negeri ini,” Katanya lalu menarik napas sejenak. “Dia sudah
kehilangan semua kekuatannya, aku sudah memusnahkannya,”

“Kau memang bijaksana, sahabatku.” Ujar Sanjaya. “Kau


tidak begitu saja langsung menjatuhkan tangan, tidak seperetiku
yang membunuh Purbasora.”

Santana menyeringai sambil usap-usap kepoala. “Kurasa kau


hanya terpaksa saja melakukannya..”

152

NANDAR HIDAYAT

“Ah tidak juga.”

Kemudian Sanjaya bergegas keluar yang masih terdengar


suara gemuruh dua pasukan yang sedang bertempur di malam yang
masih buta.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang menggelegar yang


mengalahkan suara gemuruh ratusan prajurit.

“Purbasora pejah!”

Sekejap kemudian suasana menjadi sunyi begitu mendengar


teriakan yang ternyata keluar dari mulut Sanjaya.

Tak berapa lama lalu terdengarlah suara senjata-senjata yang


dijatuhkan. Yang melakukannya adalah prajurit-prajurit Galuh. Dan
terdengarlah suara-suara sorak kemenangan.

“Hidup Prabu Sanjaya!”

“Hidup!”

Begitulah akhirnya kekuasaan Purbasora di istana Galuh


berakhir hanya selama tujuh tahun saja. Dengan demikian, Sanjaya
sang pewaris sah kini yang memegang tampuk kekuasaan. Selain
itu karena dia juga menikahi cucu prabu Tarusbawa maka dia juga
berhak menggantikan raja Sunda itu. Berarti Sunda dan Galuh yang
sempat terpisah kini disatukan kembali oleh Sanjaya.

***

153

NANDAR HIDAYAT

Saat Sanjaya menawarkan sebuah jabatan untuk Santana.


Dengan tulus pemuda berambut gondrong terurai ini menolaknya
dengan alasan masih ada tugas lain yang belum dilaksanakannya.
Namun dia akan selalu mengingat sang Raja baru di Galuh itu dan
akan tetap bersahabat.

Ya, Santana memang masih ada tugas lain, tugas yang


diterima dari sang Garuda Bulu Emas. Untuk menghentikan sepak
terjang dan melenyapkan ilmu sesat Birawayaksa penguasa hutan
Mandapa. Dia juga harus menyelamatkan Anting Kemala gadis
pujaan hatinya yang di sandera Birawayaksa.

Petualangan Santana belum selesai sampai di sini!

INI HANYA EDISI COBA-COBA

MOHON KRITIKANNYA APABILA ADA KEKURANGAN


DALAM CERITA, BAIK PENUTURAN, KARAKTER TOKOH, ALUR,
DAN SEBAGAINYA.

DITUNGGU DI

arjunandar@gmail.com

facebook.com/arjunandar

@arjunandar

154

Anda mungkin juga menyukai