Anda di halaman 1dari 61

KUMPULAN HIKAYAT

REMIDIAL BAHASA INDONESIA


KELAS X-02

PEMERINTAH PROVINSI JAWATIMUR


CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH KABUPATEN GRESIK

SEKOLAH MENENGAH ATAS


NEGERI 1 CERME
Jl. Raya Cerme Lor 176 , Kec. Cerme, Kab. Gresik ( 031 ) 7990034
Website : http//smanic.sch.id Email : smanicgres@yahoo.com
GRESIK 61171
NAMA : ABDILLAH QOWY AL GHAZALI
NO. ABSEN : 01 / X-02

PENGEMBARA YANG LAPAR


NAMA : ABIYYU DAFFA CAYSA AL HAYBI
NO. ABSEN : 02/X-02

SEKAPUR SIRIH
Sebuah cerita rakyat dapat mencerdaskan seorang anak bangsa karena di dalamnya terdapat
pengetahuan dan pesan yang perlu diketahui anak- anak. Anak-anak jangan segan dan jangan malas
membaca buku cerita rakyat seperti cerita rakyat Melayu ini. Cerita ini dikemas dengan kelucuan dan
mudah dimengerti.

Sumber cerita naskah rakyat ini berjudul "Hikayat Maharaja Bispu Raja di Negeri Astana Pura Negara❞
dalam buku Geschiedenis van Vorst Bispoe Radja karya J.C. Fraissinet yang terbit tahun 1849 di Te
Leiden: H.W. Hazenberg & Comp. Naskah yang awalnya beraksara Arab Melayu itu terlebih dahulu
dialihaksarakan ke dalam aksara latin oleh penulis.

Pada awalnya, "Misteri Petualangan Bispu Raja" berjudul Misteri Menjelang Malam Purnama yang
diceritakan kembali oleh Rr. Dwiantari H. Untuk keperluan Gerakan Literasi Bangsa, pada saat
penelaahan ulang buku ini, penulis mendapatkan saran dari pakar untuk mengganti judulnya menjadi
"Misteri Petualangan Bispu Raja".

Sehubungan terlibatnya penulis dalam kegiatan ini, dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima
kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum. sebagai Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Gufran
NAMA : ADELIA DARIS AL FATIN
NO. ABSEN : 03/X-02

HIKAYAT BUNGA KEMUNING


Alkisah, pada zaman dahulu kala ada seorang raja yang dikenal arif dan bijaksana. Ia memiliki sepuluh
orang puteri berparas cantik jelita bernama Puteri Jambon, Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau,
Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona, dan Puteri Kuning. Tetapi karena terlalu sibuk
mengatur kerajaan, sang raja tidak sempat mendidik mereka dengan baik. Sementara sang isteri telah
meninggal dunia ketika melahirkan puterinya yang bungsu. Sang raja terpaksa menyerahkan
pengasuhan anak-anaknya pada inang pengasuh kerajaan.
Ternyata sang inang pengasuh tidak kuasa mengasuh seluruh puteri raja. Hanya si bungsulah, yaitu
Puteri Kuning yang berhasil didik dengan baik hingga menjadi anak yang selalu riang, ramah pada
setiap orang dan memiliki budi pekerti baik. Sementara kakak-kakaknya tumbuh menjadi anak manja
dan nakal. Mereka tidak mau belajar dan membantu Sang Raja. Setiap hari kakak-kakak Puteri Kuning
kerjanya hanya bermain di sekitar danau dan atau bertengkar memperebutkan sesuatu.
Suatu hari Sang Raja hendak berkunjung ke kerajaan lain dalam rangka menjalin silaturrahim. Untuk
itu ia mengumpulkan seluruh puteri-puterinya. Kepada mereka Sang Raja berkata, “Aku hendak pergi
ke kerajaan lain selama beberapa minggu. Buah tangan apa yang kalian inginkan?”.
Tanpa menimbang-nimbang lagi, si sulung (Puteri Jambon) berkata, “Aku ingin perhiasan yang mahal.”
Permintaan yang hampir serupa mahal dan mewahnya juga diajukan oleh adik-adik Puteri Jambon.
Hanya Puteri Kuning sajalah yang mendekat dan memegang lengan ayahnya sambil berkata, “Aku
hanya ingin ayah kembali dengan selamat.”
“Sungguh baik perkataanmu, wahai puteriku. Mudah-mudahan saja aku dapat kembali dengan selamat
dan membawakan hadiah yang indah untukmu,” kata sang raja.
Singkat cerita, setelah Sang Raja pergi kelakuan anak-anaknya malah menjadi semakin nakal dan malas.
Bukannya bersedih, mereka malah merasa gembira karena selain Sang Raja, di seluruh kerajaan tidak
ada yang berani melarang. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk membentak dan menyuruh para
inang pelayan sekehendak hati. Para inang pun menjadi sibuk sehingga tidak sempat membersihan
taman istana kesayangan Sang Raja.

Melihat hal itu Puteri Kuning segera mengambil sapu dan mulai membersihkan taman kesayangan
ayahandanya. Dedaunan kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan berlebih
dipangkasnya agar terlihat lebih rapi. Sementara kakak-kakaknya yang melihat Puteri Kuning sibuk di
taman, malah mencemooh. “Lihat, tampaknya kita memiliki pelayan baru,” kata salah seorang
diantaranya.
“Hai pelayan! Kami masih melihat banyak kotoran di sini!” ujar salah seorang kakaknya sambil
melemparkan sampah ke arah taman. Sejurus kemudian, mereka pun langsung menyerbu dan
mengacak-acak taman. Dan, setelah puas mengacak-acak taman lalu pergi begitu saja menuju danau
untuk bermain sambil berenang. Begitu kelakuan kakak-kakak Puteri Kuning setiap harinya hingga
ayah mereka pulang.
Ketika Sang Raja pulang, ia hanya mendapati Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana,
sementara kesembilan kakaknya sedang asyik bermain di danau. Ia agak kecewa karena telah bersusah
payah membawakan buah tangan tetapi tidak disambut dengan hangat oleh anak-anaknya. Hanya Puteri
Kuninglah yang berlari sendirian untuk menyambutnya dengan rasa suka cita.
Sambil berjalan menuju teras, Sang Raja berkata, “Anakku yang rajin dan baik budi. Ayah hanya dapat
memberimu sebuah kalung batu hijau. Ayahanda telah mencari di seluruh pelosok kerajaan seberang
tetapi tidak menemukan kalung batu kuning seperti warna kesayanganmu”.
“Sudah tidak mengapa, Ayahanda. Kalung batu hijau juga akan serasi dengan warna bajuku,” kata
Puteri Kuning lemah lembut.
Keesokan harinya, walau seluruhnya telah diberi cinderamata, tetapi masih saja ada yang iri. Salah
satunya Puteri Hijau yang melihat Puteri Kuning memakai kalung batu hijau segera menghampiri.
“Wahai adikku, seharusnya kalung itu milikku karena berwarna hijau. Kenapa sampai ada di lehermu?”
tanya Puteri Hijau dengan perasaan iri.
“Ayah memberikannya padaku,” sahut Puteri Kuning singkat dan jelas.
Puteri Hijau tidak terima penjelasan Puteri Kuning. Dia segera berlari pergi menemui saudari-
saudarinya yang lain. “Kalung hijau yang dipakai Si Kuning sebenarnya milikku. Tetapi dia
mengambilnya dari saku ayah!” katanya menghasut ke delapan saudarinya.
Mendengar hasutan Puteri Hijau saudari-saudarinya menjadi panas hati. Mereka kemudian bersepakat
untuk merampas kalung itu dari tangan Puteri Kuning. Kesembilan adik-beradik tersebut lalu bersama-
sama menemui puteri hijau. Setelah bertemu, mereka langsung memaksa Puteri Hijau untuk
menyerahkan kalungnya. Tentu saja ia menolak dan akhirnya terjadilah perkelahian sengit hingga
kepalanya terkena pukulan dan meninggal saat itu juga.
“Dia meninggal!” seru Puteri Jingga panik.
“Kita harus menutupi kejadian ini,” kata Puteri Merah Merona.
“Kalau begitu kita harus cepat menguburkannya agar Ayahanda dan seisi istana tidak mengetahui
kejadian ini!” kata Puteri Jambon kepada saudari-saudarinya.
Sepakat dengan Sang Kakak (Puteri Jambon), mereka pun lantas beramai-ramai mengusung jasad Puteri
Kuning untuk dikuburkan di tengah taman istana. Bersama jasad Sang Puteri Kuning, turut pula
dikuburkan benda yang menjadi bahan perebutan, yaitu kalung batu hijau. Benda ini dikuburkan sendiri
oleh Puteri Hijau yang memicu ada pertengkaran dan perkelahian dengan Puteri Kuning.
Sore harinya, entah mengapa Sang Raja merasa kangen dan ingin berbincang dengan Puteri Kuning di
taman istana tempatnya biasa bermain. Namun, karena tidak menemukannya, dia lalu memanggil para
puterinya yang lain untuk menanyakan keberadaan adik bungsu mereka. Satu per satu ditanyainya,
tetapi tidak ada seorang pun yang mau berterus terang. Mereka memilih tutup mulut dan pura-pura tidak
mengetahui keberadaan Puteri Kuning.
Khawatir akan keberadaan dan keselamatan puteri bungsunya, raja lalu menitah para pengawal kerajaan
untuk mencarinya ke seluruh penjuru istana. “Hai, para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!”
teriaknya gusar.
Pencarian Puteri Kuning selama berhari-hari hingga berminggu-minggu di seluruh penjuru istana tentu
saja sia-sia belaka karena telah dikubur sangat rapi oleh saudari-saudarinya hingga tidak ada bisa
menyangkanya. Hal ini membuat Sang Raja menjadi sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu
menjaga, merawat, dan mengarahkan puteri-puterinya. Mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang
egois, tidak peduli terhadap sesama serta tidak patuh terhadap nasihat orang tua. Oleh karena itu Sang
Raja segera mengirimkan mereka ke negeri seberang untuk belajar budi pekerti. Tujuannya, agar
mereka menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan dapat saling menjaga antara satu dengan
lainnya.
Beberapa minggu setelah para puteri raja belajar budi pekerti di negeri seberang, tumbuhlah sebuah
tanaman di atas kubur Puteri Kuning. “Tanaman apakah ini?” seru Sang Raja heran. “Batangnya
bagaikan jubah Puteri Kuning, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, sementara bunganya
putih kekuningan dan berbau sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning,”
tambahnya.
Sejak saat itulah bunga tersebut diberi nama bunga kemuning karena mengingatkan raja pada Puteri
Kuning. Dan, sama seperti Puteri Kuning, bunga kemuning memiliki banyak kebaikan. Bunganya dapat
digunakan untuk mengharumkan rambut, batangnya dapat dipakai untuk membuat kotak-kotak indah,
dan kulit kayunya dapat ditumbuk untuk dijadikan bedak penghalus wajah.
NAMA : AHMAD LUTHFI DWI SETYAWAN
NO. ABSEN : 04/X-02

HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN ULAR


Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan
selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal
berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga
potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya
(sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu
di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu
sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang membawa tongkat. “Kek,” panggil
ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya
agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil
menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat
bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya
ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk
ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan
kamu malah mencelakai saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai
ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular
yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak
tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah
pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku,
agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah
mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana
yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak
bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu
masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan.
Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau
kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali
bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang
Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku,
shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku
yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang
lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari
keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya
Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai
yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah
pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu.
Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah
suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam
tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang
pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu
telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam
hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar
sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap
pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat
Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud
seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang
juru penyelamat untuknya”.
NAMA : AMELIA PUTRI HAPSARI
NO. ABSEN : 05/X-02

JUDUL HIKAYAT
NAMA : ANDHIKA PRATAMA PANDUWINATA
NO. ABSEN : 06/X-02

HIKAYAT SHINTA DAN KALANGAN RAJA


Di sebuah kerajaan, hiduplah seorang raja yang kejam bernama Raja Kalanggan.
Dia sangat gemar menikahi wanita di kerajaannya untuk kemudian dibunuh keesokan harinya.
Hal tersebut dia lakukan setelah merasa dikhianati oleh istri pertamanya.
Kemudian, Shinta yang ingin menyelamatkan gadis-gadis di kerajaannya, mencoba bersiasat dan
mengubah perilakunya dengan cara menikahi sang raja.
Awalnya, ayah Shinta tidak menyetujui rencana sang anak, tetapi Shinta berhasil meyakinkan ayahnya
bahwa nasibnya tidak akan mengenaskan seperti istri-istri raja sebelumnya.

Setelah menikah, Shinta terus mengulur waktu eksekusi dengan cara menceritakan sebuah dongeng.
Ternyata, raja menyukai dongeng yang diceritakan oleh Shinta.
Saking serunya, tidak terasa hari sudah berganti dan waktu eksekusi telah tiba.
Namun, Shinta yang cerdik kemudian berkata bahwa ceritanya akan dilanjutkan besok malam.
Raja yang kejam itu pun menyetujuinya karena sangat menyukai cerita tersebut.
Dengan begitu, Shinta pun belum terbunuh karena ceritanya belum selesai.
Tidak terasa, sudah 30 hari wanita tersebut bercerita kepada raja hingga akhirnya dia melupakan
hukuman mati kepada istrinya tersebut.
Keberanian Shinta berbuah manis karena dia bisa menyelamatkan perempuan-perempuan lain di
wilayahnya dan membuat Raja Kalanggan menjadi orang yang mencintai rakyatnya
NAMA : AULIA RAHMAT HIDAYAT
NO. ABSEN : 07/X-02

HIKAYAT ABDULLAH
Abdullah adalah keturunan keluarga yang terpelajar. Datuknya bernama Syekh Abdul Qadir, seorang
Arab dari Yaman, yang menjadi guru agama dan bahasa. Ia bertempat tinggal di Nagore, Keling, dan
kawin dengan seorang wanita Keling. Kakak Abdullah merantau ke Malaka. Di sana ia kawin dengan
seorang anak syekh.

Istri syekh itu mengepalai suatu sekolah yang banyak siswanya. Ayah Abdullah bernama Abdul Qadir
juga. Ia menjadi guru agama dan bahasa. Di samping itu, ia juga menjadi pembantu Tuan Marsden yang
terkenal dengan karya-karya gramatika dan leksikologinya. Ayah Abdullah juga seorang pedagang.
Atas perintah orang Belanda, ia membeli tidak kurang dari enam puluh naskah Melayu.

Paman-paman Abdullah juga bekerja di bidang pengajaran di Malaka. Dari ibunya, dalam tubuh
Abdullah mengalir darah India sehingga di Malaka lebih dikenal sebagai orang Keling. Dari perkawinan
yang kedua, Abdul Qadir beranak lima orang putra, empat orang yang pertama meninggal dunia pada
usia awal kanak-kanak.

Hanya Abdullah sendirilah yang masih hidup. Ia dalam keadaan lemah dan sering sakit. Agar dapat
berusia panjang, sesuai dengan takhayul, Abdullah "dijual" kepada keluarga yang banyak anaknya.
Abdullah menjadi sangat dimanjakan. Sampai usia 7 tahun ia hanya boleh bermain-main di rumah saja,
dengan papan dan tinta.

Pesan Moral:
Sayangi keluargamu dan banyaklah bersyukur dalam setiap sesuatu yang dimiliki.
NAMA : BIMA SAKTI PRATAMA
NO. ABSEN : 08/X-02

HIKAYAT KERAJAAN PUTRI TUJUH


Suatu hari ada kerjaan yang bernama Seri Bunga Tanjung yang dipimpin leh ratu bernama Cik Sima.
Cik Sima memiliki tujuh anak perempuan yang sangat cantik. Ketujuh anaknya pun disebut Putri Tujuh.
Anak bungsunya yang bernama Mayang Sar merupakan anak yang tercantik dari ke enam saudara yang
lain.

Pada suatu hari ratu Cik Sima mengajak anaknya mandi di Lubuk Umai. Pada saat itu Cik Sima dan
anak-anaknya tidak mengetahui jika ada Pangeran Empang yang sedang mengintip kegiatan ratu Cik
Sima bersama Putri Tujuh dibalik semak-semak.

Pangeran Empang melihat Mayang Sari dan dia terpana dengan kecantikan Mayang Sari. Pangeran
Empang tertarik dengan Mayang Sari sehingga mengirim utusannya untuk meminang sang putri.
Namun berdasarkan adat, jika ingin meminang anak perempuan yang memiliki kakak, harus meminta
izin dan pihak kakak harus menyetujuinya. Pangeran Empang merasa pinangannya ditolak kemudian
dia mengirim pasukan perang ke kerajaan Seri Bunga Tanjung.

Peperangan tidak bisa dihindari dan berlangsung hingga empat bulan. Selama peperangan banyak
pasukan Raja Empang yang tewas, sehingga pasukan perang ditarik dan keadaan sudah mulai tenang.
Merasa keadaanya sudah aman, Ratu Cik Sima berlarui menuju hutan dimana ketujuh putrinya
disembunyikan. Sesampainya disana, ketujuh putrinya tewas akibat kelaparan.
NAMA : CEYZA CHAYARA FELICYA
NO. ABSEN : 09/X-02

HIKAYAT BURUNG CENDRAWASIH


Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang
bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan
orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali.
Memiliki kepala seperti kuning keemasan.
Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya.
Sesuatu yang sangat nyata perbedaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor
belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan
burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari
bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana
saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung
cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke
bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati sekiranya
menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti
bangkai binatang yang lain.
Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan
bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan.
Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam
keadaan tidur.
NAMA : CHIKA NINDYA AGUSTIEN
NO. ABSEN : 10/X-02

HIKAYAT PANJI SEMIRANG


Alkisah pada zaman dahulu kala, di belahan bumi Jawa ada sebuah kerajaan bernama
Daha. Diceritakan kalau Raja Daha mempunyai dua orang putri yang cantik jelita. Yang satu bernama
Galuh Candra Kirana, anak dari permaisuri. Selain cantik, Candra Kirana banyak disenangi orang
karena tutur katanya lemah lembut dan santun kepada siapa saja. Putri yang satunya lagi adalah Galuh
Ajeng, keturunan dari selir yang bernama Paduka Liku. Tabiat Galuh Ajeng kurang baik. Ia selalu iri
pada kakak tirinya. Warga seisi istana, banyak yang tidak menyukai dirinya.

Baginda Raja Daha mempunya tiga orang saudara. Seorang menjadi raja di Kahuripan dan seorang
menjadi raja di Gagelang, sedangkan yang satu lagi seorang wanita, menjadi pertapa di Gunung Wilis
dengan gelar Nyi Gandasari. Raja Kahuripan mempunyai seorang putra yang tampan dan gagah serta
amat baik perangainya. Raden Inu Kertapati namanya. Raja Kahuripan ingin sekali putranya
mendapatkan jodoh dan menikahkan putranya dengan seorang putri yang pantas sebagai menantu raja.
Setelah menimbang sana sini dan pilih sana pilih sini, maka pilihan calon menantu itu jatuh pada putri
saudaranya sendiri yang cantik jelita, yaitu Galuh Candra Kirana.

Raja Kahuripan kemudian mengirim utusan ke kerajaan Daha meminang putri Galuh Candra Kirana
untuk dijodohkankan menjadi istri putranya, Raden Ini Kertapati. Pinangan tersebut diterima dengan
senang hati oleh Raja Daha dan rakyatnya, kecuali Paduka Liku, selir baginda Raja Daha. Rasa iri dalam
hatinya kemudian menimbulkan niat jahat untuk menyingkirkan permaisuri serta putri Galuh Candra
Kirana, agar ia dapat menggantikan kedudukan sebagai permaisuri dan galuh Ajeng dapat dijodohkan
dengan Raden Inu Kertapati.

Untuk melaksanakan niat jahatnya itu, Paduka Liku, pada suatu hari membuat makanan tapai yang
dicampur racun, dan disuruhnya seorang dayang untuk memberikan tapai itu kepada permaisuri.
Permaisuri dengan senang hati menerima pemberian tapai tersebut, karena baru pertama kali itu Paduka
Liku mengirimkan makanan untuk dia. Selainmemberikan tapai beracun, Paduka Liku juga menyuruh
adiknya untuk minta azimat guna-guna kepada seorang petapa sakti, agar raja tambah sayang
kepadanya.

Sore hari, ketika sedang duduk santai di taman peristirahatan istana, permaisuri akan tapai pemberian
selir Paduka Liku. Ia memerintahkan seorang dayang untuk mengambil tapai tersebut. Baru saja tapai
dimakan, badannya langsung kejang-kejang, mata mendelik dan mulutnya berbusa. Dayang-dayang jadi
panik. Candra Kirana menjerit-jerit ketika melihat keadaan ibunya.

Permaisuri meninggal seketika itu juga. Seisi istana jadi sedih dan berduka. Termasuk Mahadewi, selir
baginda yang lain. Ia merasa sedih atas kematian permaisuri ketika dengan tergopoh-gopoh baginda
raja datang dan sangat marah kepada Paduka Liku atas bencana yang ditimbulkannya. Namun setelah
berhadapan dengan Paduka Liku, baginda berubah sikap menjadi tenang dan tetap ramah kepadanya.
Kabar tentang wafatnya permaisuri kerajaan Daha sampai ke Kahuripan. Baginda raja Kahuripan
merasa kasihan kepada Candra Kirana atas nasibnya itu. Untuk menghiburnya Baginda ingin
mengirimkan bingkisan kepada calon menantunya itu. Raden Inu Kertapati lalu disuruh membuat dua
buah boneka. Satu dari emas dan satu lagi dari perak. Boneka Emas dibungkus dengan kain biasa, dan
boneka perak dibungkus dengan sutera yang indah. Setelah bingkisan tiba di Daha, Baginda menyuruh
Galuh Ajeng memilih lebih dahulu. Karena tamaknya diambilnya bungkusan sutera dan yang
berbungkus dengan kain biasa diberikan kepada Candra Kirana.

Betapa gembira hati Candra Kirana setelah membuka bungkusan, ternyata yang didapatkannya adalah
boneka emas yang berkilau-kilauan. Ditimang-timangnya boneka itu dan selalu dibawanya ke mana ia
pergi. Galuh Ajeng yang kemudian mengetahui kalau boneka yang didapatkan oleh kakaknya jauh lebih
bagus, ia ingin memilikinya. Atas bujukan Paduka Liku, Baginda menyuruh Candra Kirana agar
menukarkan boneka miliknya dengan boneka Galuh Ajeng. Candra Kirana tida
NAMA : DEWI NAYSWA FARENTA
NO. ABSEN : 11/X-02

HIKAYAT KERAJAAN PASAI


Ada dua orang raja bersaudara. Yang tua bernama Raja Ahmad dan adiknya adalah Raja Muhammad.
Raja Muhammad beroleh seorang anak putri yang elok parasnya di dalam sebatang bambu di tengah
hutan. Dia diberi nama putri Betong. Demikian juga Raja Ahmad beroleh seorang anak laki-laki, yang
dibawa oleh seekor gajah dan diberi nama Merah Gaja.

Merah Gajah kemudian dikawinkan dengan Putri Betong dan beroleh dua orang anak laki-laki, yaitu
Merah Silu dan Merah Hasum. Sepeninggal kedua orang tuanya, ibunya menghilang karena sehelai
rambutnya yang berwarna putih perak dicabut oleh ayahnya (Merah Gajah) dan ayahnya mati terbunuh,
Merah Silu menjadi kaya raya karena dapat mengubah gelang-gelang menjadi emas.

Dia berpindah tempat tinggal dan mendirikan kerajaan. Setelah ia masuk Islam, ia bergelar Sultan
Malikul Saleh dan kerajaannya disebut Samudera Darul Islam. Putranya yang bernama Malikul Tahir
mendirikan Kerajaan Pasai, yang disesuaikan dengan anjing perburuannya yang mati di tempat itu. Ia
berputra dua orang, Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.

Pada waktu Pasai diserang oleh Siam, Malikul Mahmud memimpin peperangan melawannya; Siam pun
kalah. Malikul Mahmud menggantikan ayahnya menjadi Raja Pasai. Adiknya, Malikul Mansur,
diasingkan karena dianggap bermusuhan terhadapnya. Narnun, Sultan Malikul Mahmud kemudian
sangat menyesal dan pilu hatinya ketika mendengar berita bahwa adiknya telah meninggal dalam
pengasingan.

Ia pun jatuh sakit dan mangkat, Ialu digantikan oleh Sultan Ahmad. Sultan Ahmad berkuasa mutlak.
Putranya lima orang, yaitu Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fazil, dan dua orang putri
(Tun Madim dan Tun Takiah Dara). Karena Tun Beraim Bapa menghalang-halangi niat Sultan Ahmad
(ayahnya) yang akan memperistri putrinya sendiri, ia disingkirkan dengan dibunuh. Demikian juga Tun
Abdul Jalil dibunuhnya karena Sultan Ahmad menghendaki calon istrinya adalah Putri Gemerancang,
putri Maharaja Majapahit. Begitu mengetahui kekasihnya terbunuh, Putri Gemerancang
menenggelamkan diri ke dalam lautan bersama dengan kepalanya.

Raja Majapahit menjadi sangat murka; Pasai diserang dan dikalahkannya. Sultan Ahmad melarikan diri
dari Pasai. Pada bagian akhir hikayat itu diceritakan tentang ekspansi Majapahit ke Jambi, Palembang,
dan Ujong Tanah. Kemenangan diperolehnya dimana-mana. Hanya di Suatang (Minangkabau)
Majapahit tidak begitu mujur. Setelah kalah beradu kerbau karena suatu muslihat, laskar Majapahit
diserang habis-habisan oleh laskar Suatang
NAMA : DIMAS ANGGI SAPUTRA
NO. ABSEN : 12/X-02

JUDUL HIKAYAT
NAMA : ELLY FATURRAHMAWATI
NO. ABSEN : 13/X-02

HIKAYAT AMIR HAMZAH


Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah Alam mempunyai
seorang anak bernama Amir. Amir tidak mengelola uangnya dengan baik. Setiap hari dia
membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah
memarahinya. Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak
uang yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkata, "Amir, Ayah tidak bisa
memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan
kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah. Usahakan engkau terlihat oleh
bulan, jangan terlihat oleh matahari."."Ya, Ayah. Aku akan turuti nasihatmu," jawab Amir.
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya meninggal. Sejak itu Amir
bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari, tetapi terlihat
bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung. Pada suatu hari, Amir bertmu dengan
Nasrudin, seorang menteri yang pandai. Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai
payung itu. Amir bercerita alasannya berbuat demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar, "Begini
ya, Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan
pulanglah sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. "Setelah memberi
nasihat, Nasarudin pun memberi pinjaman uang kepada Amir. Amir lalu berjualan makanan dan
minuman. Ia berjualan siang dan malam. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak itu, Amir
menjadi saudagar kaya.
NAMA : FARICHA ALYA ROSIDA
NO. ABSEN : 14/X-02

ABU NAWAS DAN LALAT


Pada suatu hari Abu Nawas terlihat murung. Ia hanya tertuduk lesu medengar penuturan istrinya bahwa
sebagian pekerja yang ada di kerajaan mereka membongkar rumah mereka. Demikian itu atas dasar isyarat
raja Harun Ar-Rasyid yang bermimpi menemukan emas di bawah rumah-rumah mereka.

Namun sekian lama mereka telah menggali dan merusak rumah mereka tidak ada emas apapun atau
perhiasan apapun di dalamnya. Mereka pun kecewa. Di balik kekecewaan mereka namun raja tidak merasa
saah dan tidak mengganti kerugian para pekerjanya.

Mendengar demikian Abu Nawas jengkel dan mencari cara untuk membalas raja. Sekian hari Abu Nawas
berfikir keras untuk mendapatkan ide untuk membalas sang raja. Ia terus memutar otak bagaimana caranya
agar raja itu sadar akan kesalahannya. Karena galaunya Abu Nawas dikasih makan pun tidak ia makan.
Sampai makanannya basi dan dihinggapi lalat-lalat yang cukup banyak. Maka dari sini Abu Nawas
mendapatkan ide. Abu Nawas kegirangan dan bersorak sorai setelah mendapatkan ide brilian untuk
membalas raja.

Abu Nawas meminta istrinya untuk mengambilkan kain dan besi. Maka ketika kedua barang itu sudah
ditangannya kain itu langsung untuk menutupi makanan yang dihinggapi lalat sangat banyak itu. Dan, tidak
lama kemudian ia menghadap raja sambil membawa makanan yang dibungkus dalam kain dan juga
membawa besi.
Ketika sampai di depan istana Abu Nawas izin kepada raja, "wahai paduka, saya izin ke sini untuk
melaporkan adanya makhluk yang masuk ke rumah saya tanpa izin. Saya ingin mendapatkan wejangan dari
paduka." kata Abu Nawas.

"Siapa gerangan yang masuk tanpa izin itu dan apa yang kau inginkan atas kejadian itu?" tanya Raja.

" Yang masuk tanpa izin itu adalah lalat-lalat yang banyak dan saya ingin raja memberikan izin secara
tertulis agar saya diberikan izin supaya memukuli lalat-lalat itu." kata Abu Nawas.

Maka raja pun memberikan izin untuk Abu Nawas. Seketika kemudian Abu Nawas membuka makanan
yang ditutup dengan kain. Ketika dibuka lalat-lalat itu berterbangan ke mana-mana, termasuk ke barang-
barang berharga istana. Ketika lalat-lalat itu hinggap Abu Nawas dengan bebas memukuli lalat-lalat itu.
Melihat demikian raja pun tidak bisa berbuat apa-apa. Raja merasa salah atas apa yang dilakukannya
memberikan izin Abu Nawas. Wallahu A'lam.
NAMA : GIGIH LUHUR RIFAI
NO. ABSEN : 15/X-02

KISAH LAKSAMANA HANG TUAH


Pada zaman dahulu kala, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak, ia beserta
kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan. Pulau ini berada di perairan
Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang.

Hang Mahmud berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat berumur
sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat,
Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali diganggu oleh
gerombolan lanun. Dengan segala keberaniannya, Hang Tuah beserta para sahabatnya mampu mengalahkan
gerombolan itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Bendahara Paduka Raja Bintan, yang sangat
kagum terhadap keberanian mereka.

Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang menyerang
Tuan Bendahara. Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Bendahara
kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut
merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai anak angkatnya.
Beberapa tahun kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan. Ia beserta
punggawa kerajaan, termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar Selat Melaka dan
Selat Singapura. Rombongan akhirnya singgah di Pulau Ledang. Di sana rombongan melihat seekor
pelanduk (kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.

Menurut petuah orang tua-tua, jika menemui pelanduk putih di hutan maka tempat itu bagus dibuat negeri.
Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama pohon Melaka yang
ditemukan di tempat itu.
Setelah beberapa lama memerintah, Baginda Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun
Teja, putri tunggal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu menolak
pinangan Baginda Raja. Akhirnya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri
Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan, di istana Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit
Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah
kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik dengan cara menukarkan
kerisnya dengan keris Taming Sari.
NAMA : HANA RISMA WATI
NO. ABSEN : 16/X-02

HIKAYAT ANTU AYEK


Dahulu kala, hiduplah seorang gadis di wilayah Sumatera Selatan. Gadis yang bernama Juani tersebut
berasal dari keluarga yang sederhana.Meskipun menjadi gadis kampung, Juani ialah gadis yang elok
rupawan, memiliki kulit cerah, dan rambut yang lebat hitam.
Keelokan wajahnya sangat terkenal di kalangan masyarakat. Wajar jika banyak lelaki bujang yang
berharap untuk bisa duduk di pelaminan dengannya. Namun apalah daya, Juani tidak kunjung menentukan
pilihan hati dari kampungnya.
Hingga suatu hari, bapak Juani akhirnya menerima pinangan dari Bujang Juandan karena terjerat
hutang dengan keluarganya. Bujang Juandan ialah pemuda yang berasal dari keluarga kaya raya.
Sayangnya, yang menjadi masalah ialah Bujang Juandan bukan seorang pemuda yang tampan. Bukan hanya
sekadar kurang rupawan, tapi pemuda itu menderita penyakit kulit di tubuhnya sehingga dijuluki sebagai
Bujang Kurap.
Mengetahui kabar tersebut, Juani sangat bersedih dan berusaha untuk menolak. Namun, ia tidak kuasa
menahan iba kepada bapaknya. Hari-hari ia habiskan untuk meratapi nasibnya yang sangat malang.Apa
hendak dikata, pernikahan pun sudah dirancang dan dipersiapkan. Warga sekampung juga ikut sibuk
mempersiapkan upacara pernikahan Juani dan Juandan.
Pada malam perkawinan tersebut, Juani dirias dan mengenakan gaun pengantin. Ia menangis di dalam
kamar tidurnya, masih dengan menggunakan gaun. Ketika seluruh anggota keluarga menyambut
kedatangan rombongan Juandan, hati Juani semakin sedih. Ia pun tidak memutuskan untuk kabur melalui
pintu belakang dan pergi menuju sungai.Dengan berurai air mata, Juani memutuskan terjun ke sungai untuk
mengakhiri hidupnya.
Kematiannya yang dipenuhi derita membuatnya menjadi arwah penunggu sungai yang hingga saat ini
disebut sebagai Antu Ayek. Hantu ini senang bergentayangan untuk mencari korban anak-anak.
NAMA : INDRIANI AGUSTIN
NO. ABSEN : 17/X-02

HIKAYAT PUTRI MANDALIKA


Putri Mandalika adalah putri dari pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting. Raja ini terkenal karena
kebijaksanaannya sehingga rakyatnya sangat mencintainya karena mereka hidup makmur. Putri Mandalika
hidup dalam suasana kerajaan dan dihormati hingga dia menginjak dewasa.

Saat dewasa Putri Mandalika tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan memesona.
Kecantikannya tersebar hingga ke seluruh Lombok sehingga pangeran-pangeran dari berbagai Kerajaan
seperti Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, dan kerajaan
Beru berniat untuk mempersuntingnya.

Mengetahui hal tersebut ternyata membuat sang putri menjadi gusar, karena jika dia memilih satu diantara
mereka maka akan terjadi perpecahan dan pertempuran di Gumi Sasak. Bahkan ada beberapa kerajaan yang
memasang senggeger agar Sang Putri jatuh hati padanya. Namun hal ini malah membuat sang putri makin
gusar.

Setelah berpikir panjang, akhirnya sang putri memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta
rakyat mereka untuk bertemu di Pantai Kuta Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut perhitungan
bulan Sasak tepatnya sebelum subuh. Undangan tersebut disambut oleh seluruh pangeran beserta rakyatnya
sehingga tepat pada tanggal tersebut mereka berduyun-duyun menuju lokasi undangan.

Setelah beberapa saat akhirnya sang putri Mandalika muncul dengan diusung oleh prajurit-prajurit yang
menjaganya. Kemudian dia berhenti dan berdiri di sebuah batu di pinggir pantai. Setelah mengatakan
niatnya untuk menerima seluruh pangeran dan rakyat akhirnya sang putri pun meloncat ke dalam laut.
Seluruh rakyat yang mencarinya tidak menemukannya. Setelah beberapa saat akhirnya datanglah
sekumpulan cacing berwarna-warni yang menurut masyarakat dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.
NAMA : JASMINE PUTRI NUGROHO
NO. ABSEN : 18//X-02

JUDUL HIKAYAT
NAMA : MARCHELINO AGUSTANTO
NO. ABSEN : 19//X-02

HIKAYAT HANG TUAH


Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah,

anak Hang Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai
Duyung mendengar kabar tentang Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.

Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang
Merdu, "Ayo kita pergi ke Bintan. negeri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang miskin. Lebih baik kita
pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan." Lalu pada malam

harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.

Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmud pun terbangun dan mengangkat anaknya serta
menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun
menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun
langsung memandikan dan melulurkan anaknya.

Setelah itu, ia memberikan anaknya kain, baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu memberi
makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk
mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu. Lalu kata Hang
Mahmud kepada istrinya, "Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh."

Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan. Lalu ada pemberontak yang
datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik toko meninggalkan
tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negeri Bintan itu dan terjadi kekacauan di mana-mana.
Ada seorang yang sedang melarikan dirt berkata kepada Hang Tuah. "Hat, Hang Tuah, hendak matikah kau
tidak mau masuk ke kampung?"

Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu, "Negeri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan
membunuh, ia pun akan mati olehnya." Waktu ia sedang berbicara, ibunya melihat bahwa pemberontak itu
menuju Hang Tuah sambil menghunuskan kerisnya. Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya, "Hai,
anakku, cepat fari ke atas toko!"
Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, ia pun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya
menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah falu menikamnya
bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu
mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelah kepala orang itu dan mati.

Maka kata seorang anak yang menyaksikannya, "Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.
Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya
kepadanya, "Apakah Anda benar-benar membunuh pemberontak dengan kapak?"

Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab, "Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan
dengan kapak untuk kayu."

Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang
ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-
pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah berdiskusi, datanglah mereka ke hadapan Sang
Raja.

Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama

para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang ayak, lalu menyembah Sang Raja,
"Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang pengkhianatan yang sampai
kepada saya. Berita berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya ." Setelah Sang
Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun

terkejut falu bertanya, "Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?"

Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, "Hormat tuanku,

pegawai saya yang hina tidak berani datang, tapi dia yang

berkuasa yang melakukan hal ini." Maka Baginda bertitah, Hai Tumenggung, katakan saja, kami akan
membalasnya."
Maka Tumenggung menjawab, "Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba
takut karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan
saya karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu."

Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, "Siapakah
orang itu, Sang Hang Tuah kah?" Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya
selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba menampilkan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga
tidak percaya, lalu hamba melihat Hang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan
ini. Perempuan bernama tersebut Dang Setia. Hamba takut dia melakukan sesuatu pada perempuan itu,
maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka."

Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah
kepada para pegawai yang berhati jahat itu, "Pergilah, singkirkanlah Si Durhaka itu!" Maka Hang Tuah pun
tidak pernah terdengar lagi di dalam negeri itu, tetapi si Tuah tidak mati karena si Tuah itu perwira besar,
apalagi dia menjadi wali Allah.

Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala
Batak dan orang hutan. Sekarang pun Raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu menanyakannya orang itu
dan berkata, "Tidakkah Tuan ingin punya istri?" Lalu jawabnya. "Saya tidak ingin mempunyai istri lagi."
NAMA : MARDIANA PERMATA SARI
NO. ABSEN : 20/X-02

HIKAYAT PATANI

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu.
Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun
beranak seorang laki-laki, maka dinamakan anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lama maka
Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah yang menggantikan
ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya sendiri Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu
sentiasa ia pergi berburu.

Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk di atas takhta kerajaannya dihadap oleh semua menteri pegawai
hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan di sebelah
tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah
Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jika demikian
kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala
menteri hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah
datanglah pada keesokan harinya. maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya
diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun
berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam
didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan
orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya:
"Daulat Tuanku, di hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah besok
pagi-pagi kita berburu"

Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat pun
masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang mengelincir
matahari, perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh
melepaskan anjing pengejaran baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepas oranglah. Hatta ada sekira-
kim dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan
suara anjing itu. Setelah bagian datang ke suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan
segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing itu?" Maka
sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada satu pelanduk putih,
besarnya seperti kambing. warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka
pelanduk itu pun lenyaplah di pantai ini."

Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan ke tempat itu. Maka
baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa dan menjerat. Maka titah
baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk di sini dan orang mana
asalnya. Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang
tua itu: "Daulat Tuanku. adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal
patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda pergi meninggalkan negeri ke Ayutia,
maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.Setelah Paduka Nenda
sampai ke tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun meninggalkan oranglah di
tempat ini," Maka titah baginda: "Apa namamu?". Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani."
Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.
Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak melakukan negeri
di tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai
dan ke Lancang memanfaatkan segala rakyat hilir melakukan negeri itu. Setelah sudah segala menteri
hulubalang dititahkah oleh bagian masing masing dengan ketumbukannya, maka bagian pun berangkat
kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda
pun pindah hilir duduk di negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun bernama Patani Darussalam (negeri
yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih menghancurkannya (dan pangkalannya
itu) di Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun
merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang
merawa itu. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang yang mengatakan pelanduk
melenyapkannya.

Beberapa tahun lamanya Paya Tu Naqpa bertahta, datang lah suatu penyakit berat yang menyerangnya. Tak
ada satu tabib pun yang dapat mengobatinya. Lalu raja pun mengeluarkan pengumuman melalui anak
buahnya, yaitu siapa yang bisa mengobati penyakit raja, maka ia akan diambil sebagai menantu. Tak lama
kemudian, datanglah Syekh Sa'id untuk menyembuhkan raja, tetapi dengan syarat raja akan menganut
agama Islam jika raja sembuh. Lalu raja pun menerima perjanjian tersebut. Tujuh hari lamanya raja di obati,
maka penyakit rajapun hilang, tetapi ia melanggar janji nya kepada Syekh Sa'id, raja enggan memeluk
agama Islam. Setelah dua tahun lamanya, ternyata penyakit raja datang lagi, lalu raja meminta Syekh Sa'id
untuk mengobatinya, dan raja berkata akan sungguh sungguh melaksanakan janji nya, lalu dengan
kemuliaan hati Syekh Sa'id mengobati raja tersebut. Setelah dua bulan, sembuhlah penyakit raja tersebut.
Tetapi lagi lagi raja melanggar janjinya itu.

Setahun kemudian, raja datangi sakit itu lagi, bahkan lebih parah, raja pun memanggil Syekh Sa'id untuk
mengobatinya, tetapi Syekh Sa'id ingin benar-benar raja menepati janjinya itu, jikalau tidak.raja tidak akan
diobati lagi oleh Syekh Sa'id tersebut. Setelah dua puluh hari lamanya, maka sembuhlah penyakit raja
tersebut. Lalu kemudian, raja pun memanggil Syekh Sa'id untuk melarang masuk Islam. Lalu raja
mengajarkan membaca kalimat syahadat, lalu Syekh Sa'id mengganti nama raja dengan sultan Ismail Syah
Zilullah Fi l 'alam. Lalu ketiga anaknya pun berganti nama pula agar makin terasa sempurna ke Islamannya.
Kemudian raja menghadiahi Syekh Sa'id dengan harta yang banyak, namun Syekh Sa'id tak mau dan
meminta pulang ke negeri pasainya. Tidak lama setelah itu, banyak pula rakyat yang masuk Islam. Mereka
mendirikan shalat dan tidak makan babi lagi. Meski demikian, raja tetap melakukan pekerjaan yang
bertentangan dengan Islam.
NAMA : MOHAMMAD ZANUAR MABRURI
NO. ABSEN : 21/X-02

HIKAYAT TIGA PENGEMBARA LAPAR


Dikisahkan, tiga orang pengembara yaitu Buyung, Kendi, dan Awang, sedang dalam pengembaraan.
Ketika tiba di sebuah hutan, perut mereka sangat kelaparan tetapi perbekalan mereka sudah habis.
Dalam keadaan lapar, Kendi dan Buyung pun sesumbar bahwa mereka bisa menghabiskan nasi sekawah
dan 10 ekor ayam seorang diri dalam keadaan seperti ini.

Namun, tidak seperti teman-temannya, Awang hanya mengharapkan sepiring nasi dan lauk yang cukup
untuk mengisi perutnya.
Tidak disangka-sangka, mereka menemukan sebuah pohon ara ajaib yang mendengarkan permintaan
mereka.
Kemudian, pohon itu menggugurkan tiga daun yang setiap lembarnya berubah menjadi makanan yang
mereka inginkan.
Setelah mendapat makanan secukupnya, Awang pun berhenti makan, tetapi dua sahabatnya itu masih
melanjutkan makan.

Kendi dan Buyung akhirnya berhenti karena merasa kekenyangan karena tidak sanggup menghabiskan
makanan yang mereka minta.
Akhirnya, nasi yang tidak termakan itu marah lalu menggigit tubuh Kendi.
Kemudian, Buyung yang hanya dapat menghabiskan satu ekor ayam saja, membuang sisa sembilan ekor
ayam ke semak-semak.
Tanpa diduga, ayam-ayam itu kemudian menyerangnya.
Awang hanya bisa terdiam melihat sahabat-sahabatnya tewas mengenaskan.
NAMA : MUHAMMAD FADHLI ROBBY
NO. ABSEN : 22/X-02

HIKAYAT SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya
bibuangdarikeinderaansehinggasengsarahidup.Itulahalasankemudianiadikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalanmencari rezeki berkeliling di
Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan MaharajaIndra Dewa. Ke mana mereka pergi selalu
diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramaidengandisertaiburuksehinggabengkak-
bengkakdanberdarah-darahtubuh. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan
sangatlapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki.Demikian
seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yangada di taman raja. Si
Miskin menyatakan penolakannya untuk menuruti keinginanisterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-
jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin,
“Diamlah. Tuan jangan laki-laki
gis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu.
Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makananyang lain. Setelah
ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskinmenghadap
rajamemohon mempelam.Setelah mendapatkannya sepenguntitmangga, pulanglah ia segera. Isterinya
menyambut dengan tertawa tawa dan terusdimakannya mangga itu.
Setelah genap bulan kandungan itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki
bernamaMarakarmah(anakdidalamkesukaran)dandiasuhnyadenganpenuhkasihsayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,didapatnya sebuah tajau
yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanjasampai ke anak cucunya. Dengan takdir
Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yangkomplit perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama
Maharaja Indera Angkasa danisterinya bernama Tuan Puteri Ratlna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa
Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesum.
NAMA : MUHAMMAD NUR HADY
NO. ABSEN : 23/X-02

HIKAYAT ANTU AYEK


Suatu hari, sang ayah terpaksa menikahkan Gadis Juani dengan Bujang Juandan karena terjerat
utang dengan keluarga Bujang Juandan.

Bujang Juandan memang pemuda dari keluarga kaya, tetapi yang membuat Gadis Juani sedih adalah rupa
Bujang Juandan yang tidak tampan.

Selain itu, Bujang Juandan pun menderita penyakit kulit di sekujur tubuhnya, sehingga dia juga dikenal
sebagai Bujang Kurap.

Akhirnya, di malam pernikahan, Gadis Juani tidak kuasa membendung kesedihan ketika arak-arakan
rombongan Bujang Juandan tiba.

Di tengah kekalutan pikiran, sambil berurai air mata, dia keluar lewat pintu belakang rumah dan berlari
menuju sungai.

Dia mengakhiri hidupnya di sungai itu dan menjadi arwah penunggu sungai yang dikenal sebagai Antu
Ayek.
NAMA : NABILA SYAWALIYAH PUTRI
NO. ABSEN : 24/X-02

HIKAYAT RAKYAT JAYA LENGKARA


Alkisah pada zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar bernama Ajam Saukat. Kerajaan
tersebut dipimpin oleh seorang raja yang adil bernama Saiful Muluk. Karena sebegitu adilnya, di negeri
tersebut tak ada fakir dan miskin.
Saat itu, sebenarnya sang raja sudah memiliki seorang istri bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya
Rum. Namun, setelah menikah selama beberapa tahun, mereka belum juga diberikan keturunan. Padahal,
Raja Saiful Muluk sangat menginginkan keturunan. Ia pun kemudian menikahi Tuan Putri Sakanda Cahaya
Bayang-Bayang.
Dari pernikahan tersebut, Saiful Muluk dante Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-Bayang dikaruni
dua anak laki-laki kembar yang diberi nama Makdim dan Makdam. Sayangnya, kelahiran anak kembar itu
tak memberikan kebahagiaan bagi Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum.
Istri pertama dari Saiful Muluk itu justru merasa takut kalau sang raja kini tak akan lagi
menyayanginya karena ia tak bisa memberikan keturunan. Ia pun kemudian berdoa dengan sepenuh hati
kepada Allah Swt. Agar bisa diberikan keturunan.
Benar saja, sesuai dengan doanya yang sepenuh hati, pada akhirnya Allah mengabulkannya. Tak
lama kemudian, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum akhirnya hamil dan sembilan bulan kemudian melahirkan
seorang anak laki-laki yang berparas elok layaknya bulan purnama. Sang anak laki-laki kemudian diberi
nama Jaya Lengkara.
Bertepatan dengan momen kelahiran Jaya Lengkara, negeri Ajam Saukat menjadi lebih makmur.
Segala tumbuhan, seperti buah-buahan dan padi yang ditanam bisa tumbuh dengan makmur. Hingga panen
pun akhirnya melimpah ruah.
Pada akhirnya, bahan makanan dan berbagai macam makanan bisa dijual dengan harga murah.
Tentunya, hal itu membuat semua rakyat dari berbagai kalangan berucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Raja Saiful Muluk Ingin Mengetahui Nasib Jaya Lengkara


Raja Saiful Muluk pun sampai mempertanyakan apakah seluruh berkah itu memang disebabkan
oleh kelahiran Jaya Lengkara. Dengan rasa ingin tahunya itu, sang raja kemudian memanggil para
hulubalang dan ahli nujum ke istana.
“Wahai tuan-tuan sekalian,” ucap Raja Saiful Muluk ketika beberapa hulubalang dan ahli nujum
sudah berkumpul di istana, “Adapun aku ingin bertanya apakah anakku yang bernama Jaya Lengkara ini
memang memiliki kemampuan atau kemustahilan? Apakah memang dia yang membawa kemakmuran pada
negeri ini?”
Tanpa menunggu lama, para ahli nujum dan hulubalang menggunakan kemampuannya untuk
mengetahui lebih lanjut tentang putra dari raja Saiful Muluk dan Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum. Setelah
selesai, mereka berdiskusi tentang hasil yang mereka dapatkan.
“Mohon maaf, baginda,” ucap salah satu perwakilan dari hulubalang dan ahli nujum, “setelah kami
diskusikan dengan baik, kami tidak bisa menemukan apakah memang kemampuan Jaya Lengkara yang
menciptakan kemakmuran itu ataukah memang hanya kebetulan semata.”
“Kemudian bagaimana dengan namanya?” tanya Raja Saiful Muluk masih penasaran, “Apakah arti
dari nama Jaya Lengkara itu nantinya akan membawa kebaikan atau keburukan dalam hidupnya?”
“Maafkan kami, tuanku Syah Alam,” ucap sang wakil sekali lagi, “kami juga tidak mengetahui
tentang hal itu. Akan lebih baik kalau baginda menanyakannya kepada Tuan Kadi yang lebih mahir dalam
ilmu fikih. Dengan begitu Tuan Kadi jauh lebih mengetahui tentang makna-makna dan mana yang boleh
ataupun makruh.”
Mendengar hal itu, Raja Saiful Muluk pun kemudian berpikir panjang. Setelah mempersilakan
seluruh ahli nujum dan hulubalang pulang, ia mulai mencari cara untuk bisa mengetahui tentang nasib Jaya
Lengkara.

Menemui Tuan Kadi demi Nasib Jaya Lengkara


Saiful Muluk memerintahkan kedua putra kembarnya, Makdam dan Makdim yang sudah mulai
beranjak dewasa untuk mencari seorang ahli Kadi. Tujuannya tentu saja supaya mengetahui tentang makna
dari Jaya dan Lengkara, juga tentang nasib yang dibawanya.
Sesuai perintah, Makdam dan Makdim pun pergi mencari kediaman sang Kadi dan menemuinya.
Mereka datang dengan menggunakan arakan lengkap layaknya adat anak raja. Tentu saja hal itu membuat
sang Kadi terkejut.
“Wahai, tuanku,” ucap sang Kadi ketika mendapati kedua putra Raja Saiful Muluk mendatangi
rumahnya menggunakan arak-arakan, “Dalam rangka apakah hamba yang hina ini mendapatkan
kehormatan seperti ini?
Makdam pun menjawab, “Ada pun kedatangan kami kemari karena titah dari Syah Alam. Beliau
meminta hamba untuk bertanya kepada Tuan Kadi perihal adik hamba yang baru lahir. Karena pada
kelahirannya, malam terlihat lebih bercahaya seolah ada yang spesial tentang dirinya.”
“Siapakah namanya, tuanku?” tanya Tuan Kadi.
“Nama adik kami adalah Jaya Lengkara, Tuan Kadi,” jawab Makdim. Tak lama kemudian, Tuan
Kadi membuka kitab dan tafsirnya. Setelah membacanya, ia terus berucap syukur tanpa henti hingga
membuat Makdam dan Makdim merasa heran.
“Wahai, Tuan Kadi, mengapa kau berkata syukur terus menerus?” tanya Makdam dan Makdim
nyaris bersamaan.
“Wahai Tuanku, sepertinya nasib adik kalian akan menjadi raja besar yang memiliki kesaktian luar
biasa. Nantinya, negeri ini akan semakin makmur dan dilimpahi berbagai macam makanan yang tumbuh
subur. Kemudian semua raja-raja yang gagah berani dapat dipastikan akan takluk di bawahnya dan orang-
orang akan takut padanya.”
Kekhawatiran Makdam dan Makdim
Mendengar jawaban Tuan Kadi, Makdam dan Makdim hanya bisa keheranan seraya saling
berpandangan. “Apakah kamu yakin kalau itu adalah Jaya Lengkara adik kami?” tanya Makdam
memastikan.
“Benar, tuanku. Bisa dibilang bulan dan matahari berada dalam posisi garis lurus. Bulan akan akan
membuka segala kekejian, sementara matahari akan menerangkan segala alam semesta. Dengan begitu,
Jaya Lengkara akan mendapatkan nasib yang sangat baik. Bahkan, bisa dibilang terlalu baik.”
“Apakah nasib itu sudah pasti dan tak akan bisa diubah lagi?” tanya Makdam ingin tahu. Dan Tuan
Kadi memastikan bahwa nasib itu sudah benar adanya. Bahkan, ia juga memastikan jika Jaya Lengkara
ingin hidup di darat atau laut sekalipun, hidupnya akan selalu sejahtera dan tak akan ada orang ataupun jin
yang berani melawannya.
Rupanya, informasi itu sama sekali tak memberikan kebahagiaan untuk Makdam dan Makdim.
Mereka berdua justru merasa tak senang. Mereka merasa khawatir kalau nantinya ayah mereka akan lebih
menyayangi Jaya Lengkara dan tak lagi mempedulikan mereka. Karena nyatanya, Raja Saiful Muluk pernah
tak mempedulikan Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum ketika wanita itu belum dikaruniai keturunan.
“Kakanda, apakah yang kita bicarakan pada raja nanti?” tanya Makdim di antara kekhawatirannya.
“Adinda, sepertinya apa yang diucapkan oleh Tuan Kadi tadi tak perlu kita bicarakan pada raja,”
jawab Makdam. Tak hanya itu, ia pun memberitahukan rencana tentang apa saja yang lebih baik diucapkan
pada Raja Saiful Muluk. Setelah rencana tersebut matang, mereka kembali lagi ke istana.

Kebohongan Makdam dan Makdim akan Nasib Jaya Lengkara


“Bagaimana anak-anakku?” tanya sang raja ketika Makdam dan Makdim kembali dalam keadaan
menangis, “Kenapa kalian terlihat sedih hingga menangis?”
Dengan berlinang air mata, Makdam pun menceritakan kebohongan yang sudah mereka
rencanakan. “Ampun, Tuanku. Kami sudah bertanya pada Tuan Kadi dan mendapatkan informasi bahwa
keberadaan Jaya Lengkara akan membawa celaka bagi negeri kita. Nantinya panen akan sulit dan harga
buah-buahan, padi, serta beras akan menjadi lebih mahal. Pada akhirnya, banyak rakyat yang akan
menderita dan pada akhirnya mati., Tuanku.”
“Itulah sebabnya kami menangis, Tuanku,” ucap Makdim menimpali, “Kami tak ingin kesedihan
dan penderitaan akan menghampiri rakyat Ajam Saukat.”
Mendengar hal itu, tentu saja baginda Raja Saiful Muluk langsung merasa khawatir dan bingung.
Ia langsung berusaha mencari solusi untuk menyelamatkan negerinya. Tanpa menunggu lama, ia
mendatangi kediaman Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum beserta putranya, Jaya Lengkara.
“Wahai, adinda, pemilik hati dan cermin mataku,” ucap Raja Saiful Muluk ketika bertemu dengan
istri dan putranya, “Izinkanlah kakanda membawa Jaya Lengkara terlebih dahulu.”
“Dalam rangka apa kakanda berkata demikian?” tanya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum penasaran
dan khawatir.
“Adinda, maafkan kakanda. Karena rupanya anak kita itu akan membawa celaka yang teramat besar
dalam negeri kita. Oleh karena itu, kakanad berniat untuk membunuhnya,” ucap Raja Saiful Muluk
menjelaskan.
Betapa terkejutnya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum ketika mendengar hal itu. Tak bisa dipungkiri
ia sebenarnya sangat menyayangi buah hatinya tersayang, Jaya Lengkara. Namun, ia juga tak ingin
keluarganya membawa masalah dan kemaslahatan untuk rakyat negeri Ajam Saukat.
“Hamba paham, Tuanku,” ucap Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, “Namun, hamba mohon jika
memang putra hamba harus dibunuh, maka kakanda juga harus membunuh hamba sekalian.”

Jaya Lengkara Dibuang Ke Hutan


Raja Saiful Muluk kini yang terkejut. “Mengapa adinda berkata demikian?” tanyanya khawatir.
“Duhai, Tuanku, hamba tiada sampai hati melihat anak hamba dibunuh. Karena baik atau jahatnya
anak hamba tersebut, tetap saja ia adalah putra hamba,” jawab sang putri dengan isak tangisnya. Mendengar
hal itu, terdiamlah sang raja. Ia pun kini merasa tak tega.
Makdam dan Makdim yang juga berada di sana pun kemudian memberikan usulannya kepada sang
raja. “Tuanku, kalau begitu bagaimana kalau Jaya Lengkara diasingkan saja bersama ibundanya?” ucap
Makdam.
“Benar, Tuanku,” tambah Makdim, “Dengan begitu, Baginda tak akan memisahkan Jaya Lengkara
dari ibundanya, dan keselamatan negeri Ajam Saukat ini pun masih terjamin. Karena tentunya tuanku tak
bisa menyamakan harga satu anak tuanku dengan harga seluruh rakyat negeri ini, kan?”
Raja Saiful Muluk pun memikirkan ucapan kedua anak kembarnya itu. Setelah memikirkannya
baik-baik, sang raja pun kemudian memanggil Mangkubumi alias patih istana dan memberikan perintah
untuk membuang Jaya Lengkara beserta ibundanya.
Untuk memenuhi perintah Raja Saiful Muluk, Mangkubumi membawa Jaya Lengkara dan Tuan
Putri Sakanda Cahaya Rum melewati hutan rimba dan padang belantara. Setelah melakukan perjalanan
selama tujuh hari tujuh malam, Jaya Lengkara dan bundanya kemudian di tinggalkan di dalam hutan.
Sementara sang Mangkubumi kembali lagi ke negeri Ajam Saukat.

Anugerah Pertama Jaya Lengkara


Awalnya, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum hanya bisa menangisi nasibnya. Namun, setelah
beberapa saat, ia akhirnya memutuskan unutk berjalan mencari pertolongan di desa atau negeri terdekat.

Setelah berjalan selama sembilan hari sembilan malam lamaya, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum
menemukan sebuah gua berukuran sangat besar. Ketika berusaha akan masuk ke dalam gua tersebut,
rupanya di dalamnya sudah ada banyak harimau dan ular. Sang putri sempat merasa ketakutan dan khawatir.
Namun, setelah beberapa saat, hewan-hewan buas tersebut mendadak bersujud pada sang putri.
Tentu saja Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum langsung terkejut. Namun, ia tak banyak berpikir lama
karena ia butuh beristirahat. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tinggal di dalam goa tersebut selama
beberapa saat.
Siapa sangka cobaan yang harus dialami ibu dan anak itu rupanya belum juga selesai. Bayi Jaya
Lengkara yang malang itu pun kehausan dan ingin menyusu pada ibundanya. Namun malang, karena terlalu
lama tak makan dan minum, air susu Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tak keluar sama sekali.
“Maafkan Ibunda, anakku. Apalah dayaku karena sudah empat puluh hari dan empat puluh malam
tanpa makan dan air, maka aku tak bisa menyusuimu,” ucap Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dengan
berlinang air mata penuh kesedihan.
Jaya Lengkara yang sangat kehausan pun menangis semakin kencang. Bahkan, ia sampai
mengguling-gulingkan tubuhnya di atas batu. Dengan takdir dari Yang Maha Kuasa, mendadak di sebelah
batu itu keluar air yang mengalir kencang.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum awalnya hanya bisa keheranan. Tanpa menunggu lama, ia pun
langsung meminum air tersebut hingga sekiranya ia bisa menyusui buah hatinya kembali. Jaya Lengkara
pun akhirnya mulai kembali sehat dan kuat.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dan Jaya Lengkara tinggal di gua tersebut selama beberapa tahun
lamanya. Sang bayi itu pun tumbuh menjadi anak sehat dan cerdas. Sering kali, ia menghabiskan aktu
bermain panah dan memanah kambing menjangan di dalam hutan.

Penyakit Raja Saiful Muluk


Di sisi lain, sepeninggal Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dan Jaya Lengkara, kesehatan Raja Saiful
Muluk justru semakin menurun. Tak peduli berapa banyak tabib yang diundang ke istana, tak ada satu pun
yang bisa menyembuhkan penyakit itu. Bahkan, setelah mengundang tabib-tabib paling masyhur dari
daerah lain sekalipun, tetap saja kesehatan sang raja justru menjadi semakin parah.
Lama kelamaan, hal itu membuat Makdam dan Makdim merasa gelisah. Maka mereka memanggil
beberapa ahli nujum dengan harapan bisa menemukan apa penyebab dari penyakit tersebut. Para ahli nujum
pun berusaha bekerja sebaik mungkin kemudian mendiskusikannya dan melaporkannya kepada Makdam
juga Makdim.
“Tuanku,” ucap sang perwakilan ahli nujum, “Sayang sekali sepertinya penyakit ayahan terlalu
keras. Kami tak bisa menemukan penyebabnya. Namun, bisa dipastikan jika penyakit tersebut tak segera
disembuhkan, nantinya akan membawa banyak kesialan bagi seluruh negeri.”
“Namun, bisakah kalian menemukan obat atau cara penyembuhannya?” tanya Makdam dan
Makdim.
“Ada cara untuk menyembuhkan baginda, Tuanku. Yakni menggunakan bunga kuma-kuma putih
yang ada di puncak Gunung Mesir. Bunga tersebut nantinya bisa digunakan untuk menyembuhkan baginda
raja,” ucap sang ahli nujum.
Tanpa menunggu lama, Makdam dan Makdim langsung memerintahkan pesuruhnya untuk mencari
bunga kuma-kuma putih yang dimaksud. Sayangnya, proses pencari bunga yang terletak di puncak Gunung
Mesir rupanya juga tak mudah. Sudah banyak pesuruh yang dikirim selama berbulan-bulan lamanya, tapi
tetap saja bunga yang dimaksud tak juga ditemukan.
Pada akhirnya, Makdam dan Makdim pun turut serta mencari bunga kuma-kuma putih di puncak
Gunung Mesir. Dalam perjalanan menuju ke gunung tersebut, mereka harus melewati hutan belantara
tempat Jaya Lengkara tinggal.

Pertemuan Makdam dan Makdim dengan Jaya Lengkara


Saat itu, Jaya Lengkara tengah bermain panah dengan mengincar kijang dan menjangan. Makdam
dan Makdim pun mendekati dan bertanya, “Wahai orang muda, dari mana kau berasal?”
“Hamba orang hutan, Tuan. Karena hamba tinggal di dalam hutan,” jawab Jaya Lengkara setelah
berhenti memanah.
“Kalau kau memang asli tinggal di hutan ini, bantulah kami mencari air karena kami terlalu
dahaga,” ucap Makdam yang langsung disetujui oleh Jaya Lengkara. Bahkan, Makdam dan Makdim pun
diajak pergi ke goa tempat Jaya Lengkara tinggal bersama ibundanya.
Jaya Lengkara membawakan kendi berisi air dari dalam goa. Kendi itu diterima oleh Makdam dan
Makdim yang kemudian meminum isinya. Tak hanya itu, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun turut serta
menyambut sang anak kembar dan membawakan makanan dan sayur-sayuran.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun kemudian bertanya pada Makdam dan Makdim apa yang
tengah mereka lakukan di dalam hutan. Makdam dan Makdim kemudian menjawab dengan posisi
menyembah pada sang putri, “Kami berniat pergi ke puncak Gunung Mesir untuk mencari bunga kuma-
kuma putih, Ibunda.”
“Apa guna dari bunga kuma-kuma putih itu, anakku?” tanya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum.
Makdam dan Makdim pun bergantian menjelaskan, “Bunga itu nantinya akan dijadikan sebagai
obat untuk Sri Paduka Baginda yang tengah sakit. Karena sudah empat puluh hari lamanya penyakit beliau
tak bisa disembuhkan.”
Namun, saat itu fokus Jaya Lengkara justru pada posisi sembah Makdam dan Makdim. Kenapa
kedua pria berpakaian rapi itu menyembah pada ibundanya yang hanya tinggal di dalam goa? Jaya Lengkara
pun langsung menanyakannya pada sang ibunda.

Sembah Sujud Makdam dan Makdim pada Jaya Lengkara


Betapa terkejutnya Jaya Lengkara ketika sang ibunda menjelaskan bahwa kedua pria itu merupakan
saudara satu ayah dengannya. Bahwa Jaya Lengkara sebenarnya merupakan putra dari raja di negeri Ajam
Saukat.
“Lalu bagaimana bisa kita tinggal di dalam hutan ini, Bunda?” tanya sang putra penasaran. Namun,
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tak langsung menjawab pertanyaan itu. Alasannya karena ia tak ingin
putranya membenci Makdam dan Makdim.
Di sisi lain, Makdam dan Makdim yang baru memperhatikan wajah Jaya Lengkara pun merasa
takjub. Karena adik satu ayahnya yang dahulu pernah ia buang itu wajahnya terlihat begitu elok layaknya
bulan purnama. Sama sekali tak terlihat seperti seorang anak yang dibesarkan di dalam goa yang tak
nyaman.
Mereka berdua pun kemudian bersujud di kaki Jaya Lengkara. Tentu saja hal itu membuat Jaya
Lengkara semakin keheranan. “Duhai ibuku, ada apakah dengan mereka berdua? Kenapa mereka juga
bersembah sujud di kakiku?”
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun akhirnya menjelaskan tentang Makdam dan Makdim. Di
mana mereka merupakan saudara Jaya Lengkara dari istri muda Ajam Saukat. Sang putri juga menjelaskan
bahwa kedua saudaranya itu berniat mencari bunga kuma-kuma putih untuk obat ayahandanya yang tengah
sakit.
“Kalau memang benar demikian, di manakah letak bunga itu, Kakanda?” tanya Jaya Lengkara
penasaran. Makdam dan Makdim menjawab bahwa tak ada yang mengetahui di mana tepatnya letak bunga
kuma-kuma putih itu. Yang orang-orang ketahui hanyalah lokasinya berada di puncak Gunung Mesir.
“Kalau begitu, bolehkah adinda membantu kakanda dalam mencari bunga kuma-kuma putih itu?”
tanya Jaya Lengkara menawarkan diri.
“Tentu saja boleh, adinda!” jawab Makdam dan Makdim nyaris bersamaan. Sesudahnya, mereka
menyusun rencana untuk menuju ke puncak Gunung Mesir.

Bertemu dengan Harimau dan Raksa


Setelah mempersiapkan segalanya, mereka bertiga berangkat menuju ke puncak Gunung Mesir
untuk mencari bunga kuma-kuma putih. Di tengah perjalanan, mereka sampai di sebuah rimba padang. Di
sana, Makdam dan Makdim merasa kehausan dan berusaha mencari sumber mata air. Sayangnya, karena
daerah tersebut kering, mereka tak bisa menemukan air barang sedikit.
“Duhai, adikku,” ucap Makdam, “Bisakah kau membantu kami mencarikan sumber mata air? Aku
sudah kehausan tapi tak bisa menemukan air sedikit pun.”
Jaya Lengkara pun kemudian berkeliling mencari sumber mata air sementara Makdam dan Makdim
beristirahat di bawah pohon kayu beringin yang besar. Ketika beristirahat, Makdam dan Makdim terlihat
seperti sudah meninggal hingga membuat Jaya Lengkara khawatir.
Kemudian, ia pun memanjat ke atas pohon kayu beringin itu. Ketika puncak dari pohon tersebut
dipukul, mendadak keluarlah air seperti hujan yang turun dengan derasnya. Setelah mengumpulkan airnya
di wadah kemudian turun dari puncak pohon tersebut, Jaya Lengkara membangunkan kedua kakaknya.
“Kakanda, bangunlah dan minumlah air ini!” ucap Jaya Lengkara yang langsung membuat kedua
kakaknya terkejut. Setelah minum air, akhirnya Makdam dan Makdim bisa mengumpulkan kekuatannya
untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan selama tiga hari tiga malam, mereka bertiga bertemu dengan harimau dan raksa.
Melihat kedua hewan berukuran besar itu, Makdam dan Makdim langsung ketakutan kemudian
bersembunyi di balik tubuh adiknya.
“Kakanda tak perlu takut,” ucap Jaya Lengkara meyakinkan kedua kakaknya kemudian berbalik
menatap kedua hewan tersebut, “Wahai raksa dan harimau, janganlah mengganggu kami. Karena kedua
kakakku sebenarnya sangat takut pada kalian berdua.”
Kedua hewan itu pun mendadak lari tunggang langgang ketika melihat Jaya Lengkara. Hal itu
membuat Makdam dan Makdim terkejut.

Pertemuan Jaya Lengkara dan Tuan Putri Ratna Kasina


Tak berapa lama kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah goa.
Karena kelelahan, Jaya Lengkara menawarkan pada kedua kakaknya untuk beristirahat di goa tersebut.
“Adinda, aku tidak yakin kita harus masuk ke dalam goa ini,” jawab Makdam ragu-ragu, “Goanya
terlalu gelap dan tak ada cahaya. Bagaimana jika di dalam goanya ada harimau, ular, atau raksa?”
Untuk memastikannya, Jaya Lengkara masuk sendirian ke dalam goa tersebut. Namun, siapa
sangka di dalamnya ia justru bertemu dengan seekor naga yang berukuran sangat besar. Yang jauh lebih
mengejutkan lagi, di samping naga yang bernama Naga Guna tersebut terdapat seorang perempuan yang
rupanya bernama Tuan Putri Ratna Kasina.
Rupanya Tuan Putri Ratna Kasina merupakan anak perempuan dari raja negeri Madinah. Ia berada
di goa tersebut juga karena tengah dalam perjalanan menuju puncak Gunung Mesir. Rupanya, Raja
Madinah juga tengah sakit parah. Dan Tuan Putri Ratna Kasina juga tengah mencari bunga kuma-kuma
putih.
Sebenarnya, sang putri berangkat bersama pasukan sebanyak dua ribu orang yang dipimpin oleh
seorang Mangkubumi. Namun, setelah perjalanan selama tujuh hari tujuh malam dan tanpa hasil sama
sekali, seluruh pasukan itu dipaksa pulang sementara Tuan Putri Ratna Kasina menunggu di dalam goa
dengan ditemani oleh sang naga yang rupanya baik hati.
“Wahai Jaya Lengkara, masuklah kemari,” ucap Naga guna ketika Jaya Lengkara baru saja masuk
ke dalam goa, “Duduklah dengan Tuan Putri Ratna Kasina di sini!” Sesuai permintaan, Jaya Lengkara pun
masuk ke dalam goa dan duduk di samping sang putri.

“Wahai Naga Guna, siapakah laki-laki itu sebenarnya?” tanya Tuan Putri Ratna Kasina. Karena
rupanya, ketika ia baru pertama kali bertemu dengan si naga, sang putri diberitahu untuk menunggu di
dalam goa sampai Jaya Lengkara datang.
“Pria itu adalah Jaya Lengkara, Putri,” jawab Naga Guna, “Ia adalah putra dari Raja Ajam Saukat.
Nantinya laki-laki itulah yang akan bisa membantumu menemukan bunga kuma-kuma putih.”

Pencarian Bunga Kuma-Kuma Putih


Setelah saling berkenalan dan menceritakan tentang tujuan sang putri yang sama seperti Makdam
dan Makdim, mereka pun kemudian merencanakan cara untuk mencari bunga kuma-kuma putih itu.
Namun, Jaya Lengkara memastikan terlebih dahulu tentang di manakah lokasi bunga yang diyakini bisa
mengobati penyakit para raja.
Naga Guna pun kemudian menjelaskan tentang tempat pastinya bunga kuma-kuma putih itu
ditanam. Ia juga menjelaskan bahwa di depan goa akan ada dua kucing yang berwarna hitam dan putih.
Kedua kucing tersebut akan menjaga Tuan Putri Ratna Kasina. Jaya Lengkara diminta untuk membantu
kedua kucing tersebut mengawal dan menjaga sang putri.
Sesudahnya, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan dengan ditemani oleh Naga Guna.
Sesampainya di lokasi tumbuhnya bunga kuma-kuma putih, benar saja bunga yang mereka cari itu ada di
sana. Namun, bunga yang dimaksud rupanya belum mekar.
Sang naga pun berpesan bahwa rupanya bunga kuma-kuma putih itu hanya akan mekar ketika air
pasang. Alasannya karena Gunung Mesir itu merupakan pusat laut. Padahal, air pasang kira-kira baru akan
terjadi sekitar empat puluh hari lagi. Oleh karena itu, Naga Guna menyarankan agar Makdam, Makdim,
Jaya Lengkara, dan Tuan Putri Ratna Kasina istirahat dahulu selama empat puluh hari.
Namun, Makdam dan Makdim tak bisa bersabar menunggu hingga empat puluh hari lamanya.
Mereka khawatir jika menunggu jauh lebih lama lagi, dikhawatirkan kondisi kesehatan raja akan semakin
memburuk. Kedua saudara kembar itu pun kemudian mempengaruhi Tuan Putri Ratna Kasina dan Jaya
Lengkara untuk mengambil bunga kuma-kuma putih itu.
Awalnya, Tuan Putri Ratna Kasina mencoba mengambil bunga tersebut. Sementara Jaya Lengkara
mengambil daunnya. Menariknya, bunga yang awalnya masih kuncup itu mendadak mekar di tangan Tuan
Putri Ratna Kasina.

Akal Busuk Makdam dan Makdim


Melihat hal itu, bukannya turut serta berbahagia, Makdam dan Makdim justru berniat melakukan
kejahatan. Dengan sengaja ia mendorong adiknya itu ke pusat laut. Untungnya, karena saat itu Jaya
Lengkara masih memegang daun bunga kuma-kuma putih yang sakti, ia tak bisa tenggelam. Justru pada
akhirnya, nyawanya bisa terselamatkan.
Sementara itu, Makdam dan Makdim berusaha membawa Tuan Putri Ratna Kasina beserta bunga
kuma-kuma putih yang sudah mekar itu ke istana. Naga Guna yang baru saja terbangun dari tidurnya
langsung memerintahkan kedua kucing kepercayaannya untuk mencari Jaya Lengkara.
Di waktu yang bersamaan, terdapat Putri Ratna Gemala dari Mesir dan Putri Ratna Dewi yang
merupakan anak perempuan dari Raja Peringgi. Rupanya, mereka berdua suatu hari mendadak bermimpi
tentang sebuah bunga ajaib bernama kuma-kuma putih. Di waktu yang bersamaan, mereka memerintahkan
seorang menteri untuk berangkat ke puncak Gunung Mesir dan mencari bunga tersebut.
Di tengah perjalanan, menteri yang dikirim itu bertemu dengan Makdam dan Makdim beserta Tuan
Putri Ratna Kasina. Menteri yang curiga dengan keberadaan Makdam dan Makdim pun langsung
menangkap saudara kembar itu kemudian memenjarakannya. Sementara Tuan Putri Ratna Kasina yang
terlihat membawa bunga kuma-kuma putih pun diselamatkan.
Tak berapa lama kemudian, Jaya Lengkara yang berhasil diselamatkan oleh Naga Guna pun datang
ke negeri Peringgi. Ia meminta agar pemerintah Peringgi membebaskan Makdam dan Makdim. Ketika
permintaan itu tak langsung dikabulkan, Jaya Lengkara meminta bantuan kaum jin untuk menyelamatkan
kedua kakaknya itu.
Setelah Makdam dan Makdim berhasil diselamatkan, Raja Peringgi bertanya siapakah Jaya
Lengkara sebenarnya. Begitu mengetahui jati diri sang putra Raja Ajam Saukat yang sakti itu, Raja Peringgi
mengusulkan agar sang pangeran menikah dengan putri Raja Peringgi.
Akhir Kisah Bahagia Jaya Lengkara
Namun, Jaya Lengkara memiliki ide lain yang menurutnya jauh lebih baik dan bijaksana. Yaitu,
menikahkan Putri Ratna Dewi dengan Makdam dan Putri Ratna Gemala dinikahkan dengan Makdim.
Sesudahnya, Jaya Lengkara dan Tuan Putri Ratna Kasina berangkat ke negeri Ajam Saukat untuk
menyembuhkan penyakit Raja Saiful Muluk. Karena saat itu Makdam dan Makdim yang masih dibutakan
oleh keserakahan kembali ke negeri Ajam Saukat, mereka berdua pun memutuskan untuk meninggalkan
negeri kelahiran Jaya Lengkara itu.
Mereka berdua diantarkan oleh Naga Guna menuju ke negeri Madinah untuk menyembuhkan
ayahanda Tuan Putri Ratna Kasina. Sebagai tanda syukur dan terima kasih, Raja Madinah menikahkan anak
perempuannya dengan Jaya Lengkara. Sementara sang raja sendiri menikahi Tuan Putri Sakanda Cahaya
Rum, ibunda Jaya Lengkara.
Tak lama kemudian, Jaya Lengkara diangkat menjadi Raja Madinah untuk memerintah negeri itu.
Ketika ia memimpin Madinah, negeri itu menjadi lebih makmur dan subur. Seluruh raja-raja dari daerah
lain pun tunduk di bawah Jaya Lengkara dan setiap tahunnya selalu mengantarkan upeti ke Madinah.
NAMA : NAILY SABATINA CHISTIAAN
NO. ABSEN : 25/X-02

JUDUL HIKAYAT
NAMA : NAYDIA AZZAHRA
NO. ABSEN : 26/X-02

SEORANG LELAKI DAN RUMAH SEMPIT


Alkisah terdapat seorang lelaki yang datang ke rumah Abu Nawas. Pria tersebut ingin mengeluh kepadanya
tentang masalah yang tengah dihadapinya. Ia pun merasakan sedih dikarenakan rumahnya sangat terasa
sempit ketika ditinggali oleh banyak orang.

“Wahai Abu Nawas, Saya mempunyai seorang istri dan juga 8 orang anak tetapi rumah saya sangat sempit.
Setiap harinya mereka mengeluh dan juga tidak nyaman tinggal di rumah itu. Kami pun ingin pindah dari
rumah tersebut, tetapi kami tidak memiliki uang. Jadi tolonglah katakan kepadaku apa yang bisa aku
lakukan,” tanyanya.

Mendengar pertanyaan lelaki yang sangat sedih tersebut, Abu Nawas pun berpikir sejenak. Dan tak berapa
lama kemudian suatu ide lewat di kepalanya.

“Kamu memiliki domba di rumahmu?” Abu Nawas bertanya kepada lelaki tersebut. “Aku tidak menaiki
domba maka dari itu aku tak mempunyainya," jawab lelaki tersebut. Kemudian ketika mendengar
jawabannya itu, Abu Nawas pun meminta lelaki itu untuk membeli seekor domba dan menyuruhnya agar
menaruhnya di rumah.

Lelaki tersebut kemudian mengikuti usulan dari Abu Nawas dan ia pun pergi untuk membeli domba. Esok
harinya, ia pun datang lagi ke rumah Abu Nawas. “Abu Nawas, bagaimana ni? Nyatanya rumahku sekarang
semakin sempit dan juga berantakan.”

“Ya sudah kalau begitu kamu cobalah membeli 2 ekor domba lagi dan kamu dapat memeliharanya di
rumahmu juga,” jawab Abu Nawas.

Dan kemudian pria itu pun pergi kepasar dan juga ia membeli 2 ekor domba lagi, tetapi hasilnya tak sesuai
dengan harapannya karena rumahnya semakin terasa sempit.

Dengan sangat jengkel nya, Ia pun pergi menghadap Abu Nawas lagi untuk mengadukan masalah itu untuk
yang ketiga kalinya. Ia pun menceritakan segala apa yang sudah terjadi, termasuk tentang istrinya yang
menjadi marah-marah dikarenakan domba itu. Dan kemudian Abu Nawas menyarankan untuk menjualkan
semua domba yang ia miliki.
Esok harinya, Abu Nawas dan lelaki tersebut bertemu lagi. Dan Abu Nawas menanyakannya, “Bagaimana
rumahmu sekarang? sudah merasa lega?”

“Dan setelah aku menjual domba tersebut rumahku menjadi nyaman ketika di tinggali. Istriku pun sudah
tak lagi marah-marah,” jawab lelaki tersebut seraya tersenyum. Dan pada akhirnya Abu Nawas bisa
menyelesaikan masalah lelaki tersebut.
NAMA : NUR MERYSAH AMELIA
NO. ABSEN : 27/X-02

MALIN KUNDANG
Pada suatu waktu, di desa terpencil ada sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatera
Barat. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang Ayah memutuskan untuk mencari nafkah
di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Ayah Malin tidak pernah kembali ke kampung
halamannya sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya
dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka
terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah
pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau
dengan menumpang kapal seorang saudagar. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar
tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua
barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar
awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang
beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh
oleh para bajak laut.
Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang
terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan
kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki
banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya,
Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu
Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak
saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung
halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal
serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua
orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya,
Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat bekas luka dilengan
kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin
Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk
Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya, Malin Kundang
menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini
diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.
Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga
anaknya menjadi anak durhaka. Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan
di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Ditengah kekacauan itu,
diwaktu yang sama dan tempat yang lain ibu Malin Kundang sedang berdoa. Karena kemarahannya yang
memuncak, ia pun berteriak “Tuhan! Jika benar ia Malin anakku, KUKUTUK DIA JADI BATU!”
Tepat setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya
berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah
pantai bernama pantai Air Manis, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.
UNSUR INSTRINSTIK :
1)Tema :anak yang durhaka
2)Tokoh :malin kundang,ibu malin kundang,ayah malin kundang dan istri malin kundang
-Protagonis:ibu malin kundang dan malin kundang
-Anatagonis :malin kundang,istri malin kundang,ayah malin kundang
-Tritagonis :
-Analitik :malin kundang
-Dramatik :istri malin kundang, ibu malin kundang ,ayah malin kundang
3)Latar :

Tempat :Sumatera barat dan laut


Waktu :pagi hari
4)Alur:maju (pengenalan-awal perselihan-menuju konflik-konflik memuncak-penyelesaian.
5)Sudut pandang :orang ketiga diluar cerita
6)Amanat :janganlah durhaka kepada orang tua kita,dan tidak boleh berkata kasar kepadanya, ibu
sangat lah malaikat tanpa sayap dia telah mengandung kita selama 9 bulan dan membesarkan kita dengan
kasih sayang,jadi janganlah pernah kalian durhaka kepada ibu.
7)Penggolongan dongeng :legenda
NAMA : NURUDIN THOHIR
NO. ABSEN : 28/X-02

HIKAYAT SI BUNGKUK DAN SI PANJANG


Suatu hari terdapat sepasang suami istri yang hendak menyebrang sungai. Namun, mereka tidak
menemukan perahu untuk menyebrang sungai tersebut. Karena laki-laki tua tersebut tidak mengetahui
kedalaman sungai tersebut, lagipula dia bungkuk maka ia tidak berani untuk turun ke sungai. Dilihatnya
seorang laki-laki Bedawi yang ada di seberang sungai, maka laki-laki tua itu

meminta tolong kepada Bedawi untuk menyeberangkan ke sungai. Bedawi tersebut senang karena ia
melihat istri laki-laki tua itu cantik parasnya, sedangkan suaminya sudah tua dan punggungnya bungkuk.
Dengan kelicikannya, Bedawi itu memanfaatkan laki-laki tua dengan berbohong bahwa sungainya dalam
dengan ia memendekkan tubuhnya sampai lehernya tertutup air. Dia juga menginginkan istri orang tua itu
dengan beralasan bahwa dia tidak mungkin membawa dua orang sekaligus maka laki-laki tua itu menyuruh
istrinya untuk menyeberang terlebih dahulu.

Bedawi itu merasa sangat beruntung karena dengan dengan kelicikannya, ia membawa perempuan itu dan
bekal barang-barang sepasang suami istri tersebut. Di tengah-tengah sungai Bedawi itu mencoba merayu
perempuan tersebut dengan mengejeknya bahwa seorang wanita cantik tetapi mempunyai suami yang
bungkuk. Dan ia mengatakan untuk memperistri wanita itu. Perempuan itu pun luluh dengan rayuan Bedawi
tersebut, dan perempan itu pun menyetujui untuk menikah dengan Bedawi itu.

Setelah sampai di tepi sungai, Bedawi dan perempuan itu mandi lalu menikmati perbekalan yang telah
dibawanya. Setelah itu mereka berjalan-jalan. Dari kejauhan, orang tua bungkuk itu merasa heran dengan
tingkah laku Bedawi dan istrinya tersebut. Lalu ia memutuskan untuk menyusul mereka, ia nekat untuk
menyeberangi sungai walaupun taruhannya nyawa. Setelah turun ke sungai, orang tua bungkuk tersebut
heran karena ternyata sungai tersebut tidaklah dalam airnya.

Sesampainya di tepi sungai, orang tua tersebut pergi ke dusun Masyhudulhakk untuk mengadukan
masalahnya tersebut. Setelah itu, Masyhudulhakk memanggil Bedawi dan perempuan tersebut dan
menanyakan ‘’siapakah perempuan itu?”

Bedawi pun menjawab bahwa perempuan itu adalah istrinya yang telah dinikahinya. Akan tetapi, orang
tua tersebut menyangkal perkataan Bedawi bahwa perempuan itu adalah istrinya. Maka terjadilah
pertengkaran antara Bedawi dengan orang tua itu. Dan banyak orang yang berkerumun melihat kegaduhan
tersebut.

Lalu Masyhudulhakk menanyakan kepada perempuan itu, siapakah sebenarnya suaminya tersebut. Lalu
wanita itu menjawab bahwa suaminya itu adalah Si Panjang, Masyhudulhakk pun kembali bertanya kepada
mereka tetapi secara bergantian, untuk yang pertama adalah perempuan itu, dia mengaku bahwa suaminya
adalah si panjang. Namun, saat ia di tanyai oleh Masyhudulhakk sipakah mertua laki-laki dan wanitanya
serta dimanakah mertuanya tinggal, ia tidak bisa menjawabnya.

Lalu, giliran Si Panjang yang ditanyai oleh Masyhudulhakk, apakah benar bahwa perempuan itu adalah
istrinya, Si Panjang pun dengan yakin menjawab bahwa perempuan itu adalah istrinya, namun setelah
ditanyai oleh Masyhudulhakk siapa nama mertua laki-laki dan perempuan serta dimana mertuanya tinngal,
ia tidak dapat menjawabnya.

Lalu, Masyhudulhakk melanjutkan pertanyaannya kepada orang tua bungkuk tersebut, apakah benar
perempuan tersebut adalah istrinya, ia menjawab dengan yakin bahwa perempuan itu adalah istrinya. Lalu,
Masyhudulhakk menanyakan siapa mertua laki-laki dan perempuannya serta dimanakah mertuanya tinggal,
orang tua bungkuk itu pun menjawab dengan jelas pertanyaan dari Masyhudulhakk tersebut.

Dari, pengakuan tersebut sudah diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar. Orang tua bungkuk itu
sudah terbukti bahwa dialah yang benar dan Bedawi itulah yang salah. Akhirnya, Bedawi dan perempuan
itu pun mengakui kesalahannya dan mendapatkan hukuman dari Masyhudulhakk sebanyak 100 kali.
Masyhudulhakk juga menyuruh Bedawi itu untuk bertaubat dan tidak melakukan perbuatan itu lagi.

Dari cara Masyhudulhakk memecahkan masalah dengan kemampuan dan kecakapannya, membuat
Masyhudulhakk semakin terkenal kearifan dan kebijaksanaannya di dalam masyarakat.
NAMA : RAHEL ATALYA
NO. ABSEN : 29/X-02

HIKAYAT MALIM DEMAM


Malim deman adalah putra raja dari bandan muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya.
Setelah besar, malim deman bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan
untuk mendapatkan puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang banyak pergilah
malim Deman ke rumah nenek kebayan. Dengan bantuan nenek kebayan juga, ia berhasil mencuri baju
layang putri bungsu, sehingga puteri Bungsu tidak dapat kembali ke kayangan, Nenek kebayan lalu
mengawinkan mereka.
Maka berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar. Jamuan makanan besar-besaran lalu di
adakan. Malim Deman juga ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian Malin Deman gering, lalu
mangkat. Sejak kematian ayahhanda, Malim Deman lali memerintah negeri. Setiap hari ia asyik
menyambung ayam saja. Dalam keadaan yang demikian, Puteri Bungsu pun melahirkan seorang anak yang
diberi nama Malim Dewana. Akhirnya Malim Dewana besariah, tetapi Malim Deman tetap tidak mau
kembali ke istana melihat puteranya. Putri Bungsu sangat masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan
kembali baju layangnya. Maka ia pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malim Dewana.
Sepeninggal Puteri Bungsu, barulah Malim Deman menyesal. Tujuh hari tujuh malam ia tidak beradu,
tidak santap, leka dengan menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi mendapatkan istri dan anaknya
kembali. Dengan susah payah. sampailah ia ke rumah nenek kebayan dan bertanya dimana diperoleh burung
borak yang dapat membawanya kekayangan. Dengan bantuan nenek kebayan, tahulah ia bahwa Puteri
Terus Mata ada menyimpan burung borak Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada Malim
Deman dengan syarat bahwa Malim Deman harus kawin dengan anaknya yaitu Puteri Terus Mata. Malim
Doman menyanggupi hal ini.
Sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek.
Malim Deman mengalahkan Mambang Molek dalam menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman
antara keduanya, Mambang Molek terbunuh. Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke
dunia semula. Perkawinan dengan Puteri Terus Mata lalu diadakan.
Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja yang sangat bijaksana lagi gagah berani. Dan baginda
ketiga laki istri juga sangat sayang kepada Putaranya
NAMA : RAIHAN JASIM SHABAH
NO. ABSEN : 30/X-02

HIKAYAT BAYAN BUDIMAN


Khojan Mubarok merupakan saudagar dari kerajaan Ajam. Dia tidak mempunyai anak, dia selalu berdoa
kepada Tuhan. Tak beberapa lama kemudian akhirnya istrinya hamil dan melahirkan seorang anak yang
laki-laki dan diberi nama Khojan Maimun.

Khojan Maimun sudah berumur lima tahun, Khojan Mubarok menyuruh seorang guru mengaji untuk
mengajarkan anaknya mengaji. Dan ketika Khojan Maimun yang semakin beranjak remaja, waktu itu
Khojan Maimun masih berumur lima belas tahun, dia dinikahkan dengan anak dari seorang saudagar kaya
raya yang sangat cantik bernama Bibi Zainab.

Selang berapa lama setelah menikah dengan Bibi Zainab, dia pun membeli seekor Burung Bayan jantan.
Selain Khojan Maimun membeli Burung Bayan, dia juga membeli Burung Tiung betina. Kedua burung
tersebut akhirnya dibawanya pulang ke rumah dan kemudian di taruh pada sebuah sangkar yang sama.

Hingga suatu hari kemudian, Khojan Maimun akhirnya tertarik untuk pergi bekerja berdagang di laut, lalu
Khojan Maimun kemudian meminta izin kepada istrinya. Sebelum Khojan Maimun itu pergi untuk
berdagang ke laut, Khojan Maimun berpesan kepada istrinya apabila ada suatu permasalahan maka harus
bermusyawarahlah dengan kedua burung itu, ingatlah itu karena fitnah akan lebih tajam daripada senjata.

Selang beberapa lama dia ditinggal suaminya , ada seorang anak Raja yang sedang berkuda melihat
kecantikan dari wajah dari Bibi Zainab yang sangat cantik dan rupawan. Sehingga mereka berdua akhirnya
saling jatuh cinta dan mereka bertemu dengan dibantu oleh seorang perempuan yang sudah tua. Pada suatu
malam, Bibi Zainab tiba-tiba segera bergegas untuk berpamitan kepada Burung Tiung untuk bertemu
dengan Pangeran, tetapi Burung Tiung tersebut menasehati Bibi Zainab karena perbuatannya itu telah
melanggar aturan Allah SWT. Mendengar nasehat dari Burung Tiung, Bibi Zainab Pun akhirnya marah dan
lemparkanlah sangkar itu sampai Burung Tiung mati.

Ketika Bibi Zainab hendak pergi, dia melihat Burung Bayan yang sedang berpura-pura tertidur. Burung
Bayan berpura-pura terkejut karena Burung Bayan mendengar keinginan dari Bibi Zainab yang hendak
pergi untuk menemui anak Raja. Maka Bayi Pun akhirnya berpikir, apabila dia menjawab seperti yang
dikatakan Tiung maka dia pun akan ikut mati. Setelah lama berpikir, Bayan berkata kepada Bibi Zainab
yang cantik, untuk cepat pergi menemui anak Raja tersebut. Apapun yang lakukan itu baik atau buruk
sekalipun, akan menanggungnya.
Bayan adalah nama burung yang dapat berbicara, baik hati, dan memiliki sifat-sifat terpuji seperti layaknya
manusia. Ia pun pandai bercerita tentang segala hal yang mengandung hikmah bagi siapapun yang
mendengarnya. Isi ceritanya biasanya berupa nasihat yang bermanfaat, khususnya bagi manusia, seperti
cerita tentang anak yang harus berbakti kepada kedua orang tuanya, istri yang harus setia kepada suaminya,
dan manusia yang harus selalu berdoa memohon pertolongan Allah, Tuhan semesta alam ini. Ia tidak mau
berbuat jahat,keji,dan berbicara yang tidak ada manfaatnya.Oleh karena itulah,ia disebut burung bayan yang
budiman. Hikayat ini sarat dengan nilai-nilai luhur, seperti himbauan atau ajakan untuk selalu berbuat
kebaikan dan unsur keagamaan.
NAMA : RIZKI CHOIRUNNISA
NO. ABSEN : 31/X-02

HIKAYAT TIGA PENGEMBARA LAPAR


Dikisahkan, tiga orang pengembara yaitu Buyung, Kendi, dan Awang, sedang dalam pengembaraan.
Ketika tiba di sebuah hutan, perut mereka sangat kelaparan tetapi perbekalan mereka sudah habis.
Dalam keadaan lapar, Kendi dan Buyung pun sesumbar bahwa mereka bisa menghabiskan nasi sekawah
dan 10 ekor ayam seorang diri dalam keadaan seperti ini.
Namun, tidak seperti teman-temannya, Awang hanya mengharapkan sepiring nasi dan lauk yang cukup
untuk mengisi perutnya.
Tidak disangka-sangka, mereka menemukan sebuah pohon ara ajaib yang mendengarkan permintaan
mereka.

Kemudian, pohon itu menggugurkan tiga daun yang setiap lembarnya berubah menjadi makanan yang
mereka inginkan.
Setelah mendapat makanan secukupnya, Awang pun berhenti makan, tetapi dua sahabatnya itu masih
melanjutkan makan.
Kendi dan Buyung akhirnya berhenti karena merasa kekenyangan karena tidak sanggup menghabiskan
makanan yang mereka minta.
Akhirnya, nasi yang tidak termakan itu marah lalu menggigit tubuh Kendi.
Kemudian, Buyung yang hanya dapat menghabiskan satu ekor ayam saja, membuang sisa sembilan ekor
ayam ke semak-semak.
Tanpa diduga, ayam-ayam itu kemudian menyerangnya.
Awang hanya bisa terdiam melihat sahabat-sahabatnya tewas mengenaskan.
NAMA : SASMEITHA VIERA SUNGKONO
NO. ABSEN : 32/X-02

HIKAYAT INDERA BANGSAWAN


Tersebutlah perkataan seorang raja yang bernama Indera Bungsu dari Negeri Kobat Syahrial. Setelah
berapa lama di atas kerajaan, tiada juga beroleh putra. Maka pada suatu hari, ia pun menyuruh orang
membaca doa kunut dan sedekah kepada fakir dan miskin. Hatta beberapa lamanya, Tuan Puteri Sitti Kendi
pun hamillah dan bersalin dua orang putra laki-laki. Adapun yang tua keluarnya dengan panah dan yang
muda dengan pedang. Maka baginda pun terlalu amat sukacita dan menamai anaknya yang tua Syah Peri
dan anaknya yang muda Indera Bangsawan.

Maka anakanda baginda yang dua orang itu pun sampailah usia tujuh tahun dan dititahkan pergi mengaji
kepada Mualim Sufian. Sesudah tahu mengaji, mereka dititah pula mengaji kitab usul, fikih, hingga saraf,
tafsir sekaliannya diketahuinya. Setelah beberapa lamanya, mereka belajar pula ilmu senjata, ilmu hikmat,
dan isyarat tipu peperangan. Maka baginda pun bimbanglah, tidak tahu siapa yang patut dirayakan dalam
negeri karena anaknya kedua orang itu sama-sama gagah.

Jikalau baginda pun mencari muslihat; ia menceritakan kepada kedua anaknya bahwa ia bermimpi bertemu
dengan seorang pemuda yang berkata kepadanya: barang siapa yang dapat mencari buluh perindu yang
dipegangnya, ialah yang patut menjadi raja di dalam negeri. Setelah mendengar kata-kata baginda, Syah
Peri dan Indera Bangsawan pun bermohon pergi mencari buluh perindu itu. Mereka masuk hutan keluar
hutan, naik gunung turun gunung, masuk rimba keluar rimba, menuju ke arah matahari hidup, Maka datang
pada suatu hari, hujan pun turunlah dengan angin ribut, taufan, kelam kabut, gelap gulita dan tiada kelihatan
barang suatu pun.

Maka Syah Peri dan Indera Bangsawan pun bercerailah. Setelah teduh hujan ribut, mereka pun pergi saling
cari – mencari. Tersebut pula perkataan Syah Peri yang sudah bercerai dengan saudaranya Indera
Bangsawan. Maka ia pun menyerahkan dirinya kepada Allah Subhanahuwata’ala dan berjalan dengan
sekuatkuatnya. Beberapa lama di jalan, sampailah ia kepada suatu taman, dan bertemu sebuah mahligai. Ia
naik ke atas mahligai itu dan melihat sebuah gendang tergantung. Gendang itu dibukanya dan dipukulnya.
Tiba-tiba ia terdengar orang yang melarangnya memukul gendang itu. Lalu diambilnya pisau dan
ditorehnya gendang itu, maka Puteri Ratna Sari pun keluarlah dari gendang itu.

Puteri Ratna Sari menerangkan bahwa negerinya telah dikalahkan oleh Garuda. Itulah sebabnya ia ditaruh
orangtuanya dalam gendang itu dengan suatu cembul. Di dalam cembul yang lain ialah perkakas dan
dayang-dayangnya. Dengan segera Syah Peri mengeluarkan dayang-dayang itu. Tatkala Garuda itu datang,
Garuda itu dibunuhnya. Maka Syah Peri pun duduklah berkasih-kasihan dengan Puteri Ratna Sari sebagai
suami istri dihadap oleh segala dayang-dayang dan inang pengasuhnya.
Tersebut pula perkataan Indera Bangsawan pergi mencari saudaranya. Ia sampai di suatu padang yang
terlalu luas. Ia masuk di sebuah gua yang ada di padang itu dan bertemu dengan seorang raksasa. Raksasa
itu menjadi neneknya dan menceritakan bahwa Indera Bangsawan sedang berada di negeri Antah Berantah
yang diperintah oleh Raja Kabir.

Adapun Raja Kabir itu takluk kepada Buraksa dan akan menyerahkan putrinya, Puteri Kemala Sari sebagai
upeti. Kalau tiada demikian, negeri itu akan dibinasakan oleh Buraksa. Ditambahkannya bahwa Raja Kabir
sudah mencanangkan bahwa barang siapa yang dapat membunuh Buraksa itu akan dinikahkan dengan anak
perempuannya yang terlalu elok parasnya itu. Sembilan orang anak raja sudah berada di dalam negeri itu.
Akhirnya raksasa itu mencanangkan supaya Indera Bangsawan pergi menolong Raja Kabir.

Diberikannya juga suatu permainan yang disebut sarung kesaktian dan satu isyarat kepada Indera
Bangsawan seperti kanak-kanak dan ilmu isyarat itu boleh membawanya ke tempat jauh dalam waktu yang
singkat. Dengan mengenakan isyarat yang diberikan raksasa itu, sampailah Indera Bangsawan di negeri
Antah Berantah. Ia menjadikan dirinya budak-budak berambut keriting. Raja Kabir sangat tertarik
kepadanya dan mengambilnya sebagai permainan Puteri Kemala Sari. Puteri Kemala Sari juga sangat suka
cita melihatnya dan menamainya si Hutan. Maka si Hutan pun disuruh Puteri Kemala Sari memelihara
kambingnya yang dua ekor itu, seekor jantan dan seekor betina.

Pada suatu hari, Puteri Kemala Sari bercerita tentang nasib saudara sepupunya Puteri Ratna Sari yang
negerinya sudah dirusakkan oleh Garuda. Diceritakannya juga bahwa Syah Peri lah yang akan membunuh
garuda itu. Adapun Syah Peri itu ada adik kembar, Indera Bangsawan namanya. Ialah yang akan membunuh
Buraksa itu. Tetapi bilakah gerangan Indera Bangsawan baru akan datang? Puteri Kemala Sari sedih sekali.

Si Hutan mencoba menghiburnya dengan menyanyikan pertunjukan yang manis. Maka Puteri Kemala Sari
pun tertawalah dan si Hutan juga makin disayangi oleh tuan puteri. Hatta berapa lamanya Puteri Kemala
Sari pun sakit mata, terlalu sangat.

Para ahli nujum mengatakan hanya air susu harimau yang beranak mudalah yang dapat menyembuhkan
penyakit itu. Baginda bertitah lagi. “Barang siapa yang dapat susu harimau beranak muda, ialah yang akan
menjadi suami tuan puteri.” Setelah mendengar kata-kata baginda Si Hutan pun pergi mengambil seruas
buluh yang berisi susu kambing serta menyangkutkannya pada pohon kayu. Maka ia pun duduk menunggui
pohon itu. Sarung kesaktiannya dikeluarkannya, dan rupanya pun kembali seperti dahulu kala.

Hatta datanglah kesembilan orang anak raja meminta susu kambing yang disangkanya susu harimau
beranak muda itu. Indera Bangsawan berkata susu itu tidak akan dijual dan hanya akan diberikan kepada
orang yang menyediakan pahanya diselit besi hangat. Maka anak raja yang sembilan orang itu pun
menyingsingkan kainnya untuk diselit Indera Bangsawan dengan besi panas.
Dengan hati yang gembira, mereka mempersembahkan susu kepada raja, tetapi tabib berkata bahwa susu
itu bukan susu harimau melainkan susu kambing. Sementara itu Indera Bangsawan sudah mendapat susu
harimau dari raksasa (neneknya) dan menunjukkannya kepada raja. Tabib berkata itulah susu harimau yang
sebenarnya. Diperaskannya susu harimau ke mata tuan puteri. Setelah genap tiga kali diperaskan oleh tabib,
maka tuan puteri pun sembuhlah.

Hatta sampailah masa menyerahkan Tuan Puteri kepada Buraksa. Baginda menyuruh orang berbuat
mahligai di tengah padang akan tempat duduk tuan puteri.

Di bawah mahligai itu ditaruh satu bejana berisi air, supaya Buraksa boleh datang meminumnya. Di sanalah
anak raja yang sembilan orang itu boleh berebut tuan puteri. Barang siapa yang membunuh Buraksa itu,
yaitu mendapat hidungnya yang tujuh dan matanya yang tujuh, dialah yang akan menjadi suami tuan puteri.
Maka tuan puteri pun ditinggalkan baginda di mahligai di tengah padang itu.

Si Hutan juga menyusul datang. Tuan puteri terharu akan kesetiaannya dan menamainya si Kembar. Hatta
si Kembar pun bermohon kepada tuan puteri dan kembali mendapatkan raksasa neneknya. Raksasa
neneknya memberikan seekor kuda hijau dan mengajarnya cara-cara membunuh Buraksa.

Setelah itu, si Kembar pun menaiki kuda hijaunya dan menghampiri mahligai tuan puteri. Katanya kepada
tuan puteri bahwa dia adalah seorang penghuni hutan rimba yang tiada bernama. Tujuan kedatangannya
ialah hendak melihat tamasya anak raja yang sembilan itu membunuh Buraksa. Tuan puteri menyilakan
naik ke mahligai itu. Setelah menahan jerat pada mulut bejana itu dan mengikat hujung tali pada leher
kudanya serta memesan kudanya menarik jerat itu bila Buraksa itu datang meminum air, si Kembar pun
naik ke mahligai tuan puteri.

Hatta Buraksa itu pun datanglah dengan gemuruh bunyinya. Tuan puteri ketakutan dan si Kembar
memangkunya. Tersebut pula perkataan Buraksa itu. Apabila dilihatnya ada air di dalam mulut bejana itu,
maka ia pun minumlah serta dimasukannya kepalanya ke dalam mulut bejana tempat jerat tertahan itu.
Maka kuda hijau si Kembar pun menarik tali jerat itu dan Buraksa pun terjeratlah. Si Kembar segera datang
memarangnya hingga mati serta menghiris hidungnya yang tujuh dan matanya yang tujuh itu. Setelah itu si
Kembar pun mengucapkan “selamat tinggal” kepada tuan puteri dan gaib dari padang itu. Tuan puteri
ternganga-nganga seraya berpikir bahwa orang muda itu pasti adalah Indera Bangsawan.

Hatta para anak raja pun datanglah. Dilihatnya bahwa Buraksa itu sudah mati, tetapi mata dan hidungnya
tiada lagi. Maka mereka pun mengerat telinga, kulit kepala, jari, tangan dan kaki Buraksa itu untuk dibawa
kepada baginda. Baginda tidak percaya mereka sudah mmereka itu bukan alamatnya. Selang berapa lama,
si Kembar pun datang dengan membawa mata dan hidung Buraksa itu dan diberikan tuan puteri sebagai
isteri. Si Kembar menolak dengan mengatakan bahwa dia adalah hamba yang hina. Tetapi, tuan puteri
menerimanya dengan senang hati.
NAMA : SITA LIDZA ARTYA
NO. ABSEN : 33/X-02

HIKAYAT SI MISKIN DAN MARAKARMA


Kisah dimulai ketika seorang raja keinderaan terkena sumpah Batara Indera. Raja dan istrinya
menjadi miskin dan hidup sengsara dalam hutan di negeri antah berantah yang dikuasai oleh seorang raja
bernama Indra Dewa. Kedua pasangan tersebut sering disebut sebagai si miskin yang setiap hari selalu
mendapat siksaan dan penganiayaan dari penduduk setempat, seperti melempari batu.
Beberapa tahun kemudian, Si Miskin dan Istri diberikan momongan seorang anak laki – laki yang
bernama Marakarma yang artinya anak dalam kesukaran. Dia adalah anak semata wayang si miskin dan
istri sehingga dirawat dengan penuh kasih sayang. Suatu hari, si miskin menggali tanah dan menemukan
tanjau yang berisi emas yang bisa digunakan hingga ke anak cucunya. Dengan kuasa Allah, pada tempat
tersebut beridiri sebuah kerajaan lengkap yang diberi nama Puspa Sari.
Setelah berdirinya kerajaan, mereka kemudian berganti nama menjadi Maharaja Indera Angkasa
dan istrinya berganti nama menjadi Tuan Puteri Ratna Dewi. Kebahagian mereka bertambah dengan
kehadiran seorang anak perempuan bersana Nila Kesuma. Dengan kehidupan yang lebih baik, mereka tidak
luput dari kejahatan orang sekitar mereka. Seperti yang dilakukan oleh Maharaja Indera Dewa yang sangat
iri dengan negeri puspa sari dan kebaikan hati rajanya. Dia melakukan rencana jahat kepada keluarga Raja
Indera Angkasa.
Ahli nujum terperangkap bujukan Raja Indera Angkasa, dengan menyampaikan ramalan palsu
bahwa kedua anak Maharaja Indera Dewa hanya akan mendatangkan celaka bagi orang tuanya. Akibatnya,
kedua anak tersebut di minta pergi dari Negeri Puspa Sari. Tak butuh waktu lama, Negeri Puspa Sari turut
hancur dan raja ataupun ratu hidup miskin kembali.
Keduanya berlari ke hutan. Marakamah di sangka sebagai seorang pencuri, dan dibuang kelaut.
Sedangkan Nila Kesuma ditemukan oleh Raja Mengindera Sari dan telah menjadi istrinya yang kemudian
berganti nama menjadi Mayang Mengurai. Nasib Marakarma yang terhanyut hingga
ditelan oleh ikan nun mempertemukannya dengan Cahaya Chairani dan Nenek Kabayan.
Marakamah hidup bersama Nenek Kabayan dengan menjual bunga dan bertemu kembali dengan
istrinya Cahaya Chairani. Ia juga mengetahui Putri Mayang sebagai adik kandungnya berkat cerita Nenek
Kabayan. Segera Marakamah menemui adiknya dan pergi ke Negeri Puspa Sari untuk menemui ibunya
yang masih hidup menderita sebagai pemungut kayu.
NAMA : USWAH HABIBAH HARI TIRTANA
NO. ABSEN : 34/X-02

HIKAYAT ABU NAWAS DAN BOTOL AJAIB


Baginda Raja memang selalu mencari cara untuk menjebak dan menghukum Abu Nawas yang cerdik.
Suatu hari, Baginda Raja memanggil Abu Nawas ke istana.
Kali ini, Baginda Raja mengeluhkan sakit perut karena masuk angin “Ampun Tuanku, apa yang telah
hamba lakukan sehingga dipanggil menghadap Tuan?” tanya Abu Nawas.
“Aku ingin kau bisa menangkap angin dan mengurungnya,” kata Baginda Raja.
Abu Nawas pun hanya diam, tetapi dia tidak bodoh.
Dia tidak memikirkan bagaimana caranya menangkap angin, tetapi memikirkan bagaiman cara
membuktikan bahwa yang ia tangkapnya adalah angin.

Baginda Raja pun memberi waktu kepada Abu Nawas selama tiga hari untuk melaksanakan perintahnya.
Setelah dua hari, Abu Nawas belum mendapat ide untuk menangkap angin.
Dia pun sempat putus asa dan pasrah jika kali ini dia dihukum oleh Baginda Raja.
Kemudian, dia menyadari sesuatu dan mendapat ide.
Pada hari ketika, Baginda Raja mendatangi Abu Nawas.
“Sudahkah kau berhasil memenjarakan angin?”
“Sudah Yang Mulia,” jawab Abu Nawas.
Kemudian, Abu Nawas pun menyerahkan sebuah botol.

Baginda Raja memegang botol tersebut dan heran.


“Mana angin itu, Abu Nawas?” tanya Baginda Raja bingung dan kesal.
“Di dalam, Tuan,” jawab Abu Nawas.
“Aku tidak melihat apa-apa!” kata Baginda Raja.
“Mohon ampun Baginda Raja, angin memang tidak terlihat. Namun, jika Baginda Raja ingin mengetahui
angin, bukalah tutup botol itu terlebih dulu,” kata Abu Nawas.
Lalu, bau busuk yang menyengat hidung pun keluar dari botol tersebut.
“Bau apa ini, Abu Nawas?” tanya Baginda Raja yang marah.
“Ampun, Tuan! Tadi hamba buang angin dan memasukkannya ke dalam botol. Lalu, karena takut angin itu
keluar, hamba mengurung angin itu dengan menyumbat botol,” kata Abu Nawas
Mendengar penjelasan itu, Baginda Raja tidak jadi marah.
Untuk ke sekian kalinya, nyawa Abu Nawas selamat
NAMA : YULIAN WAHYU ALRIANI
NO. ABSEN : 35/X-02

HIKAYAT PUTRI SHAHRAZAD


Pada suatu daerah di negeri Arab, berdiri 2 kerajaan yaitu Kerajaan kembar Sasan dan Samarkand
al-Ajam, dimana Raja dari kedua kerajaan tersebut bersaudara. Kerajaan Sasan diperintah oleh Raja
Shahryar, sedangkan Kerajaan Samarkand al-Ajam diperintah oleh Raja Shahzaman. Kedua Raja tersebut
sangat dicintai oleh rakyatnya karena mereka adalah Raja yang bijaksana dan murah hati, serta keduanya
memiliki istri yang sangat cantik.
Suatu hari Raja Shahryar pergi menemui saudaranya di Kerajaan Samarkand al-Ajam. Saat di
tengah perjalanan ia teringat bahwa hadiah yang akan ia berikan untuk saudaranya tertinggal di atas tempat
tidur di dalam kamarnya. Maka ia kembali ke istananya untuk mengambil hadiah tersebut. Namun saat
memasuki kamar alangkah terkejutnya ia, karena mendapati istrinya sudah tidak memakai cadar lagi dan di
sampingnya duduk seorang pembantunya sambil memegang cadar tersebut dan tangan yang lainnya
memegang tangan sang istri.
Kemarahan dan sakit hati menguasainya sehingga ia membunuh keduanya dengan pedangnya.
Kesedihan yang paling dalam melanda Raja muda Shahryar hingga mengubahnya dari Raja yang gagah
berani dan penuh santun menjadi Raja yang dikuasai amarah dan ketakutan.
Kesepian yang dirasakannya setiap malam membuatnya takut dan teringat akan istrinya, sehingga
ia akhirnya memanggil Penasehat Kerajaan dan memerintahkan sang Penasehat untuk membawakan
seorang gadis cantik untuk dinikahinya sekaligus mengundang tukang jagal ke pernikahan tersebut.
Raja berkata : “Aku akan menikahi gadis itu pagi ini dan keesokan harinya aku akan memenggal
lehernya sebelum ia berhenti mencintaiku.” Sang Penasehat terguncang hatinya mendengar perintah
tersebut, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Sang Penguasa Sasan menikah setiap hari, hal ini berlangsung selama 3 tahun, seribu pengantin
wanita, seribu eksekusi dan seribu wanita hilang. Sampai suatu hari sang Penasehat tidak bisa lagi
menemukan wanita muda untuk dinikahi Raja, hal itu membuatnya sedih karena ia pasti akan dihukum mati
oleh Sang Raja.
Kesedihannya dilihat oleh putri tertuanya Shahrazad dan kemudian ia berkata kepada ayahnya
bahwa ia bersedia dinikahi oleh sang Raja. Di tengah kebingungan tersebut, sang putri menghadap ayahnya.
"Ayah, terima saja lamaran sang raja. Aku nggak apa-apa koq. Aku yakin bisa merubah tabiat sang raja."
Begitu kata putrinya.
Walaupun dengan berat hati akhirnya pagi itu Sang Penasihat menikahkan putrinya dengan Sang
Raja. Keesokan harinya saat algojo datang untuk memenggal kepala Shahrazad, putri kedua Sang Penasihat,
Dunyazad datang menemui Raja, ia meminta izin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudarinya.
Dunyazad berkata kepada Shahrazad : “Oh...kakakku tercinta, betapa kami semua akan merindukan
engkau nanti, tak ada lagi suara nyanyianmu, permainan sulingmu, dan terutama tak ada lagi cerita-cerita
indah yang dapat kami dengar setiap malam darimu, cerita-cerita yang dapat mengusir kekosongan dan
kesepian kami di malam hari. Tak ada seorang pun di negeri Arab ini yang dapat bercerita seindah dirimu.
Maukah kau bercerita kepadaku untuk yang terakhir kalinya?”.
Sang Raja mendengar pembicaraan mereka dan ia teringat akan malam-malam di masa kecilnya,
saat ibunya selalu menceritakan sebuah dongeng sebelum ia tidur. Kemudian Raja berkata : “Shahrazad,
cerita apa yang akan kau ceritakan kepada adikmu malam ini?”
Sang permaisuri pun memulai ceritanya. Begitu serunya kisah yang ia ceritakan, sampai sang raja
tidak terserang kantuk sejenak pun. Tetapi ketika kisah itu sedang ada di puncak ketegangannya, sang
permaisuri menghentikan ceritanya. Ia berjanji akan melanjutkan ceritanya besok malam. Sang raja pun
setuju. Mereka pun tertidur sejenak. Sepanjang hari sang raja terus penasaran. Ia ingin cepat-cepat malam.

Anda mungkin juga menyukai