Anda di halaman 1dari 21

Volume3 Nomer 1, Maret 2020

Pengaruh Bidang Diskontinuitas Terhadap Kualitas Massa Batuan

Rahmat Yusup Borman*1,


1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin

Abstrak
Bidang diskontinuitas merupakan bidang lemah berupa rekahan yang memisahkan
massa batuan menjadi beberapa blok batuan. Keterdapatan bidang diskontinuitas
pada massa batuan memiliki pengaruh yang cukup signifikasi terhadap kualitas
batuan, karena dapat menurunkan kekuatan dan homogenitas batuan, serta
berperan penting dalam mempengaruhi stabilitas lereng, fondasi dan terowongan.
Pengaruh bidang diskontinuitas terhadap massa batuan tidak lepas dari parameter-
parameter utama bidang diskontinuitas, diantaranya yaitu tipe batuan, kekuatan
batuan, tingkat pelapukan, tipe bidang diskontinuitas, orientasi bidang
diskontinuitas, roughness, aperture, tipe dan lebar infilling, spacing, persistence,
number of sets, ukuran dan bentuk blok batuan, dan rembesan. Rock Mass Rating
(RMR) merupakan metode klasifikasi geomekanik massa batuan yang secara garis
besar penggunaannya berhubungan dan memerhatikan parameter-parameter
bidang diskontinuitas. Dalam analisisnya, klasifikasi RMR memiliki 5 parameter
utama dan 1 parameter tambahan, diantaranya kuat tekan batuan utuh, Rock
Quality Designation (RQD), spasi bidang diskontinuitas, kondisi bidang
diskontinuitas, kondisi air tanah, dan parameter tambahan berupa orientasi bidang
diskontinuitas. Hasil analisis dengan menggunakan metode RMR berupa kelas
massa batuan yang bukan hanya dapat menjelaskan keadaan kualitas massa
batuan, namun juga memiliki penjelasan lebih lanjut yang berkaitan dengan
terowongan. Nilai kelas massa batuan juga dapat menjelaskan waktu kekokohan
terowongan pada kedalaman terowongan tertentu, serta dapat diketahui cara
penggalian yang aman, jarak penggalian, dan support atau bantuan yang
dibutuhkan.
Kata kunci: Bidang Diskontinuitas, Rock Mass Rating, Terowongan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bidang diskontinuitas merupaan struktur seperti bidang perlapisan dan joint
dengan jumlah set tertentu dan memiliki arah berbeda-beda yang memisahkan
massa batuan menjadi beberapa blok atau bagian (Jaeger dan Cock, 1979, dalam
Keykha, dkk., 2011). Umumnya, bidang diskontinuitas berasosiasi dengan proses
tektonik, aktivitas magma, sedimentasi, dan proses pelapukan (Yanuardian, dkk.,
2020)

1
Bidang diskontinuitas merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
kualitas massa batuan. Bidang diskontinuitas pada massa batuan dapat
mengakibatkan penurunan shear dan tensil strength batuan, sehingga
mengakibatkan blok-blok batuan yang terbentuk mudah untuk tergelincir
sepanjang bidang miring (Keykha, dkk., 2011).
Rock Mass Rating (RMR) merupakan klasifikasi kelas masa batuan yang
dimbangkan oleh Bieniawsky (1989). Klasifikasi ini merupakan penentuan kelas
massa batuan secara kuantitatif berdasarkan hubungan keadaan massa batuan dan
keadaan bidang diskontiuitas massa batuan.
Hasil analisis RMR dapat digunakan dalam penentuan keadaan dan kondisi
massa batuan baik pada lereng, maupun pada fondasi dan juga terowongan.

Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan
secara terperinci mengenai Pengaruh Bidang Diskontinuitas Terhadap Kualitas
Massa Batuan.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode
studi kepustakaan atau literatur review. Jenis data yang digunakan merupakan data
sekunder dari berbagai sumber kepustakaan seperti jurnal penelitian, e-book, dan
lain sebagainya. Data yang diperoleh dikompulasi, dianalisis, dan disimpulkan
sehingga mendapatkan kesimpulan mengenai Pengaruh Bidang Diskontinuitas
Terhadap Kualitas Massa Batuan.

PARAMETER BIDANG DISKONTINUITAS


Hubungan bidang diskontinuitas terhadap keadaan massa batuan tidak lepas
dari keterkaitan parameter-parameter bidang diskontinuitas dengan pengaruh yang
signifikan. Bidang diskontinuitas memiliki 13 parameter utama (Wyllie dan Mah,
2005) (gambar 1), diantaranya:

2
Gambar 1. Parameter Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

1. Tipe Batuan
Nilai dari tipe batuan digunakan pada massa batuan untuk mendefinisikan
proses pembentukan dari batuan tersebut. Tabel 1 menunjukan tahapan dalam
penentuan tipe batuan dengan mengdentifikasi 3 karakteristik utama batuan,
diantaranya warna, tekstur, dan ukuran butir.

2. Kekuatan Batuan
Compressive strength dari batuan yang memberi tekanan pada pemukaan
bidang diskontinuitas merupakan komponen penting yang berpengaruh terhadap
shear strength dan deformability, terutama jika permukaan diskontinuitas
merupakan kontak langsung batuan dengan batuan yang dipisahkan oleh unffiled
joints. Tabel 2 menunjukan range dari kekuatan batuan dengan corresponding
grade dan hubungannya dengan identifikasi sederhana di lapangan.
Semakin keras sebuah massa batuan, maka kualitas masa batuannya semakin
tinggi, hal ini dikarenakan pengaruh pelapukan masih sangat rendah pada keadaan
kekerasan batuan tinggi.

3
Tabel 1. Klasifikasi Tipe (Wyllie dan Mah, 2005)

4
Tabel 2. Klasifikasi Kekuatan Batuan (Wyllie dan Mah, 2005)

3. Weathering
Massa batuan umumnya mengalami pelapukan pada kondisi dekat dengan
permukaan, dan kadang teralterasi proses hidrotermal. Proses pelapukan
umumnya sering terjadi pada batuan di permukaan, terutama pada bagian
permukaan bidang diskontinuitas disbanding pada interior blok batuan, karena
pengaruh aliran fluida pada bidang diskontinuitas.
Klasifikasi tingkat pelapukan ditunjukan pada tabel 3, yang mendeskripsikan
kenampakan dari batuan dengan tingkat pelapukan tertentu.
Tingkat pelapukan yang semakin tinggi, tentunya akan membuat kualitas
massa batuan semakin rendah, sehingga memudahkan massa batuan tersebut
tererosi ataupung mengalami longsor.
Namun, tingkat pelapukan juga memiliki beberapa manfaat positif,
diantaranya batuan yang memiliki tingkat pelapukan tinggi dapat digunakan
sebagai material timbunan, memudahkan dalam pembukaan lahan, dan lain
sebagainya.

4. Tipe Bidang Diskontinuitas


Tipe bidang diskontinuitas sangat berguna dalam mendeskripsi kondisi massa
batuan, karena setiap tipe dengan property tertentu memiliki pengaruh terhadap
sifat dari massa batuan. Sebagai contoh, sesar dapat mencapai panjang beberapa
kilometer dan terdapat low strength gouge, sementara kekar memiliki panjang
yang tidak melebihi beberapa meter dan seringkali tidak memiliki material

5
pengisi. Tipe dari bidang diskontinuitas diantaranya sesar, perlapisan, foliasi,
kekar, cleavage, dan schistosity.
Setiap tipe bidang diskontinuitas memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
kualitas massa batuan. Sesar dan kekar umumnya memiliki pengaruh bukan hanya
pada batuan dengan tingkat pelapukan rendah, namun juga pada batuan dengan
tingkat pelapukan sangat rendah. Keterdapatannya dapat menjadi pemicu terjadi
longsoran batuan.

5. Orientasi Bidang Diskntinuitas


Orientasi bidang diskontinuitas menggambarkan strike dan dip yang terbentuk
pada massa batuan. Orientasi bidang diskontinuitas mengontrol kemungkinan
keadaan tidak stabil atau perkembangan deformasi yang berlebih.
Pentingnya orientasi bidang diskontinuitas meningkat seiring dengan
munculnya kondisi kondisi lain pada massa batuan, seperti rendahnya shear
strength dan meningkatnya jumlah diskontinuitas atau joint sets untuk menjadi
penyebab terjadinya longsoran.
Pada lereng batuan, orientasi batuan dapat menentukan bentukan blok batuan
pada massa batuan. Selain itu juga orientasi bidang diskontinuitas dapat
menentukan jenis longsoran batuan yang dapat terjadi, diantaranya:
1. Longsoran Planar
Menurut Hoek dan Bray (1981), longsor bidang dapat terjadi jika ditemui

6
kondisi antara lain (gambar 2):
1) Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus melebihi sudut geser dalam.
2) Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus lebih kecil dari kemiringan muka
lereng

Gambar 2. Longsoran Planar (Wyllie dan Mah, 2005)

2. Longsoran Baji
Menurut Hoek dan Bray (1994), longsor bidang dapat terjadi jika ditemui
kondisi antara lain (gambar 3):
1) Dua bidang diskontinuitas saling berpotongan
2) Arah dip garis potong harus lebih kecil daripada sudut kemiringan lereng.

Gambar 3. Longsoran Baji (Wyllie dan Mah, 2005)

3. Longsoran Topling
Menurut Hoek dan Bray (1981), longsor toppling dapat terjadi jika ditemui
kondisi antara lain (gambar 4):
1) Lereng terjal dengan bidang bidang diskontinuitas tegak atau hampir tegak.
2) Arahnya berlawanan dengan kemiringan lereng

7
Gambar 4. Longsoran Topling (Wyllie dan Mah, 2005)

6. Roughness
Kekasaran permukaan bidang disontinuitas merupakan salah satu komponen
penting berpengaruh pada shear strength batuan, terutama pada kasus undisplaced
dan interlocked features (kondisi unfilled joint). Semakin tinggi nilai kekasaran
bidang diskontinuitas maka akan semakin tinggi juga shear strength dari batuan
tersebut.
Kekasaran diklasifikasikan berdasarkan waviness, unevenness atau ketidak
rataan, dan asperisities atau kekasaran, seperi yang ditunjukan pada gambar 5.

Gambar 5. Tingkat Kekasaran Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

8
7. Aperture
Aperture merupakan bukaan bidang diskontinuitas atau jarak tegak lurus
yang memisahkan dua blok batuan.
Pada kebanyakan massa batuan di bawah permukaan, aperture memiliki
ukuran kurang dari setengah milimeter, sangat berbeda dibandingkan aperture
bidang diskontinuitas pada massa batuan yang telah tesingkap ke permukaan.
Klasifikasi aperture dapat dilihat pada tabel 4, dimana paling kecil yaitu <0,1
mm dan paling besar yaitu >1 m.

Tabel 4. Klasifikasi Aperture Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

8. Infilling Type and Width


Merupakan tipe dan lebar material isian yang mengisi bukaan bidang
diskontinuitas. Beberapa faktor yang mempengaruhi parameter ini diantaranya:
1) Jenis mineral pengisi (kalsit, klorit, lempung, lanau, dll).
2) Grading atau ukuran partikel.
3) Over-consolidation ratio
4) Water content and conductivity.
5) Previous shear displacement
6) Surface roughness
7) Lebar rekahan
8) Fracturing or crushing of surface rock

9. Spacing
Spacing atau jarak antar bidang diskontinuitas dengan orientasi yang sama
memiliki kontrol terhadap ukuran dari blok batuan. Beberapa spacing sets dari
bidang diskontinuitas dengan jarak yang sangat dekat dapat membuat nilai kohesi
dari massa batuan menjadi rendah.
Spacing bidang diskontinuitas dikategorikan pada beberapa rentang jarak,
seperti yang ditunjukan pada tabel 5. Dimana spacing terendah yaitu < 20 mm dan
yang paling jauh yaiut > 6 m.

9
Tabel 5. Klasifikasi Spacing Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

10. Persistence
Persistence merupakan panjang dari bidang diskontinuitas yang terbentuk
pada suatu massa batuan. Persistence dapat diketahui dengan observasi panjang
jejak bidang diskontinuitas, namun pada beberapa keadaan, persistence sangat
sulit untuk diamati secara langsung.
Pada lereng batuan, persistence merupaan parameter yang penting untuk
diamati, karena dapat mempengatuhi ketidakstabilan lereng tersebut. Klasifikasi
persistence dapat dilihat pada tabel 6, diaman menunjukan dimensi persistence
dari yang paling rendah < 1 m dan paling tinggi > 20 m.

Tabel 6. Klasifikasi Persistence Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

11. Number of Sets


Number of sets merupakan banyaknya orientasi yang terbentuk pada suatu
massa batuan. Dimana semakin banyak sets pada massa batuan, maka semakin
banyak orientasi yang terbentuk pada massa batuan tersebut (gambar 6).
Number of sets berpengaruh terhadap bentukan blok yang terbetuk pada
massa batuan. selain itu juga, number of sets berpengaruh terhadap sifat mekanik
batuan karena dapat mengakibatkan loosening dan perpindahan blok batuan, baik
secara alami maupun karena aktivitas penggalian.
Number of sets juga dapat menentukan jenis longsoran yang dapat terbentuk,
dimana semakin banyak sets bidang diskontinuitas pada massa batuan, maka
bentukan longsorannya akan semakin membentuk circular.

10
Gambar 6. Number of Sets Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

12. Block Size and Shape


Ukuran blok batuan merupakan salah satu indicator penting dalam mengetahui
sifat massa batuan. Dimensi blok dipengaruhi oleh spacing bidang diskontinuitas,
number of sets, dan oleh persistence dari bidang diskontinuitas.
Number of sets dan orientasi bidang diskontinuitas juga berperan dalam
penentuan bentuk dan blok batuan, dapat berbentuk kubus, rhombhohedra,
tetrahedron, lembaran, dan bentukan lainnya.
Massa batuan dengan ukuran blok besar memiliki kemungkinan kecil untuk
mengalami deformasi. Pada lereng, blok-blok batuan ukuran kecil memiliki
potensi jenis longsoran yang serupa dengan longsoran tanah (circular/rotational).
Tabel 7 menunjukan klasifikasi dimensi blok dengan berdasarkan nilai
volume joint per meter kubik (Jv). Bentuk blok batuan dapat diketahui
berdasarkankan hubugngannya dengan bidang diskontinuitas, seperti yang
ditunjukan pada gambar 7.

11
Gambar 7. Bentuk Blok Batuan (a) Blocky, (b) Irregular,
(c) tabular, (d) columnar. (Wyllie dan Mah, 2005)

Tabel 7. Klasifikasi Dimensi Blok Batuan (Wyllie dan Mah, 2005)

13. Seepage
Adanya seepage atau rembesan air pada massa batuan umumnya
dikarenakan adanya bidang diskontinuitas pada batuan tersebut.
Rembesan pada unfilled dan filled bidang diskontinuitas atau dari sets
tertentu dapat terjadi baik pada singkapan di atas permukaan, maupun pada
terowongan (tabel 8 dan tabel 9).

12
Gambar 8. Klasifikasi Rembesan Pada Unfilling Bidang Diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2005)

Tabel 9. Klasifikasi Rembesan Pada Filled Bidang Diskontinuitas(Wyllie dan Mah, 2005)

Pada kasus terowongan, akan sangat membantu jika aliran rembesan pada
massa batuan juga dilakukan pendeskripsin, dan harus segera dilakukan setelah
penggalian.

KLASIFIKASI MASSA BATUAN (ROCK MASS RATING)


Klasifikasi massa batuan (RMR) merupakan metode klasifikasi geomekanik
massa batuan yang dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1973, 1976, dan
1989. Metode klasifikasi RMR merupakan metode sederhana yang pengambilan
datanya dapat dilakukan baik dari data bor maupun dari mapping geoteknik dari

13
struktur bawah tanah.
Metode ini banyak diaplikasikan pada berbagai keadaan dan lokasi berbeda-
beda, seperti pertambangan terbuka, pembuatan terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, maupun kestabilan pondasi (Zichri dan Koppa, 2021).
Klasifikasi massa batuan (RMR) memiliki 5 parameter utama dan 1
parameter tambahan, yaitu diantaranya:

1. Kuat Tekan Batuan Utuh


Pengujian kuat tekan batuan utuh dilakukan dapat dilakukan dengan 2 (dua)
cara, yaitu dengan uji laboratorium dan uji langsung dilapangan.
Hoek and Brown pada tahun 1980, memberikan index classification of rock
material untuk mengestimasi kisaran nilai kuat tekan batuan di lapangan dengan
menggunakan bantuan alat berupa kuku, pisau, dan palu geologi (tabel 10).

Tabel 10. Indeks Klasifikasi Kuat Tekan Batuan (Hoek dan Brown, 1980)

2. Rock Quality Designaton (RQD)


RQD merupakan perhitungan berdasarkan core batuan maupun volumetrict
joint count (Jv) pada massa batuan. Secara umum, penentuan nilai RQD dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu perhitungan RQD pada core dan perhitungan secara
empiris, baik berdasarkan frekuensi maupun volume bidang diskontinuitas.
Perhitungan atau pengukuran RQD pada core dilakukan secara langsung
mengamati core hasil pemboran, yang kemudian dilakukan perhitungan persentasi
batuan utuh pada core (yang panjang utuhnya sama dengan atau lebih dari 10 cm)
dalam satu meter core batuan (gambar 8).

14
Gambar 8. Pengukuran RQD pada core batuan (Palmstrom, 2005)

Penentuan nilai RQD juga dapat dilakukan dengan perhitungan frekuensi


bidang diskontinuitas dan perhitungan volume bidang diskontinuitas. Perhitungan
ini menggunakan beberapa rumus, seperti rumus dibawah ini
1. Perhitungan RQD dengan Frekuensi
 Priest dan Hudson (1976)
RQD = 100e-λt(λt+1)
 Sen dan Kazi (1984)
RQD = 100e-0.1λ(0.1λ+1)
Ket: λ = jumlah total bidang diskontinuitas per meter
2. Perhitungan RQD dengan Volume (Palmstrom, 1982)
 RQD = 115 – 3,3 Jv
Ket: Jv = jumlah total kekar per meter3

3. Discontinuity Spacing
Spacing bidang disontinuitas merupakan jarak tegak lurus antar bidang

15
diskontinuitas dengan kecenderungan orientasi yang sama.
Pengukuran spacing bidang diskontinuitas dapat dilakukan dengan
menggunakan metode scanline (gambar 9). Metode ini dilakukan dengan
membentangkan meteran pada singkapan batuan, kemudian dilakukan
pendeskripsian serta pengukuran orientasi dari setiap bidang diskontinuitas pada
singkapan yang dilewati meteran tersebut.

Gambar 9. Ilustrasi Scanline

Setelah dilakukan pengambilan data dengan metode scanline, kemudian


dilakukan koreksi antar jarak kekar terhadap oerientasi scanline. Hal ini dilakukan
untuk menentukan jarak sebenarnya atau tegak lurus antar dua bidang
diskontinuitas. Perhitungan nilai koreksi untuk menentukan jarak sebenarnya antar
bidang discontinuitas menggunakan rumus, seperti dibawah ini.

Dengan,
d ≤ 180O
n = d + 180O
d > 180O
n = d – 180O
n = 90O – d

Ket:
j (i,i+1) = jarak semu antara 2 kekar yang berurutan dalam satu set (m)
d (i,i+1) = jarak sebenarnya antara 2 kekar yang berurutan (m)
 = sudut normal
n = arah dip dari garis normal
s = arah scanline

16
d = arah dip dari kekar
n = dip dari garis normal
s = sudut kemiringan scanline
d = dip dari kekar

4. Discontinuity Condition
Terdapat 5 (lima) karakteristik bidang diskontinuitas yang masuk dalam
pengertian kondisi bidang diskontinuitas menurut Bieniawski (1989), yaitu:
1) Persistence
2) Aperture
3) Roughness
4) Infilling
5) Weathering

5. Grond Water Condition


Pengamatan kondisi air tanah pada bidang diskontinu dapat dilakukan dengan
beberapa alternatif pilihan (Bieniawski, 1989):
1) Debit air tiap 10 meter panjang scanline.
2) Tekanan air pada bidang diskontinu dengan tegangan utama maksimum.
3) Kondisi umum, yaitu kering, basah, lembab, menetes, dan mengalir.

6. Joint Orientation
Umumnya, deskripsi orientasi bidang diskontinuitas menggunakan RMR
digunakan untuk kasus pembangunan terowongan. Namun selain itu juga pada
lereng maupun pada fondasi.
Orientasi bidang diskontinuitas dalam klasifikasi RMR di analisis
berdasarkan hubungan strike dan dip terhadap terowongan.

Setelah seluruh parameter tersebut telah dianalisis, kemudian dilakukan


pembobotan nilai terhadap klasifkasi massa batuan (RMR) oleh Bieniawski (1989)
(Tabel 11).
Setelah dilakukan pembobotan, kemudian dilakukan dari keseluruhan nilai
pembobotan keenam parameter tersebut di jumlahkan untuk mendapatkan nilai
total RMR dari massa batuan. Kemudian dari total niai bobot RMR tersebut dapat
diketahui kelas massa batuan yang diteliti.

17
Tabel 11. Klasifikasi RMR (Bieniawski, 1989)

18
Hubungan RMR Pada Pembangunan Terowongan
Klasifikasi massa batuan (RMR) memiliki keterkaitan yang sangat erat pada
pembangunan terowongan, karena pengembangan klasifikasi RMR ini awalnya
digunakan dalam pembangunan terowongan oleh Bieniawski (1989).
Hasil dari klasifikasi RMR yaitu kelas massa batuan, memiliki penjelasan
lebih lanjut yang membahas mengenai waktu kekokohan terowongan pada
kedalaman terowongan tertentu (tabel 12). Selain itu juga hasil klasifikasi RMR
dapat menjelaskan cara-cara penggalian yang aman, jarak penggalian, dan support
atau bantuan yang dibutuhkan serta penggunaannya, seperti yang ditunjukan pada
tabel 13.

Tabel 12. Deskripsi Kelas Massa Batuan (Bieniawski, 1989)

Tabel 13. Hubungan Total Bobot RMR Terhadap Penggalian dan Support pada Terowongan
(Bieniawski, 1989)

KESIMPULAN

19
Pengaruh Bidang Diskontinuitas Terhadap Massa Batuan
Bidang diskontinuitas memiliki 13 parameter utama yang berpengaruh
terhadap massa batuan, diantaranya yaitu tipe batuan, kekuatan batuan, tingkat
pelapukan, tipe bidang diskontinuitas, orientasi bidang diskontinuitas, roughness,
aperture, tipe dan lebar infilling, spacing, persistence, number of sets, ukuran dan
bentuk blok batuan, dan rembesan.
Beberapa pengaruh yang dapat diakibatkan oleh bidang diskontinuitas
terhadap massa batuan diantaranya menurunkan kekuatan batuan, menurunkan
homogenitas batuan, mempengaruhi stabilitas massa batuan, dan juga dapat
menentukan jenis longsoran yang dapat terjadi pada sebuah lereng.

Klasifikasi Massa Batuan (RMR)


Klasifikasi massa batuan (RMR) memiliki 5 parameter utama dan 1
parameter tambahan, diantaranya kuat tekan batuan utuh, Rock Quality
Designation (RQD), spasi bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontinuitas,
kondisi air tanah, dan parameter tambahan berupa orientasi bidang diskontinuitas.
Hasil dari pembobotan klasifikasi RMR dapat mengetahui kualitas massa batuan
pada lereng, fondasi, maupun pada terowongan.

Hubungan RMR dan Terowongan


Hasil dari klasifikasi RMR pada massa batuan dapat menjelaskan beberapa
aspek penting dalam pembangunan terowongan, diantaranya estimasi waktu
kekokohan terowongan pada kedalaman terowongan tertentu, serta dapat
diketahui cara penggalian yang aman, jarak penggalian, dan support atau bantuan
yang dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bieniawski, Z., T. 1989. Engineering Rock Mass Classification. New York: Wiley-
Interscience.
Deere, D., U., dan Deere, D., W. 1988. The Rock Quality Designeation (RQD)
Index in Practice: Rock Classification System for Engineering Purposes.
Philadelphia: American Society for Testing and Materials (ASTM). Pp. 91-
101.
Dwikasih, F., P., dan Koesnaryo, S. 2020. Pengaruh Struktur Ketidakmenerusan
Pada Kestabilan Lereng Penggalian Batuan. Seminar Teknologi Kebumian
dan Kelautan (SEMITAN II). Vol. 2. No. 1.
Hoek, E. dan Bray, J., W. 1981. Rock Slope Engineering 3rd Edition. London:
Institute Mining and Metallurgy.
Hoek, E. dan Bray, J., W. 1994. Rock Slope Engineering. New York: Chapman &

20
Hall.
Keykha, H., A., Huat, B., B., K., Asadi, A., dan Moayedi, H. 2011. The Effect of
Discontinuities on Stablity of Rock Blocks in Tunnels. International Journal of
Physical Sciences. Vol. 6. No. 30. Pp. 7132-7138.
Palmstrom, A. 1982. The Volumetric Joint Count – A Useful and Simple Measure
of The Degree of Rock Mass Jointing. New Delhi: IAGI Congress. Pp. 221-
228.
Palmstrom, A. Measurements of and Correlations Between Block Size and Rock
Quality Designation (RQD). Tunnels and Underground Space Technology.
Vol. 20. Pp. 362-377.
Rehman, H., Ali, W., Naji, A., M., Abdullah, R., A., Kim, J., dan Yoo, H. 2018.
Review of Rock-Mass Rating and Tunneling Quality Index System for Tennel
Design: Development, Reefinement, Application and Limitation. Applied
Sciences. Vol. 8. No. 1250.
Road Development Authority (RDA). 2018. Guigeline for Rock Mass
Classification System. Sri Lanka: Japan International Cooperation Agency.
Singh, B. dan Goel, R., K. 2011. Engineering Rock Mass Classification:
Tunneling, Foundations, and Landslides. London: Elsevier Inc.
Wyllie, D., C., dan Mah, C., W. 2005. Rock Slope Engineering: Civil and Mining
4th Edition. New York: Spon Press.
Yanuardian, A., R., Hermawan, K., Martireni, A., P., dan Tohari., A. 2020. The
Influence of Discontinuities on Rock Mass Quality and Overal Stability of
Andesite Rock Slope in West Java. The Mining-Geology-Petroleum
Engineering Buletin. Pp. 67.76
Zichri, A., dan Koppa, R. 2021. Evaluasi Sistem Penyanggan Pada Tunnel 4
Berdasarkan Metode RMR-System di PT. AICJ, Sawahlunto. Jurnal Bina
Tambang. Vol. 6. No. 2.

21

Anda mungkin juga menyukai