Anda di halaman 1dari 31

KLASIFIKASI MASSA BATUAN

Kelompok 5
OUTLINE
 Pengertian
 Bidang discontinuitas
 Klasifikasi Massa Batuan
 Studi Kasus
 Diskusi
 Kesimpulan
PENGERTIAN

 Massa batuan → susunan blok-blok material batuan yang


dipisahkan oleh berbagai tipe ketidak menerusan geologi.

Tujuan klasifikasi massa batuan :


1. Mengelompokkan jenis massa batuan berdasar perilakunya
2. Dasar untuk pahami karakter tiap-tiap kelas
3. Memberikan data kuantitatif untuk rancangan rekayasa batuan
4. Sebagai dasar komunikasi diantara para perancang dan ahli
rekayasa batuan
BIDANG DISKONTINUITAS

 Bidang Diskontinu
Secara umum, bidang diskontinu merupakan bidang yang
memisahkan massa batuan menjadi bagian yang terpisah.
 Menurut Priest (1993) dalam Sitohang (2008), pengertian bidang
diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang
memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan.
 Menurut Gabrielsen (1990) dalam Sitohang (2008), keterjadian bidang
diskontinu tidak terlepas dan masalah perubahaan stress (tegangan),
temperatur, strain (regangan), mineralisasi dan rekristalisasi yang
terjadi pada massa batuan dalam waktu yang panjang.
Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan
ukuran dan komposisinya adalah sebagai berikut:
 Fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas
memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran
maupun slicken sided atau jejak yang terdapat di sepanjang bidang
fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan
pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas.
 Joint (kekar). Bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak
mengalami pergerakan atau walaupun bergerak, pergerakan tersebut
sangat sedikit sehingga bisa diabaikan. Joint merupakan jenis bidang
diskontinu yang paling sering hadir dalam batuan.

.
 Bedding (bidang pelapisan). Bedding terdapat pada permukaan batuan yang
mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta
perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan
sedimen.
 Fracture dan crack. Fracture diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah
tidak paralel dengan struktur lain yang tampak pada batuan. Beberapa rock
mechanic engineer menggunakan istilah fracture dan crack untuk menjelaskan
pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan
untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan brittle.
 Fissure. Ada banyak ahli yang menjelaskan pengertian fissure, salah satunya
adalah menurut Fookes dan Denness (1969) dalam Sitohang (2008) yang
mendefinisikan fissure sebagai bidang diskontinu yang membagi suatu material
utuh tanpa inemisahkannya menjadi bagian terpisah.
DALAM ANALISIS BIDANG DISKONTINU TERDAPAT BEBERAPA ISTILAH
YANG BIASA DIPAKAI SECARA UMUM. BERIKUT INI AKAN DIBAHAS
BEBERAPA POIN YANG BERKAITAN DENGAN BIDANG DISKONTINU.

1. Joint Set adalah sejumlah joint yang memiiiki orientasi yang relatif sama, atau
sekelompok joint yang paralel.
2. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing). Menurut Priest (1993) ada tiga macam
spasi bidang diskontinu. Ketiga macam joint spacing tersebut adalah spasi total
(total spacing), spasi set (set/joint set spacing) dan spasi set normal (normal set
spacing).
a) Total spacing ,Adalah jarak antar bidang diskontinu dalam suatu lubang bor
atau sampling line pada pengamatan di permukaan.
b) Joint set spacing ,Adalah jarak antara bidang diskontinu dalam satu joint set.
Jarak diukur di sepanjang lubang bor atau sampling line pada pengamatan di
permukaan.
c) Normal set spacing
Hampir sama dengan set spacing, bedanya pada normal set spacing, jarak
yang diukur adalah jarak tegak lurus antara satu bidang diskontinu dengan
bidang diskontinu lainnya yang ada dalam satu joint set.
3. Orientasi Bidang Diskontinu (Joint Orientation). Orientasi bidang diskontinu
yaitu kedudukan dari bidang diskontinu yang meliputi arah dan kemiringan
bidang. Arab, dan kemiringan dan bidang diskontinu biasanya dinyatakan dalam
(Strike/Dip) atau (Dip Direction/Dip).
a) Strike (jurus), Merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang
diskontinu yang miring, Arah ini diukur dari utara searah jarum jam ke arah garis
horizontal tersebut.
b) Dip (kemiringan bidang), Dip adalah sudut yang diukur dan bidang horizontal
ke arah kemiringan bidang diskontinu.
c) Dip Direction, Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang
diskontinu. Dip & Direction (DDR) diukur dari North searah jarum jam ke arah
penunjaman tersebut atau sama dengan 90 derajat dari strike searah jarum jam ke
arah penunjaman.
Dip & Direction (DDR) = Strike + 90°
KLASIFIKASI MASSA BATUAN

 Klasifikasi massa batuan merupakan suatu metode pendekatan yang


dapat digunakan dalam rekayasa kelerengan.
 Klasifikasi ini terdiri dari beberapa parameter dan sangat cocok
mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang
diskontinu dan tingkat pelapukan massa batuan. Atas dasar inilah
sudah banyak usulan dan modifikasi sistem klasifikasi massa batuan
yang dapat digunakan untuk merancang kestabilan lereng.
Macam klasifikasi :

1. Rock mass rating system (Bieniawski, 1973) → terowongan, tambang,


lereng, fondasi
2. Geological Strength Index (Hoek et al, 1995) → Perancangan Penganggah
pada lubah bawah tanah.
3. Rock quality designation (Deere, 1967) → Core loging dan terowongan
4. Slope mass rating (SMR), (Romana, 1985) → Digunakan pada rancangan
tambang
5. Stand up time (Lauffer, 1958) → terowongan
6. Rock load (Terzaghi, 1946) → untuk terowngan dan penyangga baja
7. New Austrian Tunneling Methode ( Pacher, 1964) → terowongan
8. Rock struktur rating (wickhman, 1972) →terowongan
9. Q-system (Barton, 1974) →terowongan, ruang bawah tanah
10. Rock mass index (Palmstrom, 1995) → rock engireering, evaluasi
penyangga
1. ROCK MASS RATING
 Merupakan suatu penilaian ketahanan massa batuan yang berupa
klasifikasi kualitas suatu massa batuan. Kegunaan dari nilai RMR ini
adalah untuk menentukan kemiringan lereng maksimum (SMR)
maupun untuk support terowongan.
 Bieniawski (1989) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang
disebut Rock Mass Rating (RMR). Parameter yang digunakan dalam
klasifikasi RMR yaitu:
1. Kuat tekan uniaksial batuan utuh (σc)
2. Rock Qualily Designation (RQD)
3. Spasi bidang diskontinu
4. Kondisi bidang diskontinu
5. Kondisi air tanah
1. KUAT TEKAN BATUAN UTUH

Untuk menentukan nilai kuat tekan batuan utuh dapat dilakukan dengan pengujian laboratorium dan
pengujian langsung di lapangan
1. Uji laboratorium
 Uniaxial Compressive Test (UCS)
Sample batuan yang diuji berasal dari core yang dipilih berdasarkan kenampakan yang masih utuh
tanpa gangguan diskontinuitas dan dipilih litologi yang mewakili daerah penelitian. Sample ini diuji
dalam bentuk silinder dengan perbandingan tinggi dan diameter (l/D) tertentu dimana perbandingan
ini akan sangat berpengaruh pada nilai UCS yang dihasilkan. Semakin besar perbandingan panjang
terhadap diameter, kuat tekan akan semakin kecil. Sample kemudian ditekan dari satu arah (uniaxial)
menggunakan mesin.

 Point Load Index (PLI)


Pengujian ini menggunakan mesin uji point load dengan sampel berupa silinder atau bentuk lain
yang tidak beraturan. Sampel yang disarankan untuk pengujian ini adalah batuan berbentuk silinder
dengan diameter kurang lebih 50mm. Dari pengujian ini didapatkan nilai point load index (Is) yang
akan menjadi patokan untuk menentukan nilai kuat tekan batuan (σc)
2. Uji langsung di lapangan

Hoek and Brown, 1980 memberikan index classification of rock material


untuk mengestimasi kisaran nilai kuat tekan batuan di lapangan dengan
menggunakan kuku, pisau, dan palu geologi.
2. UJI LANGSUNG DI LAPANGAN

 Hoek and Brown, 1980 memberikan index classification of rock material


untuk mengestimasi kisaran nilai kuat tekan batuan di lapangan dengan
menggunakan kuku, pisau, dan palu geologi.
ESTIMASI NILAI KUAT TEKAN BATUAN UTUH DI
LAPANGAN
2. ROCK QUALITY DESIGNATION

Pada tahun 1967 D.U. Deere memperkenalkan Rock Quality Designation


(RQD) sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan kualitas dari massa
batuan secara kuantitatif. Sama seperti parameter UCS, terdapat 2 metode
untuk mendapatkan nilai RQD :
1. Perhitungan RQD Melalui hasil Core
RQD didefinisikan sebagai persentase dari perolehan inti bor (core) yang
secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah
bagian yang lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core). Dengan
kata lain, RQD adalah ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan
yang baik dari sebuah interval kedalaman lubang bor. Dalam menghitung
nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs tersedia.
Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere 1967, hanya bagian
yang utuh dengan panjang lebih besar dari 100 mm (4 inchi) yang
dijumlahkan kemudian dibagi panjang total pengeboran (core run).
Core yang retak akibat aktivitas pengeboran harus
digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian
utuh. Ketika ada keraguan apakah retakan diakibatkan
oleh pengeboran atau karena alami, pecahan itu bisa
dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami.
Semua retakan yang bukan terjadi secara alami tidak
diperhitungkan pada panjang core untuk RQD (Deere,
1967). Panjang total pengeboran (core run) yang
direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m.
2. Perhitungan RQD melalui data lapangan
Selain metode langsung dalam menghitung nilai
RQD terdapat juga metode tidak langsung yang
digunakan apabila core log tidak tersedia. Beberapa
metode perhitungan RQD metode tidak langsung :
1. Priest and Hudson, 1976
λ = jumlah total kekar per meter

2. Palmstrom, 1982
RQD = 115 – 3,3 Jv
Dengan Jv = jumlah total kekar per meter3
3. Discontinuity spacing

 Jarak antar (spasi) bidang diskontinu didefinisikan


sebagai jarak tegak lurus antara dua
diskontinuitas berurutan sepanjang garis
pengukuran yang dibuat sembarang.
 Menurut ISRM, jarak antar (spasi) diskontinuitas
adalah jarak tegak lurus antara bidang diskontinu
yang berdekatan dalam satu set diskontinuitas.

Spacing of Discontinuities >2 m 0,6-2 m 200-600 mm 60-200 mm <60 mm


3
Rating 20 15 10 8 5
(Kramadibrata, 2012),

dimana :
 = sudut normal kekar thd scanline.
n, n = arah dip dan dip normal kekar
s, s = arah scanline dan dip scanline.
d, d = arah dip dan dip bidang kekar.
j (im) = jarak semu bidang kekar pada scan-line.
d (im) = jarak sebenarnya bidang kekar.
d ≤ 180O  n = d +180O
d > 180O  n = d – 180O
n= 90O – d
4. Discontinuity condition
Ada lima karakteristik diskontinuitas yang masuk dalam pengertian
kondisi diskontinuitas menurut Bieniawski 1989, meliputi :
1. Kemenerusan (persistence)
2.Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture),
3. Kekasaran kekar (roughness)
4. Material pengisi (infilling/gouge)
5. Tingkat kelapukan (weathering).
5. Groundwater condition
 Pengamatan kondisi air tanah pada bidang diskontinu dapat dilakukan
dengan beberapa alternatif pilihan (Bieniawski, 1989):
1. Debit air tiap 10 meter panjang scanline.
2. Tekanan air pada bidang diskontinu dengan tegangan utama
maksimum.
3. Kondisi umum, yaitu: kering, basah, lembab, menetes, dan mengalir.
3.GEOLOGICAL STRENGTH INDEX
Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan estimasi kekuatan massa
batuan terkekarkan (joint rock mass), berdasarkan pada penilaian ikatan antar struktur pada massa
batuan dan kondisi permukaan struktur geologi tersebut, yang dikenal sebagai Original Hoek-
Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh dan kemudian diperkenalkan
faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan pada karakteristik pada bidang
diskontinu (joints) didalam massa batuan.
Kriteria ini terus dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dimasukkan konsep Geological
Strength Index (GSI) yang memberikan estimasi pengurangan kekuatan massa batuan karena
perbedaan kondisi geologi.
 Nilai GSI diperoleh dari hasil deskripsi geologi dengan berdasarkan
struktur dan kondisi permukaan struktur. Nilai GSI dapat juga didekati
dari nilai Rock Mass Rating (RMR) yang diperoleh dari klasifikasi
massa batuan menurut Bieniawski (1989) dengan persamaan sebagai
berikut.

GSI = RMR – 5
4.SLOPE MASS RATING

Romana (1985) mengembangkan suatu sistem klasifikasi Slope Mass


Rating (RMR) yang memungkinkan sistem RMR diaplikasikan untuk
menganalisis kemantapan lereng. SMR menyertakan bobot parameter
pengaruh orientasi kekar terhadap metode penggalian lereng yang
diterapkan. Hubungan antara Slope Mass Rating (SMR) dengan Rock Mass
Rating (RMR) ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
SMR = RMR – (F1xF2xF3) + F4
Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi slope mass rating (SMR)
• Arah kemiringan (dip direction) dari permukaan lereng
• Arah kemiringan (dip direction) diskontinuitas
• Sudut kemiringan diskontinuitas
NO URAIAN ZONA I ZONA II ZONA III

STUDI KASUS 1.
2.
Panjang drift
Jenis batuan
40 m
Tufa breksi
11 m
Andesit
39 m
Tufa breksi
3. Kuat Tekan batuan 36 MPa 72 MPa 36 MPa
utuh (UCS)
Kualitas Inti Batuan
4. (RQD) 85,75 % 92,2 % 67,7 %
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka
Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat akan Spasi Rekahan
5. Kondisi Rekahan 150 mm 400 mm 300 mm
mengkonstruksi drift footwall 700 Ciurug. 6. Menerus, agak Sangat kasar, tidak Agak kasar,
Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat kasar, renggang, < menerus, tidak renggang < 1 mm
1 mm dan lapuk renggang dan tidak dan lapuk
dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang drift lapuk
90 m dengan geometri lubang bukaan 3 m x 3
m dengan data pada tabel berikut ini. Kondisi Airtanah
7. Basah Basah Basah
Tabel 7.12. Data Massa Batuan dan Kondisi Geologi
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Orientasi Rakahan
8. Relatif tegak lurus Relatif tegak lurus Relatif tegak lurus
Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat drift dengan arah drift dengan arah drift dengan arah
umum N 289o umum N 335o E/25o umum
 Zona I
 Zona I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan
dilakukan pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk
kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.13)

PEMBOBOTAN
NO URAIAN ZONA I
SISTEM RMR

1. Kuat Tekan 36 MPa 4


batuan utuh
(UCS)

2. Kualitas Inti 85,75 % 17


Batuan (RQD)

3. Spasi Rekahan 150 mm 8

4. Kondisi Rekahan Menerus, agak kasar, 25


renggang, < 1 mm dan
lapuk

5.
Kondisi Airtanah Basah 7

6. Orientasi Relatif tegak lurus drift


Rakahan dengan arah umum -2
N 289o E/20o

Pembobotan Total 59
Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20
No. Kelas I II III IV V
Sangat
Diskripsi baik
Baik Sedang Jelek Sangat Jelek

 Dari pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III
dengan Batuan Sedang. Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-
up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar 200 – 300
KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o .
No. Kelas I II III IV V

20 Tahun 6 Bulan 1 Minggu 10 jam


Stand-up time 30 Menit untuk
untuk span untuk span untuk span untuk span
Rata-rata span 1 m
15 m 8m 5m 2,5 m

Kohesi Massa Batuan


> 400 300 – 400 200 – 300 100 – 200 < 100
(Kpa)

Sudut Geser Dalam


> 45 35 – 45 25 – 35 15 – 25 < 15
Massa Batuan (derajat)

Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up
time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi geomekanikan
seperti yang diperlihatkan oleh tabel RMR Hubungan ini sangat penting sekali diketahui
pada saat penggalian terowongan.
KESIMPULAN
REFERENSI

 Asisten Praktikum Geologi Teknik , 2015 ,”PPT Pratikum Geologi Teknik


2015” Undip : Semarang
 http://matakuliahteknikpertambangan.blogspot.co.id/2015/09/metoda-
empirik-dalam-rancangan.html
 http://fhendymining01.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai