Anda di halaman 1dari 15

Nama : Sutan Faiz

NPM : 055121026
Mata Kuliah : Mekanika Batu Dan Tanah
Tugas : Laporan Klasifikasi Massa Batuan

KLASIFIKASI MASSA BATUAN

A. Pengertian
Massa batuan adalah susunan blok-blok material
batuanyang dipisahkan oleh berbagai tipe ketidak menerusan
geologi.
Deskriptif kuantitatif memiliki prospek dimasa
mendatang → seluruh karakter material batuan dan ketidak
menerusan geologi akan dinyatakan dalam bentuk bobot (nilai)
sehingga dapat mudah dihitung.
Tujuan dari pengklasifikasian massa batuan antara lain:
 Dapat mengelompokkan batuan dan mengetahui
jenis, karakter atau data-data lain mengenai batuan
tersebut.
 Mengidentifikasi parameter-parameter yang
mempengaruhi kelakuan/sifat massa batuan.
 Membagi massa batuan ke dalam kelompok-
kelompok yang mempunyai kesamaan sifat dan
kualitas.
 Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat
karakteristik setiap kelas massa batuan.
 Menghubungkan berdasarkan pengalaman kondisi
massa batuan di suatu tempat dengan kondisi massa
batuan di tempat lain.
 Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik.
 Menyediakan dasar acuan untuk komunikasi antara
geologist dan enginee
B. Jenis – jenis Klasifikasi Massa Batuan
Perkembangan – perkembangan klasifikasi massa batuan:

Gambar 1. Perkembangan Klasifikasi Massa Batuan


Parameter – parameter yang digunakan dalam klasifikasi massa batuan

1. Klasifikasi Massa Batuan Terzaghi


Metode ini diperkenalkan oleh Karl von Terzaghi pada tahun 1946.
Merupakan metode pertama yang cukup rasional yang mengevaluasi
beban batuan untuk desain terowongan dengan penyangga baja. Metode
ini telah dipakai secara berhasil di Amerika selama kurun waktu 50
tahun. Akan tetapi pada saat ini metode ini sudah tidak cocok lagi dimana
banyak sekali terowongan saat ini yang dibangun dengan menggunakan
penyangga beton dan rockbolts.
Terzaghi (1946) untuk penyangga batuan pada
terowongan.Klasifikasi dimanfaatkan untuk:
 Terowongan
 Penyanggaan pada terowongan
 Lereng batuan
 Dasar pembuatan pondasi

2. Klasifikasi Stand-up Time


Metode ini diperkenalkan oleh Laufer pada 1958. Dasar dari
metode ini adalah bahwa dengan bertambahnya span terowongan akan
menyebabkan berkurangnya waktu berdirinya terowongan tersebut tanpa
penyanggaan. Metode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan
klasifikasi massa batuan selanjutnya. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap stand-up time adalah: arah sumbu terowongan, bentuk potongan
melintang, metode penggalian, dan metode penyanggaan.
Semakin besar terowongan, semakin singkat waktu yang harus
digunakan untuk pemasangan penyangga. Sebagai contoh, pilot tunnel
kecil mungkin saja dikonstruksi dengan penyangga minimal, sedangkan
terowongan dengan span yang lebih besar pada massa batuan yang sama
mungkin tidak mantap jika penyangga tidak seketika dipasang.

3. Rock Quality Designation (RQD)


RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere.Metode ini
didasarkan pada penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai
panjang 10 cm atau lebih.Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau
tidak keras tidak perlu dihitung walaupun mempunyai panjang lebih dari
10cm. Diameter inti optimal yaitu 47.5mm.Nilai RQD ini dapat pula
dipakai untuk memperkirakan penyanggaan terowongan.
Berdasarkan nilai RQD massa batuan diklasifikasikan sebagai
RQD Kualitas massa batuan
< 25% Sangatjelek
25 – 50% Jelek
50 – 75% Sedang
75 – 90% Baik
90 – 100% Sangat baik
Metode ini tidak memperhitungkan faktor orientasi bidang
diskontinu, material pengisi, dll, sehingga metode ini kurang dapat
menggambarkan keadaan massa batuan yang sebenarnya.

4. Rock Structure Rating (RSR)


RSR diperkenalkan pertama kali oleh Wickam, Tiedemann dan
Skinner pada tahun 1972 di AS. Konsep ini merupakan metode
kuantitatif untuk menggambarkan kualitas suatu massa batuan dan
menentukan jenis penyanggaan di terowongan. Motode ini merupakan
metode pertama untuk menentukan klasifikasi massa batuan yang
komplit setelah diperkenalkannya klasifikasi massa batuan oleh Terzaghi
1946.
RSR merupakan metode yang cukup baik untuk menentukan
penyanggaan dengan penyangga baja tetapi tidak direkomendasikan
untuk menentukan penyanggaan dengan penyangga rock bolt dan beton.

5. Rock Mass Rating (RMR)


Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan
yang disebut Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock
Mass Rating (RMR). Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini
telah mengalami penyesuaian dikarenakan adanya penambahan data
masukan sehingga Bieniawski membuat perubahan nilai rating pada
parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi massa batuan
tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan
adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989).
Parameter yang digunakan dalam klasifikasi massa batuan
menggunakan Sistim RMR yaitu:
Kuat tekan uniaxial batuan utuh
Rock Quality Designatian (RQD)
Spasi bidang dikontinyu.
Kondisi bidang diskontinyu
Kondisi air tanah.
Orientasi/arah bidang diskontinyu.
Batas dari daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan
kenampakan perubahan struktur geologi seperti patahan, perubahan,
kerapatan kekar, dan perubahan jenis batuan.RMR ini dapat digunakan
untuk terowongan.lereng, dan pondasi.
a. Kuat Tekan Batuan Utuh
Untuk menentukan nilai kuat tekan batuan utuh dapat dilakukan dengan
pengujian laboratorium dan pengujian langsung di lapangan.
1. Uji laboratorium
 Uniaxial Compressive Test (UCS)
Sample batuan yang diuji berasal dari core yang dipilih berdasarkan
kenampakan yang masih utuh tanpa gangguan diskontinuitas dan dipilih litologi
yang mewakili daerah penelitian. Sample ini diuji dalam bentuk silinder dengan
perbandingan tinggi dan diameter (l/D) tertentu dimana perbandingan ini akan
sangat berpengaruh pada nilai UCS yang dihasilkan. Semakin besar perbandingan
panjang terhadap diameter, kuat tekan akan semakin kecil. Sample kemudian
ditekan dari satu arah (uniaxial) menggunakan mesin.
 Point Load Index (PLI)
Pengujian ini menggunakan mesin uji point load
dengan sampel berupa silinder atau bentuk lain yang tidak
beraturan. Sampel yang disarankan untuk pengujian ini
adalah batuan berbentuk silinder dengan diameter kurang
lebih 50mm. Dari pengujian ini didapatkan nilai point load
index (Is) yang akan menjadi patokan untuk menentukan
nilai kuat tekan batuan (σc).

2. Uji langsung di lapangan


Hoek and Brown, 1980 memberikan index classification of
rock material untuk mengestimasi kisaran nilai kuat tekan
batuan di lapangan dengan menggunakan kuku, pisau, dan
palu geologi.
Tabel 2. Index Classification Of Rock Material

b. Rock Quality Designation


Pada tahun 1967 D.U. Deere memperkenalkan Rock Quality
Designation (RQD) sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan
kualitas dari massa batuan secara kuantitatif. Sama seperti
parameter UCS, terdapat 2 metode untuk mendapatkan nilai RQD :
1. Perhitungan RQD Melalui hasil Core
RQD didefinisikan sebagai persentase dari perolehan inti
bor (core) yang secara tidak langsung didasarkan pada jumlah
bidang lemah dan jumlah bagian yang lunak dari massa batuan
yang diamati dari inti bor (core).Dengan kata lain, RQD adalah
ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan yang baik
dari sebuah interval kedalaman lubang bor. Dalam
menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila
core logs tersedia.
Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere
1967,hanya bagian yang utuh dengan panjang lebih besar dari
100 mm (4 inchi) yang dijumlahkan kemudian dibagi panjang
total pengeboran (core run).
Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus
dilakukan sepanjang garis tengahnya.Coreyang retak akibat
aktivitas pengeboran harus digabungkan kembali dan dihitung
sebagai satu bagian utuh. Ketika ada keraguan apakahretakan
diakibatkan oleh pengeboran atau karena alami, pecahan itu
bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara
alami.Semuaretakan yang bukan terjadi secara alami tidak
diperhitungkan pada panjang core untuk RQD (Deere, 1967).
Panjang total pengeboran (core run) yang direkomendasikan
adalah lebih kecil dari 1,5 m.

Gambar 2. Core RQD

2. Perhitungan RQD melalui data lapangan


Selain metode langsung dalam menghitung nilai RQD terdapat
juga metode tidak langsung yang digunakan apabila core log
tidak tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode
tidak langsung :
a. Priest and Hudson, 1976

λ = jumlah total kekar per meter


b. Palmstrom, 1982
RQD = 115 – 3,3 Jv
3
Jv = jumlah total kekar per meter

c. Discontinuitas Spacing
Jarak antar (spasi) bidang diskontinu didefinisikan sebagai
jarak tegak lurus antara dua diskontinuitas berurutan sepanjang
garis pengukuran yang dibuat sembarang. Menurut ISRM, jarak
antar (spasi) diskontinuitas adalah jarak tegak lurus antara bidang
diskontinu yang berdekatan dalam satu setdiskontinuitas.

Gambar 3. Discontinuitas Spacing

Untuk menentukan jarak kekar yang sebenarnya diperlukan koreksi


antara orientasi kekar terhadap orientasi scanline (Kramadibrata,
2012), yaitudimana :

 = sudut normal kekar thd scanline.

n, n = arah dip dan dip normal kekar

s, s = arah scanline dan dip scanline.

d, d = arah dip dan dip bidang kekar.


j (im) = jarak semu bidang kekar pada scan-line.
d (im) = jarak sebenarnya bidang kekar.
O O
d ≤ 180 n = d +180
O O
d > 180 n = d – 180
O
n= 90 – d

Pengukuran Jarak atau spasi kekar bidang diskontinuitas dapat


dilakaukan dengan metode scanline. Scanline pada permukaan
lereng/ bukaan tambang minimal 50 m dengan menyesuaikan
kondisi medan yang terdapat di lapangan dan ketersediaan alat.
Pada pengukuran dilapangan kebanyakan jarak kekar yang terukur
pada scanline merupakan jarak semu.

Gambar 4. Scanline

6. Rock Tunnelling Quality Index


Q-system diperkenalkan oleh Barton pada tahun 1974. Nilai Q
didefinisikan sebagai:

Dimana:
RQD adalah Rock Quality Designation
Jn adalah jumlah set kekar
Jr adalah nilai kekasaran kekar
Ja adalah nilai alterasi kekar
Jw adalah faktor air tanah
SRF adalah faktor berkurangnya tegangan
RQD/Jn Menunjukkan struktur massa batuan.
Jr/Ja merepresentasikan kekasaran dan karakteritik gesekan
diantara bidang kekar stsu material pengisi.
Jw/SRF merepresentasikan tegangan aktif yang bekerja.
Berdasarkan nilai Q kemudian dapat ditentukan jenis
penyanggaan yang dibutuhkan untuk terowongan.
7. Discontinuity condition
Lima karakteristik diskontinuitas yang masuk dalam pengertian
kondisi diskontinuitas menurut Bieniawski 1989, meliputi :
1. Kemenerusan (persistence)
Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar
dengan mengamati panjang jejak kekar pada suatu bukaan.Pengukuran
ini masih sangat kasar dan belum mencerminkan kondisi kemenerusan
kekar sesungguhnya. Seringkali panjang jejak kekar pada suatu
bukaan lebih kecil dari panjang kekar sesungguhnya, sehingga
kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak. Jika jejak
sebuah kekar pada suatu bukaan berhenti atau terpotong kekar lain
atau terpotong oleh solid/massive rock, ini menunjukkan adanya
kemenerusan.

Gambar 6. Contoh Kemenerusan Bidang Discontinuity


2. Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture)
Tingkat kekasaran permukaan kekar dapat dilihat dari bentuk
gelombang permukaannya.Gelombang ini diukur relatif dari
permukaan datar dari kekar.Semakin besar kekasaran dapat
menambah kuat geser kekar dan dapat juga mengubah kemiringan
pada bagian tertentu dari kekar tersebut.

Gambar 7. Jarak antar permukaan kekar atau celah

3. Kekasaran kekar (roughness)


Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang
berdekatan pada bidang diskontinuitas. Celah tersebut dapat berisi
material pengisi (infilling) atau tidak.

Gambar 8. Bidang diskontinuitas


4. Material pengisi (infilling/gouge)
Material pengisi berada pada celah antara dua dinding bidang
kekar yang berdekatan. Beberapa material yang dapat mengisi celah
diantaranya breccia, clay, silt, mylonite, gouge, sand, quartz dan
calcite.

Gambar 9. Pengisi Bidang diskontinuitas

5. Tingkat kelapukan (weathering).


Penentuan tingkat pelapukan kekar didasarkan pada perubahan
warna pada batuannya dan terdekomposisinya batuan atau
tidak.Semakin besar tingkat perubahan warna dan tingkat
terdekomposisi, batuan semakin lapuk.
Tabel 3. . Tingkat kelapukan (weathering)
8. Groundwater condition

Pengamatan kondisi air tanah pada bidang diskontinu dapat dilakukan


dengan beberapa alternatif pilihan (Bieniawski, 1989):
6. Debit air tiap 10 meter panjang scanline.
7. Tekanan air pada bidang diskontinu dengan tegangan utama maksimum.
8. Kondisi umum, yaitu: kering, basah, lembab, menetes, dan mengalir.

Tabel klasifikasi kondisi bidang diskontinuitas.


Rating total yang didapat dari tabel ini kemudian dimasukkan kedalam tabel no. 4
(discontinuity conditions)
DAFTAR PUSTAKA

Mng, Ratm. 2015. Klasifikasi Massa Batuan.


Diakses pada tanggal31 Oktober 2023.
https://www.academia.edu/19640370/Klasifikasi_
Massa_Batuan

Anda mungkin juga menyukai