Kelompok 5
OUTLINE
Pengertian
Bidang discontinuitas
Klasifikasi Massa Batuan
Studi Kasus
Diskusi
Kesimpulan
PENGERTIAN
Bidang Diskontinu
Secara umum, bidang diskontinu merupakan bidang yang
memisahkan massa batuan menjadi bagian yang terpisah.
Menurut Priest (1993) dalam Sitohang (2008), pengertian bidang
diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang
memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan.
Menurut Gabrielsen (1990) dalam Sitohang (2008), keterjadian bidang
diskontinu tidak terlepas dan masalah perubahaan stress (tegangan),
temperatur, strain (regangan), mineralisasi dan rekristalisasi yang
terjadi pada massa batuan dalam waktu yang panjang.
Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan
ukuran dan komposisinya adalah sebagai berikut:
Fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas
memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran
maupun slicken sided atau jejak yang terdapat di sepanjang bidang
fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan
pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas.
Joint (kekar). Bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak
mengalami pergerakan atau walaupun bergerak, pergerakan tersebut
sangat sedikit sehingga bisa diabaikan. Joint merupakan jenis bidang
diskontinu yang paling sering hadir dalam batuan.
.
Bedding (bidang pelapisan). Bedding terdapat pada permukaan batuan yang
mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta
perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan
sedimen.
Fracture dan crack. Fracture diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah
tidak paralel dengan struktur lain yang tampak pada batuan. Beberapa rock
mechanic engineer menggunakan istilah fracture dan crack untuk menjelaskan
pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan
untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan brittle.
Fissure. Ada banyak ahli yang menjelaskan pengertian fissure, salah satunya
adalah menurut Fookes dan Denness (1969) dalam Sitohang (2008) yang
mendefinisikan fissure sebagai bidang diskontinu yang membagi suatu material
utuh tanpa inemisahkannya menjadi bagian terpisah.
DALAM ANALISIS BIDANG DISKONTINU TERDAPAT BEBERAPA ISTILAH
YANG BIASA DIPAKAI SECARA UMUM. BERIKUT INI AKAN DIBAHAS
BEBERAPA POIN YANG BERKAITAN DENGAN BIDANG DISKONTINU.
1. Joint Set adalah sejumlah joint yang memiiiki orientasi yang relatif sama, atau
sekelompok joint yang paralel.
2. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing). Menurut Priest (1993) ada tiga macam
spasi bidang diskontinu. Ketiga macam joint spacing tersebut adalah spasi total
(total spacing), spasi set (set/joint set spacing) dan spasi set normal (normal set
spacing).
a) Total spacing ,Adalah jarak antar bidang diskontinu dalam suatu lubang bor
atau sampling line pada pengamatan di permukaan.
b) Joint set spacing ,Adalah jarak antara bidang diskontinu dalam satu joint set.
Jarak diukur di sepanjang lubang bor atau sampling line pada pengamatan di
permukaan.
c) Normal set spacing
Hampir sama dengan set spacing, bedanya pada normal set spacing, jarak
yang diukur adalah jarak tegak lurus antara satu bidang diskontinu dengan
bidang diskontinu lainnya yang ada dalam satu joint set.
3. Orientasi Bidang Diskontinu (Joint Orientation). Orientasi bidang diskontinu
yaitu kedudukan dari bidang diskontinu yang meliputi arah dan kemiringan
bidang. Arab, dan kemiringan dan bidang diskontinu biasanya dinyatakan dalam
(Strike/Dip) atau (Dip Direction/Dip).
a) Strike (jurus), Merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang
diskontinu yang miring, Arah ini diukur dari utara searah jarum jam ke arah garis
horizontal tersebut.
b) Dip (kemiringan bidang), Dip adalah sudut yang diukur dan bidang horizontal
ke arah kemiringan bidang diskontinu.
c) Dip Direction, Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang
diskontinu. Dip & Direction (DDR) diukur dari North searah jarum jam ke arah
penunjaman tersebut atau sama dengan 90 derajat dari strike searah jarum jam ke
arah penunjaman.
Dip & Direction (DDR) = Strike + 90°
KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Untuk menentukan nilai kuat tekan batuan utuh dapat dilakukan dengan pengujian laboratorium dan
pengujian langsung di lapangan
1. Uji laboratorium
Uniaxial Compressive Test (UCS)
Sample batuan yang diuji berasal dari core yang dipilih berdasarkan kenampakan yang masih utuh
tanpa gangguan diskontinuitas dan dipilih litologi yang mewakili daerah penelitian. Sample ini diuji
dalam bentuk silinder dengan perbandingan tinggi dan diameter (l/D) tertentu dimana perbandingan
ini akan sangat berpengaruh pada nilai UCS yang dihasilkan. Semakin besar perbandingan panjang
terhadap diameter, kuat tekan akan semakin kecil. Sample kemudian ditekan dari satu arah (uniaxial)
menggunakan mesin.
2. Palmstrom, 1982
RQD = 115 – 3,3 Jv
Dengan Jv = jumlah total kekar per meter3
3. Discontinuity spacing
dimana :
= sudut normal kekar thd scanline.
n, n = arah dip dan dip normal kekar
s, s = arah scanline dan dip scanline.
d, d = arah dip dan dip bidang kekar.
j (im) = jarak semu bidang kekar pada scan-line.
d (im) = jarak sebenarnya bidang kekar.
d ≤ 180O n = d +180O
d > 180O n = d – 180O
n= 90O – d
4. Discontinuity condition
Ada lima karakteristik diskontinuitas yang masuk dalam pengertian
kondisi diskontinuitas menurut Bieniawski 1989, meliputi :
1. Kemenerusan (persistence)
2.Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture),
3. Kekasaran kekar (roughness)
4. Material pengisi (infilling/gouge)
5. Tingkat kelapukan (weathering).
5. Groundwater condition
Pengamatan kondisi air tanah pada bidang diskontinu dapat dilakukan
dengan beberapa alternatif pilihan (Bieniawski, 1989):
1. Debit air tiap 10 meter panjang scanline.
2. Tekanan air pada bidang diskontinu dengan tegangan utama
maksimum.
3. Kondisi umum, yaitu: kering, basah, lembab, menetes, dan mengalir.
3.GEOLOGICAL STRENGTH INDEX
Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan estimasi kekuatan massa
batuan terkekarkan (joint rock mass), berdasarkan pada penilaian ikatan antar struktur pada massa
batuan dan kondisi permukaan struktur geologi tersebut, yang dikenal sebagai Original Hoek-
Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh dan kemudian diperkenalkan
faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan pada karakteristik pada bidang
diskontinu (joints) didalam massa batuan.
Kriteria ini terus dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dimasukkan konsep Geological
Strength Index (GSI) yang memberikan estimasi pengurangan kekuatan massa batuan karena
perbedaan kondisi geologi.
Nilai GSI diperoleh dari hasil deskripsi geologi dengan berdasarkan
struktur dan kondisi permukaan struktur. Nilai GSI dapat juga didekati
dari nilai Rock Mass Rating (RMR) yang diperoleh dari klasifikasi
massa batuan menurut Bieniawski (1989) dengan persamaan sebagai
berikut.
GSI = RMR – 5
4.SLOPE MASS RATING
STUDI KASUS 1.
2.
Panjang drift
Jenis batuan
40 m
Tufa breksi
11 m
Andesit
39 m
Tufa breksi
3. Kuat Tekan batuan 36 MPa 72 MPa 36 MPa
utuh (UCS)
Kualitas Inti Batuan
4. (RQD) 85,75 % 92,2 % 67,7 %
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka
Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat akan Spasi Rekahan
5. Kondisi Rekahan 150 mm 400 mm 300 mm
mengkonstruksi drift footwall 700 Ciurug. 6. Menerus, agak Sangat kasar, tidak Agak kasar,
Kontruksi drift tersebut berbentuk segiempat kasar, renggang, < menerus, tidak renggang < 1 mm
1 mm dan lapuk renggang dan tidak dan lapuk
dengan sudut-sudutnya membundar. Panjang drift lapuk
90 m dengan geometri lubang bukaan 3 m x 3
m dengan data pada tabel berikut ini. Kondisi Airtanah
7. Basah Basah Basah
Tabel 7.12. Data Massa Batuan dan Kondisi Geologi
Unit Pertambangan Emas Pongkor PT. Aneka Orientasi Rakahan
8. Relatif tegak lurus Relatif tegak lurus Relatif tegak lurus
Tambang Tbk. Bogor – Jawa Barat drift dengan arah drift dengan arah drift dengan arah
umum N 289o umum N 335o E/25o umum
Zona I
Zona I dengan panjang drift 40 m dan mempunyai batuan tufa breksi akan
dilakukan pembobotan berdasarkan Tabel 7.6 sampai Tabel 7.10. Untuk
kelas dan arti massa batuan (Tabel 7.13)
PEMBOBOTAN
NO URAIAN ZONA I
SISTEM RMR
5.
Kondisi Airtanah Basah 7
Pembobotan Total 59
Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20
No. Kelas I II III IV V
Sangat
Diskripsi baik
Baik Sedang Jelek Sangat Jelek
Dari pembobotan total 59 maka Kelas Massa Batuannya adalah Kelas III
dengan Batuan Sedang. Dan arti kelas massa batuannya adalah ; stand-
up time rata-rata 1 Minggu untuk span 5 m, kohesi sebesar 200 – 300
KPa dan sudut geser dalamnya sebesar 25o – 35o .
No. Kelas I II III IV V
Bieniawski (1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga (stand-up
time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi geomekanikan
seperti yang diperlihatkan oleh tabel RMR Hubungan ini sangat penting sekali diketahui
pada saat penggalian terowongan.
KESIMPULAN
REFERENSI