Anda di halaman 1dari 30

BAB III

TEORI DASAR

3.1 Pengertian dan Tujuan Peledakan

Peledakan adalah proses memberai batuan padat yang bersifat kompak dari

batuan induknya. Tujuan peledakan pada batuan yaitu untuk menghasilkan batuan

lepas, yang dinyatakan dalam derajat fragmentasi sesuai dengan tujuan yang akan

dicapai. Di sektor penambangan, kegiatan peledakan digunakan untuk memecah

batuan yang tidak mampu dibongkar secara langsung oleh alat berat misalnya

ripper dozer.

Hasil peledakan sangat mempengaruhi produktivitas alat berat yang

berkaitan serta biaya operasi berikutnya. Dalam suatu kegiatan peledakan pada

operasi penambangan, dilakukan pemboran terlebih dahulu untuk membuat lubang

ledak.

Menurut Pijush Pal Roy (2005), operasi peledakan pada kegiatan

penambangan dinyatakan berhasil apabila:

a. Pemilihan jenis bahan peledak yang tepat sesuai dengan kondisi di

lapangan.

b. Dampak buruk terhadap aspek lingkungan dan keamanan (flyrock,

vibration, overbreak dan backbreak, serta debu) minimal.

c. Diperoleh fragmentasi yang baik, muckpile displacement yang cukup,

dan powder factor yang optimal.

32
33

Maka dari itu kegitan pemboran dan peledakan harus dilakukan dengan

seefisien dan seefektif mungkin agar parameter keberhasilan tersebut tercapai.

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peledakan

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kegiatan peledakan, yaitu faktor

rancangan yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable variable) dan faktor

rancangan yang dapat dikendalikan (controllable variable), seperti terlihat pada

Gambar 3.1.

Sumber: Hustrulid, 1999

Gambar 3.1

Ilustrasi Variabel Pengaruh Peledakan


34

3.2.1 Faktor Rancangan yang Tidak Dapat Dikendalikan

Faktor rancangan yang tidak dapat dikendalikan adalah faktor – faktor yang

berpengaruh dan tidak dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia.

1. Karakteristik Massa Batuan

Parameter karakteristik massa batuan yang perlu diperhatikan dalam

kaitannya dengan fragmentasi batuan yaitu kekerasan batuan, kekuatan

batuan, elastisitas batuan, cepat rambat gelombang pada batuan, serta kuat

tekan dan kuat tarik batuan yang akan diledakkan.

2. Kekerasan Batuan (Hardness)

Kekerasan (hardness) dianggap sebagai ketahanan dari sebuah

permukaan lapisan yang akan digores oleh bagian lain yang lebih keras.

Berdasarkan tingkat kekerasannya, batuan dapat diklasifikasikan dengan

skala (Jimeno et al, 1995) seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Hubungan Antara Kekerasan Batuan dengan Kuat Tekan Batuan

Compressive Strength
Classification Mohs Scale of Hardness
(MPa)
Very Hard +7 +200
Hard 6–7 120 – 200
Medium Hard 4,5 – 6 60 – 120
Medium Soft 3 – 4,5 30 – 60
Soft 2–3 10 – 30
Very Soft 1–2 -10
Sumber: Jimeno et al, 1995

3. Kekuatan Batuan

Kekuatan batuan adalah suatu sifat kekuatan untuk melawan kerusakan

terhadap gaya luar, baik itu kekuatan statik maupun dinamik. Kekuatan
35

dinyatakan dengan nilai kuat tekan (compressive strength). Semakin tinggi

kuat tekan dan kuat tarik dari batuan, maka batuan tersebut akan semakin

sulit untuk diberai (Bhandari, 1997).

4. Elastisitas Batuan

Elastisitas batuan adalah sifat kecendrungan batuan untuk kembali ke

bentuk atau keadaan semula, setelah gaya yang diberikan dihilangkan.

Elastisitas batuan biasanya dideskripsikan dalam Modulus Young, yaitu

perbandingan dari beda tegangan dan regangan aksial pada kurva tegangan-

regangan. Apabila Modulus Young dari batuan tersebut tinggi, sehingga

tekanan gas minimal harus 5% lebih kecil dari Modulus Young untuk

peledakan yang efisien (Bhandari, 1997).

5. Abrasivitas Batuan

Abrasivitas batuan merupakan suatu parameter pada batuan yang

berkaitan dengan tingkat keausan (umur) mata bor dan batang bor yang

digunakan untuk melakukan pengeboran pada suatu massa batuan.

Abrasivitas batuan tergantung kepada mineral penyusun batuannya.

Kandungan kuarsa (SiO2) dari suatu batuan dianggap dapat menjadi

petunjuk untuk mengetahui tingkat abrasivitas dari suatu batuan.

6. Cepat Rambat Gelombang

Distribusi dari tegangan yang dibebankan pada batuan akibat dari

detonasi bahan peledak dikarenakan oleh kecepatan perambatan gelombang

tegangan di dalam batuan (Bhandari, 1997). Semakin tinggi kecepatan

perambatan gelombang di dalam batuan maka untuk mendapatkan ukuran


36

fragmentasi yang baik dapat digunakan bahan peledak dengan kecepatan

detonasi yang tinggi pula (Bhandari, 1997).

7. Struktur Geologi

Variabel struktur geologi yang mempengaruhi kegiatan peledakan

adalah struktur rekahan (kekar) dan struktur perlapisan batuan. Adanya

bidang diskontinyu ini dapat mempengaruhi distribusi energi ledakan

(Gambar 3.2), radius pengaruh dari setiap lubang ledak akan berkurang

karena:

a) Rekahan radial yang terbentuk tidak akan dapat melewati

pembatas yang dihasilakan oleh struktur rekahan.

b) Tekanan gas yang tinggi dapat mengalami sirkulasi singkat

karena keberadaan rekahan, sehingga menyebabkan gas

peledakan hilang melalui sistem rekahan yang ada.

Sumber: Hustrulid, 1999

Gambar 3.2

Pengaruh Struktur Batuan pada Proses Peledakan


37

Secara teoritis, bila arah peledakan searah dengan arah kemiringan

bidang pelapisan (Gambar 3.3a), maka kemungkinan terjadinya backbreak

akan kecil, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi yang dihasilkan akan

seragam dan lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedangkan jika arah

peledakan dibuat berlawanan dengan arah kemiringan bidang perlapisan,

maka kemungkinan timbulnya backbreak lebih besar, lantai jenjang rata,

fragmentasi batuan tidak seragam, batuan akan terlempar lebih jauh, serta

kemungkinan terjadinya longsoran akan lebih besar (Gambar 3.3b). Massa

batuan yang memiliki bidang lemah tegak lurus dengan muka jenjang,

umumnya mempunyai hasil peledakan yang paling baik dibandingkan pada

massa batuan dengan orientasi lain (Gambar 3.3c).

Sumber: Hustrulid, 1999

Gambar 3.3

Arah Peledakan pada Bidang Perlapisan


38

8. Cuaca

Kondisi cuaca sangat mempengaruhi aktivitas penambangan. Tidak

terkecuali pada kegiatan peledakan, khususnya pada peledakan tambang

terbuka. Apabila sistem inisiasi peledakan menggunakan metode listrik,

adanya arus liar yang masuk ke dalam rangkaian peledakan akibat petir

dapat menimbulkan ledakan yang tidak terkontrol atau premature blasting.

9. Pengaruh Keberadaan Air

Kandungan air dengan jumlah tertentu dapat mempengaruhi stabilitas

sifat kimiawi bahan peledak dalam lubang ledak, terutama bahan peledak

ANFO (Gambar 3.4). Kerusakan sebagian isian bahan peledak dapat

mengurangi energi peledakan, atau bahkan isian akan gagal meledak

(missfire). Untuk mengatasi pengaruh air, digunakan bahan peledak yang

mempunyai ketahanan terhadap air contohnya bahan peledak emulsion dan

penggunaan linner atau plastik untuk bahan peledak pada lubang ledak yang

terisi oleh air.

Sumber: Konya, 1990

Gambar 3.4

Kurva Pengaruh Air Terhadap Performa ANFO


39

3.2.2 Faktor Rancangan yang Dapat Dikendalikan

Faktor rancangan yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam

merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan.

Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

1. Diameter Lubang Ledak

Menurut Jimeno (1995), penentuan ukuran diameter lubang ledak

dipengaruhi oleh:

a) Sifat fisik dan mekanij massa batuan yang diledakkan.

b) Tinggi jenjang dan tingkat fragmentasi yang dikehendaki.

c) Kapasitas alat muat dan alat angkut yang dioperasikan.

d) Biaya dari peralatan pengeboran dan peledakan.

Ketika diameter lubang ledak kecil maka biaya pengeboran, primming,

dan inisiasi akan tinggi serta pengisian bahan peledak, stemming akan lebih

sulit. Ketika diameter lubang ledak besar, pola pengeboran secara langsung

akan membesar dan distribusi fragmentasi tidak seragam jika bidang-

bidang diskontinyu tersebar secara luas (Gambar 3.5).

Sumber: Jimeno et al, 1995

Gambar 3.5

Pengaruh Pola Pemboran Terhadap Fragmentasi


40

2. Kemiringan Lubang (Hole Inclination)

Jenis lubang ledak secara teoritis ada dua, yaitu lubang ledak tegak dan

lubang ledak miring. Menurut Mc Gregor K. (1967), kemiringan lubang

ledak antara 10° – 20° terhadap bidang vertikal yang biasanya digunakan

pada tambang terbuka secara umum telah memberikan hasil yang baik.

Adapun kerugian dan keuntungan dari penggunaan kedua sistem tersebut

dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3.

Tabel 3.2

Keuntungan dan Kerugian Lubang Ledak Tegak

Keuntungan Kerugian
Pengeboran yang dilakukan lebih akurat Bagian atas dari sisi jenjang yang
diledakkan terganggu sehingga
menyebabkan backbreak
Dapat melakukan pengeboran lebih dekat Kemungkinan terjadinya tonjolan pada
dengan dinding jenjang lantai lebih besar
Pengeboran dilakukan dengan lebih Fragmentasi yang dihasilkan kurang
mudah seragam
Sumber: Gregor, 1967

Tabel 3.3

Keuntungan dan Kerugian Lubang Ledak Miring

Keuntungan Kerugian
Fragmentasi dari tumpukan hasil Panjang lubang ledak dan waktu ynag
peledakan lebig baik dibutuhkan menjadi lebih panjang
Pada pengeboran lubang ledak yang
Dinding jenjang yang dihasilkan relatif
dalam, sudut yang dibentuk akan semakin
rata
besar
Powder factor yang digunakan lebih Mengalami kesulitan pada penempatan
efisien alat bor
Mengurangi terjadinya backbreak dan
Dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat
lantai jenjang lebih rata
Memperkecil potensi longsor pada Mengalami kesulitan dalam pengisian
jenjang bahan peledak
Sumber: Gregor, 1967
41

Untuk fragmentasi batuan hasil peledakan, lubang ledak miring lebih

menghasilkan ukuran fragmentasi yang seragam bila dibandingkan dengan

lubang ledak tegak. Hal ini disebabkan pada lubang ledak miring, bidang

bebas yang terbentuk lebih luas dan hilangnya energi peledakan pada lantai

jenjang lebih sedikit, (lihat Gambar 3.6). Sementara Gambar 3.7

mengilustrasikan kemungkinan berkurangnya backbreak pada lubang ledak

miring.

Sumber: Jimeno et al, 1995

Gambar 3.6

Ilustrasi Sebaran Shockwave Hasil Peledakan pada Lubang Ledak

Sumber: Jimeno et al, 1995

Gambar 3.7

Distribusi Energi Peledakan pada Lubang Tegak dan Miring


42

3. Pola Pemboran

Berdasarkan letak lubang ledak, maka pola pemboran terbagi menjadi

dua macam, yaitu pola pemboran sejajar (parallel pattern) dan pola

pengeboran selang-seling (staggered pattern).

a) Parallel Pattern

Merupakan pola pemboran dengan lubang ledak sejajar terhadap

baris lubang ledak yang lainnya (Gambar 3.8), berdasarkan

perbandingan antara jarak burden dan spasi pola pengeboran sejajar

terbagi menjadi dua, yaitu:

i. Square Pattern, memiliki jarak spacing dan burden sama.

ii. Rectangular Pattern, memiliki besar jarak spasi lebih besar

dibanding burden.

b) Staggered Pattern

Merupakan pola pemboran dengan lubang ledak antara satu baris

dengan baris yang lainnya tidak saling sejajar (lihat Gambar 3.9).

Sumber: Konya, 1990

Gambar 3.8

Pola Pemboran Sejajar (Parallel Pattern)


43

Sumber: Konya, 1990

Gambar 3.9

Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Pattern)

Penentuan pola pengeboran yang baik untuk digunakan dalam suatu

rancangan, harus mempertimbangkan cakupan energi yang efektif dari

volume batuan yang diledakkan, Pola pengeboran staggered pattern dengan

S/B = 1,15 mempunyai cakupan energi yang paling optimal (AECI 1978,

dalam William Hustrulid 1999) seperti terlihat pada Gambar 3.10.

Sumber: Hustrulid, 1999

Gambar 3.10

Pengaruh Pola Pemboran Terhadap Radius Energi Peledakan


44

3.3 Pola Peledakan

Pola peledakan menunjukkan urutan ledak setiap lubang pada suatu blok

peledakan. Urutan peledakan mengindikasikan bahwa adanya jeda waktu diantara

lubang ledak yang disebut delay time.

Penggunaan delay time memiliki beberapa keuntungan, yaitu sebagai

berikut:

1. Mengurangi getaran (ground vibration)

2. Mengurangi overbreak

3. Mengurangi airblast

4. Dapat mengarahkan lemparan batuan yang diledakkan

Pola peledakan dibedakan berdasarkan arah lemparan batuannya. Pemilihan

pola peledakan juga didasari pada ketersediaan bidang bebas (free face) pada area

yang akan diledakkan.

Sumber: Hustrulid, 1999

Gambar 3.11

Fungsi Delay dalam Lemparan


45

Berdasarkan arah runtuhan batuan, pola peledakan dibedakan menjadi

sebagai berikut:

a) Box Cut

Pola peledakan yang arah lemparan batuannya ke depan dan membentuk

pola seperti kotak. Pola peledakan ini digunakan pada area yang tidak

memiliki bidang bebas.

b) V-Cut (Chevron)

Pola peledakan yang arah lemparannya membentuk seperti huruf “V”.

c) Corner Cut (Echelon)

Pola peledakan yang memiliki dua bidang bebas dan arah lemparan

batuannya ke salah satu dari dua bidang bebas tersebut.

Pada penerapannya pola peledakan beruntun lebih sering dipergunakan,

karena dengan adanya waktu tunda antara lubang ledak dapat memberikan

fragmentasi yang baik dan kontrol terhadap flyrock, dan ground vibration.

Sumber: Konya, 1990

Gambar 3.12

Macam-macam Pola Peledakan


46

3.4 Penentuan Geometri Peledakan

1. Burden

Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang ledak dengan bidang

bebas atau jarak antar row. Burden yang terlalu kecil menghasilkan

bongkaran yang hancur dan tergeser jauh dari dinding jenjang kemudian

potensi terjadinya batu terbang sangat besar. Sebaliknya, burden yang

terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang kurang baik, karena

gelombang tekan yang mencapai bidang bebas menghasilkan gelombang

tarik yang sangat lemah di bawah kuat tarik batuan, sehingga batuan dalam

area burden tidak hancur.

Secara matematis, besarnya burden dan hubungannya dengan faktor-

faktor pengaruh dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑆𝐺𝑒 0,33
𝐵 = 3,15 × 𝐷𝑒 × (𝑆𝐺𝑟 ) (3.1)

𝑆𝐺𝑒
𝐵 = [( 2 × ) + 1,50] × 𝐷𝑒 (3.2)
𝑆𝐺𝑟

𝑆𝑡𝑣 0,33
𝐵 = 0,67 × 𝐷𝑒 × (𝑆𝐺𝑟) (3.3)

Keterangan:

B = Burden

DE = Diameter lubang ledak (inchi)

Stv = Relative bulk strength (ANFO = 100)

SGr = Berat jenis batu yang akan dibongkar

Dalam penentuan burden, juga perlu dipertimbangkan hubungan antara

burden dan tinggi jenjang atau stiffness ratio (Tabel 3.4). Setelah diketahui
47

dasar penentuan burden, maka nilai burden harus dikoreksi terhadap

beberapa faktor penentu, yaitu jumlah baris lubang ledak (Kr), posisi lapisan

batuan (Kd), dan kondisi struktur geologi (Ks). Besarnya faktor-faktor

tersebut seperti terlihat dalam Tabel 3.5, Tabel 3.6, dan Tabel 3.7.

Secara matematis persamaan burden terkoreksi dapat ditulis:

𝐵𝑐 = 𝐵 × 𝐾𝑟 × 𝐾𝑑 × 𝐾𝑠 (3.4)

Keterangan:

Bc = Burden terkoreksi (m)

Kr = Faktor koreksi terhadap jumlah baris lubang ledak

Kd = Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan

Ks = Faktor koreksi terhadap struktur geologi setempat

Tabel 3.4

Besaran Stiffness Ratio dan Pengaruhnya

Stiffness Fragmentasi Airblast Flyrock Vibration Keterangan


Ratio
Harus
1 Jelek Berpotensi Berpotensi Berpotensi
dirancang
ulang
Sebaiknya
2 Sedang Sedang Sedang Sedang
dirancang
ulang
3 Baik Baik Baik Baik Terkontrol

Tidak
ekonomis
4 Sempurna Sempurna Sempurna Sempurna
bila
stiffness
ratio > 4
Sumber: Konya, 1990
48

Tabel 3.5

Faktor Koreksi Terhadap Jumlah Row Lubang Ledak

Correction for Number of Row Kr


One or two rows of holes 1,00
Third and subsequent rows of buffer blast 0,90
Sumber: Konya, 1990

Tabel 3.6

Faktor Koreksi Terhadap Posisi Lapisan Batuan

Correction of Rock Deposition Kd


Bedding steeply dipping into cut 1,18
Bedding steeply into face 0,95
Other cases of deposition 1,00
Sumber: Konya, 1990

Tabel 3.7

Faktor Koreksi Terhadap Struktur Geologi

Correction for Rock Geologic Structure Ks


Heavy cracked, frequent with joint, weekly cemented layers 1,30
Thin well cemented layers with tight joint 1,10
Massive intact rock 0,95
Sumber: Konya, 1990

2. Spasi

Penentuan besarnya spasi didasarkan pada pola peledakan berdasarkan waktu

peledakannya dan berapa besar perbandingan antara tinggi jenjang dan burden.

Spasi menurut Konya didasarkan pada perbandingan burden dan tinggi jenjang,

bila tinggi jenjang berbanding burden (L/B < 4) maka digolongkan jenjang rendah

dan apabila perbandingannya (L/B > 4) maka digolongkan jenjang tinggi (Tabel

3.8).
49

Tabel 3.8

Persamaan dalam Menentukan Spasi

Pola Peledakan L/B < 4 L/B > 4


Instaneous S = (L + 2B) / 3 S = 2B
Delay S = (L + 7B) / 8 S = 1,4B
Sumber: Konya, 1990

3. Stemming

Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material

stemming optimum adalah sebagai berikut:

𝑆𝑍 = 0,00127 × 𝐷𝑒 (3.5)

Keterangan:

SZ = Ukuran material stemming optimum (m)

De = Diameter lubang ledak (inchi)

Secara teoritis, panjang stemming dapat dihitung dengan keadaan batuan

berlapis (Persamaan 3.6) dan batuan masif (Persamaan 3.7).

Persamaan yang digunakan untuk menghitung panjang stemming adalah

sebagai berikut:

𝑇 = 0,7 × 𝐵 (3.6)

atau

𝑇 =𝐵 (3.7)

4. Subdrilling

Subdrilling adalah tambahan kedalaman lubang ledak dari tinggi

jenjang yang diinginkan. Perhitungan subdrilling adalah sebagai berikut:

𝐽 = 0,3 × 𝐵 (3.8)
50

5. Kedalaman Lubang

Kedalaman lubang ledak dapat dicari dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut:

(𝐿+𝐽)
𝐻= (3.6)
𝑠𝑖𝑛𝛼

Keterangan:

H = Kedalaman lubang ledak (m)

L = Tinggi Jenjang

J = Subdrill (m)

α = Kemiringan lubang ledak (°)

6. Loading Density

Dalam menentukan jumlah bahan peledak yang digunakan dalam

setiap lubang ledak, maka terlebih dahulu ditentukan loading density.

Loading density adalah berat bahan peledak (lb) yang diisikan kedalam

lubang ledak berbentuk silinder persatuan tinggi (ft). Adapun persamaan

loading density sebagai berikut:

𝑑𝑒 = 0,508 × 𝑆𝐺𝑒 × 𝐷𝑒² (3.10)

Keterangan:

de = Loading density (kg/m)

De = Diameter lubang ledak (inchi)

SGe = Berat jenis bahan peledak yang dipakai


51

7. Powder Factor

Powder factor adalah suatu besaran yang menyatakan banyaknya

bahan peledak yang digunakan untuk meledakkan atau membongkar

sejumlah massa batuan. Kondisi batuan akan sangat berpengaruh

terhadap jumlah bahan peledak yang dipakai.

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 (𝑘𝑔)


𝑃𝐹 = (3.11)
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐵𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘𝑘𝑎𝑛 (𝑚2 )

atau

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 (𝑘𝑔)


𝑃𝐹 = (3.12)
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘𝑘𝑎𝑛 (𝑡𝑜𝑛)

Keterangan:

PF = Powder factor

Tabel 3.9

Powder Factor untuk Beberapa Jenis Batuan

Sumber: Bandhari, 1997


52

8. Waktu Tunda (Delay Time)

Waktu tunda digunakan untuk merencankan urutan peledakan.

Keuntungan peledakan dengan menggunakan waktu tunda antara lain

dapat mengurangi timbulnya getaran tanah (ground vibration) dan

menyediakan bidang bebas untuk row berikutnya. Bila waktu tunda antar

row terlalu singkat, maka beban muatan pada row di depannya akan

menghalangi pergeseran row berikutnya.

Material pada row kedua akan terbongkar ke arah vertikal dan

membentuk tumpukan. Tetapi apabila waktu tundanya terlalu lama, maka

hasil bongkaran akan terlempar jauh ke depan yang kemungkinan besar

mengakibatkan flyrock. Persamaan di bawah ini dapat digunakan untuk

menentukan besarnya waktu tunda antar baris, dimana konstanta waktu

antar baris dan hasil yang diberikan.

𝑡𝑟 = 𝑇𝑟 × 𝐵 (3.13)

Keterangan:

tr = Interval waktu antar baris (ms)

Tr = Konstanta waktu antar baris

B = Burden (m)

3.5 Mekanisme Pecahnya Batuan

Tahap pemberaian batuan oleh energi yang ditimbulkan oleh proses

peledakan terbagi menjadi tiga, yaitu:


53

1. Tahap Dynamic Loading

Ketika bahan peledak yang berada dalam lubang ledak meledak, maka

akan menimbulkan tekanan yang tinggi di sekitar lubang ledak. Gelombang

kejut yang dihasilkan dari peledakan tersebut akan merambat dengan

kecepatan 3000-5000 m/s sehingga akan mengakibatkan tegangan yang

memiliki arah tegak lurus dengan dinding lubang ledak.

Dari tegangan tersebut maka akan menimbulkan rekahan radial yang

merambat di sekitar lubang tembak. Rekah menjari pertama terjadi dalam

waktu 1 – 2 ms. Tekanan mengakibatkan batuan di sekitar lubang ledak

hancur, sehingga diameter membesar. Timbul rekahan menjari yang

menjalar dari lubang ledak.

2. Tahap Quasi-static Loading

Tekanan yang dihasilkan dari proses pemecahan tahap I akan

menimbulkan gelombang kejut dan akan bernilai positif. Saat gelombang

kejut tersebut mencapai bidang bebas maka akan dipantulkan kembali

sehingga tekanan akan turun dan bernilai negatif kemudian akan merambat

kembali ke dalam batuan.

3. Tahap Release of Loading

Hasil dari tekanan yang sangat tinggi dari gas hasil peledakan tersebut,

maka rekahan yang telah terbentuk pada tahap I dan II akan semakin cepat

melebar. Apabila suatu masaa batuan di depan lubang ledak gagal

mempertahankan posisinya bergerak ke depan maka tegangan tekan tinggi

yang berada di dalam batuan akan dilepas. Efek dari terlepasnya batuan
54

tersebut akan menimbulkan tegangan tarik tinggi sebagai kelanjutan dari

proses tingkat II.

Rekahan yang terbentuk akibat dari proses tingkat II akan menghasilkan

bidang-bidang lemah untuk memulai reaksi-reaksi fragmentasi utama pada

proses peledakan.

Apabila massa batuan di depan lubang ledak gagal dalam

mempertahankan posisi dan bergerak ke depan, maka tegangan tekan tinggi

yang berada di dalam batuan akan dilepas seperti spiral kawat yang ditekan

kemudian dilepaskan.

Ilustrasi mekanisme pecahnya batuan dapat dilihat pada Gambar 3.13.

Sumber: Esen et al, 2003

Gambar 3.13

Mekanisme Pecahnya Batuan


55

3.6 Fragmentasi

Fragmentasi merupakan batuan hasil peledakan yang dapat menjadi

parameter tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan peledakan. Peledakan yang tidak

optimal dapat menimbulkan fragmentasi yang besar dan tidak seragam sehingga

dalam penanganan lebih lanjut untuk pemuatan akan mengalami beberapa kendala.

Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengontrol ukuran fragmentasi

hasil peledakan, yaitu memastikan kecukupan jumlah energi yang dihasilkan bahan

peledak di dalam massa batuan dan pelepasan energi yang baik agar terjadi interaksi

yang tepat. Bahan peledak harus ditempatkan sesuai konfigurasi geometri yang

tepat sehingga energi yang dihasilkan optimum untuk menghasilkan fragmentasi

yang baik.

Konfigurasi geometri ini disebut pola peledakan. Jika waktu inisiasi tidak

tepat, maka dapat terjadi perbedaan pada tingkat hancuran batuan, energi getaran,

energi suara, flyrock, dan backbreak.

3.7 Perhitungan Fragmentasi Hasil Peledakan

Analisis ini kemudian menjadi penting karena menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara ukuran rata-rata fragmentasi dengan geometri peledakan yang

dirancang serta jumlah bahan peledak yang digunakan.

Kuznetsov (1973) merumuskan hasil penelitiannya ke dalam suatu

persamaan seperti yang terlihat di bawah ini:

𝑉 0.8 1
𝑋𝑚𝑒𝑎𝑛 = 𝐴 × ( ) × 𝑄6 (3.14)
𝑄
56

Faktor Batuan (RF) diperoleh dari pembobotan batuan berdasarkan nilai

Blastability Index (BI). Agar dapat digunakan untuk semua jenis bahan peledak,

Cunningham (1983) menyempurnakan persamaan Kuznetsov (1973) menjadi:

𝑉𝑜 0.8 𝐸 −0,63
𝑋 =𝐴 × ( ) × 𝑄0,1667 × ( ) (3.15)
𝑄𝑒 115

Keterangan:

A = Faktor batuan (rock factor)

V = Volume batuan per lubang ledak

Q = Massa bahan peledak

E = Relative Weight Strength bahan peledak

Akan tetapi persamaan ini memiliki kelemahan yaitu, tidak bisa

menggambarkan tentang jumlah dari fragmentasi kecil hingga bongkah yang

dihasilkan dari peledakan. Dengan kata lain, ukuran fragmentasi rata-rata yang

dihasilkan dari perhitungan dengan persamaan Kuznetsov (1973) dan Cunningham

(1983) hanya mampu menunjukkan ukuran rata-rata dari keseluruhan fragmentasi

hasil peledakan. Kelemahan lain dari persamaan ini adalah ukuran fragmentasi yang

dihasilkan diperoleh dengan merata-ratakan data dengan interval yang cukup besar

sehingga tingkat ketelitiannya berkurang.

Berdasarkan penjelasan tersebut, diambil kesimpulan bahwa yang

sebenarnya penting untuk diketahui adalah distribusi ukuran fragmentasi batuan

sehingga akan diperoleh gambaran menyeluruh mengenai ukuran fragmentasi yang

diinginkan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu persamaan untuk menaksir ukuran

fragmentasi batuan. Untuk menaksir ukuran fragmentasi batuan, menurut Rosin-


57

Rammler (1933) perlu digunakan suatu persamaan yang mempertimbangkan

parameter ukuran rata- rata fragmentasi dari Kuznetsov (1973) dan Cunningham

(1983), sebagai berikut:


𝑋
−( )
𝑅 =𝑒 𝑋𝑐 × 100% (3.16)

Keterangan:

R = Jumlah batuan yang tertahan pada ayakan, %

e = Ephsilon, 2,72

X = Ukuran ayakan, cm

Xc = Karakteristik ukuran batuan, cm

𝑋𝑚
𝑋𝑐 = 1 (3.17)
(0,693)𝑛

Keterangan:

n = Indeks keseragaman

Nilai n yang tinggi menunjukkan ukuran yang seragam, sedangkan nilai n

yang kecil menunjukkan ukuran yang tidak seragam. Kisaran nilai n yang ideal

untuk fragmentasi hasil peledakan adalah 0.75 – 1.5. Dengan mempertimbangkan

variabel di atas dan dikembangkan dengan persamaan Kuznetsov (1973), maka

terbentuklah suatu persamaan yang disebut Model Kuz-Ram (Cunningham, 1983),

sebagai berikut:

14𝐵 𝑊 𝐴−1 𝑃𝐶
𝑛 = (2,2 − ) × (1 − ) × (1 + )× ( ) (3.18)
𝐷𝑒 𝐵 2 𝐻

Keterangan:

B = Burden, m
58

De = Diameter lubang ledak, mm

W = Devisi pemboran

A = Rasio spasi dengan burden

PC = Isian bahan peledak, m

H = Tinggi jenjang, m

3.8 Faktor yang Mempengaruhi Fragmentasi Hasil Peledakan

Faktor yang berpengaruh dalam pemboran dan peledakan ada yang bersifat

tidak dapat dikendalikan karena prosesnya terjadi secara alami. Faktor-faktor

tersebut antara lain:

1. Specific Gravity Influence (SGI)

Specific Gravity Influence (SGI) adalah sifat batuan terkait berat

jenis dan prioritasnya. Batuan dengan bobot isi kecil pada umumnya lebih

mudah mengalami deformasi dan memerlukan energi peledakan yang

rendah untuk pemecahannya. Porositas menyatakan banyaknya jumlah pori

dalam batuan. Porositas batuan yang besar mengindikasikan banyaknya

ruang antar butir dalam batuan. Peningkatan porositas akan menghambat

penjalaran gelombang kejut yang secara dominan menghasilkan boulder.

2. Joint Plane Spacing (JPS)

Joint Plane Spacing adalah jarak antara dua bidang lemah yang

berurutan. Semakin jauh jarak antar bidang lemah (>2000mm), batuan dapat

dikatakan memiliki bidang perlapisan yang sangat tebal. Sedangkan bila

jarak antar bidang lemah kecil (<20mm), maka batuan dikatakan terdiri dari

laminasi tipis atau sedimentasi.


59

3. Joint Plane Orientation (JPO)

Dalam operasi peledakan, orientasi bidang lemah utama pada massa

batuan dapat mengakibatkan hal-hal berikut:

a. Untuk orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah

kedalam pit, blok batuan pada crest berpotensi mengakibatkan

ketidakmantapan lereng.

b. Orientasi bidang lemah utama dengan kemiringan mengarah ke

dalam massa batuan, operasi peledakan berpotensi meninggalkan toe

yang tidak hancur serta batuan menggantung sehingga dapat

membahayakan keselamatan pekerja dan alat.

c. Kedudukan bidang lemah utama yang sejajar dengan bidang bebas

atau tegak lurus arah peledakan akan menghasilkan lereng yang

mantap setelah peledakan dana rah lemparan dapat terkontrol.

d. Dan untuk orientasi bidang lemah utama yang membentuk sudut

terhadap bidang bebas, hasil pembongkaran akan mengakibatkan

muka jenjang berbentuk blok dan hancuran yang berlebih.

Semua faktor tersebut dijadikan sebagai data pembobotan massa batuan

untuk peledakan agar didapatkan nilai faktor batuan berdasarkan indeks

kemampuledakkan atau blastability index (BI). Nilai BI dapat ditentukan dari

penjumlahan pembobotan lima variabel yang diberikan oleh Lily (dalam Hustrulid,

1999: 107-108) yaitu: Rock mass Description (RMD), Joint Plane Spacing (JPS),

Joint Plane Orientation (JPO), Specific Gravity Influence (SGI), Mohs’s Hardness
60

(H). Penjelasan hal tersebut seperti terlihat pada Tabel 3.10. Hubungan antara

kelima parameter tersebut dijadikan persamaan sebagai berikut:

BI = 0,5 x (RMD+JPS+JPO+SGI+H) (3.19)

Persamaan yang memggambarkan hubungan antara faktor batuan dan BI

menurut Lily (1986) adalah sebagai berikut:

RF = 0,12 x BI (3.20)

Tabel 3.10

Pembobotan Massa Batuan untuk Peledakan

Parameter Pembobotan
1. Rock Mass Description (RMD)
Powdery / friable 10
Blocky 20
Totally Massive 30
2. Joint Plane Spacing (JPS)
Close (Spasi > 0,1 m) 10
Intermediate (Spasi 0,1-1 m) 20
Wide (Spasi > 1 m) 50
3. Joint Plane Orientation (JPO)
Horizontal 10
Dip out of Face 20
Strike Normal to Face 30
Dip into Face 40
4. Specific Gravity Influence (SGI) SGI = 25 x SG – 50
5. Hardness (H) dalam Skala Mohs 1 - 10
Sumber: Lily, 1986

3.9 Backbreak

Backbreak adalah keadaan dimana terjadinya retakan yang terbentuk di

belakang row terakhir pada suatu blok peledakan. Jika di belakang blok peledakan

berbatasan langsung dengan lereng, maka akan terbenteuk retakan vertikal

sepanjang lereng tersebut. Jika blok peledakan tidak berbatasan langsung dengan

lereng, maka akan terbentuk retakan berlebih di lantai jenjang. Backbreak yang
61

terbentuk di lantai jenjang, akan menyebabkan jenjang pasca peledakan menjadi

tidak rata.

Kasus timbulnya backbreak pada jenjang pasca peledakan bisa diakibatkan

oleh dua faktor, yaitu: burden yang tidak tepat (Gambar 3.14) dan stiffness ratio

yang tidak sesuai (Gambar 3.15).

Sumber: C.J. Konya, 1990

Gambar 3.14

Backbreak Dikarenakan Burden yang Tidak Tepat

Sumber: C.J. Konya, 1990

Gambar 3.15

Backbreak Dikarenakan Stiffness Ratio yang Tidak Sesuai

Anda mungkin juga menyukai