BAB II
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK FORMASI DAN RESERVOAR
Gambar 2.1.
Unsur Formasi di bawah pahat
(Carl Gatlin, 1968)
2.1.2. Hardness
Hardness adalah ketahanan mineral terhadap goresan.
Kekerasan(hardness) relatif dari suatu mineral tertentu dengan urutan mineral
yang dipakai sebagai standar kekerasan. Mineral yang mempunyai kekerasan yang
lebih kecil akan mempunyai bekas goresan pada tubuh tersebut. Untuk
menentukan ketahanan ini digunakan skala kekerasan Mohs yang memiliki 10
pembagian skala, dimulai dari skala 1 untuk mineral yang terlunak dan skala 10
untuk mineral terkeras. Berikut ini urutan skala kekerasan Mohs (Tabel II-I)
Tabel II-I
Skala Mohs
Skala Nama Mineral Rumus Kimia
MOHS
1 Talk H2Mg3(SiO)4
2 Gypsum CaSO42H2O
3 Calsite CaCO3
4 Fluorite CaF2
5 Apatite CaF2Ca3(PO4)2
6 Orthoklase KalSi3O8
7 Quartz SiO2
8 Topaz Al2SiO3O8
9 Corundum Al2O3
10 Diamond C
α=
(πr )× R
2
................................................................................(2-1b)
W × 2πr × N
dimana :
α = rock drillability, in3/lb-in
V = volume batuan yang dihasilkan, in3
E = energi mekanik yang dibutuhkan, lb-in
W = weight on bit, lbf
r = jari-jari pahat, in
R = laju pemboran, ft/hr
N = kecepatan putar, rpm
Batuan dapat dikatakan mempunyai drillabilitas yang besar apabila untuk
setiap volume batuan yang dibor oleh gerusan pahat membutuhkan energi yang
sedikit.
2.1.4. Abrasiveness
Abrasiveness merupakan sifat menggores dan mengikis dari batuan. Sifat
ini dapat menimbulkan keausan pada gigi mata bor yang menyebabkan terjadinya
pengecilan diameter bit. Abrasiveness memberikan pengaruh negatif terhadap laju
pemboran karena sifat ini mempengaruhi umur bit. Semakin abrasive suatu batuan
maka semakin pendek umur bit-nya. Setiap batuan mempunyai sifat abrasiveness
yang berbeda-beda, dimana pada batuan sedimen, batupasir lebih abrasive
daripada batushale dan batugamping(limestone) lebih abrasive daripada batu pasir
7
ataupun shale. Ukuran dan bentuk dari partikel batuan menyebabkan berbagai tipe
keausan, seperti juga torsi dan daya tekan pada pahat.
Abrasiveness dinyatakan dengan :
Tr × i
Af = ........................................................................................(2-2)
m ×U
dengan :
m = 1359.1 − 714.19 log Wek ................................................................(2-3)
W
Wek = 7.875 × .................................................................................(2-4)
H
dimana :
Af = Abrasiveness formasi
Wek = Weight On Bit Equivalent, lb
i = fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju kerusakan
gigi pahat
Tr = waktu pemboran
U = konstanta kerusakan pahat
m = fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju kerusakan
gigi pahat
2.1.5. Elastisitas
Elastisitas batuan didefinisikan sebagai kekenyalan batuan setelah batuan
tersebut menderita suatu tekanan tertentu. Apabila suatu batuan diberikan gaya
tekan tertentu, maka batuan tersebut akan mengalami kompaksi atau istilah
lainnya pengerutan. Bila pengaruh tekanan dihilangkan dan ternyata batuan dapat
kembali seperti keadaan semula maka batuan tersebut memiliki sifat elastis.
Elastisitas batuan formasi sangat dipengaruhi oleh tekanan dimana batuan
tersebut berada. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku dari batuserpih(shale) yang
disebabkan batuserpih akan sulit dibor jika kedalaman bertambah.
8
Gambar 2.2.
Laju Pemboran vs Tekanan Pada Berbagai Beban Pada Pahat
(Carl Gatlin, 1968)
9
Gambar 2.3.
Laju Pemboran vs Tekanan Pada Berbagai Tipe Batuan
(Carl Gatlin, 1968)
menurun, hal ini disebabkan karena semakin besar tekanan formasi maka
compressive strength batuan akan meningkat. Hal yang sama juga ditunjukkan
pada formasi Ellenberger Dolomite.
Payne dan Chippendale telah melakukan percobaan terhadap hubungan
sifat elastis suatu batuan dengan tekanan dengan cara menumbuk batuan pada
kondisi atmosfer dan pada kondisi tekanan tinggi. Pada tes dalam kondisi
atmosfer, pecahan lebih mudah terbentuk dan akan terpisah-pisah seperti
remahan-remahan. Pecahan yang terbentuk mudah untuk dibersihkan. Pada tes di
bawah tekanan 5,000 psi, batuan akan lebih plastis sehingga pecahan yang
terbentuk akan lebih sukar untuk dibersihkan. Batupasir(sandstone) lebih rapuh
pada tekanan rendah dan plastis pada tekanan tinggi. Tetapi tidak semua batuan
memiliki perilaku demikian. Quartzite, granite dan dolomite memiliki tipe yang
akan mengalami kehancuran pada tekanan tinggi.
Adanya lumpur di atas formasi dengan tekanannya, mempersulit pemboran
karena adanya tekanan ini, maka strength batuan akan bertambah. Tidak ada
batuan yang elastis keseluruhan, beberapa batuan menjadi hampir elastis
bergantung dari tekanan-tekanan yang bekerja pada batuan tersebut. Elastisitas
batuan menurut Onyia, dijabarkan sebagai :
9 K ρV s
E= ....................................................................................(2-5)
3 K + ρV s
4
K = ρVc2 − Vs2 .................................................................................(2-6)
3
G = ρVs2 .............................................................................................(2-7)
V 2 −2
c2
1 V
v = s −1 .................................................................................(2-8)
2 V 2
c
V 2
s
dimana :
E = modulus young
K = bulk modulus
G = rigdity modulus
11
2.2.1.1.1. Batupasir
Menurut Pettijohn, batupasir dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
Orthoquartzites, Graywacke, dan Arkose. Pembagian tersebut didasarkan pada
jumlah kandungan mineralnya.
a. Orthoquartzites
Orthoquartzites merupakan jenis batuan sedimen yang terbentuk dari
proses yang menghasilkan unsur silica yang tinggi, dengan tidak mengalami
metaformosa (perubahan bentuk) dan pemadatan, terutama terdiri atas mineral
kwarsa (quartz) dan mineral lainnya yang stabil. Material pengikatnya (semen)
terutama terdiri atas carbonate dan silica. Orthoquartzites merupakan jenis batuan
sedimen yang relatip bersih yaitu bebas dari kandungan shale dan clay.
(Tabel II-2) menunjukkan komposisi kimia orthoquartzites.
Tabel II-2.
Komposisi Kimia Batupasir Orthoquartzites
(Pettijhon,F.J., 1957)
14
b. Graywacke
Graywacke merupakan jenis batupasir yang tersusun dari unsur-unsur
mineral yang berbutir besar, terutama kwarsa dan feldspar serta fragmen-fragmen
batuan. Material pengikatnya adalah clay dan carbonate. Secara lengkap mineral-
mineral penyusun graywacke terlihat pada (Tabel II-3).
Tabel II-3.
Komposisi Mineral Graywacke
(Pettijhon, F.J, 1957)
Komposisi graywacke tersusun dari unsur silica dengan kadar lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata batupasir, dan kebanyakan silica yang ada
bercampur dengan silikat (silicate). Secara terperinci komposisi kimia graywacke
dapat dilihat pada (Tabel II-4).
Tabel II-4.
Komposisi Kimia Graywacke
(Pettijhon,F.J, 1957)
15
c. Arkose
Arkose merupakan jenis batupasir yang biasanya tersusun dari quartz
sebagai mineral yang dominan, meskipun seringkali mineral arkose feldspar
jumlahnya lebih banyak dari quartz. Sedangkan unsur-unsur lainnya, secara
berurutan sesuai prosentasenya ditunjukkan pada (Tabel II-5). Komposisi kimia
arkose ditunjukkan pada (Tabel II-6), dimana terlihat bahwa arkose mengandung
lebih sedikit silica jika dibandingkan dengan orthoquartzites, tetapi kaya akan
alumina, lime, potash, dan soda.
Tabel II-5.
Komposisi Mineral dari Arkose (%)
(Pettijhon, F.J, 1957)
16
Tabel II-6.
Komposisi Kimia dari Arkose (%)
(Pettijhon, F.J, 1957)
Tabel II-7.
Komposisi Kimia Limestone
(Pettijhon, F.J, 1957)
Tabel II-8.
K omposisi Kimia Dolomite
(Pettijhon, F.J, 1957)
Tabel II-9.
Komposisi Kimia Shale
(Pettijhon, F.J, 1957)
akan banyak berhubungan dengan sifat-sifat fisik batuan sedimen, terutama yang
porous dan permeable.
2.2.1.2.1. Porositas
Porositas (φ) didefinisikan sebagai fraksi atau persen dari volume ruang
pori-pori terhadap volume batuan total (bulk volume). Besar-kecilnya porositas
suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara
matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :
Vb − Vs V p
φ= = ………………………..........………………………...(2-9)
Vb Vb
dimana :
Vb = volume batuan total (bulk volume)
Vs = volume padatan batuan total (volume grain)
Vp = volume ruang pori-pori batuan.
2.2.1.2.2. Permeabilitas
Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang menunjukkan
kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan
merupakan fungsi dari tingkat hubungan ruang antar pori-pori dalam batuan
Definisi kwantitatif permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh
Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai
berikut :
k dP
V=− ⋅ ……………………………...…………………….………(2-12)
µ dL
dimana :
21
akan sama dengan harga permeabilitas batuan yang tidak tergantung dari cairan,
perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang digunakan. Dengan mengatur laju Q
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aliran turbulen, maka diperoleh harga
permeabilitas absolut batuan. Ditunjukkan pada (Gambar 2.4).
Gambar 2.4.
Diagram Percobaan Pengukuran Permeabilitas
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
Q.µ. L
K= …………………......………………………………….(2-13)
A.( P1 − P2 )
Satuan permeabilitas dalam percobaan ini adalah :
Q (cm 3 / sec). µ (centipoise) L (cm)
K (darcy) = ………….....………..(2-14)
A (sqcm). ( P1 − P2 ) (atm)
Dari Persamaan 2-13 dapat dikembangkan untuk berbagai kondisi aliran
yaitu aliran linier dan radial, masing-masing untuk fluida yang compressible dan
incompressible.
Pada prakteknya di reservoir, jarang sekali terjadi aliran satu fasa,
kemungkinan terdiri dari dua fasa atau tiga fasa. Untuk itu dikembangkan pula
konsep mengenai permeabilitas efektif dan permeabilitas relatif. Harga
permeabilitas efektif dinyatakan sebagai Ko, Kg, Kw, dimana masing-masing untuk
minyak, gas, dan air. Sedangkan permeabilitas relatif dinyatakan sebagai berikut :
Ko Kg Kw
K ro = , Krg = , K rw =
K K K
23
Gambar 2.5.
Kurva Permeabilitas Efektif untuk Sistem Minyak dan Air
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
2.2.1.2.3. Wettabilitas
Apabila dua fluida bersinggungan dengan benda padat, maka salah satu
fluida akan bersifat membasahi permukaan benda padat tersebut, hal ini
disebabkan adanya gaya adhesi. Dalam sistem minyak-air benda padat (Gambar
2.6), gaya adhesi AT yang menimbulkan sifat air membasahi benda padat adalah :
AT = σso - σsw = σwo. cos θwo ………………….......…………………....(2-17)
dimana :
σso = tegangan permukaan minyak-benda padat, dyne/cm
σsw = tegangan permukaan air-benda padat, dyne/cm
σwo = tegangan permukaan minyak-air, dyne/cm
θwo = sudut kontak minyak-air.
Gambar 2.6.
Kesetimbangan Gaya-gaya pada Batas Air-Minyak-Padatan
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
.
26
Gambar 2.7.
Distribusi Ideal Fasa Fluida “Wetting“ dan “Non Wetting”
untuk Kontak antar Butir – butir Batuan yang Bulat
a) Distribusi “Pendulair Ring”
b) Distribusi “Funiculair Ring”
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
dimana :
Pc = tekanan kapiler
σ = tegangan permukaan antara dua fluida
cos θ = sudut kontak permukaan antara dua fluida
r = jari-jari lengkung pori-pori
∆ρ = perbedaan densitas dua fluida
g = percepatan gravitasi
h = tinggi kolom
Dalam Persamaan 2-19 dapat dilihat bahwa tekanan kapiler berhubungan
dengan ketinggian di atas permukaan air bebas (oil-water contact), sehingga data
tekanan kapiler dapat dinyatakan menjadi plot antara h versus saturasi air (Sw),
seperti pada (Gambar 2.8).
Perubahan ukuran pori-pori dan densitas fluida akan mempengaruhi
bentuk kurva tekanan kapiler dan ketebalan zona transisi.
Dari Persamaan 2-19 ditunjukkan bahwa h akan bertambah jika
perbedaan densitas fluida berkurang, sementara faktor lainnya tetap. Hal ini
berarti bahwa reservoir gas yang terdapat kontak gas-air, perbedaan densitas
fluidanya bertambah besar sehingga akan mempunyai zona transisi minimum.
Demikian juga untuk reservoir minyak yang mempunyai API gravity rendah maka
kontak minyak-air akan mempunyai zona transisi yang panjang.
Ukuran pori-pori batuan reservoir sering dihubungkan dengan besaran
permeabilitas yang besar akan mempunyai tekanan kapiler yang rendah dan
ketebalan zona transisinya lebih tipis dari pada reservoir dengan permeabilitas
yang rendah.
28
Gambar 2.8.
Kurva Tekanan Kapiler
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
Sg + So + Sw = 1 ……………………………….......…………………….(2-23)
Jika diisi oleh minyak dan air saja maka :
So + Sw = 1 ……………………………………….......………………….(2-24)
Gambar 2.9.
Variasi Pc terhadap Sw
a) Untuk Sistem batuan yang Sama dengan
Fluida yang berbeda.
b) Untuk Sistem Fluida yang Sama dengan
Batuan yang Berbeda.
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
2.2.1.2.6. Kompresibilitas
Menurut Geerstma (1957) terdapat tiga konsep kompressibilitas batuan,
antara lain :
• Kompressibilitas matriks batuan, yaitu fraksi perubahan volume material
padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan.
• Kompressibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk batuan
terhadap satuan perubahan tekanan.
• Kompressibilitas pori-pori batuan, yaitu fraksi perubahan volume pori-pori
batuan terhadap satuan perubahan tekanan.
Diantara konsep diatas, kompressibilitas pori – pori batuan dianggap yang paling
penting dalam teknik reservoir khususnya.
Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan mengalami dua
macam tekanan, antara lain :
1. Tekanan hidrostatik fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan
2. Tekanan-luar (external stress) yang disebabkan oleh berat batuan yang ada
diatasnya (overburden pressure).
Pengosongan fluida dari ruang pori-pori batuan reservoir akan
mengakibatkan perubahan tekanan-dalam dari batuan, sehingga resultan tekanan
pada batuan akan mengalami perubahan pula. Adanya perubahan tekanan ini akan
mengakibatkan perubahan pada butir-butir batuan, pori-pori dan volume total
(bulk) batuan reservoir.Untuk padatan (grains) akan mengalami perubahan yang
serupa apabila mendapat tekanan hidrostatik fluida yang dikandungnya.
31
dimana :
Vr = volume padatan batuan (grains)
Vp = volume pori-pori batuan
P = tekanan hidrostatik fluida di dalam batuan
*
P = tekanan luar (tekanan overburden).
Tabel II-10.
Alkana (CnH2n+2)
(Mc. Cain, 1973)
5 Pentane
6 Hexane
7 Heptane
8 Octane
9 Nonane
10 Decane
20 Eicosane
30 Triacontane
Tabel II-11.
Sifat – sifat Fisik n-Alkana
(Mc. Cain, 1973)
Boiling Point Melting Point Specific Gravity
No. Name o o
F F 60o/60 oF
1 Methane -258.7 -296.6
2 Ethane -127.5 -297.9
3 Propane -43.7 -305.8 0.508
4 Butane 31.1 -217.0 0.584
34
yang telah dijelaskan diatas hanya mempunyai satu ikatan rangkap yang lebih
dikenal dengan deretan olefin, tetapi ada juga diantara senyawa-senyawa
hidrokarbon yang mengandung dua atau lebih ikatan ganda (double bond), seperti
alkadiena, alkatriena, serta alkatetraena.
Tabel II-12.
Sifat-sifat Fisik Alkena
(Mc. Cain, 1973)
Selain ikatan ganda, senyawa hidrokarbon tak jenuh ada juga yang
mempunyai ikatan rangkap tiga (triple bond) yang dikenal sebagai deretan
asetilen. Rumus umum deretan asetilen adalah CnH2n-2, dimana dalam tiap
molekul terdapat ikatan rangkap tiga yang mengikat dua atom karbon yang
berdekatan. Pemberian nama untuk deret ini sama dengan untuk deret alkena
dengan memberi akhiran “una” (Inggris : “yne”).
Sifat-sifat fisik deret asetilen ini hampir sama dengan alkana dan alkena,
sedang sifat-sifat kimianya hampir sama dengan alkena, dimana keduanya lebih
reaktip dari alkana.
Tabel II-13.
Sifat-sifat Fisik Hidrokarbon Naftena Aromat yang Polisiklis
(Mc. Cain, 1973)
2.2.2.1.1.4.Golongan Aromatik
Pada deret ini hanya terdiri dari benzena dan senyawa-senyawa
hidrokarbon lainnya yang mengandung benzena. Rumus umum dari golongan ini
adalah CnH2n-6, dimana cincin benzena merupakan bentuk segi enam dengan tiga
ikatan tunggal dan tiga ikatan rangkap dua secara berselang-seling.
Adanya tiga ikatan rangkap pada cincin benzena seolah-olah memberi
petunjuk bahwa golongan ini sangat reaktif. Tetapi pada kenyataannya tidaklah
demikian, walaupun golongan ini tidak sestabil golongan parafin. Jadi deretan
benzena tidak menunjukkan sifat reaktip yang tinggi seperti olefin. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sifat benzena ini pertengahan antara golongan
parafin dan olefin. Ikatan-ikatan dari deret hidrokarbon aromatik terdapat dalam
minyak mentah yang merupakan sumber utamanya.
Pada suatu suhu dan tekanan standard, hidrokarbon aromatik ini dapat
berada dalam bentuk cairan atau padatan. Benzena merupakan zat cair yang tidak
berwarna dan mendidih pada temperatur 176 oF. Nama hidrokarbon aromatik
diberikan karena anggota deret ini banyak yang memberikan bau harum.
Tabel II-14.
Komposisi Kimia Air Formasi
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
Connate Water
From well # 23 Sea Water
Composition Ion Stover Faria, Parts per million
McKean Country, Pa.
Parts per million
Ca++ 13,260 420
Mg++ 1,940 1,300
Na+ 31,950 10,710
39
K+ 650 ………….
SO4- 730 2,700
Cl 77,340 19,410
Br- 320 ………….
I- 10 ………….
A. Kation-kation
Kation-kation yang terkandung dalam air formasi dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Alkali : K+, Na+ dan Li+ yang membentuk basa kuat.
2. Metal Alkali tanah : Br++, Mg++, Ca++, Sr++, Ba++ dan Ra yang membentuk
basa lemah.
3. Ion Hidrogen
4. Metal berat : Fe++, Mn++ membentuk basa berdissosiasi
Perkembangan dalam analisa kimia dewasa ini telah memungkinkan
untuk menganalisa secara kuantitatif semua kation tersebut di atas. Semua
analiasa hanya dilakukan terhadap sodium dan hal ini jarang secara langsung
tetapi dihitung berdasarkan perbedaan antara harga reaksi dari kation dan
anion tertentu. Umumnya analisa tersebut hanya dilaporkan sebagai calcium,
magnesium dan sodium dimana potassium dan kation lainnya dimasukkan
kedalam harga sodium.
B. Anion-anion
Anion-anion yang terkandung dalam air formasi adalah sebagai berikut :
40
Tabel II-15
Hasil Analisa Air Formasi dalam ppm
(Mc Cain,William D. Jr., 1973)
41
Tabel II-16
Hasil analisa jumlah kandungan ion penyusun air formasi dalam meq/liter
(Mc Cain, William D. Jr., 1973)
dimana :
µ = viskositas, gr/(cm.sec)
F = shear stress
A = luas bidang paralel terhadap aliran, cm2
dv
dy = gradient kecepatan, cm/(sec.cm).
Viskositas minyak dipengaruhi oleh P, T, dan Rs. Hubungan antara
viskositas minyak (µo) terhadap P dan T dapat dilihat pada (Gambar 2.10).
Gambar 2.10.
Pengaruh Viscositas Minyak terhadap berbagai Tekanan
(Mc. Cain, 1973)
43
Gambar 2.11.
Grafik Penentuan Gravity Gas bila diketahui Rs dan 0API
(Burcik, E.J, 1997)
2. Densitas Minyak
Densitas adalah perbandingan berat masa suatu substansi dengan unit dari
volume tersebut. Cara penentuan diantaranya dengan mencari hubungan antara
densitas minyak dengan pengaruh GOR (dikembangkan oleh Katz). Dengan cara
ini ketelitian berbeda 3 % dari hasil percobaan.
Spesific gravity gas yang terlarut dalam minyak ini dapat dicari
hubungan Rs (Gambar 2.11).
44
Bila harga kelarutan gas dan komposisi gas diketahui, maka untuk
menghitung ρ0 dapat digunakan korelasi Standing, yaitu mengoreksi adanya CH4
C2H6 yang masih berupa gas (Gambar 2.12).
Gambar 2.12.
Koreksi Gravity Gas Terhadap CH4 dan C2H6 yang Masih Berupa Gas
(Burcik, E.J, 1997)
3. Faktor Volume Formasi Minyak
Faktor volume formasi minyak adalah perbandingan relatip antara
volume minyak awal (kondisi reservoir) terhadap volume minyak akhir (kondisi
tangki pengumpul), bila dibawa ke keadaan standart.
Standing melakukan perhitungan Bo secara empiris :
Bo = 0.972 + 0.000147.F1.175 …………………......……………………(2-31)
γg
F = R s . + 125
. T ………………………………......………………..(2-32)
γo
dimana :
45
Gambar 2.13.
Bo Sebagai Fungsi Tekanan
(Burcik, E.J, 1997)
4. Kompressibilitas Minyak
Kompressibilitas minyak didefinisikan sebagai perubahan volume
minyak akibat adanya perubahan tekanan, secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
Co = − V1 ( dVdP ) ………....................…………………………………(2-33)
Persamaan 2-33 dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih mudah
dipahami, sesuai dengan aplikasi di lapangan, yaitu :
46
B ob − Boi
Co = ……………………......…………………………….(2-34)
B oi ( Pi − Pb )
dimana :
Bob = faktor volume formasi pada tekanan bubble point
Boi = faktor volume formasi pada tekanan reservoir
Pi = tekanan reservoir, psi
Pb = tekanan bubble point, psi
Gambar 2.14.
Rs Sebagai Fungsi Tekanan
(Burcik, E.J, 1997)
Gambar 2.15.
Viscositas Gas pada Tekanan Atmosphire
(Mc. Cain, 1973)
2. Densitas Gas
Densitas didefinisikan sebagai massa tiap satuan volume dan dalam hal
ini massa dapat diganti oleh berat gas, m. Sesuai dengan persamaan gas ideal,
maka rumus densitas untuk gas ideal adalah :
m PM
ρg = = ………………………….......…………………………...(2-35)
V RT
dimana :
m = berat gas, lb
V = volume gas, cuft
M = berat molekul gas, lb/lb mole
P = tekanan reservoir, psia
T = temperatur, oR
R = konstanta gas = 10.73 psia cuft/lbmole oR
49
4. Kompressibilitas Gas
Kompressibilitas gas didefinisikan sebagai fraksi perubahan volume per
unit perubahan tekanan, atau dapat dinyatakan dengan persamaan :
Cg = − V1 ( dV
dP ) .………………......………………………………….…(2-39)
5. Faktor Deviasi
50
Dengan diketahuinya harga Ppc dan Tpc, maka harga Pr dan Tr dapat
dihitung. Untuk menentukan harga z (deviation faktor), Katz dan Standing telah
membuat korelasi berupa grafik :
z = f(Pr,Tr) dapat dilihat pada (Gambar 2.16)
51
Gambar 2.16.
Koreksi Harga z (deviation faktor) Katz dan Standing
(Mc. Cain, 1973)
Gambar 2.17.
Viscositas Air Formasi Sebagai Fungsi Temperatur
(Mc. Cain, 1973)
Gambar 2.18.
Tipe Faktor Volume Formasi Air Formasi Sebagai Fungsi Tekanan
(Mc. Cain, 1973)
54
Gambar 2.19.
∆ Vwt Sebagai fungsi Suhu Reservoir
(Mc. Cain, 1973)
Gambar 2.20.
∆Vwp Sebagai Fungsi Tekanan Reservoir
(Mc. Cain, 1973)
Faktor volume formasi air formasi meningkat, hal ini disebabkan oleh
pengembangan air formasi pada tekanan dibawah tekanan jenuh, gas keluar dari
larutan tetapi karena rendahnya kelarutan gas dalam air formasi, maka penyusutan
fasa cair relatip kecil. Dan biasanya penyusutan ini tidak cukup untuk
mengimbangi pengembangan air formasi pada penurunan tekanan, sehingga faktor
volume formasi air-formasi terus meningkat dibawah tekanan jenuh.
55
dimana :
Cwp = kompressibilitas air murni, psi-1.
V = volume air murni, bbl
∆V = perubahan volume air murni, bbl
∆P = perubahan tekanan, psi.
Gambar 2.21.
Kompresibilitas Air Formasi Sebagai Fungsi Tekanan dan Temperatur
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
Gambar 2.22.
Faktor Koreksi Terhadap Gas yang Terlarut
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
dan kelarutan gas dalam air formasi akan berkurang dengan bertambahnya kadar
garam (Gambar 2.23). Dengan demikian kelarutan gas dalam air formasi juga
dipengaruhi oleh kegaraman air formasi, maka harga kelarutan gas dalam air
formasi perlu dikoreksi, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 2.24).
Gambar 2.23.
Kelarutan Gas dalam Air Formasi Sebagai
Fungsi Temperatur dan Tekanan
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
58
Gambar 2.24.
Koreksi terhadap Kegaraman untuk Kelarutan Gas
dalam Air Formasi
(Craft, B.C., Hawkins M.F., 1959)
2.2.3.1.Tekanan Reservoar
Derajat tekanan yang terjadi di pori-pori batuan serta fluida yang
dikandung di dalamnya disebut tekanan formasi atau tekanan reservoar. Dengan
adanya tekanan formasi yang disebabkan oleh adanya gradien kedalaman tersebut,
maka akan menyebabkan terjadinya aliran fluida di dalam formasi ke dalam
lubang sumur yang mempunyai tekanan relatif lebih rendah.
Tekanan reservoir dapat terjadi oleh salah satu atau ketiga sebab-sebab
berikut:
− Tekanan hidrostatik, yang disebabkan oleh fluida (terutama air) yang mengisi
pori-pori batuan diatasnya.
− Tekanan kapiler, yang disebabkan oleh adanya gaya yang dipengaruhi
tegangan permukaan antara fluida yang bersinggungan, besarnya volume dan
bentuk pori serta sifat kebasahan dari batuan reservoir.
− Tekanan overburden, yang disebabkan oleh berat batuan di atasnya serta
kandungan fluidanya.
1. Tekanan Hidrostatik
Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang disebabkan oleh berat kesatuan
dan tinggi vertikal kolom fluida. Ukuran dan bentuk kolom fluida ini tidak
59
berpengaruh pada besarnya tekanan ini. Tekanan hidrostatik (Phy) sama dengan
jumlah dari densitas fluida rata-rata dan tinggi vertikalnya, maka:
P = ρ . g . D………………………………………………………....(2-43)
Dimana:
P = tekanan
ρ = densitas rata-rata
g = nilai gravitasi
D = tinggi kolom
Dalam operasi pemboran dapat ditulis sebagai:
Phy (psi) = C.MW.D………………………………………………....(2-44)
Dimana:
D = tinggi vertikal kolom fluida dalam feet
MW = densitas fluida atau berat lumpur dalam lb/gal atau lb/ft3
C = konstanta = 0.052 jika MW dalam lb/gal, dan
C = 0.00695 jika MW dalam lb/ft3
Dalam sistem metric,
Phy = 0.093.MW.D………………………………………………..…(2-45)
Dimana :
D = tinggi kolom fluida dalam meter dan
MW = berat lumpur dalam kg/dm3
Gradient tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh padatan-padatan yang
terpisah (seperti garam) dan gas-gas dalam kolom fluida dan perbedaan gradient
temperature. Dengan kata lain, bertambahnya padatan-padatan yang terpisah
(seperti kadar garam yang tinggi) cenderung menambah gradient tekanan normal.
Oleh karena itu banyaknya gas dalam sistem dan temperatur yang tinggi akan
mempengaruhi gradient tekanan hidrostatik normal.
Sebagai contoh gradient tekanan 0,465 psi/ft (0,1074 kg cm-2 m-1)
diasumsikan sebagi salinitas air dari 80.000 ppm (part per million) NaCl pada
temperatur 77°F(25°C).
Umumnya gradient hidrostatik rata-rata yang dijumpai selama operasi
pemboran minyak dan gas ditunjukkan pada tabel II-17.
60
Tabel II-17
Tipe gradien hidrostatik rata-rata
(Walter H. Felter., 1976)
2. Tekanan Kapiler
Tekanan kapiler disebabkan oleh adanya gaya yang dipengaruhi
tegangan permukaan antara fluida yang bersinggungan, besarnya volume dan
bentuk pori serta sifat kebasahan dari batuan reservoar. Besarnya tekanan kapiler
berbeda-beda pada setiap kondisi. Distribusi tekanan kapiler pada reservoar
minyak dapat dilihat pada gambar (2.25).
Untuk menghitung besarnya tekanan kapiler dapat digunakan persamaan :
h
Pc = (ρ w − ρ o ) ..........................................................................(2-47)
144
dimana :
h = ketinggian dari bidang antara minyak dan air dimana tekanan kapiler
sama dengan nol (pada oil water contact), ft.
ρw = densitas air, lb/cuft
ρo = dengan minyak, lb/cuft
61
Gambar 2.25.
Grafik Tekanan Kapiler untuk sistem air-minyak vs saturasi
(Amyx, J. W., Bass, D. M., Whiting, R. L., 1960)
3. Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah tekanan yang diderita oleh formasi akibat
berat batuan yang berada di atas formasi atau reservoar tersebut dan kandungan
fluida yang terdapat di dalam pori-pori di atas formasi atau reservoar. Secara
matematis, tekanan overburden (Po) dapat ditulis sebagai berikut :
Gmb − G fl
Po = atau
area(daerah)
[ ]
Po = D (1 − φ )ρ ma + φρ fl ....................................................................(2-48)
dimana :
D = kedalaman vertikal lapisan atau formasi, ft
φ = porositas batuan formasi, fraksi
Gmb = berat matrix batuan formasi, lb
Gfl = berat fluida yang dikandung di dalam batuan formasi, lb
ρfl = densitas fluida, lb/cuft
ρma = densitas matrix batuan, lb/cuft
Besarnya pertambahan tekanan overburden biasanya dianggap meningkat secara
merata sebanding dengan bertambahnya kedalaman. Besar gradient tekanan
adalah 1,0 psi/ft per kedalaman (0,231 kg cm-2 m--1).
62
Gambar 2.26.
Gabungan beban overburden untuk formasi-formasi kompak
(Walter H. Felter., 1976)
Tekanan formasi sendiri dibagi menjadi tiga berdasarkan besarnya tekanan yang
ada, yaitu :
2.2.3.1.1. Tekanan Normal
Tekanan normal adalah tekanan dimana gradien tekanan formasi sebesar
antara 0.433 psi/ft (air murni) sampai dengan 0.465 psi/ft (gradien hidrostatik).
Setiap tekanan formasi di atas atau di bawah gradien tekanan tersebut disebut
dengan tekanan abnormal atau tekanan subnormal.
63
Gambar 2.27.
Konsep-konsep Tekanan Bawah Permukaan
(Walter H. Felter., 1976)
c. Potentiometric surface
Mekanisme ini menunjukan relief struktur suatu formasi yang dapat
menghasilkan baik zona bertekanan subnormal maupun zona overpressure.
Potentiometric surface didefinisikan sebagai ketinggian dimana air yang
terperangkap akan muncul dalam sumur-sumur yang dibor pada akuifer yang
sama. Potentiometric surface dapat mencapai ribuan feet di bawah atau di atas
ground level (lihat gambar 2.28)
66
Gambar 2.28.
Efek dari potentiometric surface terhadap permukaan tanah yang
menyebabkan overpressure dan subnormal pressure.
(Adams, J. Neal., 1985)
67
Gambar 2.29.
Tekanan Formasi Subnormal
(Walter H. Felter., 1976)
d. Resistivity Cutting
Resistivity lumpur dan cutting dikaitkan dengan konsep delta chloride
merupkan indikator untuk lapisan abnormal pressure. Bila bertemu dengan
porositas batuan yang tinggi pada waktu pemboran, batuan yang ditembus akan
membebaskan fluida formasinya ke aliran lumpur. Harus diperhitungkan
resistivity lumpur dan kandungan Cl dari fluida pemboran, dengan menganggap
bahwa salinitas air formasi berbeda dengan salinitsas lumpur. Sebagai tambahan,
resistivity cutting akan berubah dengan bertambahnya porositas. Gambar 2.28.
menunjukan plot delta chloride.
Kesulitan utama dari konsep delta chloride adalah dalam mendeteksi
kandungan Cl di zona transisi pendek resistivity lumpur diakibatkan oleh:
Kenaikan jumlah air, additive lumpur dan salinitas air formasi. Metode ini dapat
digunakan sebagai indikator sekunder untuk memonitor zona transisi.
e. Cutting
Cutting dapat digunakan untuk indikasi tekanan abnormal. Perbedaan
tekanan sangat berperan dalam pendeteksiaan tekanan. Bila terjadi perbedaan
tekanan yang besar, cutting akan tertahan di bawah bit dan akan terus digerus
sampai ukurannya menjadi kecil dan dapat terangkat ke permukaan. Kejadian ini
dikenal sebagai “chip hold down effect”.
Bila perbedaan tekanan hanya kecil, maka cutting akan terangkat dari
bawah bit sebelum mengalami penggerusan lagi. Hal ini dapat dilihat pada cutting
yang berada di shale shaker. Cutting yang lebih besar menunjukan bahwa
perbedaan tekanan berkurang. Bila berat lumpur konstan, diasumsikan bahwa
tekanan formasi baik.
B. Metode Kwantitatif
Metode kwantitatif yaitu metode pendeteksian tekanan formasi dimana
informasi besarnya tekanan pada suatu kedalaman dapat diketahui. Metode
72
kwantitatif ini terbagi lima metode yaitu: metode analisa seismic, analisa log,
overlay, densitas bulk dan drilling eqaution. Masing-masing metode saling
berkaitan dan digunakan sesuai dengan kondisi pemborannya..
a. Analisa Seismic
Metode analisa seismic adalah metode geofisik yang digunakan untuk
mendeteksi keberadaan dan puncak dari tekanan abnormal. Metode ini didasarkan
pada elemen-elemen analisa refleksi dari pennebaker, seperti yang ditunjukkan
oleh gambar 2.30. Misalnya shot point O adalah permukaan tanah. Ketika
peledakan pada SP, energi gelombang suara terjadi dalam bentuk tekanan
gelombang, energi seismic bergerak seimbang ke segala arah. Energi bergerak
vertikal mengenai garis RR (subsurface) dan direfleksikan kembali ke SS sejauh
garis vertikal OPO. Energi tembakan juga menyebar sepanjang diagonal pada RR
pada subsurface (OT dan direfleksikan ke permukaan sepanjang garis TW).
Waktu yang diperlukan untuk jalannya energi dicatat oleh geophone pada titik O
dan W, secara horisontal dipisahkan dengan titik X. kecepatan rata-rata V, dapat
dihitung dengan persamaan 2-51.
( )
V = X 2 / t x2 − t o2 ...…………......……………...…………………………(2-51)
Kedalaman lapisan dapat ditentukan dari persamaan 2-52:
Z = V (t o / 2) …………………..………………….……...………………(2-52)
Gambar 2.30.
Konsep Dasar Prinsip Refleksi.
(Walter H. Felter., 1976)
Gambar 2.31.
Perbandingan perubahan travel time yang diterima seismic dan data
kecepatan actual pada suatu sumur.
(Walter H. Felter., 1976)
b. Analisa Log
Analisa log umumnya untuk menentukan tekanan pori-pori dalam sumur
offset dan pemboran sumur aktual. Perangkat MWD (Measurement- While-
74
Gambar 2.32.
Plot Resistivity Shale
(Adams, J. Neil., 1985)
76
Gambar 2.33.
Penggambaran hasil log elektrik pada suatu sumur dimana lapisan
shale impermeable telah menjadi penyekat tekanan abnormal
pada interval bawah pada sumur in, barier berada pada kedalaman
9.500 ft – 9.700 ft.
(Adams, J. Neil, 1985)
Gambar 2.34.
Resistivity dari log gambar 2.33. diplot terhadap kedalaman.
(Adams, J. Neil, 1985)
Gambar 2.35.
Korelasi empiris dari gradien tekanan formasi vs perbandingan resistivity
shale normal dengan hasil pengamatan.
(Adams, J. Neil, 1985)
c. Overlay
Overlay adalah chart yang terdiri dari serangkaian garis paralel yang
menggambarkan tekanan formasi dalam besaran berat lumpur. Overlay dapat
mempercepat evaluasi tekanan formasi secara langsung. Metode ini
dikembangkan oleh Hottman dan Johnson.
Untuk mengetahui tekanan pada suatu kedalaman, overlay digeser ke kiri
dan ke kanan sampai tekanan formasi normal berhimpit dengan trend normal.
Tekanan formasi dibaca langsung pada kedalaman yang sedang diamati dari plot
resistivity pada garis paralel. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.36. Gambar
2.37. adalah overlay resistivity yang merupakan chart yang digeser ke kiri dan ke
kanan di atas grafik plot resistivity dari suatu data lapangan (Gambar 2.38.). Ada
beberapa kelemahan dalam penggunaan overlay hanya dapat digeser ke kiri dan
ke kanan tetapi tidak dapat digeser ke kiri dan ke kanan tetapi tidak dapat ke arah
vertikal, overlay biasanya dibuat untuk suatu tipe kertas semilog dan tidak dapat
digunakan untuk tipe yang lain dan overlay tidak dapat menghitung perumahan
salinitas air formasi abnormal. Untuk menormalkan efek salintas tersebut
diperlukan cara yang berbeda.
79
Gambar 2.36.
Plot overlay dari suatu data lapangan.
(Adams, J. Neil, 1985)
Gambar 2.37.
Overlay Resistivity Shale.
(Adams, J. Neil, 1985)
80
Gambar 2.38.
Plot Resistivity Shale.
(Adams, J. Neil, 1985)
d. Densitas Bulk
Ketika pemboran mencapai daerah bertekanan normal, densitas bulk dari
batuan yang dibor bertambah kompaksinya atau pengecilan porositas. Seperti
pada porositas bertekanan tinggi yang dijumpai, assosiasi porositas yang tinggi
81
akan menyebabkan penyimpangan trend densitas bulknya. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 2.39. Perubahan tekanan dari normal ke abnormal.
Gambar 2.39.
Plot densitas shale secara umum.
(Adams, J. Neil, 1985)
Gambar 2.40.
Hasil plot data densitas shale dari data lapangan.
(Adams, J. Neil, 1985)
e. Drilling Equation
Banyak persamaan matematika diajukan dalam usaha untuk melukiskan
hubungan dari parameter-parameter pemboran terhadap laju penetrasi. Sebagian
dirancang untuk pemakaian di lapangan secara sederhana. Sedang lainnya
memerlukan perhitungan dengan menggunakan komputer. Ketika diterapkan,
banyak persamaan-persamaan tersebut ternyata dapat digunakan untuk mendeteksi
ketelitian dan kwantitas tekanan abnormal.
Untuk menghitung differential pressure merupakan dasar dari persamaan-
persamaan tersebut. Bila besarnya diketahui, tekanan formasi dapat dihitung.
Garnier dan Van Lingen menunjukan bahwa differential pressure berpengaruh
terhadap penetrasi. Dalam studi lapangan, Benit dan Vidrine menemukan bukti
bahwa selang differential pressure berkisar 0 sampai 500 psi, paling besar
pengaruhnya dalam mengurangi laju penetrasi. Persamaan yang paling banyak
digunakan adalah “d-exponent”. Dasar dari persamaan ini adalah rumus Bingham
tentang proses pemboran. Persamannya sebagai berikut:
b
R 12W
= a ………………………..……….......………………(2-53)
60 N dB
Dimana:
R = Laju Penetrasi, ft/jam.
83
Gambar 2.41a.
Plot d-exponent.
(Adams, J. Neil, 1985)
Gambar 2.41b.
Perbandingan plot kedalaman versus d-exponent dan dc-exponent dari suatu
kedalaman pada sumur yang sama.
(Walter H. Felter., 1976)
Dari persamaan 2-55 dapat disimpulkan bahwa tekanan formasi berasal dari berat
lumpur actual. Plot dc dapat dilihat pada Gambar 2.41b.
2.2.3.2.Temperatur Reservoir
Temperatur akan mengalami kenaikan dengan bertambahnya kedalaman,
ini dinamakan gradien geothermal yang dipengaruhi oleh jauh dekatnya dari pusat
magma. Dalam kenyataannya temperatur reservoir akan bertambah terhadap
85
Gambar 2.42.
Gradient Temperatur Rata-rata untuk Suatu Lapangan
(Amyx,J.W., Bass, MD., 1960)
Gambar 2.43.
Prinsip Penjebakan Minyak dalam Perangkap Struktur
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
Jika tubuh reservoir memanjang atau meluas, maka posisi struktur sangat
penting. Perangkap tidak akan terjadi jika tubuh reservoir berada dalam keadaan
horisontal. Jika bagian tengah tubuh terlipat, maka peragkap yang terjadi adalah
perangkap struktur (antiklin). Untuk terjadinya perangkap stratigrafi, maka posisi
struktur lapisan reservoir harus sedemikian sehingga salah satu batas lateral tubuh
reservoir (yang dapat berupa unsur di atas tadi), merupakan penghalang
permeabilitas ke atas.
Gambar 2.44.
Beberapa Unsur Utama dalam Perangkap Stratigrafi,
Penghalang-Permeabilitas dan Kedudukan Struktur.
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
91
Gambar 2.45.
Pembajian Lapisan Reservoir Sebagai
Unsur Perangkap Stratigrafi.
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
Gambar 2.46.
Penyerpihan Lapisan Reservoir (Jari-jemari)
Sebagai Unsur Perangkap Stratigrafi.
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
Gambar 2.47.
Peta Struktur Perangkap Kombinasi Patahan dan Pembajian
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
93
Gambar 2.48.
Penampang Beberapa Tubuh Pasir Memperlihatkan Posisi
Akumulasi Minyak Bumi Karena Kedudukan Struktur.
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
Gambar 2.49.
Kombinasi Perangkap Stratigrafi dan Struktur Lipatan
Dimana di Satu Pihak Lapisan Reservoir Membaji.
(Koesoemadinata, R.P, 1980)
Gambar 2.50.
Diagram Fasa dari Minyak Berat
(Mc. Cain, William , D.Jr, 1973)
Gambar 2.51.
Diagram Fasa dari Minyak Ringan
(Mc. Cain, William , D.Jr, 1973)
2.2.4.2.2.Reservoir Gas
A. Reservoar Gas Basah
Diagram fasa dari campuran hidrokarbon terutama mengandung molekul
lebih kecil, umumnya terletak dibawah temperatur reservoir. Contoh dari diagram
fasa untuk gas basah diberikan (Gambar 2.52.).
Dalam kasus ini fluida berbentuk gas secara keseluruhan dalam pengurangan
tekanan reservoir. Karena kondisi seperator terletak di dalam daerah dua fasa,
maka cairan akan terbentuk di permukaan. Cairan ini umumnya dikenal sebagai
“kondensat” atau gas yang dihasilkan disebut “gas kondensat”.
Kata basah menunjukkan bahwa gas mengandung molekul-molekul
hidrokarbon ringan yang pada kondisi permukaan membentuk fasa cair. Pada
kondisi seperator, gas biasanya mengandung lebih banyak hidrokarbon menengah.
Kadang-kadang gas ini diproses untuk dipisahkan cairan butana dan propanannya.
97
Gas basah dicirikan dengan gas oil ratio permukaan lebih dari 100,000
scf/stb. Asosiasi minyak tangki pengumpul biasanya adalah air sebagai gravity
lebih besar daripada 50 oAPI.
Gambar 2.52.
Diagram Fasa dari Gas Basah
(Mc. Cain, William , D.Jr, 1973)
Gambar 2.53.
Diagram Fasa dari Gas Kering
(Mc. Cain, William , D.Jr, 1973)
Gambar 2.54.
Diagram Fasa dari Gas Kondensat
(Mc. Cain, William , D.Jr, 1973)
Gambar 2.55.
Solution Gas Drive Reservoir
(Clark, Norman.J., 1969)
Gambar 2.56.
Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR pada
Solution Gas Drive Reservoir
(Clark, Norman.J., 1969)
Pada awal produksi, karena gas yang dibebaskan dari minyak masih
terperangkap pada sela-sela pori batuan, maka gas oil ratio produksi akan lebih
kecil jika dibandingkan dengan gas oil ratio reservoir. Gas oil ratio produksi akan
bertambah besar bila gas pada saluran pori-pori tersebut mulai bisa mengalir, hal
ini terus-menerus berlangsung hingga tekanan reservoir menjadi rendah.
Bila tekanan telah cukup rendah maka gas oil ratio akan menjadi
berkurang sebab volume gas di dalam reservoir tinggal sedikit. Dalam hal ini gas
oil produksi dan gas oil ratio reservoir harganya hampir sama.
Recovery yang mungkin diperoleh sekitar 5 - 30 %. Dengan demikian
untuk reservoir jenis ini pada tahap teknik produksi primernya akan meninggalkan
residual oil yang cukup besar. Produksi air hampir-hampir tidak ada karena
reservoirnya terisolir, sehingga meskipun terdapat connate water tetapi hampir-
hampir tidak dapat terproduksi.
102
Gambar 2.57.
Gas Cap Drive Reservoir
(Craft, B.C and Hawkins M.F, 1972)
103
Mekanisme yang terjadi pada gas cap reservoir ini adalah minyak
pertama kali diproduksikan, permukaan antara minyak dan gas akan turun, gas cap
akan berkembang ke bawah selama produksi berlangsung. Untuk jenis reservoir
ini, umumnya tekanan reservoir akan lebih konstan jika dibandingkan dengan
solution gas drive. Hal ini disebabkan bila volume gas cap drive telah demikian
besar, maka tekanan minyak akan jadi berkurang dan gas yang terlarut dalam
minyak akan melepaskan diri menuju ke gas cap, dengan demikian minyak akan
bertambah ringan, encer, dan mudah untuk mengalir menuju lubang bor (Gambar
2.57.).
Gambar 2.58.
Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR
pada Gas Cap Drive Reservoir
(Clark, Norman.J., 1969)
Gambar 2.59.
Gravity Drainage Drive Reservoir
(Clark, Norman.J., 1969)
Pada awal dari reservoir ini, gas oil ratio dari sumur-sumur yang terletak
pada struktur yang lebih tinggi akan cepat meningkat sehingga diperlukan suatu
105
Gambar 2.60.
Kelakuan Gravity Drainage Reservoir
(Craft, B.C and Hawkins M.F, 1972)
untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari gaya gravity drainage ini maka
recovery yang didapat akan tinggi. Pernah tercatat bahwa recovery dari gravity
drainage ini melebihi 80% dari cadangan awal. Pada reservoir dimana bekerja
juga solution gas drive ternyata recovery-nya menjadi lebih kecil (Gambar 2.60.).
Gambar 2.61.
Water Drive Reservoir
(Craft, B.C and Hawkins M.F, 1972)
Apabila dilihat dari terbentuknya batuan reservoir water drive, maka air
merupakan fluida pertama yang menempati pori-pori reservoir. Tetapi dengan
adanya migrasi minyak bumi maka air yang berada disana tersingkir dan
digantikan oleh minyak. Dengan demikian karena volume minyak ini terbatas,
107
maka bila dibandingkan dengan volume air yang merupakan fluida pendesaknya
akan jauh lebih kecil (Gambar 2.61.). Gas oil ratio untuk reservoir jenis ini relatif
lebih konstan jika dibandingkan dengan reservoir jenis lainnya. Hal ini disebabkan
karena tekanan reservoir relatip akan konstan karena dikontrol terus oleh
pendesakan air yang hampir tidak mengalami penurunan.
Produksi air pada awal produksi sedikit, tetapi apabila permukaan air
telah mencapai lubang bor maka mulai mengalami kenaikan produksi yang
semakin lama semakin besar secara kontinyu sampai sumur tersebut ditinggalkan
karena produksi minyaknya tidak ekonomis lagi (Gambar 2.62.).
Untuk reservoir dengan jenis pendesakan water drive maka bagian
minyak yang terproduksi akan lebih besar jika dibandingkan dengan jenis
pendesakan lainnya, yaitu antara 35 - 75% dari volume minyak yang ada.
Sehingga minyak sisa (residual oil) yang masih tertinggal didalam reservoir akan
lebih sedikit.
Gambar 2.62.
Karakteristik Tekanan, PI, dan GOR Pada Water Drive Reservoir
(Clark, Norman.J., 1969)
108
Gambar 2.63.
Combination Drive Reservoir
(Craft, B.C and Hawkins M.F, 1972)
Gambar 2.64.
Kelakuan Combination Drive Reservoir
(Craft, B.C and Hawkins M.F, 1972)