Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TEKNIK PEMBORAN

Operasi pemboran merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa


tahapan kegiatan. Sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan, pertama - tama
yang perlu dilakukan adalah apa yang disebut dengan tahap persiapan. Tahap
persiapan ini pun terdiri dari beberapa tahapan mulai dari persiapan tempat,
pengiriman peralatan pada lokasi, penunjukkan pekerja sampai pada persiapan akhir.
Bila seandainya tempat untuk lokasi pemboran yang diperkirakan ada
cadangan minyak atau gas yang cukup potensial dan tempat tersebut masih
merupakan suatu tempat yang dianggap liar maka dengan sendirinya kita perlu
membuat tempat tersebut menjadi tempat yang memungkinkan terlaksananya operasi
pemboran. Pada operasi pemboran ini, peralatan yang dipakai terbagi menjadi
beberapa system. Pembagian system-sistem yang umum dilakukan dalam industri
perminyakan adalah sebagai berikut:
1. Sistem Pengangkatan (Hoisting System).
2. Sistem Pemutar (Rotating System).
3. Sistem Sirkulasi (Circulating System).
4. Sistem Daya (Power System).
5. Sistem Pencegah Sembur Liar (BOP System).

Sistem-sistem di atas mempunyai hubungan yang erat antara satu sistem


dengan sistem lainnya. Jadi dapat dimengerti bahwa antar sistem tersebut bekerja
pada saat bersamaann. Operasi Pemboran (Drilling Operation) adalah suatu kegiatan
yang merupakan bagian terintegrasi dengan kegiatan lain dalam industri
perminyakan.
Pada masa sekarang ini, operasi pemboran dilaksanakan orang baik di Darat
(On Shore) maupun di lepas Pantai (Off Shore). Pemboran yang dilakukan dewasa ini
telah menggunakan teknologi canggih yaitu Top Drive. Dimana sudah jarang sekali
beberapa perusahaan yang memakai teknologi lama yaitu Rotary Drilling. Pada

113
pelaksanaannya, sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan perlu dilakukan
dahulu beberapa kegiatan - kegiatan yang berhubungan dengan persiapan:
1. Persiapan tempat.
2. Pengiriman peralatan pada lokasi.
3. Penunjukkan pekerja.
4. Persiapan Rig dan pendiriannya.
5. Peralatan penunjang dan pemasangannya.
6. Persiapan akhir.
Setelah semuanya telah terpenuhi barulah, kegiatan operasi pemboran akan
dilaksanakan untuk siap mendapatkan minyak atau gas bumi atau bisa dikatakan
kegiatan Pemboran dapat berlangsung.

2.1 Mekanika Batuan


Mekanika batuan sendiri mempunyai definisi sebagai sifat atau perilaku suatu
batuan ketika batuan tersebut diberi gaya atau tekanan. Karena perilaku setiap batuan
dalam menerima gaya atau tekanan mempunyai gaya yang berbeda-beda. Ada
beberapa jenis dari mekanika batuan itu sendiri, yaitu:
a. Compressive Strength
b. Rock drill ability
c. Hardness
d. Abrasiveness
e. Elasticity
f. Bailing Tendency
Tapi sebelum itu, ada baiknya kita mengenal lebih dulu klasifikasi dari batuan
itu sendiri.
2.1.1 Klasifikasi Batuan
Berdasarkan cara terjadinya batuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Batuan beku.
b. Batuan sedimen.
c. Batuan metamorf.

Batuan beku adalah batuan yang terjadi akibat pembekuan magma (penurunan
tekanan dan temperatur). Dikenal ada 2 macam batuan beku, yaitu batuan beku dalam
(membeku di bawah permukaan bumi) dan batuan beku luar (membeku di
permukaan). Pada umumnya batuan beku, massif, kompak dan keras.

114
Batuan sedimen adalah batuan hasil proses penghancuran batuan lain
(pelapukan, abrasi, aktivitas organik) yang ditransportasikan pada suatu cekungan
pengendapan. Setelah mengendap (tersedimentasi) batuan tersebut mengalami
kompresi. Pada umumnya batuan sedimen berlapis dan mempunyai Porositas.
Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi dari batuan beku atau batuan
sedimen yang mengalami perubahan tekanan dan temperatur sehingga mengalami
perubahan struktur, tekstur dan mineraloginya. Batuan metamorf pada umumnya
lebih keras dan kompak jika dibandingkan dengan batuan sedimen.

2.1.2 Macam Macam Mekanika Batuan


Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ada beberapa jenis dari
mekanika batuan itu sendiri, yaitu:
a. Compressive Strength.
Definisi dari sifat batuan ini adalah merupakan pencerminan atau kemampuan
batuan untuk menerima beban kompresif maksimum sebelum batuan tersebut rekah
atau pecah. Pada pengaplikasiannya di lapangan pada saat pemboran sendiri yaitu
ketika pemboran sedang berlangsung. Dimana sangat berkaitan erat dengan RPM
(Rate Per Minute) dan WOB (Weight On Bit). Ini sangat penting, karena ketika
menemukan formasi yang soft (lemah) maka harus disesuaikan RPM (Rotate Per
Minute) dan WOB-nya agar tidak terjadi filtration loss bahkan akan terjadi lost
circulation. Jadi, pada formasi soft, kita menggunakan RPM yang tinggi dan WOB
rendah. Berbeda hal ketika pada hard formation, maka kita menggunakan RPM
rendah dan WOB tinggi.
Jika pada soft formation digunakan WOB yang tinggi, maka ROP nya akan
meningkat, hal ini dapat menyebabkan kick atau bahkan Blowout karena ROP yang
terlalu besar tidak diimbangi dengan kecepatan pompa mensirkulasi mud. Sedangkan
pada hard formation digunakan WOB yang kecil, kaa Drill String akan bengkok
(buckling). Ada beberapa klasifikasi WOB sesuai dengan formasi yang dituju, yaitu:
a. Soft formation : 30,000 60,000 lbs.
b. Medium Formation: 40,000 80,000 lbs.
c. Hard formation : 50,000 100,00 lbs.

115
Compressive strength sangat berkaitan erat dengan Buoyancy factor, jika
tekanan hidrostatik dari mud besar, maka hasil nya sama dengan compressive strength
juga besar. Adapun untuk menentukan buoyancy factor adalah:
mud
BF=1
65.4
b. Rock Drill Ability.
Rock Drill Ability yaitu tingkat kemudahan batuan untuk dibor atau ditembus
ketika diberi gaya atau tekanan. Kemudahan tersebut juga tergantung dari struktur
formasi batuan nya dan penambahan pressure di rangkaian Drill Stringnya. Rock
Drill Ability mempunyai rumus, yaitu:
ROP

log10 x
RPM( )
12 x WOB
log 10 x
( 10 6 x dbit )
atau
2
( r ) x ROP
d=
WOB x 2 r x RPM

Rock Drill Ability sangat berkaitan dengan ECD (Equivalent Circulating


Density). Seiring penambahan pressure di bottom hole agar mudah menembus
formasi yang dituju.
Dimana, ECD adalah penambahan pressure di bottom hole yang terjadi ketika
mud disirkulasikan. Hal ini terjadi karena adanya friksi di annulus ketika mud
dipompakan. Pressure di bottom hole meningkat, namun secara signifikan, lebih
tinggi dibandingkan ketika mud tidak disirkulasikan.
ECD mempunyai rumus tersendiri, yatu :

Annular pressure loss


ECD=MW +
0.052 x TVD

Sedangkan annular pressure sendiri didapatkan dari total hilangnya tekanan di


rangkaian. Dimana annular pressure itu mempunyai definisi hilangnya pressure dari
annulus akibat adanya friksi antara fluid & solid.

116
Gambar skematik berikut akan menjelaskan, tempat dimana terjadinya friksi
atau pressure loss:

Gambar 2.1 Pressure Loss

c. Hardness.
Hardness merupakan ketahan batuan terhadap gaya gores atau gerusan
dari rangkaian alat pemboran (Drill String). Dimana panduannya adalah skala
Mohs. Dimana pada hardness ini terdapat klasifikasi sesuai tingkat formasi
batuannya, yaitu:
a. Soft formation mempunyai hardness nya kurang dari 4 (hardness < 4)
Contoh: shale, Clay, salt, unconsolidated limestone.
b. Medium formation mempunyai hardnes 4 7.
Contoh : medium limestone, unconsolidated sandstone, shally sand, salt
anhydrite (salt yang kompak).
c. Hard formation mempunyai hardness > 7
Contoh : dolomite, consolidated limestone, chert (batu rijang)

d. Abrasiveness.
Abrassivenes merupakan sifat mengikis pada batuan atau sifat
mengabrasi peralatan pemboran kita. Hal ini diperhitungkan karena
berpengaruh pada umur bit. Tingkat dari Abrasive ini dari struktur formasinya,
yaitu: Limestone > Sandstone > Shale.

117
Adapun kita juga bisa memperhitungkan biaya dari umur bit kita
tergantung kedalamannya. Dimana rumusnya adalah:
B+CR( I + T )
CT=
F
Dimana:
CT = Cost/ft.
B = Harga bit ($).
CR = Cost Rig.
I = Rotating time.
T = Tripping time (seluruh waktu tripping).
F = Foot age bit (umur bit).
e. Elasticity.
Elasticity merupakan tingkat keelastisan batuan ketika diberi gaya atau
tekanan. Ketika diberi tekanan batuan tersebut akan kembali ke bentuk semula
nya. seperti halnya karet, ketika di Tarik atau diberi gaya akan kembali ke
bentuk semulanya, tetapi beda halnya pada batuan tingkat elastisitanya
berbeda dengan karet tersebut.
Elastisitas terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
a. Modulus Young : perbandingan antara tegangan aksial (Psi) dengan regangan
aksial (%). Makin besar modulus young, maka akan makin sulit untuk di fract.
Rumus dari modulus young sendiri adalah:

E=

b. Poison Ratio : Perbandingan antara regangan lateral (%) dan regangan aksial (%).
Poison Ratio menunjukkan adanya pemanjangan kea rah lateral (lateral
expansion) akibat adanya tegangan dalam arah aksial.
lateral
v=
axial

f. Bailing Tendency.
Ini merupakan sifat dari batuan untuk kecenderungan cutting menempel pada
bit. Jika terlalu besar bailing tendency-nya maka akan mengurangi ROP & RPM pada
saat pemboran.

118
Untuk mnegantisipasinya sendiri, harus pintar dalam memilih jenis-jenis bit
yang akan digunakan. Jenis-jenis dari bit itu sendiri adalah:
a. Drag Bit.
b. Tricone Bit.
c. Diamond Bit.
d. PDC (Poly Crystaline Diamond Core) Bit.
2.2 Peralatan Pemboran
Pada operasi pemboran, biasanya peralatan yang dipakai dibagi-bagi ke dalam
beberapa sistem. Pembagian system-sistem yang umum dilakukan oleh orang - orang
di industri perminyakan adalah sebagai berikut:
a. Sistem Pengangkat (Hoisting system).
b. Sistem Pemutar (Rotating system).
c. Sistem Sirkulasi (Circulating system).
d. Sistem Daya (Power system).
e. Sistem Pencegah Sembur Liar (BOP system).
Sebelum itu sebaiknya kita mengetahui terlebih dulu, jenis - jenis Rig baik di
onshore dan offshore.

2.2.1 Jenis - jenis Rig


Pada dasarnya, baik di onshore dan offshore kurang lebih sama saja
perlatannya hanya saja untuk offshore memang lantai Rig-nya tidak terlalu luas
dengan yang ada di darat. Jenis - jenis dari Rig itu sendiri, yaitu:
a. Land Rig.
b. Drill Ship.
c. Swamp Barge Rig.
d. Jack Up Rig.
e. Platform Rig.
f. Semi Submersible Rig.

2.2.2 Sistem Rig


Setelah dilakukan eksplorasi, maka tahap selanjutnya adalah tahap pemboran.
Terdapat 5 komponen utama dalam tahap pemboran, yang telah disebutkan di awal
tadi, yaitu:

119
a. Hoisting System (Sistem Pengangkat).
Hoisting system adalah perlengkapan utama dalam system dan pelengkapan
pemboran. Fungsi utamanya adalah mengangkat, menahan, dan menurunkan
peralatan serta pendukung peralatan rotary pada Rig. System ini terdiri dari 2
komponen utama, yaitu :
1. Supporting Structure (Rig), yang terbuat dari kerangka baja, yang terletak
tepat di atas lubang pemboran. Struktur ini terdiri dari:
a. Drilling tower (Derrick atau Mask).
b. Substructure, memberikan ruang bebas untuk dudukan BPO.
c. Rig Floor, memberikan ruang bebas untuk kegiatan pemboran.
2. Hoisting Equipment, peralatan pengangkat ini berfungsi untuk mengangkat dan
menurunkan peralatan ke atau dari dasar sumur, yang terdiri dari:
a. Draw Works.
b. Crown Blocks.
c. Travelling Blocks.
d. Hook.
e. Elevator.
f. Drilling Line.

120
Gambar 2.2 Hoisting System

b. Rotating system.
Rotating system berfungsi untuk memutar Drill String selama operasi pemboran,
sehingga daya yang dihasilkan oleh prime mover dapat ditransmisikan sampai ke
bawah permukaan.

Rotary system ini terdiri dari:


1. Rotary Assembly, yang terdiri dari:
- Rotary Table.
- Master Bushing.
- Kelly Bushing.
- Rotary Slips.
- Make Up dan Break Out Tongs.
2. Drill Steam, menghubungkan rangkaian dari Swivel sampai Bit, yang terdiri
dari:
- Swivel.
- Kelly.
- Kelly Saver Sub.
- Drill Pipe.

121
- Drill Collar.
- BHA (Bottom Hole Assembly).
- Bit.
Pada saat sekarang, penggunaan Rotary Table dan Kelly sudah jarang,
fungsinya digantikan oleh Top Drive.

Gambar 2.3 Rotating System

c. Circulating System (Sistem Sirkulasi).


Peralatan ini berfungsi untuk memberikan service berupa penyediaan lumpur
serta penyediaan sifat - sifat fisiknya selama pemboran berlangsung, termasuk
dengan peralatan conditioning equipment.

Circulating system terdiri dari:


1. Drilling Fluid, yang berfungsi untuk:
- Mengimbangi tekanan formasi (hidrostatik).
- Mengangkat dan membersihkan cutting dari lubang bor.
- Mendukung kestabilan lubang bor.
- Mendinginkan dan melumasi bit dan Drill String.
- Menyediakan hydraulic horsepower pada bit.
- Media logging.
2. Preparation Area.
Suatu tempat untuk mempersiapkan lumpur sebelum disirkulasikan ke
dalam sumur, yang terdiri dari:
- Mud house.
- Steel mud pits / tanks.

122
- Mixing hopper.
- Chemical mixing barrel.
- Bulk mud storage bins.
- Water tank.
- Reserve pit.
3. Circulating Equipment.
Merupakan peralatan khusus untuk memberikan tenaga pada lumpur
sehingga dapat masuk dan keluar dari kepala sumur. Susunan dari peralatan
ini adalah:
- Triplex pump.
- Surface connection.
- Stand pipe.
- Mud hose ke drill string.
4. Conditioning Area.
Merupakan tempat atau peralatan untuk mengembalikan kondisi lumpur
setelah mengalami berbagai beban selama operasi pemboran befrlangsung.
Lumpur akan di treatment sebelum masuk ke prefaration area, yang terdiri
dari :
- Shale shaker.
- Desander.
- Desilter.
- Degasser.
d. Power System (Sistem Daya).
Merupakan komponen yang memberikan sumber daya untuk mendukung
terlaksananya semua proses yang telah dijelaskan sebelumnya. Power system ini
dapat dibagi menjadi:
1. Primary power source.
2. Power transmission.
e. BOP System (Sistem pencegah semburan liar).
Peranan pendukung untuk pengontrol dan safety tekanan selama pemboran
berlangsung. Peralatan ini berfungsi untuk menutup sumur bila terjadi Kick atau
sembur liar yang mungkin terjadi selama pemboran akibat masuknya gas / Fluida
formasi dan mengalir secara liar ke permukaan. BOP ini terbagi menjadi:
1. BOP Stack dan Accumulator, yang terdiri dari:
a. Annular Preventer.
b. Pipe Ram Preventer.
c. Drilling Spool.
d. Blind Ram Preventer.

123
2. Supporting Choke dan Kill System, yang terdiri dari:
a. Choke Manifold.
b. Kill Line.

2.3 Hole Problem


2.3.1 Ketidakstabilan Dinding Sumur Pemboran
Usaha memelihara kestabilan lubang bor sewaktu pemboran menembus
formasi shale, akan dipersulit dengan adanya masalah yang ditimbulkan oleh sifat
sifat shale tersebut (Shale problem), dalam hal ini terutama masalah Clay Swelling di
dalamnya. Clay Swelling bersama dengan sifat - sifat shale yang lainnya (Dispersi
dan lain - lainnya) menimbulkan masalah yang bervariasi yang dilukiskan sebagai
sloughing shale, heaving shale, running shale, gas bearing shale dan pressure shale.
Semua masalah shale yang dapat menimbulkan ketidakstabilan lubang bor di
atas adalah disebabkan oleh faktor fisika, kimia atau mekanis atau gabungan dari
factor - faktor tersebut. Yang sering terjadi adalah gabungan dari dua atau tiga faktor
bersama-sama.
Seperti telah diketahui bahwa Clay yang mengalami Swelling pada batas
tertantu akan mengalami dispersi. Terdispersinya Clay (yang terdistribusi dalam
formasi shale) dalam lumpur pemboran secara tidak terkendali akan menaikkan kadar
padatan dalam lumpur dengan Densitas yang rendah sedangkan Viskositasnya
meningkat sehingga akan memperbesar kehilangan tekanan (pressure loss), dan ini
akan mengakibatkan turunnya laju pemboran. Keadaannya akan lebih buruk lagi
apabila rangkaian pipa bor terjepit (drill pipe sticking) dikarenakan terlalu banyaknya
partikel Clay terdispersi dalm lumpur yang pemboran tidak terangkat oleh sirkulasi
lumpur ke permukaan.

2.3.2 Formation Damage


Terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif yang mengandung
Clay (formasi shale atau formasi dirty sands dengan kandungan Claynya lebih tinggi)
akan mengakibatkan terjadinya hidrasi air filtrate oleh Clay sehingga terjadi

124
pembengkakan (Swelling) dari partikel-partikel Clay tersebut. Keadaan tersebut
mengakibatkan well bore damage (formation damage), yaitu pengurangan
Permeabilitas dari formasi produktif disebabkan berubahnya sifat - sifat fisik batuan
Reservoir karena Swelling tadi di daerah formasi produktif.
Formation damage pun juga bisa merubah sifat fisik dari batuan Reservoir itu
sendiri. Berikut ada beberapa sifat batuan yang mengalami perubahan, yaitu:
a. Porositas
Seperti telah diketahui bahwa formasi mempunyai Permeabilitas dan lumpur
pemboran memiliki sifat Filtration Loss, maka terjadi invasi mud filtrate, dimana fasa
cair dari lumpur akan tersaring masuk ke dalam formasi yang permeable di sekitar
lubang bor tadi, sedangkan padatan lumpur (mud solids) tertinggal dan akan
membentuk mud cake pada dinding lubang sumur bor.

Gambar 2.4 Invasi Mud filtrate ke dalam Formasi melalui dinding Sumur yang Permeabel

Apabila mud filtratmya adalah air (water base mud) dan formasinya mengandung
Clay yang menghidrasi (formasi shale atau formasi dirty sands), maka akan terjadi
hidrasi dan Swelling (pembengkakan) dari partikel Clay tadi sehingga menyebabkan
berkurangnya ruang pori - pori mula - mula dari batuan Reservoir atau dapat
dikatakan, Porositas dari formasi akan mengecil seiring ketika terjadinya Swelling
Clay pada formasi tersebut.

125
b. Permeabilitas
Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa dengan terjadinya Swelling Clay maka
akan mengecilkan Porositas batuan sehingga juga akan menghambat aliran Fluida
melalui media berpori tadi. Sebagaimana diketahui bahwa Permeabilitas suatu batuan
Reservoir adalah merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mnegalirkan
Fluida, otomatis dalam hal ini akan mempengaruhi Permeabilitas dari formasi
menjadi menurun atau menjadi kecil.

c. Saturasi
Saturasi Fluida dalam media berpori adalah persentase volume Fluida tersebut
terhadap volume ruang pori - pori. Adanya material Clay yang menghidrat
(irreducible water saturation). Saturasi air akan terikat oleh material Clay maka
persentase air yang terikat tadi sebesar ruang pori - pori sehingga bila dijumlahkan
dengan Swi (irreducible water saturation) mula - mula menjadi total non movable
water saturation (Swnm).

d. Tekanan Kapiler
Terjadinya Swelling Clay akan mempengaruhi turunnya Permeabilitas. Dengan
demikian, tekanan kapiler akan meningkat karena hubungannya berbanding terbalik
dengan jari - jari ruang pori - pori sehingga akan menghambat pergerakan Fluida
yang terkandung di dalam media berpori tersebut.

e. Wettability
Secara tidak langsung, adanya peristiwa di atas akan mempengaruhi sifat
kebasahan dari batuan, karena hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler
dan Permeabilitas. Dalam hal ini, sifat kebasahan dari batuan tersebut akan
meningkat.

2.3.3 Skin effect


Kedalaman invasi mud filtrate akan menentukan luas daerah formasi yang
mengalami damage ini relative tipis (hanya di sekitar lubang bor) dibandingkan
dengan luas keseluruhan formasi (sehingga dengan alasan ini maka formation damage

126
disebut juga sebagai skin effect) tetapi ia cukup berpengaruh terhadap kelancaran
operasi teknik Reservoir, yaitu terhadap recovery. Hidrasi filtrate lumpur oleh mineral
Clay yang terdistribusi di dalam formasi (sehingga terjadi Swelling) adalah salah satu
sebab terjadinya skin effect. Sebab lain adalah karena adanya invasi mud solids ke
dalam formasi. Tetapi pada hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi
liquid sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan terjadinya Swelling akibat
lain yang erat hubungannya dengan terjadinya Skin Effect adalah:
1. Terbentuknya endapan garam, Parafin (Wax) yang menimbulkan akibat
yang sama dengan akibat adanya invasi solids ke dalam formasi.
2. Terbentuknya emulsi dengan Fluida formasi yang ada sehingga
mengakibatkan kenaikan Viskositas sistem Fluida keseluruhan dan ini
dapat menimbulkan Capillary Blocking.
Biasanya terjadinya skin effect ini di sekitar lubang bor sehingga akan
menghambar laju dari produksi kita ketika dilakukan produksi di sumur kita. Melalui
gambar skematik berikut akan membantu kita untuk memahami, dimana letak skin
effect itu terjadi.

Gambar 2.5 Skin Effect

2.3.4 Lost Circulation


Lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:
1. Partial lost.
2. Total lost.
Partial lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja dan masih ada
lumpur yang mengalir ke permukaan. Sedangkan total lost adalah hilangnya seluruh

127
lumpur dan masuk ke dalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow sensor
dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.

2.3.4.1 Penyebab Lost Circulation


Penyebab Lost Circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di
dalam lubang bor yang memungkinkan lumpur untuk mengalir ke dalam formasi dan
tekanan di dalam lubang lebih besar dari tekanan formasi. Celah tersebut dapat terjadi
secara alami dalam formasi yang Cavernous, Fracture, Fissure, Unconsolidated atau
tekanan yang terlalu besar.
Ada beberapa jenis formasi yang dapat menyebabkan lost, yaitu:
a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi Permeabilitas.
Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan Permeabilitas yang tinggi
untuk dimasuki lumpur. Permeabilitas yang tinggi ini dapat terjadi pada shallow
sand dan lapisan gravel. Formasi yang tidak berkonsolidasi dengan baik, dapat
menyebabkan keguguran dinding sumur yang membentuk gua-gua. Hal ini dapat
terjadi karena tekanan overburden atau berat Rig.

Gambar 2.6 Coarse dan Gravel sebagai Zona Lost

b. Breksiasi.
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan.
Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation.

Gambar 2.7 Dimensi Rekahan akibat Breksiasi


c. Cavernous atau Vugular formation.

128
Pada prinsipnya zona cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone.
Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh aliran yang kontinu dari air alami,
yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer dan larut. Ketika
formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume
lumpur yang hilang tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan.
Sedangkan cavernous dapat terjadi karena pendinginan magma.

Gambar 2.8 Cavernous dan Vugs sebagai Zona Lost


d. Cracked dan Fracture.
Lost circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak mengandung zona
coarse yang permeable atau formasi yang cavernous. Loss seperti ini mungkin
terjadi karena cracked atau fracture yang dapat terjadi secara alami, atau adanya
tekanan hidrostatik lumpur yang terlalu besar.

129
Gambar 2.9 Fracture Horizontal sebagai Zona Lost

2.3.4.2 Penanggulangan Lost Circulation


Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan kerugian,
misalnya:
1. Hilangnya lumpur.
2. Bahaya terjepitnya pipa.
3. Formation damage.
4. Kehilangan waktu.
5. Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.
Penurunan permukaan lumpur dapat menyebabkan blowout pada formasi
berikutnya. Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya lost
circulation, maka lost circulation harus dicegah atau ditanggulangi bila sudah terjadi.
Beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi lost
circulation adalah:
a. Mengurangi tekanan pompa.
b. Mengurangi berat lumpur.
c. Menaikkan Viskositas dan gel strength.
d. Mengurangi tekanan surge lubang bor.

2.4 Lumpur Pemboran


Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih
pemboran (cutting). Lalu dengan berkembangnya pemboran, lumpur mulai
digunakan. Untuk memperbaiki sifat - sifat lumpur, zat - zat kimia ditambahkan dan

130
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap
bertahan.
Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai 4 komponen
atau fasa:
a. Fasa cair (air atau minyak). Ini berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi 2,
tawar dana sin. 75% lumpur pemboran menggunakan air sedangkan pada air
dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil - base digunakan
bila minyaknya lebih dari 95%.
b. Reactive solids, yaitu padatan yang berekasi dengan air membentuk koloid
(Clay). Dalam hal ini Clay air tawar seperti bentonite mengisap (Absorp) air
tawar dan membentuk lumpur. Istilah Yield digunakan untuk menyatakan
jumlah barrel lumpur yang dapat dihasilkan dari satu to Clay agar Viskositas
lumpurnya 15 cp.
c. Inert solids (zat padat yang tak bereaksi). Biasanya berupa Barite yang digunakan
untuk menaikkan Densitas lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert solids
dapat pula berasal dari formasi-formasi yang di bor dan terbawa lumpur seperti
Chert, pasir atau Clay non Swelling dan padatan seperti ini bukan disengaja untuk
menaikkan Densitas lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (bisa
menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll).
d. Fasa kimia. Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk
mengontrol sifat - sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarnya partikel
- partikel Clay) atau Flocculation (berkumpulnya partake - partikel Clay).

Efeknya terutama tertuju pada pengkoloidan Clay yang bersangkutan.


Banyak sekali zat kimia yang digunakan untuk menurunkan Viskositas,
mengurangi water loss, dan mengontrol fasa koloid (surface active agent).

2.4.1 Fungsi Lumpur Pemboran


Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam pemboran.
Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung
pada lumpur ini. Fungsi lumpur antara lain adalah:
a. Pengangkatan cutting ke permukaan.
Pengangkatan cutting ke permukaan tergantung dari:

131
1. Kecepatan Fluida di Annulus.
2. Kapasitas untuk menahan Fluida yang merupakan fungsi dari Densitas, aliran
(Laminar atau Turbulen), Viskositas. Umumnya kecepatan 100 - 120 fpm
telah cukup (kadang - kadang perlu 200 fpm tetapi jarang).

b. Mendinginkan dan melumasi Bit dan Drill String.


Panas dapat timbul karena gesekan Bit dan Drill String yang kontak dengan
formasi. Konduksi formasi umumnya kecil sehingga sukar menghilangkan panas
ini. Tetapi umumnya dengan adanya aliran lumpur volume maupun Specific Heat
lumpur telah cukup untuk mendinginkannya serta melumasi.

c. Memberi dinding pada lubang bor dengan Mud Cake.


Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis di permukaan
formasi yang permeable. Pembentukan mud cake ini akan menyebabkan
tertahannya aliran Fluida masuk ke formasi untuk selanjutnya. Adanya aliran yang
masuk yaitu cairan plus padatan menyebabkan padatan tertinggal / tersaring.
Cairan yang masuk ke formasi disebut filtrat.

d. Mengontrol tekanan formasi.


Tekanan Fluida formasi umumnya adalah sekitar 0.465 psi/ft kedalaman. Pada
tekanan yang normal air dan padatan di pemboran telah cukup untuk menahan
tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal (subnormal),
Densitas lumpur harus diperkecil agar lumpur tidak hilang ke formasi.

e. Membawa cutting dan material pemberat pada suspense bila sirkulasi lumpur
dihentikan sementara.

f. Melepaskan pasir dan cutting di permukaan.


Kemampuan lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan
terutama tergantung dari gel strength. Dengan cairan menjadi gel, tekanan
terhadap gerakan cutting ke bawah dapat dipertinggi. Cutting perlu ditahan agar

132
tidak turun ke bawah karena bila ia mengendap di bawah bisa menyebabkan
akumulasi cutting dan pipa akan terjepit (pipe sticking).

g. Menahan sebagian berat Drill pipe dan Casing (Buoyancy factor).

h. Mengurangi efek negative pada formasi.

i. Media logging.
2.4.2 Sifat Sifat Lumpur
Komposisi dan sifat - sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan Casing, Drilling rate dan Completion dipengaruhi oleh lumpur yang
digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan sifat - sifat
lumpur sangat diperlukan tetapi di daerah batuan keras sifat - sifat ini tidak terlalu
kritis sehingga air biasa pun kadang - kadang dapat digunakan. Dengan ini dapat
dikatakan bahwa sifat - sifat geologi suatu daerah menentukan pula jenis lumpur yang
harus digunakan. Ada beberapa sifat - sifat lumpur, yaitu:
a. Densitas.
Densitas lumpur yang relative berat bagi suatu formasi kemungkinan akan
menyebabkan terjadi lost circulation, sebaliknya jika Densitas lumpur relative
kecil dapat menyebabkan terjadinya blow out.

b. Viskositas.
Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress
(tekanan penggeser) dan shear rate (laju penggeseran).

c. Gel Strength.
Saat mud berhenti melakukan sirkulasi, mud harus mempunyai gel strength
yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur aga tidak turun. Akan
tetapi bila gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat kerja pompa
lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi. Tipe gel strength ada 2, yaitu:
1. Progressive Gel: Semakin didiamkan, Gel strength akan semakin tinggi.
2. Fragile Gel : Sifat Gel strengthnya sudah besar namun akan meningkat
sedikit demi sedikit seiring bertambahnya waktu.
d. Plastic Viscosity.

133
Keengganan Fluida untuk mengalir karena adanya friksi mekanik. Friksi yang
dimaskud adalah adanya gaya gesek antara lumpur kita dengan peralatan
pemboran kita.
e. Yield Point.
Adalah sifat mengagar yang menunjukkan bearnya tekanan minimal yang
harus diberikan kepada Fluida agar Fluida tersebut dapat bergerak.

f. Filtration Loss.
Merupakan proses hilangnya fasa cair pada lumpur ke dalam formasi. Proses
ini menghasilkan filter cake pada dinding formasi. Filtration loss tidak boleh
terlalu besar karena akan memperkecil lubang bor akibat filter cake serta dapat
menyebabkan formation damage bila filtrate terlalu banyak.

g. Sifat Kimia.
Sifat kimia ada terdiri dari:
1. Solid content.
Padatan dalam lumpur pemboran dalam jumlah yang besar bersifat
abrasive pada peralatan pemboran.

2. pH.
Biasanya sifat kebasaan dari lumpur dan idealnya sekitar (8.5 - 12).
Bisa dikatakan pH tersebut sedikit mengandung basa.

3. Kesadahan.
Kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point
rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu
besar sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak Bentonite untuk
membentuk gel lumpur yang memadai.

4. Alkalinitas.

a. OH menunjukkan lumpur stabil dan kondisinya baik.

134
2
b. OH dan CO3 , menunjukkan lumpur stabil dan kondisinya baik.

c. CO2
3 menandakan lumpur tidak stabil tetapi masih bisa dikontrol.

d. CO2
3 dan HCO 3 , berarti lumpur tidak stabil dan sulit untuk

dikontrol.

e. HCO 3 , kondisi dari lumpur sangat jelek dan sulit untuk dikontrol.

5. Salinitas.
Penentuan salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika
pemboran melalui daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan
Fluida pemboran yaitu daerah yang terdapat kubah-kubah garam.

2.4.3 Tipe - tipe Mud (Berdasarkan Fasa)


Ada beberapa tipe - tipe mud berdasarkan fasanya, yaitu:
a. Water Base Mud.
Yaitu Mud atau lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan kadar
garam yang kecil. Ada beberapa bagian lagi dari Water base mud, yaitu:
1. Spud Mud, digunakan untuk formasi bagian atas konduktor casing. Fungsi
utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang di permukaan.
2. Natural Mud, dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dari fasa cair.
3. Treated Mud adalah lumpur yang dibuat dari campuran bentonite, Clay dan
air. Lumpur ini banyak digunakan dalam pemboran untuk menembus formasi
yang bertekanan tinggi.
4. Salt Water Base Mud, yaitu: lumpur yang digunakan terutama untuk pemboran
garam massif (salt dome) atau salt stringer (lapisan - lapisan formasi garam)
dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang ditembus.

Ada beberapa bagian dari Salt Water Base Mud, yaitu:


a) Undersaturated Salt Water Mud, adalah lumpur yang dibuat dari air
laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang
tak jenuh kegaramannya ini.

135
b) Saturated Salt Water Mud, adalah fasa cair lumpur ini dijenuhkan
dengan NaCl.
c) Sodium Silicate Mud, adalah lumpur yang fasa cairnya mengandung
sekitar 55% volume larutan natrium silicate dan 45% volume
larutan garam jenuh.

b. Emulsion Mud.
Jenis lumpur ini adalah fasa cairnya campuran antara air dan oil. Ada
beberapa jenis dari lumpur jenis ini, yaitu:
1. Oil in Water Emulsion Mud, pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar
(emulsi) dan air sebagai fasa kontinyu. Sebagai dasar dapat digunakan baik
fresh maupun salt water mud.
2. Water in Oil Emulsion Mud, lumpur jenis ini berbahan dasar bentonite + 40%
air + 50% solar atau menggunakan crude oil + emulsifier + additive.

c. Oil Base Mud.


Lumpur jenis ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyu. Komposisi
diatur agar kadar airnya rendah (3-5%) volume.

d. Gaseous Drilling Fluid.


Digunakan untuk daerah - daerah dengan formasi keras dan kering.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi bila adanya
formasi air dapat menyebabkan bit bailling (bit dilapisi cutting atau padatan -
padatan) yang akan merugikan.

2.4.4 Tipe - tipe Mud (Berdasarkan Jenis)


a. Sistem Lumpur Tak Terdispesi (Non Dispersed).
Termasuk diantaranya lumpur tajak untuk permukaan dan sumur dangkal
dengan treatment yang sangat terbatas.
b. Sistem Lumpur Terdispersi.
Untuk jenis ini, untuk sumur yang lebih dalam yang membutuhkan berat jenis
yang lebih tinggi atau kondisi lubang yang problematis. Lumpur perlu di
dispersikan menggunakan dispersant seperti senyawa Lignosulfonat, Lignite serta
Tannin.
c. Lime Mud (Calcium Treted Mud).

136
Sistem lumpur yang mengandalkan ion-ion calcium untuk melindungi lapisan
formasi shale yang mudah runtuh karena menyerap air.
d. Sistem Lumpur Air Garam.
Sistem lumpur ini mengandalkan larutan garam (NaCl, KCl) untuk
mengurangi pembasahan formasi oleh air.
e. Sistem Lumpur Polymer.
Sistem ini mengandalkan polymer - polymer seperti Poly Acrylate, Xanthan
Gum, Cellulosa untuk melindungi formasi dan mencegah terlarutnya cuttings ke
dalam lumpur bor. Sistem ini dapat ditingkatkan kemampuannya dengan
menambahkan garam KCl atau NaCl sehingga system ini disebut Salt Polymer
System.
f. Sistem Lumpur Synthetis.
Untuk jenis ini menggunakan Fluida sintetis dari jenis Ester, Ether, dan Poly
alha olefin untuk menggantikan minyak sebagai medium pelarut. Lumpur ini
sama kualitas nya dengan Oil Base Mud, ramah lingkungan akan tetapi dianggap
terlalu mahal.

2.4.5 Mud Additif.


Ada beberapa kategori dalam pembagian mud addtif ini. Dimana mempunyai
peran dan fungsi masing - masing, yaitu:
a. Weighting Agent (Menaikkan Densitas).
Contoh: Barite, Hematite, Magnetite, Calcium Clorida, Siderite, Illmnite,
Gallena.
b. Viscofier (Mengentalkan Mud).
Contoh: Bentonite, Attapulgite, Polymer.
c. Fluid Loss Reducer (Menurunkan Filtration Loss).
Contoh: Bentonite, Attapulgite, Polymer.
d. Thinner (Mengencerkan Mud).
Contoh : Tannis, Lignosulfonat, Fosfat.
e. Loss Circulation Material (Mengatasi Loss Circulation).
Contoh : Granular, Vbrous, Flakes.
f. Special Additif.
Contoh : Lubricant, Defoamers, Corrision Inhibituor, Fluculant,
Emulsifier, pH Adjuster.

137
2.4.6 Peralatan - Peralatan Lumpur Pemboran
Ada tiga jenis peralatan lumpur pemboran yang biasa digunakan, yaitu:
a. Peralatan Pembuatan Lumpur Pemboran.
b. Peralatan Sirkulasi Lumpur Pemboran.
c. Peralatan Pembersih Lumpur Pemboran.

2.4.6.1 Peralatan Pembuatan Lumpur Pemboran


a. Mud House: biasanya berbentuk bangunan atau Gudang untuk
penyimpanan additive.
b. Steel Mud Pits / Tank: bak penampung lumpur yang diletakkan di
permukaan yang terbuat dari baja.
c. Mixing Hopper: peralatan yang digunakan untuk menambah additivis ke
dalam lumpur.
d. Chemical Mixing Barrel: Peralatan untuk menambahkan bahan kimia ke
dalam lumpur.
e. Bulk Storage Bin: Bin yang berukuran besar digunakan untuk menambah
additives dalam jumlah banyak.
f. Water tank: Tangki penyimpanan air yang digunakan pada tempat
persipan lumpur.
g. Reserve Pit: Kolam yang besar yang biasa digunakan untuk menyimpan
kelebihan lumpur.

2.4.6.2 Peralatan - Peralatan Sirkulasi Lumpur


a. Mud Pit / Tank.
Yaitu sebuah tempat atau wadah yang digunakan untuk menampung
lumpur yang telah disirkulasikan.
b. Mud Pump.
Sebuah alat penunjang dalam sirkulasi lumpur, dimana pompa
digunakan untuk memompakan lumpur ke sumur kita untuk
disirkulasikan.
c. Pump Discharge and Return Line.
Pompa yang digunakan untuk mengembalikan lumpur yang membawa
cutting dari bawah permukaan untuk dibawa ke surface.
d. Stand Pipe.
Sebuah alat yang digunakan untuk mensirkulasikan lumpur biasanya
diletakkan diatas pada top drive sebelum rotary hose
e. Rotary Hose.

138
Hampir sama saja dengan stand pipe, hanya saja letaknya saja yang
berbeda.

2.4.6.3 Peralatan Pembersih Lumpur


a. Settling Tanks: Bak terbuat daari baja digunakan untuk menampung
lumpur bor selama conditioning.
b. Reserve Pits: Kolam besar yang digunakan untuk menampung cutting dari
dalam lubang bor, bisa untuk menampung kelebihan lumpur
juga.
c. Mud Gas Separator: Peralatan untuk memisahkan gas yang terlarut dalam
lumpur dalam jumlah besar.
d. Shale shaker: Peralatan yang memisahkan cutting / partikel berukuran
shale.
e. Desander: Peralatan yang memisahkan cutting / partikel berukuran Sand.
f. Desilter: Peralatan yang memisahkan cutting / partikel berukuran Silt.
g. Degasser: Peralatan untuk memisahkan lumpur dari gas secara
bersambung.

2.5 Hidrolika Fluida Pemboran


Hidrolika pemboran sangat berkaitan erat dengan sifat - sifat aliran
serta jenis aliran. Tujuannya sendiri yang paling utama adalah mengetahui
distribusi aliran serta kemampuan mud untuk mengangkat cutting.

2.5.1 Sifat Aliran


Jenis aliran Fluida pada pipa ada dua, yaitu laminar dan turbulen. Pada
aliran laminar (viscous) gerak aliran partikel - partikel Fluida yang bergerak
pada rate yang lambat, adalah teratur dan geraknya sejajar dengan aliran
(Dinding) sedangkan pada aliran Turbulen, Fluida bergerak dengan kecepatan
yang lebih besar dan partikel - partikel Fluida bergerak pada garis - garis yang
teratur sehingga terdapat aliran berputar (pusaran, Eddie Current) dan Shear
yang terjadi tidak teratur.
Selain dari kedua aliran ada satu aliran yang disebut plug flow yaitu
aliran khusus untuk Fluida aliran plastis dimana shear (geser) terjadi di dekat
dinding pipa saja, dan di tengah - tengah aliran terdapat aliran tanpa shear,

139
seperti suatu sumbat. Untuk menentukan aliran tersebut turbulen atau laminar
digunakan Reynold Number:
Vd
N =928

Dimana :
= Density Fluida, (ppgV).
V = Kecepatan aliran, (fpsd).
d = Diameter pipa, (in).
= Viskositas, (cp).

2.5.2 Jenis - jenis Fluida Pemboran


Fluida pemboran dapat dibagi 2 kelas:
a. Newtonian.
b. Non-newtonian, yang terdiri dari:
1) Bingham Plastic.
2) Powerlaw.
3) Powerlaw dengan Yield Stress.

2.5.2.1 Newtonian Fluids


Adalah Fluida dimana Viskositasnya hanya dipengaruhi oleh tekanan dan
temperatur, misalnya air, gas dan minyak yang encer. Dalam hal ini perbandingan
antara shear stress dan shear rate adalah konstan, dinamakan (Viskositas).

2.5.2.2 Non - Newtonian Fluids


Setiap Fluida yang tidak bersifat adanya perbandingan tetap antara shear
stress dan shear rate, disebut Non - Newtonian fluids.
a. Bingham Plastic.
Umumnya Fluida pemboran dapaty dianggap bingham plastic, dalam
hal ini sebelum terjadi aliran harus ada minimum shear stress yang
melebihi suatu harga minimum, yang disebut Yield point. Setelah Yield
point dilampaui maka penambahan Shear stress lebih lanjut akan
menghasilkan Shear rate yang sebanding dengan disebut Plastic
viscosity daripada Bingham plastic.

140
b. Power Law Fluids.
Untuk pendekatan Power law dilakukan dengan menganggap kurva
hubungan Shear stress terhadap Shear rate pada kertas log - log mengikuti
garis lurus yang ditarik pada Shear rate 300 rpm dan 600 rpm.

2.5.3 Velocity
Velocity adalah kecepatan dari lumpur untuk bisa mengangkat atau
membawa cutting ke permukaan. Ada beberapa jenis dari Velocity, yaitu:
a. Vcut, yaitu kecepatyan cutting terdistribusi ke atas, dimana mempunyai
persamaan, yaitu:
ROP
V cut=

[ ( ) ] x Ca
2
OD
36 1
D hole

b. Vslip, yaitu kecepatan cutting mengendap ke bawah.

Vslip=113.4
( Dcutting ( cuttingmud ) )
Cd mud
c. Vmin, yaitu kecepatan minimum yang diciptakan oleh mud agar cutting
naik.
Vmin = Vcut + Vslip
2.5.4 Volume Cycle
Dalam hal ini kita juga dapat mengetahui seberapa besar volume lumpur yang
akan kita sirkulasikan sesuai dengan kedalaman sumur kita dan rangkaian Drill string
kita. Sebelum itu kita harus mengetahui terlebih dahulu volume Drill string kita dan
dijumlahkan dengan volume Annulus sumur. Berikut adalah beberapa formula yang
sering dipakai, yaitu:
ID2
Vdrill String= x length
1029.4
Setelah volume drill ditentukan, maka selanjutnya menentukan:
2 2
ID OD
Vannulus= x length
1029.4

Setelah semuanya ditentukan, maka untuk menentuka volume cycle, adalah:


Vcycle=Vdrill string+ Vannulus

141
2.6 Casing Design
Casing terbuat dari pipa besi yang kokoh dan kuat. Ukuran dan jumlah casing
yang dipasang tergantung:
a. Daerah yang bersangkutan.
b. Kedalaman sumur.
c. Karakteristik formasi.

Casing string adalah panjang total casing dengan diameter yang konstan.
Section casing string adalah satu panjang casing yang kontinu dengan grade dan
ketebalan dinding yang uniform serta type joint penyambung yang sama. Perencanaan
casing harus dapat menahan tekanan dan gaya yang bekerja pada rangkaian casing
supaya rangkaian casing tidak rusak.

2.6.1 Fungsi Casing


a. Mencegah gugurnya lubang bor.
b. Mencegah kontaminasi air tawar oleh lumpur pada lapisan pasir di dekat
permukaan.
c. Mencegah hubungan antara formasi di belakang formasi.
d. Mengontrol tekanan.
e. Sebagai fondasi BOP.
f. Tempat untuk meletakkan dan tempat pegangan alat-alat produksi.
g. Media untuk memproduksikan minyak/gas ke permukaan.

2.6.2 Macam atau Jenis Casing


a. Stove pipe: Dipakai untuk offshore drill.
b. Conductor Casing: Casing dengan diameter terbesar dan berfungsi untuk
menutup formasi air tawar. Casing ini di semen sampai permukaan.
c. Surface Casing: Berfungsi untuk menutup zona yang bertekanan tinggi.
d. Intermediate Casing: Dipakai bila terdapat beberapa formasi yang
bertekanan tinggi, weak zone dan mudah runtuh.
e. Production Casing: Dipakai untuk lapisan produktif sampai ke surface dan
di semen sampai permukaan atau bertahap.

2.6.3 Penentuan Pemilihan Ukuran / Diameter Casing


Faktor penentu adalah OD dari production string dan tergantung pada
beberapa faktor:

142
a. Biaya pemboran.
Semakin besar diameter lubang sumur akan semakin besar pula biaya
yang berdiameter besar harus sesuai dengan keuntungan ekonominya.

b. Metoda produksi.
Apabila sumur yang pada awalnya adalah Flowing dengan berjalannya
waktu bisa diperlukan Artificial lift. Untuk ini lubang sumur harus cukup
besar untuk memberi tempat bagi alat - alat produksi.
c. Rate produksi.
Faktor Rate adalah sangat penting. Karena itu diameter casing yang
cukup besar akan menyebabkan Pressure loss yang besar di tubing.
d. Kemungkinan multizone completion.
Apabila dijumpai lebih dari satu lapisan produktif pada lubang bor,
maka komplesi ganda dapat dilakukan pada lubang tersebut sehingga
diameter lubang bor harus cukup besar.
e. Jumlah intermediate string.
Jika kondisi pemboran memerlukan lebih dari satu intermediate string,
maka ukuran maksimum dari production string akan dibatasi. Dengan kata
lain, semakin banyak jumlah intermediate string, semakin besar pula
diameter lubang yang diperlukan.
f. Jenis Fluida yang diproduksikan.
Merupakan faktor yang penting karena akan mempengaruhi pemilihan
peralatan produksi. Karena itu peralatan bawah permukaan (Downhole
equipment) dan accessoriesnya akan dibatasi oleh meter lubang bor
minimum.
g. Limitasi Rig.
Pada umumnya pemilihan Rig tergantung pada ukuran dan kedalaman
lubang yang akan di bor. Ada beberapa hal dimana pemilihan Rig dibatasi
dalam area yang diketahui. Dalam hal ini, ukuran lubang dan casing
ditentukan oleh kemampuan Rig. Semakin dalam lubang dan semakin
besar diameter casing, maka beban yang dikenakan pada Rig akan
semakin besar.

143
h. Work Over.
Apabila diperlukan pekerjaan Work Over (terutama dalam produksi)
maka lubang bor harus cukup besar agar alat - alat Work Over yang
diturunkan dapat bekerja dengan fleksibel.
i. Persediaan casing.
Apabila persediaan casing yang ada sangat terbatas, ini akan
mempengaruhi penentuan diameter production string.
j. Tipe sumur (explorasi, development atau produksi).
Pada explorasi, sumur dibuat terutama untuk membuktikan apakah
daerah tersebut mengandung minyak atau tidak. Di sini penetuan
rangkaian casing diperhitungkan secara teknis saja tanpa perhitungan
ekonomis.

Untuk sumur - sumur Wild cat di mana kesuksesan pemboran berkisar


antara 1-8 sampai 1-10, secara ekonomis untuk Production string dipasang
protective yang beratnya ringan (light weight). Untuk sumur pengembangan,
data formasi yang di tembus telah diketahui (dari sumur eksplorasi) sehingga
penentuan rangkaian casing dapat dipertimbangkan berdasarkan kondisi
formasi, apakah memerlukan lebih banyak section rangkaian casing atau
tidak. Biasanya menggunakan diameter lubang bor yang relative kecil dengan
jumlah section rangkaian casing yang sedikit. Sumur ini dapat untuk
memperkirakan luas formasi produktif yang mengandung hidrokarbon.
Untuk sumur produksi, penentuan ukuran casing adalah tergantung
pada kondisi formasi dan tipe komplesinya. Apabila sumur dikomplesi secara
ganda akan memerlukan diameter lubang bor yang lebih besar.

Gambar skematik berikut akan membantu untuk mengetahui dari susunan


casing, yaitu:

144
Gambar 2.10 Penempatan Pemasangan Casing

145

Anda mungkin juga menyukai