TEKNIK PEMBORAN
113
pelaksanaannya, sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan perlu dilakukan
dahulu beberapa kegiatan - kegiatan yang berhubungan dengan persiapan:
1. Persiapan tempat.
2. Pengiriman peralatan pada lokasi.
3. Penunjukkan pekerja.
4. Persiapan Rig dan pendiriannya.
5. Peralatan penunjang dan pemasangannya.
6. Persiapan akhir.
Setelah semuanya telah terpenuhi barulah, kegiatan operasi pemboran akan
dilaksanakan untuk siap mendapatkan minyak atau gas bumi atau bisa dikatakan
kegiatan Pemboran dapat berlangsung.
Batuan beku adalah batuan yang terjadi akibat pembekuan magma (penurunan
tekanan dan temperatur). Dikenal ada 2 macam batuan beku, yaitu batuan beku dalam
(membeku di bawah permukaan bumi) dan batuan beku luar (membeku di
permukaan). Pada umumnya batuan beku, massif, kompak dan keras.
114
Batuan sedimen adalah batuan hasil proses penghancuran batuan lain
(pelapukan, abrasi, aktivitas organik) yang ditransportasikan pada suatu cekungan
pengendapan. Setelah mengendap (tersedimentasi) batuan tersebut mengalami
kompresi. Pada umumnya batuan sedimen berlapis dan mempunyai Porositas.
Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi dari batuan beku atau batuan
sedimen yang mengalami perubahan tekanan dan temperatur sehingga mengalami
perubahan struktur, tekstur dan mineraloginya. Batuan metamorf pada umumnya
lebih keras dan kompak jika dibandingkan dengan batuan sedimen.
115
Compressive strength sangat berkaitan erat dengan Buoyancy factor, jika
tekanan hidrostatik dari mud besar, maka hasil nya sama dengan compressive strength
juga besar. Adapun untuk menentukan buoyancy factor adalah:
mud
BF=1
65.4
b. Rock Drill Ability.
Rock Drill Ability yaitu tingkat kemudahan batuan untuk dibor atau ditembus
ketika diberi gaya atau tekanan. Kemudahan tersebut juga tergantung dari struktur
formasi batuan nya dan penambahan pressure di rangkaian Drill Stringnya. Rock
Drill Ability mempunyai rumus, yaitu:
ROP
log10 x
RPM( )
12 x WOB
log 10 x
( 10 6 x dbit )
atau
2
( r ) x ROP
d=
WOB x 2 r x RPM
116
Gambar skematik berikut akan menjelaskan, tempat dimana terjadinya friksi
atau pressure loss:
c. Hardness.
Hardness merupakan ketahan batuan terhadap gaya gores atau gerusan
dari rangkaian alat pemboran (Drill String). Dimana panduannya adalah skala
Mohs. Dimana pada hardness ini terdapat klasifikasi sesuai tingkat formasi
batuannya, yaitu:
a. Soft formation mempunyai hardness nya kurang dari 4 (hardness < 4)
Contoh: shale, Clay, salt, unconsolidated limestone.
b. Medium formation mempunyai hardnes 4 7.
Contoh : medium limestone, unconsolidated sandstone, shally sand, salt
anhydrite (salt yang kompak).
c. Hard formation mempunyai hardness > 7
Contoh : dolomite, consolidated limestone, chert (batu rijang)
d. Abrasiveness.
Abrassivenes merupakan sifat mengikis pada batuan atau sifat
mengabrasi peralatan pemboran kita. Hal ini diperhitungkan karena
berpengaruh pada umur bit. Tingkat dari Abrasive ini dari struktur formasinya,
yaitu: Limestone > Sandstone > Shale.
117
Adapun kita juga bisa memperhitungkan biaya dari umur bit kita
tergantung kedalamannya. Dimana rumusnya adalah:
B+CR( I + T )
CT=
F
Dimana:
CT = Cost/ft.
B = Harga bit ($).
CR = Cost Rig.
I = Rotating time.
T = Tripping time (seluruh waktu tripping).
F = Foot age bit (umur bit).
e. Elasticity.
Elasticity merupakan tingkat keelastisan batuan ketika diberi gaya atau
tekanan. Ketika diberi tekanan batuan tersebut akan kembali ke bentuk semula
nya. seperti halnya karet, ketika di Tarik atau diberi gaya akan kembali ke
bentuk semulanya, tetapi beda halnya pada batuan tingkat elastisitanya
berbeda dengan karet tersebut.
Elastisitas terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
a. Modulus Young : perbandingan antara tegangan aksial (Psi) dengan regangan
aksial (%). Makin besar modulus young, maka akan makin sulit untuk di fract.
Rumus dari modulus young sendiri adalah:
E=
b. Poison Ratio : Perbandingan antara regangan lateral (%) dan regangan aksial (%).
Poison Ratio menunjukkan adanya pemanjangan kea rah lateral (lateral
expansion) akibat adanya tegangan dalam arah aksial.
lateral
v=
axial
f. Bailing Tendency.
Ini merupakan sifat dari batuan untuk kecenderungan cutting menempel pada
bit. Jika terlalu besar bailing tendency-nya maka akan mengurangi ROP & RPM pada
saat pemboran.
118
Untuk mnegantisipasinya sendiri, harus pintar dalam memilih jenis-jenis bit
yang akan digunakan. Jenis-jenis dari bit itu sendiri adalah:
a. Drag Bit.
b. Tricone Bit.
c. Diamond Bit.
d. PDC (Poly Crystaline Diamond Core) Bit.
2.2 Peralatan Pemboran
Pada operasi pemboran, biasanya peralatan yang dipakai dibagi-bagi ke dalam
beberapa sistem. Pembagian system-sistem yang umum dilakukan oleh orang - orang
di industri perminyakan adalah sebagai berikut:
a. Sistem Pengangkat (Hoisting system).
b. Sistem Pemutar (Rotating system).
c. Sistem Sirkulasi (Circulating system).
d. Sistem Daya (Power system).
e. Sistem Pencegah Sembur Liar (BOP system).
Sebelum itu sebaiknya kita mengetahui terlebih dulu, jenis - jenis Rig baik di
onshore dan offshore.
119
a. Hoisting System (Sistem Pengangkat).
Hoisting system adalah perlengkapan utama dalam system dan pelengkapan
pemboran. Fungsi utamanya adalah mengangkat, menahan, dan menurunkan
peralatan serta pendukung peralatan rotary pada Rig. System ini terdiri dari 2
komponen utama, yaitu :
1. Supporting Structure (Rig), yang terbuat dari kerangka baja, yang terletak
tepat di atas lubang pemboran. Struktur ini terdiri dari:
a. Drilling tower (Derrick atau Mask).
b. Substructure, memberikan ruang bebas untuk dudukan BPO.
c. Rig Floor, memberikan ruang bebas untuk kegiatan pemboran.
2. Hoisting Equipment, peralatan pengangkat ini berfungsi untuk mengangkat dan
menurunkan peralatan ke atau dari dasar sumur, yang terdiri dari:
a. Draw Works.
b. Crown Blocks.
c. Travelling Blocks.
d. Hook.
e. Elevator.
f. Drilling Line.
120
Gambar 2.2 Hoisting System
b. Rotating system.
Rotating system berfungsi untuk memutar Drill String selama operasi pemboran,
sehingga daya yang dihasilkan oleh prime mover dapat ditransmisikan sampai ke
bawah permukaan.
121
- Drill Collar.
- BHA (Bottom Hole Assembly).
- Bit.
Pada saat sekarang, penggunaan Rotary Table dan Kelly sudah jarang,
fungsinya digantikan oleh Top Drive.
122
- Mixing hopper.
- Chemical mixing barrel.
- Bulk mud storage bins.
- Water tank.
- Reserve pit.
3. Circulating Equipment.
Merupakan peralatan khusus untuk memberikan tenaga pada lumpur
sehingga dapat masuk dan keluar dari kepala sumur. Susunan dari peralatan
ini adalah:
- Triplex pump.
- Surface connection.
- Stand pipe.
- Mud hose ke drill string.
4. Conditioning Area.
Merupakan tempat atau peralatan untuk mengembalikan kondisi lumpur
setelah mengalami berbagai beban selama operasi pemboran befrlangsung.
Lumpur akan di treatment sebelum masuk ke prefaration area, yang terdiri
dari :
- Shale shaker.
- Desander.
- Desilter.
- Degasser.
d. Power System (Sistem Daya).
Merupakan komponen yang memberikan sumber daya untuk mendukung
terlaksananya semua proses yang telah dijelaskan sebelumnya. Power system ini
dapat dibagi menjadi:
1. Primary power source.
2. Power transmission.
e. BOP System (Sistem pencegah semburan liar).
Peranan pendukung untuk pengontrol dan safety tekanan selama pemboran
berlangsung. Peralatan ini berfungsi untuk menutup sumur bila terjadi Kick atau
sembur liar yang mungkin terjadi selama pemboran akibat masuknya gas / Fluida
formasi dan mengalir secara liar ke permukaan. BOP ini terbagi menjadi:
1. BOP Stack dan Accumulator, yang terdiri dari:
a. Annular Preventer.
b. Pipe Ram Preventer.
c. Drilling Spool.
d. Blind Ram Preventer.
123
2. Supporting Choke dan Kill System, yang terdiri dari:
a. Choke Manifold.
b. Kill Line.
124
pembengkakan (Swelling) dari partikel-partikel Clay tersebut. Keadaan tersebut
mengakibatkan well bore damage (formation damage), yaitu pengurangan
Permeabilitas dari formasi produktif disebabkan berubahnya sifat - sifat fisik batuan
Reservoir karena Swelling tadi di daerah formasi produktif.
Formation damage pun juga bisa merubah sifat fisik dari batuan Reservoir itu
sendiri. Berikut ada beberapa sifat batuan yang mengalami perubahan, yaitu:
a. Porositas
Seperti telah diketahui bahwa formasi mempunyai Permeabilitas dan lumpur
pemboran memiliki sifat Filtration Loss, maka terjadi invasi mud filtrate, dimana fasa
cair dari lumpur akan tersaring masuk ke dalam formasi yang permeable di sekitar
lubang bor tadi, sedangkan padatan lumpur (mud solids) tertinggal dan akan
membentuk mud cake pada dinding lubang sumur bor.
Gambar 2.4 Invasi Mud filtrate ke dalam Formasi melalui dinding Sumur yang Permeabel
Apabila mud filtratmya adalah air (water base mud) dan formasinya mengandung
Clay yang menghidrasi (formasi shale atau formasi dirty sands), maka akan terjadi
hidrasi dan Swelling (pembengkakan) dari partikel Clay tadi sehingga menyebabkan
berkurangnya ruang pori - pori mula - mula dari batuan Reservoir atau dapat
dikatakan, Porositas dari formasi akan mengecil seiring ketika terjadinya Swelling
Clay pada formasi tersebut.
125
b. Permeabilitas
Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa dengan terjadinya Swelling Clay maka
akan mengecilkan Porositas batuan sehingga juga akan menghambat aliran Fluida
melalui media berpori tadi. Sebagaimana diketahui bahwa Permeabilitas suatu batuan
Reservoir adalah merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mnegalirkan
Fluida, otomatis dalam hal ini akan mempengaruhi Permeabilitas dari formasi
menjadi menurun atau menjadi kecil.
c. Saturasi
Saturasi Fluida dalam media berpori adalah persentase volume Fluida tersebut
terhadap volume ruang pori - pori. Adanya material Clay yang menghidrat
(irreducible water saturation). Saturasi air akan terikat oleh material Clay maka
persentase air yang terikat tadi sebesar ruang pori - pori sehingga bila dijumlahkan
dengan Swi (irreducible water saturation) mula - mula menjadi total non movable
water saturation (Swnm).
d. Tekanan Kapiler
Terjadinya Swelling Clay akan mempengaruhi turunnya Permeabilitas. Dengan
demikian, tekanan kapiler akan meningkat karena hubungannya berbanding terbalik
dengan jari - jari ruang pori - pori sehingga akan menghambat pergerakan Fluida
yang terkandung di dalam media berpori tersebut.
e. Wettability
Secara tidak langsung, adanya peristiwa di atas akan mempengaruhi sifat
kebasahan dari batuan, karena hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler
dan Permeabilitas. Dalam hal ini, sifat kebasahan dari batuan tersebut akan
meningkat.
126
disebut juga sebagai skin effect) tetapi ia cukup berpengaruh terhadap kelancaran
operasi teknik Reservoir, yaitu terhadap recovery. Hidrasi filtrate lumpur oleh mineral
Clay yang terdistribusi di dalam formasi (sehingga terjadi Swelling) adalah salah satu
sebab terjadinya skin effect. Sebab lain adalah karena adanya invasi mud solids ke
dalam formasi. Tetapi pada hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi
liquid sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan terjadinya Swelling akibat
lain yang erat hubungannya dengan terjadinya Skin Effect adalah:
1. Terbentuknya endapan garam, Parafin (Wax) yang menimbulkan akibat
yang sama dengan akibat adanya invasi solids ke dalam formasi.
2. Terbentuknya emulsi dengan Fluida formasi yang ada sehingga
mengakibatkan kenaikan Viskositas sistem Fluida keseluruhan dan ini
dapat menimbulkan Capillary Blocking.
Biasanya terjadinya skin effect ini di sekitar lubang bor sehingga akan
menghambar laju dari produksi kita ketika dilakukan produksi di sumur kita. Melalui
gambar skematik berikut akan membantu kita untuk memahami, dimana letak skin
effect itu terjadi.
127
lumpur dan masuk ke dalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow sensor
dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.
b. Breksiasi.
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan.
Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation.
128
Pada prinsipnya zona cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone.
Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh aliran yang kontinu dari air alami,
yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer dan larut. Ketika
formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume
lumpur yang hilang tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan.
Sedangkan cavernous dapat terjadi karena pendinginan magma.
129
Gambar 2.9 Fracture Horizontal sebagai Zona Lost
130
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap
bertahan.
Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai 4 komponen
atau fasa:
a. Fasa cair (air atau minyak). Ini berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi 2,
tawar dana sin. 75% lumpur pemboran menggunakan air sedangkan pada air
dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil - base digunakan
bila minyaknya lebih dari 95%.
b. Reactive solids, yaitu padatan yang berekasi dengan air membentuk koloid
(Clay). Dalam hal ini Clay air tawar seperti bentonite mengisap (Absorp) air
tawar dan membentuk lumpur. Istilah Yield digunakan untuk menyatakan
jumlah barrel lumpur yang dapat dihasilkan dari satu to Clay agar Viskositas
lumpurnya 15 cp.
c. Inert solids (zat padat yang tak bereaksi). Biasanya berupa Barite yang digunakan
untuk menaikkan Densitas lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert solids
dapat pula berasal dari formasi-formasi yang di bor dan terbawa lumpur seperti
Chert, pasir atau Clay non Swelling dan padatan seperti ini bukan disengaja untuk
menaikkan Densitas lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (bisa
menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll).
d. Fasa kimia. Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk
mengontrol sifat - sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarnya partikel
- partikel Clay) atau Flocculation (berkumpulnya partake - partikel Clay).
131
1. Kecepatan Fluida di Annulus.
2. Kapasitas untuk menahan Fluida yang merupakan fungsi dari Densitas, aliran
(Laminar atau Turbulen), Viskositas. Umumnya kecepatan 100 - 120 fpm
telah cukup (kadang - kadang perlu 200 fpm tetapi jarang).
e. Membawa cutting dan material pemberat pada suspense bila sirkulasi lumpur
dihentikan sementara.
132
tidak turun ke bawah karena bila ia mengendap di bawah bisa menyebabkan
akumulasi cutting dan pipa akan terjepit (pipe sticking).
i. Media logging.
2.4.2 Sifat Sifat Lumpur
Komposisi dan sifat - sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran.
Perencanaan Casing, Drilling rate dan Completion dipengaruhi oleh lumpur yang
digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan sifat - sifat
lumpur sangat diperlukan tetapi di daerah batuan keras sifat - sifat ini tidak terlalu
kritis sehingga air biasa pun kadang - kadang dapat digunakan. Dengan ini dapat
dikatakan bahwa sifat - sifat geologi suatu daerah menentukan pula jenis lumpur yang
harus digunakan. Ada beberapa sifat - sifat lumpur, yaitu:
a. Densitas.
Densitas lumpur yang relative berat bagi suatu formasi kemungkinan akan
menyebabkan terjadi lost circulation, sebaliknya jika Densitas lumpur relative
kecil dapat menyebabkan terjadinya blow out.
b. Viskositas.
Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara shear stress
(tekanan penggeser) dan shear rate (laju penggeseran).
c. Gel Strength.
Saat mud berhenti melakukan sirkulasi, mud harus mempunyai gel strength
yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur aga tidak turun. Akan
tetapi bila gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan terlalu berat kerja pompa
lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi. Tipe gel strength ada 2, yaitu:
1. Progressive Gel: Semakin didiamkan, Gel strength akan semakin tinggi.
2. Fragile Gel : Sifat Gel strengthnya sudah besar namun akan meningkat
sedikit demi sedikit seiring bertambahnya waktu.
d. Plastic Viscosity.
133
Keengganan Fluida untuk mengalir karena adanya friksi mekanik. Friksi yang
dimaskud adalah adanya gaya gesek antara lumpur kita dengan peralatan
pemboran kita.
e. Yield Point.
Adalah sifat mengagar yang menunjukkan bearnya tekanan minimal yang
harus diberikan kepada Fluida agar Fluida tersebut dapat bergerak.
f. Filtration Loss.
Merupakan proses hilangnya fasa cair pada lumpur ke dalam formasi. Proses
ini menghasilkan filter cake pada dinding formasi. Filtration loss tidak boleh
terlalu besar karena akan memperkecil lubang bor akibat filter cake serta dapat
menyebabkan formation damage bila filtrate terlalu banyak.
g. Sifat Kimia.
Sifat kimia ada terdiri dari:
1. Solid content.
Padatan dalam lumpur pemboran dalam jumlah yang besar bersifat
abrasive pada peralatan pemboran.
2. pH.
Biasanya sifat kebasaan dari lumpur dan idealnya sekitar (8.5 - 12).
Bisa dikatakan pH tersebut sedikit mengandung basa.
3. Kesadahan.
Kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point
rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu
besar sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak Bentonite untuk
membentuk gel lumpur yang memadai.
4. Alkalinitas.
a. OH menunjukkan lumpur stabil dan kondisinya baik.
134
2
b. OH dan CO3 , menunjukkan lumpur stabil dan kondisinya baik.
c. CO2
3 menandakan lumpur tidak stabil tetapi masih bisa dikontrol.
d. CO2
3 dan HCO 3 , berarti lumpur tidak stabil dan sulit untuk
dikontrol.
e. HCO 3 , kondisi dari lumpur sangat jelek dan sulit untuk dikontrol.
5. Salinitas.
Penentuan salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika
pemboran melalui daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan
Fluida pemboran yaitu daerah yang terdapat kubah-kubah garam.
135
b) Saturated Salt Water Mud, adalah fasa cair lumpur ini dijenuhkan
dengan NaCl.
c) Sodium Silicate Mud, adalah lumpur yang fasa cairnya mengandung
sekitar 55% volume larutan natrium silicate dan 45% volume
larutan garam jenuh.
b. Emulsion Mud.
Jenis lumpur ini adalah fasa cairnya campuran antara air dan oil. Ada
beberapa jenis dari lumpur jenis ini, yaitu:
1. Oil in Water Emulsion Mud, pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar
(emulsi) dan air sebagai fasa kontinyu. Sebagai dasar dapat digunakan baik
fresh maupun salt water mud.
2. Water in Oil Emulsion Mud, lumpur jenis ini berbahan dasar bentonite + 40%
air + 50% solar atau menggunakan crude oil + emulsifier + additive.
136
Sistem lumpur yang mengandalkan ion-ion calcium untuk melindungi lapisan
formasi shale yang mudah runtuh karena menyerap air.
d. Sistem Lumpur Air Garam.
Sistem lumpur ini mengandalkan larutan garam (NaCl, KCl) untuk
mengurangi pembasahan formasi oleh air.
e. Sistem Lumpur Polymer.
Sistem ini mengandalkan polymer - polymer seperti Poly Acrylate, Xanthan
Gum, Cellulosa untuk melindungi formasi dan mencegah terlarutnya cuttings ke
dalam lumpur bor. Sistem ini dapat ditingkatkan kemampuannya dengan
menambahkan garam KCl atau NaCl sehingga system ini disebut Salt Polymer
System.
f. Sistem Lumpur Synthetis.
Untuk jenis ini menggunakan Fluida sintetis dari jenis Ester, Ether, dan Poly
alha olefin untuk menggantikan minyak sebagai medium pelarut. Lumpur ini
sama kualitas nya dengan Oil Base Mud, ramah lingkungan akan tetapi dianggap
terlalu mahal.
137
2.4.6 Peralatan - Peralatan Lumpur Pemboran
Ada tiga jenis peralatan lumpur pemboran yang biasa digunakan, yaitu:
a. Peralatan Pembuatan Lumpur Pemboran.
b. Peralatan Sirkulasi Lumpur Pemboran.
c. Peralatan Pembersih Lumpur Pemboran.
138
Hampir sama saja dengan stand pipe, hanya saja letaknya saja yang
berbeda.
139
seperti suatu sumbat. Untuk menentukan aliran tersebut turbulen atau laminar
digunakan Reynold Number:
Vd
N =928
Dimana :
= Density Fluida, (ppgV).
V = Kecepatan aliran, (fpsd).
d = Diameter pipa, (in).
= Viskositas, (cp).
140
b. Power Law Fluids.
Untuk pendekatan Power law dilakukan dengan menganggap kurva
hubungan Shear stress terhadap Shear rate pada kertas log - log mengikuti
garis lurus yang ditarik pada Shear rate 300 rpm dan 600 rpm.
2.5.3 Velocity
Velocity adalah kecepatan dari lumpur untuk bisa mengangkat atau
membawa cutting ke permukaan. Ada beberapa jenis dari Velocity, yaitu:
a. Vcut, yaitu kecepatyan cutting terdistribusi ke atas, dimana mempunyai
persamaan, yaitu:
ROP
V cut=
[ ( ) ] x Ca
2
OD
36 1
D hole
Vslip=113.4
( Dcutting ( cuttingmud ) )
Cd mud
c. Vmin, yaitu kecepatan minimum yang diciptakan oleh mud agar cutting
naik.
Vmin = Vcut + Vslip
2.5.4 Volume Cycle
Dalam hal ini kita juga dapat mengetahui seberapa besar volume lumpur yang
akan kita sirkulasikan sesuai dengan kedalaman sumur kita dan rangkaian Drill string
kita. Sebelum itu kita harus mengetahui terlebih dahulu volume Drill string kita dan
dijumlahkan dengan volume Annulus sumur. Berikut adalah beberapa formula yang
sering dipakai, yaitu:
ID2
Vdrill String= x length
1029.4
Setelah volume drill ditentukan, maka selanjutnya menentukan:
2 2
ID OD
Vannulus= x length
1029.4
141
2.6 Casing Design
Casing terbuat dari pipa besi yang kokoh dan kuat. Ukuran dan jumlah casing
yang dipasang tergantung:
a. Daerah yang bersangkutan.
b. Kedalaman sumur.
c. Karakteristik formasi.
Casing string adalah panjang total casing dengan diameter yang konstan.
Section casing string adalah satu panjang casing yang kontinu dengan grade dan
ketebalan dinding yang uniform serta type joint penyambung yang sama. Perencanaan
casing harus dapat menahan tekanan dan gaya yang bekerja pada rangkaian casing
supaya rangkaian casing tidak rusak.
142
a. Biaya pemboran.
Semakin besar diameter lubang sumur akan semakin besar pula biaya
yang berdiameter besar harus sesuai dengan keuntungan ekonominya.
b. Metoda produksi.
Apabila sumur yang pada awalnya adalah Flowing dengan berjalannya
waktu bisa diperlukan Artificial lift. Untuk ini lubang sumur harus cukup
besar untuk memberi tempat bagi alat - alat produksi.
c. Rate produksi.
Faktor Rate adalah sangat penting. Karena itu diameter casing yang
cukup besar akan menyebabkan Pressure loss yang besar di tubing.
d. Kemungkinan multizone completion.
Apabila dijumpai lebih dari satu lapisan produktif pada lubang bor,
maka komplesi ganda dapat dilakukan pada lubang tersebut sehingga
diameter lubang bor harus cukup besar.
e. Jumlah intermediate string.
Jika kondisi pemboran memerlukan lebih dari satu intermediate string,
maka ukuran maksimum dari production string akan dibatasi. Dengan kata
lain, semakin banyak jumlah intermediate string, semakin besar pula
diameter lubang yang diperlukan.
f. Jenis Fluida yang diproduksikan.
Merupakan faktor yang penting karena akan mempengaruhi pemilihan
peralatan produksi. Karena itu peralatan bawah permukaan (Downhole
equipment) dan accessoriesnya akan dibatasi oleh meter lubang bor
minimum.
g. Limitasi Rig.
Pada umumnya pemilihan Rig tergantung pada ukuran dan kedalaman
lubang yang akan di bor. Ada beberapa hal dimana pemilihan Rig dibatasi
dalam area yang diketahui. Dalam hal ini, ukuran lubang dan casing
ditentukan oleh kemampuan Rig. Semakin dalam lubang dan semakin
besar diameter casing, maka beban yang dikenakan pada Rig akan
semakin besar.
143
h. Work Over.
Apabila diperlukan pekerjaan Work Over (terutama dalam produksi)
maka lubang bor harus cukup besar agar alat - alat Work Over yang
diturunkan dapat bekerja dengan fleksibel.
i. Persediaan casing.
Apabila persediaan casing yang ada sangat terbatas, ini akan
mempengaruhi penentuan diameter production string.
j. Tipe sumur (explorasi, development atau produksi).
Pada explorasi, sumur dibuat terutama untuk membuktikan apakah
daerah tersebut mengandung minyak atau tidak. Di sini penetuan
rangkaian casing diperhitungkan secara teknis saja tanpa perhitungan
ekonomis.
144
Gambar 2.10 Penempatan Pemasangan Casing
145