Anda di halaman 1dari 4

Teks Hikayat

Rhesa Narayana Rasmara X MIPA 10

Hikayat Kerajaan Tanjung Puri


Dahulu kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim Mangku Praja,
permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik hati. Mereka mempunyai dua putri yang
cantik jelita: si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri Galuh Sewangi. Kedua putri itu
berbeda sekali perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri Galuh
Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati.
“Anakku, kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencari pendamping hidup. Ayah sudah tua.
Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata baginda kepada kedua putrinya.
“Ya, Ayahanda…,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
“Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita? Sepeninggal ayahanda, kami
tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,” Putri Roro Sulastri menimpali pembicaraan
ayahnya dengan sombong.
“Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri menganggap nasihat ayahnya
hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi mencamkannya benar-benar, dan dalam hati
berjanji akan mematuhinya.
Berkat abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan kepada dua
orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran dari kerajaan seberang mendengar,
bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata
pun, nama kedua putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia beramanat:
“Anak-anakku, sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami, sebagai pendamping
hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi amat mencintai
ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang dapat menyembuhkan sakit ayahnya, jika perempuan
akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka berdandan dan
berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit ayahnya sendiri. Wajahnya tak sedikit pun
memancarkan kesedihan.
Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada punggawa kerajaan,
“Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan mengawinkan kedua putriku dengan siapa pun
yang mereka pilih. Soal syarat, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya…”
***
Rakyat kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat baginda raja sedang
sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik membicarakan kecantikan dua putri raja itu.
“Duhai, Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda kampung kepada
teman-temannya.
“Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya, tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahut temannya yang lain lagi.
Tak lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja. Pengawal membacakan
titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri… Pengumuman, pengumuman…! Aku, Raja Halim Mangku Praja,
akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Barang siapa yang ingin mengikuti
sayembara ini, silakan datang ke istana untuk mengetahui syaratnya. Tertanda, Raja Halim Mangku
Praja…”
***
Sepekan setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja Halim
Mangku Praja. Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa tabib
terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakitnya.
Di Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke istana untuk
meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek sekali, senyumannya bukannya enak
dipandang, malahan membuat takut orang. Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu Cakra. Wajahnya tampan,
bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga beniat mempersunting putri Kerajaan Tanjung Puri.
Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa terpukau dengan
kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai, Putri Galuh Sewangi… Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran Hanung dengan
percaya diri.
“Sebentar, Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat
menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,” sahut Putri Galuh Sewangi.
Pangeran Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi, setelah
beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan menahan rasa malu, penuh sesal dan
kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya direguk dan
disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim Mangku Praja duduk di tempat tidur
dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai suaminya,
menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi ia tak sudi menyunting Putri
Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung
kehilangan selera.
“Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan merendahkan orang
lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah kumiliki. Siapa yang bisa
menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah, kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta prajurit dan orang-
orang di sekitarnya.
“Kurang ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang! Timpakul! Kamu juga, Joko! Kamu
jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan sombong,
apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahana membelah angkasa. Suara gemuruh
terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat. Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan
roboh. Pepohonan di alun-alun tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan istana. Jerit tangis dan
teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat Kerajaan Tanjung Puri panik dan tak berdaya di
tengah bencana yang mengamuk membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan
meluluhlantakkan istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga kerajaan.
***
Alkisah, Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek Wisata Tanjung Puri. Air
danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi. Setiap malam Jumat, di danau itu konon
kadang tercium bau wangi.

Unsur intrinsik

1. Tema: Perbedaan sifat baik dan buruk antar 2 saudari


2. Tokoh:
Raja Halim Mangku Praja: Baik hati dan bijaksana
 “Raja dan permaisurinya baik hati”
 “Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah
hatinya,”
Putri Roro Sulastri: berhati keras, angkuh, tidak peduli dan sombong
 “Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong”
 “Putri sulung itu lebih suka berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang
terjadi, termasuk penyakit ayahnya sendiri”
 “Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa”
Putri Galuh Sewangi: lemah lembut, baik dan rendah hati
 “Putri Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati”
 “Air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan”
Joko Jaroli: Bertekad kuat dan percaya diri
 “Pemuda itu buruk rupa,” Walaupun ia buruk rupa ia tetap bertekad dan percaya
diri dapat meminang putri raja.
Pangeran Hanung Prabu Cakra: bijaksana, ramah, legowo, dan membicarkan hal langsung
ke poin
 “Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina
dan merendahkan orang lain,”
 “Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah”
 “Pangeran Hanung mengakui kekalahannya”
Orang kampung
3. Alur: Maju
4. Latar
 Tempat: Istana kerajaan Tanjong Puri
“Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh”
“ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri”
 Waktu: “Dahulu kala”=> “Dahulu kala ada kerajaan”
 Suasana: Gawat dan mencekam
“Semua orang panik dan menjerit ketakutan”
5. Sudut pandang: Orang ketiga serba tahu => penggunaan kata “ia” dan juga bagaimana
narrator mengetahui segala hal dari watak sampai hal-hal yang terjadi
6. Gaya Bahasa:
“Cantik jelita” (pleonasme)
“Hanya sebagai angin lalu,” (simile)
“sebelum meninggalkan kalian” (eufemisme)
“Hati kecilnya berkata” (personifikasi)
“Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya” (hiperbola)
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” (metafora)
“putra mahkota” (personifikasi)
“bencana yang mengamuk membabi buta” (personifikasi)
“Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau” (sarkasme)
“petir membahana membelah angkasa” (personifikasi)
“senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang” (paradoks)
7. Amanat: Kita tidak boleh melihat orang dari luar saja; Menjadi orang yang memiliki hati yang
buruk akan menuju petaka

Anda mungkin juga menyukai