Ratna Inten Dewata pun terdiam, di dalam hatinya sama sekali tidak terdapat
keinginan untuk menjadi seorang Ratu, dia hanya ingin menjadi masyarakat biasa
dan menyepi, di sisi lain dia juga tidak ingin ada perselisihan di kerajaan. Tapi
pada akhirnya Ratna Inten Dewata pun mendengarkan perkataan Ki Batara untuk
tidak berfikiran negatif, dan mereka berdua pun segera menuju istana untuk
mempersiapkan upacara pemberian tahta kerajaan.
Di istana kericuhan pun terjadi,benar dugaan Ratna Inten Dewata para
penduduk yang tidak setuju dirinya naik tahta berunjuk rasa di depan istana,
sedangkan di dalam istana para patih pun enggan mengikuti upacara pemberian
tahta jika sang puteri yang akan di nobatkan menjadi Ratu Timbanganten.
Mengapa harus Kanjeng Puteri yang memimpin kami, kami tidak setuju di
pimpin oleh seorang wanita!. Sahut seorang patih.
Wahai paman patih, apa yang salah dari seorang wanita. Kakaku adalah seorang
wanita yang kuat dan mandiri, dia pasti akan mampu memimpin kerajaan ini
dengan baik, tidakkah paman mengingat pesan Ayahanda Prabu yang berkata
bahwa tahta ini harus jatuh pada anak pertamanya?. Jawab Pangeran Rangga
Lawe dengan lantang membela kakanya.
Benar Kanjeng, Gusti Prabu berpesan anak pertamanya yang akan menjadi raja,
tapi kami sebagai rakyat tidak ingin di pimpin oleh seorang wanita, sekuat
kuatnya seorang wanita namun akan lebih kuat seorang lelaki. Dan jikalau
Kanjeng puteri Ratna di nobatkan menjadi Ratu, maka kami dan juga seluruh
rakyat tidak akan pernah mengakui dan bencana pasti akan menghampiri kerajaan
ini karena di pimpin oleh seorang Raja yang lemah!.
Ratna Inten Dewata yang sakit hati dengan perkataan para patih nya ini pun
melirik adiknya, dan berkata,
Baiklah, Adikku, nampaknya para patih tidak akan pernah setuju, wanita di mata
mereka akan selalu terlihat lemah dan tidak pantas memimpin. Lagipula aku tidak
memiliki keinginan sama sekali untuk menjadi seorang Ratu, aku hanya ingin
menyepi dan menjadi masyarakat biasa. Pada saat ayahanda dan ibunda masih
hidup, aku pernah mengatakan ketidak inginanku menjadi penerus tahta kerajaan,
karena aku sudah tau bagaimana ini semua akan menjadi konflik di kerajaan kita.
Maka dari itu aku putuskan untuk tidak akan menjadi Ratu dan akan
meninggalkan kerajaan ini, sehingga tahta kerajaan akan jatuh kepadamu, tapi aku
bersyukur karena tahta ini setidaknya jatuh kepada seorang yang memiliki jiwa
yang bijak, berwibawa, juga adil, maka dengan kepergianku aku tidak akan
khawatir meninggalkan kerajaan ini dan meletakkan tanggungjawab di
pundakmu.
Akhirnya, Ratna Inten Dewata pun pergi meninggalkan Istana bersama
penasihatnya Aki Batara Rambut Putih untuk menjadi masyarakat biasa, berkelana
kesetiap pelosok kerajaan, bertapa dan menyepi di lembah yang ada di pinggir
gunung kutu, lembah itu selalu menjadi tempat untuk menenangkan pikiran Ratna
Inten Dewata, pepohonannya yang rimbun, Sumber air yang melimpah dan kelak
lembah itu dinamakan Babakan Gunung Putri. Sedangkan di Istana Sunan Rangga
Lawe pun menjadi seorang Raja, dan menerima pilihan kakaknya, juga berusaha
untuk menjadi Raja yang Baik untuk rakyatnya.
Beberapa tahun kemudian, Sunan Rangga Lawe seperti biasanya selalu
bercengkrama dengan rakyatnya secara langsung, menanyakan kebutuhan
rakyatnya, dan menanyakan berbagai hal demi kesejahteraan rakyatnya.
Kanjeng Sunan, sudah beberapa bulan ini tanaman tanaman yang kami tanam
selalu mati.
Benar Kanjeng, air pun kami sulit untuk mendapatkannya, sehingga kami tidak
bisa menyiram dan mengairi sawah sawah.
Betul, kami harus berjalan sekitar 5 km untuk mendapatkan air, karena yang
masih terdapat sumber air hanya ada di sana. Sahut para rakyat nya kepada sang
Sunan.
Dimanakah letak pastinya sumber air itu berada, nampaknya kita akan
mengalami kekeringan. Mengapa tidak ada yang memberi kabar tentang kejadian
ini kepadaku secepat mungkin? tanya Sunan kepada patih dan pengawalnya.
bisa terselesaikan. Tapi akuu tidak tahu lagi harus bagaimana, apa yang harus aku
lakukan, apakah aku harus meminta bantuan kepada kerajaan lain atas musibah di
kerajaan ku ini? Tapi nampaknya aku belum harus meminta bantuan, karena aku
yakin masih ada sumber air di sekitar kerajaan kita ini yang masih bisa kita gali.
Baiklah Kanjeng, maafkan saya tidak bermaksud untuk melawan kehendak
Kanjeng, tapi saya hanya tidak ingin Kanjeng jatuh sakit di saat rakyat
memerlukan sosok kanjeng, tapi saya percaya bahwa kanjeng pasti akan bisa
memecahkan masalah ini.
Tak apa Paman, aku mengerti maksudmu, sebenarnya paman aku memiliki
sebuah ide..
Tiba tiba seorang pengawal masuk dan memberikan kabar kepada Sunan
Rangga Lawe. Dengan tergesa gesa dan nafas yang terengah-engah dia berkata,
Mohon maaf Kanjeng Sunan, Rakyat di desa sebelah barat banyak yang
meninggal dunia, dan mereka berbondong bondong datang ke depan istana ingin
bertemu Kanjeng Sunan.
Ada apalagi ini, Kanjeng sunan sedang ada pertemuan, tidak bisakah mereka
menunggu, inipun demi kepentingan rakyat.Sahut seorang patih.
Tak mengapa paman, aku harus menemui mereka terlebih dahulu.
Sunan Rangga Lawe pun menemui rakyatnya yang berduyun duyun mendatangi
kerajaan dengan tangis dan dengan keadaan lusuh.
Wahai Kanjeng Sunan, tidak adakah hal yang bisa kau lakukan ? keluarga ku satu
persatu mati karena kelaparan, kehausan. Mengapa kau hanya berdiam diri saja,
apakah kau tidak peduli terhadap kami ? dimana Raja kami yang terkenal sangat
bertanggung jawab, berwibawa, dan bijaksana itu ?? apakah sekarang hanya
sekedar gelar saja yang tersisa ?? sahut seorang rakyat dengan marah kepada
Sunan Rangga Lawe yang ada di hadapan mereka.
Tidakkah kau bisa berkata sopan kepada Kanjeng Sunan ? apakah kalian tidak
tahu jikalau Kanjeng Sunan pun memikirkan masalah ini, beliau sampai tidak
istirahat demi memikirkan kalian semua !`seru seorang patih.
Wahai Patih, sesungguhnya kami tidak memerlukan itu, kami hanya butuh solusi
atas masalah yang sedang terjadi ini, untuk apa hanya memikirkan saja tapi tidak
ada lagi yang bisa Kanjeng Sunan lakukan.
Tenang Rakyatku, aku minta maaf karena sampai saat ini aku belum bisa
menyelesaikan masalah ini, aku pun tidak berkehendak hal ini terjadi di kerajaan
kita, tapi ini semua adalah kehendak Sang Dewa, maka dari itu, aku turut prihatain
atas kepergian keluarga kalian semua rakyatku, tapi berikanlah aku waktu
sebentar lagi, karena aku akan segera membuat situ (danau) untuk menampung
air, namun aku butuh saran dari kalian semua dimana sekiranya tempat untuk
membangun situ itu. Tempat dimana air masih mengalir, oleh karenanya
sampaikanlah pesanku ini di seluruh pelosok kerajaan, barang siapa yang
mengetahui masih ada sumber air di sekitar ataupun di luar kerajaan agar segera
membritahukannya ke kerajaan.
Seluruh warga pun saling menoleh, begitu pula para patih, mereka menganggap
ide dari sang Sunan bagus, namun mereka bingung dimana lagi mereka harus
mencari lokasi sumber air untuk mengairi situ tersebut, sedangkan selama ini
mereka mencari di sekitar Kerajaan sudah tidak ada lagi.
Setelah Sunan memberikan kabar itu, rakyatnya pun membubarkan diri,
sedangkan para patih pun berkumpul kembali di Istana untuk membicarakan hal
ini lebih lanjut.
Kanjeng Sunan, kami rasa ide dari Kanjeng sangatlah baik dan mulia, namun
seperti apa yang Kanjeng ketahui, sudah tidak ada sumber air di dalam kerajaan
yang bisa di ambil.
Benar paman patih, maka dari itu kita harus mencarinya keluar kerajaan,
kerahkanlah seluruh pasukan untuk benar benar mencari lokasi sumber air yang
masih ada agar situ yang kita buat akan segera bisa kita airi.
Seluruh patih dan mahamantri kerajaan pun dikerahkan untuk mencari lokasi
strategis di luar pusat kerajaan, selama berhari hari mereka mencari tak kunjung
menemukan, hingga pada akhirnya mereka mendatangi suatu lokasi, dari kejauhan
mereka sudah bisa mendengar bunyi gemericik air.
Tuan, kami menemukan sumber mata air, bahkan airnya sangat berlimpah
tuan.teriak seorang pengawal istana.
Para patih dan mahamantri pun segera menuju lokasi, dan benar saja air di tempat
itu ternyata masih banyak, mereka bingung mengapa di tengah tengah musim
kemarau yang panjang ini masih ada sumber air yang masih berlimpah. Lalu di
amatinya sekitar lokasi penemuan sumber air, ternyata di sana terdapat sebuah
pondok, dan setelah mereka mengamati ternyata pondok itu adalh milik Ratna
Inten Dewata, kakak dari Sunan rangga Lawe. Mereka pun segera bergegas
kembali ke istana untuk menemui Sunan. Sesampainya di Istana, Sunan Rangga
Lawe pun berkata,
Bagaimana paman, apakah sudah kalian temukan lokasinya ? ini sudah 40 hari
40 malam kalian pergi mencari sumber air, aku harap aku mendengar kabar yang
baik dari kalian.
Wahai Kanjeng Sunan, maafkan kami yang terlalu lama mencari sehingga
membuat Kanjeng gelisah, kami telah menemukan lokasi yang masih terdapat
sumber air yang melimpah Kanjeng, bahkan tempatnya pun tidak terlalu jauh dari
pusat kerajaan.
Benarkah paman ? dimanakah tempat itu berada ?. Tanya sunan dengan sangat
penasaran.
Tempatnya berada di sebuah lembah di pinggir gunung kutu Kanjeng, tempat itu
sedikit tersembunyi, di sana pepohonanya masih sangat lebat, dan hawanya masih
segar, terlebih airnya sangat berlimpah. Namun Kanjeng tempat itu ada
pemiliknya.
Siapakah pemiliknya paman ?.
Pemiliknya adalah Kanjeng Puteri ratna Inten Dewata, kakak dari Kanjeng
Sunan. Disana terdapat sebuah pondok dan ternyata kami melihat aki Barata
Rambut Putih dan Kanjeng Puteri didalamnya. Jawab seorang patih kepada
Sunan Rangga Lawe.
Sunan Rangga Lawe pun terkejut, dia semakin bingung, di satu sisi dia sangat
senang bahwa sumber air telah di temukan, namun di sisi lain dia tidak tega untuk
menghancurkan kediaman kaka nya untuk di buat sebuah situ. Kebingungannya
pun bertambah ketika ia memikirkan rakyatnya yang kesusahan.
Kalau begitu paman, aku perintahkan paman untuk menghadap langsung ke
kediaman kakakku, dan sampaikan niat kita kepadanya, dan aku akan
menyediakan tempat lain untuknya.
Baik Kanjeng Sunan.
Seorang patih kepercayaan Sunan Rangga Lawe pun segera menuju kediaman
Ratna Inten Dewata untuk memberikan pesan tersebut. Sesampainya di Pondok
Ratna Inten Dewata, dan pesan sudah di sampaikan, Ratna Inten Dewata pun
marah mendengarnya.
Bagaimana bisa adikku setega itu, dulu aku sudah memberikan tahta kepadanya
dan memutuskan untuk keluar dari istana, sekarang sungguh kejamnya dia
mengusirku dari tempat tinggalku sendiri. Apakah hanya ini yang kalian bisa
lakukan para patih, tidakkah kalian mau untuk mencari sumber air selain di sini ?
apakah karena aku kakak dari Raja kalian sehingga kalian menganggap aku masih
lemah dan akan memberikan lagi apa yang menjadi hak ku kepada kalian ?
sekarang juga kalian pergi dari tanahku!
Para patih pun langsung pergi dari kediaman Ratna Inten Dewata dan segera
menemui Sunan Rangga Lawe dan menceritakan kejadian dan tanggapan dari
Ratna Inten Dewata kepadanya.
Setelah Sunan Rangga Lawe mendengar kejadian tersebut, dia berfikir
sejenak dan memutuskan tidak akan mengganggu kakaknya, namun seorang patih
terus menghasut Sunan Rangga Lawe agar segera membuat situ di kediaman
Ratna Inten Dewata.
Kanjeng, tidak bisakah kanjeng memikirkan kepentingan rakyat banyak di
bandingkan memikirkan kakak kanjeng seorang ? suatu hal yang besar butuh
pengorbanan kanjeng, Kanjeng adalah Raja kami, dan kanjeng berhak atas tanah
yang didiami oleh Kanjeng Puteri, karena tanah itu masih masuk dalam kekuasaan
kerajaan Timbanganten, lalu apakah kerajaan ini di pimpin oleh 2 orang Raja
sehingga keputusan tidak bisa di ambil dari satu suara Kanjeng ? semakin lama
kondisi kerajaan kita akan semakin buruk, sehingga keputusan bijak dari Kanjeng
yang kami butuhkan.
Mendengar perkataan patihnya hatinya semakin hancur, tapi apa yang dikatakan
oleh patihnya juga benar dia tidak akan mungkin mengorbankan banyak orang
hanya demi satu orang saja, dan akhirnya tanpa pikir panjang Sunan Rangga Lawe
pun memerintahkan pasukannya untuk merebut paksa tanah yang didiami oleh
kakaknya Ratna Inten Dewata dengan segera memulai pembuatan situ disana.
Ratna Inten Dewata yang seketika melihat para pasukan kerajaan yang
menghancurkan tempat tinggalnya seketika marah besar, ditemani oleh aki Barata
Rambut Putih, sann Puteri pergi ke puncak Gunung Kutu dan memerintahkan aki
Barata untuk membawakannya sebuah jolang yang telah diisi oleh air dan sekepal
tanah. Sesampainya di puncak Gunung Kutu, Ratna Inten Dewata pun
menaburkan tanah beserta air dan berdoa.
Beberapa jam kemudian langit di sekitar Gunung Kutu berubah menjadi
gelap, Sunan Rangga Lawe yang ada di dalam istana bersyukur mengira akan
segera turun hujan, namun tidak lama tanah terasa bergoyang makin lama makin
kencang,
semua
rakyat
Timbanganten
keluar
berlarian
kesana
kemari