Anda di halaman 1dari 5

Cerita Rakyat Putri Ular

Pada zaman dahulu, di Simalungun, Sumatera Utara, berdirilah sebuah kerajaan mewah
yang dipimpin oleh seorang Raja yang baik hati dan bijaksana. Ia memiliki seorang putri
yang sangat cantik jelita. Kecantikannya pun populer hingga ke segala penjuru negeri.

Sayangnya, ia memiliki sifat yang teramat buruk. Di belakangnya, orang-orang


menyebutnya sebagai putri latah. Sebab, jika ada hal yang mengganggunya, ia dengan
mudah mengumpat.

Pada suatu pagi, ia meminta seorang dayang untuk membawakannya secangkir teh
bunga. Karena lupa menambahkan gula, teh buatan dayang itu terasa kurang nikmat.
Kemudian, sang Putri berkata, "Ish, bahkan air di sungai yang kotor lebih enak dari teh
buatanmu! Kau tak perlu lagi membuatkanku secangkir teh!'

Tentu saja perkataan tersebut membuat sang dayang menangis sepanjang malam.
Pada seorang dayang yang tak begitu cantik, ia pernah berkata "Lebih baik jadi orang
buta dari pada melihat wajahmu yang jelek itu."

Mulutnya memang tak secantik wajahnya. Perkataannya tak sehalus kulitnya. Ratu lalu
berkata, "Wahai anakku yang cantik, Ibu tadi mendengar kalau kau berkata kasar pada
salah satu dayang. Kenapa kau berbuat seperti itu?"

"Memang kenapa, Bu? Wajahnya memang tak cantik. Aku muak melihatnya!" jawab
sang Putri.

"Bagaimana jika kau benar-benar buta nanti? Tidakkah kau takut dengan
perkataanmu?" jawab sang Ratu memberi peringatan.

Putri tak peduli dengan ucapan ibunya. Dari hari ke hari, makin banyak dayang yang
sakit hati dengan perkataan Putri. Ucapan buruk dan kasarnya pun semakin sering ia
lontarkan.

Pada suatu hari, datanglah seorang Pangeran muda dan tampan ke istana. Rupanya, ia
mendengar tentang kecantikan sang Putri. Tanpa tahu sifat asli perempuan itu, ia nekat
melamarnya.

la beserta beberapa pengawal istana menemui baginda Raja. "Kedatangan Hamba


kemari adalah untuk melamar putri Baginda. Jika Baginda mengizinkan, saya akan
menjadikan sang Putri sebagai permaisuri," ucap Pangeran muda itu.
"Tentu saja aku tak keberatan. Aku yakin putriku akan bersuka cita memiliki calon
suami sepertimu. Aku akan segera memberitahunya," jawab sang Raja antusias.

Kemudian, sang Raja memberi tahu pada anaknya tentang lamaran sang Pangeran.
Mereka akan menikah bulan depan. Putri teramat bahagia mendengar lamaran itu.
Apalagi, calon suaminya berparas sangat tampan.

Melihat anaknya begitu bahagia, Ratu pun memperingatkan sesuatu, "Anakku, Ibu
bukan bermaksud merusak kebahagiaanmu. Ibu hanya ingin kamu mengubah sikapmu.
Sebentar lagi kau memiliki suami. Apa jadinya jika ia tahu bila selama ini kamu kerap
berucap kasar?"

Sang Putri terdiam. "Tolonglah, Nak. Jaga ucapanmu. Berhentilah menyakiti perasaan
orang lain dengan kata-kata tak elok," pinta sang Ibu.

"Hmm, Ibu, aku rasa Pangeran akan mengerti segala sifat burukku," jawab sang Putri
enggan mengubah sikapnya.

Karena pernikahan akan diselenggarakan sebentar lagi, sang Putri jadi makin rajin
merawat tubuhnya. Setiap hari, ia rajin mandi di danau kecil belakang istana. la juga
mencampur air mandinya dengan bermacam-macam bunga yang harum. Agar semakin
halus, setiap hari ia menggosok kulitnya. Ia tak ingin ada noda sedikit pun di tubuhnya.
Tak jarang ia meminta dayang untuk menggosok punggungnya agar tampak bersih.

Pada suatu pagi yang lumayan cerah, seperti biasa, sang Putri mandi di danau. la
dengan semagat menggosok-gosok tubuhnya. Dua hari lagi, upacara pernikahannya
akan diselenggarakan dengan sangat mewah.

Tiba-tiba saja, ada seekor burung melintas di atas kepalanya. Karena terkejut, ia
langsung melihat ke arah burung. Secepat kilat menyambar, burung itu menyambar
wajah sang Putri dan mematuk hidungnya.

Hidung sang Putri terluka cukup parah. Darah berceceran di mana-mana. Ia pun
menangis sejadi-jadinya. "Aduh, hidungku! Bagaimana ini, “Dasar burung sialan,"
teriaknya sambil menangis dan menahan sakit. la lalu berlari ke istana dan menemui
ibunya.

"Bagaimana ini, Bu? Hidungku pasti cacat. Padahal pernikahanku tinggal sebentar lagi.
Bagaimana kalau aku terlihat jelek? Semua ini gara-gara burun nakal itu!" ucapnya
tersedu-sedu.
"Tenanglah anakku, meski hidungmu terluka, wajahmu tetap nampak cantik. Kau tak
perlu cemas," ucap sang Ratu sambil memeluk anaknya.

"Mana mau pangeran itu menikahi wanita dengan hidung yang cacat, Bu! la pasti akan
membatalkan pernikahannya. Huhuhu," ucapnya sedih.

"Jangan khawatir putriku, luka kecil ini tak akan menjadi masalah besar. Nanti, ibu akan
meminta tabib istana untuk mengobati lukamu," ucap sang Ratu menghibur.

"Tapi, aku sangat malu, Bu. Luka ini pasti akan membekas dan berwarna hitam.
Wajahku tak cantik lagi. Lalu, Pangeran tak lagi mencintaiku,” ucapnya sambil
menangis.

Ibunya tak sanggup lagi berkata-kata. Ia hanya terdiam sambil mengelu-elus rambut
anaknya. Setelah itu, tiba-tiba sang Putri berkata, "Mungkin lebih enak jadi ular.
Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan terlihat."

Sebelum Ratu sempat menjawab, tiba-tiba langit menjadi gelap dan petir menyambar.
Ratu dan Putri pun terkejut dan ketakutan. Tiba-tiba saja, sang Putri berubah wujud.

Ratu langsung panik, "Astaga! Apa yang terjadi padamu anakku?" Sang Putri telah
berubah wujud menjadi seekor ular besar dengan kulit hitam kehijauan. Kulitnya
sangatlah kasar dan bersisik, seperti yang diharapkan sang Putri.

Ular itu terus-terusan meneteskan air mata. Sang Ratu tak percaya melihat kenyataan
ini. "Apakah kau benar anakku? Tuhan, benarkah ini anakku?" ucap sang Ratu sambil
menangis melihat ular itu.

"Anakku, bukankah Ibu sudah berulang kali peringatkan kamu untuk menjaga ucapan?
Perkataan adalah doa, Nak. Sekarang lihatlah! Tuhan telah mengabulkan ucapanmu,"
ucapnya sambil menangis.

Ular itu tak menjawab. Ia hanya menggelangkan kepalanya sambil mendesis. Air mata
juga tak ada hentinya mengalir dari matanya. Raja dan Ratu pun meminta orang pintar
untuk mengembalikan wujud asli putri mereka. Namun, tak ada satu pun orang yang
bisa melakukannya. Putri Ular lalu tinggal di sebuah gua di belakang istana. Ia tak ingin
menampakkan dirinya karena sangat malu. Dalam hati ia berkata, “Maafkan aku, Ayah
dan Ibu. Seandainya aku bisa memutar waktu,” ucapnya bersedih.
Nama: Betaria Harianja Kelas: 2A

NPM: A1G022114 Dosen Pengampu: Dr. Abdul Muktadir, M.Si

Unsur Intrinsik “Kisah Putri Ular”

1. Tema

Inti cerita rakyat “Kisah Putri Ular” dari Simalungun ini adalah tentang seorang putri
yang tak bisa menjaga ucapannya. Lewat kata-kata kasar, ia sering kali menyakiti
perasaan orang-orang yang ada di sekitarnya.

2. Tokoh/Penokohan

- Tokoh Protagonis: Ratu dan Raja.

- Tokoh Antagonis: Putri.

- Tokoh Tritagonis: Raja Muda dan Dayang-dayang.

3. Latar

Terdapat dua latar tempat dalam cerita ini yaitu di istana dan danau. Dan juga
terdapat latar waktu dalam cerita ini yaitu pada pagi hari.

4. Alur

Dalam urutan alur cerita ini, menggunakan alur maju.

 Eksposisi (Perkenalan tokoh)

Kisah Putri Ular berawal dari seorang Putri cantik jelita yang suka berkata kasar. la
kerap menyakiti perasaan para dayang lewat ucapannya yang kasar. Suatu hari, ada
seorang Pangeran yang melamarnya. Tentu saja pangeran itu tak tahu sikap asli calon
istrinya itu.

 Komplikasi (Pemaparan Masalah)

Agar tampil mempesona di hari pernikahannya, sang Putri setiap hari pergi ke danau
untuk mandi. Tiba-tiba saja ada seekor burung mematuk hidungnya hingga berdarah-
darah.
 Klimaks (Puncak Permasalahan)

Di pelukan ibunya, sang Putri menangis tersedu-sedu. la khawatir wajahnya tak


cantik lagi. Seberapa pun usaha sang Ratu menenangkan, tetap saja anaknya menangis
tiada henti. Hingga akhirnya, sang Putri berkata kalau lebih baik ia menjadi ular saja.
Alasannya karena ular berkulit tebal sehingga tak mudah terluka. Dan, "Duar!" petir
menyambar dengan kerasnya. Ajaib! Sang Putri lalu berubah menjadi seekor ular besar
berwarna hitam kehijauan.

 Resolusi (Penyelesaian Masalah)

Ratu menangis penuh penyesalan. Begitu pun dengan Putri Ular. Ia tak ada hentinya
meneteskan air mata. Dari situ saja sudah terlihat bahwa ia sangat menyesali segala
sikap buruknya. Namun, nasi sudah jadi bubur. Penyesalan memang selalu datang
terakhir.

5. Gaya Bahasa
 Gaya bahasa paradoks: “Ia memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita.
Sayangnya, Ia memiliki sifat yang teramat buruk”
 Gaya bahasa sinisme: "Lebih baik jadi orang buta dari pada melihat wajahmu
yang jelek itu."
 Gaya bahasa klimaks: "Anakku, bukankah Ibu sudah berulang kali peringatkan
kamu untuk menjaga ucapan?
6. Sudut Pandang

Dalam cerita rakyat “Kisah Putri Ular”, menggunakan sudut pandang orang ketiga
karena yang menceritakan adalah orang lain.

7. Amanat/Pesan Moral

Pesan moral apakah yang bisa kamu petik dari cerita rakyat Putri Ular ini? Tentunya
ada beberapa amanat. Salah satu pesan utamanya adalah jaga ucapanmu. Bila tidak
bisa berkomentar baik, lebih baik diam saja. Sebab, ucapanmu bisa saja menyakiti hati
orang lain.

Pesan berikutnya adalah jangan lupa bersyukur atas nikmat yang telah Tuhan
berikan padamu. Jangan seperti sang Putri yang tak bersyukur dan asal bilang ingin jadi
ular hanya karena hidungnya dipatuk burung.

Anda mungkin juga menyukai