Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberi
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyusun makalah Sejarah Hukum
yang berjudul “Filsafat Komunikasi Etnis Melayu”.

Penyusunan makalah ini sebagai salah satu tugas untuk memenuhi


persyaratan mata kuliah Filsafat Komunikasi.

Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan


dalam teknik penulisan dan materi yang disampaikan. Mengingat kelemahan yang
dimiliki penulis, maka dari itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Pekanbaru, 12 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II KAJIAN TEORI..........................................................................................3
A. Filsafat Komunikasi......................................................................................3
B. Masyarakat Melayu.......................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................10
A. Budi Sebagai Nilai Dasar Komunikasi Etnik Melayu................................10
B. Norma-Norma Atau Aturan-Aturan Orang Melayu Tentang Komunikasi.13
C. Pepatah, Hikmah Dan Teladan Orang Melayu...........................................16
D. Dongeng Masyarakat Melayu.....................................................................19
E. Tradisi Orang Melayu.................................................................................21
BAB IV PENUTUP...............................................................................................24
A. Kesimpulan.................................................................................................24
B. Saran............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Komunikasi disadari oleh setiap kelompok masyarakat di jagad , termasuk


komunitas Melayu, sebagai instrument terpenting dalam membangun hubungan,
memelihara harmoni social dan menjaga kelangsungan hidup bersama diantara
mereka. Tidak ada masyarakat tanpa komunikasi karena hadirnya kehidupan
bersama mensyaratkan adanya hubungan satu dengan yang lain diikat oleh
komunikasi. Dalam khazanah pemikiran orang Melayu, komunikasi tampaknya
menjadi sendi dalam membangun kehidupan bersama. Orang Melayu lebih suka
mendahulukan cara komunikasi dalam mengembangkan hidup dan menangani
beragam masalah daripada cara kekerasan yang dianggap tidak cerdas dan tidak
beradab. Cara berpikir semacam ini tampak nyata dalam beragam kearifan lokal
masyarakat Melayu yang terepresentasikan dalam berbagai peribahasa dan
ungkapan.

Dalam komunikasi sehari-hari kita bukan hanya sering menemukan


peribahasa muncul dalam percakapan atau tulisan, melainkan juga melihat bahwa
percakapan suatu masyarakat umumnya merupakan cerminan dari peribahasa
yang ada. Peribahasa atau pepatah bijak yang memuat nilai-nilai komunikasi pada
dasarnya menggambarkan pandangan dunia (worldview) suatu kelompok
masyarakat tentang bagaimana berkomunikasi dan membangun hubungan sesama
manusia.

Tidak ada masyarakat tanpa komunikasi karena hadirnya kehidupan


bersama mensyaratkan adanya hubungan satu sama lain yang diikat oleh
komunikasi. Itu sebabnya setiap masyarakat berusaha untuk membangun sistem
keyakinan atau gagasan mereka tentang bagaimana suatu komunikasi sepatutnya
dilakukan berdasarkan pengalaman hidup dan perenungan yang dilakukan. Dalam
masyarakat Melayu tampak sekali bahwa komunikasi menjadi tema penting dalam

1
kehidupan keseharian. Dapat dikatakan hampir tidak ada aspek kehidupan yang
tidak disentuh oleh komunikasi mulai dari kehidupan pernikahan dan berkeluarga,
mendidik anak, menuntut ilmu, memimpin masyarakat, menyelesaikan konflik,
hingga menakar kualitas manusia. Komunikasi menyelinap ke dalam ruang-ruang
kehidupan manusia Melayu dan menjadi dasar dalam membangun seluruh
aktivitas kehidupan bersama. Kuatnya cara pandang komunikasi ini dalam
kehidupan bersama Orang Melayu setidaknya dapat dibuktikan dengan begitu
melimpahnya jumlah peribahasa dan ungkapan Melayu yang mengupas tentang
komunikasi.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diketahui beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Nilai-nilai apa yang dipegang oleh Orang Melayu?
2. Dan bagaimana pula norma-norma atau aturan-aturan Orang Melayu tentang
komunikasi yang baik?
3. Bagaimana pepatah, hikmah dan teladan orang Melayu?
4. Bagaiamana dongeng dikalangan orang Melayu?

5. Apa saja tradisi orang melayu?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan


penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Nilai-nilai apa yang mereka pegang.
2. Untuk mengetahui norma-norma atau aturan-aturan Orang Melayu tentang
komunikasi yang baik.
3. Untuk mengetahui pepatah, hikmah dan teladan orang Melayu.
4. Untuk mengetahui dongeng dikalangan orang Melayu.
5. Untuk mengetahui apa saja tradisi orang melayu.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Filsafat Komunikasi
Filsafat komunikasi1 adalah “disiplin ilmu yang menelah pemahaman secara
fundamental, metodologis, sistematis, analistis, kritis, dan holistis mengenai teori
dari proses komunikasi yang meliputi berbagai dimensi dan berdasarkan bidang,
sifat, tatanan, tujuan, fungsi, teknik, dan metode komunikasi.
1. Bidang komunikasi, meliputi komunikasi sosial, komunikasi organisasional,
komunikasi bisnis, komunikasi politik, komunikasi internasional, komunikasi
antarbudaya, komunikasi pembangunan, komunikasi tradisional, dan lain
lain.2
2. Sifat komunikasi: komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
3. Tatanan komunikasi: komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi,
komunikasi kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi media.
4. Tujuan komunikasi: mengubah sikap, mengubah opini, mengubah perilaku,
mengubah masyarakat, dan lain-lain.3
5. Fungsi komunikasi: menginformasikan, mendidik, menghibur, memengaruhi,
dan sebagainya.
6. Teknik komunikasi: komunikasi informatif, komunikasi persuasif,
komunikasi pervasif, komunikasi koersif, komunikasi instruktif, hubungan
manusiawi.

1
Venus, Antar. 2015. Filsafat Komunikasi Orang Melayu. Bandung: Simbiosa RekatamaMedia,
hlm 7.
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik..., hlm. 321.
3
Ibid, hlm 321.

3
7. Metode komunikasi: jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan,
propaganda, perang urat saraf, perpustakaan, dan sebagainya.4

Dengan demikian, jelas bahwa filsafat komunikasi mencoba menelaah


secara mendalam pemahaman (verstehen) seseorang atau kelompok dalam
berkomunikasi, baik berkaitan dengan metodologi, sistematika, analisis, tingkat
kekritisannya, dan keuniversalannya.5

Banyak ahli komunikasi yang mengungkap masalah filsafat komunikasi.


Salah satunya adalah Richard L. Lanigan yang secara khusus membahas analisis
filosofis mengenai komunikasi (philosophic analysis on communication). Lanigan
menulis bahwa filsafat sebagai suatu disiplin, biasanya dikategorikan menjadi
subbidang utama, terutama berkaitan dengan pertanyaan pokok:6

1. Apa yang aku ketahui? (What do I know?)


2. Bagaimana aku mengetahuinya? (How do I know it?)
3. Apakah aku yakin? (Am I sure?)

4. Apakah aku benar? (Am I right?)

Keempat pertanyaan di atas berkaitan langsung dengan penyelidikan yang


sifatnya sistematis dan analitis. Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui
berbagai disiplin, di antaranya adalah studi terhadap metafisika, epistemologi,
aksiologi, dan logika.

B. Masyarakat Melayu
Di Indonesia sebutan suku Melayu bersifat sangat cair sehingga sulit
mengidentifikasi sebuah etnik Melayu yang utuh dan integratif. Suku Melayu di

4
Ibid, hlm 322.
5
Ibid, hlm 322.
6
Ibid, hlm 323.

4
Indonesia mengalami centang perenang dan terpecah-pecah ke dalam sebutan-
sebutan yang lebih merujuk pemisahan geografis (provinsialisme) ketimbang
kesatuan etnik. Jadi orang sering menyebut dirinya sebagai suku Palembang,
Jambi atau Bengkulu daripada memberikan label Melayu Palembang atau Melayu
Bengkulu.

Sejauh ini hanya orang Riau, Deli (Sumatera Utara), Jambi dan Bangka
Belitung yang secara tegas memberikan label Melayu dalam menyertai sebutan
geografis mereka. Padahal sebaran Orang Melayu di Indonesia sangat luas mulai
dari Aceh Tamiang, Palembang, Kalimantan Barat, Kalimantan selatan, hingga
komunitas Melayu di Jembrana Bali.

Meskipun orang Palembang atau Pontianak jarang memberi label Melayu


pada identitas nama mereka, sebenarnya dalam pandangan anggota-anggota
komunitas ini mereka tetap menyebut diri mereka Melayu. Dalam konteks ini
hanya Orang Melayu yang secara tegas menyebut diri mereka tanpa label Melayu
meskipun bila dilihat dari berbagai aspek termasuk agama dan filsafat hidup yang
berbunyi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Sistem keyakinan ini
telah menjadi nilai-nilai dasar seluruh masyarakat Melayu di Indonesia, di
semenanjung Malaysia, bahkan di seluruh dunia Melayu.

Apabila kita berbicara tentang silsilah nenek moyang Orang Melayu, kita
juga menemukan kesamaan cerita/hikayat/tambo yang mengaitkan nenek moyang
Orang Melayu di wilayah Sumatera merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Dalam kitab Sulalatu'l Salatin bahkan diceritakan bahwa silsilah dari para raja di
kawasan Melayu, bermula dari kedatangan Sang Sapurba keturunan Iskandar
Zulkarnain, kemudian Sang Sapurba menjadi Maharajadiraja di Minangkabau,
dan dari tokoh inilah raja-raja di kawasan Melayu diturunkan7.

Bila melihat bukti-bukti sejarah, kita juga akan menemukan fakta bahwa
raja-raja yang memerintah di wilayah Sumatera (Pagaruyung dan Siak) ternyata
bertali temali dan saling mewarisi dengan kesultanan Johor. Pada 1718 Sultan
7
Venus, Antar. 2015. Filsafat Komunikasi Orang Melayu. Bandung: Simbiosa RekatamaMedia,
hlm 20.

5
Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecik) berhasil melengserkan Sultan Abdul Jalil
IV (yang merupakan kerabatnya) untuk kemudian menjadi Sultan Johor.8

Menurut pendapat Rouffaer yang juga diamini Prof Krom9, Pagaruyung


bahkan pernah menjadi pusat Kerajaan Melayu yang bernama Malayapura. Bukti
yang menujukkan klaim ini adalah adanya Piagam Sungai Langsat tahun 1347
yang juga menjelaskan Adityawarman sebagai pemimpin kerajaan tersebut.
Disamping itu, dalam naskah-naskah Cina kuno yang menceritakan kerajaan Mo-
Lo-Yu (Melayu) di dalamnya juga termasuk wilayah Sumatera Barat, khususnya
Dharmasraya, yang pernah juga menjadi pusat Kerajaan Melayu. Sedangkan bila
kita melihat bukti arkeologis maka asal muasal orang Melayu yang bermukim di
Nusantara maka mereka berasal dari Yunan yang datang pada zaman batu Baru
(neolitikum) membawa kebudayaan Dongsong.

Dalam hal kesamaan elemen budaya, khususnya yang diklaim terkait


dengan tiga aspek yang mendefinisikan Melayu yakni berbahasa Melayu,
beragama Islam, dan berbudaya Melayu43.kita menemukan banyak kesamaan
antara etnik Melayu Riau, Deli, Jambi, Sambas hingga Minangkabau, yakni
kesamaan dalam hal Bahasa Melayu (menggunakan dialek berbeda)44, Beragama
Islam, sistem kepercayaan dan nilai-nilai filosofis yang berbasis pada “adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Namun demikian, perbedaan adat
istiadat juga ada diantara kelompok etnik Melayu terlebih pada masyarakat
Minangkabau yang mengambil sistem keturunan matrilineal.

Dengan menggunakan pendekatan adat-istiadat, Orang Minang yang


menggunakan garis keturunan matrilineal tampaknya agak sukar dikelom- pokkan
sebagai bagian Melayu yang bersifat patrilineal. Akan tetapi, bila kita
menggunakan pendekatan kekerabatan bahasa, maka Orang Melayu jelas beretnik
Melayu karena bahasa mereka pada kenyataanya merupakan salah satu dialek
Bahasa Melayu saja. Bila kita membuat ‘Skala Rentang Kemelayuan’ maka Orang
Melayu berada pada sisi kekontrasan yang paling lebar dalam rumpun Melayu,

8
Ibid, hlm 21.
9
Ibid, hlm 22.

6
dan Orang Melayu Riau berada dalam sisi yang sebaliknya dengan identitas
kemelayuan yang paling kental. Pengategorian inipun hanya dapat berlaku bila
standar Kemelayuan yang digunakan adalah adat istiadat Melayu Riau.

Pada kenyataanya diantara masyarakat Melayu sendiri tampaknya mereka


lebih suka menggunakan pendekatan yang dalam teori pertimbangan sosial
disebut sebagai “efek kontras”, yang membesar-besarkan perbedaan kecil menjadi
faktor pembeda utama. Padahal bila dilihat dengan konsep “efek asimilasi”,
perbedaan tersebut sebenarnya hanya dianggap sebagai varian dari fenomena
keberagaman etnik Melayu yang besar.

Oleh karena cara pandang pemimpin lokal Melayu yang sempit dan sering-
kali dipicu oleh sentimen lokal untuk penguasaan sumberdaya ekonomi dan
politik, maka pemimpin lokal tersebut menghembuskan dan mengkontraskan
identitas mereka dengan saudara ‘serumpun rapat’ sehingga seolah tampak benar-
benar berbeda. Akibat dari cara bertindak seperti ini maka etnik Melayu di
Indonesia menjadi etnik yang terpecah-pecah, terkotak-kotak tidak solid, dan tidak
memiliki kebanggaan serta visi bersama tentang kemelayuan.

Sebelum kemerdekaan Indonesia, Orang Melayu juga umumnya di sebut


oleh orang Jawa dan media surat kabar di wilayah Hindia Belanda sebagai Orang
Melayu saja yang sekelompok dengan Melayu Deli atau Melayu Riau. Jauh
sebelum itu, istilah Melayu bahkan sudah digunakan untuk menamai kesatuan
etnik di kawasan Sumatera dan semenanjung Malaysia sebagaimana disebut
dalam naskah China, kitab Vayu Purana India atau juga atlas geografi Ptolemaeus.

Penggunaan kata Melayu sendiri menjadi labih populer setelah Kesultanan


Malaka berkembang menjadi kerajaan maritim yang turut memopulerkan
penggunaan Bahasa Melayu sebagai linguafranca di wilayah Nusantara. Bahasa
Melayu inilah yang kemudian menjadi kekuatan pemersatu diantara berbagai etnik
rumpun Melayu di wilayah Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia,
hingga selatan Thailand dan menghasilkan kekayaan budaya termasuk peribahasa

7
dan Beragam ungkapan yang pada dasarnya mencerminkan alam pikiran Orang
Melayu.

Penggunaan Bahasa Melayu inilah yang saat ini menjadi identitas dan
penciri terpenting kemelayuan sebenarnya. Berdasarkan alasan ini maka kita dapat
menyebutkan, siapa pun yang menggunakan B ahasa Melayu sebagai bahasa ibu
dan secara psikologis mengklaim dirinya sebagai Orang Melayu, maka orang
tersebut dapat digolongkan dalam etnik yang sama yakni Orang Melayu. Kriteria
ini tentu saja menjadi sangat cair tapi definisi ini lebih terbuka dan pula lebih
sesuai digunakan untuk mengalisis cara pandang Orang Melayu tentang
komunikasi dengan menggunakan standar peribahasa. Tentu saja kesamaan
bahasa tersebut merupakan kriteria pokok saja dalam mendefinisikan
kemelayuan49. Kriteria lainnya adalah beradat istiadat Melayu dan beragama
islam, dan memiliki ikatakan psikologis sebagai Orang Melayu. Mengapa
beberapa kriteria tersebut harus digunakan?

Alasannya dengan menggunakan kriteria bertingkat tersebut maka kita bias


menelususri tingkat afinitas atau kohesivitas kemelayuan seseorang. Bila
seseorang mengklaim dirinya Melayu, maka pernyataan tersebut pada dasarnya
sudah cukup untuk membuat dirinya Melayu. Secara filosofis hak setiap orang
untuk secara merdeka menyatakan dirinya dari etnik mana tidak boleh dihambat.
Cara ini adalah cara yang paling manusiawi dan beradab. Cara ini juga yang
paling bisa diterima dalam kehidupan demokrasi dan globalisasi saat ini. Cara ini
pula yang paling menghargai hak asasi manusia.

Setelah seseorang mengklaim dirinya Melayu, barulah kita bisa melihat


tingkat afinitas seseorang dengan etnik yang diklaimnya. Apabila ia menggunakan
Bahasa Melayu dalam kehidupan sebagai bahasa ibunya, maka tingkat afinitasnya
menjadi lebih kuat. Ciri ini sudah menempatkannya lebih jauh sebagai Orang
Melayu dan bukan hanya klaim pribadi (personal claimed). Apabila seseorang
kemudian juga hidup dengan cara Melayu, berada istiadat Melayu seperti

8
dicirikan dengan pakaian, makanan, dsb, maka keterlibatannya menjadi lebih
tinggi lagi.

Terakhir, ketika seseorang juga beragam Islam maka dia dapat menyelami
kehidupan Melayu yang berakar kuat pada kegiatan yang bersifat islami Seperti ke
surau, merayakan idul fitri, atau berpuasa. Agama merupakan pintu masuk bagi
klaim sebagai Orang Melayu, bahkan istilah masuk Melayu (enter Malay)
digunakan oleh berbagai pihak untuk mengelompokan seseorang yang masuk
Islam.

Dari seluruh kriteria kemelayuan diatas, kriteria bahasa nampaknya menjadi


kriteria pokok untuk menyebut seseorang sebagai Orang Melayu atau bukan.
Selama seseorang menggunakan Bahasa Melayu (dengan beragam variannya)
sebagai bahasa ibunya maka Ia secara otomatis dapat disebut sebagai Orang
Melayu. Kriteria berikutnya menjadi kriteria afinitas (kedekatan) dan kohesivitas
(kelekatan) seperti berbudaya melayu, beragam Islam, dan merasa diri sebagai
Orang Melayu. Keutuhan identitas sesorang sebagai Orang Melayu akan
terbangun sejalan dengan terpenuhinya keempat kriteria tersebut.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Budi Sebagai Nilai Dasar Komunikasi Etnik Melayu


Secara paremiologis berbagai definisi budi yang menyamakannya dengan
akal sebenarnya kurang begitu tepat. Berdasarkan dari berbagai ungkapan tentang
budi yang berjumlah 62 buah, hanya terdapat tujuh istilah yang terkait akal di
antaranya akal budi, sebudi akal, dan lautan akal tepian budi. Padalah, menurut
logika, bila budi diartikan sebagai akal, jumlah entri yang memadukan kedua kata
tersebut akan lebih banyak. Lebih dari itu, apabila budi diartiakan sebagai akal,
tidak akan ada istilah “akal budi” yang diartikan sebagai pikiran yang sehat.
Dalam konsep budi ada dimensi pikiran atau akal, tetapi itu hanya satu bagian.
Bagian lainnya yang lebih besar adalah rasa dan spiriitualitas yang terpadu dalam
organ metaforik yang disebut hati. Jadi budi merupakan perpaduan antara akal dan
hati. Dengan demikian benar adanya jika Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengartikan budi sebagai “organ batin yang merupakan perpaduan akal dan
perasaan untuk menimbang baik dan buruk10.
Ketika Kesultanan Melaka yang dibangun oleh keturunan Kerajaan Melayu
asal Palembang (yang berazaskan Islam) berkembang pada abad ke 15 Masehi,
konsep budi tersebut tampaknya telah termelayukan dan memperoleh arti, fungsi,
dan nilai tersendiri dalam masyarakat Melayu dan terlepas dari pengertian awal

10
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2003. Jakarta PN Balai Pustaka. Hal 18 dan 170

10
kata ini yang bernuansa religius. Kata ini kemudian diislamisasi dan
dipertahankan pemakaiannya serta tetap menjadi konsep kearifan lokal untuk
penanaman nilai-nilai dan karakter kemelayuan (Malayness Character) pada
masyarakat Melayu. Andaya11 menyebut masa Kesultanan Melaka adalah masa
peralihan antara Budha dan Islam. Menurutnya, hingga pertengahan abad ke-15
lingkungan Istana Melaka belum sepenuhnya ber-Islam dan menjalankan
pemerintahan berdasarkan Islam. Proses peralihan nilai dan sistem kepercayaan
masyarakat Melayu dari sisa-sisa budhisme ke dalam Islam tampaknya berjalan
alamiah dan bertahap, dipelopori oleh pihak istana.
Masuknya Islam ke tanah Melayu membuat seluruh sistem gagasan dan
pandangan dunia Orang Melayu yang berkembang sejak masa Sriwijaya (abad 7-
11) mengalami rekonstruksi dan ditata kembali dengan menggunakan ajaran Islam
sebagai pijakannya. Itu sebabnya seluruh sistem gagasan dan keyakinan Orang
Melayu yang tercermin khususnya dalam peribahasa dan ungkapan yang ada saat
ini, dapat dikatakan sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Bahkan, dapat dikatakan sistem gagasan dan nilai-nilai hidup yang berlaku di
lingkungan Orang Melayu saat ini adalah nilai-nilai Islam. Ada kemungkinan
penyebaran nilai-nilai kemelayuan Islam termasuk konsep budi yang bernuansa
Islam ke seluruh kepulauan Nusantara (Malay archipelago) terjadi pada masa
kejayaan Melaka di bawah Sultan Mansyur Sah (1458-1477), yang wilayahnya
meliputi hampir seluruh Semenanjung Malaysia dan sebagian besar wilayah
Sumatera12.
Penyelarasan cara hidup Melayu dengan nilai-nilai Islam merupakan
realisasi adagium utama adat Melayu yakni “adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah”. Pernyataan ini menegaskan bahwa norma-norma, nilai-nilai, dan
praktik kehidupan (termasuk praktik komunikasi) hendaknya didasarkan pada
ajaran Islam. Itu sebabnya maka konsep budi sebagai nilai dasar (core values)
Orang Melayu kemudian mengalami rekonstruksi sesuai ajaran Islam. Sebaliknya

11
Andaya, Leonard Y. 2001. Aceh’s Contribution to Standards of Malayness. Dalam Archipel 61.
Paris
12
Lihat artikel berjudul Menyoal (kembali) ‘dwitunggal’ melayu-islam. Melaui ttp://
adeirawan74.wordpress. com/ 2010/02/02/kerajaan-kerajaan-islam-di-indonesia/

11
ajaran Islam kemudian dibumikan di alam kehidupan Orang Melayu sehingga
menghasilkan identitas Orang Melayu yang beragama Islam tapi tetap menjadi
Orang Melayu. Konsep memelayukan berbagai aspek atau anasir asing yang baik
dalam masyarakat Melayu dapat disebut dengan istilah Melayu jadi.
Konsep budi sebaliknya adalah konsep nilai yang bersifat internal yang
memuat sistem keyakinan Orang Melayu tentang hal-hal penting, berguna dan
ideal yang dikehendaki bersama oleh mereka. Hal-hal yang bersifat ideal itu
dianggap sangat penting karena memiliki kualitas yang diidamkan oleh seluruh
anggota masyarakat. Nilai ini adalah sesuatu yang dipelajari (learned values) dan
secara sistematik ditanam dalam diri seseorang oleh keluarga, sekolah, dan
institusi masyarakat lainnya. Menurut Rokeach13 nilai merupakan bentuk
keyakinan yang bersifat abadi dan tidak tergerus oleh zaman. Karena sifatnya
yang demikian, nilai kebudian menjadi nilai dasar permanen dalam menentukan
patokan-patokan perilaku yang benar atau salah dan menentukan hal-hal yang
penting dalam kehidupan Orang Melayu dari masa ke masa. Tingkat internalisasi
dan implementasi nilai-nilai ini bisa berbeda dari orang ke orang atau dari satu
generasi ke generasi, akan tetapi keberadaan nilai dasar budi tetap menjadi pijakan
fundamental yang bersifat internal bagi Orang Melayu.
Sebagai nilai dasar, konsep budi tampaknya bukan hanya menjadi patokan
berperilaku Orang Melayu, tapi juga selama berabad-abad konsep ini telah
menjadi semacam semangat dan energi hidup (elan vital) Orang Melayu. Bila
ditelusuri lebih jauh dapat dipastikan nilai-nilai kebudian merupakan mata rantai
terpenting dalam mengeksplorasi dan menelusuri sistem gagasan dan warisan
pemikiran Orang Melayu sejak masa kejayaan Sriwijaya baik di Palembang,
Jambi, maupun Muara Takus (Riau) hingga berakhirnya kerajaankerajaan Melayu
Islam di Nusantara. Dari analisis paremiologis juga tampak bahwa cita-cita hidup
Orang Melayu termasuk dalam merengkuh kemuliaan, kehormatan, keberadaban,
dan kegemilangan sebagai sebuah bangsa atau etnik terletak pada pencapaian
budi. Beberapa pernyataan yang meneguhkan tentang hal ini misalnya peribahasa
“putih tulang di kandung tanah, budi baik dikenang jua” yang mencerminkan nilai
13
Rokeach dalam Antar Venus, Manajemen Kamppanye, 2004.mengartikan nilai sebagai sistem
keyakinan yang bersifat abadi. Nilai tersebut mencakup nilai terminal dan instrumental.

12
kehormatan hidup Orang Melayu, atau pernyataan “orang kaya bertabur harta
orang mulia bertabur budi”, dan “baik bangsa karena budi, rusak bangsa karena
budi” yang memperlihatkan kemuliaan dan keberadaban bangsa mesti didasarkan
pada pencapaian budi.
Konsep nilai dasar atau nilai akhir merupakan gagasan yang penting dalam
membicarakan filsafat sebagai pandangan hidup. Para filsuf mengartikan nilai
akhir (final value) ini sebagai sesuatu yang ideal, suatu kebaikan tertinggi
(summum bonum) yang dikejar oleh semua orang14. Nilai akhir ini berdasarkan
penelusuran Bagus ternyata berbeda-beda antara filsuf yang satu dengan filsuf
yang lain atau antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya.
Aristoteles misalnya menganggap “kebahagiaan” sebagai nilai akhir yang harus
dikejar oleh manusia dalam hidup mereka, Albert Camus menyebut “solidaritas
kemanusiaan” yang paling penting dan besar artinya bagi kemanusiaan. Filsuf
Comte berpendapat lain lagi. Ia memandang kemajuan dan keteraturanlah sebagai
yang paling pokok dalam hidup manusia, sedangkan Ortega Y. Gasset dan Jean-
Paul Sartre memandang otentisitas sebagai hal terpenting dalam hidup dan
menjadi nilai final bagi manusia.
Bila kita telusuri berbagai gerakan filsafat yang ada, mereka juga
menyodorkan nilai final yang berbeda-beda, misalnya kaum neohegeliaan yang
merekonstruksi pandangan eudamonistik Aristoteles berpendapat bahwa realisasi
diri atau pemenuhan diri sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan, sedangkan
gerakan Stoisisme menekankan apathia atau ketenangan berpikir sebagai nilai
final yang mesti dicari. Gerakan filsafat abad 21 yang mengeksplorasi nilai-nilai
universal untuk menghadapi persoalan yang timbul akibat globalisasi dan
lompatan teknologi informasi meyakini bahwa kebenaran, penghargaan terhadap
manusia, dan pantangan menyakiti orang yang tak bersalah merupakan tiga pilar
utama nilai kemanusiaan15.

14
Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat yang secara komprehensif menjelasakan tentang Nilai
final yang diuraikan secara komprehensif dengan membedakan berbagai muatan nilai final.
15
Uraian tentang nilai-nilai universal ini dilaporkan oleh Clifford Christians dan Michael Traber
dalam buku Communication Ethics and Universal Values, Thousand Oaks, USA 1997. Buku ini
mengekplorasi dan melakukan komparasi nilai-nilai universal dari lima benua dan beragam aliran
keagamaan.

13
B. Norma-Norma Atau Aturan-Aturan Orang Melayu Tentang Komunikasi
Pada masyarakat Melayu aturan-aturan atau norma-norma komunikasi lebih
banyak muncul dalam bentuk ungkapan dan peribahasa. Apabila kita mnggunakan
entri yang disusun pakar budaya Melayu Tenas Effendyi , terdapat 7055 ungkapan
dan peribahasa terkait norma. Akan tetapi apa yang ditulis Tenas juga ternyata
belum mencakup keseluruhan peribahasa Melayu yang ada. Misalnya apabila kita
bandingkan buku Effendy dengan buku yang ditulis Chaniago dan Pratama maka
terdapat lebih dari 1200 entri yang tidak tercakup dalam buku Effendy. Belum
lagi bila kita menambahkan buku “Peribahasa Melayu” dari Ahmad Syamsuddin
dan buku “Kamus Istimewa Peribahasa Melayu‟ dari Abdullah Hussain. Apabila
semua buku tersebut digabungkan, maka secara keseluruhan diperkirakan terdapat
lebih dari 9000 ungkapan dan peribahasa yang tersebar dalam lingkungan etnik
Melayu. Apabila kita telusuri, dengan menggunakan analisis paremiologis, dari
jumlah 9000 ungkapan dan peribahasa tersebut terdapat sekurangnya 2365
ungkapan yang terkait dengan aspek komunikasi antarmanusia. Ini merupakan
jumlah yang besar yang menunjukkan kuatnya perhatian orang Melayu terhadap
kegiatan komunikasi antarmanusia. Jumlah entri yang besar ini juga sekaligus
menunjukkan lengkapnya nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur komunikasi
antarmanusia di lingkungan masyarakat Melayu. Norma-norma komunikasi dalam
masyarakat Melayu mudah diidentifikasi karena dalam “Tunjuk Ajar Melayu”
atau panduan normatif membentuk kepribadian Melayu, secara gamblang tertulis
bentuk-bentuk perilaku sosial atau khususnya perilaku komunikasi yang
dianjurkan atau dilarang di lingkungan masyarakat Melayu. Untuk Pantang
Larang Basa (PLB) terdapat 35 pantangan yang ditanamkan dalam proses
sosialisasi nilai-nilai Melayu meliputi;
Pantang berbudi mengharap puji
Pantang kuasa paksa memaksa
Pantang duduk bercakap besar
Pantang musyawarah terikat lidah
Pantang berunding tidak sebanding
Pantang tunduk tak dapat tengadah

14
Pantang tegak menepuk dada
Pantang bercakap membuang adab
Pantang bercakap mulut disumbat
Pantang bercakap mengulum lidah
Pantang berbual membuang akal
Pantang berbual membuang masa
Pantang bertanya tidak bermakna
Pantang menjawab tidak beradab
Pantang mencoreng arang dikening
Pantang bodoh diperbodoh
Pantang menolong berharap sanjung
Pantang menjilat ludah
Pantang menepuk air di dulang
Pantang menagguk di air keruh
Pantang menggunting dalam lipatan
Pantang bertanam tebu dibibir
Pantang berpesan tidak diturut
Pantang telunjuk lurus, kelingking berkait
Pantang pepat di luar, runcing di dalam
Pantang sekelambu seteru berseteru
Pantang setalam bermuka masam
Pantang seperiuk kutuk mengutuk
Pantang sebelanga hina menghina
Pantang sekeluarga aniaya menganiaya
Pantang sedusun hamun menghamun
Pantang sebanjar kasar mengasar
Pantang senegeri caci mencaci
Pantang sesuku palu memalu
Pantang di helat umpat mengumpat.
Di samping ungkapan Pantang Larang yang tegas sebagaimana tercakup
dalam 35 pantang larang basa (berbicara) tersebut, larangan terkait komunikasi

15
pada masyarakat Melayu juga terekspresikan dalam berbagai ungkapan deskriptif
yang mengindikasikan perbuatan yang tidak patut dilakukan di antaranya ; Asik
berbual, nama terjual Asik berbual, rumah terjual Asik berbual, ladang terjual
Asik berbual, keluarga terjual Asik berbual, kampung terjual Kerana berbual,
badan terjual. Larangan ini menunjukkan bahwa berbicara kesana kemari tak
tentu arah memang mengasyikan. Akan tetapi perilaku seperti itu tidak produktif
dan akan mendatangkan kemudharatan atau kerugian. Larangan banyak bicara
juga muncul dalam ungkapan; Besar cakap, kerja tak lelap Besar cakap, kerja
menyelap Besar cakap, hati berkurap 4 Konsep pantang-larang dan anjuran dalam
budaya Melayu merupakan sumber norma-norma komunikasi terpenting dalam
praktek komunikasi sehari-hari. Berdasarkan analisis paremiologis yang penulis
lakukan terhadap peribahasa Melayu yang ada, terdapat dua belas aturan
komunikasi yang menjadi pegangan orang Melayu yang meliputi enam „aturan
anjuran‟ dan lima „aturan pantangan/larangan‟. Keenam aturan anjuran tersebut
meliputi; (1) katakan yang sepatutnya dikatakan, (2) berbicara untuk tujuan yang
sepatutnya baik, (3) berbicaralah secara berhati-hati, tepat dan mengikuti alur (4)
pahami perbedaan cara pandang, (5) pahami situasi komunikasi dan (6) satukan
kata dengan perbuatan. Sementara enam aturan larangan mencakup (7) jangan
bicara berlebihan, (8) Jangan Membungkam hak bicara orang (9) Jangan
mencampuri urusan orang, (10) Jangan membuka aib orang, (11) jangan tergesa-
gesa, dan (12) jangan sombong. Berikut uraian terkait keduabelas aturan atau
norma-norma komunikasi tersebut.

C. Pepatah, Hikmah Dan Teladan Orang Melayu


Untuk pepatah, hikmah dan teladan melayu, penulis mengambil contoh
Tunjuk Ajar Melayu Tenas Effendy. Kata “tunjuk ajar” merupakan kata majemuk
yang terdiri dari dua kata: “tunjuk” dan “ajar”. Kata “tunjuk” menurut kamus
merupakan kata dasar yang berarti “menunjukkan”. Dari kata dasar itu akan lahir
banyak sekali kata turunan dan kata majemuk, seperti tunjuk diri (tunjuk muka);
tunjuk hidung (langsung mengatakan siapa yang dicari atau yang dicurigai);
tunjuk muka (memperlihatkan diri atau muka) misalanya menghadap orang besar

16
dan sebagainya); tunjuk perasaan (demonstrasi, unjuk rasa). Kata “ajar” berarti
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau (diturut).16
Tenas Effendy, pengumpul TAM mendefinisikan tunjuk ajar adalah segala
jenis petuah, nasehat, amanah pengajaran dan contoh tauladan yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia dalam arti luas. Sedangkan Tunjuk Ajar Melayu adalah
segala petuah, amanah, suri teladan dan nasehat yang membawa manusia ke jalan
yang lurus dan diridhai Allah yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam
kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.17
Ungkapan di atas mencerminkan petuah yang mengajarkan orang untuk
menyeimbangkan kehidupan duniawi dengan ukhrawi, menyeimbangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan asas-asas keimanan dan ketaqwaan sehingga
terwujud perpaduan yang serasi, yang bisa membawa kesejahteraan di dalam
hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan sampai
kepada kehidupan di akhirat. Lazimnya, nilai-nilai asas yang diwariskan kepada
anak-anak orang Melayu adalah nilai-nilai luhur agama, budaya, spiritualitas,
nilai-nilai religius yang mereka anut, maka intinya adalah:
1. Sifat tahu asal mula jadi, tahu berpegang pada Yang Satu
“tahu asal mula kejadian
tahu berpegang pada Yang Satu
hamba tahu akan Tuhannya
makhluk tahu akan Khaliknya
yang agama berkokohan
yang iman berteguhan
yang sujud berkekalan
yang amal berkepanjangan
sesama manusia ia berguna
sesama makhluk ianya elok
di dunia ia bertuah
di akhirat peroleh berkah”
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikian dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 13.
17
Tenas Effendy, Tunjuk Ajar..., hlm. 7.

17
“apa tanda melayu jati
tahu asal kejadian diri
tahu hidup akan mati
tahu akhirat tempat berhenti
tahu syahadat pangkat ibadat
tahu iman jadi pegangan
tahu Islam penyelamat alam
tahu kaji sempurna budi”
Pengertian kalimat “Siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya”
yang tersebut dalam Aṡar, ialah mengenal diri sendiri merupakan salah satu cara
mengenal Allah. Apabila manusia merenungi kelemahan dirinya, keterbatasannya,
kebutuhannya dan ketidakberdayaannya mengambil kemanfaatan untuk dirinya
serta menghindarkan bahaya darinya, maka ia akan mengetahui bahwa ia
mempunyai Tuhan dan Pencipta yang mandiri dalam menciptakannya, mandiri
dalam membantunya, mengatur dan mengendalikannya, kemudian ia sadar bahwa
ia hanyalah seorang hamba yang serba terbatas dan semua persoalan di tangan-
Nya, yang tiada lain adalah Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
2. Sifat tahu membalas budi:
“tahu ‘kan perit ibu mengandung tahu ‘kan pahit ayah mendukung tahu ‘kan
sakit membesarkannya tahu ‘kan hutang yang dibebannya tahu ‘kan belas
kasihan orang, tahu ‘kan bela pelihara orang tahu ‘kan budi baik orang,
tahu berbudi membayar hutang tahu berkorban memikul beban, tahu
beramal berbuat baik” “apa tanda Melayu jati kepada ibu bapa ia berbakti
apa tanda Melayu jati mentaati ibu bapa sepenuh hati apalah pesan ibu dan
bapak memelihara orang tua janganlah mengelak” apa tanda Melayu jati”
hidup ikhlas menenam budi apa tanda Melayu jati elok perangan mulia
pekerti apa tanda Melayu jati hidupnya tahu membalas budi”
Sifat tahu membalas jasa ibu dan bapak 18, tahu membalas budi guru, dan tahu
membalas segala kebaikan orang. Sifat ini dapat mendorongnya untuk Dalam
budaya masyarakat Melayu, seseorang yang telah berbudi kepada orang yang
18
Lihat juga: Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu tentang Taat kepada Ibu dan Bapak (Pekanbaru:
Lembaga Adat Melayu Riau, 2013), hlm. 1-2.

18
lain akan tetap menjadi sebutan dan kenangan dalam ingatan orang yang
menerima budi walaupun jasad orang yang berbudi tersebut telah hancur
dikandung tanah bertahun-tahun yang lalu. Justru, berbudi kepada seseorang
dan mengenang budi orang adalah sangat penting dalam budaya masyarakat
Melayu. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dalam budaya masyarakat Melayu
nilai mengenang budi adalah sangat diutamakan dalam pemikiran bangsa
Melayu.

D. Dongeng Masyarakat Melayu


Salah satu dongeng masyarakat melayu yang terkenal adalah “Batang
Tuaka” yang berasal dari masyarakat melayu Indragiri Hilir. Berikut adalah
dongeng Batang Tuaka19:
Di sungai Indragiri Bagian Hilir terdapat muara anak sungai yang bernama
Batang Tuaka. Berabad-abad silam tidak jauh dari pinggir sungai tinggallah
seorang janda miskin dengan anaknya yang bernama Tuaka. Pekerjaannya
sehari-hari mencari kayu bakar di hutan. Suatu hari, Tuaka dan ibunya pergi
mencari kayu bakar di hutan, sedang membelah kayu mereka dikejutkan
dengan hadirnya dua ekor ular yang sedang berkelahi memperebutkan
permata. Secara tidak sengaja permata tersebut jatuh dekat ibu Tuaka dan
mengambilnya kemudian mereka melarikan diri dari kedua ular tersebut.
Ternyata harga permata tersebut sangat mahal. Tidak yang yang sanggup
membelinya kecuali saudagar yang berasal dari Singapura. Oleh karena
alasan tesebut, maka Tuaka berangkat ke Singapura untuk menjual permata
tersebut. Sepuluh tahun berlalu, akan tetapi Tuaka tak kunjung pulang. Tuaka
sudah menjadi saudagar kaya di Singapura. Akhirnya Tuaka pulang dengan
membawa sang istri. Melihat keadaan ibunya, karena malu dengan istrinya
Tuaka tidak mengakui perempuan tersebut ibunya. Ibunya merasa sedih dan
mengutuk Tuaka menjadi Elang berkulik-kulik ditengah hari. Masyarakat
rumpun Melayu sekitar Indragiri menganggap kisah ini benar-benar terjadi
dahulu kala. Suara Elang berkulik-kulik di tengah hari dipercaya sebagai jerit
Tuaka.

Cerita Batang Tuaka, pada kutipan “Tuaka tidak punya pilihan. Dia
mengalami delima yang berat. Di satu sisi, dia tidak sanggup meninggalkan
ibunya. Dan di sisi lain ia ingin nasibnya berubah dan perubahan itu harus
dijemput nun jauh di seberang lautan tepatnya di Bandar Tumasik. Dengan berat

19
Hermansyah, 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Indragiri Hilir. Indragiri Hilir: Pemerintah
kabupaten Indragiri Hilir. Hlm 11-12.

19
hati Tuaka pun bersiap-siap akan berangkat. Ia memohon restu ibunya. Tuaka
tidak lupa berpesan kepada sahabat karibnya serta handai taulannya bahwa ia akan
mengadu nasib dirantau orang”. Nilai moral yang terdapat pada cerita Batang
Tuaka dalam kutipan di atas adalah timbulnya hati nurani Tuaka tidak tega
meninggalkan ibunya sendiri yaitu Di satu sisi, dia tidak sanggup meninggalkan
ibunya. Kutipan tersebut dapat difahami bahwa hati nurani Tuaka tidak sanggup
untuk meninggalkan ibunya sendiri apalagi kondisi hidupnya yang miskin. Jika
ibunya tinggal sendiri siapa yang mau nenafkahi ibunya yang janda itu. Sikap
Tuaka tersebut menunjukan bahwa ia memiliki hati nurani. Hal tersebut sesuai
dengan nilai moral yang berkaitan dengan hati nurani, baik untuk ditiru dalam
kehidupan sehari-hari.
“Percuma Adinda mempunyai mertua seorang bangsawan kaya raya di
Indragiri seperti kerap Kakanda ceritakan. Tetapi, Adinda sebagai anak
menantunya belum sempat berpandang muka. Jangankan hendak mengenalinya”
kata Nilam Sari lagi. “Karena itu ajaklah adinda segera ke Indragiri. Ingin benar
hati ini ke sana” pinta istri Tuaka bertubi-tubi”. Nilai moral yang terdapat pada
cerita Batang Tuaka dalam kutipan di atas adalah timbulnya hati nurani istri
Tuaka, Nilam Sari untuk berjumpa dengan mertuanya yang selama ini belum
pernah ia jumpai. yaitu Percuma Adinda mempunyai mertua seorang bangsawan
kaya raya di Indragiri seperti kerap Kakanda ceritakan. Tetapi, Adinda sebagai
anak menantunya belum sempat berpandang muka. Jangankan hendak
mengenalinya. Kutipan di atas dapat difahami bahwa hati nurani Nilam Sari
sebagai menantu ia harus tahu dan mengenal mertuanya. Selama menikah ia
belum pernah dikenalkan oleh suaminya Tuaka kepada mertuanya. Sikap Angel
menunjukan bahwa ia memiliki hati nurani. Sebagai menantu harus tahu siapa
mertuanya. Hal tersebut sesuai dengan nilai moral yang berkaitan dengan hati
nurani, baik untuk ditiru dalam kehidupan sehari-hari.
“Akhirnya, saudagar muda Tuaka pun tergerak hatinya hendak pulang.
Tidak lama setelah itu tampaklah tujuh buah kenunar sarat muatan memasuki
sungai Indragiri. Sebuah sekunar paling besar, bagus pula perlengkapannya, itulah
yang ditumpangi Tuaka dan Nilam Sari, istrinya. Rombongan itu itu terus ke

20
mudik dan belum sampai menengah matahari telah berlabuh disebuah muara
cabang anak sungai.” Nilai moral yang terdapat pada cerita Batang Tuaka dalam
kutipan di atas adalah Hati nurani Tuaka untuk pulang melihat kampung halaman
dan memenuhi keinginan istrinya untuk menemui orangtuanya. Teks yang
menyatakan demikian adalah Akhirnya, saudagar muda Tuaka pun tergerak
hatinya hendak pulang. Kutipan di atas dapat dipahami bahwa hati nurani Tuaka
memutuskan untuk pulang melihat kampung halamannya sekaligus memenuhi
keinginan istrinya untuk berjumpa orangtuanya. Sikap Tuaka menunjukkan hati
nurani Tuaka dalam memenuhi keinginan istrinya. Sikap Tuaka menunjukan
bahwa ia memiliki hati nurani. Hal tersebut sesuai dengan nilai moral yang
berkaitan dengan hati nurani, walaupun sebenarnya tidak baik untuk ditiru dalam
kehidupan sehari-hari.

E. Tradisi Orang Melayu


Ada banyak tradisi yang biasa dilakukan masyarakat melayu. Dalam hal ini
saya mengambil contoh dari tradisi Masyarakat Melayu Rokan Hilir. Tradisi
tersebut bernama “Upah-Upah”. Di Desa Sungai Sialang Kecamatan Batu Hampar
Kabupaten Rokan Hilir upah-upah merupakan suatu tradisi yang dilaksanakan
secara turun temurun dari nenek moyang mereka terdahulu dan sampai sekarang
masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
Upah-upah adalah suatu tradisi untuk mengembalikan semangat seseorang
yang hilang atau terbang dan lepas dari tubuh seseorang dikarenakan suatu
musibah, sehingga orang tersebut harus diupah-upah agar semangat orang tersebut
kembali lagi dan tidak mengalami trauma yang mendalam yang diakibatkan oleh
musibah itu. Sampai saat ini tradisi upah-upah masih tetap dilaksanakan oleh
masyarakat Melayu Desa Sungai Sialang Kecamatan Batu Hampar Kabupaten
Rokan Hilir. Menurut salah satu masyarakat Melayu Desa Sungai Sialang tradisi
upah-upah ini akan terus dan tetap dipertahankan dan dilaksanakan oleh
masyarakat Melayu di Desa Sungai Sialang, agar adat dan tradisi masyarakat
Melayu di Desa ini tidak hilang meskipun zaman sekarang sudah maju.

21
Para hadirin atau tamu undangan yang datang dipersilahkan masuk oleh
tuan rumah yang punya hajatan, para tetamu yang sudah hadir kemudian mereka
duduk bercerita dan berbincang-bincang sambil menunggu tamu undangan yang
lainnya datang. Kegiatan selanjutnya adalah jamuan makan, yaitu tamu undangan
yang hadir harus menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh tuan rumah.
Setelah jamuan makan selesai, maka orang yang akan diupah-upah dipanggil
untuk menempati tempat yang sudah disediakan. Orang yang akan diupah-upah
ditempat kan pada tengah-tengah ruangan sehingga kelihatan oleh orang ramai
yang ikut kegiatan upah-upah. Tempat para tamu undangan atau orang ramai
tersebut adalah seluruh ruangan mereka duduk melingkar dan bersila.
Kemudian kemenyan atau gula dibakar oleh kaum perempuan yang
berkumpul diruang belakang (dapur). Sebagian masyarakat Melayu Desa Sungai
Sialang sudah tidak menggunakan kemenyan dalam proses pengasapan.
Kemenyan tersebut diganti dengan gula yang dibakar diatas tempurung kelapa
atau piring seng yang sebelumnya sudah diisi dengan abu dan beberapa potong
bara. Kemenyan atau gula yang sudah dibakar tersebut diserahkan kepada tuan
rumah dan kegiatan mengupah-upah seseorang tersebut dimulai20. a) pengasapan
atau pembersihan tempat upacara dari gangguan roh jahat yang mengganggu
manusia dan jalannya upacara. Pembersihan ini dilakukan dengan cara
menyebarkan asap kemenyan atau gula sekeliling ruangan upacara, oleh tuan
rumah dan orang yang akan mengupah-upah. b) Tepuk tepung tawar Tepuk
tepung tawar adalah penaburan beras kuning kearah orang yang diupahupah oleh
sipengupah-upah, tepuk tepung tawar tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menolak bala. ketika menaburkan beras kuning, pengupah-upah terlebih dahulu
memohon perlindungan kepada penguasa alam semesta, melalui mantra atau doa-
doa, agar diberi kekuatan dan keselamatan dalam upah-upah. mantra dan doa
tersebut diucapkan dalam hati. c) Mengupah-upah Pengupah-upah mengangkat
nasi upah-upah atau nasi balai yang terletak dihadapan orang yang akan diupah-
upah, memegang, dan menempelkan kirakira sejengkal diatas kepala orang yang
akan diupah-upah. kemudian nasi upahupah atau nasi balai tersebut digoyang-
20
Sukasni, Ridwan Melay, Marwoto Saiman. 2018. Tradisi Upah-Upah Masyarakat Melayu Desa
Sungai Sialang Kecamatan Batu Hampar Kabupaten Rokan Hilir.

22
goyangkan berputar di atas kepala orang yang diupah-upah dengan posisi
melingkar kekanan. Adapun urutan bacaan atau 7 timang pupah dalam
pelaksanaan upah-upah masyarakat Melayu Desa Sungai Sialang Kecamatan Batu
Hampar Kabupaten Rokan Hilir yaitu dimulai dengan membaca basmallah,
mengucapkan istighfar tiga kali, membaca surah Alquran (seperti surah Alfatiha,
Al-Ikhlas, Annas dan doa tolak bala), selanjutnya mengucapkan satu, duo, tigo,
ompek, limo, onam, tuuuuuuuujuh pulanglah semangek kau (sebut namanya)
disikolah tompek kau, kombalilah. d) Memberi nasehat Nasehat diberikan oleh
pengupah-upah setelah proses urutan diatas berlangsung. Nasehat yang diberikan
pada dasarnya adalah anjuran untuk menuju kebaikan. e) Penutup Setelah selesai
kegiatan mengupah-upah, pengupah-upah meletakkan nasi upahupah atau nasi
balai ditempatnya semula (dihadapan orang yang diupah-upah) dan kembali
duduk ditempat semula dan mengambil tempat pembakaran kemenyan serta
menyerahkannya kepada tuan rumah yang mempunyai hajatan bahwa kegiatan
mengupah-upah telah selesai. Setelah selesai semua kegiatan mengupah-upah,
dilanjutkan dengan pembacaan doa bersama kemudian hadirin atau tamu
undangan diberikan hidangan kue dan minuman sesuai kemampuan keluarga yang
mempunyai hajatan.

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah filsafat komunikasi yang dipakai dalam makalah ini menggunakan
pengertian yang paling klasik, yakni sistem gagasan atau keyakinan yang
dijadikan pegang an hidup bagi sekelompok orang dalam berkomunikasi. Dalam
masyarakat Melayu tampak sekali bahwa komunikasi menjadi tema penting dalam
kehidupan keseharian. Dapat dikatakan hampir tidak ada aspek kehidupan yang
tidak disentuh oleh komunikasi mulai dari kehidupan pernikahan dan berkeluarga,
mendidik anak, menuntut ilmu, memimpin masyarakat, menyelesaikan konflik,
hingga menakar kualitas manusia. Komunikasi menyelinap ke dalam ruang-ruang
kehidupan manusia Melayu dan menjadi dasar dalam membangun seluruh
aktivitas kehidupan bersama. Kuatnya cara pandang komunikasi ini dalam
kehidupan bersama Orang Melayu setidaknya dapat dibuktikan dengan begitu
melimpahnya jumlah peribahasa dan ungkapan Melayu yang mengupas tentang
komunikasi.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan
dalam teknik penulisan dan materi yang disampaikan. Mengingat kelemahan yang
dimiliki penulis, maka dari itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Andaya, Leonard Y. 2001. Aceh’s Contribution to Standards of Malayness.


Archipel 61. Paris
Artikel berjudul Menyoal (kembali) ‘dwitunggal’ melayu-islam. Melaui ttp://
adeirawan74.wordpress. com/ 2010/02/02/kerajaan-kerajaan-islam-di-
indonesia/
Effendy, Tenas. 2013. Tunjuk Ajar Melayu tentang Taat kepada Ibu dan Bapak.
Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.
Hermansyah, 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Indragiri Hilir. Indragiri Hilir:
Pemerintah kabupaten Indragiri Hilir.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2003. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Onong Uchjana Effendy. 2017. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung :
Remaja karya
Sukasni, Ridwan Melay, Marwoto Saiman. 2018. Tradisi Upah-Upah Masyarakat
Melayu Desa Sungai Sialang Kecamatan Batu Hampar Kabupaten Rokan
Hilir.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikian dan Kebudayaan.
Jakarta: Balai Pustaka.
Venus, Antar. 2004. Manajemen Kamppanye. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Venus, Antar. 2015. Filsafat Komunikasi Orang Melayu. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.

25

Anda mungkin juga menyukai