Inkulturasi
KOMISI TEOLOGI INTERNASIONAL
1988
INTRODUCTION (1-8)
INTERNATIONAL THEOLOGICAL COMMISSION I. NATURE, CULTURE AND GRACE (1-11)
II. INCULTURATION IN THE HISTORY OF SALVATION (1)
Israel, the People of Covenant (2-7)
FAITH AND INCULTURATION
INKULTURASI DALAM
II SEJARAH KESELAMATAN
KESIMPULAN
Pengantar
Sambutan Paus Yohanes Paulus II di hadapan
anggota komisaris kepausan yang membidangi
persoalan kebudayaan pada tahun 1983
01 02
Magisterium
Magisterium memahami kodrat manusia sebagai yang berasal dari Allah,
seperti tujuan mereka baik adanya. Manusia sebagai citra Allah (image of
God), mampu membedakan “tangan Allah yang menciptakan”. (Humana
Vitae, 13)
Kecenderungan kodrat manusia (hukum kodrat) merupakan ekspresi kehendak
Pencipta. Hukum kodrat mengandaikan pentingnya rancangan Allah bahwa manusia
diciptakan sebagai makhluk yang rasional dan bebas.
Maka, layaklah untuk mempertimbangkan kodrat manusia dalam rentang sejarah:
untuk melacak apa yang membuatnya sungguh manusiawi.
Maka, unsur eksistensial, termasuk
Budaya/warisan (dlm sejarah) itu
kemudian diwariskan kepada
dosa dan rahmat, yang pada
generasi baru: termasuk harta pokoknya memengaruhi
kebijaksanaan, seni dan keselamatan, perlu diperhatikan.
kemurahan hati, dan bahkan
mungkin penyimpangan-
“Budaya” juga dapat melanggengkan
penyimpangan dan berbagai dan mendukung kesombongan dan
perbuatan tak wajar. keegoisan manusia.
Pada prinsipnya budaya itu luhur.
Unsur utama dari dari budaya adalah pribadi manusia dalam seluruh
aspeknya. Manusia yang membuat dirinya lebih baik.
Pribadi manusia: komunitas yang dibalut dalam kondisi memberi dan menerima.
Komunitas dan hubungan sosial dengan menempati posisi penting.
Realitas bangsa, orang, masyarakat, dengan warisan budaya mereka, merupakan
sarana untuk perkembangan pribadi “lingkungan sejarah yang pasti yang
merangkul manusia dari setiap bangsa dan zaman dan dari mana ia menarik nilai-
nilai yang memungkinkannya untuk memajukan peradaban.” (GS 53)
Oleh sebab itu, budaya yang selalu konkret dan spesifik, akan selalu terbuka
untuk nilai-nilai yang lebih tinggi.
Keaslian budaya tidak berarti penarikan ke dalam dirinya sendiri, tetapi terletak
pada kontribusinya terhadap kekayaan untuk semuanya. Fenomena penetrasi
timbal balik dari budaya, sering dalam sejarah, menggambarkan keterbukaan
mendasar dari budaya tertentu dengan nilai-nilai universal.
Manusia secara kodrati adalah makluk religius. Manusia selalu terbuka dan
ingin kembali kepada Yang Absolut. Dalam pengertian umum, agama
adalah unsur integral dari budaya, di mana agama berakar dan berbunga.
"Inkulturasi [adalah] inkarnasi Injil dalam budaya asli dan juga pengenalan
budaya ini ke dalam kehidupan Gereja."
Relasi antara kodrat, budaya, dan rahmat
bisa dilihat secara konkrit dalam sejarah
Inkulturasi dalam perjanjian antara Allah dan manusia, yang
dimulai dari kelompok orang tertentu
Sejarah Keselamatan (Israel), dikulminasikan oleh Yesus Kristus
sebagai anak Allah, dan kemudian
disebarkan kepada semua bangsa.
Israel, Umat Perjanjian
Komunitas yang dibentuk langsung oleh Allah dalam perjanjian.
Wahyu ini juga menyandang jejak pengalaman budaya dalam konteks
orang Israel.
Beberapa institusi/tindakan seperti sunat, pengorbanan musim semi,
sabat; ternyata merupakan tradisi pinjaman dari negeri tetangga dan
kemudian dimasukan ke dalam hukum mereka.
Budaya yang menyatu dan berubah, ditempatkan sebagai persiapan
untuk kedatangan Yesus. Dalam kepenuhan Roh, dari perjanjian yang
dimulai sejak Abhrama sampai keturunannya, mengajak semua
budaya untuk membiarkan diri mereka diubah oleh kehidupan,
pengajaran, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Yesus Kristus,
Tuhan dan Penyelamat Dunia
Yesus adalah terang yang berdaulat dan kebijaksanaan benar untuk semua
bangsa dan budaya.
Keintiman Yesus dengan Allah dan ketaatan penuh kasih, yang menyebabkan Dia
untuk menawarkan kehidupan dan kematian kepada Bapa-Nya, menunjukkan
bahwa dalam dirinya rencana Allah untuk penciptaan, yang telah dinodai oleh dosa,
telah dipulihkan. Kita dihadapkan dengan ciptaan baru, sebuah Adam baru.
Yesus Kristus
Sejak itu disadari, inkarnasi Anak Allah adalah inkarnasi budaya: "Kristus
[terikat] sendiri, dalam kebajikan Inkarnasi-Nya, dengan kondisi sosial dan
budaya tertentu dari orang-orang manusia di di mana Dia tinggal di antara
mereka.
Roh Kudus tidak membangun budaya super, tetapi merupakan prinsip pribadi
dan vital yang akan menghidupkan komunitas baru bersama para anggotanya.
Bdk. Dalam surat Paulus ada banyak karunia Roh Kudus. “Ia
mengkomunikasikan dirinya dalam banyak cara tanpa kehilangan identitas; dia
adalah tubuh Kristus yang anggotanya bersatu tetapi dengan banyak wajah.”
Roh Kudus & Para Rasul
Dalam peristiwa pentakosta, Kristus
yang bangkit masuk ke dalam
sejarah manusia: sejak saat itu,
pengertian sejarah dan budaya
dibuka dan Roh Kudus
mengungkapkannya dengan
mengaktualisasikan dan
mengkomunikasikannya kepada
semua. Dengan demikian budaya
ditempatkan secara eskatologis:
untuk sampai pada kepenuhannya
di dalam Kristus.
Roh Kudus & Para Rasul
Setiap Gereja lokal, dalam Roh Kudus, menjadi sakramen yang
memanifestasikan Kristus, yang disalibkan dan bangkit, dan yang merasuk
dalam budaya tertentu. Oleh sebab itu:
a) Setiap gereja lokal berpartisipasi dalam dinamika budaya dan perubahan-
perubahan mereka;
b) Kekristenan yang baru itu menampakkan dalam ciri/ekpresi budaya
tersebut.
Tulisan-tulisan apostolik dan saksi patristik tidak membatasi visi mereka tentang
budaya pada penginjilan (evangelisasi) tapi mengintegrasikannya ke dalam totalitas
misteri Kristus. Culture is the scene in which man and the world are called to find
themselves anew in the glory of God
✓ Bagaimana mungkin menyelaraskan
Masalah Inkulturasi ekspresi spontan dari religiusitas
masyarakat dengan iman?
Dewasa Ini ✓ Sikap apa yg harus diadopsi dalam
menghadapi agama-agama non-
Kristen, terutama yang "terikat dengan
kemajuan budaya"?
Dalam dialog Gereja mendengarkan dan belajar. "Gereja Katolik tidak menolak
apapun yang benar dan suci dalam agama-agama tersebut. Dengan sikap hormat
dan tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah,
serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang
diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar
kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate 2)