Anda di halaman 1dari 11

HIBRIDITAS BUDAYA ANTARA BUDAYA CINA DENGAN BUDAYA INDONESIA

DAN KATOLIK PADA RELIGI DAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK SANTA


MARIA DE FATIMA

Iqbal Maulana

Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia


E-mail : imiqbalmaulana17@gmail.com

Abstrak

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya atau biasa
disebut dengan negara multikultural. Dengan terdapatnya suatu kebudayaan yang beragam
dalam satu lingkungan maka dapat memicu terjadinya suatu gejala budaya, seperti adanya
interaksi antara budaya-budaya yang berbeda sehingga menimbulkan terjadinya suatu
perubahan budaya yang menimbulkan adanya suatu budaya dan identitas baru. Proses
tersebut biasa dikenal dengan nama hibriditas budaya. Hibriditas budaya dapat terefleksikan
pada aspek-aspek kehidupan manusia, seperti religi dan arsitektur bangunan yang merupakan
hasil dari ide pemikiran manusia yang telah terpengaruhi oleh suatu budaya. Gereja Katolik
Santa Maria de Fatima menjadi bukti dari adanya suatu proses hibriditas budaya antara
budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik. Dengan demikian, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah bagaimana hibriditas budaya antara budaya Cina dengan budaya
Indonesia dan budaya Katolik pada Gereja Santa Maria de Fatima? Terkait dengan hal
tersebut, maka tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisis hibriditas budaya antara
budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik pada religi dan arsitektur Gereja Katolik
Santa Maria de Fatima. Hasil dari penelitian ini akan menunjukan adanya hibriditas budaya
antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik pada religi dan arsitektur Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima sehingga menjadi keistimewaan dan identitas dari gereja
tersebut.

Kata kunci: Gereja Katolik Santa Maria de Fatima; Hibriditas Budaya; Inkulturasi
Kebudayaan; Masyarakat Cina Glodok; Kebudayaan Cina.
A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara multikultural yang terlihat dari masyarakatnya
yang majemuk dengan memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan tersebut ada
yang berasal dari etnis-etnis di Indonesia dan terdapat juga kebudayaan yang datang dari
luar Indonesia, seperti kebudayaan India, kebudayaan Cina, dan kebudayaan kolonial.
Masuknya kebudayaan asing ke Indonesia membuat semakin beragamnya kebudayaan di
Indonesia. Hal tersebut membuat kebudayaan-kebudayaan tersebut berjalan beiringan pada
lingkungan yang sama, bahkan terdapat juga kebudayaan-kebudayaan yang beradaptasi
dengan adanya keanekaragaman budaya tersebut. Bahkan keanekaragaman budaya
tersebut juga memicu terjadinya suatu interaksi antar kebudayaan yang berbeda sehingga
menimbulkan suatu proses hibriditas budaya.

Hibriditas budaya merupakan suatu konsep dan teori dalam studi Post-Kolonialisme
yang dicetuskan oleh Homi K. Bhabha yang merupakan tokoh dalam studi tersebut.
Menurut Homi K. Bhabha hibriditas budaya dapat terjadi ketika terdapat dua budaya yang
berbeda yang berjalan seiringan dalam satu lingkungan yang sama sehingga memunculkan
sebuah budaya baru tanpa menghilangkan sifat-sifat dari budaya lamanya. Kemunculan
budaya baru atas adanya pertemuan dua budaya berbeda tersebut terjadi ketika adanya bias
pada batasan dari budaya sebelumnya sehingga membuat terjadinya pelenturan makna dan
terjadinya pembaruan ruang budaya. Apabila terjadinya bias pada batasan suatu budaya,
lalu budaya tersebut mengalami kontak budaya dengan budaya lainnya maka akan
terjadinya suatu pencampuran silang budaya yang menghasilkan budaya dan identitas
baru. Dengan demikian, hibriditas budaya merupakan suatu proses kontak budaya antara
dua budaya yang berbeda sehingga memicu terjadinya penggabungan dari dua budaya
tersebut yang mengakibatkan terjadinya pembentukan suatu budaya dan identitas baru,
namun masih menunjukan ciri-ciri dari budayanya yang lama. Menurut Homi K. Bhaba
terjadi 3 jenis timbulnya hibriditas budaya, yaitu:

1. Hibriditas budaya yang disebabkan karena adanya paksaan dari budaya


pendatang yang mendominasi budaya dari penduduk aslinya sehingga memicu
proses asimilasi atau pembauran budaya asli dengan budaya pendatang.
2. Hibriditas budaya terjadi tanpa adanya paksaan, melainkan disebabkan karena
adanya dialektika antara dua budaya yang berbeda tersebut sehingga
terjadinya difusi budaya atau penggabungan dua unsur budaya yang berbeda.

3. Hibriditas budaya disebabkan karena adanya reaksi budaya dalam bentuk


perlawanan dari kaum minoritas terhadap budaya mayoritas atau penjajah.

Proses hibriditas budaya pada suatu kelompok masyarakat juga merupakan suatu
proses untuk menciptakan maupun memelihara identitas dari komunitas tersebut (Meskel
& Preucel, 2007: 287). Pembentukan identitas baru pada hibriditas budaya terjadi karena
adanya pembentukan budaya baru akibat dari interaksi bentuk-bentuk budaya yang
berbeda. Akan tetapi dalam hibriditas, identitas lama itu tidak serta merta menghilang.
Identitas lama masih terlihat meskipun identitas budaya baru lebih mendominasi akibat
pengaruh dari identitas yang lama. Proses hibriditas budaya tentu saja terefleksikan pada
wujud-wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009: 150-153) terdapat tiga wujud
kebudayaan yang terdiri dari ide atau gagasan manusia, pola tindakan atau aktivitas
manusia, dan benda atau hasil karya manusia. Salah satu bentuk dari wujud kebudayaan
yang menunjukan adanya hibriditas budaya adalah pada religi dan arsitektur bangunan.
Salah satu contoh kasus dari terjadinya hibriditas budaya terlihat pada religi dan arsitektur
bangunan pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Hibriditas budaya yang terjadi pada
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima adalah antara budaya Cina dengan budaya
Indonesia dan Katolik sehingga menjadi identitas baru bagi gereja tersebut. Dengan
demikian, konsep dan teori hibriditas budaya dapat dilihat dan diterapkan dengan
menganalisis religi dan arsitektur Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Gereja Katolik
Santa Maria de Fatima menjadi salah satu bukti dari adanya hibriditas budaya di
Indonesia. Pada umumnya, gereja di Indonesia memiliki arsitektur kolonial, namun Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima memiliki arsitektur Cina. Kebudayaan Cina tidak hanya
bertahan dan tercermin pada arsitektur saja, namun juga pada religi yang ada di gereja
tersebut. Hibriditas budaya pada aspek religi dan arsitektur gereja tersebut menjadi suatu
keistimewaan yang ada pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Dengan demikian,
pada artikel ini akan dibahas mengenai hibriditas budaya pada religi dan arsitektur Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian


arkeologi yang terdiri dari tahap pengumpulan data dengan melakukan studi literatur
terhadap karya-karya ilmiah yang telah diterbitkan sebelumnya yang membahas mengenai
religi dan arsitektur dari Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, pengolahan data dengan
melakukan reduksi dan klasifikasi data untuk dianalisis berdasarkan konsep hibdriditas
budaya, dan interpretasi data. Pembahasan mengenai hibriditas budaya pada suatu
kelompok masyarakat biasanya hanya dikaji pada arsitektur bangunannya saja, namun
pada penelitian ini kajian hibriditas budaya tidak hanya dilihat dari arsitektur bangunan
saja tapi juga pada religi yang dianut oleh gereja tersebut. Pembahasan mengenai
hibriditas budaya dapat membantu arkeolog dalam merekonstruksi budaya material dan
identitas sosial dari masyarakat yang mengalami hibriditas budaya tersebut (Wilkie, 2000,
2003; Zimmerman et al, 2003 dalam Meskell & Preucel, 2007: 322).

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada awalnya Gereja Katolik Santa Maria de Fatima merupakan bangunan bekas
tempat tinggal milik orang Cina bernama Tjioe yang berada di kawasan Pecinan Glodok.
Selanjutnya, pada tahun 1953 bangunan tersebut beralih fungsi menjadi gereja setelah
dibeli oleh Peter Wilhelmus Krause van Eiden S. J. yang merupakan bangsa Belanda.
Pendirian Gereja Katolik Santa Maria de Fatima memang tidak terlepas dari adanya
campur tangan dari bangsa Belanda. Tujuan didirikannya gereja ini adalah untuk
membantu proses penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh orang-orang Belanda yang
mengkolonisasi wilayah Indonesia pada saat itu. Pendirian gereja ini dilakukan di kawasan
Pecinan Glodok yang pada saat itu dihuni oleh para orang-orang Cina Perantauan atau
kaum Hoakiauw. Kaum Hoakiauw yang nantinya akan menjadi mayoritas jemaat dari
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima tersebut pada awalnya datang ke Batavia sekitar
tahun 1619 pada masa pemerintahan J. P. Coen. Orang-orang Tionghoa Perantauan
tersebut datang ke Nusantara pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
VOC, lalu setelah mereka tiba di Batavia mereka akan dikelompokan pada daerah Pecinan
(Thamrin & Arifianto, 2011: 1). Salah satu tempat Pecinan yang ada di Jakarta adalah di
Kawasan Glodok yang menjadi lokasi dari Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Orang-
orang Cina Perantauan tersebut sebagian besar berasal dari provinsi Guandong, Fujian,
dan Guangxi yang terletak di selatan Cina dan berasal dari suku Hokkian, Teochiu,
Kanton, Hakka, dan Hainan (Purcell (1965) & Heidhues (1974) dalam Dahana, 2000: 56).

Orang-orang Cina Perantauan di Glodok yang akan menjadi calon jemaat dari Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima tersebut hanya bisa berbahasa Mandarin. Oleh karena itu,
pemerintah kolonial Belanda menggunakan pendekatan budaya dengan menggabungkan
antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik untuk menarik minat para
orang-orang Cina yang pada saat itu menganut kepercayaan Khong Hu Zhu dan
Konfusianisme sehingga proses penginjilan Katolik dapat dilakukan. Proses pendekatan
budaya tersebut memicu terjadinya hibriditas budaya dan ini merupakan suatu metode
yang lazim digunakan untuk melakukan penginjilan pada wilayah yang memiliki adat
istiadat yang berbeda agar agama Katolik dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Dengan demikian, unsur-unsur budaya Cina masih melekat pada bangunan gereja ini dan
budaya Indonesia serta Katolik beradaptasi dengan budaya Cina. Penggunaan pendekatan
budaya tersebut memicu terjadinya kontak budaya antara budaya Cina dengan budaya
Indonesia dan Katolik sehingga terjadinya proses hibriditas budaya pada Gereja Katolik
Santa Maria de Fatima.

Dengan adanya pengalihfungsian bangunan dari bangunan tempat tinggal orang Cina
menjadi gereja membuat bangunan tersebut memperlihatkan arsitektur khas Cina dan
budaya Katolik secara bersamaan. Tidak hanya pada arsitekturnya saja, namun juga pada
religi di gereja tersebut. Beberapa upacara keagamaan yang dilakukan di gereja tersebut
mengadaptasi budaya Cina sehingga dapat dikatakan bahwa dalam upacara keagamaan
pun terjadi hibriditas budaya antara budaya Katolik dengan budaya Cina. Salah satu
contoh dari adanya hibriditas budaya pada religi di gereja ini adalah dengan tetap
dilaksanakannya perayaan Imlek yang dilengkapi dengan dekorasi aksesoris khas Imlek
dan budaya Cina. Akan tetapi, perayaan Imlek tersebut diisi dengan melakukan misa
Agung dan mempersembahkan hio atau dupa kepada Tuhan Yang Maha Kudus. Jadi
meskipun dilakukannya perayaan Imlek yang dilengkapi dengan peralatan ritus khas Imlek
dan budaya Cina tapi tetap pelaksanaan Imleknya ditujukan bukan untuk menyembah
leluhur maupun dewa dalam kepercayaan Cina, melainkan ditujukan untuk menyembah
Tuhan Yesus. Selain itu, hibriditas budaya juga tercermin pada upacara pernikahan dan
kematian. Pada saat upacara pernikahan pengantin akan menggunakan pakaian pengantin
khas Kebudayaan Katolik, namun pada saat prosesi pemberkatan pasangan pastur
menggunakan jubah merah yang bertuliskan huruf Mandarin yang memiliki arti cinta
kasih dan kebahagiaan. Adapun pada upacara kematian pihak gereja memperbolehkan
untuk dilakukan prosesi pembakaran mayat yang merupakan ciri khas budaya Cina,
namun tetap terdapat pengaruh dari kebudayaan Katolik yang dimana abu dari jenazah
tersebut harus dimakamkan dalam mausoleum atau columbarium sebagai tempat peletakan
abu jenazah. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hibriditas budaya pada aspek religi
terlihat dari upacara-upacara keagamaan yang tidak hanya menunjukan budaya Katolik
tapi juga menunjukan adanya pengadaptasian budaya Cina untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan jemaat yang mayoritas merupakan orang-orang Cina Perantauan.
Pengadaptasian budaya Cina pada upacara keagamaan dapat terlihat juga di tahun 1954
ketika perayaan ekaristi atau misa yang menggunakan bahasa Mandarin. Bahkan hal
tersebut menjadi identitas dari Gereja Katolik Santa Maria de Fatima karena hingga kini
perayaan ekaristi tetap menggunakan bahasa Mandarin setelah diperjuangkan oleh Pastur
Agustinus dan diresmikan oleh Keuskupan Agung Indonesia.

Hibriditas budaya juga terjadi pada arsitektur dan interior bangunan pada Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima. Hibriditas budaya tersebut terlihat dari adanya persatuan
dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Katolik dengan budaya Cina dan budaya
Indonesia dengan budya Cina. Dua kebudayaan tersebut saling beradaptasi dan
melengkapi satu sama lain dalam arsitektur bangunan Gereja Katolik Santa Maria de
Fatima. Bagian-bagian arsitektur baik interior maupun eksterior mengalami adaptasi satu
sama lain. Menurut Gabriella Maria, dkk (2017) terdapat unsur bangunan yang mengalami
adaptasi antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik dan unsur bangunan
yang tidak mengalami adaptasi.

Unsur bangunan dari Gereja Santa Maria de Fatima yang menunjukan identitas dari
budaya Cina terlihat pada beberapa bagian, seperti fasad, partisi, patung singa batu, tiang
penumpu plafon, bunga peony, dan konsul atap. Fasad dari bangunan gereja ini
mencirikan identitas budaya Cina pada gereja tersebut yang terlihat dari adanya dominasi
budaya Cina pada segi bentuk, warna, dan penggunaan elemen-elemen Cina yang
dipercaya dapat menangkal kejahatan. Partisi pada bangunan gereja ini juga menunjukan
identitas budaya Cina pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima yang terlihat dari
penggunaan warna merah dan pola geometris, naga, hewan, atau bunga pada bagian
partisi. Patung singa batu dan bunga peony yang menjadi dekorasi dari gereja ini juga
menjadi identitas dari budaya Cina yang ada dalam keberagaman budaya yang ada pada
bangunan Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Adapun bagian tiang penumpu plafon
dengan konsul atap dari bangunan gereja ini menunjukan identitas
Gambar 1. Fasad Bangunan Gereja yang Menjadi Identitas Budaya Cina dalam Keberagaman Budaya
Sumber: (Gabriella Maria, dkk, 2017)

Adapun unsur bangunan dari Gereja Santa Maria de Fatima yang menunjukan
hibriditas budaya antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dapat terlihat dari bagian
meja lilin, meja tabernakel, meja altar, tabernakel, mimbar, dan aksesoris gereja. Meja lilin
pada gereja ini menggunakan gaya desain Tionghoa Peranakan sehingga terdapat
perpaduan antara budaya Cina dan Indonesia pada meja lilin tersebut. Tidak hanya itu,
meja tabernakel dan meja altar pada gereja ini juga menunjukan penggunaan gaya desain
Tionghoa Peranakan yang memadukan antara budaya Indonesia dan Cina. Bukan hanya
pada bagian meja saja, penggunaan desain Cina Peranakan yang memadukan budaya
Indonesia dengan budaya Cina terlihat juga pada bagian tabernakel dan mimbar. Bahkan,
aksesoris dari gereja ini menggunakan gaya desain Nusantara dan gaya desain Cina
Peranakan yang memang sudah memadukan antara budaya Indonesia dengan Cina. Pada
bagian aksesoris, budaya Indonesia dapat terlihat dari digunakannya aksesoris payung
khas daerah Bali.

Gambar 2. Aksesoris Gereja yang Memadukan Budaya Tionghoa dengan Budaya Nusantara
Sumber: (Gabriella Maria, dkk, 2017)

Adapun perpaduan antara budaya Cina dengan budaya Katolik dapat terlihat dari
unsur bangunan, seperti bentuk bangunan, organisasi bangunan, sedilia, pintu, jendela,
tangga, pencahayaan, ukiran meander, plafon, dan ilustrasi dinding. Bentuk bangunan
Gereja Santa Maria de Fatima apabila tampak depan maka akan memperlihatkan adanya
perpaduan antara budaya Tionghoa dengan budaya Katolik. Perpaduan tersebut dapat
terlihat dari digunakannya elemen swallows tail yang menjadi identitas bangunan
Tionghoa dalam bentuk atap bangunan yang dipadukan dengan keberadaan salib pada
bagian tengah atap bangunan yang menjadi identitas bahwa bangunan tersebut adalah
gereja. Organisasi bangunan dari gereja ini memadukan antara budaya Cina dengan
Katolik yang terlihat dari masih digunakannya tatanan bangunan yang lama berunsur
Tionghoa untuk merepresentasikan siklus hidup dari Yesus ketika menuju Golgota.
Keberadaan sedilia pada bangunan gereja ini menunjukan adanya perpaduan antara dua
budaya, hal tersebut dapat terlihat dari dua gaya sedilia yang berbeda. Sedilia utama pada
gereja ini memiliki gaya desain Katolik, sedangkan sedilia tambahan gereja ini berasal dari
masa Dinasti Ming. Bagian pintu dan tangga sebagai elemen transisi dari gereja ini
menunjukan adanya penggunaan budaya Cina, namun fungsinya untuk keperluan ibadah
sehingga memadukan dua budaya yang berbeda. Jendela, plafon, dan pencahayaan dari
gereja ini memadukan budaya Cina yang terlihat dari pencahayaan buatan pada area
horizontal dengan budaya Katolik yang terlihat dari adanya pencahayaan alami pada area
vertikal. Kedua area tersebut memiliki jendela sebagai elemen transisi cahaya yang
menggunakan elemen atau gaya desain budaya Cina. Adapun ukiran meander pada gereja
ini memadukan unsur budaya Cina dengan Katolik yang terlihat dari makna ragam hias
dan pewarnaan ukiran meander. Terakhir, ilustrasi dinding yang ada pada gereja ini
menunjukan adanya perpaduan antara budaya Cina dengan budaya Katolik. Perpaduan
tersebut terlihat dari adanya patung Yesus sebagai identitas budaya Katolik yang
dilatarbelakangi oleh lukisan ilustrasi alam yang mnejadi ciri khas dari budaya Cina.

Gambar 3. Bentuk Bangunan Tampak Depan yang Menunjukan Hibriditas Budaya


(Sumber: Gabriella Maria, dkk, 2017)

Pengadaptasian budaya Cina pada arsitektur bangunan Gereja Katolik Santa Maria de
Fatima merupakan salah satu cara untuk menarik minat dari masyarakat Cina Perantauan
terhadap agama Katolik. Upaya penginjilan melalui pendekatan adaptasi kebudayaan
tersebut rupanya berhasil. Hal tersebut diketahui ketika banyak dari masyarakat Cina
Perantauan yang berada di kawasan Pecinan Glodok menganut agama Katolik semenjak
didirikannya Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa hibriditas budaya terjadi secara sengaja dan tanpa adanya paksaan karena
pengadaptasian budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik tersebut dilakukan
secara sengaja oleh orang Kolonial Belanda sebagai bentuk upaya pendekatan dan
penginjilan.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa memang terjadinya hibriditas


budaya pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima dalam segi religi maupun
arsitekturnya. Proses hibriditas budaya di Gereja Katolik Santa Maria de Fatima terjadi
tanpa adanya paksaan. Proses hibriditas budaya di gereja ini terjadi karena adanya kontak
budaya antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik sehingga budaya-budaya
tersebut saling beradaptasi satu dengan yang lainnya dan menciptakan suatu identitas baru
bagi Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Proses pendekatan budaya tersebut
mengakibatkan adanya kontak budaya yang memicu terjadinya hibriditas budaya di Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima. Hibriditas budaya di Gereja Katolik Santa Maria de
Fatima dapat terlihat pada religi dan arsitektur gereja sehingga menjadi suatu
keistimewaan dan identitas bagi gereja ini karena hasil-hasil hibriditas budaya pada gereja
ini tidak dapat ditemukan pada gereja-gereja lainnya. Misalnya, pada bidang religi di
gereja ini tetap dilaksanakan perayaan Imlek namun dengan tujuan untuk menyembah
Tuhan Yesus. Adapun pada bidang arsitektur salah satu contohnya adalah dari penggunaan
beberapa benda yang memiliki budaya Cina untuk upacara-upacara keagamaan yang
kental dengan budaya Katolik. Hal-hal tersebut menunjukan bahwa kedua budaya saling
beradaptasi satu sama lain sehingga menciptakan sebuah budaya baru yang menjadi
identitas dari Gereja Katolik Santa Maria de Fatima.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pada


Gereja Katolik Santa Maria de Fatima terjadi hibriditas budaya pada aspek religi dan
arsitektur. Proses hibriditas budaya tersebut terjadi tanpa adanya paksaan dan bahkan
proses tersebut dapat dikatakan terjadi karena kesengajaan dari pihak kolonial Belanda
dalam tujuan penyebaran agama Katolik di Kawasan Pecinan Glodok. Pihak kolonial
Belanda memang sengaja melakukan pendekatan budaya untuk menarik simpati dan minat
dari masyarakat Cina terhadap agama Katolik sehingga terjadinya proses penginjilan.
Upaya pendekatan budaya tersebut memicu terjadinya kontak budaya dari dua budaya
berbeda, yaitu budaya Katolik dan budaya Cina. Kedua budaya tersebut saling beradaptasi
satu dengan yang lainnya sehingga terjadinya proses hibriditas budaya. Hibriditas budaya
pada aspek religi dapat terlihat dari upacara yang diselenggarakan dan peralatan ritus yang
digunakan, seperti upacara perayaan Imlek, upacara pernikahan, upacara kematian, dan
misa. Pada aspek arsitektur hibriditas budaya dapat terlihat dari beberapa unsur bangunan,
seperti bentuk bangunan, fasad, organisasi bangunan, partisi, meja lilin, dan lain
sebagainya. Hibriditas budaya pada Gereja Katolik Santa Maria de Fatima menciptakan
suatu budaya baru yang menjadi identitas dari gereja tersebut karena budaya baru hasil
dari hibriditas antara budaya Cina dengan budaya Indonesia dan Katolik tersebut tidak
dapat ditemukan pada gereja-gereja Katolik lainnya. Salah satu contoh dari identitas pada
aspek religi adalah dengan dilaksanakannya perayaan Imlek yang menjadi ciri khas
budaya Cina, namun pada gereja ini perayaan Imlek disesuaikan dengan budaya Katolik,
yaitu untuk menyembah Tuhan Yesus. Pada aspek arsitektur, hibriditas budaya yang
menjadi identitas baru dapat terlihat dari beberapa elemen dan benda yang memiliki unsur
kebudayaan Cina maupun Cina Peranakan yang telah mengalami perpaduan dengan
budaya Indonesia, namun elemen dan benda tersebut digunakan sesuai dengan
keperluaan keagamaan atau budaya Katolik. Hal tersebut menunjukan bahwa pada Gereja
Katolik Santa Maria de Fatima terdapat tiga budaya berbeda yang saling beradaptasi satu
sama lain sehingga menimbulkan suatu budaya dan identitas baru atau biasa dikenal
sebagai istilah hibriditas budaya.

***

DAFTAR PUSTAKA

Ariefyani, Jeane Sushinta. (2000). “Gereja Katolik Santa Maria de Fatima (Tinjauan
Deskriptif Arsitektur)”. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia.

Bhabha, Homi K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

Bhabha, Homi K. (1995). Cultural Diversity and Cultural Differences, in Ashcroft, B., et al
(eds). The Postcolonial Studies Reader. London. Routledge.

Dahana, A. (2000). Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Wacana, Vol 2, No.1,
54-72.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lilley, Ian. (2007). Diaspora and Identity in Archaeology: Moving beyond the Black Atlantic.
Dalam Lynn Meskell & Robert W. Preucel, A Companion to Social Archaeology (287-
312). Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Maria, Gabriella., Ardana, IGN., & Thamrin, Diana. (2017). Kajian Adaptasi Gereja Katolik
pada Interior Bangunan Cina Menjadi Gereja Santa Maria De Fatima Jakarta. Jurnal
Intra, Vol. 5, No. 2, 117-126.

Purba, Melina (2013). “Pengaruh Gereja Katolik Santa Maria de Fatima Terhadap
Masyarakat Cina di Glodok (1955-1970)”. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia

Restiyati, Diyah Wara., & Rafaellito, Nicholas. (2018). Bangunan Cagar Budaya
Berlanggam Cina di Jakarta. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman.

Thamrin, Diana., & Arifianto, Felik. (2011). Keragaman Budaya Cina Pada Interior Gereja
Katolik. Dimensi Interior, hlm 1-12.

Anda mungkin juga menyukai