Anda di halaman 1dari 6

Materi 14

Multikulturalisme dan Pluralisme Pada Masyarakat Banten

Membangun masyarakat multikultural bertolak dari suatu paham yang disebut


multikulturalisme. Multikulturalisme adalah gagasan yang berisikan upaya untuk
memahami hakikat kompleksitas dan kesalingterkaitan antara satu budaya dengan
budaya lain yang menjadi unsur budaya multikultural tersebut. Paham ini
dipengaruhi oleh pemikiran pascapositivis dan pascamodernis.

Ada perbedaan antara multikulturalisme dan pluralisme. Dalam bidang sosial


budaya, pluralisme adalah keyakinan bahwa realitas sosial budaya itu beragam.
Pluralisme ini memang sesungguhnya dasar dari multikulturalisme. Akan tetapi,
dalam multikulturalisme, selain mengakui keragaman, juga menekankan pada
perbedaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang. Selain itu juga merupakan suatu
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Namun demikian
tidak untuk menyetujui seluruh aspek budaya tersebut, melainkan untuk melihat
bagaimana sebuah budaya asli dapat mengekspresikan nilai bagi para anggotanya.

Pada tataran sosial budaya, masyarakat multikultural juga tidak sama dengan
masyarakat plural. Namun masyarakat plural juga merupakan dasar bagi
perkembangan masyarakat multikultural. Di dalamnya masyarakat dan budaya
berinteraksi dan berkomunikasi secara intensif.

Masyarakat plural adalah suatu tatanan yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Dalam
masyarakat plural, tiap anggotanya, relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri.
Hubungan antar berbagai unsur yang berbeda itu ditandai oleh corak hubungan
yang dominatif dan karena itu bersifat diskriminatif, meskipun tersamar.
Keanekaragaman budaya, agama, dan bahasa tidak sama artinya dengan
masyarakat multikultural.
Pada masyarakat multikultural, interaksi aktif antara berbagai unsur budaya yang
plural itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai unsur yang ada dalam
masyarakat dipandang dan ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara
sehingga tercipta keadilan di antara berbagai unsur/budaya yang berbeda itu.
Dalam masyarakat multikultural, perbedaan agama, budaya, etnis, lokalitas,
bahasa, rasa, suku bangsa, dan lain-lain dilihat sebagai mozaik yang memperindah
masyarakat.

Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan, persamaan, penghargaan pada


demokrasi, hak asasi, dan solidaritas merupakan ideologi yang harus diperjuangkan
dan dijunjung tinggi. Dalam kaitan ini kajian multikulturalisme dapat menanamkan
toleransi serta membina solidaritas dan kesadaran bahwa di tengah berbagai
perbedaan itu tetap ada nilai-nilai kemanusiaan dan martabat yang harus dihormati
bersama.

Multikulturalisme muncul sebagai upaya untuk membangun masyarakat yang


memiliki keanekaragaman budaya agar bisa hidup bersama secara damai dan
harmonis.

Istilah multikulturalisme mulai digunakan orang sekitar tahun 1950-an di Kanada


untuk menggambarkan masyarakat Kanada di perkotaan yang multikultural dan
multilingual. Namun demikian, multikulturalisme menjadi konsep yang menyebar
dan dipandang penting bagi masyarakat majemuk dan kompleks di dunia, bahkan
dikembangkan sebagai strategi integrasi kebudayaan melalui pendidikan
multikultural.

Istilah multikulturalisme tidak lain sebagai sebuah konsep pengakuan


(recognition) suatu entitas budaya dominan terhadap keberadaan budaya lain yang
minoritas (A. Ubaedillah & Abdul Rozak, 2012: 58).

Multikulturalisme menjelaskan tentang aspek deskriptif keanekaragaman


(multikultural) yang disikapi secara normatif (multikulturalisme) (Molan, 2015 :
20).

Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui serta mengagungkan


perbedaan dalam lingkup kesederajatan, baik secara individual maupun secara
kebudayaan. Penekanannya ada pada kesederajatan, yang berarti sebuah
pengakuan mendasar bahwa yang beragam baik budaya maupun individu berada
dalam posisi setara alias tak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah (Suparlan,
2002:98).

Multikulturalisme tidak hanya menjelaskan mengenai budaya, lebih dalamnya lagi


terdapat dimensi yang lainnya seperti iman, agama, nilai, bahasa, struktur keluarga,
ras, gender, orientasi seksual dan kelas sosial serta lainnya (Molan:2015:20).

Ada berbagai kategori-kategori yang menyinggung mengenai budaya seperti yang


berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible). Nitza Hdalgo dalam Molan,
(2015:29). mengemukakan 3 level budaya :

1) Level Konkret. Level ini paling visible dan bersifat tangible dari budaya dan
mencakup dimensi pada level permukaan, misalnya pakaian, musik, makanan,
permainan, bangunan, peralatan dan lain-lain.

2) Perilaku. Level budaya ini menjelaskan peran sosial kita, yaitu bahasa yang kita
gunakan dan pendekatan kita terhadap komunikasi non verbal.

3) Simbolik. Level ini mencakup nilai-nilai dan keyakinan kita yang bersifat
abstrak. Ditahap ini mencakup sistem nilai, adat kebiasaan (custom), spiritualitas,
agama, pandangan dunia, keyakinan, adat istiadat (mores) dan lain-lain.

Menurut Bhiku Parekh (2010) dalam Molan, (2015:31) Multikulturalisme tidak


hanya soal perbedaan dan identitas, melainkan mengenai semua hal yang tertanam
dan ditopang oleh budaya. Hal ini berarti Multikulturalisme tidak sekedar
menerima dan mengakui begitu saja semua budaya, tetapi juga menyikapi secara
kritis budaya yang dianut. Multikulturalisme yaitu upaya jujur untuk menata
masyarakat yang plural (majemuk) menjadi masyarakat multikulturalistik yang
harmonis sekaligus dinamis karena adanya penghargaan terhadap kebebasan dan
kesetaraan .

Ilustrasi Multikulturalisme dan Pluralisme di Banten

Banten, suatu hari dalam 1672. Permusuhan antara Kesultanan Banten dengan
VOC di Batavia membuat para pedagang bangsa Barat di luar Barat juga menjadi
tidak nyaman. Di satu sisi mereka juga bersaing dengan bangsa Belanda, di sisi
lain mereka harus menjaga kepentingan orang-orangnya tidak saja hanya
berdagang, tetapi juga secara sosial, misalnya untuk beribadat.

Jean Baptiste Guilhen melangkah dengan berlahan dengan rendah hati menghadap
penguasa Banten waktu itu Sultan Ageng Tirtyasa. Pelaut Prancis ini sadar betul
sebagai Ketua Loji yang mengepalai sekitar seratus orang Prancis, apa yang ia
lakukan akan berakibat buruk. Guilhen diutus masyarakatnya meminta Sultan
Ageng untuk mengizinkan seorang pastor untuk kebutuhan rohani orang-orang
Prancis di sana.

Di dalam pikirannya hal yang sulit didapat mengingat dia berada di wilayah sebuah
Kesultanan Islam yang masyarakatnya sangat taat. Namun ia mendengar bahwa
Sultan Ageng megizinkan orang Tionghoa membangun tempat peribadatannya,
yaitu sebuah kelenteng di dalam kota dengan biarawannya.

Dia tahu hubungan orang Tionghoa dengan orang Banten sudah terjalin semenjak
Kesultanan ini berdiri. Bahkan arsitek Masjid Banten adalah orang Tionghoa.
Sultan Ageng pernah mempunyai seorang syahbandar keturunan Tionghoa
bernama Kaytsu untuk memulihkan perdagangan internasional

Ternyata, bukan saja Sultan Ageng mengizinkan orang-orang Prancis


mendatangkan pastor, tetapi malah mengizinkan orang Prancis membangun tempat
peribadatan orang Katolik di loji orang Prancis. Bahkan kalau perlu rumah
kediaman Sultan bisa menjadi tempat persinggahan pastor yang didatangkan.
Tidak ada masalah bagi pemerintah Banten dan Masyarakatnya.

Cerita di atas bukan dari sumber Banten, tetapi dari sumber Barat. Diungkapkan
dalam buku karya Claude Guillot, Banten: Sejarah Peradaban Abad V-XVIII.
Disebutkan terdapat lima bangsa Eropa yang mendiami Banten, yaitu Belanda,
Inggris, Portugis, Prancis dan Denmark.

Cerita tersebut merupakan bukti bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, lahir pada
1631,naik tahta pada umur 20 tahun, yaitu 10 Maret 1651, menggantikan kakeknya
Sultan Abdul Mafakhir. Namanya sebenarnya Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Nama Tirtayasa diperoleh ketika dia memindahkan keraton ke dusun Tirtayasa.

Di masa pemerintahannya, Sultan Ageng Titayasa mengembangkan proyek besar


kanalisasi kali Ciujung dan penataan tata ruang pemukiman dan pertanian di
daerah Pontang dan Tanara kedua daerah ini berada di timur teluk Banten.
Percaya pada Pluralisme

Titik Pudjiastuti dalam bukunya Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat


Sultan Banten menyebutkan Sultan Abdul Fath (nama Sultan Ageng Tirtayasa)
mengirim surat kepada Raja Denmark Christian V pada 1670-an. Hal ini juga
ditulis Voorhoeve dalam artikelnya berjudul "Two Malay Letters in The National
Archives of Denmark" yang menyebutkan Sultan dan Syahbandar juga mengirim
surat pada 1670-an kepada Raja Frederic III dari Denmark. Sultan menyebutnya
sebagai Raja Kristen dalam suratnya.

Surat itu menyebutkan orang Denmark boleh menetap dan berdagang di Banten
dan diberikan lahan, pengiriman 176 bahara lada melalui Kapten Adeler, hingga
permintaan pembelian meriam, bedil dan peluru untuk pertahanan Banten, hingga
tindakan curang yang dilakukan dua orang pedagang Denmark.

Sultan juga mengirim surat pada 1675 kepada Raja Inggris Charles II. Utusan
Banten bernama Ngabehi juga dikirim ke London pada 1682.

Hasan Muarif Ambary dan Jajat Burhanudin,dengan bukunya Menemukan


peradaban: jejak arkeologis dan historis Islam Indonesia, 1998 juga mengatakan,
penguasa Banten mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman
orang Tionghoa dan Eropa. Bahkan ada resimen non muslim ikut mengawal
Sultan. Vihara bagi agama Buddha dengan nama Vihara Avalokitesvara berdiri
sejak 1652. Letaknya hanya sekitar 800 meter dari Masjid Agung Banten. Kedua
bangunan ini masih ada hingga sekarang

Sementara orang Asia yang berdiam berasal dari Tionghoa, Tamil, Moor, Persia,
Benggala, Indochina, hingga suku-suku lain di Indonesia, dari Bali, Bugis,
Mandar, Makassar, Melayu, yang datang berlindung ke Banten setelah negerinya
diduduki Belanda. Dengan demikian Banten menjadi kota kosmpolitan di
Nusantara masa itu.

Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana
Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi aset penting bagi kemajuan dan
kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan
sebagai 'mesin uang Kesultanan' selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan
kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.

Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam pembuatan masterplan


istana dan proyek perumahan masa itu diserahkan kepada orang Tionghoa. Berapa
literatur juga menyebutkan etnik Tionghoa juga berjasa mengajarkan masyarakat
Banten untuk bercocok tanam.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng membangun kanal-kanal Ciujung-


Cidurian dengan penerapan Kincir Angin ( model di Amsterdam ) yang dipesan
dari Batavia. Proyek ini untuk perluasan area pertanian ini dimulai tahun1671
hingga 1680-an. Sultan Ageng dengan pribadinya yang egaliter dan moralitasnya
yang kuat mempercayakan kepada 2 orang Tionghoa ( Kiyai Ngabehi Kaytsu dan
Kiyai Ngabehi Cakradana

Pada 1678 jumlah penduduk Banten masa itu sekitar 150 ribu jiwa termasuk
wanita, anak-anak dan jompo, serta pemukim-pemukim berbagai bangsa.

Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan
ekonomi perdagangan kesultanan Banten. Kecuali dengan VOC yang bercokol di
Batavia, Banten harmonis dengan tetangganya. Masyarakat Baduy di pedalaman
selatan tidak diganggu.

Semangat keterbukaan, multikulturalisme, sikap toleransi, sistem zonasi


pemukiman, dan sistem transportasi air yang dibangun oleh pemerintahan
kesultanan Banten pada masa lalu adalah bentuk dari filosofi "Gawe Kuta
Baluwarti Bata Kalawan Kawis". Filosofi itu dapat diartikan "Membangun Kota
dan Benteng dari bata dan batu karang".

Anda mungkin juga menyukai