Pada tataran sosial budaya, masyarakat multikultural juga tidak sama dengan
masyarakat plural. Namun masyarakat plural juga merupakan dasar bagi
perkembangan masyarakat multikultural. Di dalamnya masyarakat dan budaya
berinteraksi dan berkomunikasi secara intensif.
Masyarakat plural adalah suatu tatanan yang di dalamnya terdapat berbagai unsur
masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Dalam
masyarakat plural, tiap anggotanya, relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri.
Hubungan antar berbagai unsur yang berbeda itu ditandai oleh corak hubungan
yang dominatif dan karena itu bersifat diskriminatif, meskipun tersamar.
Keanekaragaman budaya, agama, dan bahasa tidak sama artinya dengan
masyarakat multikultural.
Pada masyarakat multikultural, interaksi aktif antara berbagai unsur budaya yang
plural itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai unsur yang ada dalam
masyarakat dipandang dan ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara
sehingga tercipta keadilan di antara berbagai unsur/budaya yang berbeda itu.
Dalam masyarakat multikultural, perbedaan agama, budaya, etnis, lokalitas,
bahasa, rasa, suku bangsa, dan lain-lain dilihat sebagai mozaik yang memperindah
masyarakat.
1) Level Konkret. Level ini paling visible dan bersifat tangible dari budaya dan
mencakup dimensi pada level permukaan, misalnya pakaian, musik, makanan,
permainan, bangunan, peralatan dan lain-lain.
2) Perilaku. Level budaya ini menjelaskan peran sosial kita, yaitu bahasa yang kita
gunakan dan pendekatan kita terhadap komunikasi non verbal.
3) Simbolik. Level ini mencakup nilai-nilai dan keyakinan kita yang bersifat
abstrak. Ditahap ini mencakup sistem nilai, adat kebiasaan (custom), spiritualitas,
agama, pandangan dunia, keyakinan, adat istiadat (mores) dan lain-lain.
Banten, suatu hari dalam 1672. Permusuhan antara Kesultanan Banten dengan
VOC di Batavia membuat para pedagang bangsa Barat di luar Barat juga menjadi
tidak nyaman. Di satu sisi mereka juga bersaing dengan bangsa Belanda, di sisi
lain mereka harus menjaga kepentingan orang-orangnya tidak saja hanya
berdagang, tetapi juga secara sosial, misalnya untuk beribadat.
Jean Baptiste Guilhen melangkah dengan berlahan dengan rendah hati menghadap
penguasa Banten waktu itu Sultan Ageng Tirtyasa. Pelaut Prancis ini sadar betul
sebagai Ketua Loji yang mengepalai sekitar seratus orang Prancis, apa yang ia
lakukan akan berakibat buruk. Guilhen diutus masyarakatnya meminta Sultan
Ageng untuk mengizinkan seorang pastor untuk kebutuhan rohani orang-orang
Prancis di sana.
Di dalam pikirannya hal yang sulit didapat mengingat dia berada di wilayah sebuah
Kesultanan Islam yang masyarakatnya sangat taat. Namun ia mendengar bahwa
Sultan Ageng megizinkan orang Tionghoa membangun tempat peribadatannya,
yaitu sebuah kelenteng di dalam kota dengan biarawannya.
Dia tahu hubungan orang Tionghoa dengan orang Banten sudah terjalin semenjak
Kesultanan ini berdiri. Bahkan arsitek Masjid Banten adalah orang Tionghoa.
Sultan Ageng pernah mempunyai seorang syahbandar keturunan Tionghoa
bernama Kaytsu untuk memulihkan perdagangan internasional
Cerita di atas bukan dari sumber Banten, tetapi dari sumber Barat. Diungkapkan
dalam buku karya Claude Guillot, Banten: Sejarah Peradaban Abad V-XVIII.
Disebutkan terdapat lima bangsa Eropa yang mendiami Banten, yaitu Belanda,
Inggris, Portugis, Prancis dan Denmark.
Cerita tersebut merupakan bukti bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, lahir pada
1631,naik tahta pada umur 20 tahun, yaitu 10 Maret 1651, menggantikan kakeknya
Sultan Abdul Mafakhir. Namanya sebenarnya Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Nama Tirtayasa diperoleh ketika dia memindahkan keraton ke dusun Tirtayasa.
Surat itu menyebutkan orang Denmark boleh menetap dan berdagang di Banten
dan diberikan lahan, pengiriman 176 bahara lada melalui Kapten Adeler, hingga
permintaan pembelian meriam, bedil dan peluru untuk pertahanan Banten, hingga
tindakan curang yang dilakukan dua orang pedagang Denmark.
Sultan juga mengirim surat pada 1675 kepada Raja Inggris Charles II. Utusan
Banten bernama Ngabehi juga dikirim ke London pada 1682.
Sementara orang Asia yang berdiam berasal dari Tionghoa, Tamil, Moor, Persia,
Benggala, Indochina, hingga suku-suku lain di Indonesia, dari Bali, Bugis,
Mandar, Makassar, Melayu, yang datang berlindung ke Banten setelah negerinya
diduduki Belanda. Dengan demikian Banten menjadi kota kosmpolitan di
Nusantara masa itu.
Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana
Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi aset penting bagi kemajuan dan
kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan Shahbandar atau kepala pelabuhan
sebagai 'mesin uang Kesultanan' selama lebih dari 150 tahun yang dipercayakan
kepada orang yang paling kompeten meskipun orang Asing.
Pada 1678 jumlah penduduk Banten masa itu sekitar 150 ribu jiwa termasuk
wanita, anak-anak dan jompo, serta pemukim-pemukim berbagai bangsa.
Sultan menganggap mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan
ekonomi perdagangan kesultanan Banten. Kecuali dengan VOC yang bercokol di
Batavia, Banten harmonis dengan tetangganya. Masyarakat Baduy di pedalaman
selatan tidak diganggu.