Anda di halaman 1dari 9

Nama : Lorenzius Rendy Pradana

NIM :200510059
Kelas : 1A
Semester : Dua
Mata Kuliah : Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono

SENI DALAM RITUAL AGAMA

Bab I Pendahuluan
Di daerah Ganjuran Yogyakarta secara khusus di wilayah Paroki Ganjuran, terdapat suatu ibadah
prosesi atau Kirab Agung Sakramen Mahakudus yang menjadi upacara keagamaan yang sifatnya
inkulturatif. Upacara ini merupakan bentuk upacara yang kaya akan makna di samping makna liturgis
itu sendiri antara lain sebagai peringatan hari jadi Gereja setempat dan untuk mengenang segala
warisan para leluhur yang telah menumbuhkan iman di wilayah tersebut. Gereja Katolik ganjuran
sendiri merupakan Gereja local tertua di Yogyakarta dengan jumlah umat tidak terbilang cukup
banyak. Mayoritas masyarakat bekerja di sektor agraria dan hal ini secara langsung ikut
mempengaruhi kebudayaan setempat tak terkecuali dalam hal penghayatan keagamaan dan keimanan.
Masyarakat sekitar juga dikenal sangat memberi perhatian pada hal-hal yang berhubungan dengan
aspek kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang beragama muslim mengahayati
kepercayaannya dengan pergi ke masjid, mushola atau langar. Bagi yang beragama katolik juga secara
rutin menjalankan ibadah dengan pergi ke gereja untuk mengikuti Ekaristi. Penghayatan kepercayaan
juga diwujudkan dalam devosi kepada Hati Kudus Yesus dan perayaan-perayaan liturgis lainnya.
Adapun kekhasan dalam perayaan litugi di Ganjuran adalah bagaimana suatu perayaan liturgi itu
diselenggarakan dengan nuansa adat Jawa yang cukup kental. Dengan kata lain, perayaan liturgi yang
diadakan di Ganjuran merupakan perayaan inkulturatif yang karenanya, iman umat dapat semakin
berkembang dan menyentuh realita dalam kehidupan setempat. Selain itu, perayaan liturgi inkulturatif
ini tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan simbol-simbol yang bertujuan untuk mengungkapkan
hubungan dengan “Yang Kudus”. Simbol-simbol tersebut merupakan suatu bentuk ekspresif dan
komunikatif antara pengalaman iman manusia dan pengalaman estetis. Persis di sinilah letak
kekhasannya yakni dalam hal hubungan antara iman dan kesenian.
Ditinjau dari segi sosial, perayaan atau upacara yang diselenggarakan itu merupakan cerminan
dari kehidupan masyarakat yang mampu hidup dalam kebersamaan dan toleransi antar agama. Suatu
perayaan liturgi yang tidak hanya melibatkan umat Gereja tetapi mereka yang berasal dari agama lain.
Hal ini dikarenakan masyarakat atau umat simpatisan tersebut ikut merasa memiliki adanya suatu
bentuk kebudayaan atau inkulturasi Jawa dalam perayaan liturgi itu. Bahkan, perayaan semacam itu
telah menjadi perayaan universal yang diikuti masyarakat dari berbagai kalangan. Hal ini dapat
dimaklumi ritual agama itu merupakan perayaan yang erat dengan masyarakat pedesaan. Ritual itu
juga menjadi suatu kontrol sosial yang pada dasarnya bermaksud untuk memperkuat tradisi ikatan
sosial diantara sesama individu. Bagi jemaat gereja, perayaan semacam itu juga mampu memantapkan
solidaritas dan koherensi kelompok atau sifat kebersamaan. Hal ini memperkuat ikatan yang terdapat
dalam kelompok yang memiliki kebudayaan tersebut.

1
Dalam teologi Gereja, suatu perayaan liturgi merupakan pengalaman keimanan sekaligus
pengalaman estetis yang memiliki tujuan untuk pembentukan simbol. Simbol yang dimaksud tidak
hanya untuk menunjuk pada realitas yang dilambangkan melainkan melalui dan di dalam simbo itu
sendiri terwujudlah secara nyata apa yang disimbolkan. Simbol menjadi sarana untuk memahami dan
mengalami sendiri realitas yang disimbolkannya. Simbol-simbol ini tidak hanya menjadi ungkapan
iman tetapi juga ungkapan kesenian dalam berbagai bentuknya yang tidak hanya menciptakan
keindahan tetapi meyakinkan pada kebenaran iman. Suatu perayaan liturgi yang diperkaya dengan
ungkapan kesenian dapat menolong umat beriman untuk melaksanakan perayaan, untuk bertemu
Tuhan dan berdoa. Aspek estetis dalam religiusitas yang tampak dalam upacara korban, pengakuan
dan doa ini dapat ditemukan dalam upacara ritual Liturgi di ganjuran. Upacara tersebut diresapi oleh
kebudayaan masyarakat setempat sehingga mampu menghubungkan antara manusia dengan Yang
Ilahi, menghubungkan manusia dan alam sekitarnya serta manusia dan masyarakatnya. Apa yang
dihayati dalam upacara ini tentu sejalam dengan prinsip Gereja universal untuk menyesuaikan diri
dengan aneka ragam kebudayaan dengan mengambil alih berbagai macam simbol yang dimiliki oleh
masyarakat tertentu sehingga mampu menyentuh umatnya dan kemudian disempurnakan oleh
spiritualitas kristiani.
Keberadaan upacara liturgi inkulturatif yang ada di wilayah ganjuran menarik untuk dikaji sebab
di satu sisi terdapat berbagai macam simbol ekspresif yang telah disesuaikan dengan sosio-kultural
masyarakat yang tidak mengurangi ataupun menyimpang dari norma-norma dalam agama. Di sisi
lain, pembentukan simbol inkulturatif ini justru meningkatkan kualitas atau semangat kesadaran
beragama atau religiusitas. Fenomena ini pada gilirannya menimbulkan persoalan yang terumus
sebagai berikut: Pertama, bagaimana sistem pelembagaan agama khususnya yang berkaitan dengan
bentuk ritualnya. Kedua, bagaimana hubungan simbol konstitutif dan dan ekspresif menjadi sistem
yang terpadu? Ketiga, bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kesenian terutama dalam ritual
agama? Keempat, mengapa terjadi diferensiasi dan inkulturasi pembentukan simbol ekspresif dalam
ritual agama? Persoalan-persoalan ini sebenarnya mengarah pada beberapa kenyataan yang saling
berhubungan yaitu ajaran agama dan kebudayaan masyarakat. Agar dapat dibangun suatu teori di atas
hubungan tersebut ada beberapa konsep yang akan diajukan untuk memahami realitas tersebut antara
lain konsep kesenian sebagai unsur kebudayan, konsep kebudayaan sebagai sistem simbol, konsep
pelembagaan agama, konsep ritual, konsep kesadaran religiusitas, konsep akulturasi dan inkulturasi,
konsep mitos dalam agama Katolik dan konsep budaya pedesaan. Konsep-konsep ini, diharapkan
akan menyederhanakan pemikiran untuk beberapa event yang saling berkaitan.

Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan

Dari sudut pandang Antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Kebudayaan dibedakan dalam tiga wujud: Pertama, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai norma dan peraturan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud
kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. ketiga wujud gejala kebudayaan itu saling terkait satu
dengan yang lainnya wujud kebudayaan sebagai kompleks ide sifatnya mengatur dan memberi arah
kepada aktivitas tindakan dan karya manusia. Lewat kebudayaan pikiran dan tindakan, terciptalah
sebuah benda sebagai bentuk kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik dapat mempengaruhi
pola-pola perbuatan serta pikiran. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat unsur-unsur universal yang
dapat ditemukan dalam berbagai kebudayaan yang berbeda. Terdapat tujuh unsur kebudayaan yaitu
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi, sistem mata pencarian,
sistem religi, dan kesenian. Kesenian sebagai salah satu unsu kebudayaan dapat dipandang dari ketiga

2
wujud kebudayaan yakni kesenian sebagai ide-ide, sebagai aktivitas tindakan yang berpola dan juga
berupa berbagai macam benda hasil karya manusia. Konsep kesenian telah diperkenalkan sejak jaman
filsuf Yunani Sokrates, Plato, Aristoteles. Kesenian adalah suatu usaha untuk menyalin alam ke dalam
berbagai macam bentuk. Kesenian tidak dapat dipisahkan dengan keindahan kebaikan dan kebenaran
maka prinsip umum tentang kesenian adalah sesuatu yang harus indah, baik dan benar. Sementara itu,
pemikir yang berasal dari Nusantara yakni Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa seni merupakan
segala perbuatan manusia yang timbul darip hidup perasannya dan bersifat indah, hingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia. Bagaimanapun juga, berbagai konsep tentang seni ini
berhubungan langsung dengan dimensi keindahan. Akan tetapi, perlu digarisbawahi dalam pemikiran
Goethe, bahwa seluruh teori keindahan memperoleh bentuk yang tidak beraturan, tidak proposional,
namun tetap menunjukan kepaduan dan unsur hidup sebagai keseluruhan karakteristik. Sementara itu,
sekaitan dengan unsur kebaikan dan kebenaran, bagaimana suatu seni itu mesti dipandang secara
menyeluruh dengan realitas lainnya. Oleh karena itu, seni mesti mengandung nilai yang mengandung
kebaikan dan kebenaran moral gar sejalan dengan apa yang dihidupi masyarakatnya dalam
lingkungan sosial, simbolik maupun fisik-materiel.
Kesenian juga diidentikan dengan berbagai penciptaan berbagai bentuk seni yang bertujuan
untuk menyenangkan orang lain atau dalam artian positivistic mampu memberi manfaat dan
kegunaan. Maka dari itu, terdapat pandangan populer yang mengkaitkan bahwa yang indah itu ialah
yang menyenangkan dan bermanfaat. Kesenangan dalam suatu seni mesti mampu dirasakan oleh
pencipta karya seni tetapi juga bermanfaat bagi orang lain yang menikmati. Hal lain yang dapat
dieksplorasi tentang kesenian adalah bentuk seni yang komunikatif. Keistimewaan seni dalam
melukiskan atau mengkomunikasikan sesuatu adalah mampu menunjukan ekspresivitas, memperhalus
dan memperluas komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang akrab dengan menularkan kesan
dan pengalaman subjektif. Seni berusaha untuk menyampaikan sebuah pengalaman berharga sang
seniman yang bermula dari imajinasi kreatif. Karena itu, banyak filsuf yang menegaskan bahwa seni
yang tidak ternikmati atau tidak komunikatif sama sekali tidak bisa dikatakan indah. Seni dipandang
sebagai suatu simbol dan lambang yaitu mengatakan sesuatu tentang sesuatu yang terbentuk melalui
proses abstraksi. Dalam hal ini, seni tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti tetapi lebih
kepada pesan untuk diresapkan.

Konsep Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol

Seperti telah dipaparkan sebelumnya tentang simbol, maka kebudayaan sebagai sistem simbol
memiliki makna yang luas yakni sejauh semua objek hasil kebudayaan itu mempunyai makna. Simbol
ini bersifat konvensi, abstrak dan sulit untuk diobservasi. Sistem simbol merupakan sistem penandaan
yang di dalamnya mengandung makna harafiah, bersifat primer dan langsung ditunjukan sekaligus
mengandung makna lain yang bersifat sekunder dan tidak langsung. Sistem simbol bersifat ganda
yakni menunjuk pada makna harafiah dan makna tersembunyi. Karenanya, penting untuk mebuat
suatu interpretasi. Dalam hubungannya dengan dimensi keagamaan, simbol merupakan manifestasi
dari sesuatu Yang Kudus atau Yang Suci. Keberadaan simbol menjembatani kehidupan manusia
dengan Yang Kudus itu. Ritual agama sebagai unsur kebudayaan dilihat sebagai sistem simbol,
menghubungkan pula manusia dengan alam semesta dalam artian yang luas. Berbagai macam simbol
dijadikan alat untuk menyimpan dan mengekspresikan pengalaman manusia. melalui simbol
terbentuklah komunikasi antara manusia dengan manusia, dan melalui simbol manusia terus menerus
akan disadarkan akan adanya Hakikat Tertinggi yang dipujanya.

Konsep Pelembagaan Agama

3
Pelembagaan Agama dilihat dari tiga tingkat. Pertama, pelembagaan agama berkembang sebagai
keterlibatan ideologis, intelektual, pengalaman yang menyebabkan suatu keyakinan atau kepercayaan.
Kedua, Pelembagaan agama berkembang sebagai pola ibadat dan ketiga tampil sebagai bentuk
asosiasi atau organisasi. Ketiga aspek itu mesti dilihat dalam satu kesatuan yang utuh. Dari ideologis,
intelektual dan pengalaman akan berkembang suatu kepercayaan dan dogma, dari ibadat atau
kebaktian disempurnakan dengan liturgi simbolis dan dari persaudaraan jemaat berkembang menjadi
organisasi, kelompok atau gerakan religi. Dalam agama Katolik, aspek pertama dan kedua lebih
dilihat dari sisi pandangan sacramental yakni bersifat misteri dan sakramen. Dalam penghayatan
hidup yang ikut dalam misteri Allah dan sacramental, hidup itu sendiri diartikan dengan berada dan
berdiri di hadirat Tuhan. sementara itu, iman akan Yang Kudus diwujudkan dalam iman universal
dalam kesatuan dengan gereja. Persis pada taraf inilah, seseorang ikut terlibat dalam keanggotaan
gereja yang merupakan sebuah organisasi. Konsekuensinya adalah Seseorang yang tidak menerima
ketiga unsur itu tidak termasuk keanggotaan gereja secara sacramental penuh. Dalam Gereja katolik,
terdapat struktur yang menunjukan gereja sebagai sebuah lembaga yakni yang secara hirarkis terdiri
dari keuskupan, kevikepan, paroki sampai yang terkecil sering disebut sebagai linkungan.

Konsep Ritual

Ritual diartikan sebagai suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa
kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur
dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu meliputi segala sesuatu yang
yang dibuat atau dupergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang tertinggi
dan bahwa hubungan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum melainkan sifatnya khusus dan
istimewa. Atas dasar pengalaman itu, manusia membuat suatu cara yang pantas guna melakukan
pertemuan dengan Yang Kudus dalam berbagai bentuk ritual agama seperti ibadat atau liturgi.
Mungkin secara lahiriah ritual merupakan hiasan atau semacam alat saja. Tetapi pada dasrnya, ritual
merupakan pengungkapan iman. Oleh karena itu, upacara ritual atau agama diselenggarakan pada
berbagai tempat dan waktu yang khusus, tindakan-tindakan yang khas dan menggunakan alat-alat
yang bernilai sacral.

Konsep Kesadaran Religiusitas

Dalam mengkaji bagaimana sekelompok orang menganggap kesadaran beragama, dapat dilihat
dari sisi berikut: 1) Keterlibatan Ritual yakni sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di
dalam agama mereka. 2) Keterlibatan Ideologis, yaitu sejauh mana orang menerima berbagai macam
hal yang domatis di dalam ajaran agamanya. 3) Keterlibatan intelektual yang menggambarkan
seberapa jauh seseorang mengetahui ajaran agamanya. 4) Keterlibatan pengalaman, menunjukan
apakah seseorang pernah mendapat pengalaman mengagumkan yang merupakan keajaiban atau
mukjizat yang datang dari Tuhan dan 5) Keterlibatan secara konsekuen yaitu sejauh mana perilaku
seseorang itu sejalan secara konsekuen dengan ajaran agamanya.

Konsep Akulturasi dan Inkulturasi

Dalam teologi Gereja, ditekankan agar warta dan pesan Kristus harus berakar dalam kebudayaan
setempat. Liturgi sendiri tidak menggunakan suatu kebudayaan yang menjadi bentuk umum untuk
digunakan secara universal. Gereja mengembangkan dan memajukan keindahan serta kekayaan jiwa
bangsa. Oleh karena itu, perlu dibangun suatu kontak antara gereja dengan budaya bangsa di dunia.
kontak itu dapat disebut dengan indigenization yang menunjuk pada proses yang memperlihatkan

4
suatu bentuk liturgi budaya yang asli atau pribumi dari komunitas local. Ada juga istilah lain yang
digunakan untuk menunjuk pada proses tersebut antara lain adaptation yakni penyesuaian Injil dengan
kebudayaan. Contextualization yang lebih menegaskan wujud nyata hidup dan pesan Kristiani dalam
konteks budaya yang bersangkutan. Incarnation yang dalam kepercayaan Kristen dihubungkan dengan
peristiwa Allah yang menjadi manusia seringkali dipakai untuk mengganti atau sinonim dengan istilah
adaptasi. Sementara itu, akulturasi dan inkulturasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang
sesuai dengan hakikat kebudayaannya yang mengarah pada keserasian sosial. Akulturasi sebagai
perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara dua kebudayaan yang keduanya saling
memberi dan menerima. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses akulturasi adalah
bagaimana keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi berjalan, individu dari
kebudayaan asing yang membawa unsur kebudayaan baru tersebut, saluran yang digunakan untuk
melakukan kontak budaya, bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh berbagai unsur
kebudayaan tadi dan bagaimana reaksi individu yang mengalami kontak dengan berbagai macam
unsur kebudayaan asing. Akulturasi dipandang dengan jelas sebagai suatu konsekuensi dari difusi
yaitu suatu kontak kebudayaan yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Bagaimanapun juga
dalam suatu perpaduan budaya tersebut, beberapa unsur asing akan diterima dengan mudah jika unsur
itu memperlihatkan kesamaan antar unsur asing dan unsur local. Maka dalam proses akulturasi, salah
satu langkah yang dapat dilakukan adalah menemukan kesamaan antara budaya pendatang dan
budaya pribumi. Tidak dipungkiri bahwa dalam beberapa kelompok masyarakat, terdapat suatu upaya
untuk menolak segala hal yang berkaitan dengan budaya pendatang. Hal ini dapat dipahami dalam
konteks kebudayaan pendatang tersebut tidak menujukan kegunaan fungsi yang sama atau
kebudayaan tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat local.
Istilah inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Kata inkulturasi terdiri dari dua kata
yakni in dan culture yang dapt diartikan dengan masuk ke dalam kebudayaan atau proses berakar
dalam kebudayaan. Inkulturasi adalah proses yang di dalamnya komunitas Gerejani menghayati iman
dan pengalamannya dalam konteks budayanya sedemikian rupa sehingga terciptalah pola-pola
persatuan komunitas baru yang mampu semakin mendorong keberimanan jemaat local. Sebagaimana
kebudayaan itu bersifat dinamis, terbuka dan berubag seiring berjalannya waktu, maka inkulturasi
tentang Kabar Gembira itu merupakan suatu proses yang kontinu dan tidak pernah selesai. Proses
inkulturasi sendiri terbagi dalam beberapa tahap. Pertama adalah tahap penterjemahan injil dan
simbol-simbol liturgi dari bahasa asli ke dalam budaya setempat agar mampu dipahami oleh umat.
Kedua adalah proses adaptation di mana antara kedua budaya yang berbeda itu terjadi proses saling
memberi, menerima dan mempengaruhi. Ketiga adalah tahap inkulturasi sendiri atau tahap sintesis
budaya. Sebenarnya, antara proses akulturasi dan inkulturasi itu sama-sama penyesuaian dengan sifat
budayanya, tetapi letak kekhasan inkulturasi adalah hasilnya yang dapat berupa penafsiran kembali
dan terdapat beberapa unsur pengolahan.

Konsep Mitos dalam Agama Katolik

Para teolog sepakat bahwa alkitab perjanjian baru pada dasarnya adalah mitologi dengan semesta
alam yang terdiri atas tiga bagian yaitu surga, bumi dan dunia bawah. Gereja juga berpandangan
bahwa mitos adalh bagian dari keberadaan manusia, suatu bagian yang terpendam di alam bawah
sadarnya yang tidak dapat dibuang begitu saja oleh cara pandang yang rasional. Unsur mitos
diperlukan untuk pemahaman Injil yang seimbang dan utuh dengan tidak menampilkan yang rasional
tanpa yang mistis dan sebaliknya. Karena dengan menitikberatkan pada satu realita saja, maka iman
kristiani tidak mendapat tempatnya secara menyeluruh dalam kehidupan manusia.

Konsep Budaya Pedesaan

5
Dalam mengkaji fenomena kesenian dari suatu masyarakat, salah satu unsur yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja adalah konteks wilayah temapat kesenian itu berkembang. Adapun yang
menjadi konteks wilayah daripada ritual kesenian yang ada di wilayah ganjuran adalah konteks
masyarakat dengan budaya pedesaan. Dalam pembicaraan ini daerah Jawa sendiri terbagi dalam dua
budaya local yakni antara budaya Surakarta dan Jogjakarta. Perbedaan ini dapat dilihat dari berbagai
unsur kebudayaan yang dikembangkan seperti cara berbahasa, berpakaian, berkesenian dan lain
sebagainya. Konsep budaya pedesaan merupakan konseplama yang masih dipahami dan dihidupi oleh
masyarakat sekitar. Mereka pada umumnya masih mengatakan bahwa di luar kota Yogyakarta
dianggap sebagai daerah pedesaan karena Yogyakarta merupakan daerah istana dan budaya yang
berkembang adalah budaya keraton. Sedangkan daerah di luar keraton sebagaimana yang terdapat
dalam daerah penelitian ini merupakan daerah tradisional pedesaan dengan kebudayaannya yang khas.

Teori-teori yang digunakan untuk memaknai realitas yang ada:


a. Teori sistem: teori yang dikembangkan oleh Talcot Parsons ini menerangkan bahwa seluruh
perilaku manusia merupakan sistem yang hidup dan oleh karenanya terdapat sistem-sistem di
bawahnya yang saling terkait satu dengan yang lain antara lain sistem kebudayaan, sistem sosial
sistem kepribadian an sistem organisme perilaku. Sistem kebudayaan yang secara konseptual
ditegaskan sebagai sistem simbol merupakan suatu hal yang mesti terpenuhi dalam hidup manusia.
Dalam sistem kebudayaan, kebudayaan kebutuhan adaptation dipenuhi melalui sub-sistem simbol
kognitif yang bentuk konkretnya berwujud ilmu pengetahuan atas dasar perilaku kognitif. Adapun
sub-sistem simbol-simbol tersebut merupakan sistem yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Singkatnya, dalam agama sebagai sistem kebudayaan terdapat bentuk bentuk simbolik yang saling
berhubungan: Simbol kognitif, simbol ekspresif, simbol konstitutif dan simbol moral. Dalam hal ini,
akan dianalisis bagaimana simbol ekspresif berkaitan dengan simbol konstitutif. Simbol ekspresif
bentuk konkretnya adalah berupa perbuatan ekspresi manusia yang berlangsung dalam medium
inderawi tertentu. Sebagai ungkapan ekspresi, simbol ini bertujuan tidak hanya menyangkut soal
makna, karena makna kadang-kadang diproyeksikan pada persoalan mengerti atau tidak mengerti
saja. Ekspresi lebih kepada memberikan pesan yang mampu menyentuh orang lain yang kepdanya
pesan itu disampaikan. Sementara itu, simbol konstitutif menjamin dan memenuhi kesinambungan
atau mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem sesuai dengan aturan dan norma. Hubungan
antara simbol konstitutif dan ekspresif adalah bagaimana keduanya memiliki kesamaan yakni dalam
memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan. Keduanya menyatu dan berkembang bersama saling
membutuhkan atau dapat dipahami sebagai sistem korelatif integratif dan dinamis.
b. Teori Sibernatika: merupakan studi komunikasi terutama di antara manusia. Melalui proses
sibernatika ini dapat dilihat saling hubung kebutuhan fungsional sistem yang saling ketergantungan
menjaga keseimbangan teori Parsons. Sistem yang lebih tinggi atau di atas lebih besar muatan
informasinya, sementara sistem yang lebih rendah atau di bawah lebih besar isi kekuatannya.
c. Teori fungsional: memandang sumber agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti
pentingnya yaitu sesuatu yang mentransendensikan pengalaman atau sesuatu yang berada di luar
dunia empiris. Agama memiliki fungsinya yakni dengan memberikan kesadaran religiusitas sehingga
mampu memelihara atau mempertahankan keseimbangan seluruh sistem sosial. Hal ini mampu
menjawab pokok teori fungsionalis yakni segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya. Karena kesadaran religiusitas tinggi, maka agama memiliki fungsi.
d. Teori aksi: fenomena inkulturasi melibatkan tindakan aktif kreatif manusia atau individu
sebagai aktornya. Gejala itu dimaknai dalam teori tindakan yakni sebagai tindakan yang muncul dari
kesadaran individu dengan tujuan tertentu dan cara atau metode yang digunakan pun disesuaikan
dengan tujuan tersebut. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat

6
diubah dengan sendirinya. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan,
sedang dan telah dilakukannya. Ukuran-ukuran dan standar normatif lainnya diharapkan timbul pada
saat pengambilan keputusan.
e. Teori kewenangan Weber: dalam upacara yang diselenggarakan tersebut tidak dapat
dilepaskan peranan seseorang yang memiliki power atau kekuasaan. Dalam kehidupan Gereja, kuasa
untuk menentukan atau memutuskan beberapa hal yang berhubungan dengan keagamaan termasuk
inkulturasi upcara liturgi itu dipegang oleh golongan hirarki gerejawi. Teori tentang kewenangan ini
dalam banyak hal dapat memaknakan realitas sosial tentang hubungan antara simbol kosntitutif dan
ekspresif sebagai suatu sistem.
f. Teori sosiologi budaya dari Williams: dalam sosiologi budaya terdapat tiga jenis studi atau tiga
komponen pokok yaitu lembaga budaya, isi budaya dan efek budaya atau norma-norma. Lembaga
budaya menyangkut subjek yang menghasilkan produk budaya, mengkontrol dan bagaimana hal
tersebut dapat dilakukan. Isi budaya menyangkut produk yang dihasilkan dan simbol-simbol apa saja
yang digunakan. Efek budaya menyangkut pada konsekuensi yang diharapkan dari proses budaya
tersebut. Teori sosiologi budaya ini mampu memberi gambaran atau makna tentang tujuan inkulturasi
pembentukan simbol ekspresif dan komunikatif dalam mencapai tujuan yakni pelembagaan gereja
yang sesuai dengan visi misinya.

Bab II Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap ritual keagamaan di Ganjuran ini menggunakan metode
kualitatif yang menekankan peranan peneliti sebagai instrument utama dalam proses penelitian.
Langkah-langkah yang dilakukan yakni sebagai berikut: Pertama, melakukan observasi dengan
terlibat secara langsung di lapangan dan mengamati jalannya kegiatan ritual itu sendiri secara orisinal.
Kedua, memahami makna, nilai dari kegiatan. Ketiga, mengkorelasikan beberapa temuan-temuan
yang didapat. Keempat, setelah memperoleh data-data yang diperlukan, maka langkah terakhir adalah
mengembangkan hipotesa, konsep dan teori-teorinya. Penelitian ini dikhususkan pada kegiatan Liturgi
Prosesi Sakramen mahakudus yang diadakan setiap tahun pada hari minggu terakhir bulan juni di
daerah Gereja Katolik Paroki Ganjuran di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Adapun yang menjadi
sumber dari penelitian ini sebagian besar diperoleh dari masyarakat sekitar yakni mengenai deskripsi
daerah setempat, lokasi dan keadaan alamnya, sistem kemasyarakatan, kekerabatan, jumlah penduduk
dan sebagainya. Penemuan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipasi atau
peneliti bersikap sebagai participant as observer dengan masuk menjadi partisipan dari masyarakat
subjek penelitian sehingga dapat mendapatkan kepercayaan sebagai bagiannya. Pengalaman
pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan dan responden yang tidak
hanya dilakukan secara tertulis terstruktur tetapi juga menggunakan rekaman secara informal, spontan
dalam bentuk dialog dengan atau tanpa perjanjian terlebih dahulu. Data-data yang diperoleh itu diuji
dan diperoleh keabsahannya dengan memperhatikan 4 kriteria yaitu kredibilitas, transeferabilitas,
dependabilitas dan konformabilitas.
Penelitian yang digunakan dalam kasus ini adalah cenderung menggunakan
paradigma terpadu antara fakta sosial dan definisi sosial serta cenderung menggunakan
metode kualitatif yakni peranan peneliti sebagai instrumen pertama dalam proses penelitian.
Peneliti akan berusaha mendeskripsikan dan memahami fenomena sosial. Maka realitas
dalam masyarakat menjadi tujuannya. Dengan demikian peneliti menggunakan pendekatan
etnografi yaitu lebih menggambarkan cara hidup atau aktivitas mereka pertama-tama dalam
menginterpretasikan inkulturasi ritual agama sesuai pandangan atau pemahaman masyarakat
sendiri. Atas dasar pendekatan ini maka beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain

7
sbb: pertama, melakukan observasi partisipasi atau dengan terlibat secara sungguh
dilapangan; kedua, memahami makna nilai dari kegiatan itu; ketiga berusaha
menghubungkan beberapa temuan yang ada; keempat dalah setelah data dipahami dengan
mengkategorikan serta mengidentifikasi karakteristik dan berusaha mengembangkan
hipotesis, konsep, dan teori-teorinya yang ada di lapangan.

Bab III Parokial Gereja Ganjuran dan Identifikasi Masyarakatnya

Masyarakat sekitar Bantul berprofesi sebagai petani karena keadaan alam setempat cocok untuk
daerah pertanian sawah maupun ladang yang cukup subur. Tanah pertanian ini biasanya digarap
secara bersama dan hasilnya menjadi tanggungjawab yang menjadi bengok tanah. Terdapat juga
daerah pantai dan sebagian kecil daerah pegunungan yang cukup terkenal sebagai tempat Pangeran
Diponegoro melakukan perang gerilya selama masa penjajahan. Di daerah semacam inilah tersebar 27
wilayah yang menjadi bagian dari Paroki Gereja Katolik Ganjuran dan terdapat 7 stasi. Identifikasi
masyarakat setempat merupakan daerah wong desa untuk membedakannya dengan wong kutha yang
menunjuk pada masyarakat di sekitar daerah pemerintahan istana Yogyakarta. Perbedaan ini
menunjukan adanya subsistem yang terpisah dalam masyarakat tradisional Jawa. Misalnya saja
dengan membandingkan salah satu karakter masyarakat. Masyarakat pedesaan cenderung
mempertahankan sifat-sifat kebersamaan atau gotong royong dibandingkan dengan masyarakat
perkotaan yang mulai terpengaruh oleh perubahan zaman. Ciri-ciri desa dengan caranya sendiri masih
tetap menandai sifat-sifat kesederhanaan atau kepolosan yang benar-benar berbeda dengan sifat
kekotaan. Penulisan etnografi tentang masyarakat pedesaan ini mencakup:
1) Angka dan fakta kependudukan, mayoritas penduduk memeluk agama islam dengan persentasi
94 % diikuti pemeluk agama Katolik 4.5% atau 700 jiwa dan selebihnya agama-agama lain. Sebagian
besar mata pencaharian penduduk asli adalah petani serta buruh dengan beberapa karyawan swasta.
2) Bahasa, bahasa sehari-hari yang digunakan di lingkungan sekitar adalah bahasa Jawa. Di
samping bahasa Jawa, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai alat komunikasi di lingkungan formal.
3) Sistem Religi, terdapat sistem kepercayaan yang lebih dominan di daerah ini adalah agama
Islam dengan struktur khusus yang ada di dalamnya seperti santri atau abangan dengan penghayatan
kejawen. Penghayatan kejawen ini juga masih dipegang oleh masyarakat sekalipun mereka telah
beragama. Dalam budaya setempat, juga terdapat kebiasaan untuk mengadakan slametan untuk
memohonkan keselamatan. Kebiasaan ini memiliki kesamaan dengan perayaan keselamatan dalam
Liturgi Ekaristi. Selain ekaristi ada bentuk-bentuk devosional lain sebagai ungkapan kebaktian kepada
Yang Kudus seperti gerakan karismatik, persekutuan doa, paguyuban Tyas Dalem Canjuran yang
berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.
4) Sistem Mata Pencaharian: Komunitas desa yang dicirikan sebagai desa agraris yaitu sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani tradisional atau pra-industribaik di tanah
pertanian kering atau tegalan maupun bercocok tanam di tanah basah atau persawahan.
5) Sistem Kekerabatan: terdapat keluarga batih atau kulawarga yang terdiri atas suami-istri dan
anak-anak yang menjadi keluarga inti. Ada juga keluarga besar yaitu pengelompokan dari dua-tiga
keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal atau satu rumah maupun satu pekarangan. Bentuk
kekerabatan lain yang lebih luas cakupannya adalah sanak-sedulur yaitu kerabat keturunan dari nenek
moyang sampai derajat ketiga dan juga kekerabatan yang disebut alur-waris yakni semua kerabat
hingga tujuh turunan. Keberadaan bentuk-bentuk kekerabatan semacam ini menjadi sangat penting
karena biasanya mereka akan tetap saling terhubung dengan mengadakan pertemuan dan
musyawarah, penyelenggaraan suatu kegiatan, atau perihal pembagian warisan.

8
6) Sistem kemasyarakatan: karakter umum dari masyarakat setempat adalah sikap yang
mengedepankan kesederajatan dan akrab atau semedulur. Kendati begitu, sistem tata krama dan sopan
santun dalam berelasi sangat dijunjung tinggi. Dari segi pelapisan sosial, sebagian besar masyarakat
termasuk golongan wong cilik dengan kedudukan-kedudukan tertentu. Dalam hal penggolongan
menurut kriteria agama, mereka yang menjadi pemimpin ataupun tokoh agama seperti Kyai, Da’I,
Romo, pro-diakon mendapat penghormatan yang cukup istimewa.
7) Kesenian: masyarakat mengembangkan juga jenis kesenian yaitu seni gerak, seni suara dan
seni rupa. Kesenian tersebut identic dengan kehidupan mereka sebagai masyarakat pedesaan dan
termasuk dalam kesenian tradisional kerakyatan. Fungsi kesenian menjadi ungkapan ekspresi
masyarakat terhadap situasi kehidupan yang mereka jalani, sebagai sarana pertunjukan budaya atau
pelengkap dalam berbagai perayaan dan hajatan. Selain itu kesenian seperti tayub dikaitkan dengan
suatu ritual bersih desa yang memohonkan kesuburan bagi alam dan manusia. Dalam kehidupan
gereja, kesenian ini diungkapkan misalnya dengan berbagai bentuk hiasan kembang yang dipakai
dalam liturgi.

Anda mungkin juga menyukai