Anda di halaman 1dari 10

IMAN KRISTEN TERHADAP KEBUDAYAAN

Suatu Refleksi Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam Upaya


Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang Firman Allah.
I. Definisi Budaya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri.Citra yang memaksa itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam
berbagai budaya seperti individualisme kasar di Amerika, keselarasan individu dengan
alam d Jepang dan kepatuhan kolektif di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa
tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang
paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain.
II. Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam

masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memPengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

III. Ciri-ciri Kebudayaan.


Ciri-ciri khas kebudayaan adalah:
A. Bersifat historis. Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang
diwariskan secara turun temurun;
B.

Bersifat geografis. Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang
berkembang pesat dan ada yang lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan) yang nyaris
berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan kemudian
berkembang pada komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras.
Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regiona, dan makin meluas dengan
belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era informasi dimana
terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan;

C. Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu


berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia terbentur pada nilai, nilai
yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan? Sampai batas mana?
IV. Hubungan Antara Gereja dan Kebudayaan.
Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian
sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma
dalam satu model melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauhmana kita memahami
apa itu gereja dan apa itu budaya.
Menurut H.Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa
dan Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan
gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus dan
keabudayaan, sebagai berikut :
a. Kristus bertentangan dengan kebudayaan (Christ against Culture).
Dalam sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap
kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi kekristenan
dan gereja.
b. Kristus dari kebudayaan (Christ of Culture).
Sikap ini berkeyakinan bahwa Kristuslah yang memiliki kebudayaan. Oleh karena itu
orang beriman harus berusaha menyesuaikan diri (toleran) dengan kebudayaan.
c. Kristus di atas kebudayaan (Christ above Culture).
Dalam

pemahaman

seperti

ini,

Kristus

dipandang

sebagai

yang

menggenapi/menyempurnakan kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan


kebudayaan. Karena itu orang kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
d. Kristus dan kebudayaan dalam paradoks (Christ and Culture in paradox).
Sikap ini berkeyakinan bahwa orang kristen, gereja hidup dalam dua dunia yang
berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang kristen, gereja hidup
dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup dalam kebudayaan masyarakat di
mana dia ada.
e. Kristus pembaharu kebudayaan (Christ transforming Culture).
Apa yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat
ini) masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan, walaupun
untuk kepentingan masakini mesti dikritisi dengan bijak sebab konteks telah berubah dan
perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi dan berkembang.

V. Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan.


Ada 5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni:
1.Antagonistis atau oposisi
Sikap antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat
pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan.Sebab akibatnya,
sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua ungkapannya. Gereja dan
umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan tertentu,
yakni kebudayaan yang ; 1. MenghinaTuhan 2. Menyembah berhala dan 3. Yang merusak
kemanusiaan.
2. Akomodasi atau persetujuan
Kebalikan

dari

sikap

antagonis

adalah

mengakomodasi,

menyetujui

atau

menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap
demikian ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi
atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua agama
sama saja.
3. Dominasi atau sintesis
Dalam gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia
menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuatcitra ilahinya
merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masihmemiliki kehendak bebas
yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bias
melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai bagian
imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi
anugrah Ilahi.

4. Dualisme atau pengutuban


Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban terhadap kebudayaan ialah
pendirian yang hendak memisahakan iman dari kebudayaan ialah ; terdapatpada kehidupan
kaum beriman kepercayaan kepada karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia
tetap berdiri didalam kebudayaan kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati

manusia berdosa menjadi manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi
kebudayaan.
5.Pengudusan atau pertobatan
Sikap pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima,
tetapi sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak
menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan selama hasil
hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan.
Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya yang salah
satu itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan
itu, sehingga terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.
IV. Refleksi: Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam Upaya Memperbaharui
dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang Firman Allah.
Kebudayaan adalah prestasi atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam alam ini.
Kemampuan untuk berprestasi/berkarya ini merupakan sikap hakiki yang hanya ada pada
manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu sejak penciptaan,
manusia telah diberi amanat kebudayaan (Kej 1:26-30)
Namun kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan manusia hanya mampu
menghasilkan kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah dan hanya demi kemuliaan
diri manusia sendiri (dari God-centered menjadi man-centered)
Manusia lalu berusaha untuk mengisi keadaan kosong dalam hatinya dengan
kebudayaan (agama, ilmu dan teknologi, seks, hiburan, harta, kesalehan, kedudukan tinggi,
dll.) Namun kebudayaan manusia tidak akan pernah dapat memulihkan keadaan manusia
yang sudah jatuh dalam dosa. Pemulihan keadaan manusia dan kebudayaannya terjadi ketika
Anak Allah yang Tunggal turun ke dalam dunia untuk menebus dosa manusia.
Awal kedatangan Injil Ke Tanah (Jiwa) Batak
Begitu lama suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergununggunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah
mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris dari Eropah untuk memperkenalkan Injil
kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu.
Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi
bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada

Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup.Mereka berpindah dari gelap
kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada
kehidupan yang kekal.Injil telah dating dan merasuk ke Tanah Batak!
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan. Raja dan .Juruslamat tidaklah
membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari sawo matang menjadi putih (bule),
atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan
bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi
sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari
Batak menjadi Jerman. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa,
Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah Batak dan hidup sebagai
masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaris
itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari
kebatakannya

dan

kehidupan

sehari-harinya.

Bahkan

mereka

bersusah-payah

menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan
menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan
berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan
Inggris atau Yahudi).
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayahibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan
Jurusiamat. Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup
baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16).
Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu. kita yang sekarang pun mengalami
bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang
menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika.
Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan
berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status sosial tertentu yang mutlak
menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) tidak ada juga bahasa yang
menghalangi kita datang kepadaNya.
Firman telah menjadi manusia sama seperti kita dan tinggal diantara kita (Yoh 1 :14).
ltu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara
kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita
untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol,
ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk lndonesia dan modernitas) kita

Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak
yang sangat kita pahami dan hayati.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen?
Memang harus diakui bahwa pada awalnya jaman dahulu tortor dan gondang adalah
merupakan ritual atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal
kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen
menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya
dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai
orang Kristen ( sekaligus batak- Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta
kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan
Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu, namun dengan memberinya makna atau
arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan rohroh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah
Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari
dosa, dan Roh kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin
masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan
tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa bangsa eropah yang
belum mengenal Kristus namun diberi isi yang baru, yaitu perayaan kelahiran Kristus. Begitu
juga dengan tradisi telur paskah, santa claus dll.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja
Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual
pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian
orang Kristen mengatakan boleh namun sebagian lagi mengatakan tidak. Rasul paulus
memberi nasihat yang sangat bijak. *Makanan tidak mendekatkan atau Menjauhkan kita dari
Tuhan. (l Kor 8:1-11). Keadaan Yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang
Kristen boleh memakan segalanya. (1 kor 14:15) Rasul Paulus memberi nasihat Kerajaan
Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita
oleh Roh Kudus (l Kor14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat ini untuk persoalan
tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk
penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan
Roh kudus. Selanjutnya kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman,
jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan, Tenunan ulos batak,
dengan batik jawa atau brokat prancis sama saja nilainya dihadapan Kristus. Taganing

(gondang, atau gondrang), orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral.
Keduanya dapat dipakai untuk memuliakan Allah.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan iman Kristen
dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami
dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai,
merasuki memperbaiki realitas social, konomi, politik dan budaya yang ada. Itu artinya
sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya
(tortor, gondang dan ulos dll) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman
Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang
kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja
kepada tuntutan budaya itu. Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor. gondang
dan ulos dll) kita tidak bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan
total. Kita sadar sebagai orang Kristen, kita hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan
bukan kepada budaya. Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia)
kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya
sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya batak itu, termasuk
tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus
dipertahankan (dilestarikan) dan mana yang harus di ubah? Mana yang relevan dengan
kekristenan, dan yang tidak relevan dengan kekristenan?
Kita mengakui dengan jujur bahwa sebelum datangnya kekristenan tortor dan
gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak. dan manusia). menolak bala
dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan
gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah
satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa
yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita.Selanjutnya
sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflector atau yang memantulkan
permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen, gondang itu hanyalah
alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat
menyampaikan syukur atau permohonan kita kepada Allah bapa tanpa perantara atau
reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan,
tortor dan gondang sangat terikat kepada aturan-aturan pra-Kristen yang membelenggu:
misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan.
Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan
bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, memiliki

anak, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua
manusia berharga dihadapan Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan
tak bernoda (1 pet 1:19).

Tugas Agama
TENTANG PEMANFAATAN KEBUDAYAAN
YANG SESUAI DENGAN IMAN KRISTEN

Di Susun
Oleh

KELAS: XI.IPA.1

TAHUN AJARAN 2014 / 2015

Anda mungkin juga menyukai