Anda di halaman 1dari 10

“GEREJA dan BUDAYA POPULER”

1. Gereja dan Kebudayaan (Budaya Populer)

Secara etimologi, gereja berasal dari bahasa yunani yaitu Ecclesia yang berarti
dipanggil keluar.Berdasarkan etimologi ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa gereja
adalah institusi, personal dan komunal yang dipanggil oleh Kristus dan di utus ke dalam
dunia untuk memberitakan injil.

Secara etimologi, kebudayaan atau budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut
Culture, yang berasal dari bahasa latinColere, yaitu mengolah atau mengerjakan, tetapi bisa
juga diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani.

Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan itu ialah konsep pikir atau
pandangan tentang norma, nilai dan kebiasaan atau adat-istiadat yang membentuk kehidupan
manusia secara khusus dalam waktu dan tempat lingkungan tertentu.Budaya atau kebudayaan
ialah suatu paradigma hidup yang melekat pada hidup manusia sesuai dengan konteks hidup
di mana manusia itu berada serta mempengaruhi kehidupan manusia itu.

Sedangkan Budaya populer sering dijuluki budaya massa karena dihasilkan massal
dengan teknologi oleh dunia industri dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan. Budaya
populer tersebar secara global dan menembusi batas-batas geografis, bahasa dan perbedaan
primodial maupun sosial. Budaya ini penyebarannya terkait perkembangan teknologi
informasi khususnya media massa elektronik dan internet.

Ciri – ciri budaya populer adalah dikenal sebagai budaya generasi muda masa kini
yang bersifat cepat dan selalu baru setiap waktu.Budaya populer dianggap berbeda dari
budaya klasik atau tradisional dengan pesan bagi khalayak ramai. Budaya populer sangat
mempengaruhi pandangan dan gaya hidup masyarakat di semua bidang kehidupan. Budaya
populer umumnya tercermin melalui TV, Musik, Film, Fashion, shopping mall, internet, cafe,
aktivitas sosial-politik, gaya hidup dll.
Pengaruh positif dan negatif budaya popular.Pengaruh positifnya, Pertama, musik
gereja populer membantu pelayanan gereja dan menjadi sumber kekayaan Ilahi.Kedua, media
sosial memudahkan akses informasi pelayanan gereja baik khotbah maupun kegiatan ibadah.
Ketiga, umat berkreativitas dalam karya seni populer lewat lagu, tarian, puisi dan karya seni
lainnya. Keempat, gereja memakai media massa, media sosial dan media elektronik untuk
mendidik dan membentuk spiritualitas umat dengan kuatnya nilai moral. Pengaruh
negatifnya, pertama, musik populer di gereja cenderung memanjakan jemaat dengan
menguatnya teologi kemamuran, liriknya individualistik karena memakai kata “aku” terkesan
egois dari pengalam pribadi yang subjektif dan bersifat komersiil untuk mencari keuntungan.
Kedua, umat sangat kuat membentuk gaya hidup konsumerisme.Ketiga, budaya populer
membentuk budaya instan, budaya manja dan budaya selera yang kuat dalam kehidupan umat
karena karya budaya populer menyediakan segala kemudahan dan bersifat
menghibur.Keempat, karya seni populer mempengaruhi moralitas umat karena pesan yang
sarat nilai kekerasan, penipuan, pembunuhan dll.

Sikap Gereja terhadap budaya popular. Ada tiga pilihan sikap gereja terhadap budaya
populer, yaitu: Pertama,gereja bersikap tidak ramah dan anti budaya populer. Karya seni
populer cenderung dianggap negatif dan saingan gereja.Budaya populer lewat film, musik,
tarian, internet dicurigai menghibur, membentuk pikiran maupun perilaku amoral (tidak
bermoral) dari umat misalnya kekerasan, perselingkuhan, penghinaan, konsumtif dll.Kedua,
gereja bersikap ramah terhadap budaya populer.Karya budaya populer diterima dan dipakai
untuk menunjang pelayanan gereja.Gereja dan budaya populer tidak bersinggungan tapi
saling mendukung.Keramahan gereja terhadap budaya populer menyebabkan gereja tidak
kritis terhadap nilai negatif dari budaya populer.Ketiga, gereja bersikap kritis yakni pada satu
sisi ramah terhadap budaya populer, tetapi sisi lain juga tidak menolak kearifan nilai budaya
populer. Gereja menerima karya budaya populer tetapi tetap membangun sikap kritis untuk
menguji dan membaharui karya budaya populer.

Sikap gereja khusus GPM harus bersikap positif dan kritis terhadap budaya populer.
Secara teologis, budaya adalah bagian dari karya Allah yang diciptakan dengan dahsyat dan
ajaib (Mzm. 139:4). Selain itu, budaya adalah respon manusia terhadap perintah Allah yang
paling mendasar dan paling awal: “berkembang biaklah dan bertambah banyaklah…” (Kej
1:28). Budaya adalah cara kita memahami dan menjalani hidup di dalam dunia milik Allah.
Karena itu, gereja mesti menerima dan menghargai karya budaya popular dengan kekayaan
manfaat yaitu: a) budaya popular dihargai sebagai hasil karya kreativitas umat, b) media
pemberi pesan moral, sifat hiburan budaya popular diimbangi nilai dan pesan moral, c)
memberi kritik sosial dari pengalaman nyata, dan d) sifat menghibur budaya popular
diimbangi dengan pesan moraluntuk membangun dunia dan kemanusiaan. Penerimaan karya
budaya popular diimbangi dengan sikap mengoreksi dengan membuka ruang perjumpaan dan
dialog antara gereja dan budaya popular. Gereja mesti memakai kreativitas dan sifat
menghibur dari dari karya budaya popular untuk menunjang pelayanan misi gereja.

2. Perjumpaan Injil dan Adat Dalam Sejarah

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya


dapat diumpamakan seperti kuelapis.Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia
terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam,
Kristen dan terakhir modernisme.Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung
pada etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah.Tetapi bagaimanapun Injil
yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.[1]
Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-
unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur
kebudayaan universal, terdiri dari : Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan
organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata
pencaharian, dan Sistem teknologi.
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka
unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu
berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara
khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.

3. Gagasan Inkarnasi Kristus dan Kebudayaan

Makna dari Kristus adalah sang penyelamat semesta, adalah bahwa Allah
sesungguhnya Penyelamat semua orang Ia bukanlah Allah umat tertentu saja. Tindakan Allah
tidak terbatas pada suatu tradisi kebudayaan dan kesejarahan tertentu.Kristus telah
merobohkan tembok-tembok pemisah semacam itu. Sekali kita mengakui Kristus di dalam
Yesus, maka kita lihat bersama dengan Perjanjian Baru, khususnya dengan Yohanes dan
Paulus, bahwa Kristus dan Roh-Nya bekerja di mana-mana. Tugas kita bukanlah untuk
mendatangkan Kristus di mana la tidak hadir, melainkan untuk menemukan Dia di mana Ia
berada, kadang-kadang dengan cara-cara misterius yang kita tidak ketahui. Proses
menemukan Kristus ini bukanlah suatu pengkajian keterangan ilmiah atas kebudayaan dan
sejarah, tetapi suatu usaha mendengarkan" di dalam dialog dengan orang-orang lain yang di
dalam mereka kita lihat tengah berlangsung suatu dialog yang menyelamatkan antara Allah
dan manusia.[2]

Hubungan antara Yesus Kristus dengan Allah di satu pihak dan dengan manusia di
pihak lainnya, menimbulkan pertanyaan mengenai sifat-Nya.Teori tentang dua sifat Yesus,
bergumul untuk menjawab pertanyaan mustahil bagaimana mungkin seorang yang sama
dapat sekaligus adalah Allah dan manusia. Diskusi yang melulu akademis mengenai apa arti
konsep keilahian dan keinsanian dan bagaimana konsep-konsep ini dapat dipersatukan, dalam
hal ini kiranya tidak akan bermanfaat. Juga tidak akan banyak memperjelas jika kita men-
diskusikan apakah keilahian Yesus Kristus seharusnya dilihat di dalam keinsanian-Nya atau
melalui keinsanian-Nya. Adalah lebih penting menanyakan bagaimana gerangan Realitas
yang dijumpai seseorang dalam diri Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan yang hidup dan
bangkit, dalam totalitas hidup, kematian dan kebangkitan-Nya, dan bagaimana, melalui Dia,
dimungkinkan pembaruan hidup''Ciptaan baru" [3]

4. Bagaimana Hubungan Gereja dengan Budaya

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan
tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus
dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang
zaman dalam 5 sikap, yaitu :
a) Gereja Anti Kebudayaan.
Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan
kegelapan.Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itu tidak hidup
dalam kegelapan.Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata,
kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada
Kristus. [4]
b) Gereja dari Kebudayaan
Kelompok yang menganut Gereja dari Kebudayaan ini merasa tidak ada ketegangan
besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat
Illahi dengan karya manusia.Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus
danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sesuai dengan kebudayaan.
Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka
hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan
Kristus.[5]
Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep
kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya.Dengan demikian ada perdamaian Injil
dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan
Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat
baru.Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines
(185-254).[6]
c) Gereja di atas kebudayaan.
Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan
spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan
suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh
semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada
hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum
alam.Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi
melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki,
berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh
mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari
contoh itu Thomas Aquinas menyimpulkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat
dalam kodrat hidup manusia berada di bawah ordo supernaturalis.Dengan itu pada abad
pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.
d) Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan.Orang beriman (Kristen)
berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam
anugerah Allah dalam Kristus.Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu
hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan.Dengan itu ada kemungkinan orang tidak
lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan.[7]
Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa
seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut
imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam
lingkungan dunia.[8]
e) Gereja pengubah kebudayaan.
Banyak orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut
baik dalam teori maupun dalam politik.Mereka juga tidak bersedia menyerah
kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-
kelemahan.Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab
kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan
kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini
dianggap suci sebab berada di bawah gereja.Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa
kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja. Seorang teolog
bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi
ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan,
karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi
jahat karena dirusak.[9]
5. Tranformasi Kebudayaan dan Gereja

Transformasi kebudayaan adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan ke tingkat


kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia
yang terus-menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan Allah"

Di dalam PL Israel sebagai bangsa telah mengalami suatu transformasi kebudayaan,


yaitu dari kebudayaan bangsa pengembara menjadi kebudayaan bangsa yang menetap. Proses
pemilikan atas tanah Kanaan yang dijanjikan itu dan pembentukan Israel sebagai bangsa yang
menetap di Negeri Kanaan tidak lain hanya merupakan proses perubahan kebudayaan;
transformasi kebudayaan. Kita telah mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu pola hidup
dari suatu kelompok, masyarakat/bangsa.

Dengan demikian ada pandangan tentang double transformation, artinya bahwa tidak
hanya gereja yang dapat mengubah budaya, akan tetapi ada juga nilai-nilai budaya yang
dapat mengubah gereja (memberi sumbangan terhadap Injil) yang tumbuh dari konteks
budaya itu sendiri. Maka dari paparan di atas maka dapat dilihat dua hal yaitu: 1. Pentingnya
budaya bagi Gereja dan 2. Pentingnya Gereja bagi budaya.

a) Pentingnya Budaya Bagi Gereja.

Kita semua mengetahui bahwa alkitab ditulis dalam kurun waktu yang berbeda dan
konteks budaya yang berbeda juga, dan hal itu turut mempengaruhi penafsiran penerima injil.
Oleh karena itu, dalam pemberitaan injil yang diprakasai oleh gereja, sangat penting untuk
melihat konteks budaya setempat dimana injil hendak diberitakan, karena sama dengan
alkitab yang ditulis dengan konteks budaya yang berbeda, demikian juga semua daerah atau
tempat memiliki budayanya masing-masing yang melekat pada diri masing-masing individu
dan mempengaruhi jalannya pewartaan injil pada tempat atau daerah itu.

Oleh sebab itu gereja dalam pewartaan injil, tidak mungkin menggunakan budaya
yang ada didalam alkitab dan memaksakan begitu saja agar budaya itu dapat diterima oleh
masyarakat setempat.Contoh : dalam kebanyakan teks alkitab, ditulis dengan menggunakan
sistim budaya patriakhi (dimana laki-laki yang berkuasa), sedangkan tempat yang hendak kita
mewartai injil memiliki sistem budaya natural dimana laki-laki dan perempuan sama-sama
berkuasa. Jadi ketika kita mewartakan injil dalam konteks budaya natural seperti itu, kita
tidak bisa langsung begitu saja memaksakan dan mengharuskan agar masyarakat yang
memiliki sistim budaya natural harus mengikuti sistim budaya patriakhi, jika kita
memaksakan hal seperti itu, maka injil yang akan kita sampaikan tidak efektif dan tidak
menyentuh bagi masyarakat yang memiliki budaya natural. Oleh karena itu dalam
penyampaian injil, bagaimana gereja harus melihat budaya yang sudah berakar dalam
masyarakat serta menjadikan budaya sebagai fasilitator penyampaian injil dimana injil
hendak diwartakan sehingga dalam penyampaian injil bagaimana gereja tidak memaksakan
budaya patriakhi tetapi gereja kembali merekontekstualisasikan budaya patriakhi dengan
konteks budaya natural yang ada sehingga dalam penyampaian injil akan lebih efektif dan
menyentuh masyarakat karena sesuai dengan konteks budaya masyarakat yang ada sehingga
masyarakat lebih memahami dan mengerti injil yang disampaikan.

b) Pentingnya Gereja Bagi Budaya.

Gereja dihadapkan dengan tiga pilihan sikap terhadap budaya, yaitu: akomodatif,
konfrontatif dan transformatif.
Akomodatif, artinya gereja mengakomodasi atau menerima budaya sebagai bagian
dari gereja.Gereja bersikap ramah terhadap budaya dimana terjadi perjumpaan harmoni
antara gereja dan budaya.Sikap akomodatif ini teramati pada sikap Paulus ketika
memberitakan Injil di Aeropagus, Atena untuk orang Yunani. Paulus memakai cara dan
tradisi Yunani untuk pemberitaan Injil Kristus (lih. Kis. 17:16 – 34).
Konfrontatif, gereja berhadap-hadapan dengan budaya.Gereja bertentangan dengan
budaya.Nilai budaya dan praktek upacara adat dianggap tidak tidak sesuai dengan kehendak
Tuhan.Gereja cenderung curiga terhadap budaya dan upacara adat.Sikap konfrontatif ini
ditunjukkan Petrus ketika berhadapan dengan Kornelius, perwira Italia di Yope.Petrus
menganggap budaya dan kepercayaan-Nya lebih tinggi derajatnya dari kepercayaan orang
asing (Kis. 10:1 48).
Transformatif, hasil karya budaya diterima, dikritisi dan dibaharui sesuai kebenaran
Injil Yesus. Alasannya, a) tidak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya dan 2) tidak ada
kebudayaan yang statis. Tugas gereja adalah menguji, apakah kebudayaan itu sesuai dengan
kebenaran Firman Tuhan (Ef. 5 :10, 1 Tes. 5:21, 1 Yoh. 4:1). Ada perjumpaan yang
memungkinkan gereja dan budaya berdialog dan saling membarui.Gereja membarui budaya
dan sebaliknya budaya membarui gereja.Tugas gereja adalah memperbarui budaya dalam
terang Injil (Rm. 3 :23 , 1 Yoh. 5:19), sebagai wujud sikap gereja yang baru dan bersedia
memperbarui diri.
Gerejaharusnya memilih sikap ketiga yakni transformatif.Gereja berdialog dengan
budaya berdasarkan kesadaran bahwa, baik gereja maupun budaya memiliki nilai moralitas
masing-masing yang mesti dihargai.Gereja membaharui budaya dengan nilai kebenarannya,
sebaliknya budaya juga memberi sumbangsih nilai moral bagi gereja.
Dalam keberlangsungan budaya, ada juga budaya yang memberi nilai positif maupun
negatif dari maknanya maupun dari prakteknya. Oleh karena itu, peran gereja ialah untuk
mentransformasikan budaya yang tidak baik agar menjadi baik dengan cara memberi makna
yang baik lewat prosesnya dan lewat praktek dari budaya itu dan gereja harus tetap
mempertahankan budaya yang baik tanpa merusak atau mentransformasi esensi dari budaya
itu.

Contoh di Maluku adalah Budaya Sasi

Sasi adalah suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk
upaya pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada
seluruh warga/penduduk setempat.Tujuannya adalah pertama, sasi dipakai sebagai cara
mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Kedua, sasi sebagai
upaya pelestarian alam, demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya alam, mencegah
perselisihan, untuk kesejahteraan bersama.untuk hal inilah maka Gereja pun melakukan sasi
karena beupaya untuk menjamin kelangsungan hidup manusia maupun alam.Dasar teologi
untuk pelaksanaan sasi adalah pemberlakukan Tahun Yobel. Tahun Yobel adalah salah satu
perayaan keagamaan dalam tradisi Yahudi. Tahun ini dikenal sebagai tahun kelima-puluh
yangdirayakan bersamaan dengan Hari Raya Perdamaian. Perayaan ini dibuka dengan
meniupkan sangkakala dengan seruan pembebasan bagi para budak, termasuk pembebasan
lahan pertanian (Im. 25 : 11-27). Sebagai tindak lanjut dari praktik tahun sabat (Ul. 15:1-2),
perintah tidak menggarap tanah diganti dengan penghapusan utang. Tahun Yobel terjadi
sebagai implikasi dari perubahan pola hidup di Israel, yaitu dari masyarakat agraris ke
masyarakat kota. Tujuannya ada keseimbangan hidup, manusia tidak serakah sehingga
mengakibatkan penindasan terhadap manusia dan perusakan alam.

Gereja mendukung pelaksanaan sasi karena sasi mengandung nilai kearifan positif
diantaranya: sasi berfungsi mencegah pencurian, menggarap alam secara tertanggungjawab
dan menjamin upaya pelestarian alam (darat maupun laut). Nilai kearifan ini memperkaya
pelayanan gereja terhadap manusia dan alam sekitar.Cara gereja mempraktekkan atau
mengkukuhkan akta buka dan tutup sasi, dalam ibadah jemaat menunjukkan budaya sasi
diterima dan diakui oleh gereja.Secara teologis, praktik sasi dalam ritual gereja menunjukkan
bahwa Allah hadir sebagai saksi atas janji manusia untuk melestarikan alam atau mencegah
konflik. Tujuan sasi gereja ini adalah mendidik umat untuk bertanggung-jawab terhadap
alam ciptaan Allah dan melayani sesama.

[1] http://yuniasministry.blogspot.co.id/2008/11/pertemuan-injil-dan-kebudayaan.html.
Diakses pada tanggal 28 September 2017
[2] R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011). Hlm. 162

[3] Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 134-
135

[4] Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya, (Jakarta : Petra Jaya,
___)Hlm 56
[5] Ibid., Hlm. 94
[6] Berkhof, I. H, Sejarah Gereja, (Jakarta, BPK G Mulia, 1986). Hlm. 41
[7 ]Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya, (Jakarta : Petra Jaya,
____). Hlm. 194
[8] Ibid., Hlm. 207
[9] Ibid., Hlm. 239
Daftar Pustaka

1. Anton Wessels, Memandang Yesus,Jakarta:Bpk Gunung Mulia, 2001


2. David J. Hesselrave dan Edward Rommen. Kontekstualisasi, Makna, Metode dan
Model, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2009
3. Helmut Richard Niebuhr, Christ and Culture, 1951
4. Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, Jakarta : Bpk Gunung Mulia,
2005
5. Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
6. R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011
7. Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006

Anda mungkin juga menyukai