Anda di halaman 1dari 18

Tugas 3 Agama katolik

Nama: Selvia Christiana

Nim: 043345806

Gereja Katolik hadir dalam setiap aneka budaya, suku, dan bahasa yang ada di tengah-tengah
dunia. Kehadirannya menjadi tanda dan sarana keselamatan sebab Gereja Katolik menjadi
sakramen dalam pengertian umum. Untuk itu, dalam setiap kehadirannya Gereja Katolik
hadir, mendalami, meresapi dan membaur dalam aneka budaya, suku, dan bahasa sebab
keselamatan harus diwartakan sampai ke ujung bumi. Oleh karena itu, setiap orang Katolik
perlu mengetahui hal sebagai berikut

a. Uraikan konsep inkulturasi menurut beberapa dokumen Gereja

Jawaban:

Pengertian dan Hakikat Inkulturasi Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-
cultura. Kata depan in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur
atau cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian kultur adalah
segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya dengan kata lain ialah
“kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari kata Arab adaba yang berarti mendidik
(Komisi Liturgi MAWI, 1985: 9).

Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu usaha Gereja
membudaya. Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah
inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha inkulturasi pasti selalu merangkul
budaya setempat. Tetapi tidak semua penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain
itu, istilah inkulturasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang
selalu menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat. Istilah
inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis tahun 1960, yang
diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana, Masson, dalam artikelnya
”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah ini, Masson mau mengungkapkan fakta
integrasinya warta keselamatan Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu.
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977,
yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan naskah
terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 19). Dokumen De
Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan inkulturasi merupakan inkarnasi Injil
dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-
kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan
usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam
penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang
diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.

Mengembangkan Inkulturasi

Dalam Gereja Katolik Keuskupan Jakarta

(sebuah Konsep Gereja menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya yang Relevan dengan
ajaran Kristiani)

Gereja Keuskupan Jakarta dengan visi misi yang tertera dalam buku batik kuning
“Membangun Gereja Mandiri Yang Missioner” dan “Membangun Persekutuan Yang Berciri
Khas Daerah Di Setiap Paroki”, secara tersirat sedang dan akan
melaksanakanprosespengakuan, penghargaan, penghormatan dan keberpihakan kepada umat
local,karena Gereja juga menyadari bahwa sebelum Gereja ada, umat (masyarakat) lokal
sudah lama ada dan berevolusi. Oleh karena itu, Gereja sadar bahwa Allah hadir dalam setiap
kebudayaannya masing-masing dengan gaya yang khas. Dokumen Konsili Vatikan II,
menyebutkan “sabda Allah mewahyukan diri kepada umat-Nya hingga menampakan diri
sepenuh-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi berbagai
zaman.

Dasar legalitas dan substansi “membangun persekutuan berciri khas Papua di paroki
Keuskupan Jayapura telah diundangkan dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang tema-
tema yang amat mendesak, salah satunya artikel dua, tentang berbagai kaidah
mengembangkan kebudayaan. Selain itu, dalam Dokumen De Liturgia Romana Et
Inkulturatione- DLREI, (Liturgi Romawi dan Inkulturasi) menjelaskan mengenai
inkulturasi, bahwa Gereja menyesuaikan pewartaan injil dengan kebudayaan setempat.
Dalam memahami dan membangun persekutuan yang berciri khas Papua, perlu memiliki lima
indikator yaitu: 1) Membangun Gereja Berbasis Data Budaya Papua;2) Mengembangkan
Inkulturasi Dalam Gereja; 3) Mengembangkan Komunitas Multietnik di Perkotaan; 4)
Mengembangkan Komunitas Etnik Sebagai Basis Pembangunan Gereja Lokal atau Pribumi;
5) Peran dan Tanggung Jawab Semua Umat Berpihak Pada Orang Asli Jakarta.
Lima indikator di atas dirasa akan dan dapat mendorong serta mengarami Injil Kristus sesuai
dengan konteks. Karena Injil Kristus tidak mungkin mendekati umat dengan melepaskannya
dari konteksnya. Umat secara individu maupun komunitas selalu tertanam, berurat akar
dalam konteksnya. Ketentraman pada dunia itulah yang membuat umat merasa betah dan
enak atau nyaman dalam hidupnya. Indikator ini menjadi patokan optimis dan harapan yang
terukur di mana ajaran nilai-nilai Kristiani menginstitusionalisasi umat Kristen pribumi dan
multietnik di perkotaan.

Mula-mula para misionaris mewartakaan kerajaan Allah di wilayah terpencil khususnya di


pelosok tanah Papua, melalui pengenalan atas nilai-nilai kebudayaan komunitas umat
setempat. Walaupun mereka mendapat tantangan alam dengan kondisi geografis yang
kadang-kadang tidak menentu, membahayakan bahkan mengancam nyawa, namun mampu
menerobos, menyelam dan memahami konteks umat setempat. Mereka mengenali
lingkungan, menggunakan bahasa syarat untuk mengenal manusia dan konteks, mencatat
pesan-pesan yang ditangkap melalui panca indranya, dengan penglihatan, pendengaran,
perasaan dan pengalaman bersama umat setempat.

Dengan metode dan pendekatan ini, para misionaris mampu menghasilkan catatan harian
pengalamannya dengan istilah “etno pastoral”. Etno pastoral adalah lukisan (gambaran) atau
deskripsi komunitas adat yang mau dilayani misi Kristus kepada umat setempat. Komunitas
umat setempat ini juga dapat diistilahkan dengan komunitas pastoral, karena komunitas
pastoral merupakan komunitas umat yang dibentuk untuk mewartakan misi Kristus sesuai
dengan konteks umat setempat.

Gereja Katolik sangat menyadari dan menghormat setiap kebudayaan di dunia, khususnya di
wilayah Keuskupan Jayapura, memiliki nilai-nilai budaya dan simbol-simbolnya, bahasa dan
kesenian dan sebagainya yang relevan dengan ajaran nilai-nilaiKristiani sehingga dapat
diyakini bahwa nilai-nilai tersebut memperkaya iman umat setempat. Karena “Gereja wajib
memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku bangsa”, KL.37.
Gereja dengan pendekatan inkulturasi dapat memperkaya dan menyempurnakan kehadiran
Allah dalam masyarakat lokal. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk
menggenapinya, (Mat.5:17). Gereja dengan ajaran Injil bukan meniadakan nilai-nilai
kebudayaan masyarakat lokal melainkan menggenapi, menyempurnakan kondisi-kondisi
yang tidak relevan dengan ajaran kemanusiaan. Gereja dengan pendekatan inkulturasi
menggenapi kondisi masyarakat lokal sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi.

Magisterium Gereja telah memakai istilah “inkulturasi” untuk merumuskan dengan lebih
tepat, “inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukan
kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja”. Inkulturasi berarti
transformasi mendalam dari nilai-nilai kebudayaan yang asli diintegrasikan ke dalam
kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda.
Istilah inkulturasi adalah ungkapan yang lebih baik untuk melukiskan gerak ganda yaitu
“lewat proses inkulturasi, Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan,
sekaligus memasukan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam
persekutuan Gereja sendiri”, (DLREI, no.4).

Pater J.W.M. Bakker SJ berpendapat, kata inkulturasi dan enkulturasi berasal dari lafal en-
enkulturasi dan in- inkulturasi dipergunakan dengan kadar yang sama yaitu en=kata Yunani
dan in kata Latin, yang artinya “ke dalam”. Enkulturasi atau inkulturasi artinya proses
latihan, berkat seorang individu dintegrasikan ke dalam kebudayaan sezaman dan
kebudayaan setempat. Artinya inkulturasi atau enkulturasi adalahseorangindividu
memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem
norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

Di era otonomi khusus bagi Provinsi Papua, banyak masyarakat seluruh penjuru nusantara
datang ke Papua, khususnya wilayah Keuskupan Jayapura dengan cara Transmigrasi, Migrasi
dan Merantau (TMM), untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan layak. Umat TMM ini
sebagian besar berdomisili di perkotaan. Dengan demikian terlihan indicator pertumbuhan
penduduk. Sebagian penduduk ini dikategorikan sebagai umat Katolik yang bersebar di
paroki-paroki wilayah keuskupan Jakarta. Ketika penduduk TMM datang ke indonesia,
mereka membawa serta nilai-nilai kebudayaan dan adat istidatnya yang relevan untuk pijakan
dan pedoman hidupnya. Ketika hidup di perkotaan, umat yang datang tempat lain membentuk
paguyuban atau ikatan atau wadah berbasiskan adat-istiadat atau asal usul kampung atau
daerahnya. Umat dengan paguyuban atau wadah ini kemudian bersekutuh untuk mewujudkan
nilai-nilai kehidupan yang dianggap layak untuk diterima dan berkembang seiring dengan
kondisi actual. Disinilah yang dapat dikatakan sebagai umat multietnis di perkotaan. Dengan
kondisi seperti demikian, Gereja kemudian mengidentifikasi dan memahami konteks hidup
mereka lalu mewartakan kerajaan Allah.

b. Berikan contoh tantangan inkulturasi

Jawaban:

emestian atau pentingnya inkulturasi liturgi di Indonesia tentulahtidak perlu didiskusikan


lagi. Seluruh tingkatan dan lapisan dalam Gerejatentu mengakui hal ini. Namun hal yang
paling sering menjadipermasalahan pada inkulturasi liturgi adalah proses inkulturasi
liturgi.Bagaimana inkulturasi liturgi yang sangat perlu dan bahkan sebuahkeharusan tersebut
dilaksanakan agar di satu pihak liturgi yang di-inkulturasikan itu tetap sebuah perayaan liturgi
seluruh Gereja Katoliksemesta, dan di lain pihak liturgi yang diinkulturasikan itu sungguh-
sungguh dialami oleh jemaat setempat, umat Katolik di Indonesia, sebagailiturginya sendiri.
Demikianlah proses inkulturasi liturgi sebenarnya selalumerupakan sebuah dialektik, artinya
suatu dialog yang resiprok antaraiman dan budaya44. Ada dua unsur yang berdialektik, yakni
Injil yangditerima dalam iman, dan budaya yang melekat pada setiap manusia,komunitas atau
bangsa. Dalam praktek mendialogkan antara Injil danbudaya tersebut tidak selalu mudah.
Begitulah sekurang-kurangnya yangtampak pada berbagai usaha percobaan praktek
inkulturasi liturgi diIndonesia.Pada akhir tulisan ini, saya ingin menarik perhatian pada tiga
halpokok yang kiranya menjadi tantangan proses inkulturasi di Indonesia.Pertama, proses
inkulturasi liturgi mesti mencakup kesadaran yangtinggi bahwa iman yang dirayakan dalam
liturgi yang diinkulturasikansecara lokal atau menggunakan unsur-unsur budaya lokal itu
tetaplahiman seluruh Gereja semesta. Iman seluruh Gereja berarti iman Gerejasebagaimana
diwartakan oleh para rasul dan diteruskan sepanjangsejarah Gereja dan yang dengan setia
dijaga oleh Magisterium dandihidupi oleh umat beriman sepanjang zaman. Dari pengamatan
saya, senantiasa ada bahaya dalam proses inkulturasi liturgi di Gereja Katolikdi Indonesia, di
mana orang begitu saja menyusun suatu perayaan liturgiinkulturatif tanpa mempedulikan
norma-norma umum liturgi GerejaKatolik. Orang begitu saja memungut unsur-unsur budaya
lokal atausetempat di dalam perayaan liturgi, tanpa sungguh-sungguh men-dialogkan dengan
citarasa iman seluruh Gereja semesta sebagaimanatampak dalam norma-norma liturgi umum.
Dalam arti inilah mengapasuatu proses inkulturasi liturgi yang baik mesti memperhatikan
patokan-patokan berinkulturasi seperti tujuan inkulturasi, kesatuan hakiki denganRitus
Romawi dan meminta persetujuan hirarkis atau pihak Gereja yangberwenang. Patokan-
patokan ini menjaga agar proses inkulturasi liturgitetap berada dalam iman seluruh Gereja
namun juga tetap dilaksanakanmenurut budaya setempat.Kedua, proses inkulturasi liturgi
mesti dilaksanakan dengan sabar,mendalam, dan evaluatif. Godaan yang sangat besar bagi
para pelakuatau pihak yang ingin mengadakan inkulturasi liturgi ialah merayakanliturgi
inkulturatif secara spontan, coba-coba, tempel sana tempel sini, dansama sekali tidak adanya
studi yang mendalam terhadap makna unsurbudaya yang akan dimasukkan ke dalam
perayaan liturgi inkulturatiftersebut. Usaha inkulturasi yang tempel sana tempel sini berarti
upayamemasukkan unsur budaya yang disukai dan dianggap baik ke dalamstruktur perayaan
liturgi Gereja resmi tanpa ambil pusing dengan tepattidaknya dalam konteks keseluruhan tata
liturgi Gereja. Apa yang secarakultural bagus dan dianggap baik belum tentu tepat
dimasukkan begitusaja ke bagian tertentu dari perayaan liturgi Gereja karena setiap
bagianperayan liturgi Gereja memiliki sejarah makna dan peranan tersendiri.Itulah sebabnya
diperlukan suatu studi yang mendalam apabila orangakan mengadakan inkulturasi liturgi.
Studi tersebut sebaiknya berciriinterdisipliner, yakni melibatkan berbagai disiplin ilmu,
seperti teologis,liturgis, antropologis-budaya, sosiologis, historis dsb. Studi mendalam
atasberbagai unsur budaya dan unsur liturgi Gereja tersebut tentulahmenuntut waktu yang
tidak sebentar, artinya orang harus sabar danpelan-pelan. Setelah semua dilaksanakan
perlulah perayaan liturgiinkulturatif tersebut dievaluasi dan evaluasi ini sebaiknya
melibatkanseluruh pihak yang terlibat, termasuk umat beriman yang hadir danmengikuti
perayaan liturgi inkulturatif tersebut.Ketiga, proses inkulturasi liturgi tidak berhenti pada
persiapan danpelaksanaan perayaan liturgi atau ritualnya saja tetapi mesti sampai
padadampak atau daya transformatifnya dalam kehidupan umat sehari-hari.Banyak praktek
inkulturasi liturgi selama ini berhenti pada kemeriahandan kehebatan perayaan ritualnya
belaka, tetapi sisi gema dampak ataubuahnya dalam perwujudan iman konkret sehari-hari
sering kurangdilihat. Apa artinya sebuah perayaan liturgi inkulturasi yang meriah, dengan
tarian indah dan dokumentasi yang lengkap, tetapi sesudahperayaan liturginya umat pulang
ke rumah dan kembali menghayatihidup sehari-hari tanpa perubahan sikap hidup yang lebih
baik. Apaartinya sebuah Misa inkulturatif yang meriah dan hebat tetapi setelahselesai acara
ritualnya, umat yang merayakan Misa inkulturatif itu hidupdengan tidak rukun, suka konflik
atau bahkan main judi. Prosesinkulturasi liturgi mesti memperhatikan keseluruhan proses
dariperencanaan, pelaksanaan, dan perwujudan perutusan hidup sehari-hari setelah liturgi
inkulturatif tersebut dirayakan.
c. Jelaskan dua segi inkulturasi

Jawaban:

1. segi inkarnatif atau berakarnya dalam kebudayaan tertentu

Kristus memiliki jiwa manusiawi. Dengan jiwa ini, Ia sepenuhnya manusia dan dapat
berdiam di antara kita. Dengan jiwa ini, Ia adalah perantara dan penebus kita, karena dengan
kesengsaraan manusiawiNya, Ia dapat menghapus dosa kita dan menebus kita. Tiap jiwa
adalah sesuatu yang mengherankan. Jiwa adalah karya kesenian di tangan Tuhan. Bertemu,
berkenalan dan mencintai jiwa yang agung dan murni adalah suatu kebahagiaan besar. Jiwa
yang demikian dapat mengangkat kita kepada Tuhan, dapat membuat kita lebih memuja
Tuhan dan mencintai Tuhan. Tetapi tidak ada satu jiwa yang lebih indah, lebih sempurna,
lebih agung daripada jiwa Kristus.
1. Rahmat yang ada di dalam Kristus
Keindahan jiwa Yesus jauh melebihi segala yang lain. jiwaNya penuh dengan rahmat.
Memang, sebagai Tuhan, Kristus adalah sumber segala rahmat. Namun, Ia telah mengambil
kodrat manusiawi dan segala sesuatu yang ada padaNya, di luar apa yang dapat diperolehNya
sesuai dengan kodratNya dan sesuai dengan kegiatan kemampuanNya, adalah rahmat.

I. Rahmat Persatuan
Apabila kita meneliti jiwa Yesus, maka kita dapat menemukan di sana: kebajikan dan
kekudusan yang khas, pengetahuan yang sempurna mengenai Tuhan, kekuasaan untuk
membuat mukjizat. Semuanya itu adalah pemberian rahmat. Tetapi ini bukan yang terpenting.
Yang paling fundamental adalah ialah: persatuan kodrat manusiawi dengan Sabda Ilahi sejak
saat pertama kehadiranNya. Ini adalah rahmat yang paling mengherankan dan paling mulia.

II. Rahmat Pengudus


Di samping rahmat persatuan, Kristus pun memiliki rahmat pengudus. jiwaNya tidak hanya
suci oleh persatuan pribadi dengan Sabda Ilahi, tetapi jiwa itu juga dipenuhi dengan rahmat,
yang membuatnya indah dan berkenan di mata Tuhan. Itulah yang kita namakan rahmat
pengudus.
III. Penuh Rahmat
Tidak mungkin bagi kita membentuk suatu gambaran mengenai kepenuhan rahmat yang ada
pada Kristus, mengenai kekayaan kebajikan yang Ia miliki, mengenai intensitas cintaNya
kepada Bapa dan kepada manusia. Melalui Injil, kita dapat mengetahui perbuatan dan
perkataanNya; tetapi kita tidak melihat pandangan mataNya dan tidak mendengar suaraNya.
Kita hanya dapat mendekati kekayaan sebenarnya dan atas cara yang abstrak kita mengatakan
bahwa Ia memiliki kepenuhan rahmat.
Kristus memiliki kepenuhan ini demi kita, karena Ia adalah Kepala dari semua orang yang
mengambil bagian dalam rahmatNya. Karena dari kepenuhanNya, kita telah menerima
rahmat dem rahmat (Yoh 1:16). Memang rahmat persatuan dalam arti kata yang sebenarnya
hanya ada pada Dia. Hanya Ia-lah Allah dan manusia, hanya Ia-lah Putera Allah. Tetapi
karena kita bersatu dengan dengan Dia, maka kita menjadi anak angkat Allah dan berkenan
kepada Allah, karena Bapa mengenal wajah PuteraNya yang tercinta di dalam kita. Allah
sudah menentukan terlebih dahulu bahwa melalui Yesus Kristus, IA akan mengangkat kita
menjadi anak-anak-Nya sendiri. Dan memang itulah yang Ia ingin lakukan. Terpujilah Allah
karena kebaikan hatiNya yang agung itu yang dinyatakanNya kepada kita dengan berlimpah
melalui AnakNya yang tercinta (Ef 1:5-6).

2. Tentang Kesibukan Jiwa


Kalau kita hendak mengenal seseorang, kita harus coba masuk ke dalam pikiran dan maksud
yang hidup di dalam jiwanya. Jadi apabila kita hendak mempelajari Kristus, kita harus
bertanya tentang apa yang menjadi pusat pikiran dan kehendak-Nya.

I. Pandangan Tuhan
Pikiran manusiawi Yesus sangat sibuk dengan Bapa-Nya. Pikiran-Nya selalu diarahkan
kepada Bapa dan di dalam Bapa, Ia melihat segala-galanya, berkali-kali Ia memberikan
kesaksian tentang hubungan-Nya dengan Bapa. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat
Allah (Yoh 1:18). Hanya putera tunggal Allah yang telah menjadi manusia dapat memberikan
kesaksian berdasaran pengalaman langsung. Saya berbicara tentang apa yang saya lihat pada
Bapa (yang telah menjadi manusia dapat memberikan kesaksian berdasaran pengalaman
langsung. Saya berbicara tentang apa yang saya lihat pada Bapa (Yoh 8:38). Karena Bapa
menunjukkan kepada Anak-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri. (Yoh 5:20).
Kristus selalu melihat Bapa-Nya. Waktu Ia berjalan keliling, waktu Ia berbicara, waktu Ia
berkhotbah, selalu Ia melihat Bapa. Yang tidak pernah meninggalkan Dia.

II. Pengalaman Manusiawi


Walaupun Yesus melihat segala-galanya di dalam Tuhan, namun Ia juga mempunyai
pengetahuan manusiawi. Dari Injil dapat kita ketahui bagaimana Ia memberi reaksi sebagai
manusia biasa terhadap segala sesuatu yang Ia lihat dan yang Ia dengar. Dalam
perumpamaan-Nya, Ia selalu mempergunakan hal-hal yang kelihatan sehari-hari. Ia mengenal
hal-hal itu melalui pengalaman manusiawi-Nya: bunga bakung, burung, dian, drama, ragi;
apa yang berkaitan dengan pertanian, perikananm, peternakan. Di samping itu juga kanisah,
kebaktian, kebiasaan orang Farisi, hubungan partai, situasi politik. Ia mengetahui semuanya
itu karena ke-Allahan-Nya, namun pengalaman pribadi pun tidak asing bagi-Nya dan tidak
berlebihan. Hanya dengan demikian Ia menunjukkan kemanusiaan-Nya yang sebenarnya dan
dapat bergaul dengan sesama-nya atas cara yang lumrah bagi pergaulan masyarakat.

III. Kehendak manusiawi


Kehendak-Nya bergantung sepenuhnya pada Bapa. Bapa memenuhi seluruh pikiran-Nya;
melakukan kehendak Bapa adalah tujuan dasar daripada seluruh perhatian-Nya. Di luar
kehendak Bapa-Nya, tidak ada suatu apa pun, baik di dunia maupun di surga, yang dapat
menggoda-Nya.
Kehendak manusiawi Kristus bersifat murni dan tidak dapat berdosa. Kebajikan kita goyah
dan kehendak kita berubah. Kehendak Kristus selalu bersatu dengan kehendak Bapa dan
tidak dapat berpaling dari kehendak itu oleh dosa. Kehendak-Nya selalu diarahkan dengan
bebas dan spontan kepada Bapa, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak
Bapa tidak mendapat perhatian-Nya sama sekali.

Teologi tentang inkarnasi-tentang segi badaniah kristus

1. Badan
Kristus dengan sesungguhnya mempunyai sosok tubuh seorang manusia. Dengan demikian Ia
hendak mengajar kita agar kita tidak menganggap hina yang jasmaniah. Tetapi Ia juga
menerima badan supaya dapat menderita kelaparan dan kehausan, keletihan, kesakitan dan
kematian. Semuanya itu telah disampaikan oleh Injil dengan bukti-bukti nyata: Ia berpuasa di
padang gurun dan merasa lapar; Ia merasa haus waktu bergantung di salib; Ia meminta
minum pada seorang wanita Samaria. Tetapi kelemahan kodrat kita dirasakan-Nya lebih
hebat dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Badan-Nya tidak kebal terhadap semuanya itu.
Sebaliknya, dosa dapat mengamuk terhadap-Nya, dapat menghantam-Nya dan akhirnya dapat
mematikan-Nya.
Ia tidak mengenal penyakit; Injil tidak pernah memberitakan tentang salah satu penyakit yang
diderita-Nya; Injil sebaliknya memberi kesan, bahwa Kristus adalah seorang pemuda yang
kuat dan sehat, sehingga Ia dapat menanggung segala keletihan yang berkaitan dengan
kesibukan berjalan ke sana ke mari dan dengan kesibukan berkhotbah.

2. Tampan
Kita tidak memilik foto Yesus. Juga kain pembungkus jenazah Yesus, belum dapat
mengungkap wajah Yesus yang sebenarnya. Injil sendiri tidak dapat memberikan suatu
gambaran yang jelas mengenai wajah Yesus secara langsung. Tetapi apabila kita
memperhatikan reaksi masyarakat terhadap penampilan-Nya, maka kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa sikap-Nya, bentuk badan-Nya dan cara kerja-Nya, sungguh menarik
perhatian orang banyak. Ada tertulis, bahwa Ia makin bertambah besar dan bertambah
bijaksana, serta disukai oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Simpati dan hormat terhadap
seseorang sangat banyak dipengaruhi oleh kesan-kesan lahiriah. Selama kehidupan-Nya di
depan umum, kita dapat saksikan bagaimana masyarakat datang kepada-Nya, antusias
terhadap-Nya dan mengikuti-Nya ke mana saja Ia pergi; para ibu datang dengan anak-
anaknya agar diberkati olehNya; Ia memberkati mereka dan memeluk mereka (Mrk 10:16).
Tindakan-Nya menimbulkan penghargaan dan ketakutan pada musuh-musuh-Nya; hal ini
dapat dilihat pada kesempatan Ia mengusir para penjual dari dalam kenisah dan ketika orang
hendak menangkapNya di Taman Getsemani; hal yang sama juga dapat dilihat ketika dulu
orang hendak mendorong Dia ke dalam jurang (Luk 4:28-29). Semuanya itu mengandaikan
bahwa Yesus tidak hanya mempunyai mental yang kuat, tetapi juga badan yang kuat dan
kekar.

Yang paling ditonjolkan oleh para pengarang Injil ialah mata dan pandangan Yesus. Yesus
melihat bahwa Petrus dan Yohanes mengikuti-Nya (Yoh 1:38). Yesus melihat Natanael
datang kepada-Nya (Yoh 1:47). Santo Yohanes memberitakan bagaimana Ia sebelum berdoa,
menengadah ke langit (Yoh 17:1). Markus berbicara mengenai amarahNya terhadap
penantang-penantang-Nya di sinagoga (Mrk 3:5) dan bagaimana Ia memandang pemuda yang
kaya raya dengan sayang (Mrk 10:21). Lukas menampilkan wajah yang penuh belaskasihan
terhadap Petrus yang sudah mengkhianatiNya. Yesus pun meoleh dan melihat kepada Petrus
(Luk 22:61).

3. Perasaan
Sungguh berkesan sekali bahwa Yesus dalam kemanusiaanNya juga menunjukkan emosi dan
segi-segi perasaanNya. Injil mengutarakan tentang perasaan persahabatan dan cintakasihNya.
Injil mengutarakan tentang perasaan persahabatan dan cintakasih-Nya kepada Yohanes
(murid yang dikasihi Yesus dan yang duduk dekat dengan Yesus pada waktu makan - Yoh
21:20) dan kepada Lazarus (dan Yesus menangis. Orang Yahudi berkata: Lihat, bukan main
kasihNya kepada Lazarus – Yoh 11:35). Di samping itu Injil juga mengemukakan tentang
kerinduanNya agar makan jamuan Paskah bersama murid-murid-Nya, kegembiraan-Nya
tentang kemajuan Kerajaan Allah, kesedihanNya, ketakutanNya dan kejijikanNya terhadap
sengsara amarahNya dan murkaNya, belaskasihanNya dan kelemahlembutanNya.

2. segi redemtif atau penebusan kebudayaan yang bersangkutan dari segi negatifnya.

SOAL NOMOR 2

Dokumen konsili Vatikan II membedakan tugas perutusan Gereja dalam dua wilayah yang
disebut tata dunia dan tata ilahi. Tata ilahi merupakan tugas perutusan mereka yang tertahbis
(para imam dan diakon) di dalam altar. Sementara itu, tata dunia merupakan perutusan khas
awam Katolik untuk berkecimpung di ”luar altar” dalam rangka menyelamatkan dunia seturut
kehendakNya. Oleh karena itu, sebagai orang Katolik, Anda diharapkan:

a. mendeskripsikan karakteristik awam ditinjau dari martabatnya

Jawaban:

Pengertian Awam

 Yang dimaksud dengan kaum Awam adalah semua orang beriman Kristiani yang
tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang
diakui dalam Gereja (lih. LG 31). Definisi Awam dalam praktek dan dalam dokumen-
dokumen Gereja ternyata mempunyai dua macam:
 Definisi teologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, Awam
meliputi Biarawan/Biarawati seperti Suster dan Bruder yang tidak menerima tahbisan
suci.
 Definisi tipologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan
Biarawan/Biarawati. Maka dari itu Awam tidak mencakup para Suster dan Bruder
 Definisi ini dikutip dari Lumen Gentium yang rupanya menggunakan definisi
tipologis. Dan untuk selanjutnya istilah “Awam” yang digunakan adalah sesuai
dengan pengertian tipologis di atas.

Hubungan Awam dan Hierarki sebagai Patner Kerja

 Sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, rohaniwan (hierarki) dan Awam memiliki
martabat yang sama, hanya berbeda fungsi. Semua fungsi sama luhurnya, asal
dilaksanakan dengan motivasi yang baik, demi Kerajaan Allah.

Peranan Awam

 Peranan Awam sering diistilahkan sebagai KeRasulan Awam yang tugasnya


dibedakan sebagai KeRasulan internal dan eksternal. KeRasulan internal atau
kerasulan “di dalam Gereja” adalah keRasulan membangun jemaat. Kerasulan ini
lebih diperani oleh jajaran hierarkis, walaupun Awam dituntut juga untuk mengambil
bagian di dalamnya. KeRasulan eksternal atau keRasulan “dalam tata dunia” lebih
diperani oleh para Awam. Namun harus disadari bahwa keRasulan dalam Gereja
bermuara pula ke dunia. Gereja tidak hadir di dunia ini untuk dirinya sendiri, tetapi
untuk dunia. Gereja hadir untuk membangun Kerajaan Allah di dunia ini

Kerasulan dalam tata Dunia (eksternal)

 Berdasarkan panggilan khasnya, Awam bertugas mencari Kerajaan Allah dengan


mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah.
Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan dunia.
Mereka dipanggil Allah menjalankan tugas khasnya dan dibimbing oleh semangat
Injil. Mereka dapat menguduskan dunia dari dalam laksana ragi (lih. LG 31). Kaum
Awam dapat menjalankan keRasulannya dengan kegiatan penginjilan dan pengudusan
manusia serta meresapkan dan memantapkan semangat Injil ke dalam “tata
dunia”sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka sungguh-sungguh memberikan
kesaksian tentang karya Kristus dan melayani keselamatan manusia.
 Dengan kata lain “tata dunia” adalah medan bakti khas kaum Awam. Hidup keluarga
dan masyarakat yang bergumul dalam bidang-bidang ipoleksosbudhamkamnas
hendaknya menjadi medan bakti mereka.
 Sampai sekarang ini, masih banyak di antara kita yang melihat keRasulan dalam tata
dunia bukan sebagai kegiatan keRasulan. Mereka menyangka bahwa keRasulan hanya
berurusan dengan hal-hal rohani yang sakral, kudus, serba keagamaan, dan yang
menyangkut kegiatan-kegiatan dalam lingkup Gereja.
 Dengan paham gereja sebagai “Tanda dan Sarana Keselamatan Dunia” yang
dimunculkan oleh gaudium et Spes, di mana otonomi dunia dan sifatnya yang sekuler
diakui, maka dunia dan lingkungannya mulai diterima sebagai patner dialog dapat
saling memperkaya diri. Orang mulai menyadari bahwa menjalankan tugas-tugas
duniawi tidak hanya berdasarkan alasan kewargaan dalam masyarakat atau negara
saja, tetapi juga karena dorongan iman dan tugas keRasulan kita, asalkan dengan
motivasi yang baik. Iman tidak hanya menghubungkan kita dengan Tuhan, tetapi
sekaligus juga menghubungkan dengan sesama kita di dunia ini

Kerasulan dalam Gereja (internal)

 Karena Gereja itu Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat
Allah. Ia hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah. Ini
adalah tugas membangun gereja. Tugas ini dapat disebut keRasulan internal. Tugas
ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan hierarkis (keRasulan hierarkis),
tetapi Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan Awam
dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan
dari hierarki atau ditugaskan hierarki, tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas itu
dari Kristus. Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja. 1) Dalam tugas
nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat mengajar agama, sebagai
katekis,memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb
 Dalam tugas Imamiah (menguduskan), seorang Awam dapat
 Memimpin doa dalam pertemuan umat,
 Memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah,
 Membagi komuni sebagi proDiakon,
 Menjadi pelayan putra Altar, dsb
 Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat:
 Menjadi anggota dewan paroki,
 Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dan sebagainya.

Hubungan antara Awam dan hierarki, perlu memerhatikan hal-hal berikut ini:

Gereja sebagai Umat Allah

 Keyakinan bahwa semua anggota warga Gereja memiliki martabat yang sama, hanya
berbeda fungsi dapat menjamin hubungan yang wajar antara semua komponen Gereja.
Tidak boleh ada klaim bahwa komponen-komponen tertentu lebih bermartabat dalam
Gereja Kristus dan menyepelekan komponen yang lainnya. Keyakinan ini harus
diimplementasikan secara konsekuen dalam hidup dan karya semua anggota Gereja.

Setiap Komponen Gereja memiliki Fungsi yang khas

 Setiap komponen Gereja memiliki fungsi yang khas. Hierarki yang bertugas
memimpin (melayani) dan mempersatukan Umat Allah. Biarawan/biarawati dengan
kaul-kaulnya mengarahkan Umat Allah pada dunia yang akan datang (eskatologis).
Para Awam bertugas meRasul dalam tata dunia. Mereka menjadi Rasul dalam
keluarga-keluarga dan dalam masyarakat di bidang ipoleksosobudhamkamnas. Jika
setiap komponen gereja menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, maka
adanya kerja sama yang baik pasti terjamin.

Kerja sama

 Walaupun tiap komponen memiliki fungsinya masing-masing, namun untuk bidang-


bidang tertentu, terlebih dalam keRasulan internal yaitu membangun hidup
menggereja, masih dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari semua komponen.
Dalam hal ini hendaknya hierarki tampil sebagai pelayan yang memimpin dan
mempersatukan. Pimpinan tertahbis, yaitu dewan Diakon, dewan Presbyter, dan
dewan Uskup tidak berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan
mereka, melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan
(kharisma) yang ada.
 Hierarki berperan untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian
banyak tugas pelayanan. Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara
keseluruhan visi, misi, dan reksa pastoral. Karena itu, tidak mengherankan bahwa di
antara mereka termasuk dalam dewan hierarki ini ada yang bertanggungjawab untuk
memelihara ajaran yang benar dan memimpin perayaan sakramen-sakramen

b. mendeskripsikan karakteristik awam ditinjau dari tanggung jawabnya


Jawaban:

Apa tugas dan tanggung jawab kaum awam terhadap kedua masalah sosial itu? Jawabannya
adalah mereka menerapkan Sabda Allah pada kehidupan manusia dan masyarakat demi
terciptanya suatu kondisi masyarakat yang manusiawi. Sejauh ini, berdasarkan inspirasi Injil
dan prinsip-prinsip pembimbing Ajaran Sosial Gereja itu, kita mengenal kurang lebih ada
empat tindakan17nyata yang harus dilakukan oleh kaum awam beriman untuk melayani
masyarakat, yaitu: tindakan moral, tindakan karitatif, tindakan profetis, dantindakan politis.

Yunani yang bersama Paulus kembali ke Yerusem, Kis.20:4; 21:29). Dan yang terakhir
adalah Priskila dan Akwila yang adalah para sahabat Paulus yang menemani dan membantu
Paulus secara spiritual maupun material dalam menunaikan tugas kerasulannya.2.3. Konsili
Vatikan IIDalam Konsili Vatikan II, para Bapa Konsili menaruh perhatian yang besar
terhadap keterlibatan awam dalam karya kerasulan Gereja. Apa yang dibicarakan Konsili
Vatikan II mengenai kaum awam? Secara garis besar pertanyaan ini dapat dijawab: Konsili
membicarakan tentang martabat kaum awam dalam Gereja, kekhasan panggilan kaum awam
berkaitan dengan ciri keduniawiannya dan kerasulan kaum awam dalam Gereja dan
masyarakat (bdk. LG.Bab IV). Bahkan secara khusus Konsili Vatikan II mengeluarkan
dokumen Apostolicam Actuositatem(AA) yakni Dekrit tentang Kerasulan Awam. Dengan
cara semacam itu, Konsili Vatikan II menegaskan kembali kedudukan kaum awam dalam
Gereja yang lama sekali dilupakan, walaupun senyatanya peran kaum awam tidak pernah
absen dalam kehidupan seluruh jemaat (bdk. AA.art. 1).Penegasan doktriner semacam itu
membawa semangat baru dan angin segar bagi kerasulan awam sehingga kaum awam tidak
ragu-ragu memahami makna kerasulan mereka bagi Gereja. Konsili menegaskan bahwa
panggilan untuk merasul bagi kaum awam mengalir dari martabat kaum awam yang
merupakan bagian integral dari Gereja (Gitowiratmo, 2011: 58).Panggilan kristiani yang
dihayati oleh seluruh Tubuh Kristus (Gereja) pada hakikatnya adalah panggilan untuk aktif
merasul. Dengan demikian, kaum awam yang merupakan bagian dari Tubuh Kristus,
bukanlah objek kerasulan (hierarkhi) Gereja tetapi mereka adalah subjeknya, pelaku aktif
(AA.art. 2). Oleh karena itu, kaum awam bukanlah warga Gereja “kelas 2” dalam hal
panggilan kristiani untuk merasul. Untuk menjelaskan ajaran ini, konsili mengemukakan
alasan teologisnya, misalnya dengan menegaskan bahwa berkat baptis, kaum awam memiliki
martabat yang sama dengan semua anggota Gereja lainnya sebagai Umat Allah yang dalam
Kristus tidak ada perbedaan (bdk. LG.art. 32 dan Gitowiratmo, 2011: 59). Selain itu kaum
awam ikut mengambil bagian dalam tri-tugas Kristus (LG.art 34-36) dengan cara yang
khas.Oleh sebab itu, kaum awam disebut sebagai pengambil bagian dalam karya keselamatan
Allah yang berlangsung lewat perutusan Gereja. Konsili Vatikan II, membayangkan suatu
kehidupan Gereja yang aktif dan dinamis. Di dalamnya, semua anggota baik itu awan dan
hierarkhi berpartisipasi dalam gerak karya Gereja, walaupun masing-masing mempunyai cara
yang khas (Gitowiratmo, 2011: 59).

c. mendeskripsikan karakteristik awam ditinjau dari keterlibatannya dalam tugas-


tugas Gereja

jawaban:

Tugas Kerasulan Awam sesuai dengan tugas perutusan yang diterima dari Kristus berkat
pembaptisannya.

Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dan Dekrit Kerasulan Awam menegaskan : `Kaum
Awam kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi
umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut nengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi
Kristus dan dengan demikuan sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan
segenap umat kristiani dalam Gereja dan di dunia`.

Jadi menurut dokumen Konsili Vatikan tersebut, Kerasulan Awam memiliki tiga tugas,
yaitu : menguduskan (Liturgia), mewartakan (Kerygma) dan melayani (Diakonia).
- Partisipasi dalam Imamat Yesus : Menguduskan.
Partisipasi menguduskan diwujudkan secara kongkrit melalui Perayaan Sakramen-Sakramen
terutama Perayaan Ekaristi. Dengan cara demikian dan didukung dengan doa, mereka turut
menguduskan dunia. Mereka membawa Allah kepada manusia dan sebaliknya membawa
manusia kepada Allah.

- Partisipasi Dalam Kenabian Yesus : Mewartakan.


Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art 35, menunjukkan bahwa tugas kenabian bukan tugas
hirarkhi saja, tetapi juga menjadi tugas Kaum Awam. Mereka mempunyai hak dan kewajiban
untuk menjadi juru bicara Allah yang bertugas menyampaikan pesanNya kepada umat
manusia. Untuk tugas itu Awam telah dibekali dengan perasaan iman dan rahmad sabda,
supaya kekuatan Injil bersinar dalam keluarga dan masyarakat.

- Partisipasi Dalam Tugas Rajawi Kristus : Melayani.


Partisipasi dalam tugas ini bukan pertama-tama mengambil bagian dalam kekuasaan Kristus,
tetapi soal pelayanan. Kristus Raja berbeda dengan raja dunia yang memiliki kuasa mutlak,
dilayani dan disembah. Kristus tidak mencari kekuasaan tetapi malah mengosongkan, bukan
dilayani tetapi melayani, bukan disembah tetapi mengangkat harkat/martabat manusia, bukan
minta dilindungi tetapi justru mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Maka
partisipasi dalam tugas rajawi Kristus mempunyai arti bahwa Kaum Awam mempunyai tugas
untuk mewujudkan kehidupan bersama yang damai, adil dan sejahtera.

d. mendeskripsikan karakteristik awam ditinjau dari tugas rajawi (kepemimpinan)

jawaban:

Konsili Vatikan II mengamini apa yang dinyatakan di atas bahwa kuasa (potestas/exousia)
kepemimpinan dalam Gereja diperoleh melalui penerimaan tahbisan. LG, 21: “Untuk
menunaikan tugas-tugas yang mulia itu para Rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa
Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (bdk. Kis 1:8). Dengan penumpangan
tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (bdk. 1
Tim 4:14). Kurnia itu sampai sekarang ini disalurkan melalui tahbisan Uskup sebagai
kepenuhan tahbisan imamat”. Dari kurnia ilahi yang diterimakan seseorang melalui tahbisan
lahirlah kuasa kepemimpinan Gereja secara hierarkis sesuai dengan tahbisan yang
diterimanya: Diakonat, Presbiteriat dan Episcopat. Penerimaan sakramen tahbisan tersebut
mengandung aneka ragam pelayanan kepada umat, yang terbagi dalam tugas pelayanan
menguduskan, mengajar dan memimpin (tria munera in persona Christi) atas nama Kristus
(bdk. kann 1008-1009). Dengan potestas sacra yang ada pada imam pejabat membentuk dan
memimpin umat beriman, menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus dan
mempersembahkannya pada Allah atas nama segenap umat. Imamat jabatan itu mereka
laksanakan pada saat merayakan sakramen-sakramen, berdoa dan bersyukur, memberi
kesaksian dan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif (bdk. LG 10b).

Kanon 129, §1 menengaskan pernyataan Konsili: “menurut ketentuan norma hukum, yang
mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan
juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci”. Baru dalam
paragrap kedua kanon yang sama menyatakan letak kepemimpinan kaum awam: “dalam
pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam
kerjasama menurut norma hukum”. Di sinilah letak kepemimpinan kaum awam yakni: berkat
penerimaan sakramen pembaptisan awam mengambilbagian dalam tiga tugas Kristus sebagai
Nabi, Imam dan Raja. Kaum awam memperoleh imamat umum yang membedakan dari
imamat jabatan/hirarkis yang diterima melalui tahbisan imamat. Kendati berbeda dan juga
tingkatannya imamat umum dan jabatan satu sama lain saling terarahkan. Sebab keduanya
dengan caranya yang khas masing-masing mengambilbagian dalam satu imamat Kristus (bdk.
LG. 10,b). Jadi kepemimpinan awam merupakan pengambilbagian dari “exercitio eiusdem
potestatis” yang dimiliki oleh Imam/Uskup.

Mohon maaf pak dosen,atas keterlambatannya, saya baru mengumpulkan tugasnya, di


karenakan saya ada urusan karena orang tua saya baru meninggal, trims

Anda mungkin juga menyukai