Nim: 043345806
Gereja Katolik hadir dalam setiap aneka budaya, suku, dan bahasa yang ada di tengah-tengah
dunia. Kehadirannya menjadi tanda dan sarana keselamatan sebab Gereja Katolik menjadi
sakramen dalam pengertian umum. Untuk itu, dalam setiap kehadirannya Gereja Katolik
hadir, mendalami, meresapi dan membaur dalam aneka budaya, suku, dan bahasa sebab
keselamatan harus diwartakan sampai ke ujung bumi. Oleh karena itu, setiap orang Katolik
perlu mengetahui hal sebagai berikut
Jawaban:
Pengertian dan Hakikat Inkulturasi Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-
cultura. Kata depan in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur
atau cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian kultur adalah
segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya dengan kata lain ialah
“kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari kata Arab adaba yang berarti mendidik
(Komisi Liturgi MAWI, 1985: 9).
Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu usaha Gereja
membudaya. Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah
inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha inkulturasi pasti selalu merangkul
budaya setempat. Tetapi tidak semua penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain
itu, istilah inkulturasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang
selalu menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat. Istilah
inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis tahun 1960, yang
diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana, Masson, dalam artikelnya
”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah ini, Masson mau mengungkapkan fakta
integrasinya warta keselamatan Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu.
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977,
yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan naskah
terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 19). Dokumen De
Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan inkulturasi merupakan inkarnasi Injil
dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-
kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan
usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam
penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang
diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.
Mengembangkan Inkulturasi
(sebuah Konsep Gereja menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya yang Relevan dengan
ajaran Kristiani)
Gereja Keuskupan Jakarta dengan visi misi yang tertera dalam buku batik kuning
“Membangun Gereja Mandiri Yang Missioner” dan “Membangun Persekutuan Yang Berciri
Khas Daerah Di Setiap Paroki”, secara tersirat sedang dan akan
melaksanakanprosespengakuan, penghargaan, penghormatan dan keberpihakan kepada umat
local,karena Gereja juga menyadari bahwa sebelum Gereja ada, umat (masyarakat) lokal
sudah lama ada dan berevolusi. Oleh karena itu, Gereja sadar bahwa Allah hadir dalam setiap
kebudayaannya masing-masing dengan gaya yang khas. Dokumen Konsili Vatikan II,
menyebutkan “sabda Allah mewahyukan diri kepada umat-Nya hingga menampakan diri
sepenuh-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi berbagai
zaman.
Dasar legalitas dan substansi “membangun persekutuan berciri khas Papua di paroki
Keuskupan Jayapura telah diundangkan dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang tema-
tema yang amat mendesak, salah satunya artikel dua, tentang berbagai kaidah
mengembangkan kebudayaan. Selain itu, dalam Dokumen De Liturgia Romana Et
Inkulturatione- DLREI, (Liturgi Romawi dan Inkulturasi) menjelaskan mengenai
inkulturasi, bahwa Gereja menyesuaikan pewartaan injil dengan kebudayaan setempat.
Dalam memahami dan membangun persekutuan yang berciri khas Papua, perlu memiliki lima
indikator yaitu: 1) Membangun Gereja Berbasis Data Budaya Papua;2) Mengembangkan
Inkulturasi Dalam Gereja; 3) Mengembangkan Komunitas Multietnik di Perkotaan; 4)
Mengembangkan Komunitas Etnik Sebagai Basis Pembangunan Gereja Lokal atau Pribumi;
5) Peran dan Tanggung Jawab Semua Umat Berpihak Pada Orang Asli Jakarta.
Lima indikator di atas dirasa akan dan dapat mendorong serta mengarami Injil Kristus sesuai
dengan konteks. Karena Injil Kristus tidak mungkin mendekati umat dengan melepaskannya
dari konteksnya. Umat secara individu maupun komunitas selalu tertanam, berurat akar
dalam konteksnya. Ketentraman pada dunia itulah yang membuat umat merasa betah dan
enak atau nyaman dalam hidupnya. Indikator ini menjadi patokan optimis dan harapan yang
terukur di mana ajaran nilai-nilai Kristiani menginstitusionalisasi umat Kristen pribumi dan
multietnik di perkotaan.
Dengan metode dan pendekatan ini, para misionaris mampu menghasilkan catatan harian
pengalamannya dengan istilah “etno pastoral”. Etno pastoral adalah lukisan (gambaran) atau
deskripsi komunitas adat yang mau dilayani misi Kristus kepada umat setempat. Komunitas
umat setempat ini juga dapat diistilahkan dengan komunitas pastoral, karena komunitas
pastoral merupakan komunitas umat yang dibentuk untuk mewartakan misi Kristus sesuai
dengan konteks umat setempat.
Gereja Katolik sangat menyadari dan menghormat setiap kebudayaan di dunia, khususnya di
wilayah Keuskupan Jayapura, memiliki nilai-nilai budaya dan simbol-simbolnya, bahasa dan
kesenian dan sebagainya yang relevan dengan ajaran nilai-nilaiKristiani sehingga dapat
diyakini bahwa nilai-nilai tersebut memperkaya iman umat setempat. Karena “Gereja wajib
memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku bangsa”, KL.37.
Gereja dengan pendekatan inkulturasi dapat memperkaya dan menyempurnakan kehadiran
Allah dalam masyarakat lokal. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk
menggenapinya, (Mat.5:17). Gereja dengan ajaran Injil bukan meniadakan nilai-nilai
kebudayaan masyarakat lokal melainkan menggenapi, menyempurnakan kondisi-kondisi
yang tidak relevan dengan ajaran kemanusiaan. Gereja dengan pendekatan inkulturasi
menggenapi kondisi masyarakat lokal sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi.
Magisterium Gereja telah memakai istilah “inkulturasi” untuk merumuskan dengan lebih
tepat, “inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukan
kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja”. Inkulturasi berarti
transformasi mendalam dari nilai-nilai kebudayaan yang asli diintegrasikan ke dalam
kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda.
Istilah inkulturasi adalah ungkapan yang lebih baik untuk melukiskan gerak ganda yaitu
“lewat proses inkulturasi, Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan,
sekaligus memasukan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam
persekutuan Gereja sendiri”, (DLREI, no.4).
Pater J.W.M. Bakker SJ berpendapat, kata inkulturasi dan enkulturasi berasal dari lafal en-
enkulturasi dan in- inkulturasi dipergunakan dengan kadar yang sama yaitu en=kata Yunani
dan in kata Latin, yang artinya “ke dalam”. Enkulturasi atau inkulturasi artinya proses
latihan, berkat seorang individu dintegrasikan ke dalam kebudayaan sezaman dan
kebudayaan setempat. Artinya inkulturasi atau enkulturasi adalahseorangindividu
memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem
norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
Di era otonomi khusus bagi Provinsi Papua, banyak masyarakat seluruh penjuru nusantara
datang ke Papua, khususnya wilayah Keuskupan Jayapura dengan cara Transmigrasi, Migrasi
dan Merantau (TMM), untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan layak. Umat TMM ini
sebagian besar berdomisili di perkotaan. Dengan demikian terlihan indicator pertumbuhan
penduduk. Sebagian penduduk ini dikategorikan sebagai umat Katolik yang bersebar di
paroki-paroki wilayah keuskupan Jakarta. Ketika penduduk TMM datang ke indonesia,
mereka membawa serta nilai-nilai kebudayaan dan adat istidatnya yang relevan untuk pijakan
dan pedoman hidupnya. Ketika hidup di perkotaan, umat yang datang tempat lain membentuk
paguyuban atau ikatan atau wadah berbasiskan adat-istiadat atau asal usul kampung atau
daerahnya. Umat dengan paguyuban atau wadah ini kemudian bersekutuh untuk mewujudkan
nilai-nilai kehidupan yang dianggap layak untuk diterima dan berkembang seiring dengan
kondisi actual. Disinilah yang dapat dikatakan sebagai umat multietnis di perkotaan. Dengan
kondisi seperti demikian, Gereja kemudian mengidentifikasi dan memahami konteks hidup
mereka lalu mewartakan kerajaan Allah.
Jawaban:
Jawaban:
Kristus memiliki jiwa manusiawi. Dengan jiwa ini, Ia sepenuhnya manusia dan dapat
berdiam di antara kita. Dengan jiwa ini, Ia adalah perantara dan penebus kita, karena dengan
kesengsaraan manusiawiNya, Ia dapat menghapus dosa kita dan menebus kita. Tiap jiwa
adalah sesuatu yang mengherankan. Jiwa adalah karya kesenian di tangan Tuhan. Bertemu,
berkenalan dan mencintai jiwa yang agung dan murni adalah suatu kebahagiaan besar. Jiwa
yang demikian dapat mengangkat kita kepada Tuhan, dapat membuat kita lebih memuja
Tuhan dan mencintai Tuhan. Tetapi tidak ada satu jiwa yang lebih indah, lebih sempurna,
lebih agung daripada jiwa Kristus.
1. Rahmat yang ada di dalam Kristus
Keindahan jiwa Yesus jauh melebihi segala yang lain. jiwaNya penuh dengan rahmat.
Memang, sebagai Tuhan, Kristus adalah sumber segala rahmat. Namun, Ia telah mengambil
kodrat manusiawi dan segala sesuatu yang ada padaNya, di luar apa yang dapat diperolehNya
sesuai dengan kodratNya dan sesuai dengan kegiatan kemampuanNya, adalah rahmat.
I. Rahmat Persatuan
Apabila kita meneliti jiwa Yesus, maka kita dapat menemukan di sana: kebajikan dan
kekudusan yang khas, pengetahuan yang sempurna mengenai Tuhan, kekuasaan untuk
membuat mukjizat. Semuanya itu adalah pemberian rahmat. Tetapi ini bukan yang terpenting.
Yang paling fundamental adalah ialah: persatuan kodrat manusiawi dengan Sabda Ilahi sejak
saat pertama kehadiranNya. Ini adalah rahmat yang paling mengherankan dan paling mulia.
I. Pandangan Tuhan
Pikiran manusiawi Yesus sangat sibuk dengan Bapa-Nya. Pikiran-Nya selalu diarahkan
kepada Bapa dan di dalam Bapa, Ia melihat segala-galanya, berkali-kali Ia memberikan
kesaksian tentang hubungan-Nya dengan Bapa. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat
Allah (Yoh 1:18). Hanya putera tunggal Allah yang telah menjadi manusia dapat memberikan
kesaksian berdasaran pengalaman langsung. Saya berbicara tentang apa yang saya lihat pada
Bapa (yang telah menjadi manusia dapat memberikan kesaksian berdasaran pengalaman
langsung. Saya berbicara tentang apa yang saya lihat pada Bapa (Yoh 8:38). Karena Bapa
menunjukkan kepada Anak-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri. (Yoh 5:20).
Kristus selalu melihat Bapa-Nya. Waktu Ia berjalan keliling, waktu Ia berbicara, waktu Ia
berkhotbah, selalu Ia melihat Bapa. Yang tidak pernah meninggalkan Dia.
1. Badan
Kristus dengan sesungguhnya mempunyai sosok tubuh seorang manusia. Dengan demikian Ia
hendak mengajar kita agar kita tidak menganggap hina yang jasmaniah. Tetapi Ia juga
menerima badan supaya dapat menderita kelaparan dan kehausan, keletihan, kesakitan dan
kematian. Semuanya itu telah disampaikan oleh Injil dengan bukti-bukti nyata: Ia berpuasa di
padang gurun dan merasa lapar; Ia merasa haus waktu bergantung di salib; Ia meminta
minum pada seorang wanita Samaria. Tetapi kelemahan kodrat kita dirasakan-Nya lebih
hebat dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Badan-Nya tidak kebal terhadap semuanya itu.
Sebaliknya, dosa dapat mengamuk terhadap-Nya, dapat menghantam-Nya dan akhirnya dapat
mematikan-Nya.
Ia tidak mengenal penyakit; Injil tidak pernah memberitakan tentang salah satu penyakit yang
diderita-Nya; Injil sebaliknya memberi kesan, bahwa Kristus adalah seorang pemuda yang
kuat dan sehat, sehingga Ia dapat menanggung segala keletihan yang berkaitan dengan
kesibukan berjalan ke sana ke mari dan dengan kesibukan berkhotbah.
2. Tampan
Kita tidak memilik foto Yesus. Juga kain pembungkus jenazah Yesus, belum dapat
mengungkap wajah Yesus yang sebenarnya. Injil sendiri tidak dapat memberikan suatu
gambaran yang jelas mengenai wajah Yesus secara langsung. Tetapi apabila kita
memperhatikan reaksi masyarakat terhadap penampilan-Nya, maka kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa sikap-Nya, bentuk badan-Nya dan cara kerja-Nya, sungguh menarik
perhatian orang banyak. Ada tertulis, bahwa Ia makin bertambah besar dan bertambah
bijaksana, serta disukai oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Simpati dan hormat terhadap
seseorang sangat banyak dipengaruhi oleh kesan-kesan lahiriah. Selama kehidupan-Nya di
depan umum, kita dapat saksikan bagaimana masyarakat datang kepada-Nya, antusias
terhadap-Nya dan mengikuti-Nya ke mana saja Ia pergi; para ibu datang dengan anak-
anaknya agar diberkati olehNya; Ia memberkati mereka dan memeluk mereka (Mrk 10:16).
Tindakan-Nya menimbulkan penghargaan dan ketakutan pada musuh-musuh-Nya; hal ini
dapat dilihat pada kesempatan Ia mengusir para penjual dari dalam kenisah dan ketika orang
hendak menangkapNya di Taman Getsemani; hal yang sama juga dapat dilihat ketika dulu
orang hendak mendorong Dia ke dalam jurang (Luk 4:28-29). Semuanya itu mengandaikan
bahwa Yesus tidak hanya mempunyai mental yang kuat, tetapi juga badan yang kuat dan
kekar.
Yang paling ditonjolkan oleh para pengarang Injil ialah mata dan pandangan Yesus. Yesus
melihat bahwa Petrus dan Yohanes mengikuti-Nya (Yoh 1:38). Yesus melihat Natanael
datang kepada-Nya (Yoh 1:47). Santo Yohanes memberitakan bagaimana Ia sebelum berdoa,
menengadah ke langit (Yoh 17:1). Markus berbicara mengenai amarahNya terhadap
penantang-penantang-Nya di sinagoga (Mrk 3:5) dan bagaimana Ia memandang pemuda yang
kaya raya dengan sayang (Mrk 10:21). Lukas menampilkan wajah yang penuh belaskasihan
terhadap Petrus yang sudah mengkhianatiNya. Yesus pun meoleh dan melihat kepada Petrus
(Luk 22:61).
3. Perasaan
Sungguh berkesan sekali bahwa Yesus dalam kemanusiaanNya juga menunjukkan emosi dan
segi-segi perasaanNya. Injil mengutarakan tentang perasaan persahabatan dan cintakasihNya.
Injil mengutarakan tentang perasaan persahabatan dan cintakasih-Nya kepada Yohanes
(murid yang dikasihi Yesus dan yang duduk dekat dengan Yesus pada waktu makan - Yoh
21:20) dan kepada Lazarus (dan Yesus menangis. Orang Yahudi berkata: Lihat, bukan main
kasihNya kepada Lazarus – Yoh 11:35). Di samping itu Injil juga mengemukakan tentang
kerinduanNya agar makan jamuan Paskah bersama murid-murid-Nya, kegembiraan-Nya
tentang kemajuan Kerajaan Allah, kesedihanNya, ketakutanNya dan kejijikanNya terhadap
sengsara amarahNya dan murkaNya, belaskasihanNya dan kelemahlembutanNya.
2. segi redemtif atau penebusan kebudayaan yang bersangkutan dari segi negatifnya.
SOAL NOMOR 2
Dokumen konsili Vatikan II membedakan tugas perutusan Gereja dalam dua wilayah yang
disebut tata dunia dan tata ilahi. Tata ilahi merupakan tugas perutusan mereka yang tertahbis
(para imam dan diakon) di dalam altar. Sementara itu, tata dunia merupakan perutusan khas
awam Katolik untuk berkecimpung di ”luar altar” dalam rangka menyelamatkan dunia seturut
kehendakNya. Oleh karena itu, sebagai orang Katolik, Anda diharapkan:
Jawaban:
Pengertian Awam
Yang dimaksud dengan kaum Awam adalah semua orang beriman Kristiani yang
tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang
diakui dalam Gereja (lih. LG 31). Definisi Awam dalam praktek dan dalam dokumen-
dokumen Gereja ternyata mempunyai dua macam:
Definisi teologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, Awam
meliputi Biarawan/Biarawati seperti Suster dan Bruder yang tidak menerima tahbisan
suci.
Definisi tipologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan
Biarawan/Biarawati. Maka dari itu Awam tidak mencakup para Suster dan Bruder
Definisi ini dikutip dari Lumen Gentium yang rupanya menggunakan definisi
tipologis. Dan untuk selanjutnya istilah “Awam” yang digunakan adalah sesuai
dengan pengertian tipologis di atas.
Sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, rohaniwan (hierarki) dan Awam memiliki
martabat yang sama, hanya berbeda fungsi. Semua fungsi sama luhurnya, asal
dilaksanakan dengan motivasi yang baik, demi Kerajaan Allah.
Peranan Awam
Karena Gereja itu Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat
Allah. Ia hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah. Ini
adalah tugas membangun gereja. Tugas ini dapat disebut keRasulan internal. Tugas
ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan hierarkis (keRasulan hierarkis),
tetapi Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan Awam
dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan
dari hierarki atau ditugaskan hierarki, tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas itu
dari Kristus. Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja. 1) Dalam tugas
nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat mengajar agama, sebagai
katekis,memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb
Dalam tugas Imamiah (menguduskan), seorang Awam dapat
Memimpin doa dalam pertemuan umat,
Memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah,
Membagi komuni sebagi proDiakon,
Menjadi pelayan putra Altar, dsb
Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat:
Menjadi anggota dewan paroki,
Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dan sebagainya.
Hubungan antara Awam dan hierarki, perlu memerhatikan hal-hal berikut ini:
Keyakinan bahwa semua anggota warga Gereja memiliki martabat yang sama, hanya
berbeda fungsi dapat menjamin hubungan yang wajar antara semua komponen Gereja.
Tidak boleh ada klaim bahwa komponen-komponen tertentu lebih bermartabat dalam
Gereja Kristus dan menyepelekan komponen yang lainnya. Keyakinan ini harus
diimplementasikan secara konsekuen dalam hidup dan karya semua anggota Gereja.
Setiap komponen Gereja memiliki fungsi yang khas. Hierarki yang bertugas
memimpin (melayani) dan mempersatukan Umat Allah. Biarawan/biarawati dengan
kaul-kaulnya mengarahkan Umat Allah pada dunia yang akan datang (eskatologis).
Para Awam bertugas meRasul dalam tata dunia. Mereka menjadi Rasul dalam
keluarga-keluarga dan dalam masyarakat di bidang ipoleksosobudhamkamnas. Jika
setiap komponen gereja menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, maka
adanya kerja sama yang baik pasti terjamin.
Kerja sama
Apa tugas dan tanggung jawab kaum awam terhadap kedua masalah sosial itu? Jawabannya
adalah mereka menerapkan Sabda Allah pada kehidupan manusia dan masyarakat demi
terciptanya suatu kondisi masyarakat yang manusiawi. Sejauh ini, berdasarkan inspirasi Injil
dan prinsip-prinsip pembimbing Ajaran Sosial Gereja itu, kita mengenal kurang lebih ada
empat tindakan17nyata yang harus dilakukan oleh kaum awam beriman untuk melayani
masyarakat, yaitu: tindakan moral, tindakan karitatif, tindakan profetis, dantindakan politis.
Yunani yang bersama Paulus kembali ke Yerusem, Kis.20:4; 21:29). Dan yang terakhir
adalah Priskila dan Akwila yang adalah para sahabat Paulus yang menemani dan membantu
Paulus secara spiritual maupun material dalam menunaikan tugas kerasulannya.2.3. Konsili
Vatikan IIDalam Konsili Vatikan II, para Bapa Konsili menaruh perhatian yang besar
terhadap keterlibatan awam dalam karya kerasulan Gereja. Apa yang dibicarakan Konsili
Vatikan II mengenai kaum awam? Secara garis besar pertanyaan ini dapat dijawab: Konsili
membicarakan tentang martabat kaum awam dalam Gereja, kekhasan panggilan kaum awam
berkaitan dengan ciri keduniawiannya dan kerasulan kaum awam dalam Gereja dan
masyarakat (bdk. LG.Bab IV). Bahkan secara khusus Konsili Vatikan II mengeluarkan
dokumen Apostolicam Actuositatem(AA) yakni Dekrit tentang Kerasulan Awam. Dengan
cara semacam itu, Konsili Vatikan II menegaskan kembali kedudukan kaum awam dalam
Gereja yang lama sekali dilupakan, walaupun senyatanya peran kaum awam tidak pernah
absen dalam kehidupan seluruh jemaat (bdk. AA.art. 1).Penegasan doktriner semacam itu
membawa semangat baru dan angin segar bagi kerasulan awam sehingga kaum awam tidak
ragu-ragu memahami makna kerasulan mereka bagi Gereja. Konsili menegaskan bahwa
panggilan untuk merasul bagi kaum awam mengalir dari martabat kaum awam yang
merupakan bagian integral dari Gereja (Gitowiratmo, 2011: 58).Panggilan kristiani yang
dihayati oleh seluruh Tubuh Kristus (Gereja) pada hakikatnya adalah panggilan untuk aktif
merasul. Dengan demikian, kaum awam yang merupakan bagian dari Tubuh Kristus,
bukanlah objek kerasulan (hierarkhi) Gereja tetapi mereka adalah subjeknya, pelaku aktif
(AA.art. 2). Oleh karena itu, kaum awam bukanlah warga Gereja “kelas 2” dalam hal
panggilan kristiani untuk merasul. Untuk menjelaskan ajaran ini, konsili mengemukakan
alasan teologisnya, misalnya dengan menegaskan bahwa berkat baptis, kaum awam memiliki
martabat yang sama dengan semua anggota Gereja lainnya sebagai Umat Allah yang dalam
Kristus tidak ada perbedaan (bdk. LG.art. 32 dan Gitowiratmo, 2011: 59). Selain itu kaum
awam ikut mengambil bagian dalam tri-tugas Kristus (LG.art 34-36) dengan cara yang
khas.Oleh sebab itu, kaum awam disebut sebagai pengambil bagian dalam karya keselamatan
Allah yang berlangsung lewat perutusan Gereja. Konsili Vatikan II, membayangkan suatu
kehidupan Gereja yang aktif dan dinamis. Di dalamnya, semua anggota baik itu awan dan
hierarkhi berpartisipasi dalam gerak karya Gereja, walaupun masing-masing mempunyai cara
yang khas (Gitowiratmo, 2011: 59).
jawaban:
Tugas Kerasulan Awam sesuai dengan tugas perutusan yang diterima dari Kristus berkat
pembaptisannya.
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dan Dekrit Kerasulan Awam menegaskan : `Kaum
Awam kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi
umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut nengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi
Kristus dan dengan demikuan sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan
segenap umat kristiani dalam Gereja dan di dunia`.
Jadi menurut dokumen Konsili Vatikan tersebut, Kerasulan Awam memiliki tiga tugas,
yaitu : menguduskan (Liturgia), mewartakan (Kerygma) dan melayani (Diakonia).
- Partisipasi dalam Imamat Yesus : Menguduskan.
Partisipasi menguduskan diwujudkan secara kongkrit melalui Perayaan Sakramen-Sakramen
terutama Perayaan Ekaristi. Dengan cara demikian dan didukung dengan doa, mereka turut
menguduskan dunia. Mereka membawa Allah kepada manusia dan sebaliknya membawa
manusia kepada Allah.
jawaban:
Konsili Vatikan II mengamini apa yang dinyatakan di atas bahwa kuasa (potestas/exousia)
kepemimpinan dalam Gereja diperoleh melalui penerimaan tahbisan. LG, 21: “Untuk
menunaikan tugas-tugas yang mulia itu para Rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa
Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (bdk. Kis 1:8). Dengan penumpangan
tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (bdk. 1
Tim 4:14). Kurnia itu sampai sekarang ini disalurkan melalui tahbisan Uskup sebagai
kepenuhan tahbisan imamat”. Dari kurnia ilahi yang diterimakan seseorang melalui tahbisan
lahirlah kuasa kepemimpinan Gereja secara hierarkis sesuai dengan tahbisan yang
diterimanya: Diakonat, Presbiteriat dan Episcopat. Penerimaan sakramen tahbisan tersebut
mengandung aneka ragam pelayanan kepada umat, yang terbagi dalam tugas pelayanan
menguduskan, mengajar dan memimpin (tria munera in persona Christi) atas nama Kristus
(bdk. kann 1008-1009). Dengan potestas sacra yang ada pada imam pejabat membentuk dan
memimpin umat beriman, menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus dan
mempersembahkannya pada Allah atas nama segenap umat. Imamat jabatan itu mereka
laksanakan pada saat merayakan sakramen-sakramen, berdoa dan bersyukur, memberi
kesaksian dan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif (bdk. LG 10b).
Kanon 129, §1 menengaskan pernyataan Konsili: “menurut ketentuan norma hukum, yang
mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan
juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci”. Baru dalam
paragrap kedua kanon yang sama menyatakan letak kepemimpinan kaum awam: “dalam
pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam
kerjasama menurut norma hukum”. Di sinilah letak kepemimpinan kaum awam yakni: berkat
penerimaan sakramen pembaptisan awam mengambilbagian dalam tiga tugas Kristus sebagai
Nabi, Imam dan Raja. Kaum awam memperoleh imamat umum yang membedakan dari
imamat jabatan/hirarkis yang diterima melalui tahbisan imamat. Kendati berbeda dan juga
tingkatannya imamat umum dan jabatan satu sama lain saling terarahkan. Sebab keduanya
dengan caranya yang khas masing-masing mengambilbagian dalam satu imamat Kristus (bdk.
LG. 10,b). Jadi kepemimpinan awam merupakan pengambilbagian dari “exercitio eiusdem
potestatis” yang dimiliki oleh Imam/Uskup.