Anda di halaman 1dari 2

Narasi Teologi Harapan

Angga Turana, ft 3567


“Bersama memberikan kepedulian bagi terdampak Covid 19”
Aspek Kognitif
Pengalaman yang saya lakukan di lapangan khususnya di tempat di mana saya
menjalani TOPP (Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan) adalah keterlibatan dalam
menangani para perantau yang pada saat itu pulang ke daerah asal mereka pada bulan
pertama masa pandemi. Pada pertengahan bulan Maret beberapa tokoh umat Katolik di
Paroki saya menjalani TOPP, Paroki St. Andreas Rasul, Simpang Pematang Mesuji,
Lampung, dilibatkan oleh pemerintah Kabupaten untuk ambil bagian dalam tim gugus tugas
daerah. Saat itu pemerintah Kabupaten Mesuji menyediakan satu tempat yang dipakai untuk
tempat Karantina khsususnya bagi para perantau dari pulau Jawa yang hendak kembali ke
kanpung halamannya. Saat itu yang saya lakukan adalah terlibat dalam mengawasi dan
menjaga para penduduk yang dikarantina selama 14 hari. Saat wabah mulai booming pada
awal Maret di Jakarta, dampaknya memang tidak begitu dirasakan khususnya di wilayah
Lampung, secara khusus di Mesuji. Saya pun awalnya merasa bahwa wabah ini tidak akan
berdampak di pedesaan-pedesaan wilayah Mesuji. Namun, tak disangka bahwa wabah ini
merebak dengan cepat, bahkan dalam waktu 1 bulan, kota bandar lampung mulai masuk
dalam zona merah.
Aspek Afektif
Ketika saya melihat situasi yang ada, ada perasaan khawatir terhadap pengaruh
Covid 19 yang semakin tidak menentu. Saya sempat bingung apa yang bisa dilakukan dengan
situasi yang demikian berhubung pihak Gereja juga belum melakukan gerakan untuk
membantu mereka yang menjadi korban maupun terdampak Covid 19. Covid 19 juga
membuat saya merasa cemas dengan berbagai agenda-agenda yang sebelumnya sudah
dirancang akhirnya harus dibatalkan. Perasaan bingung dan cemas tadi yang membuat diri
mennjadi paranoid. Kemudian ketika saya berhadapan dengan para penghuni tempat
karantina khsusus bagi para perantau, ada stigma-stigma negatif yang muncul. Stigma negatif
ini datang dari orang-orang sekitar yang tidak jauh dari tempat karantina tersebut. Bahkan
saya mendengar keluarga mereka pun sempat menolak untuk menerima anggota yang
menjalani masa karantina. Situasi dilema kadangkala muncul ketika ada umat yang ingin
datang ke pastoran sekedar untuk berkonsultasi, meskipun saat itu covid 19 belum begitu
santer gaungnya di wilayah pedesaan. Tanpa disadari sikap paranoid saya muncul dan ada
kecenderungan berprasangka, karena perjumpaan orang-orang yang saya sendiri tidak tau
orang tersebut berkontak dengan siapa saja.

Aspek Kehendak

Ketika berhadapan dengan situasi tersebut saya sebagai frater TOPP menempatkan
diri sebagai sesama bagi yang umat yang terdampak Covid 19. Penerapan jaga jarak sosial
membuat orang enggan untuk keluar dari rumah. Jalan lintas yang pada saat normal dipenuhi
dengan kendaraan antar provinsi akhirnya harus terhenti untuk sementara waktu. Bahkan
tempat dimana biasanya orang bisa bepergian harus menunda sementara untuk pergi. Umat
Katolik di paroki turut mengalami dampak dari Covid 19. Dengan keadaan tersebut merekai
mendapat respon dari keuskupan Tanjungkarang dengan di sponsori oleh lembaga sosial
karitas Indonesia untuk memberikan bantuan sosial bagi yang membutuhkan. Gerak cepat
akhirnya dilakukan oleh paroki masing-masing di keuskuoan Tanjungkarang. Saya bersama
pastor paroki dan juga umat membagikan bantuan sosial berupa beras makanan pokok, dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya untuk diberikan kepada umat yang berstatus ekonomi
menengah ke bawah dan mereka yang terkena dampak langsung dari Covid 19 ini.
Sebagai sesama bagi mereka yang terdampak covid 19 perjuangan untuk menjaga diri
dan menjaga kesehatan menjadi faktor penting. Rasa solider tampak dalam sikap untuk tidak
bersikap diskriminatif bagi.mereka yang positif covid 19. Secara spontan saya mempunyai
prinsip bahwa penderita bukan untuk di berikan stigma negatif, namun bagaimana saya
mampu bersikap dengan adil dan bijaksana , serta memberikan harapan dan keyakinan untuk
dapat sembuh dan pulih kembali. Pada masa pandemi memang yang harus dilakukan adalah
menjaga kesehatan diri serta bagaimana kita juga mampu menciptakan kondisi yang ideal di
lingkungan masyarakat. Sebagai sesama yang mengalami dampak langsung dari Covid 19 ini,
perlu menciptakan dan membangun sikap saling meneguhkan dan memberikan perhatian
yang positif untuk tubuh kita masing-masing. Paroki secara khusus memberikan perhatian
kepada umat dengan membagikan masker secara cuma-cuma dan hal ini menjadi tindakan
yang baik demi menjaga keselamatan orang lain dan juga diri sendiri. Ketika saya melihat
situasi bahkan mengalami sendiri bagaimana masih ada pihak-pihak tertentu yang egois
dengan menimbun masker dan handsanitizer. Adakalanya saya sendiri merasa heran mengapa
dalam situasi seperti ini masih ada orang yang berusaha menimbun bahkan memanfaatkan
keadaan yang ada dengan menjual masker dengan harga yang cukup tinggi. Kelangkaan
untuk mencari masker sempat saya rasakan juga ketika harus pergi ke luar. Masker menjadi
kebutuhan yang tidak bisa tidak harus dipenuhi demi mencegah penyebaran virus. Sikap
ugahari sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan pandemi. Sikap yang dimaksudkan
adalah membatasi diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu selama pandemi.
Memang adakalanya kita merasa bosan bahkan terpenjara di dalam rumah sendiri. Tidak
jarang ada umat yang merasa tidak produktif ketika harus berdiam diri di rumah. Karena pada
dasarnya sebagian orang adalah pekerja di lapangan atau bisa dikatakan sebagai orang
lapangan.
Peran saya sebagai frater TOPP sangat berdampak ketika mereka mengalami situasi
tersebut. Saya sempat memberi usulan kepada beberapa stasi untuk memanfaatkan lahan
mereka yang selama ini tidak tergarap dengan baik untuk mulai ditanami sayur-sayuran dan
singkong untuk berjaga-jaga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena harga kebutuhan
sehari-hari yang mulai melambung tinggi. Maka, bercocok tanam kiranya menjadi sarana
yang baik untuk mencegah kelangkaan pangan, terutama bagi umat pariki yang ada di stasi-
stasi. Kegiatan bercocok tanam ini yang juga dimulai di lahan parokize dengan menanam
berbagai sayur-sayuran untuk tetap produktif selama pandemi. Kegiatan menanam yang saya
lakukan bersama dengan komunitas pastoran inilah yang kemudian diikuti pula oleh sebagian
besar umat supaya tidak merasa stress berdiam di rumah karena situasi pandemi.

Anda mungkin juga menyukai