SKRIPSI
Disusun Oleh:
Makaria Asfina Ratu
044314002
SKRIPSI
Oleh:
044314002
YOGYAKARTA
2009
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Pembimbing
ii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dan...
iii
HALAMAN MOTTO
(Michael Korda)
iv
LEMBAR PENGESAHAN
OLEH:
MAKARIA ASFINA RATU
044314002
v
PERYATAAN KEASLIAN KARYA
Yogyakarta,
vi
ABSTRAK
Makaria Asfina Ratu
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
vii
ABSTRACT
Makaria Asfina Ratu
Sanata Dharma University
Yogyakarta
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Makaria Asfina Ratu
Nomor Mahasiswa : 044314002
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 17 Desember 2009
Yang menyatakan
ix
KATA PENGANTAR
perkembangan perkebunan pada abad ke-19, maka sosok petani atau yang juga
sering disebut sebagai buruh tani mempunyai keterikatan yang sangat erat.
Ditinjau dari sudut pandang filsafat sejarah, konteks tersebut menunjukkan sebuah
gerak spiral. Gerak sejarah spiral merupakan gabungan antara gerak sejarah siklis
maka gerak tersebut tidak hanya melulu siklis tetapi pada masanya muncul juga
gerak linear.
kolonial sebagai golongan kapitalis dan petani sebagai buruh. Kemudian pada
pemerintah kolonial menjadi tuan tanah sekaligus golongan kapitalis dan petani
sebagai buruh. Lalu pada masa liberal pemerintah kolonial sebagai tuan tanah dan
para pemilik modal swasta sebagai golongan kapitalis, sedangkan petani tetap
sebagai buruh. Perubahan kekuasaan dari raja ke pemerintah kolonial sebagai tuan
tanah dan perubahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke para pemilik modal
Ucapan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan berkah-Nya. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada segenap staf pengajar
x
di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery
Santosa, M. Hum; Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum; Drs. Ign. Sandiwan
Suharso; Drs. H. Purwanta, M. A; Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ; Dra. Lucia
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada mas Tri yang banyak
Mami-Andar, Nenek Desy, Tante-Ve dan Wisni. Terima kasih atas dukungan
yang terus-menerus kalian berikan. Terima kasih banyak kepada almarhum bapak,
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………………… v
xii
C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan ..................................... 25
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
masyarakat agraris tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sejarahnya yang meskipun
mengalami pergantian jaman, pertanian tetap eksis dan menjadi soko guru
kerajaan hingga sekarang. Seperti di Jawa, kehidupan yang berbasis agraris telah
dimulai dari kerajaan Jawa Kuna hingga sekarang. Tetapi pada masa kolonial ada
beberapa perubahan yang terjadi dalam kehidupan agraris tersebut. Petani yang
diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk
membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan
bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah
1
Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta, 2001),
hal. 57.
1
2
dapat mengatasi permasalahan ekonomi negeri induk yang pada masa itu sedang
mengalami keterpurukan.
komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Upaya van den Bosch tidak
sia-sia karena ekspor gula dari Jawa menguasai pasar dunia. Kerajaan Belanda
menikmati keuntungan besar dari hasil Cultuurstelsel tersebut, kas negara kembali
stabil bahkan dapat disebut sebagai sebuah surplus. Namun, di sisi lain kehidupan
para petani semakin menurun karena lahan-lahan produktif (subur) dan beririgasi
terutama dari kaum liberal dan humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa
pemerintah seharusnya tidak ikut campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah
yang lebih tepat mengurusi bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah
pengatur keamanan dan ketertiban. Sedang kritikan kaum humanis lebih pada
kaum humanis berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa petani di
Jawa pada akhir tahun 1840-an. Kritikan kaum humanis tersebutlah yang
2
Penjelasan lebih lanjut silahkan baca dalam Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jil.
IV, (Jakarta, 1984), hal. 98.
3
Sumatera. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa pada tahun 1870, Belanda
1870-1875 menjadi menarik untuk dikaji. Ada dua alasan penting yang mendasari
topik ini menjadi patut untuk dikaji lebih dalam, yaitu; pertama, Agrarische Wet
liberal dengan idealisme akan kebebasan dan kesejahteraan umum, akan tetapi
dalam pelaksanaan hingga pada akhirnya rakyat (khususnya petani) tetap tidak
merasakan apa yang disebutkan sebagai kesejahteraan umum yang menjadi cita-
cita perjuangan kaum liberal. Petani tetap menajdi korban eksploitasi agraria.
3
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jil. I, (Jakarta,
1990), hal. 22.
4
Kedua, dengan alasan pertama tadi terbukti bahwa Agrarische Wet tahun 1870
tidak memberikan sebuah pencerahan bagi petani masa itu. Akan tetapi, undang-
undang agraria kita hingga saat ini masih berdiri dengan membawa jiwa
Agrarische Wet tahun 1870 di dalamnya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji
secara lebih mendalam karena kemudian muncul sebuah hipotesis bahwa apakah
keterbelakangan petani yang terjadi di negara kita hingga saat ini ada kaitannya
dengan jiwa Agrarische Wet 1870 yang tetap lestari dalam undang-undang agraria
negara kita.
Dipilihnya kurun waktu dari tahun 1870 sampai dengan 1875 adalah
karena pada periode ini, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera terjadi
dari pelaksanaan dari Agrarische Wet 1870. Pada masa pemerintahan Hindia-
satu daerah di Jawa Tengah yang juga menjadi pusat perkembangan usaha-usaha
usaha perkebunan berkembang dengan pesat dari tahun 1870 sampai dengan tahun
1875, akan tetapi di sisi lainnya kehidupan petani tidak mengalami pekembangan
kabur, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasikan. Pertama, kritikan-
yang menimpa petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an menjadi pukulan keras
dengan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini secara garis besar
Dalam metode sejarah dikenal dua batasan, yaitu batasan temporal atau
waktu dan batasan spasial atau tempat. Dalam penulisan ini, batasan temporal atau
6
waktu yang digunakan adalah periode tahun 1870 sampai dengan tahun 1875.
Tahun 1870 merupakan awal mula masuknya modal swasta, selain pengusaha
perkebunan dalam skala besar. Sedangkan batasan spasial atau tempat yang
digunakan dalam penulisan ini adalah Kabupaten Grobogan yang terletak di Jawa
Tengah.
C. Perumusan Masalah
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini secara garis besar terbagi dua, antara lain sebagai
berikut:
7
a. Akademis
b. Praktis
E. Manfaat Penulisan
a. Teoretis
luas dapat merencanakan masa depan yang jauh lebih baik lagi.
b. Praktis
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi pihak-
F. Kajian Pustaka
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia maka studi
sejarah menggunakan rekaman peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang
akan ditelitinya. Rekaman peristiwa masa lalu tersebut berupa buku dan media
8
cetak lainnya yang akan digunakan dalam penulisan ini. Dikarenakan keterbatasan
sumber yang akan digunakan dalam penulisan ini merupakan sumber sekunder,
yaitu sumber yang berasal dari tangan kedua. Artinya, sumber-sumber tertulis
yang digunakan bukan merupakan tulisan orang yang terlibat secara langsung
Beberapa buku yang digunakan dalam penulisan ini antara lain adalah
buku yang ditulis oleh Furnivall yang berjudul Netherlands India. Dalam buku
uraian yang cukup lengkap mulai dari latar belakang atau masa transisi menuju
liberalisasi, dinamika sistem tersebut, dan dampak atau hasil dari penerapan
penulisan ini juga digunakan buku yang ditulis oleh Suhartono W. Pranoto dengan
kumpulan dari makalah atau artikel-artikel milik penulis. Beberapa tulisan yang
terangkum dalam buku ini memaparkan potret kehidupan petani, baik pada masa
kerajaan, kolonial, maupun masa kini. Memang Surakarta merupakan salah satu
daerah istimewa pada periode 1830-1875 dan kehidupan petani di daerah ini sama
melihat Grobogan yang pada masa itu termasuk suatu wilayah dalam Karesidenan
9
Semarang sebagai salah satu pusat perkebunan tebu dan industri gula terbesar di
Jawa, maka harusnya ini juga menjadi suatu perihal yang patut dikaji. Selain
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta, 1984) yang disusun oleh Marwati
bagaimana sejarah Indonesia khususnya abad ke-18 dan ke-19. Buku ini sedikit
abad ke-19, pada bagian tersebut terdapat uraian mengenai sistem sewa tanah,
sistem tanam paksa, dan sistem liberal. Tetapi karena buku ini hanya memaparkan
Selain ketiga buku yang isinya telah dijelaskan secara singkat di atas,
penulisan ini juga menggunakan buku-buku lainnya dengan isi yang berkaitan
dengan topik penulisan ini. Adapun buku-buku tersebut antara lain adalah buku
yang ditulis oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution: The
Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa
ke Masa (Jakarta, 1984); The History of Java (London, 1817) tulisan Thomas
dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang
berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Edi Cahyono dalam skripsinya yang
10
Pekalongan. Salah satu dampak yang disebutkan Edi Cahyono dalam tulisannya
adalah bahwa berdirinya pabrik gula telah menyebabkan masyarakat Jawa yang
awalnya bermata pencaharian sebagai petani beralih menjadi buruh pabrik. Dalam
penulisan ini ditemukan adanya kesamaan dengan tulisan Edi Cahyono, seperti
pulau Jawa dan Sumatera. Di Jawa, dalam kasus ini, petani juga kemudian beralih
Berbeda dengan kasus dalam tulisan Edi Cahyono, tulisan ini mencoba
memberikan suatu penjelasan yang bersifat klarifikasi. Selama ini masih saja ada
pertumbuhan industri, maka dengan serta merta petani kemudian beralih profesi
menjadi buruh. Pendapat demikian tidaklah salah, hanya saja orang terkadang
4
Dimuat dalam http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/.
11
subsisten petani harus bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan
berarti mereka tidak bekerja di lahan perkebunan. Dengan latar belakang ekonomi
kebutuhan pangan petani tetap mengolah lahan pertanian. Tulisan ini akan
memberikan klarifikasi bahwa ada tiga unsusr penting yang jelas berbeda, yaitu
bersamaan dalam langkah tersebut, maka tulisan ini mencoba menyajikan suatu
G. Landasan Teori
Dalam penulisan ini ada beberapa konsep yang digunakan sebagai dasar
perkebunan, Cultuurstelsel, Kerja Wajib, dan Sistem Liberal. Petani adalah orang
ini juga harus dibedakan secara jelas konsep antara pertanian dan perkebunan.
5
Dalam konteks penulisan ini, kehidupan subsisten yang dialami petani
dimengerti sebagai ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
6
W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai
Pustaka, 1976), hal. 1016.
12
dengan tanaman-tanaman komoditi pasar, seperti kopi, tebu, tembakau, dan lain-
tersebut, yakin bahwa cara ini sangat efektif untuk memperoleh tanaman ekspor
Istilah Kerja Wajib dalam penulisan ini berarti himpunan berbagai jenis
kerja yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pemerintah, pejabat,
Pada dasarnya kerja wajib pada abad ke-19 terdiri atas empat kategori,
yaitu:
umum;
13
umumnya.7
Sebagai suatu sistem pajak, kerja wajib merupakan ekstraksi tenaga kerja
merupakan ujung tombak dari pelaksanaan Cultuurstelsel yang mau tidak mau
Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan Sistem Liberal adalah suatu
berarti lembaran baru bagi petani untuk mendapatkan uang dengan cara yang baru
pula, yaitu dengan menjual tenaga atau menyewakan tanah pada pihak-pihak
7
A. M. Djuliati Suryo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di
Karesidenan Kedu 1800-1890, (Yogyakarta, 2000), hal. 24-25.
8
Marwati Djorned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia, Jil. IV, (Jakarta, 1984), hal. 118.
14
pusat kekuasaan dan petani sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Dominasi
kekuasaan sepenuhnya ada pada perkebunan dan petani menjadi klien yang loyal.9
kadestral yang dapat dikatakan mengacu pada teori David Ricardo tentang pajak
tanah (the rent of land).10 Pola penguasaan tanah pada masa Raffles mencoba
Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik
desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang besarnya telah ditetapkan
sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Kemudian pada masa van den Bosch, gubernur jenderal yang kemudian
yang telah diterapkan tersebut. Jika tidak ada pencatatan luas tanah, maka akan
sulit bagi van den Bosch untuk menerapkan Cultuurstelsel di Jawa. Dengan
adanya kebijakan Raffles tersebut, maka ia dapat dengan mudah memaksa petani
untuk meluangkan 1/5 dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman tertentu, seperti
kopi, tebu, tembakau, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kebijakan
9
A. M. Djuliati Suroyo. Op. cit., hal,114.
10
Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I:
Dasar Teori dalam Ekonomi Umum (Jakarta, 1991), hal. 40-49.
15
tersebut mengacu pada teori dari Thomas Robert Malthus tentang sewa tanah dan
Belanda dengan jumlah penduduk terbesar pada masa itu, yang berarti tersedianya
tenaga kerja dalam julah besar yang dapat mensukseskan Cultuurstelsel yang
dalam suatu lingkungan tertentu. Kemiskinan dapat disebut sebagai subsidi bagi
atas. Kemiskinan menjamin tersedianya tenaga kerja yang dapat dibayar murah
daerah tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu sifat fungsional dari keadaan
tersebut hanya menguntungkan golongan atas, yang dalam konteks ini ialah
golongan atas.
11
Ibid., hal. 49-52.
16
Agrarische Wet 1870 pada Sistem Liberal dapat dikatakan berdasar pada
pemikiran yang serupa dengan pemikiran Raffles dan van den Bosch tersebut.
Baik Agrarische Wet maupun Sistem Liberal itu sendiri pada dasarnya merupakan
modal swasta. Agrarische Wet 1870 semakin mempertegas hal tersebut. Dengan
Agrarische Wet 1870 pemilik modal dapat menguasai tanah, penduduk (tenaga
kerja), dan hasil panen. Kemiskinan yang terjadi juga merupakan suatu keadaan
yang perlu dilestarikan agar pemerintah kolonial maupun pemilik modal dapat
bidang agraria sepanjang tahun 1870 tentu saja mempunyai banyak dampak. Ada
banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut terutama di daerah-
petani, sedang untuk dampak sosial, salah satunya adalah muncul golongan baru
dalam masyarakat, yaitu golongan buruh. Untuk itu, dalam penulisan ini akan
sosial.
hidup petani. Selain itu, pendekatan ini juga akan sangat membantu dalam
menelaah latar belakang dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 pada masa liberal
H. Metode Penelitian
sejarah. Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu.12 Tulisan ini
merupakan sebuah kajian pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam
sumber primer, maka penulisan ini akan lebih banyak menggunakan sumber
tertulis yang bersifat sekunder dan juga tersier. Sumber-sumber tertulis ini tidak
hanya terbatas pada jenis buku dan media cetak lainnya, tetapi juga termasuk
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari
tiga tahapan, yaitu pertama, pengumpulan data; kedua, analisis data; dan ketiga
12
Penjelasan selebihnya lihat, Louis Gottschalk, terj. Nugroho
Notosusanto. Mengerti Sejarah (Jakarta, 1985), hal. 32.
18
Dalam proses ini terdapat sistem seleksi untuk mendapatkan data-data yang sesuai
Kedua, analisis data. Pada bagian ini data-data yang telah terkumpul pada
diseleksi pada saat pengumpulan data dihadapkan dengan teori dan pendekatan
yang digunakan dalam penulisan ini, sehingga tercipta suatu analisis data.
terakhir dari metode yang digunakan dalam penulisan ini. Setelah melalui ketiga
I. Sistematika Penulisan
bagian perumusan masalah di awal, maka studi sejarah sekitar dampak dari
Grobogan dari tahun 1870 sampai dengan tahun 1875 disusun menurut
agraris di Hindia-Belanda pada abad ke-19, khususnya di Jawa. Bagian ini akan
kebijakan agraria apa saja yang telah diterapkan selama masa itu. Sedikit
pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian tersebut akan disusun secara kronologis
Bab III pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian analisis ini akan diawali
dengan uraian mengenai pelaksanaan Sistem Liberal sebagai suatu haluan politik
seperti Agrarische Wet 1870. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian mengenai
pelaksanaannya.
Bab IV sebagai inti dari ketiga bab analisis dalam penulisan ini
tidak terelakkan lagi. Keadaan ini yang kemudian memberikan dampak terhadap
kehidupan petani.
20
Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari analisis
bab sebelumnya.
BAB II
Jawa Tengah dengan ibu kotanya Purwodadi. Kabupaten ini berbatasan dengan
sebelah barat; serta Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Pati di
diapit oleh dua pegunungan, yaitu Pengunungan Kendeng di bagian selatan dan
dataran rendah.
kecamatan yang terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan
1
Mancanagari merupakan wilayah kerajaan yang diperoleh dengan cara
penaklukan. Artinya, raja dari Kerajaan Mataram telah menaklukan penguasa
wilayah ini sebelumnya sehingga penguasa tersebut tunduk kepada kedaulatan
raja Mataram. Dalam konsep birokrasi kerajaan Mataram, mancanagari
merupakan bagian terluar dari struktur wilayah kekuasaan raja.
21
22
Grobogan dengan nama RT Martopuro. Wilayah RT. Martopuro pada saat itu
meliputi wilayah Sela, Teras Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa
jabatan bekel di desa-desa. Tetapi, pada tahun 1864 ibu kota kabupaten berpindah
ke Purwodadi.
otonomi dan dapat membentuk Dewan Daerah sehingga pada tahun 1908,
dibagi ke dalam daerah propinsi dan daerah propinsi ini dibagi lagi menjadi
2
Serat Babad Kartasura / Babad Pacina : 172 – 174, sebagaimana dikutip
dalam http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/.
23
Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat propinsi, tingkat kabupaten
tingkat dua di propinsi Jawa Tengah. Jadi, secara hukum pembentukan Kabupaten
Grobogan sebagai daerah tingkat dua dalam proponsi Jawa Tengah didasari oleh
undang-undang tersebut.
1.385.817 jiwa. Dari jumlah ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani. Oleh karena faktor inilah pada masa Cultuurstelsel maupun masa
Belanda pada masa Cultuurstelsel. Hal ini berarti bahwa daerah-daerah di pulau
untuk dijadikan tenaga kerja perkebunan. Hal ini juga menjadi lebih efektif lagi
pusat perkebunan pemerintah pada saat itu, para petani sangat menderita oleh
bencana kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa para petani. Sebagai akibat
dari bencana kelaparan dan wabah penyakit tersebut ialah penurunan jumlah
adanya bencana kelaparan dan wabah penyakit pada akhir tahun 1840-an jumlah
secara resmi akhirnya terlaksana pada tahun 1870 yang ditandai dengan
Pada masa Liberal, kabupaten Grobogan masih menjadi salah satu daerah
di Jawa yang menjadi pilihan para pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-
usaha perkebunan mereka. Perubahan fase industri perkebunan yang terjadi pada
periode ini tidak membawa banyak perubahan positif dalam kehidupan petani di
swasta sama terikatnya dengan saat petani bekerja di perkebunan pemerintah pada
swasta berarti petani bebas dari kerja rodi, tetapi sistem kontrak di perkebunan
swasta bagai ikatan kerja rodi yang diterapkan pemerintah kolonial. Pihak swasta
memberikan sanksi tertentu, dari sanksi-sanksi ringan hingga berat, bagi buruh
tani yang mencoba melarikan diri dari perkebunan selama masa kontraknya masih
berlaku.
bagi para buruhnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak-pajak yang harus
petani tetap tidak bisa memperbaiki taraf hidupnya ke tingkat yang lebih baik.
lahan perkebunan. Beberapa faktor, seperti faktor geografis dan juga sumber daya
pertanian dan perkebunan di wilayah ini. Kualitas tanah yang cukup produktif
26
penduduk dan lahan pertanian juga perkebunan. Dua pegunungan yang mengapit
wilayah kabupaten Grobogan merupakan kawasan huutan jati, mahoni dan hutan
campuran yang berfungsi sebagai hutan resapan air hujan. Lembah yang
membujur dari timur ke barat merupakan lahan pertanian yang produktif. Daerah
lembah ini sebagian bahkan telah didukung dengan adanya saluran irigasi, jalan
primer. Bahkan untuk tebu dan tembakau termasuk dalam komoditi unggulan.
27
Perkebunan kelapa menempati posisi pertama dengan lahan yang sangat luas,
Sebagian besar hasilnya diolah menjadi santan atau bahkan ada yang diolah
beberapa kecamatan saja dengan lahan yang tidak begitu luas bahkan sempit,
Untuk lebih rinci, hasil-hasil perkebunan tersebut dapat dilihat dalam tabel
berikut;
yang tersedia. Hal ini karena sudah tidak adanya ketentuan-ketentuan yang
mengatur jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam oleh petani, seperti yang
terjadi pada masa Cultuurstelsel maupun masa liberal. Pada masa Cultuurstelsel,
tanaman perkebunan pada masa itu. Kemudian pada periode ini (2006-2008) juga
dengan pada masa liberal. Petani bekerja dengan lebih bebas dalam mencapai
hasil yang telah ditargetkan dan perhitungan untung-rugi pun tidak begitu
seperti perkebunan kelapa, perkebunan jambu mete dan perkebunan kapas yang
Perkembangan perkebunan pada masa ini tentu tak bisa terlepas begitu
pusat perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada masa ini, rakyat diharuskan
menyerahkan 1/5 bagian dari lahan pertaniannya untuk ditanami dengan tanaman
rakyat untuk menanam tanaman-tanaman seperti tebu, tembakau dan kopi yang
Akan tetapi, beban rakyat semakin besar dengan adanya berbagai jenis
harus menanam tanaman ekspor, mereka masih harus menjalani kerja rodi
Demak dan Grobogan yang mengalami penurunan jumlah penduduk yang sangat
Cultuurstelsel, banyak kritikan yang muncul dari negeri Belanda yang menuntut
campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah yang lebih tepat mengurusi
Kritikan kaum humanis ini berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa
Grobogan pada saat itu tidak siap menghadapi bencana kelaparan dan wabah
penyakit yang menyerang pada akhir tahun 1840-an ialah karena; pertama,
terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang tidak begitu luas.
31
Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tidak adanya lagi lahan untuk tanaman
campuran. Tanaman pangan seperti padi pada akhirnya hanya ditanam sekedar
untuk pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk kebutuhan sehari-hari saja karena
tanaman pangan seperti padi tidak termasuk dalam tanaman ekspor, sedangkan
tanaman perkebunan memang ditujukan sebagai komditi ekspor yang tentu saja
dapat dijamin memiliki harga yang jauh lebih tinggai, terutama untuk tanaman
tebu. Permintaan terhadap ekspor gula tebu sangat tinggi pada masa ini,
perkebunan maka ada kemungkinan bahwa hanya tanaman perkebunan saja yang
petani tidak lagi mempunyai waktu untuk mengurusi lahan pertaniannya. Berbeda
Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak petani yang memilih untuk
sebagai akibat dari terabainya tanaman pangan, terutama padi, membuat harga
beras pada masa Cultuurstelsel menjadi sangat tinggi. Sedangkan tanaman pangan
32
Sementara itu, daya beli petani sangat rendah. Kelangkaan padi dan rendahnya
Kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan pokok ini tentu saja kemudian juga
mengakibatkan petani lebih mudah terserang berbagai penyakit. Oleh karena itu,
ketika terjadi bencana kelaparan dan wabah penyakit malaria yang melanda Jawa
pada masa Cultuurstelsel, petani tidak dapat mengatasinya. Hal inilah yang
Grobogan secara drastis, yaitu dari penduduk yang semula berjumlah 89.500 jiwa
hanya 9.000 jiwa saja. Angka pengurangan yang sangat besar ini menunjukkan
masa Cultuurstelsel.
yang paling menonjol ialah dari kaum humanis yang beranjak dari kasus
Grobogan dan Demak pada akhir tahun 1840-an. Kritikan-kritikan dari kaum
penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870. Sistem Liberal dapat
kaum liberal. Perekonomian bukan lagi dikuasai oleh pemerintah melainkan oleh
pihak swasta atau pemilik modal. Liberalisme berarti terbukanya peluang bagi
modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. Hal ini juga dapat
dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Jadi, pada tahun 1870 ini dapat
pandangan bahwa setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk
Atas dasar tersebut, maka campur tangan negara tidak diperlukan lagi.3 Meskipun
perkebunan. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu belum ada perangkat
kabupaten Grobogan pun menjadi salah satu wilayah yang menjadi pilihan para
geografis dan ketersediaan tenaga kerja tetap memegang peranan penting sebagai
3
Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006), dalam
http://www.syariahpublications.com.
34
hingga sekarang.
BAB III
DI KABUPATEN GROBOGAN
Jauh sebelum perkebunan milik swasta berkembang pesat pada abad ke-
19, usaha ekspor sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdagangan antar dunia
sudah dimulai sejak abad ke-16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlayar ke
jaman dulu). Pada akhirnya Belanda berhasil menguasai nusantara pada tahun
1602 melalui VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC dikenal dengan
Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang
usaha perkebunan sudah dimulai. Negara sejak awal telah menjadi penguasa
utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai
negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan
35
36
institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga
kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar
tumbuh dan berkembang sejak masa Cultuurstelsel (1830). Pada masa itu, van den
perkebunan semaksimal mungkin. Langkah van den Bosch tersebut adalah untuk
mengalami krisis dan ancaman kebangkrutan. Pada masa itu terjadi eksploitasi
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha
belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis
Belanda menjadi sebuah koloni yang sangat komersial bagi negeri Belanda. Untuk
Jawa dan Sumatera. Berbeda dengan era Cultuurstelsel, eksploitasi dalam sektor
dikatakan sedang berada dalam masa kritis. Ada beberapa faktor yang menjadi
tersebut dapat diatasi dengan pemasukan dari pajak yang telah diterapkan di Jawa,
akan tetapi pemasukan sektor ini belum optimal. Penarikan pajak belum berjalan
rakyat menyerahkan pajak dalam bentuk hasil bumi, tetapi pada masa kolonial
menguasai beberapa koloni Belanda. Setelah Kongres Wina tahun 1815 Belanda
diri dari Belanda pada tahun 1839. Dengan pemisahan Belgia, Belanda kehilangan
kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon1. Keadaan tersebut tentu saja memperburuk
ekspor. Inggris mempunyai modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
Belanda, sehingga dapat dengan mudah menguasai pasar Eropa. Modal Belanda
banyak terserap untuk membiayai Perang Jawa dan untuk mengatasi masalah
Dari ketiga faktor di atas, dua faktor terakhir terlihat seakan-akan tidak
1
Ceylon adalah sebutan untuk Sri Lanka sekitar abad XIX.
39
halnya Belgia, Afrika Selatan dan Ceylon, merupakan salah satu daerah koloni
perekonomian negeri induk. Maka, ketika salah satu daerah koloninya tidak lagi
daerah koloni yang lainnya harus memberikan devisa yang lebih besar daripada
sebelumnya. Dalam hal ini, Hindia-Belanda merupakan salah satu daerah koloni
Lalu, ketika hal tersebut berhasil, Belanda akan mempunyai modal yang cukup
Bertolak dari prinsip Baud, van den Bosch akhirnya mencetuskan Cultuurstelsel
(1830-1870). Dalam pandangan Bosch, perkebunan tidak akan berhasil jika petani
berikut;
40
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini
penduduk desa;
hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang
rakyat;
utara Jawa. Selain karena kualitas tanah yang digunakan untuk perkebunan harus
merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi atau dapat dikatakan sebagai
tersebut menuju pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa untuk kemudian diangkut
kemudian mengundang kritikan dari kaum humanis dan kaum liberal Belanda.
2
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan Bambang
Sumadio, op.cit.. hal 99-100.
42
jenis tanaman sudah mulai dihapuskan sejak tahun 1860 dan beberapa jenis
tanaman juga ada yang baru dihapuskan setelah tahun 1870. Penghapusan
sebuah haluan politik baru yang akan diterapkan di Hindia-Belanda, yaitu politik
liberal.
maupun dalam hal hukum dan keadilan. Berbagai upaya dilakukan Daendels
dalam mewujudkan idealismenya, tetapi tidak semua idenya dapat terwujud. Hal
ini karena desakan keadaan dimana pada waktu itu Belanda harus berusaha keras
mempertahankan Jawa dari ancaman Inggris. Namun, pada akhinya Jawa tetap
yang juga berdasarkan pada idealisme liberal banyak dilakukan. Salah satunya
yang terkenal adalah sistem pemungutan sewa tanah. Sistem pemungutan sewa
tanah milik Raffles ini bertujuan memperbaiki sistem paksa peninggalan VOC
dibayarkan dalam bentuk uang atau hasil tanam, seperti padi. Tetapi, dalam
seperti yang telah diterapkan oleh Raffles, tetapi karena kondisi ekonomi negara
tetapi desakan kondisi ekonomi negeri induk yang semakin merosot mendesak
tanam, baik dari sektor pertanian maupun perkebunan harus melalui kepala desa
terlebih dahulu. Tujuan dari kebijakan Capellen ini antara lain adalah untuk
elit lokal. Akhirnya ketegangan pun memuncak dengan meletusnya Perang Jawa
Pada tahun 1826, Van Der Capellen digantikan oleh Du Bus de Gisignies
maka pada masa Du Bus para pengusaha swasta diberikan akses untuk
sisi Du Bus ingin memompa kinerja petani dan di sisi lain tetap menjalankan
yang sangat menyita perhatian pemerintah kolonial. Pada akhirnya sistem sewa
adalah masih eratnya ikatan feodal pada masyarakat pedesaan serta belum
Sistem sewa tanah dihapuskan pada tahun 1830 pada saat Du Bus
digantikan oleh Van Den Bosch (1830-1870). Van den Bosch kembali
penanaman modal asing. Para pemilik modal diberikan akses seluas-luasnya untuk
45
Hal ini disebut sebagai ”politik pintu terbuka”. Tentu saja yang terjadi adalah
tidak berjalan sesuai dengan idealisme yang ingin diwujudkan. Kaum liberal yang
perkebunan di Jawa maupun luar Jawa. Hanya saja perbedaannya dengan era
Cultuurstelsel adalah pada era liberal eksploitasi pada sektor perkebunan dikuasai
oleh pemilik modal atau pihak swasta, sedangkan pada masa Cultuurstelsel dulu
daerah pantai, terutama sepanjang pantai utara Jawa. Kedudukan pemodal swasta
semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa
Hindia-Belanda juga turut berubah dari politik konservatif menjadi politik liberal
atau yang juga dikenal dengan ‘politik pintu terbuka.’ Hindia-Belanda menjadi
negara jajahan yang bersifat komersial bagi pemerintah kolonial, sehingga banyak
dan Sumatera.
ada perangkat hukum yang menjamin dan melindungi kebebasan mereka dalam
terutama berasal dari permasalahan tanah sebagai faktor penting dalam usaha
perkebunan. Sebagian besar tanah di Jawa pada masa itu masih merupakan tanah
adat, sehingga akan sulit bagi pihak swasta untuk dapat menguasainya. . Oleh
karena itu, yuridikasi hukum adat atas tanah harus dihilangkan dan kemudian
adat) menjadi hilang. Kerana hukum adat pribumi Hindia-Belanda tidak dapat
disamakan dengan hukum Eropa. Meskipun ada bagian dalam Agrarische Wet
47
pribumi dalam haknya atas tanah, kententuan tersebut menjadi tidak berarti
tanah tersebut dari penduduk pribumi. Karena ada larangan untuk melakukan jual-
beli terhadap tanah milik penduduk pribumi, istilah tersebut diganti dengan
hak’, akan tetapi tetap saja ada unsur jual-beli di dalamnya. Padahal seharusnya
istilah ‘melepas hak’ berarti secara sukarela memberikan hak miliknya atas tanah
tersebut kepada negara. Setelah menjadi milik negara, maka negara dapat dengan
pengusaha swasta.
menyewa tanah untuk usaha perkebunan mereka dengan jangka waktu yang lama
(99 tahun) dengan tingkatan harga yang murah. Kebijakan ini tentu saja
kebijakan kaum liberal ini adalah kaum konservatif. Kaum konservatif menentang
usul ini, dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada
syarat-syarat yang bersifat asli, penguasaan bersama dan kebiasaan yang tidak
48
dapat disatukan dengan konsep “hak milik”dari Barat modern.3 Sedangkan bagi
dalam penyewaan tanah. tetapi, pada akhirnya kebijakan Domein Verklaring tetap
1870. Adapun ketentuan dalam Agrarische Wet tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
2. Penduduk asli tidak boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi
boleh menyewakannya.
3. Tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun juga, menjadi hak milik
pemerintah.
tidak kehilangan tanahnya. Ketentuan ini juga sekaligus berarti bahwa pemerintah
3
Hiroyoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community in
Nineteenth Century Java, dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta, 1984), hal.26-85.
49
kolonial memberikan peluang bagi para pemilik modal untuk dapat menyewa
hak atas tanah milik penduduk pribumi. Tetapi, pada pelaksanaannya dengan
ketentuan Agrarische Wet tahun 1870 disebutkan bahwa penduduk asli tidak
boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi boleh menyewakannya. Dalam
pelaksanaannya orang asing, dalam hal ini pengusaha swasta, dapat membeli
tanah milik penduduk asli tersebut. Caranya adalah melalui pemerintah kolonial.
Penduduk asli memang tidak menjual haknya, tetapi melepaskan haknya atas
tanah miliknya. Pada dasarnya hal ini sama saja dengan menjual, karena
penduduk akan mendapat sejumlah uang sebagai ganti rugi karena telah
melepaskan haknya atas tanah miliknya. Tanah yang sudah tidak dimiliki lagi oleh
digunakan oleh penduduk asli dan tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan
menjadi milik negara. Ketika penduduk melepas haknya atas tanah, maka secara
mudah disewakan pada pihak swasta yang membutuhkan tanah untuk kegiatan-
Verklaring atau Pernyataan Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang tidak
pribumi, seperti tanah adat yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat
oleh pemerintah liberal didasarkan pada hukum Eropa, sehingga tanah adat milik
penduduk pribumi tidak bisa dibuktikan kepemilikannya. Hal ini karena hukum
adat tidak bisa disamakan dengan hukum Eropa. Hukum adat diwariskan secara
melihat yuridikasi hak atas tanah berdasarkan hukum tertulis yang menuntut
pemerintah liberal mengeluarkan Agrarische Besluit pada tahun yang sama, tahun
1870.
mereka di daerah ini. Tanah adat yang semula merupakan tanah desa akhirnya
kepemilikan, maka tanah adat yang semula merupakan milik bersama atau desa
dibagi-bagi menjadi milik perseorangan di desa tersebut. Hal ini tentu saja
memperoleh uang.4 Agrarische Wet 1870 yang merupakan produk hukum agraria
4
Wiharyanto, A. K., Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX,
(Yogyakarta: 2006), dikutip oleh Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006),
dalam http://www.syariahpublications.com.
BAB IV
TAHUN 1870-1875
perkebunan didominasi oleh negara, dalam konteks ini ialah pemerintah kolonial.
lalu, ketika politik konservatif digantikan oleh politik liberal, industri perkebunan
perkebunannya. Sejak penerapan sistem liberal pada tahun 1870, terutama dengan
yang ingin mengusahakan kegiatannya. Oleh karena itu, yang terjadi kemudian
terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Agrarische Wet 1870 yang dipertegas
52
53
tersebut merupakan daerah dengan kualitas tanah yang baik dan masih produktif
perkebunan hanya terdapat di kota-kota besar saja. Oleh karena itu, perkembangan
terletak di daerah pesisir utara Jawa ini pada masa liberalisasi perkebunan
merupakan salah satu daerah perkebunan swasta yang cukup besar. Adapun
perkebunan milik swasta yang berkembang di daerah Grobogan antara lain adalah
perkebunan tebu, kopi dan tembakau. Bahkan pada periode liberal, perkebunan
selain Surakarta. Gula tebu merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati di
pasar Eropa. Oleh karena itu, banyak pengusaha swasta yang datang ke Hindia-
Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera. Secara tidak langsung Agrarische Wet
1870 tidak membawa banyak hal-hal yang menguntungkan bagi para petani di
dicita-citakan hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pihak swasta
memprihatinkan.
Bidang ekonomi tentu saja merupakan salah satu bidang yang mendapat
ekonomi yang semakin pesat merupakan salah satu dampak terbesar di bidang
maka Belanda sebagai negeri induk memperoleh pendapat berupa devisa dari
kehidupan petani yang merupakan salah satu unsur penting dalam perkebunan itu
sendiri. Sejak ketentuan Agrarische Wet 1870 diperkuat dengan ketentuan yang
tertuang dalam Agrarisch Besluit yang juga dikeluarkan pada tahun yang sama,
1
Dalam konteks penulisan ini, yang dimaksud dengan monetisasi ialah
system ekonomi uang. Proses meluasnya monetisasi ini dapat dikatakan sebagai
modernisasi dalam sistem ekonomi uang dalam masyarakat di Hindia-Belanda
pada periode Liberal (1870-1875) khususnya. Jika sebelumnya masyarakat di
Jawa pada umumnya menggunakan metode tradisional dalam transaksi ekonomi,
56
langsung dari penduduk yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870 membuat
upah. Pada awalnya upah atas tenaga pekerja di lahan perkebunan berupa
sebagian dari hasil perkebunan atau bahkan tidak ada upah, karena bekerja di
lahan perkebunan berarti bebas dari kerja rodi. Akan tetapi, sejak masa liberal
meluas, sistem upah tersebut diganti dengan upah dalam bentuk uang.
yaitu dengan sistem barter atau tukar-menukar barang. Maka, ketika monetisasi
semakin meluas cara tersebut perlahan-lahan mengalami proses modernisasi. Nilai
uang mulai diterapkan terhadap barang-barang konsumsi masyarakat.
57
hasil perkebunan menjadi lebih singkat karena jarak yang ditempuh untuk
daripada sebelumnya.
seperti kereta api. Selain itu, pemerintah juga membangun saluran irigasi dan
yang sebagian besar terletak di sepanjang daerah-daerah pesisir utara pantai Jawa.
Di Grobogan, dibangun jalur kereta api dan disediakan kereta api dengan
swasta. Tetapi, idealisme liberal yang diusungnya tidak berhasil diterapkan bagi
kesejahteraan hidup secara ekonomi. Apa yang dialami petani pada masa liberal
tidak lebih baik daripada masa sebelumnya (Cultuursetelsel). Jika pada masa
Cultuurstelsel petani hanya diperas oleh pemerintah kolonial, maka pada masa
liberal petani diperas oleh dua pihak sekaligus, yaitu pihak swasta dan pemerintah
Hindia-Belanda.
perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak
Belanda sehingga yang terjadi kemudian adalah para petani yang bekerja menjadi
rendah. Tidak hanya itu yang terjadi juga adalah tidak adanya jaminan kesehatan
yang memadai bagi para buruh perkebunan dan pengurangan jatah makan. Pada
akhirnya yang terjadi lama kelamaan adalah para petani yang menjadi buruh
perkebunan milik swasta tidak lagi memiliki tanah karena disewakan untuk
yang disebut dengan istilah melepaskan haknya atas tanah miliknya tersebut.
menjadi tertutup bagi petani yang telah menjadi buruh di perkebunan milik swasta
karena mereka diikat dengan sistem kontrak sehingga mereka tidak bisa
melepaskan diri. Bahkan ada sanksi yang akan diberikan jika mereka mencoba
memberi dampak bagi kehidupan sosial masyarakat di Jawa. Dampak sosial yang
tetap pada tingkat yang memprihatinkan mendesak para petani untuk mencari
pengaruh yang besar bagi kondisi perekonomian petani pada saat itu. Komoditi
yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Bahkan bukan hanya lahan
pertanian saja yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, tetapi juga petani
yang kemudian beralih mata pencaharian dari petani yang menggarap lahan
Pada tahun 1870 dapat dikatakan telah terjadi perubahan dalam mata
petani tetap saja subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani
berarti bahwa petani tersebut hanya bekerja di lahan perkebunan saja atau dengan
kata lain menjadi buruh tani untuk perkebunan. Selain menjadi buruh untuk
perkebunan, para petani juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Dengan
memang ada petani yang sepenuhnya menjadi buruh untuk perkebunan, yang
disebut dengan buruh tani. Selain itu, ada juga petani yang tidak sepenuhnya
menjadi buruh untuk perkebunan. Para petani tersebut selain bekerja untuk
perkebunan juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Akan tetapi, kondisi
masyarakat agraris, yaitu golongan buruh. Tetapi bukan berarti golongan petani
perkebunan swasta adalah para petani yang tidak mempunyai tanah miliknya
sendiri atau disebut juga dengan petani penyakap. Kelompok ini tidak mempunyai
sebidang tanah dan mereka bekerja di tanah-tanah pertanian milik tuan tanah di
desa. Bahkan ada juga petani penyakap yang tidak mempunyai rumah sehingga
miliknya sendiri. Dalam konteks ini, menggarap tanah pertaniannya tidak lagi
2
Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di
Pedesaan Jawa dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua
Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa
ke Masa, (Jakarta, 1984), hal. 159-160.
61
dijual. Dengan keterbatasan waktu dan juga daya saing tanaman pertanian yang
petanin sebagian besar hanya untuk konsumsi pribadi. Keadaan ini semakin
membuat harga beras, khususnya, menjadi semakin tinggi. Produksi beras menjadi
menurun karena sebagian besar petani tidak lagi menanam padi dalam jumlah
yang besar, sedangkan beras tetap merupakan kebutuhan pokok petani di Hindia-
petani tetap harus bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
tertutup terutama bagi para bujang. Dengan menjadi buruh di perkebunan, maka
mereka tidak lagi bisa bekerja menjadi petani penyakap di lahan-lahan pertanian
tersebut menjadi buruh tani yang sepenuhnya bekerja untuk perkebunan swasta.
Keadaan tersebut tidak hanya berdampak terhadap para bujang saja. Para
petani yang awalnya mempunyai tanah pun akhirnya kehilangan tanah milik
kelamaan tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan hidup serta pajak-pajak yang
Agrarische Wet 1870, kelompok ini kemudian mulai menyewakan tanah mereka
kepada swasta. Pengeluaran untuk kebutuhan hidup yang semakin besar serta
banyak. Hal terakhir yang kemudian bisa dilakukan adalah dengan melepas
Hindia-Belanda akan memberikan sejumlah uang sebagai tanda ganti rugi. Jadi,
pada dasarnya melepas hak atas tanah miliknya hanya merupakan kata-kata
kosong karena yang terjadi sebenarnya adalah kegiatan jual-beli tanah antara
sebagai berikut;
Keterangan:
2 = golongan kaptalis
3 3 = golongan buruh
Diagram I
63
golongan tuan tanah adalah para raja dan juga priyayi, golongan kapitalis adalah
Dalam masyarakat Jawa yang agraris, raja mempunyai hak yang bersifat mutlak
terhadap tanah. Para priyayi atau pun pejabat kerajaan yang lainnya mendapatkan
hak atas sebagian tanah karena raja memberikan upah dalam bentuk tanah atau
yang disebut dengan “tanah lungguh”.3 Tanah lungguh ini akan kembali menjadi
dari para priyayi atau pejabat kerajaan lainnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bagi golongan kapitalis untuk mendapatkan tanah dari raja melalui
beberapa lapisan. Lapisan teratas diduduki oleh kelompok petani yang memiliki
tanah, kelompok ini disebut dengan petani sikep. Petani sikep memperoleh tanah
3
Tanah lungguh ialah tanah yang dimiliki oleh kerajaan. Tanah lungguh
ini biasanya digunakan oleh para raja sebagai upah atau gaji bagi pejabat-pejabat
kerajaan atau golongan priyayi. Di Mancanegara, tanah lungguh disebut dengan
istilah tanah bengkok. Lihat dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa
dari Masa ke Masa, (Jakarta; 1984), hal. 57.
4
Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad
Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,
(Jakarta; 1984), hal. 5.
64
dari raja atau dari priyayi atau pejabat kerajaan lainnya, sama seperti halnya para
priyayi dan pejabat kerjaan lainnya memperoleh tanah dari raja sebagai upah.
Pada lapisan terendah di desa terdapat bujang atau numpang. Kelompok ini tidak
mempunyai tanah maupun tempat tinggal, mereka biasanya tinggal di tanah milik
tuannya yaitu para petani sikep tadi. Kemudian, muncul golongan menengah
diantara petani sikep dan bujang. Kelompok ini berasal dari bujang yang sudah
lama melayani sikep-nya, sehingga oleh sikep mereka diberikan bagian dari
tanah yang awalnya diduduki oleh raja dan para priyayi dan pejabat kerajaan
yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan raja-raja membuat hal tersebut
memperkuat hal tersebut. Bahkan dengan adanya peraturan tentang pelepasan hak
Hindia-Belanda.
5
Ibid., hal. 7-8.
65
Belanda, selain didapatkan dengan menyewa secara langsung dari penduduk asli
Di lapisan terendah, yaitu golongan buruh tetap diduduki oleh petani. Pada
masa liberal ini para petani banyak yang kemudian menjadi buruh tani di
bekerja sebagai buruh tani adalah kelompok bujang atau numpang. Kelompok ini
sama.
BAB V
KESIMPULAN
pada tahun 1825 sampai dengan tahun 1830 telah membuat pemerintah kolonial
mengeluarkan banyak biaya untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu perang yang
terjadi di Eropa sendiri juga turut memperburuk keadaan. Belanda jatuh ke tangan
Perancis dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte. Baru pada tahun 1815 dengan
Belgia yang menjadi bagian Belanda membeontak dan memisahkan diri dari
kedaulatan Belanda pada tahun 1839. Hal tersebut berarti bahwa Belanda
kehilangan sumber devisanya, karena banyak industri dan tanah domein negara
semakin buruk tidak hanya dengan kehilangan Belgia, tetapi Belanda juga
kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon (sekarang; Sri Lanka). Faktor lain yang
oleh Inggris.
sistem yang dikenal dengan istilah Cultuurstetsel. Dengan sistem tersebut, Bosch
percaya bahwa ancaman kebangkrutan yang ditakutkan oleh negeri induk dapat
66
67
berhasil menjauhkan Belanda dari ancaman kebangkrutan, tetapi di sisi lain sistem
kritikan dari kaum humanis mengenai kehidupan petani yang menderita akibat
pelaksanaan Cultuurstetsel. Selain itu ada juga kritikan dari kaum liberal yang
perekonomian dikuasai atau dipegang oleh pihak swasta bukan pihak pemerintah.
Cultuurstetsel secara resmi pada tahun 1870 yang juga menjadi sebuah awal
sistem yang baru yaitu sistem liberal. Kebijakan yang cukup berpengaruh terhadap
dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Sistem liberal merupakan suatu
Jawa Tengah. Agrarische Wet 1870 dapat dikatakan sebagai pemicu tidak
68
Modal swasta masuk dengan bebas ke Hindia-Belanda dan sebagian besar pemilik
karena pada abad tersebut hasil perkebunan memberikan hasil yang sangat
menguntungkan.
dampak terhadap berbagai aspek, terutama dalam kehidupan petani, tokoh yang
erat kaitannya dengan perkebunan. Dalam lingkup penulisan ini, dampak yang
yang pesat pada masa tersebut menjadi sumber penghasilan yang besar bagi
pemerintah kolonial, dalam bentuk uang sewa atas tanah yang digunakan oleh
para pemilik modal sebagai lahan perkebunan. Ini juga berarti bahwa monetisasi
masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Oleh karena itu, terjadi juga perubahan
dalam sistem upah. Upah yang awalnya diberikan dalam bentuk tanah ataupun
hasil bumi berubah menjadi upah dalam bentuk uang. Perubahan semacam ini
sebagian besar terjadi di kalangan pekerja kelas atas atau menengah, meskipun
tersebut.
sudah bukan merupakan hal yang sangat baru karena pada masa Raffles, dimana
sistem uang dikenal melalui sistem sewa tanah, pejabat-pejabat pemerintah sudah
mulai menarik pajak dalam bentuk uang. Bagi petani, pemahaman akan sistem
69
Agrarische Wet 1870 yang salah satu ketentuannya memungkinkan pihak swasta
seperti halnya daerah lainnya di Jawa memang benar adanya, tetapi perkembangan
pesat tersebut tidak merubah kondisi perekonomian petani yang subsisten. Karena
pada masa tersebut menjadi tenaga kerja di perkebunan jauh lebih menguntungkan
jika dibandingkan dengan tetap bekerja di lahan pertanian, maka petani pun
Sebab lainnya juga adalah tanaman pertanian kalah dalam persaingan dengan
tanaman perkebunan yang menjadi komoditi ekspor. Oleh karena itu, untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya petani harus bekerja ekstra keras. Sehingga petani
kemudian banyak yang beralih menjadi buruh di lahan-lahan perkebunan yang ada
Idealisme liberal yang diusung dan diterapkan oleh kaum liberal di Hindia-
dari Agrarische Wet 1870 yang menyatakan bahwa penduduk asli dapat
menyewakan tanah miliknya, akan tetapi tidak boleh menjualnya kepada pihak
70
asli untuk memahami cara-cara transaksi bahkan lebih memahami tentang sistem
uang dan bagaimana berwiraswasta. Hal tersebut gagal karena pada dasarnya
petani pada masa itu belum belum siap berhadapan secara langsung dengan pasar
bebas, terutama karena uang sebagai alat pembayaran belum dikenal secara luas
penduduk asli hanya boleh menyewakan tanahnya dan bukan menjualnya kepada
pihak swasta dimaksudkan untuk melindungi hak milik penduduk asli atas
melepas haknya atas tanah miliknya dan Domein Verklaring yang membenarkan
Cultuurstelsel, bahkan pada masa liberal tenaga petani dieksploitasi oleh dua
pihak dalam waktu yang bersamaan, yaitu pihak swasta yang secara langsung
mereka dan pihak pemerintah melalui pajak-pajak yang dikenakan pada pihak
penduduknya hingga saat ini, seperti perkebunan tebu, tembakau dan kopi yang
sudah ada sejak masa Cultuurstelsel, bahkan saat ini sudah ada beberapa
perkebunan lainnya yang juga menjadi sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan.
Ketersediaan lahan dan tenaga kerja membuat sektor perkebunan menjadi salah
satu sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan. Meskipun jauh lebih bebas
kembali merebak dan petani masih tetap sebagai golongan buruh yang setia
Dengan demikian ada beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai
kesimpulan dari penulisan skripsi ini. Pertama, ialah bahwa proses perkembangan
bentuk usaha perkebunan negara berdasarkan atas sistem tanam wajib atau tanam
dari politik konservatif ke politik liberal. Hal ini diikuti dengan perubahan
kebijaksanaan politik drainage, yaitu politik eksploitasi tanah jajahan yang semula
merupakan salah satu wilayah dari Karesidenan Semarang menjadi salah satu
menjadi lebih mudah dalam hal penyewaan tanah dan pendapat penduduk di
dengan sangat pesat di kabupaten Grobogan. Proses liberalisasi ini tidak hanya
Grobogan. Ada dua bidang penting yang terkena dampak yang paling menonjol,
perkebunan di Hindia-Belanda, dan salah satu daerah yang menjadi pilihan para
pemilik modal ialah kabupaten Grobogan. Dengan banyaknya pihak swasta yang
Salah satu ketentuan dari Agrarische Wet 1870 yang memungkinkan bagi
pihak swasta dan penduduk untuk melakukan transaksi penyewaan tanah secara
74
Grobogan seakan memberikan sebuah harapan bagi para petani tersebut. Mereka
swasta dapat membuat kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih baik. Harapan
tinggal harapan, petani tetap saja dengan kehidupan mereka yang subsisten. Pihak
swasta tidak jauh lebih baik daripada pemerintah kolonial. Petani tetap
tereksploitasi oleh pemerintah kolonial, hanya saja dengan hadirnya pihak swasta
maka eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi bersifat tidak
pajak yang dibebankan pada pihak swasta. Padahal, di satu sisi, pihak swasta juga
Untuk itu, akhirnya upah terhadap buruh tani ditekan seminimal mungkin.
Dengan rendahnya upah yang diberikan oleh pihak swasta dan tidak
pajak yang masih harus dibayar petani kepada pemerintah kolonial membuat
75
petani tidak bisa lepas dari kehidupan subsisten mereka. Kontrak kerja yang
kemungkinan bagi para buruh tani untuk menambah penghasilan dari tempat lain.
sebuah kesimpulan besar bahwa proses swastanisasi yang diusung kaum liberal
kolonial maupun bagi penduduk asli. Kenyataan yang terjadi akhirnya ialah petani
tetap tereksploitasi oleh pihak swasta secara langsung dan juga pemerintah
kolonial secara tidak langsung dan kesejahteraan yang dicita-citakan kaum liberal
Sumber Buku
Djuliati Suroyo,A. M.. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX. Kerja Wajib di
Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Niel, Robert van. 1992. Java under the Cultivation System. Leiden: KITLV Press.
Reiner, G. J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (terj.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
76
77
Sarjana Sigit Wahyudi, M. S., Drs. 2000. Dampak Agro Industri di Daerah
Persawahan di Jawa. Semarang: Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya
Ikapi serta The Ford Foundation.
Scott, James C. transl. Hasan Basri. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan
dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Sumber Online
Edi Cahyono. Kaum Tani dan Sistem Tanam Paksa pada Pertengahan Abad ke-
19. <http://www.geocities.com/edicahy/sej-ind/GRKnight.html>.Tanggal
Pengaksesan Data: 26 Januari 2008.
<http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/16/pola-penguasaan-tanah-era-tanam-
paksa/.> Tanggal Pengaksesan Data: 16 Desember 2007.
<http://www.ekonomirakyat.org/galeri_war/wartasem_7.htm>.Tanggal
Pengaksesan Data: 25 Februari 2008.
<http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/>.
Tanggal Pengaksesan Data: 21 Desember 2009.