Anda di halaman 1dari 14

RELIGI JAWA DAN REMAKING TRADISI GREBEG KRATON,

SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI

Nugroho Trisnu Brata, S.Sos.,M.Hum.


Staf Pengajar di Jurusan Sosiologi & Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Lahirnya Kota Yogyakarta didahului adanya pembangunan Kraton Ngayogyakarta


Hadiningrat oleh Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I). Sebagai Kota
Budaya maka Yogyakarta masih memelihara budaya Jawa peninggalan Kerajaan Mataram
Islam yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Salah satu tradisi yang masih dipelihara
adalah ritual grebeg kraton. Permasalahan yang diangkat di dalam tulisan ini adalah;
Pertama, bagaimana masyarakat Jawa memaknai fenomena grebeg Kraton Yogyakarta
pada masa kekinian? Ke-dua, apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa
melahirkan sebuah tradisi baru? Metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Teknik pengambilan data dengan teknik observation (observasi), observation
participatory (partisipasi observasi), dan depth interview (wawancara mendalam).
Hasil pembahasan menunjukkan; Pertama, bahwa pada masa kekinian yang sudah
dianggap jaman modern ternyata ada sebagian masyarakat Jawa yang masih meyakini
adanya berkah Raja lewat media barang berupa gunungan grebeg. Kedua, tradisi
gunungan grebeg ternyata bisa di-reproduksi atau di-remaking oleh Kraton Yogyakarta
dan masyarakat yang mengadakan gerakan massa pisowanan ageng tanggal 20 Mei 1998
untuk menuntut mundur Presiden Soeharto. Masyarakat yang berbondong-bondong datang
sowan kepada Sultan di Alun-alun Lor Kraton Yogkarta diberi makanan dan minuman
gratis di pinggir jalan-jalan yang menuju Kraton. Model gunungan grebeg di-remaking
menjadi himbauan Sultan kepada warga di sekitar jalan-jalan yang dilalui oleh massa
pisowanan ageng agar warga menyediakan makanan dan minuman gratis kepada massa.

Kata kunci: tradisi, grebeg, remaking.

PENDAHULUAN

Kota Yogyakarta selama ini dikenal sebagai Kota Pendidikan, Kota Perjuangan,

Kota Pariwisata, dan Kota Budaya. Sebagai Kota Pendidikan karena di Yogyakarta

terdapat universitas negeri tertua dan terbesar di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada

yang didirikan pada 19 Desember 1949. Para mahasiswa dari seluruh pelosok Indonesia

diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Di

Yogyakarta bisa dijumpai mahasiswa atau pelajar yang berasal dari seluruh propinsi yang

1
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
ada di Indonesia dan terdapat asrama-asrama mahasiswa yang dibangun oleh masing-

masing pemerintah daerah yang warganya mengenyam pendidikan di Yogyakarta. UGM

adalah pelopor lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta, disusul oleh berpisahnya IKIP

Negeri Yogyakarta (kini UNY) dari UGM, lalu diikuti oleh munculnya berbagai

perguruan tinggi yang lain. Dari sini terlihat bahwa Yogyakarta adalah miniatur Indonesia

karena mahasiswa dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dan menuntut ilmu di

Yogyakarta.

Sebagai Kota Perjuangan, karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-

1949) Yogyakarta menjadi basis perjuangan TNI dan rakyat untuk mempertahankan

kemerdekaan. Kota Yogya pada masa itu juga menjadi Ibu Kota Indonesia untuk

menggantikan Jakarta yang dianggap tidak aman karena datangnya bala tentara sekutu

(Inggris dan NICA). Presiden Soekarno bermukim di Yogya untuk mengendalikan

pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Sebagai Kota Pariwisata, karena banyaknya objek pariwisata di Kota Yogyakarta

dan sekitarnya baik wisata alam, wisata belanja, wisata peninggalan budaya (cultural

artefak), wisata pertunjukan seni budaya (cultural behavior), maupun wisata religi Jawa

yang berhubungan dengan makam raja-raja Mataram. Sebagai Kota Budaya karena

keberadaan Kraton Yogyakarta yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jawa sekaligus

sebagai pemelihara nilai-nilai budaya Jawa yang halus, adiluhung, klasik namun modis,

dan aristokratis.

Secara historis Kraton Yogyakarta adalah institusi penerus kerajaan Mataram

Islam yang didirikan oleh Raja Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram pecah, diawali

oleh perang saudara yang dikenal dengan perang Mangkubumen, antara Raja Sunan

Pakubuwono II melawan adiknya sendiri yaitu Pangeran Mangkubumi. Menurut Ricklefs


2
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
(2002; 107-109), dengan adanya campur tangan penjajah Belanda, akhir dari perang

Mangkubumen ini adalah ditandatanganinya Perjanjiyan Giyanti (Perjanjian Giyanti) pada

tahun 1755 M yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, sebelah timur adalah

Kerajaan Surokarto Hadiningrat dengan Rajanya Sunan Pakubuwono III (putra dari Sunan

Pakubuwono II), dan sebelah barat adalah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat

(Yogyakarta) dengan rajanya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan

Hamengkubuwono I. Tahun 1755 ini juga dikenal sebagai peristiwa Paliyan Negari

(pembelahan negara), karena kerajaan Mataram dibelah menjadi dua, yaitu Surakarta dan

Yogyakarta. Karena perjuangannya melawan dan berusaha mengusir penjajah Belanda

yang telah menguasai kerajaan Mataram, maka Pangeran Mangkubumi atau Sultan

Hamengkubuwono I pada tahun 2006 mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari

Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dua pahlawan nasional dari Kraton Yogyakarta

yang lain adalah Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan

Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah Raja Mataram ke-3 yang juga diangkat menjadi

pahlawan nasional karena usahanya mengusir Belanda dari Batavia (Jakarta).

Kedua kraton Jawa baik Surakarta maupun Yogyakarta sampai saat ini masih

melestarikan prosesi ritual grebeg kraton. Ritual grebeg kraton yang menjadi bagian

tradisi kraton-kraton Jawa yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini masih

menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun manca negara. Antusiasme

masyarakat untuk menghadiri ritual grebeg kraton Jawa bisa mengukuhkan eksistensi

budaya Kraton Jawa Yogyakarta yang adiluhung, halus, dan klasik.

Permasalahan yang diangkat di sini adalah; Pertama, bagaimana masyarakat Jawa

Kejawen memaknai fenomena grebeg Kraton Yogyakarta pada masa kekinian? Ke-dua,

apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru?
3
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
Dengan memperhatikan deskripsi di muka dan berdasarkan pada dua permasalahan yang

ada maka tulisan ini akan berusaha menganalisis fenomena grebeg Kraton Yogyakarta.

Tujuan penulisan artikel ini adalah; Pertama, berusaha mendeskripsikan dan

menganalisis bagaimana masyarakat Jawa Kejawen memaknai fenomena grebeg Kraton

Yogyakarta pada masa kekinian. Kedua, berusaha mendeskripsikan dan menganalisis

apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru.

Tradisi grebeg yang berupa hajat Raja sebenarnya hanya diselenggarakan oleh

Kraton-kraton Jawa. Akan tetapi seiring perkembangan jaman maka di berbagai tempat

kemudian juga ikut-ikutan mengadakan ritual grebeg sebagai tradisi baru yang dilahirkan

demi alasan pariwisata budaya. Grebeg yang diadakan bukan oleh kraton pada masa lalu

dianggap tabu karena menyamai tradisi besar yang hidup di dalam kraton.

METODE PENELITIAN

Metode (prosedur) penelitian untuk mengumpulkan data tentang ritual grebeg di

Kraton Yogyakarta ini mengacu pada metode penelitian yang ada di dalam ilmu sosial.

Metode penelitian di dalam ilmu sosial ada 2 metode, yaitu; metode penelitian kualitatif

dan metode penelitian kuantitatif. Penelitian untuk mengumpulkan data tentang

pelaksanaan ritual grebeg di Kraton Kasultanan Yogyakarta ini dengan menggunakan

metode penelitian kualitatif. Teknik pengambilan data dengan teknik observation

(observasi), observation participatory (partisipasi observasi), dan depth interview

(wawancara mendalam). Peneliti juga melakukan perekaman data visual dengan

pemotretan memanfaatkan kamera foto, tetapi secara terpaksa data visual tidak

ditampilkan dalam tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan,

4
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan ritual,

tradisi, religi masyarakat Jawa, Kraton Yogyakarta, dan grebeg itu sendiri.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga yang lebih dipentingkan adalah

kualitas dan kedalaman data, bukan kuantitas data seperti pada metode penelitian

kuantitatif. Peneliti tidak memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada

hipotesa, tidak ada verifikasi data, tidak mencari korelasi antar variabel, tidak ada sebab

dan akibat (causality), tidak ada analisis data statistik, tidak ada prosentase responden

terhadap populasi, dan tidak ada istilah responden sebagai nara sumber pengumpulan data

karena itu semua adalah poin-poin ciri khas pada metode penelitian kuantitatif. Sebaliknya

peneliti memanfaatkan interview guidance (panduan atau pedoman wawancara) sebagai

instrumen penelitian, yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi di

lapangan saat melakukan wawancara mendalam. Nara sumber penggalian data adalah key

persons yang disebut sebagai informan, bukan responden. Penggalian data difokuskan

pada makna (meaning) yang ada di dalam pikiran informan terhadap fenomena yang dia

mengerti, dia alami, atau dia saksikan.

MAKNA TRADISI GUNUNGAN GREBEG KRATON

Hari Kamis tanggal 21 April 2005 yang bertepatan dengan kalender Tahun Jawa

tanggal 12 Mulud 1938 J, Kraton Kasultanan Yogyakarta kembali mengadakan ritual

garebeg (grebeg). Prosesi ritual grebeg berlangsung sekitar jam 09.00 sampai 11.00 WIB.

Ada 6 gunungan grebeg, 1 gunungan diberikan ke Puro Paku Alaman dan 5 gunungan

grebeg dibawa ke halaman Masjid Besar Kauman untuk dirayah (diperebutkan). Ritual

grebeg Mulud sebenarnya adalah rangkaian tradisi peringatan Maulud Nabi Muhammad

(lahirnya Nabi Muhammad) di Kraton Yogyakarta. Ritual ini diawali oleh pasar malam
5
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
selama 35 hari, disambung dengan ritual dibunyikannya 2 perangkat gamelan sekaten

milik Kraton selama 7 hari, dan puncaknya adalah pembacaan Risalah Maulid Nabi

Muhammad SAW oleh Pengulu Kraton yang dihadiri oleh Sultan Hamengkubuwono X di

serambi Masjid Besar Kauman sebelum 2 perangkat gamelan sekaten diboyong kembali

ke Kraton.

Terdapat keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah kinang) sambil

mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu, maka dia

akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih (nasi gurih)

sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera mendapatkan jodoh

yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti sapi, kerbau, atau

kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka cambuk itu akan

membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang berakar pada tradisi

masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi

ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada ritual grebeg

mulud di Kraton Yogyakarta pada saat penelitian ini dilakukan di bulan April 2005.

Religi masyarakat Jawa yang biasa disebut dengan Kejawen adalah sinkretisme

berbagai agama besar yang diadopsi dan disinkronkan dengan religi animisme dan

dinamisme. Animisme dan dinamisme telah ada sejak jaman dahulu kala sebelum agama-

agama besar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen-Katolik masuk ke Indonesia. Religi

kejawen dikenal sebagai produk monumental masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam

yang berpusat di Kotagede. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senopati Ing

Ngalogo. Raja selanjutnya yang merupakan keturunan beliau adalah Panembahan

Hanyokrowati Sedo Krapyak, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sunan Amangkurat, Sunan

Pakubuwono, dan Sultan Hamengkubuwono.


6
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
Ritual kejawen yang hidup dan sampai sekarang masih dipelihara oleh Kraton

Yogyakarta salah satunya adalah tradisi grebeg. Setiap kali diadakan ritual grebeg maka

Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta selalu meriah oleh iring-iringan grebeg yang disertai

oleh suara tembakan salvo dari senapan prajurit kraton dan diiringi oleh kelompok-

kelompok prajurit Kraton Yogyakarta.

Menurut Irwan (1986), unsur yang paling penting dalam upacara garebeg adalah

pemberian gunungan dari Raja. Gunungan adalah susunan berbagai jenis makanan dan

sayuran sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk gunung. Gunungan merupakan

hajat dalem atau kucah dalem yang dibagikan kepada kerabat kraton, para punggawa

(pegawai), dan masyarakat. Pada bagian akhir upacara, gunungan ini dirayah

(diperebutkan) oleh masyarakat setelah prosesi (pawai) dan didongani (didoakan).

Garebeg sendiri memiliki makna didatangi oleh orang banyak (disowani wong akeh),

diikuti oleh orang banyak (diirid dening bala akeh), atau diserbu orang banyak (dibyuki

dening wong akeh). Karena kraton disowani atau dibyuki oleh orang banyak maka raja

memberikan kucah dalem (hajat raja) untuk para tamunya, pegawainya, dan rakyatnya

yang sowan yang berupa gunungan.

Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga yang

terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat. Menurut

P.M. Laksono (1985), selamatan (slametan) adalah fenomena makan bersama (komuni)

dalam lingkup yang terbatas, sedangkan garebeg adalah fenomena makan bersama

(komuni) dalam lingkup yang lebih luas dan massal.

Irwan (1986) mengatakan, garebeg (grebeg) ada tiga macam dan diadakan tiga kali

dalam setahun yaitu; 1) Garebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12

Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
7
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
SAW, 2) Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda, yang diselenggarakan pada 1 Syawal yang

bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk menghormati bulan puasa,

malam lailatul qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah puasa selama sebulan, dan 3)

Garebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Bulan Besar (Bulan Dzulhijah)

yang bertujuan untuk merayakan hari raya Iedul Adha. Pada upacara garebeg besar ini

apabila bertepatan dengan Tahun Dal yang rotasinya setiap delapan tahun sekali (satu

windu) maka dirayakan secara istimewa dengan menambah satu gunungan yaitu gunungan

bromo atau kutuq yang puncaknya ada asap dan apinya.

Kalau dikatakan bahwa Raja mengeluarkan hadiah makanan (kucah dalem)

berupa gunungan grebeg kepada masyarakat, kemudian bagaimana masyarakat memaknai

ritual grebeg pada masa kekinian? Dua orang yang sedang menunggu keluarnya gunungan

grebeg di halaman Masjid Besar Yogyakarta, mengatakan bahwa mereka jauh-jauh datang

dari Temanggung bukan untuk mendapatkan makanan grebeg. Ada juga yang datang dari

Bantul, Sukoharjo, dan Malang. Mereka ingin berebut grebeg dengan maksud ngalap

berkah (mencari berkah) Sultan, di mana bagian grebeg yang berhasil dia rebut akan

disimpan di rumah, bukan untuk dimakan. Perilaku ini diyakini bisa mendatangkan berkah

keselamatan hidup dan kelancaran rejeki. Bagi seorang pedagang maka rejeki itu bisa

berupa dagangan yang laris dan selalu mendapat laba. Bagi petani maka berkah itu bisa

berupa tanaman pertanian yang selalu subur dan panen yang melimpah, dan bagi pegawai

berkah itu bisa berupa kemudahan naik pangkat yang disertai dengan gaji yang mudah

bertambah.

Menyimpan barang yang merupakan barang pemberian Ratu (Raja) juga terjadi

pada ritual nyebar udik-udik oleh Sultan pada malam terakhir dibunyikannya gamelan

sekaten. Yaitu pada malam hari menjelang dikeluarkannya gunungan grebeg. Udik-udik
8
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
yang berupa uang receh logam secara simbolik bermakna bahwa Sultan adalah pribadi

yang pemurah dan ber budi bowo leksono. Sultan memberikan hartanya kepada

masyarakat agar mereka hidup sejahtera. Sultan nyebar udik-udik di tiga tempat yaitu di

bangsal pagongan kidul tempat gamelan sekaten Kyai Guntur Madu dan di bangsal

pagongan lor tempat gamelan sekaten Kyai Nogowilogo. Pada 20 April 2005 malam

terlihat kerumunan masyarakat yang hiruk-pikuk saling berdesakan dan berebut

mendapatkan udik-udik yang disebar oleh Sultan. Setelah itu Sultan nyebar udik-udik di

dalam Masjid Besar Kauman di mana yang hadir adalah para tamu undangan, sentono

dalem (kerabat Raja), dan abdi dalem (pegawai kraton). Di dalam masjid juga terlihat

fenomena untuk mendapatkan udik-udik, hanya saja ada etika Jawa yang tidak

membolehkan untuk saling berebut karena tidak sopan. Udik-udik yang jatuh di pangkuan

atau yang jatuh didekatnya saja yang boleh diambil.

Masyarakat Jawa Kejawen memiliki keyakinan bahwa udik-udik tidak untuk

membeli sesuatu melainkan harus disimpan di rumah. Orang yang menyimpan udik-udik

meyakini bahwa udik-udik bisa menjadi pancingan rejeki, yaitu sarana yang bisa

memperlancar datangnya rejeki karena adanya berkah Raja seperti halnya pada fenomena

berebut gunungan grebeg.

Pada event dibunyikannya gamelan sekaten selama 7 hari terlihat para penjual

cambuk, nasi gurih, telor merah, dan seperangkat kinang (tembakau dan sirih). Seorang

lelaki tua penjual kinang yang datang dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah

mengatakan bahwa ada keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah kinang)

sambil mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu,

maka dia akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih

(nasi gurih) sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera
9
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
mendapatkan jodoh yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti

sapi, kerbau, atau kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka

cambuk itu akan membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang

berakar pada tradisi masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada

ritual grebeg mulud di Kraton Yogyakarta bulan April 2005.

Tentang tradisi, menurut Locher (1978; 170 dalam P.M. Laksono, 1985; 9-10),

tradisi adalah suatu dinamika dalam struktur masyarakat, tradisi bisa diartikan secara

diakronik maupun sinkronik. Secara diakronik maka tradisi dianggap sebagai nilai-nilai

kontinu dari masa lalu, yang dipertentangkan dengan modernitas yang penuh perubahan.

Tapi mempertentangkan tradisi dengan modernitas dalam kacamata berubah atau tidak

berubah juga tidak pas karena tradisi juga mengalami perubahan. Maka tradisi juga harus

dipahami secara sinkronik. Lebih lanjut Laksono (1985;10-11) mengatakan bahwa seperti

yang diungkapkan oleh Hesterman (1972; 3) di mana bagi Hesterman tradisi merupakan

jalan bagi masyarakat untuk merumuskan dan menanggapi persoalan dasar dari

keberadaannya yaitu kesepakatan yang dicapai masyarakat mengenai soal hidup mati,

termasuk di dalamnya soal makan dan minum. Dari sisi ini maka tradisi tidak berbeda

dengan kemodernan. Berhubung persoalan dasarnya tidak bisa dipecahkan, maka tradisi

harus memiliki sifat luwes dan cair sehingga bisa terus menerus menjaman (mengikuti

jaman). Tradisi tidak absolut tetapi harus situasional. Dengan demikian tradisi memberikan

tata transenden yang menjadi orientasi baku untuk melegitimasi tindakan manusia.

Masyarakat yang datang ke Kraton Yogyakarta dari berbagai penjuru daerah untuk

menyaksikan perayaan ritual Sekaten dan Grebeg, banyak yang datang tidak naik

kendaraan tetapi dengan berjalan kaki. Perilaku ini adalah wujud dari tirakat atau
10
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
nglakoni, atau menjalani laku prihatin sehingga berkah Dalem yang diharapkan menaungi

dirinya menjadi semakin kuat dan hebat. Akumulasi laku prihatin dan kepemilikan piranti

gunungan grebeg, udik-udik, nginang, membeli cambuk, dan makan nasi gurih bisa

memunculkan sugesti akan besarnya berkah Dalem (berkah Raja) kepada seseorang yang

menjadikan orang itu merasa selalu selamat, lancar rejeki, dan selalu tercapai

keinginannya. Tradisi tersebut saat ini masih bisa dijumpai pada ritual grebeg Kraton

Yogyakarta, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Dalam pengertian bahwa perilaku simbolik

seperti itu tidak dilakukan oleh semua orang yang datang ke arena ritual grebeg, ada juga

yang memaknai ritual grebeg secara berbeda-beda.

Perilaku simbolik yang merujuk pada simbol-simbol tertentu, bisa jadi dianggap

aneh oleh masyarakat lain yang bukan pemilik simbol tadi. Simbol bisa dianggap sangat

bermakna oleh suatu masyarakat, akan tetapi orang lain mungkin saja tidak memiliki

makna sama sekali atau hampa makna terhadap simbol tadi.

REMAKING TRADISI DALAM GERAKAN REFORMASI 1998

Fenomena pemberian makanan model grebeg pernah di-remaking di dalam

pisowanan ageng 20 Mei 1998 di Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta, satu hari sebelum

Presiden Soeharto lengser. Rakyat Yogyakarta berbondong-bondong datang menghadap

Sultan Hamengkubuwono. Karena didatangi oleh massa maka Sultan memberikan hadiah

makanan gunungan garebeg untuk dimakan bersama-sama. Di sini terjadi proses

remaking, di mana tradisi pisowanan ageng kemudian dibentuk kembali, dibuat lagi,

dilahirkan kembali, direproduksi, atau ditata ulang. Pisowanan ageng pada gerakan massa

20 Mei adalah hasil dari remaking tersebut. Ternyata apa yang terjadi pada pisowanan

ageng tiap Tahun Dal di mana pejabat dan rakyat (massa) datang menghadap kepada raja
11
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
sebagai tanda bakti kesetiaaan kepada raja dan adanya hadiah makanan gunungan garebeg

untuk dimakan bersama-sama oleh massa, masih tetap ada dalam pisowanan ageng 20

Mei walaupun dalam format yang berbeda.

Pada pisowanan ageng 20 Mei 1998, massa yang berbondong-bondong sowan atau

datang menghadap kepada Sultan bukan sebagai tanda bakti setia kepada raja, walaupun

masyarakat masih tetap menghargai Sultan sebagai tokoh masyarakat. Mereka

berbondong-bondong datang kepada Sultan adalah untuk ikut mendukung gerakan

reformasi, dan hal ini menjadi simbol perlawanan yang bisa mempercepat jatuhnya

Soeharto. Selain itu, pada pisowanan ageng 20 Mei, karena didatangi oleh massa maka

Sultan memberikan hadiah makanan gunungan garebeg untuk dimakan bersama-sama.

Akan tetapi pemberian makanan tersebut tidak berujud gunungan dan tidak dilakukan

secara langsung, tetapi melalui himbauan Sultan kepada masyarakat di sekitar jalan raya

yang akan dilalui oleh peserta gerakan massa yang menuju kraton, agar menyediakan

makanan dan minuman kepada peserta gerakan massa dengan diletakkan di pinggir-

pinggir jalan. Himbauan ini dilaksanakan oleh masyarakat, dan lautan massa yang datang

menuju kraton memakan serta meminumnya secara bersama-sama dengan gratis.

Massa yang berbondong-bondong melewati jalan raya kota Yogyakarta untuk

mendatangi pisowanan ageng 20 Mei di Kraton Yogyakarta, sebenarnya juga memiliki

potensi berbuat kekerasan dan anarki di jalanan yang mereka lewati. Apalagi jika kondisi

perut sedang lapar, jika tidak bisa dikontrol maka massa bisa melakukan apa saja

termasuk berbuat anarki demi memperoleh makanan sebagai pengisi perut. Nafsu amarah

juga mudah bangkit apabila perut sedang lapar. Rasa lapar dan haus adalah sifat alami

makluk hidup seperti manusia, sehingga kebutuhan makanan (pangan) adalah kebutuhan

primer bagi manusia--selain sandang dan papan.


12
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
Potensi bangkitnya nafsu amarah dan perilaku kekerasan kemudian bisa diantisipasi

atau diredam dan dijinakkan dengan model gunungan garebeg, di mana massa yang

datang kepada Sultan diberi kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah dari

Sultan untuk dimakan bersama. Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat

perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-

masing yang terlibat.

SIMPULAN

Setelah menganalisis fenomena grebeg Kraton Yogyakarta maka sampai di sini

perlu diambil suatu benang merah berupa simpulan. Gunungan grebeg adalah makanan

hadiah dari Raja (Sultan) kepada orang-orang yang datang sowan ke Kraton

Yogyakarta agar dimakan secara bersama-sama. Pada masa kekinian yang sudah

dianggap jaman modern, ternyata ada sebagian masyarakat Jawa yang masih meyakini

adanya berkah Raja lewat media barang berupa gunungan grebeg. Mereka

memperebutkan gunungan grebeg yang kemudian mereka simpan di rumah masing-

masing agar mendapatkan berkah dari Raja misalnya; kelancaran rejeki, panenan

tanaman pertanian yang melimpah, cepat naik pangkat, lancar jodoh, dsb.

Tradisi gunungan grebeg ternyata bisa di-reproduksi atau di-remaking oleh

Kraton Yogyakarta dan masyarakat yang mengadakan gerakan massa pisowanan

ageng tanggal 20 Mei 1998 untuk menuntut mundur Presiden Soeharto. Masyarakat

yang berbondong-bondong datang sowan kepada Sultan di Alun-alun Lor Kraton

Yogkarta diberi makanan dan minuman gratis di pinggir jalan-jalan yang menuju

Kraton. Model gunungan grebeg di-remaking menjadi himbauan Sultan kepada warga

di sekitar jalan-jalan yang dilalui oleh massa pisowanan ageng agar warga
13
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
menyediakan makanan dan minuman gratis kepada massa. Perut lapar dan terpaan

panas matahari yang dialami massa pisowanan ageng berpotensi membangkitkan

keberingasan dan amuk massa, tetapi dengan antisipasi model gunungan grebeg

akhirnya Kota Yogyakarta aman tanpa kerusuhan. Padahal kota-kota lain seperti

Jakarta, Surakarta, Palembang, Medan dll dilanda kerusuhan dan pembakaran oleh

massa yang menuntut Presiden Soeharto mundur. Satu hari setelah pisowanan ageng

yaitu tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto benar-benar mundur dari kursi presiden.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1986. Arti Simbolis Gunungan Kakung Pada Upacara Garebeg.
Laporan Akhir Sarjana Muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif Suatu
Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional.

Brata, Nugroho Trisnu. 2003. Gerakan Massa “Pisowanan Ageng” Remaking Tradisi
untuk Mendobrak Stagnasi Reformasi. Tesis S2 Program Studi Antropologi
UGM.

Laksono, P.M. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa; Kerajaan dan Pedesaan.
Yogyakarta: Gama Press.

Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah


Pembagian Jawa. Jogjakarta: Mata Bangsa.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan
Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Turner, Victor. 1966. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca New
York: Cornel University Press.

14
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.

Anda mungkin juga menyukai