Abstrak
PENDAHULUAN
Kota Yogyakarta selama ini dikenal sebagai Kota Pendidikan, Kota Perjuangan,
Kota Pariwisata, dan Kota Budaya. Sebagai Kota Pendidikan karena di Yogyakarta
terdapat universitas negeri tertua dan terbesar di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada
yang didirikan pada 19 Desember 1949. Para mahasiswa dari seluruh pelosok Indonesia
Yogyakarta bisa dijumpai mahasiswa atau pelajar yang berasal dari seluruh propinsi yang
1
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
ada di Indonesia dan terdapat asrama-asrama mahasiswa yang dibangun oleh masing-
adalah pelopor lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta, disusul oleh berpisahnya IKIP
Negeri Yogyakarta (kini UNY) dari UGM, lalu diikuti oleh munculnya berbagai
perguruan tinggi yang lain. Dari sini terlihat bahwa Yogyakarta adalah miniatur Indonesia
karena mahasiswa dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dan menuntut ilmu di
Yogyakarta.
Sebagai Kota Perjuangan, karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-
1949) Yogyakarta menjadi basis perjuangan TNI dan rakyat untuk mempertahankan
kemerdekaan. Kota Yogya pada masa itu juga menjadi Ibu Kota Indonesia untuk
menggantikan Jakarta yang dianggap tidak aman karena datangnya bala tentara sekutu
dan sekitarnya baik wisata alam, wisata belanja, wisata peninggalan budaya (cultural
artefak), wisata pertunjukan seni budaya (cultural behavior), maupun wisata religi Jawa
yang berhubungan dengan makam raja-raja Mataram. Sebagai Kota Budaya karena
keberadaan Kraton Yogyakarta yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jawa sekaligus
sebagai pemelihara nilai-nilai budaya Jawa yang halus, adiluhung, klasik namun modis,
dan aristokratis.
Islam yang didirikan oleh Raja Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram pecah, diawali
oleh perang saudara yang dikenal dengan perang Mangkubumen, antara Raja Sunan
tahun 1755 M yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, sebelah timur adalah
Kerajaan Surokarto Hadiningrat dengan Rajanya Sunan Pakubuwono III (putra dari Sunan
Hamengkubuwono I. Tahun 1755 ini juga dikenal sebagai peristiwa Paliyan Negari
(pembelahan negara), karena kerajaan Mataram dibelah menjadi dua, yaitu Surakarta dan
yang telah menguasai kerajaan Mataram, maka Pangeran Mangkubumi atau Sultan
Hamengkubuwono I pada tahun 2006 mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari
Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dua pahlawan nasional dari Kraton Yogyakarta
yang lain adalah Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan
Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah Raja Mataram ke-3 yang juga diangkat menjadi
Kedua kraton Jawa baik Surakarta maupun Yogyakarta sampai saat ini masih
melestarikan prosesi ritual grebeg kraton. Ritual grebeg kraton yang menjadi bagian
tradisi kraton-kraton Jawa yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini masih
menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun manca negara. Antusiasme
masyarakat untuk menghadiri ritual grebeg kraton Jawa bisa mengukuhkan eksistensi
Kejawen memaknai fenomena grebeg Kraton Yogyakarta pada masa kekinian? Ke-dua,
apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru?
3
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
Dengan memperhatikan deskripsi di muka dan berdasarkan pada dua permasalahan yang
ada maka tulisan ini akan berusaha menganalisis fenomena grebeg Kraton Yogyakarta.
apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru.
Tradisi grebeg yang berupa hajat Raja sebenarnya hanya diselenggarakan oleh
Kraton-kraton Jawa. Akan tetapi seiring perkembangan jaman maka di berbagai tempat
kemudian juga ikut-ikutan mengadakan ritual grebeg sebagai tradisi baru yang dilahirkan
demi alasan pariwisata budaya. Grebeg yang diadakan bukan oleh kraton pada masa lalu
dianggap tabu karena menyamai tradisi besar yang hidup di dalam kraton.
METODE PENELITIAN
Kraton Yogyakarta ini mengacu pada metode penelitian yang ada di dalam ilmu sosial.
Metode penelitian di dalam ilmu sosial ada 2 metode, yaitu; metode penelitian kualitatif
pemotretan memanfaatkan kamera foto, tetapi secara terpaksa data visual tidak
ditampilkan dalam tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan,
4
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan ritual,
tradisi, religi masyarakat Jawa, Kraton Yogyakarta, dan grebeg itu sendiri.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga yang lebih dipentingkan adalah
kualitas dan kedalaman data, bukan kuantitas data seperti pada metode penelitian
kuantitatif. Peneliti tidak memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada
hipotesa, tidak ada verifikasi data, tidak mencari korelasi antar variabel, tidak ada sebab
dan akibat (causality), tidak ada analisis data statistik, tidak ada prosentase responden
terhadap populasi, dan tidak ada istilah responden sebagai nara sumber pengumpulan data
karena itu semua adalah poin-poin ciri khas pada metode penelitian kuantitatif. Sebaliknya
lapangan saat melakukan wawancara mendalam. Nara sumber penggalian data adalah key
persons yang disebut sebagai informan, bukan responden. Penggalian data difokuskan
pada makna (meaning) yang ada di dalam pikiran informan terhadap fenomena yang dia
Hari Kamis tanggal 21 April 2005 yang bertepatan dengan kalender Tahun Jawa
garebeg (grebeg). Prosesi ritual grebeg berlangsung sekitar jam 09.00 sampai 11.00 WIB.
Ada 6 gunungan grebeg, 1 gunungan diberikan ke Puro Paku Alaman dan 5 gunungan
grebeg dibawa ke halaman Masjid Besar Kauman untuk dirayah (diperebutkan). Ritual
grebeg Mulud sebenarnya adalah rangkaian tradisi peringatan Maulud Nabi Muhammad
(lahirnya Nabi Muhammad) di Kraton Yogyakarta. Ritual ini diawali oleh pasar malam
5
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
selama 35 hari, disambung dengan ritual dibunyikannya 2 perangkat gamelan sekaten
milik Kraton selama 7 hari, dan puncaknya adalah pembacaan Risalah Maulid Nabi
Muhammad SAW oleh Pengulu Kraton yang dihadiri oleh Sultan Hamengkubuwono X di
serambi Masjid Besar Kauman sebelum 2 perangkat gamelan sekaten diboyong kembali
ke Kraton.
mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu, maka dia
akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih (nasi gurih)
sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera mendapatkan jodoh
yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti sapi, kerbau, atau
kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka cambuk itu akan
membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang berakar pada tradisi
masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada ritual grebeg
mulud di Kraton Yogyakarta pada saat penelitian ini dilakukan di bulan April 2005.
Religi masyarakat Jawa yang biasa disebut dengan Kejawen adalah sinkretisme
berbagai agama besar yang diadopsi dan disinkronkan dengan religi animisme dan
dinamisme. Animisme dan dinamisme telah ada sejak jaman dahulu kala sebelum agama-
agama besar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen-Katolik masuk ke Indonesia. Religi
kejawen dikenal sebagai produk monumental masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam
yang berpusat di Kotagede. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senopati Ing
Yogyakarta salah satunya adalah tradisi grebeg. Setiap kali diadakan ritual grebeg maka
Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta selalu meriah oleh iring-iringan grebeg yang disertai
oleh suara tembakan salvo dari senapan prajurit kraton dan diiringi oleh kelompok-
Menurut Irwan (1986), unsur yang paling penting dalam upacara garebeg adalah
pemberian gunungan dari Raja. Gunungan adalah susunan berbagai jenis makanan dan
hajat dalem atau kucah dalem yang dibagikan kepada kerabat kraton, para punggawa
(pegawai), dan masyarakat. Pada bagian akhir upacara, gunungan ini dirayah
Garebeg sendiri memiliki makna didatangi oleh orang banyak (disowani wong akeh),
diikuti oleh orang banyak (diirid dening bala akeh), atau diserbu orang banyak (dibyuki
dening wong akeh). Karena kraton disowani atau dibyuki oleh orang banyak maka raja
memberikan kucah dalem (hajat raja) untuk para tamunya, pegawainya, dan rakyatnya
terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat. Menurut
P.M. Laksono (1985), selamatan (slametan) adalah fenomena makan bersama (komuni)
dalam lingkup yang terbatas, sedangkan garebeg adalah fenomena makan bersama
Irwan (1986) mengatakan, garebeg (grebeg) ada tiga macam dan diadakan tiga kali
dalam setahun yaitu; 1) Garebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12
Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
7
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
SAW, 2) Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda, yang diselenggarakan pada 1 Syawal yang
bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk menghormati bulan puasa,
malam lailatul qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah puasa selama sebulan, dan 3)
Garebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Bulan Besar (Bulan Dzulhijah)
yang bertujuan untuk merayakan hari raya Iedul Adha. Pada upacara garebeg besar ini
apabila bertepatan dengan Tahun Dal yang rotasinya setiap delapan tahun sekali (satu
windu) maka dirayakan secara istimewa dengan menambah satu gunungan yaitu gunungan
ritual grebeg pada masa kekinian? Dua orang yang sedang menunggu keluarnya gunungan
grebeg di halaman Masjid Besar Yogyakarta, mengatakan bahwa mereka jauh-jauh datang
dari Temanggung bukan untuk mendapatkan makanan grebeg. Ada juga yang datang dari
Bantul, Sukoharjo, dan Malang. Mereka ingin berebut grebeg dengan maksud ngalap
berkah (mencari berkah) Sultan, di mana bagian grebeg yang berhasil dia rebut akan
disimpan di rumah, bukan untuk dimakan. Perilaku ini diyakini bisa mendatangkan berkah
keselamatan hidup dan kelancaran rejeki. Bagi seorang pedagang maka rejeki itu bisa
berupa dagangan yang laris dan selalu mendapat laba. Bagi petani maka berkah itu bisa
berupa tanaman pertanian yang selalu subur dan panen yang melimpah, dan bagi pegawai
berkah itu bisa berupa kemudahan naik pangkat yang disertai dengan gaji yang mudah
bertambah.
Menyimpan barang yang merupakan barang pemberian Ratu (Raja) juga terjadi
pada ritual nyebar udik-udik oleh Sultan pada malam terakhir dibunyikannya gamelan
sekaten. Yaitu pada malam hari menjelang dikeluarkannya gunungan grebeg. Udik-udik
8
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
yang berupa uang receh logam secara simbolik bermakna bahwa Sultan adalah pribadi
yang pemurah dan ber budi bowo leksono. Sultan memberikan hartanya kepada
masyarakat agar mereka hidup sejahtera. Sultan nyebar udik-udik di tiga tempat yaitu di
bangsal pagongan kidul tempat gamelan sekaten Kyai Guntur Madu dan di bangsal
pagongan lor tempat gamelan sekaten Kyai Nogowilogo. Pada 20 April 2005 malam
mendapatkan udik-udik yang disebar oleh Sultan. Setelah itu Sultan nyebar udik-udik di
dalam Masjid Besar Kauman di mana yang hadir adalah para tamu undangan, sentono
dalem (kerabat Raja), dan abdi dalem (pegawai kraton). Di dalam masjid juga terlihat
fenomena untuk mendapatkan udik-udik, hanya saja ada etika Jawa yang tidak
membolehkan untuk saling berebut karena tidak sopan. Udik-udik yang jatuh di pangkuan
membeli sesuatu melainkan harus disimpan di rumah. Orang yang menyimpan udik-udik
meyakini bahwa udik-udik bisa menjadi pancingan rejeki, yaitu sarana yang bisa
memperlancar datangnya rejeki karena adanya berkah Raja seperti halnya pada fenomena
Pada event dibunyikannya gamelan sekaten selama 7 hari terlihat para penjual
cambuk, nasi gurih, telor merah, dan seperangkat kinang (tembakau dan sirih). Seorang
lelaki tua penjual kinang yang datang dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah
mengatakan bahwa ada keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah kinang)
sambil mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu,
maka dia akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih
(nasi gurih) sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera
9
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
mendapatkan jodoh yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti
sapi, kerbau, atau kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka
cambuk itu akan membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang
berakar pada tradisi masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada
Tentang tradisi, menurut Locher (1978; 170 dalam P.M. Laksono, 1985; 9-10),
tradisi adalah suatu dinamika dalam struktur masyarakat, tradisi bisa diartikan secara
diakronik maupun sinkronik. Secara diakronik maka tradisi dianggap sebagai nilai-nilai
kontinu dari masa lalu, yang dipertentangkan dengan modernitas yang penuh perubahan.
Tapi mempertentangkan tradisi dengan modernitas dalam kacamata berubah atau tidak
berubah juga tidak pas karena tradisi juga mengalami perubahan. Maka tradisi juga harus
dipahami secara sinkronik. Lebih lanjut Laksono (1985;10-11) mengatakan bahwa seperti
yang diungkapkan oleh Hesterman (1972; 3) di mana bagi Hesterman tradisi merupakan
jalan bagi masyarakat untuk merumuskan dan menanggapi persoalan dasar dari
keberadaannya yaitu kesepakatan yang dicapai masyarakat mengenai soal hidup mati,
termasuk di dalamnya soal makan dan minum. Dari sisi ini maka tradisi tidak berbeda
dengan kemodernan. Berhubung persoalan dasarnya tidak bisa dipecahkan, maka tradisi
harus memiliki sifat luwes dan cair sehingga bisa terus menerus menjaman (mengikuti
jaman). Tradisi tidak absolut tetapi harus situasional. Dengan demikian tradisi memberikan
tata transenden yang menjadi orientasi baku untuk melegitimasi tindakan manusia.
Masyarakat yang datang ke Kraton Yogyakarta dari berbagai penjuru daerah untuk
menyaksikan perayaan ritual Sekaten dan Grebeg, banyak yang datang tidak naik
kendaraan tetapi dengan berjalan kaki. Perilaku ini adalah wujud dari tirakat atau
10
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
nglakoni, atau menjalani laku prihatin sehingga berkah Dalem yang diharapkan menaungi
dirinya menjadi semakin kuat dan hebat. Akumulasi laku prihatin dan kepemilikan piranti
gunungan grebeg, udik-udik, nginang, membeli cambuk, dan makan nasi gurih bisa
memunculkan sugesti akan besarnya berkah Dalem (berkah Raja) kepada seseorang yang
menjadikan orang itu merasa selalu selamat, lancar rejeki, dan selalu tercapai
keinginannya. Tradisi tersebut saat ini masih bisa dijumpai pada ritual grebeg Kraton
Yogyakarta, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Dalam pengertian bahwa perilaku simbolik
seperti itu tidak dilakukan oleh semua orang yang datang ke arena ritual grebeg, ada juga
Perilaku simbolik yang merujuk pada simbol-simbol tertentu, bisa jadi dianggap
aneh oleh masyarakat lain yang bukan pemilik simbol tadi. Simbol bisa dianggap sangat
bermakna oleh suatu masyarakat, akan tetapi orang lain mungkin saja tidak memiliki
pisowanan ageng 20 Mei 1998 di Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta, satu hari sebelum
Sultan Hamengkubuwono. Karena didatangi oleh massa maka Sultan memberikan hadiah
remaking, di mana tradisi pisowanan ageng kemudian dibentuk kembali, dibuat lagi,
dilahirkan kembali, direproduksi, atau ditata ulang. Pisowanan ageng pada gerakan massa
20 Mei adalah hasil dari remaking tersebut. Ternyata apa yang terjadi pada pisowanan
ageng tiap Tahun Dal di mana pejabat dan rakyat (massa) datang menghadap kepada raja
11
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
sebagai tanda bakti kesetiaaan kepada raja dan adanya hadiah makanan gunungan garebeg
untuk dimakan bersama-sama oleh massa, masih tetap ada dalam pisowanan ageng 20
Pada pisowanan ageng 20 Mei 1998, massa yang berbondong-bondong sowan atau
datang menghadap kepada Sultan bukan sebagai tanda bakti setia kepada raja, walaupun
reformasi, dan hal ini menjadi simbol perlawanan yang bisa mempercepat jatuhnya
Soeharto. Selain itu, pada pisowanan ageng 20 Mei, karena didatangi oleh massa maka
Akan tetapi pemberian makanan tersebut tidak berujud gunungan dan tidak dilakukan
secara langsung, tetapi melalui himbauan Sultan kepada masyarakat di sekitar jalan raya
yang akan dilalui oleh peserta gerakan massa yang menuju kraton, agar menyediakan
makanan dan minuman kepada peserta gerakan massa dengan diletakkan di pinggir-
pinggir jalan. Himbauan ini dilaksanakan oleh masyarakat, dan lautan massa yang datang
potensi berbuat kekerasan dan anarki di jalanan yang mereka lewati. Apalagi jika kondisi
perut sedang lapar, jika tidak bisa dikontrol maka massa bisa melakukan apa saja
termasuk berbuat anarki demi memperoleh makanan sebagai pengisi perut. Nafsu amarah
juga mudah bangkit apabila perut sedang lapar. Rasa lapar dan haus adalah sifat alami
makluk hidup seperti manusia, sehingga kebutuhan makanan (pangan) adalah kebutuhan
atau diredam dan dijinakkan dengan model gunungan garebeg, di mana massa yang
datang kepada Sultan diberi kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah dari
Sultan untuk dimakan bersama. Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat
perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-
SIMPULAN
perlu diambil suatu benang merah berupa simpulan. Gunungan grebeg adalah makanan
hadiah dari Raja (Sultan) kepada orang-orang yang datang sowan ke Kraton
Yogyakarta agar dimakan secara bersama-sama. Pada masa kekinian yang sudah
dianggap jaman modern, ternyata ada sebagian masyarakat Jawa yang masih meyakini
adanya berkah Raja lewat media barang berupa gunungan grebeg. Mereka
masing agar mendapatkan berkah dari Raja misalnya; kelancaran rejeki, panenan
tanaman pertanian yang melimpah, cepat naik pangkat, lancar jodoh, dsb.
ageng tanggal 20 Mei 1998 untuk menuntut mundur Presiden Soeharto. Masyarakat
Yogkarta diberi makanan dan minuman gratis di pinggir jalan-jalan yang menuju
Kraton. Model gunungan grebeg di-remaking menjadi himbauan Sultan kepada warga
di sekitar jalan-jalan yang dilalui oleh massa pisowanan ageng agar warga
13
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.
menyediakan makanan dan minuman gratis kepada massa. Perut lapar dan terpaan
keberingasan dan amuk massa, tetapi dengan antisipasi model gunungan grebeg
akhirnya Kota Yogyakarta aman tanpa kerusuhan. Padahal kota-kota lain seperti
Jakarta, Surakarta, Palembang, Medan dll dilanda kerusuhan dan pembakaran oleh
massa yang menuntut Presiden Soeharto mundur. Satu hari setelah pisowanan ageng
yaitu tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto benar-benar mundur dari kursi presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1986. Arti Simbolis Gunungan Kakung Pada Upacara Garebeg.
Laporan Akhir Sarjana Muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif Suatu
Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional.
Brata, Nugroho Trisnu. 2003. Gerakan Massa “Pisowanan Ageng” Remaking Tradisi
untuk Mendobrak Stagnasi Reformasi. Tesis S2 Program Studi Antropologi
UGM.
Laksono, P.M. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa; Kerajaan dan Pedesaan.
Yogyakarta: Gama Press.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan
Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Turner, Victor. 1966. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca New
York: Cornel University Press.
14
Nugroho Trisnu Brata-Antropologi UNNES-2010.