Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PELESTARIAN KOTA PUSAKA

GAGASAN TATA KELOLA NOMINASI WARISAN DUNIA


“THE COSMOLOGICAL AXIS OF YOGYAKARTA AND ITS HISTORIC LANDMARKS”
DENGAN SUDUT PANDANG WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA

Disusun oleh:
Nabiil Ikbaar Hernanda 20/456046/TK/50176

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
Pendahuluan

The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks adalah


kesaksian luar biasa untuk peradaban dan budaya Jawa, menunjukkan
pertukaran penting antara sistem kepercayaan dan nilai-nilai, dan secara
langsung terkait dengan tradisi hidup yang luar biasa, dan karya seni dan sastra.
Penempatan landmark di sepanjang Axis dirancang untuk mewujudkan
pemikiran filosofis Jawa tentang kehidupan manusia dalam bentuk fisik,
khususnya siklus kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi), kehidupan harmonis
yang ideal (Hamemayu Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan
manusia. Sang Pencipta (Manunggaling Kawula Gusti), dan dunia mikrokosmik
dan makrokosmik. Properti yang dinominasikan termasuk Kompleks Kraton dan
landmark (monumen, bangunan, dan ruang) yang terletak di sepanjang sumbu
selatan-utara sepanjang 6 km. Landmark tersebut terhubung secara spasial, baik
dalam desainnya, melalui ritual, dan oleh sistem pengelolaan tradisional
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks

Sumber: The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks Nomination Dossier
Nomination for Inscription on the World Heritage List

Semua landmark merespons lingkungan alam dan berada di dataran subur Jawa
antara Gunung Merapi, dianggap sebagai tempat tinggal roh penjaga, dan
Samudera Hindia, dianggap sebagai rumah Ratu Laut Selatan. Hal tersebut
tercermin dalam desain bangunan yang berada di sepanjang sumbu tersebut,
seperti Panggung Krapyak (berbentuk yoni) dan Tugu (berbentuk lingga), yang
seakan-akan meniru yang hubungan yang suci antara Gunung Merapi dan
Samudera Hindia meskipun pada skala yang lebih kecil. Lokasi Kraton dan kota
itu sengaja dipilih oleh Sultan Mangkubumi tahun 1755 agar sesuai dengan
kepercayaan Jawa. Ibu kota kerajaan dianggap sebagai miniatur alam semesta
(makrokosmos)

Konsep fundamental terwujud secara ragawi dalam bentuk fisik dari atribut
properti, termasuk Sumbu Filosofis, Monumen Panggung Krapyak, Kompleks
Kraton, Kompleks Tamansari, Kompleks Masjid Agung, Tugu, dan Makam Raja.
Signifikansi budaya yang berwujud atribut warisan dari properti yang
dinominasikan sangat erat kaitannya dengan budaya nonragawi, seperti kain
batik dan keris, serta pertunjukan musik gamelan dan wayang teater boneka
yang dipraktikkan oleh kesultanan dan masyarakat luas di Yogyakarta.
Keseluruhan aspek, baik ragawi maupun nonragawi, tersebut menjadi bagian
terpenting di dalam kota Yogyakarta sebagai kota pusaka.

Negara Indonesia merupakan negara berkembang. Kebanyakan kota di


Indonesia, tidak terkecuali kota Yogyakarta, terus-menerus mengalami
perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu. Perencanaan kota pusaka
Yogyakarta pun akan dihadapkan dengan masalah-masalah yang muncul dari
berbagai lapisan, seperti perbaikan struktur dan infrastruktur, pembangunan
ekonomi, penyediaan perumahan, dan pengentasan kemiskinan. Padahal,
banyak kawasan Yogyakarta yang berisi bangunan-bangunan tua dan berbagai
bentuk pusaka budaya yang harus dilestarikan. Aset-aset budaya tersebut harus
dilindungi agar tidak terkikis oleh perkembangan zaman. Di samping itu pula,
pusaka kota Yogyakarta ini harus dapat bertahan terhadap modernisasi kota.

Peran Kunci Pemerintah Daerah dalam Pelestarian Pusaka

Pemerintah daerah memiliki peran utama dalam pelestarian kota pusaka. Segala
kebijakan akan selalu berdasarkan persetujuan dari seorang Walikota.
Pemerintah daerah akan memainkan peran penting dalam proses pengambilan
keputusan tentang pengembangan perkotaan terpadu dan perencanaan
pelestarian sehingga nantinya dapat memperbaiki dan meningkatkan apa yang
telah dicapai oleh sebuah kota. Perencanaan dan pengelolaan kota-kota pusaka
dapat dilakukan dengan adanya pengembangan instrumen pelestarian kota-kota
pusaka. Delapan instrumen pelestarian dan pengelolaan Kota Pusaka Indonesia
adalah: 1) kelembagaan dan tata kelola kota pusaka; 2) inventarisasi dan
dokumentasi pusaka; 3) informasi, edukasi dan promosi kota pusaka; 4)
ekonomi kota pusaka; 5) pengelolaan risiko bencana untuk kota pusaka; 6)
pengembangan kehidupan budaya masyarakat; 7) perencanaan ruang kota dan
sarana prasarana; dan 8) olah desain bentuk kota pusaka

Instrumen-instrumen ini wajib digunakan dalam pengelolaan kota pusaka.


Dalam hal ini, penulis, melalui sudut padang sebagai Walikota Kota Yogyakarta,
ingin memberikan gagasan penulis tentang kebijakan-kebijakan pelestarian kota
pusaka yang akan diterapkan di Kota Yogyakarta.

Tata Kelola Kota Yogyakarta dengan Kebijakan ‘Sinergi Kolaborasi’

Kota Solo merupakan salah satu contoh yang baik dalam pelestarian kota
pusaka. Kepemimpinan Jokowi sebagai walikota Kota Solo dinilai berhasil. Hal
ini terlihat pada banyaknya capaian beliau, seperti revitalisasi skala besar
taman-taman bersejarah Balekambang dan Banjarsari, revitalisasi pasar
tradisional, pembangunan koridor Ngarsapura dan Citywalk. Sebagai walikota,
Jokowi menggunakan pendekatan manajemen tertentu yang memungkinkan
sinergi antara berbagai lembaga kota. Di dalam Pemerintah Kota Surakarta,
pendekatan ini secara informal disebut 'manajemen keroyokan'. Beliau
mengelola pejabat pemerintah kota, dari level tertinggi ke level terendah. Dia
menjadi kekuatan pendorong semua program pembangunan kota.

Penulis kemudian terinspirasi oleh kebijakan ‘keroyokan’ Jokowi dalam


mewujudkan upaya pelestarian Kota Solo sebagai kota pusaka. Alih-alih lembaga
pemerintahan saja, penulis sebagai walikota ingin melibatkan lembaga
pemerintahan, komunitas atau swasta, sekaligus masyarakat untuk turut serta
dalam upaya pelestarian kota pusaka. Perwujudan kota pusaka Kota Yogyakarta
nantinya memerlukan adanya kolaborasi dari berbagai pihak, baik antarlembaga
dalam pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan komunitas dan swasta,
atau komunitas dengan masyarakat. Dengan begitu, akan tercipta sebuah sinergi
yang harmonis sebab masyarakat di sini tidak dijadikan sebagai objek melainkan
sebagai subjek dalam kebijakan ‘Sinergi Kolaborasi’.
Lembaga pemerintahan dalam kebijakan ini mencakup seluruh badan
pemerintahan beserta jajarannya di tingkat daerah (sebagai sistem manajemen
modern) dan tata pemerintahan kesultanan keraton Yogyakarta (sebagai sistem
manajemen tradisional). Keduanya berperan penting pada tingkat pengambilan
keputusan dan kebijakan. Pemerintah kota dan keraton bertanggung jawab atas
keseluruhan manajemen strategis properti termasuk menangani strategis
perencanaan, koordinasi lintas sektoral, dan menangani setiap masalah tingkat
tinggi yang mungkin timbul. Selain itu, perlu dibuat unit khusus yang
kegiatannya difokuskan pada upaya pelestarian kota pusaka. Unit tersebut
nantinya akan mengkoordinasikan semua pemangku kepentingan dan bekerja
sama dengan kesultanan untuk pengelolaan properti dan mengkoordinasikan
komunitas masyarakat setempat.

Pihak Keraton memiliki peran untuk mengurus segala pusaka ragawi yang
kepemilikannya berada ditangannya, seperti keraton dan makam raja. Mereka
juga bertanggung jawab dalam mengadakan serangkaian acara seperti upacara
atau tradisi di dalam lingkungan tersebut sebagai upaya pelestarian pusaka
nonragawi. Komunitas dalam sistem manajemen kota pusaka merupakan
perwakilan dari masyarakat yang tinggal di sekitar 4 kawasan utama, yaitu
utara, selatan, tengah, dan makam raja. Komunitas ini nantinya merupakan
perwakilan dari masyarakat sekaligus menjadi penghubung antara masyarakat
dengan pemerintah. Komunitas ini memiliki berbagai peran, seperti
1)menyelenggarakan kegiatan edukasi dan promosi untuk masyarakat luas
dalam bentuk dokumentasi, presentasi, sosialisasi, advokasi, publikasi;
(2)membantu peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan;
(3)melakukan pemantauan dan evaluasi serta manajemen pelaporan
implementasi program dan kegiatan di tingkat kecamatan; (4)Melaksanakan
program pemberdayaan masyarakat, pemantauan, pemanfaatan, dan
pengendalian bangunan bersejarah di sepanjang sumbu filosofis.
Sistem Manajemen Kota Pusaka

Sumber: The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks Nomination Dossier
Nomination for Inscription on the World Heritage List

lnventarisasi, Analisis dan Penetapan Pusaka

Inventarisasi, analisis dan penetapan pusaka di Kota Yogyakarta dilakukan pada


tingkat lembaga pemerintahan. Seluruh pusaka yang berada di area sumbu
filosofis Yogyakarta, baik yang ragawi maupun nonragawi, perlu dikumpulkan
data lengkapnya, mulai dari lokasi, deskripsi, detail struktur (khusus bangunan),
dan kondisinya sekarang. Secara rinci, proses inventarisasi yang bisa dilakukan
adalah sebagai berikut: 1) Survei data primer merupakan kegiatan pengumpulan
posisi Benda Cagar Budaya melalui survei lapangan dengan GPS. Selain itu, juga
mengambil data tentang kondisi terakhir Benda Cagar Budaya tersebut melalui
foto dengan pemotretan langsung menggunakan kamera digital; 2) Survei data
sekunder merupakan kegiatan pengumpulan data angka dan peta serta tulisan
tentang hasil-hasil penelitian atau laporan tentang Benda Cagar Budaya di Kota
Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemungkinan telah tersedia
pada berbagai instansi terkait di Kota Yogyakarta maupun Propinsi D.I.
Yogyakarta; 3) Pengolahan data menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)
sehingga memungkinkan untuk dilakukan langkah-langkah pengambilan,
penyimpanan, pemeriksaan, pengintegrasian, memanipulasi, menganalisis dan
menampilkan data yang bereferensi secara spasial dengan bumi dan
memudahkan dalam melakukan analisis; 4) Inventarisasi dan pemetaan benda
cagar budaya memerlukan data yang bersifat spasial (berwujud peta). Namun
data peta tersebut haruslah juga terintegrasi dengan data tabular (tabel) yang
memuat informasi-informasi yang terkait dengannya. Data-data sekarang yang
sudah terkumpul dari seluruh pusaka selanjutnya dicari sejarahnya untuk
mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi pada masing-masing pusaka.

Informasi, Edukasi dan Promosi

Media informasi, tidak hanya cetak, tetapi juga digital, bisa digunakan untuk
menyampaikan informasi, edukasi, dan bahkan promosi. Pada level
pemerintahan, Walikota akan memberikan arahan desain besar bagaimana
upaya pelestarian kota pusaka ini dapat diketahui oleh khalayak luas. Misalnya,
dalam bidang pendidikan, dibuat kebijakan untuk menambah materi pusaka
sebagai muatan lokal kurikulum di sekolah mulai dari usia TK, SD hingga SMA.
Dalam bidang budaya, diadakan kegiatan festival atau event-event budaya
sebagai ajang promosi pusaka nonragawi. Festival tersebut dapat dibuat tematik
sesuai dengan aset budaya nonragawi yang ingin ditampilkan, misalnya Jogja
Batik Carnival, atau Jogja Culinary Festival. Level unit operasional kemudian
melakukan eksekusi segala bentuk wadah publikasi yang bisa dicapai oleh
masyarakat, seperti misalnya poster, spanduk, desain web, logo, majalah, artikel,
dan lain-lain. Pada akhirnya, komunitas akan menyebarluaskan segala informasi
yang sudah terbit. Upaya-upaya seperti berkomentar positif, membagikan
postingan, atau bahkan membuat informasi tersebut viral, nantinya akan dapat
meningkatkan animo masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pelestarian kota pusaka. Feedback dari masyarakat itu sendiri sangat
dibutuhkan untuk kemajuan program dari pemerintah daerah.

Ekonomi Kota Pusaka

Kota pusaka dalam memenuhi kesempatan yang terbuka di bidang ekonomi


perlu melakukan 7 langkah strategik, yaitu: (1) Bergerak mengolah juga pusaka-
pusaka yang bukan monumen; (2) Bergerak bukan dalam tujuan pariwisata
semata; (3) Memberikan prioritas pada bangunan pusaka sebagai bagian dari
kehidupan penduduk lokal; (4) Mengembangkan konsep pemakaian kembali
pusaka (adaptive reuse); (5) Kepemilikan / penggunanaan oleh banyak pihak
perlu tetap dipertimbangkan; (6) Tingkatkan regulasi dan insentif dalam
melestarikan karakter namun tetap mendorong investasi swasta; (7) Tunjukkan
dampak ekonomi dalam pelestarian pusaka.

Keterlibatan masyarakat dan swasta dalam mendorong tumbuh kembang


ekonomi kreatif dengan menggunakan aset pusaka kota merupakan langkah
yang harus diprioritaskan. Aset pusaka nonragawi yang merupakan bagaian dari
identitas masyarakat Yogyakarta, seperti batik, tarian, keris, gamelan
merupakan elemen yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap ekonomi kreatif kota dan mata pencaharian dari banyak orang.
Sementara, warisan ragawi seperti bangunan cagar budaya harusnya
difungsikan kembali supaya memberikan income. Meskipun demikian,
pariwisata bukanlah tujuan utama dalam usaha mengaktifkan kembali
bangunan cagar budaya. Sebab, masyarakat lokal lah yang seharusnya menjadi
prioritas utama dalam pelestarian kota pusaka, dan bukan turis-turis yang
datang. Hal tersebut selain melindungi keutuhan bangunan pusaka, juga
membuat ekonomi masyarakat meningkat.

Pengelolaan Risiko Bencana untuk Pusaka

Kajian tentang mitigasi bencana cagar budaya dilakukan pada tingkat


pemerintahan daerah. Area studi berbasis pada area properti yang
dinominasikan, zona buffer dan setting yang lebih luas. Adapun tujuan dari
kajian mitigasi bencana dalam pengelolaan risiko bencana untuk pusaka, antara
lain:
1) Mendapatkan data daerah rawan bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta;
2) Mendapatkan data situs cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan lokasi dan deskripsinya;
3) Melakukan uji kekuatan bangunan cagar budaya dan melakukan uji
laboratorium;
4) Mengintegrasikan data bangunan cagar budaya dan data kawasan rawan
bencana di Kawasan Khusus Wilayah Yogyakarta;
5) Mempersiapkan rekomendasi untuk upaya mitigasi structural;
6) Melengkapi inventarisasi daerah yang terkena bencana di Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk 10 tahun terakhir;
7) Melengkapi inventarisasi wilayah yang berpotensi terkena bencana alam di
Daerah Istimewa Yogyakarta selama 10 tahun terakhir dan melihat trend
perkembangannya;
8) Melakukan Focus Group Discussion dengan Bappeda, Dinas Kebudayaan,
Bencana Badan Pengelola Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas
Kabupaten/Kota dan lainnya instansi teknis untuk mendapatkan hasil yang
optimal;
9) Merancang upaya mitigasi struktural dalam penanggulangan bencana pada
bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta

Serangkaian kegiatan pengelolaan risiko bencana untuk pusaka dilakukan untuk


meminimalisasi risiko atau dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam
terhadap bangunan pusaka. Sebab, bencana alam pada dasarnya tidak dapat
diprediksi waktu dan tempat terjadinya serta dampak yang dihasilkan tidak
dapat dihindarkan entah itu bangunan biasa ataupun bangunan cagar budaya.

Pengembangan Kehidupan Budaya Masyarakat

Masyarakat, sebagai subjek, lagi-lagi diajak untuk berpartisipasi dalam upaya


pelestarian kota pusaka. Salah satunya dengan mengembangkan budaya yang
berada di sekitar mereka. Hal ini kaitannya dengan pelestarian pusaka
nonragawi, seperti batik, keris, tarian, dan musik tradisional, dan lain-lain. Hal
ini kemudian dikemas dalam bentuk yang lebih modern dengan diadakannya
pelatihan (workshop), pameran, atau bahkan fashion show untuk melestarikan
budaya. Ada yang sebagai panitia, ada juga yang sebagai peserta atau penonton.
Sementara, pemerintah hanya memberikan fasilitas ruang bagi mereka untuk
dapat berkreasi. Ditambah lagi, acara-acara budaya seperti itu dapat diadakan di
bangunan-bangunan cagar budaya untuk menambah nilai dari pusaka
nonragawi tersebut.

Perencanaan Ruang Kota dan Sarana Prasarana

Perencanaan Kota Yogyakarta perlu diatur agar bangunan pusaka dalam area
sumbu filosofis tidak terganggu. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan aturan
yang lebih mendalam dan operasional, terutama pada tataran Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL) atau urban design guideline. RTBL dapat
mengatur kawasan yang lebih baik, sebagai contoh pada aspek fasad dan
penampilan bangunan sehingga dibutuhkan aturan detail mengenai komponen
bangunan, seperti misalnya apa saja yang diperkenankan dan tidak, bentuk
massa bangunan dan ruang luar yang direkomendasikan hingga aspek
lansekapnya. Selain itu, dalam regulasi lain perlu tataran yang lebih tinggi yaitu
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). RDTR dapat membahas detail peraturan
bangunan yang antara lain meliputi GSB (Garis Sempadan Bangunan), KDB
(Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan) hingga KDH
(Koefisien Dasar Hijau) dan arsitektur bangunan secara makro. Perencanaan
kota tersebut hanya dapat dilakukan pada tingkat pemerintahan daerah sebagai
pembuat regulasi. Sementara, masyarakat perlu menaati peraturan yang berlaku
tersebut. Dengan begitu, tatanan bangunan baru yang bermunculan di Kota
Yogyakarta terutama pada area sumbu filosofis tidak akan merusak bangunan
pusaka baik secara fisik (struktur) maupun nonfisik (view).

Olah Desain Bentuk Kota Pusaka

Nilai-nilai warisan sebuah bangunan pusaka sulit dipertahanankan ketika pusat


kota juga merupakan tujuan wisata yang populer. Pengembangan pariwisata
yang tidak terencana dan tidak peka dapat dengan cepat mengubah karakter
warisannya. Keputusan sebuah kawasan pusaka dapat berlanjut atau tidak
ditentukan dengan adanya Heritage Impact Assessment (HIA) sebagai proses
wajib berdasarkan undang-undang. HIA adalah proses perencanaan yang sangat
diperlukan di bawah Konvensi Warisan Dunia UNESCO untuk menilai dampak
jangka panjang dari proyek pembangunan yang diusulkan di Situs Warisan
Dunia sebelum pekerjaan dimulai. Pengenalan HIA dilakukan melalui
serangkaian lokakarya pelatihan, Harapannya, kelompok profesional memiliki
kompetensi untuk mengelola pusaka kota. Selanjutnya, para ahli tersebut dapat
menganalisis tentang sejauh mana olah desain arsitektur pusaka dapat
dilakukan pada bangunan heritage. Jika diperlukan, pemerintah daerah perlu
membuat panduan tentang adaptive reuse bangunan bersejarah. Hal ini dirasa
penting sebab dengan berkembangnya zaman, bangunan-bangunan lama ini
tidak boleh kalah dengan bangunan baru di sekitarnya. Memasukkan fungsi baru
ke bangunan lama merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan value dari
bangunan lama. Adaptive reuse ini bisa menawarkan solusi bagi bangunan lama
yang awalnya terbengkalai menjadi berfungsi kembali dan bahkan mendapatkan
income.
Daftar Pustaka
The Cosmological Axis Of Yogyakarta And Its Historic Landmarks Management Plan
The Cosmological Axis Of Yogyakarta And Its Historic Landmarks Nomination Dossier
Nomination For Inscription On The World Heritage List
Laporan Akhir Rencana Aksi Kota Pusaka Yogyakarta
Pelestarian Kota Pusaka Surakarta Pemerintahan Dan Tata Kelola Di Bawah
Kepemimpinan Walikota Joko Widodo Dari Tahun 2005 Hingga 2012
Kota Pusaka Sebagai Pembangkit Ekonomi Kreatif Di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai