Disusun oleh:
Nabiil Ikbaar Hernanda 20/456046/TK/50176
Sumber: The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks Nomination Dossier
Nomination for Inscription on the World Heritage List
Semua landmark merespons lingkungan alam dan berada di dataran subur Jawa
antara Gunung Merapi, dianggap sebagai tempat tinggal roh penjaga, dan
Samudera Hindia, dianggap sebagai rumah Ratu Laut Selatan. Hal tersebut
tercermin dalam desain bangunan yang berada di sepanjang sumbu tersebut,
seperti Panggung Krapyak (berbentuk yoni) dan Tugu (berbentuk lingga), yang
seakan-akan meniru yang hubungan yang suci antara Gunung Merapi dan
Samudera Hindia meskipun pada skala yang lebih kecil. Lokasi Kraton dan kota
itu sengaja dipilih oleh Sultan Mangkubumi tahun 1755 agar sesuai dengan
kepercayaan Jawa. Ibu kota kerajaan dianggap sebagai miniatur alam semesta
(makrokosmos)
Konsep fundamental terwujud secara ragawi dalam bentuk fisik dari atribut
properti, termasuk Sumbu Filosofis, Monumen Panggung Krapyak, Kompleks
Kraton, Kompleks Tamansari, Kompleks Masjid Agung, Tugu, dan Makam Raja.
Signifikansi budaya yang berwujud atribut warisan dari properti yang
dinominasikan sangat erat kaitannya dengan budaya nonragawi, seperti kain
batik dan keris, serta pertunjukan musik gamelan dan wayang teater boneka
yang dipraktikkan oleh kesultanan dan masyarakat luas di Yogyakarta.
Keseluruhan aspek, baik ragawi maupun nonragawi, tersebut menjadi bagian
terpenting di dalam kota Yogyakarta sebagai kota pusaka.
Pemerintah daerah memiliki peran utama dalam pelestarian kota pusaka. Segala
kebijakan akan selalu berdasarkan persetujuan dari seorang Walikota.
Pemerintah daerah akan memainkan peran penting dalam proses pengambilan
keputusan tentang pengembangan perkotaan terpadu dan perencanaan
pelestarian sehingga nantinya dapat memperbaiki dan meningkatkan apa yang
telah dicapai oleh sebuah kota. Perencanaan dan pengelolaan kota-kota pusaka
dapat dilakukan dengan adanya pengembangan instrumen pelestarian kota-kota
pusaka. Delapan instrumen pelestarian dan pengelolaan Kota Pusaka Indonesia
adalah: 1) kelembagaan dan tata kelola kota pusaka; 2) inventarisasi dan
dokumentasi pusaka; 3) informasi, edukasi dan promosi kota pusaka; 4)
ekonomi kota pusaka; 5) pengelolaan risiko bencana untuk kota pusaka; 6)
pengembangan kehidupan budaya masyarakat; 7) perencanaan ruang kota dan
sarana prasarana; dan 8) olah desain bentuk kota pusaka
Kota Solo merupakan salah satu contoh yang baik dalam pelestarian kota
pusaka. Kepemimpinan Jokowi sebagai walikota Kota Solo dinilai berhasil. Hal
ini terlihat pada banyaknya capaian beliau, seperti revitalisasi skala besar
taman-taman bersejarah Balekambang dan Banjarsari, revitalisasi pasar
tradisional, pembangunan koridor Ngarsapura dan Citywalk. Sebagai walikota,
Jokowi menggunakan pendekatan manajemen tertentu yang memungkinkan
sinergi antara berbagai lembaga kota. Di dalam Pemerintah Kota Surakarta,
pendekatan ini secara informal disebut 'manajemen keroyokan'. Beliau
mengelola pejabat pemerintah kota, dari level tertinggi ke level terendah. Dia
menjadi kekuatan pendorong semua program pembangunan kota.
Pihak Keraton memiliki peran untuk mengurus segala pusaka ragawi yang
kepemilikannya berada ditangannya, seperti keraton dan makam raja. Mereka
juga bertanggung jawab dalam mengadakan serangkaian acara seperti upacara
atau tradisi di dalam lingkungan tersebut sebagai upaya pelestarian pusaka
nonragawi. Komunitas dalam sistem manajemen kota pusaka merupakan
perwakilan dari masyarakat yang tinggal di sekitar 4 kawasan utama, yaitu
utara, selatan, tengah, dan makam raja. Komunitas ini nantinya merupakan
perwakilan dari masyarakat sekaligus menjadi penghubung antara masyarakat
dengan pemerintah. Komunitas ini memiliki berbagai peran, seperti
1)menyelenggarakan kegiatan edukasi dan promosi untuk masyarakat luas
dalam bentuk dokumentasi, presentasi, sosialisasi, advokasi, publikasi;
(2)membantu peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan;
(3)melakukan pemantauan dan evaluasi serta manajemen pelaporan
implementasi program dan kegiatan di tingkat kecamatan; (4)Melaksanakan
program pemberdayaan masyarakat, pemantauan, pemanfaatan, dan
pengendalian bangunan bersejarah di sepanjang sumbu filosofis.
Sistem Manajemen Kota Pusaka
Sumber: The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks Nomination Dossier
Nomination for Inscription on the World Heritage List
Media informasi, tidak hanya cetak, tetapi juga digital, bisa digunakan untuk
menyampaikan informasi, edukasi, dan bahkan promosi. Pada level
pemerintahan, Walikota akan memberikan arahan desain besar bagaimana
upaya pelestarian kota pusaka ini dapat diketahui oleh khalayak luas. Misalnya,
dalam bidang pendidikan, dibuat kebijakan untuk menambah materi pusaka
sebagai muatan lokal kurikulum di sekolah mulai dari usia TK, SD hingga SMA.
Dalam bidang budaya, diadakan kegiatan festival atau event-event budaya
sebagai ajang promosi pusaka nonragawi. Festival tersebut dapat dibuat tematik
sesuai dengan aset budaya nonragawi yang ingin ditampilkan, misalnya Jogja
Batik Carnival, atau Jogja Culinary Festival. Level unit operasional kemudian
melakukan eksekusi segala bentuk wadah publikasi yang bisa dicapai oleh
masyarakat, seperti misalnya poster, spanduk, desain web, logo, majalah, artikel,
dan lain-lain. Pada akhirnya, komunitas akan menyebarluaskan segala informasi
yang sudah terbit. Upaya-upaya seperti berkomentar positif, membagikan
postingan, atau bahkan membuat informasi tersebut viral, nantinya akan dapat
meningkatkan animo masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pelestarian kota pusaka. Feedback dari masyarakat itu sendiri sangat
dibutuhkan untuk kemajuan program dari pemerintah daerah.
Perencanaan Kota Yogyakarta perlu diatur agar bangunan pusaka dalam area
sumbu filosofis tidak terganggu. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan aturan
yang lebih mendalam dan operasional, terutama pada tataran Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL) atau urban design guideline. RTBL dapat
mengatur kawasan yang lebih baik, sebagai contoh pada aspek fasad dan
penampilan bangunan sehingga dibutuhkan aturan detail mengenai komponen
bangunan, seperti misalnya apa saja yang diperkenankan dan tidak, bentuk
massa bangunan dan ruang luar yang direkomendasikan hingga aspek
lansekapnya. Selain itu, dalam regulasi lain perlu tataran yang lebih tinggi yaitu
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). RDTR dapat membahas detail peraturan
bangunan yang antara lain meliputi GSB (Garis Sempadan Bangunan), KDB
(Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan) hingga KDH
(Koefisien Dasar Hijau) dan arsitektur bangunan secara makro. Perencanaan
kota tersebut hanya dapat dilakukan pada tingkat pemerintahan daerah sebagai
pembuat regulasi. Sementara, masyarakat perlu menaati peraturan yang berlaku
tersebut. Dengan begitu, tatanan bangunan baru yang bermunculan di Kota
Yogyakarta terutama pada area sumbu filosofis tidak akan merusak bangunan
pusaka baik secara fisik (struktur) maupun nonfisik (view).