Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL


PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan pada bab

sebelumnya, maka peranan buku, jurnal maupun artikel ilmiah yang berkaitan

dengan penelitian ini sangat diperlukan untuk mendapatkan konsep, landasan teori

serta model penelitian yang sesuai dengan permasalahan. Sub bab ini penulis

meninjau beberapa buah tulisan yang berkaitan dengan permasalahan. Adapun

beberapa pustaka yang ditinjau adalah sebagai berikut.

Mc Gee (1967) dalam bukunya The Southeast Asian City: A Social

Geography of the Primates Cities of Southeast Asia, secara garis besar kota-kota

kolonial di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

a. Pemukiman sudah stabil.

b. Terdapat garnisun dan pemukiman pedagang yang merupakan tempat

untuk melakukan kontak perdagangan dan maupun perjanjian antara

penguasa kolonial dan pribumi.

c. Ciri penting kota kolonial yaitu lokasinya dekat laut ataupun sungai.

Ciri yang ketiga dikatakan penting pada kota kolonial karena

keberadaan kota di sekitar laut atau sungai dapat mempermudah arus

ekspor dan impor.

17
18

Ciri-ciri kota kolonial di Indonesia berdasarkan buku tersebut dapat

memberikan acuan dan penjelasan terhadap ciri–ciri Kota Cepu sebagai kota

kolonial di Indonesia berkembang pesat pada masa kolonial.

Buku Spatial Archaeology (1977), menurut David L. Clarke kajian

arkeologi keruangan merupakan pendekatan arkeologi yang memberi tekanan

perhatian pada dimensi ruang benda-benda arkeologi dan situs. Arkeologi

keruangan pada dasarnya merupakan kajian dalam arkeologi yang mempelajari

ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lampau, sekaligus

mempelajari pula hubungan antarruang dalam satu situs, sistem situs, beserta

lingkungannya. Arkeologi keruangan menitik-beratkan pada sebaran dan

hubungan keruangan pada pusat aktivitas manusia, baik dalam skala mikro

(micro), meso (semi-micro), dan makro (macro). Kajian arkeologi keruangan

(space) dapat diterapkan pada penelitian arkeologi perkotaan. Buku ini dijadikan

acuan untuk mengetahui hubungan antarbangunan atau keterkaitan bangunan

komponen pembentuk kota dengan komponen lain pada kota tersebut. Dapat

diketahui juga pola perkembangan tata kota dalam sebuah kota dalam batasan

skala mikro, meso ataupun makro. Arkeologi ruang juga membantu mempelajari

batasan-batasan mikro yaitu sebaran dan hubungan lokasional antarbenda

arkeologi dan ruang-ruang dalam suatu bangunan, skala meso yaitu sebaran dan

hubungan lokasional antara artefak dan bangunan atau fitur dalam satu situs,

sedangkan skala makro yaitu sebaran dan hubungan lokasional antarbenda

arkeologi dan situs-situs dalam satu kawasan.


19

Menurut Mundardjito (1990) dalam artikel “Metode Penelitian Permukiman

Arkeologis”, yang terangkum dalam buku Monumen: Karya Persembahan untuk

Prof. Dr. R. Soekmono, Arkeologi Permukiman adalah bagian dari ilmu arkeologi

yang mempelajari tata letak dan hubungan peninggalan arkeologi di dalam satuan

ruang. Tujuan ilmu arkeologi untuk memahami sistem teknologi, sosial, dan

ideologi masyarakat masa lalu. Tiga hal yang menjadi ciri pokok studi

permukiman yaitu persebaran, hubungan-hubungan dan satuan ruang, serta

asumsi-asumsi dasar yang melatarinya. Studi permukiman dapat menggunakan

data persebaran peninggalan arkeologi di muka bumi serta pola persebaran dari

bukti-bukti kegiatan manusia menjadi pola pikir dan pola tindakan masyarakat

masa lalu. Artikel yang mengkaji tentang arkeologi permukiman ini dapat

membantu memberikan informasi mengenai pemikiran yang dilakukan

masyarakat di masa lalu dan mengatahui persebaran kegiatan manusia pendukung

sebuah kota serta mengetahui pola persebaran bangunan atau tinggalan dari

sebuah kota.

Ambary (1998), dalam bukunya yang berjudul “Menemukan Peradaban :

Arkeologi dan Islam di Indonesia”, menjelaskan pembahasan kota dari sudut

pandang arkeologi, dengan menggunakan 2 analisis. Analisis yang pertama yaitu

analisis yang berkaitan dengan masalah kronologis seperti asal-usul berdirinya

kota serta perkembangan kota. Analisis yang kedua yaitu analisis yang berkaitan

dengan tinggalan fisik budaya material seperti tata letak, toponimi serta sisa

bangunan yang terdapat pada kota. Buku ini dapat dijadikan sebagai referensi

dalam penelitian ini untuk mengetahui proses perkembangan sebuah kota melalui
20

analisis kronologi dan analisis budaya material. Dua analisis tersebut dapat

diterapkan dalam upaya pelestarian kota dan dapat diterapkan dalam menjawab

permasalahan mengenai perkembangan Kota Cepu sehingga dapat dijelaskan dari

sisi kronologis Kota Cepu baik mengenai asal usul hingga perkembangan kotanya.

Pada sisi material culture dapat dijelaskan mengenai tata letak atau lay-out Kota

Cepu dan dapat dilihat berdasarkan sisa bangunan yang dibangun pada masa

tersebut. Berdasarkan data yang sudah ada digabung dan hasilnya memberikan

sebuah gambaran yang terdiri atas beberapa fase perkembangan kota. Data

bersumber atas data tertulis, toponim, peta lama, serta sisa-sisa bangunan.

Adrisijanti (2000) dalam bukunya yang berjudul “Arkeologi Perkotaan

Mataram Islam”, Kajian dari arkeologi perkotaan pada dasarnya mengarah kepada

totalitas kota sebagai situs hunian yang menjelaskan alasan-alasan lokasional,

dukungan atas keberadaan kota, serta proses adaptasi masyarakat kota dan juga

dalam penelitian arkeologi perkotaan. Permasalahan pokoknya adalah mengenai

tata kota, serta masalah kronologi merupakan salah satu hal yang diketengahkan.

Buku ini dapat digunakan sebagai sumber untuk mengetahui faktor-faktor

pembentuk kota dan mengetahui proses perkembangan suatu kota serta

mengetahui unsur-unsur pembentuk kota pada masa lalu.


21

2.2 Konsep

Konsep merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu penelitian,

karena melalui konsep akan didapatkan batasan pengertian yang dijelaskan.

Pembatasan konsep tersebut perlu dilakukan demi mencegah terjadinya suatu

kesalahpahaman terhadap judul yang dibahas oleh peneliti. Berpedoman pada

judul penelitian ini kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang diangkat

oleh penulis pada penelitian ini, maka dikemukakan beberapa konsep yaitu

perkembangan tata ruang kota, kota kolonial, dan kota akhir abad XIX sampai

awal abad XX.

2.2.1 Perkembangan Tata Ruang Kota

Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995:52) sangat

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam

suatu perencanaan kota secara komprehensif. Faktor internal yang mempengaruhi

perkembangan kota sebagai berikut.

a) Keadaan geografis yang mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota.

Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalya perlu terletak

di simpul jalur transportasi, di pertemuan jalur transportasi regional

atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai, misalnya akan cenderung

berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah

pelabuhan laut.

b) Tapak (site) merupakan faktor-faktor kedua yang mempengaruhi

perkembangan suatu kota. Salah satu yang dipertimbangkan dalam

kondisi tapak adalah topografi. Kota yang berlokasi di dataran yang


22

rata akan mudah berkembang ke semua arah, sedangkan yang

berlokasi di pegunungan biasanya mempunyai kendala topografi.

Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah

patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.

c) Fungsi kota juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan kota. Kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya

secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih pesat

daripada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota

yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang

lebih pesat daripada kota berfungsi lainnya. Lima fungsi kota yang

dapat mencerminkan karakteristik struktur ruang suatu kota, yaitu: (a)

kota sebagai tempat kerja, (b) kota sebagai tempat tinggal, (c)

pergerakan dan transportasi, (d) kota sebagai tempat investasi, dan (e)

kota sebagai arena politik.

d) Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik fisik dan

sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu

kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak

awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan culture

masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat

tempat-tempat tertentu yang menurut kepercayaan dihindari untuk

perkembangan tertentu.
23

e) Unsur-unsur umum, misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih

berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, dan ketersediaan unsur-

unsur umum menarik kota ke arah tertentu.

Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik

direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan

pemanfaatan ruang. Tata ruang dalam konteks kota, wujud struktural pemanfaatan

ruang kota adalah hirarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota,

pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem

prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Pola

pemanfaatan ruang kota adalah bentuk yang menggambarkan ukuran, fungsi, dan

karakteristik kegiatan perkotaan. Tata ruang kota lebih kompleks, sehingga perlu

lebih diperhatikan dan direncanakan dengan baik. Tata ruang kota adalah

menentukan, merencanakan, dan memastikan penggunaan ruang secara

proposional sehingga dapat memenuhi berbagai aspek kegiatan ekonomi, sosial,

dan lingkungan hidup kawasan kota. Menurut Pontoh & Kustiawan (2009:52),

unsur pembentuk struktur tata ruang kota terdiri dari pusat kegiatan, kawasan

fungsional, dan jaringan jalan. Kota atau kawasan perkotaan pada dasarnya dapat

dipandang sebagai suatu sistem spasial, yang secara internal mempunyai unsur-

unsur yang menjadi pembentuknya serta keterkaitannya satu sama lain. Konsep

mengenai tata ruang kota ini dapat membantu memberikan informasi mengenai

pola pemukiman dan pemanfaatan wilayah di suatu kota.

Perkembangan tata ruang kota dalam penelitian ini yaitu perluasan atau

penambahan wilayah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk kota dengan


24

menentukan dan merencanakan penggunaan wilayah kota secara bertahap

sehingga pemanfaatan wilayah perkotaan sesuai dengan perencanaan.

2.2.2 Kota Kolonial

Secara etimologi, kota berasal dari bahasa Sansekerta, koṭa yang berarti

benteng atau kawasan yang dikelilingi benteng (Astra, 1983:114). Inti pengertian

kota merupakan wilayah pemukiman yang berada dalam suatu batas wilayah

tertentu. Arti kata kota dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1) kota adalah

dinding (tembok) yang mengelilingi benteng atau tempat pertahanan, (2) kota

merupakan perkampungan yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan

kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat, (3) kota adalah daerah

yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990:463). Menurut Perret (1999:247),

pada masa lampau istilah kota merupakan gambaran untuk suatu wilayah

pemukiman urban atau urban settlement yang mempunyai pertahanan. Pada masa

lalu, kota-kota di Indonesia menggunakan batas-batas kota berupa dinding atau

menyerupai seperti benteng untuk pertahanan, akan tetapi untuk masa sekarang,

batas kota lebih cenderung pada sebuah wilayah administratif yang sudah

disepakati bersama.

Pengertian kolonial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

berhubungan atau berkenaan dengan sifat-sifat jajahan (Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1990:451). Kata koloni berasal dari bahasa latin colonia yang

artinya tanah, tanah pemukiman atau jajahan. Sejarah perkembangan koloni,

politik kolonial modern mulai tumbuh semarak sejak abad XVI. Bangsa yang
25

disebut kolonisator pertama yaitu bangsa Portugis dan Spanyol. Abad berikutnya

bangsa Inggris, Perancis, dan Belanda yang menguasai sebagian Amerika Utara,

Hindia Barat (Kepulauan Karibia), Hindia Muka (Asia Selatan) dan Hindia Timur

(Hindia Belanda), dan Afrika Selatan.

Kota kolonial dalam penelitian ini yaitu suatu wilayah atau daerah jajahan

yang memiliki batas-batas kota secara administratif. Konsep ini dijadikan dasar

yang nantinya dapat membantu mengetahui konsep yang digunakan dalam

mengetahui batasan-batasan mengenai kota dan pembagian wilayah kota.

2.2.3 Kota Akhir Abad XIX sampai Awal Abad XX

Akhir abad XIX sampai awal abad XX merupakan periode sejarah pada

tahun 1890 -1945. Pada abad XIX kota di Indonesia semakin pesat berkembang,

salah satu tinggalan dalam kota kolonial yaitu bangunan dengan gaya Eropa,

Indis, dan modern yang dibangun oleh masyarakat pendukung kota seperti

pemerintah kolonial, perusahaan swasta, dan masyarakat pribumi. Kumpulan atas

beberapa bangunan tersebut mengelompok dan berdiri kokoh sehingga

membentuk suatu pola permukiman. Menurut Dennys Lombard, dalam Sumalyo

(1993), menjelaskan pada abad XIX sampai dengan Abad XX kota-kota yang

berada di wilayah Asia Tenggara berkembang dengan pesat.

Perkembangan kota di Indonesia pada abad XIX sampai abad XX dapat

dilihat dari beberapa kota besar seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Bogor,

Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada masa ini, kota-kota mengalami

perkembangan karena dilandasi dengan pemikiran perencanaan kota modern,

beberapa pengaruh yang mendasari perkembangan perencanaan kota antara lain,


26

Revolusi Industri, Politik Kulturstelsel, Politik Etika (Etische Politik), dan

pengembangan perangkat institusi serta konstitusi baru.

Kota akhir abad XIX sampai awal abad XX dalam penelitian ini yaitu

suatu wilayah atau daerah yang berkembang pada tahun kisaran 1880 - 1950,

sehingga dapat diketahui batasan kota berkembang pada masa tersebut. Konsep ini

dijadikan dasar yang nantinya dapat membantu mengetahui konsep yang

digunakan dalam mengetahui perencanaan yang dibuat dalam perkembangan

suatu kota yang dibagi pada periode pembangunan kota.

2.2.4 Arkeologi Keruangan Skala Makro

Arkeologi keruangan pada skala makro pada buku Spatial Archaeology

(1977), menurut David L. Clarke merupakan kajian dalam arkeologi yang

mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa

lampau, sekaligus mempelajari pula hubungan antarruang dalam satu situs, sistem

situs, beserta lingkungannya. Arkeologi keruangan menitik-beratkan pada sebaran

dan hubungan keruangan pada pusat aktivitas manusia pada skala makro. Skala

makro mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda-benda

arkeologi dan situs dalam suatu kawasan. Keseluruhan wilayah Kota Cepu

merupakan kawasan, blok-blok area wilayah (wilayah indutri BPM, NIS,

Boschwezen, pemukiman pecinan, dan pemukiman pribumi) merupakan situs, dan

komponen pembentuk kota merupakan benda-benda arkeologi.

Penelitian ini memberikan informasi sebaran-sebaran komponen

pembentuk kota sebagai benda arkeologi dan situs pada kawasan Kota Cepu serta
27

memberikan informasi hubungan masing-masing komponen pembentuk kota pada

kawasan Kota Cepu.

2.3 Landasan Teori

Teori dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena teori yang digunakan

untuk membantu menjawab semua pertanyaan sehingga tujuan penelitian bisa

tercapai, meski tidak semua teori dapat dipergunakan karena diperlukan teori yang

sesuai dengan arah penelitian yang dituju.

2.3.1 Teori Sektor

Teori sektor merupakan salah satu bagian dari teori struktur kota klasik

yang dicetuskan oleh Homer Hyot pada tahun 1939 yang mengamati pola tata

kota pada 140 kota di Amerika Serikat. Teori ini menjelaskan mengenai

perkembangan kota dipengaruhi oleh faktor ketersedian jaringan jalan

aksesibilitas yang memadai seperti rel kereta api dan jaringan jalan, dengan

demikian perkembangan kota seolah-olah akan terlihat berkembang ke arah

menjauh dari pusat kota (Yunus, 1994:14-15). Hyot membagi wilayah suatu kota

tersebut yaitu

a. CBD (Central Business District) atau Daerah Pusat Kegiatan yaitu daerah

yang menjadi pusat dari segala kegiatan kota antara lain kegiatan politik,

sosial-budaya, ekonomi, dan teknologi,

b. zona industri,

c. zona pemukiman kumuh,

d. zona pemukiman kelas menengah, dan


28

e. zona pemukiman kelas atas.

Hyot mengemukakan, wilayah CBD berada di pusat sebagai inti

perkembangan kota. Zona industri terletak di sepanjang jalur kereta api, begitu

juga dengan zona pemukiman kumuh atau tempat tinggal buruh dan zona

perdagangan berada di pusat kota. Rute atau jalur transportasi menuju ke daerah

pusat kota seperti rel kereta, dermaga (untuk wilayah di pesisir atau di tepi aliran

sungai), serta jalan raya yang menunjukkan mudahnya aksesibilitas perkotaan.

Zona pemukiman kelas menengah dan atas menjauhi pusat kota, hal ini

disebabkan karena menghindari kebisingan, kemacetan, dan polusi.

Teori sektor digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama dalam

penelitian ini mengenai perkembangan tata ruang kota. Teori ini dapat digunakan

sebagai landasan struktur tata kota, karena dalam penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi mengenai perkembangan tata Kota Cepu.

2.3.2 Teori Tata Ruang Kota (Theories Of Urban Spatial Design)

Teori Tata Ruang Kota menurut Rogert Tracik (1986), terdapat tiga teori

yang menjelaskan tata ruang kota yaitu teori Figure Ground, Linkage, dan Place.

Teori Figure Ground adalah teori yang menggambarkan total suatu kawasan,

yang bertujuan untuk menunjukkan tekstur kota melalui bentuk massa bangunan

(building massa) sebagai solid dan ruang terbuka (open space) sebagai void. Teori

figure ground ini dapat menjadi alat untuk mengidentifikasi sebuah tekstur dan

pola-pola sebuah tata ruang perkotaan, serta masalah ketidaktersediaan

massa/ruang perkotaan. Teori linkage adalah teori yang menggambarkan bentuk

suatu kota yang tidak dapat lepas dari jaring-jaring sirkulasi kota (network
29

circulation). Jaring-jaring tersebut dapat berupa jaringan jalan, jalur pedestrian,

ruang terbuka yang berbentuk linier dan bentuk–bentuk yang secara fisik menjadi

penghubung antarbagian kota atau suatu kawasan. Teori ini dapat digunakan

untuk memahami segi dinamika tata ruang perkotaan yang dianggap sebagai pusat

kegiatan kota. Teori linkage merupakan alat yang baik digunakan untuk

memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan serta gerakan sebuah tata

ruang perkotaan (urban fabric). Teori place merupakan teori yang berkaitan

dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya dan

karakteristik manusia terhadap ruang fisik serta membahas mengenai makna

sebuah kawasan di perkotaan secara arsitektural. Manusia memerlukan suatu

tempat untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya, tidak hanya sekedar

space tetapi lebih dirasakan sebagai place.

Penelitian ini menggunakan ketiga teori tata ruang kota sebagai acuan

dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Ketiga teori tini dapat

memberikan informasi mengenai perancangan kota yang dapat merespon dan

mewadahi nilai-nilai kontekstual yang ada dengan memperhatikan nilai budaya,

sejarah dan hal-hal lain secara arsitektural karena dalam penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi mengenai perkembangan tata ruang Kota Cepu.


30

2.4 Model Penelitian

Penulis mencoba menyederhanakan pemaparan mengenai penelitian dalam

upaya memecahkan rumusan masalah yang dimaksud dengan gambaran model

penelitian.

Kota Cepu

Perkembangan Tata Ruang Kota


akhir abad XIX sampai awal abad XX

Teori Sektor Analisis Komparatif

Analisis Kontekstual

Analisis Keruangan
Teori Tata Ruang Kota
Analisis Sistem Informasi
Geografi

Faktor-faktor Unsur atau Elemen Tata Kota


Pembentuk Kota Pembentuk Kota

Faktor yang melatar-belakangi Perkembangan tata ruang Kota


pembentukan Kota Cepu akhir Cepu akhir abad XIX sampai awal
abad XIX sampai awal abad XX abad XX

Keterangan:

Hubungan satu arah


Hubungan timbal balik

Gambar 2.1 Model Penelitian


31

Terkait dengan penelitian ini dapat dirumuskan bagan model penelitian

seperti di atas. Bagan model penelitian untuk mengarahkan penelitian yang

dilakukan agar tidak melebar dari yang diharapkan. Pada bagan di atas, penelitian

ini diawali dengan gambaran umum mengenai kota Cepu dengan menjelaskan

mengenai perkembangan tata ruang Kota Cepu pada akhir abad XIX sampai awal

abad XX dengan menjelaskan pengertian dan perkembangan kota pada masa

tersebut. Selanjutnya, dilakukan tahap analisis dengan menggunakan analisis

komparatif, kontekstual, keruangan, dan sistem informasi geografis dan ditelaah

melalui beberapa teori yaitu teori sektor dan teori tata ruang kota. Gambaran

umum tersebut akan mengarah pada objek penelitian yaitu Kota Cepu.

Analisis komparatif digunakan untuk mengetahui karakteristik objek atau

proses hubungan variabel-variabel tertentu dalam suatu kota dengan

membandingkan kesamaan kota pada abad XIX sampai abad XX. Analisis

kontekstual menekankan pada hubungan keterkaitan antarsitus atau antarperistiwa

pada suatu kota. Analisis keruangan digunakan untuk melihat dan menganalisis

kondisi dan interaksi antarunit keruangan. Analisis terakhir adalah analisis sistem

informasi geografis yang digunakan untuk mengetahui perkembangan kota

melalui data digital dengan hasil penggabungan dua atau lebih peta Kota Cepu

yang berbeda periode sehingga menghasilkan peta perkembangan kota. Dua teori

yang melandasi penelitian ini yaitu teori sektor dan tata ruang kota. Teori sektor

digunakan untuk mengetahui pola perkembangan kota, sedangkan teori tata ruang

kota untuk mengetahui tata-kota dan faktor-faktor pembentuk kota. Melalui

beberapa analisis dan teori yang digunakan dan diterapkan dalam penelitian ini,
32

diharapkan dapat menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian yaitu

mengetahui perkembangan tata kota, unsur atau elemen pembentuk kota, dan

faktor-faktor pembentuk Kota Cepu.

Anda mungkin juga menyukai