Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI


DAN MODEL PENELITIAN

Pada bagian ini terdapat beberapa pembahasan, antara lain : tinjauan

pustaka, konsep, landasan teori serta model penelitian. Tinjauan pustaka akan

menguraikan tentang penelitian-penelitian terdahulu, terkait dengan penelitian

yang akan dilakukan. Konsep dan landasan teori digunakan sebagai pijakan untuk

pembahasan hasil penelitian. Model Penelitian merupakan sintesa antara teori dan

permasalahan dalam penelitian ini yang disajikan dalam bentuk diagram.

2.1 Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu, baik didalam negeri maupun

luar negeri yang menjadi rujukan maupun perbandingan terhadap penelitian ini.

Beberapa penelitian yang relevan untuk dijadikan referensi pada penelitian ini,

baik kontribusi berupa kemiripan ataupun sebagai bahan pengayaan materi

penelitian.

Di dalam tinjauan pustaka ini, akan dibahas dua topik yang dianggap

penting dan perlu untuk dikaji dalam rangka memperkaya hasil penelitian dan

menjelaskan alasan penelitian ini layak untuk dilakukan, yaitu antara lain :

2.1.1 Penelitian mengenai Fenomena Alih Fungsi Lahan Pertanian dan


Faktor-Faktor Pendorongnya
Devi (2013) mengkaji sejauh mana alih fungsi lahan pertanian

mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi penduduk asli yang sebagian besar

1
bermatapencaharian sebagai petani. Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa

pada awalnya sebelum terjadi alih fungsi lahan, para petani tersebut berada pada

satu lokasi tertentu dan memiliki kekerabatan kuat. Kemudian setelah terjadinya

alih fungsi lahan pertanian dan tidak berlanjutnya aktivitas ekonomi, para petani

tersebut mulai berpencar (memilih untuk tidak tinggal di suatu lokasi bersama-

sama), dan walaupun ada beberapa petani yang masih memilih tinggal bersama

namun mereka enggan melakukan kegiatan bersama atau terlibat paguyuban. Hal

ini membuktikan dan sejalan dengan Teori Dekohesivitas Kekerabatan Sosial

yang dikemukakan Yunus (2008), yaitu berkurangnya kekerabatan antar warga

yaitu dari masyarakat dengan kekerabatan kental atau paguyuban (gemeinschaft)

menjadi individualistik (gesselschaft).

Aryana (2012) membandingkan hasil penelitian yang terjadi di daerah

pusat Kota Denpasar dengan penelitian penulis yang berada di daerah pinggiran

kota. Hasil penelitian Aryana menunjukkan adanya pengaruh faktor penduduk

yang sangat dominan terhadap terjadinya proses alih fungsi lahan pertanian

menjadi lahan terbangun. Masyarakat Bali pada umumnya menganut sistem waris

patrilinear, yaitu sistem waris mengikuti garis keturunan laki-laki. Lahan

pertanian yang dahulunya dimiliki dalam jumlah luas dibagi menjadi bagian-

bagian lebih kecil untuk dibagi-bagikan kepada setiap keturunan laki-laki. Bidang

lahan pertanian yang semakin kecil ini kurang memadai untuk digarap sebagai

lahan pertanian karena hasil pertanian yang didapat tidak mampu mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari, hal inilah yang mengakibatkan mudahnya lahan

pertanian tersebut akhirnya beralih fungsi.

2
Suharyanto dkk (2015) mengemukakan bahwa Kabupaten di Bali yang

mengalami penurunan luas sawah tertinggi akibat alih fungsi lahan pertanian

berturut-turut selama kurun waktu 1999-2013 adalah Kabupaten Tabanan 204 Ha,

Kabupaten Buleleng 135 Ha, Kabupaten Gianyar 64 Ha, dan Kabupaten Badung

seluas 41 Ha. Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi laju konversi lahan sawah di Bali adalah koefisien regresi linier

berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil analisis regresi

menunjukkan bahwa faktor penentu laju alih fungsi lahan sawah berturut-turut

dipengaruhi oleh: laju pertumbuhan ekonomi/PRDB, pertumbuhan produksi,

pertumbuhan penduduk, pertumbuhan hotel dan akomodasi lainnya dan nilai tukar

petani. Sedangkan pertumbuhan jalan beraspal dan regulasi PERDA RTRW tidak

berpengaruh banyak. Hal lain dari penelitian ini yang dapat menjadi masukan

adalah penelitian Suharyanto dkk membagi variabel laju pertumbuhan penduduk

menjadi fertilitas, mortalitas dan migrasi.

2.1.2 Penelitian mengenai Fenomena Gejala Urban Sprawl dan Kajian


Transformasi Spasial di Daerah Pinggiran Kota
Woltjer (2012) mengidentifikasi karakteristik umum peri-urbanisasi dan

bagaimana perencanaan pembangunan menanggapinya. Tiga karakteristik umum

yang diidentifikasi antara lain; ruang peri-urban (ungkapan ruang dari

pembangunan peri-urban), kehidupan peri-urban (tampilan fungsional dari tata

guna lahan, aktivitas peri-urban dan inovasi), dan perubahan peri-urban

(perspektif kausal dan temporal yang meliputi aliran dan penggerak perubahan).

Giyarsih (2001) melakukan penelitian dengan fokus pada densifikasi

permukiman pinggiran kota akibat perkembangan Kota Yogyakarta sebagai pusat

3
kebudayaan, pusat pemerintahan, daerah pariwisata dan kota pelajar serta

mengkaji tipe mobilitas penduduk yang terjadi di daerah pinggiran tersebut, yaitu

penduduk permanen dan penduduk non permanen (nglaju). Pola ini sama dengan

yang terjadi di Kota Denpasar yang juga memiliki intensitas tinggi yang akhirnya

menekan daerah-daerah pinggirannya seperti Desa Batubulan. Penelitian Giyarsih

lebih menitikberatkan pada gejala Urban Sprawl yang telah terjadi dengan

melakukan analisis peningkatan migrasi secara konsisten serta kepadatan per area

permukiman. Mengenai konversi lahan sebagai akibat terjadinya migrasi

penduduk tidak menjadi bahasan mendalam di dalam penelitian tersebut. Metode

penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan mengambil sampel dari

masing-masing kecamatan dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul

data pokok. Sebagai masukan adalah cara penentuan wilayah pinggiran dan pusat

kota ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan batasan geografis daerah

penelitian, dengan menggunakan indikator penggunaan lahan, kepadatan

penduduk, kepadatan bangunan, kepadatan fasilitas, dan pertambahan jumlah

penduduk.

Kurnianingsih (2014) memfokuskan penelitian pada perkembangan

wilayah peri-urban yang terutama pada aspek fisik dan sosial ekonomi di

Kecamatan Kartasura yang terpengaruh oleh perkembangan Kota Surakarta yang

pesat. Untuk analisis klasifikasi desa-desa digunakan teknik analisis spasial

dengan penggunaan metode tambahan, seperti metode pembobotan dengan

perhitungan interval kelas, untuk membagi kecepatan transformasi ke dalam tiga

kelas, yaitu transformasi cepat, transformasi sedang, dan transformasi lambat,

4
sehingga dapat dibaca pola dan arah perkembangan yang terjadi.

Nurjanah dan Purwandari (2012) memfokuskan kajian perubahan struktur

agraria yang memicu transformasi desa-kota, sejauh mana implikasi

pembangunan terminal terhadap kepentingan aktor pemanfaat sumberdaya agraria

yaitu; pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.

Kesimpulan

Dari beberapa penelitian lain yang telah dipaparkan tersebut, penulis

mendapatkan banyak masukan bagaimana fenomena alih fungsi lahan pertanian

menjadi non-pertanian yang terjadi di daerah pinggiran kota yang lain serta

faktor-faktor pendorongnya serta bagaimana gejala urban sprawl mampu

berimplikasi terhadap kondisi fisik, sosial-ekonomi dan kependudukan

masyarakatnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum beberapa penelitian

serupa yang telah dilakukan sebelumnya, memberikan manfaat dalam menambah

wawasan untuk memahami permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa hal yang

dapat dijadikan masukan serta bahan perbandingan, terutama adanya teori-teori

yang memiliki relevansi serta metode penelitian dapat dijadikan gambaran tentang

langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini. Teknik penyajian data dari

beberapa penelitian yang menggunakan diagram, tabel atau teknik mapping

(overlay) juga akan banyak diterapkan di penelitian ini. Penulis sengaja

mengambil referensi dari berbagai disiplin ilmu yang lain sehingga mampu

memberikan sudut pandang yang berbeda sebagai pengayaan.

Terkait dengan keaslian terhadap penelitian sebelumnya, dapat dipastikan

5
bahwa penelitian ini asli dan sifatnya baru karena dari pengamatan sebelumnya

belum dijumpai penelitian yang serupa. Telah banyak dilakukan penelitian dengan

fokus yang sama yaitu mengkaji alih fungsi lahan di daerah pinggiran kota,

namun penelitian ini memiliki lokus dan time frame yang berbeda yaitu Desa

Batubulan, Gianyar selama kurun tahun 1964 - 2016.

2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep

2.2.1 Kerangka Berpikir

Berawal dari isu fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Desa Batubulan,

Gianyar, kemudian penulis melakukan study literatur terkait isu tersebut, dan

melakukan grand tour ke lokasi penelitian dengan melihat fenomena yang terjadi.

Setelah melakukan hal tersebut kemudian diperoleh rumusan masalah dalam

penelitian ini. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut diperlukan teori,

pengumpulan data dan metode untuk menganalisis data.

6
Isu Kawasan :
- Terjadinya ekspansi penduduk akibat interaksi spasial kota ke daerah pinggiran kota
- Terjadinya penyusutan lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian
- Terbentuk permukiman yang sporadis (tidak tertata)
- Terganggunya keseimbangan ekologis
- Terjadi spekulasi lahan yang tak terkendali

Grand Tour Studi Literatur

Rumusan Masalah :
a. Bagaimana perkembangan pola spasial akibat alih fungsi lahan
di Desa Batubulan, Gianyar dalam kurun tahun 1964 - 2016 ?
b. Apa saja faktor-faktor pendorong dan penarik terjadinya alih fungsi lahan
di daerah pinggiran kota di Desa Batubulan, Gianyar?
c. Bagaimana kecendrungan arah perkembangan alih fungsi lahan di daerah pinggiran kota
di Desa Batubulan, Gianyar?

Teori Daerah Pinggiran Kota Teori Perkembangan kota

Ribbon Sporadic
Development Development
Pattern Pattern

Temuan Penelitian :
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Daerah Pinggiran Kota
Studi Kasus: Desa Batubulan, Gianyar

Rekomendasi

Diagram 2.1:
Bagan Kerangka Berpikir pada Proses Penelitian

7
2.2.2 Konsep

Konsep bertujuan untuk menyamakan persepsi pembaca dengan peneliti mengenai

penyamaan definisi dari pokok permasalahan yang akan dibahas. Selain itu,

berfungsi juga untuk memberikan batasan terminologi teknis dari judul dan

rumusan masalah. Konsep memberikan batasan atas peristilahan dalam suatu

penelitian. Pada sub bab ini dijelaskan mengenai batasan peristilahan alih fungsi

lahan, lahan pertanian, lahan terbangun, perkembangan, arah perkembangan dan

daerah pinggiran kota (urban fringe).

a) Alih Fungsi Lahan

Manuwoto (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan sebagai perubahan

fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang

direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan

dan potensi lahan itu sendiri. Kustiwan (1997) mendefinisikan alih fungsi lahan

sebagai proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke

penggunaan non-pertanian atau perkotaan.

Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan dapat bersifat sementara.

Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan permukiman atau

industri, maka alih fungsi ini bersifat permanen. Namun, jika lahan sawah

dialihfungsikan menjadi kegiatan lain misalnya; lahan perkebunan atau kegiatan

peternakan/perikanan, maka dapat dikatakan alih fungsi lahan bersifat sementara

karena pada tahun-tahun berikutnya peruntukkan lahan sawah tersebut dapat

diubah menjadi lahan sawah kembali. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen,

pada umumnya lebih besar dan berdampak serius daripada alih fungsi yang

8
bersifat sementara.

Wilayah-wilayah perdesaan di koridor antar kota telah mengalami

transformasi struktur wilayah (Giyarsih, 2001). McGee (1991) menyebut

transformasi tersebut sebagai proses kotadesasi, yaitu perubahan struktur wilayah

agraris ke arah struktur non-agraris. Proses transformasi wilayah tersebut tentunya

bukan hanya fisikal, tetapi juga perubahan sosioekonomik dan budaya penduduk

perdesaan yang antara lain menyangkut struktur produksi, mata pencaharian, dan

adat-istiadat penduduk.

Pengertian alih fungsi lahan pada penelitian ini difokuskan pada proses

dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang

diiringi dengan meningkatnya nilai lahan menurut Pierce (dalam Kustiwan,

1997:55). Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konversi

penggunaan lahan, yaitu (a) perluasan batas kota, (b) peremajaan di pusat kota, (c)

perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi, (d) tumbuh dan

hilangnya pemusatan aktivitas tertentu (Bourne, 1982: 95).

Alih fungsi lahan atau perubahan penggunaan lahan adalah perubahan

fungsi yang terjadi pada suatu lahan dalam kurun waktu yang berbeda. Adapun

beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut yaitu faktor politik dan

faktor ekonomi. Faktor politik dapat mempengaruhi pola perubahan terhadap

suatu lahan karena adanya kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan.

Faktor ekonomi adalah perubahan pendapatan serta pola konsumsi yang

menyebabkan kebutuhan akan ruang dan tempat rekreasi meningkat sehingga

terjadilah alih fungsi atau perubahan penggunaan lahan (Ariani, 2011: 9).

9
Alih fungsi lahan merupakan kegiatan perubahan penggunaan lahan dari

suatu kegiatan yang menjadi kegiatan lainnya. Alih fungsi lahan muncul sebagai

akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk

dan peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan telah mengubah

struktur pemilikan dan penggunaan lahan secara terus menerus (Jayadinata.

1986:141). Perkembangan struktur industri yang cukup pesat berakibat

terkonversinya lahan pertanian secara besar-besaran. Disamping bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi lahan pertanian juga terjadi secara cepat

juga bertujuan memenuhi kebutuhan akan perumahan yang jumlahnya jauh lebih

besar (Sasono, 1995:13).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan alih fungsi lahan adalah

berubahnya fungsi lahan yang semula dipergunakan sebagai lahan pertanian

menjadi lahan non pertanian sebagai akibat dari adanya pembangunan sarana dan

prasarana infrastruktur kota.

b) Pola Spasial

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pola adalah sebuah

sistem, cara kerja, atau bentuk (struktur) yang tetap, sedangkan spasial dapat

diartikan sebagai hal yang berkenaan dengan ruang atau tempat. Secara

terminologis, Rachman (2010), menjelaskan bahwa spasial adalah ruang fisik

yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk bangunan

yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat. Pola

spasial dapat dikatakan sebagai bentuk keruangan dalam bentuk fisik daerah atau

kawasan tertentu dalam konteks suatu kota atau desa. Hariyono (2007)

10
menjelaskan bahwa spasial memiliki korelasi yang sangat kuat dengan aspek

psikologi, emosional (persepsi) maupun dimensional, sehingga dapat disimpulkan

bahwa pola spasial ialah bentuk ruang yang bukan hanya dibatasi oleh batas-batas

fisik secara geometri, namun juga dapat dibatasi oleh sebuah aktifitas, fenomena

atau batas persepsi manusia itu sendiri. Branch dalam Yoelianto (2005)

mengemukakan bahwa pada skala yang lebih luas, pola spasial secara keseluruhan

mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik wilayahnya. Pola-pola

spasial perkembangan suatu wilayah di atas tanah relatif datar digambarkan secara

skematik oleh Branch sebagai berikut:

Gambar 2.1 : Pola-pola Spasial Perkembangan Wilayah


(Sumber: Branch dalam Yoelianto, 2005)

Dalam penelitian ini yang dapat disimpulkan mengenai pola spasial adalah

perkembangan suatu wilayah yang ditentukan oleh posisi geografis serta

karakteristik tempat dimana suatu proses kegiatan berlangsung, sehingga akhirnya

terbentuklah pola-pola tertentu yang membentuk wilayah tersebut. Pola spasial

11
adalah pola yang dihasilkan dari proses perkembangan suatu wilayah meliputi

perubahan fungsi lahan, arah pergerakan fungsi lahan, frekuensi, dan tahap

perkembangan (menyangkut tahap dari perubahan fungsi-fungsi lahan atau

bangunan, dapat berupa tahap penetrasi, invasi, suksesi dan dominasi).

c) Perkembangan dan Arah Perkembangan

Perkembangan merupakan suatu perubahan yang berlangsung secara

sistematis, progresif dan berkesinambungan secara menyeluruh baik fisik dan non

fisik (Aryana, 2012). Suatu perkembangan mengacu pada kualitas, yaitu suatu

proses menuju suatu kondisi yang bersifat pematangan.

Perkembangan mengandung unsur kesejarahan karena didalamnya

mengandung aspek waktu, sehingga dalam perkembangan yang dibicarakan

adalah konteks masa lalu, masa sekarang hingga kemungkinan di masa depan

(Budihardjo, 1995). Perkembangan yang terjadi dalam dimensi waktu akan

berpengaruh pada obyek arsitektur yang berada dalam suatu kesatuan ekologi.

Dalam pandangan ini, dimensi waktu menjadi hal yang sangat penting pada setiap

perkembangan yang terjadi pada kondisi tertentu (Porphyrios, 1981:101-104).

Terjadinya perkembangan cenderung dapat mengarah menuju kepada

transformasi atau perubahan (alih fungsi). Pengertian transformasi itu sendiri

adalah sebuah perubahan dari waktu ke waktu yang merubah kondisi secara fisik

maupun non fisik, dengan beberapa faktor yang mempengaruhi. Transformasi

fisik dan non fisik saling mempengaruhi satu sama lainnya. Transformasi fisik

mengarah pada perubahan fisik kawasan seperti perubahan pemanfaatan lahan dan

12
karakteristik jalan, sedangkan transformasi non fisik mengarah pada perubahan

kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat (Aprilia, 2014).

Ditinjau dari prosesnya, perkembangan spasial secara fisikal ada dua

macam arah perkembangan yang dapat diidentifikasi, yaitu (a) proses

perkembangan spasial secara horizontal dan (b) perkembangan spasial secara

vertikal (Yunus, 2008:57).

Perkembangan keruangan secara horizontal terdiri dari proses

perkembangan spasial sentrifugal (centrifugal spatial development) dan proses

perkembangan spasial secara sentripetal (centripetal spatial development). Dua

macam proses ini merupakan proses perkembangan spasial utama yang menandai

bentuk perkembangan kota-kota di negara yang sedang berkembang, sementara

itu untuk negara yang sudah berkembang proses perkembangan spasial vertikal

terlihat mendominasi perkembangan kotanya.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perkembangan adalah semua

aktifitas alih fungsi lahan pertanian yang terjadi, dimana terjadi perubahan dari

waktu ke waktu yang merubah kondisi terutama fisik Desa Batubulan, dengan

beberapa faktor yang mempengaruhi.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori

yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai

permasalahan dalam sebuah penelitian. Pada sub bab ini diuraikan tentang

karakteristik daerah pinggiran kota, interaksi spasial antara kota dan daerah

pinggiran kota, pertumbuhan kota, faktor-faktor yang mempengaruhi

13
perkembangan fisik daerah pinggiran kota, dan pergeseran guna lahan.

2.3.1 Daerah Pinggiran Kota

 Pengertian Dasar

Terdapat beragam istilah mengenai daerah pinggiran kota (urban fringe

area). Istilah ini muncul pertama kali tahun 1937 oleh T.L. Smith di Lousiana

untuk menandakan area terbangun di luar jangkauan sebuah kota (dalam Pryor,

1968). Daerah pinggiran kota telah banyak disebut dalam literatur dengan

berbagai istilah, antara lain urban fringe, peri-urban atau suburbia. Menurut

Conzen (1960) dalam jurnalnya yang berjudul “How cities internalize their former

urban fringes: a cross-cultural comparison”, definisi fringe belts atau fringe

areas adalah sebuah daerah yang terbentuk secara perlahan menjadi sebuah zone

yang bertumbuh pesat di pinggiran kota dan tersusun dari berbagai karakteristik

penggunaan lahan. Subroto dan Setyadi (dalam Giyarsih, 2001) menjelaskan

daerah pinggiran kota adalah sebagai daerah transisi bukan daerah antara desa dan

kota, namun daerah perdesaan yang menyatu dengan daerah perkotaan yang

diwarnai oleh disparitas karakter desa dan kota yang kuat baik secara fisik spatial

dan sosio kultural. Yunus (2008) menjelaskan bahwa daerah pinggiran kota

adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah urban fringe atau daerah

peri urban atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang

memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut

terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan

datang. Oleh karena wilayah kota dan desa memiliki dimensi kehidupan yang

sedemikian kompleks yang pada umumnya menunjukkan atribut yang berbeda

14
maka di daerah antara ini kemudian muncul atribut khusus yang merupakan

hibrida dari keduanya. Bryant mengilustrasikan Regional City atau kota yang

berbasis pada strukturisasi wilayah dalam gambar berikut:

Gambar 2.2 : Bentuk Regional City


(Sumber: Bryant,dkk 1982 - diadaptasi dari Russwurm, 1975)

Menurut Rakodi dan Adell (dalam Yunus, 2008), peri-urban merupakan

zona transisi antara lahan di kota yang secara keseluruhan terurbanisasi dengan

area yang didominasi fungsi pertanian. Hammond (dalam Aryana,2012)

mengemukakan ada lima alasan tumbuhnya daerah pinggiran kota yaitu:

1. Peningkatan pelayanan transportasi kota, baik itu berupa pelayanan

angkutan umum ataupun jaringan jalan yang memadai

2. Pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh berpindahnya sebagian

penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran serta masuknya

penduduk dari pedesaan

3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat

15
4. Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat, Pemerintah memberikan

bantuan pendirian rumah sendiri melalui pemberian kredit oleh Bank

yang ditunjuk

5. Dorongan dari hakikat manusia itu sendiri

 Karakteristik Wilayah

Pengertian daerah pinggiran kota (urban fringe) secara umum diartikan

sebagai suatu daerah yang berada dalam proses transformasi dari perdesaan

menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, Beesly dan Russwurnm (dalam

Giyarsih, 2001) menyebutkan bahwa paling tidak terdapat terdapat empat karakter

yang dapat dipakai untuk mengklasifikasikan suatu daerah dapat disebut sebagai

urban fringe, yaitu:

a) Sebelumnya merupakan daerah perdesaan dengan dominasi gunalahan

pertanian dan komunitas masyarakat perdesaan

b) Merupakan daerah yang menjadi sasaran serbuan perkembangan kota

serta menjadi ajang spekulasi tanah bagi para pengembang

c) Merupakan daerah yang diinvasi oleh penduduk perkotaan dengan

karakter sosial perkotaan

d) Merupakan daerah dimana berbagai konflik muncul, terutama antara

penduduk pendatang dan lokal, antara penduduk desa dan kota, serta

antara petani dan pengembang (developer )

Bar-Gal (dalam Koestoer 1997) menyebutkan bahwa daerah pinggiran

kota ditandai oleh beberapa karakteristik seperti, 1) peningkatan harga tanah,

perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga

16
kerja, serta berbagai aspek sosial lainnya. Kurtz dan Eicher (dalam Yunus, 1987)

menemukan enam definisi mengenai daerah pinggiran kota yang menjadi ciri-ciri

perkembangan peri-urban:

a) Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban saling bertemu dan

mendesak, di periferi kota modern

b) Rural urban triage meliputi semua suburbia, kota satelit dan teritorium

lain yang berlokasi langsung di luar kota, dimana labor force-nya terlibat

di bidang non-farming

c) Suatu kawasan yang letaknya diluar perbatasan kota yang resmi, tetapi

masih dalam jarak melaju (commuting distance)

d) Kawasan di luar kota yang penduduknya berkiblat ke kota (urban

oriented residents)

e) Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh orang-orang yang

bekerja di dalam kota

f) Suatu daerah tempat pertemuan antara orang-orang yang memerlukan

penghidupan di kota dan dan di desa

 Model Zonifikasi

Daerah pinggiran kota secara definitif sulit dilacak batas-batasnya karena

pengertiannya menyangkut aspek fisik dan non-fisik. Daerah ini merupakan

daerah peralihan antara kenampakan perkotaan dan perdesaan sehingga kawasan

ini mempunyai baik ciri perkotaan maupun ciri perdesaan (Soussan, 1981). Oleh

karena sulitnya melacak batas-batas peralihan kota-desa, baik fisik maupun non-

17
fisik, kebanyakan ahli membatasi diri pada sebagian dari sekian banyak ciri yang

ada.

Dalam menentukan batasan daerah pinggiran kota, dilakukan delineasi

wilayah. Menurut Yunus (2008), delineasi wilayah ini dapat ditentukan dengan

menggunakan beberapa pendekatan, sebagai berikut:

1. Pendekatan Administratif; delimitasi subzona spasial wilayah pinggiran

kota berdasarkan eksistensi unit administrasi

2. Pendekatan fisikal; delimitasi subzona wilayah pinggiran kota

berdasarkan kota berdasarkan unit fisikal (jaringan jalan, saluran air, dll)

3. Pendekatan sel/sistem grid; delimitasi berupa bentuk garis-garis

konseptual yang dibuat secara horizontal dan vertikal

4. Pendekatan faktor ekologi

Struktur spatial wilayah WPU menurut Pryor (dalam Yunus, 2008) dapat

dibedakan ke dalam 2 kategori, yaitu urban fringe di satu sisi dan rural fringe di

sisi yang lain. WPU disebut rural-urban fringe, yang merupakan gabungan dari

rural fringe dan urban fringe. Dengan alasan bahwa kenyataannya WPU

merupakan wilayah yang berada di antara wilayah berkenampakan kekotaan

seratus persen dan wilayah dengan kenampakan perdesaan seratus persen.

Pryor (dalam Yunus, 2000) meninjau dari segi penggunaan lahannya

dengan menggunakan model segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban

land use triangle).

18
Gambar 2.3 :
Segitiga Pemanfaatan Lahan Daerah Pinggiran Kota
(Sumber: Pryor, 1968)

Konsep segitiga pemanfaatan lahan di atas membedakan daerah pinggiran

kota menjadi dua, yaitu: 1) “urban fringe” 2) “rural fringe” yang dibatasi oleh

ambang 50% porsi pemanfaatan perkotaan/perdesaan. Apabila wilayah yang

diteliti mempunyai >50% pemanfaatan lahan perkotaan dan <50% pemanfaatan

lahan perdesaan, wilayah ini disebut “urban fringe”, Sebaliknya, apabila wilayah

yang diteliti memiliki >50% lahan perdesaan dan <50% lahan perkotaan maka

wilayah ini disebut “rural fringe”.

Demikian pula halnya dengan konsep kota regional (regional city) yang

dikemukakan oleh Russwurm (1975 dalam Bryant et al., 1982). Ahli ini juga

mengemukakan pembagian wilayah yang membentang dari wilayah yang bersifat

100% perkotaan dan 100% perdesaan. Berbeda dengan Pryor yang membagi

daerah pinggiran kota menjadi dua, Russwurm membaginya menjadi 3 jalur,

yaitu: 1) inner fringe, 2) outer fringe, 3) urban shadow.

19
Gambar 2.4 : Jalur Pembagian Daerah Pinggiran Kota
(Sumber: Bryant,dkk 1982 - diadaptasi dari Russwurm, 1975)

Jika Pryor mengemukakan batasan kuantitatif persentase pemanfaatan

lahannya, namun Russwurm hanya menggunakan panduan istilah dominasi untuk

membedakan ketiga pembagian wilayah tersebut. Inner Fringe ditandai oleh

dominasi kenampakan perkotaan, sedangkan outer fringe ditandai oleh

kenampakan perdesaan. Selanjutnya urban shadow diberi batasan dimana elemen-

elemen morfologi perkotaan sudah mulai menyusup namun masih sangat sedikit.

Mencermati model Russwurm tersebut, Yunus (2000) berpendapat bahwa

pembagian zone-zone tersebut hanya merupakan model konseptual semata. Tidak

semua kota selalu ditandai oleh urut-urutan sub zone seperti itu dan juga

persebarannya tidak selalu merata ke segala arah.

2.3.2 Pola Perkembangan Wilayah

Kota sebagai perwujudan geografis dari waktu ke waktu selalu mengalami

perubahan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta

meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya kebutuhan

20
kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi.

Peningkatan jumlah dan kegiatan penduduk tersebut mengakibatkan

meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan. Kebutuhan ruang ini akan selalu ruang

di daerah pinggiran kota. Gejala pengambilalihan ruang non urban oleh pengguna

lahan urban di daerah pinggiran kota disebut invansion sedangkan proses

perembetan kenampakan fisik kekotaan kearah luar disebut urban sprawl (Yunus,

1997).

Lebih jauh Yunus (2000) menjelaskan bahwa, secara garis besar ada tiga

macam pola dampak perkembangan daerah pinggiran kota, yaitu:

1. Pola perkembangan memanjang (ribbon development)

Merupakan suatu proses penjalaran sifat kekotaan yang terjadi di sepanjang jalur-

jalur yang memanjang di luar daerah terbangun. Jalur memanjang ini biasanya

merupakan jalur transportasi baik darat maupun sungai. Jalur ini telah mengontrol

pertumbuhan permukiman maupun bangunan non permukiman sedemikian rupa

sehingga membentuk konsentrasi bangunan yang sebaran keruangan

memanjangnya jauh lebih besar daripada sebaran melebarnya.

Teori yang dikemukakan oleh Northam sama dengan teori poros yang

dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di

sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga

perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara

jalur transportasi. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut perkembangan ini

antara lain; Ribbon Development, Axial Development, Linear Development,

Elongated Development.

21
2. Pola Perkembangan Konsentris (concentric development)

Merupakan suatu bentuk perkembangan areal kekotaan yang terjadi di sisi-sisi

luar daerah perkotaan yang telah terbangun dan menyatu dengannya secara

kompak. Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999) atas dasar studi

kasusnya mengenai morfologi Kota Chicago. Menurut Burgess, suatu kota yang

besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-

bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh

karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan

yang dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan

daerah pusat kegiatan sebagai intinya.

Bentuk perkembangan ini memiliki akselerasi pertambahan areal yang paling

kecil jika dibandingkan dengan dua macam bentuk perkembangan sebelumnya.

Oleh karena proses perkembangan spasialnya lambat, maka akselerasi hilangnya

lahan-lahan pertanian di daerah pinggiran kota juga lambat.

Keuntungan utama dari bentuk perkembangan ini adalah terbentuknya daerah

permukiman kekotaan yang menyatu dengan daerah yang sudah terbangun dan

kompak. Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona

sebagai berikut (gambar 2.5).

Gambar 2.5 : Pola Perkembangan Konsentris


(Sumber: Daldjoeni,1997)

22
3. Pola Perkembangan Meloncat (leap-frog development)

Merupakan bentuk perkembangan sifat kekotaan yang terjadi secara sporadis di

luar daerah terbangun utamanya dan daerah pembangunan baru yang terbentuk

berada ditengah daerah yang belum terbangun. Bentuk perkembangan ini

merupakan bentuk yang paling ofensif terhadap lahan-lahan pertanian di daerah

pinggiran kota dibandingkan dengan bentuk lainnya.

Perkembangan ini disebut sebagai perkembangan lompat katak karena munculnya

daerah terbangun baru yang tidak menyatu dengan daerah terbangun utama dan

diantarai oleh lahan-lahan belum terbangun yang biasanya merupakan lahan

pertanian.

Pertumbuhan kota yang semakin membesar telah memunculkan satu

fenomena yang dikenal dengan mega urban. Menurut McGee (1991),

pertumbuhan kota besar dan proses terbentuknya desakota memainkan peranan

yang penting dalam terwujudnya wilayah mega urban. Proses terbentuknya

wilayah mega urban diawali dengan adanya dua kota yang terhubungkan oleh

jalur transportasi yang efektif. Selanjutnya, sebagai konsekuensi transportasi yang

efektif, wilayah koridor kedua kota besar tersebut turut berkembang yang pada

akhirnya mewujudkan kesatuan perkotaan yang luas. Dengan demikian, wilayah

yang termasuk dalam mega urban sesuai dengan struktur ruang di atas terdiri dari:

1) Kota Besar

2) Wilayah pinggiran kota

3) Desa-desa yang terletak di sepanjang koridor yang menghubungkan kedua

kota

23
Selain itu, disebutkan oleh McGee (1991) bahwa wilayah yang disebut

mega urban atau desakota mempunyai enam bentuk utama, yaitu:

1) Bercirikan jumlah penduduk yang besar di dalam lahan padi yang sempit

2) Umumnya bercirikan peningkatan kegiatan non pertanian di daerah yang

sebelumnya merupakan daerah pertanian yang luas

3) Wilayah desa-kota umumnya ditunjukkan dengan kelancaran dan mobilitas

penduduk yang tinggi. Ketersediaan sarana transportasi yang mudah

menyebabkan pergerakan antara jarak yang jauh dapat dilakukan dengan

mudah.

4) Wilayah desa-kota juga terlihat dari pencampuran pengunaan lahan seperti

lahan pertanian, kawasan industri, perdagangan dan penggunaan lahan

lainnya.

5) Bentuk lain dari wilayah desa-kota adalah meningkatnya partisipasi wanita

sebagai tenaga kerja non pertanian

6) Wilayah mega urban atau biasa disebut “invisible” atau “grey area” oleh

pemerintah karena sulit bagi pemerintah menegakkan aturan akibat cepatnya

perubahan struktur ekonomi di wilayah ini

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Daerah Pinggiran

Kota

Perubahan gunalahan daerah pinggiran kota, menurut Lee (1976)

dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu:

1) Karakteristik fisik lahan (site)

2) Peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan lahan (regulatory measures)

24
3) Karakteristik personal pemilik lahan

4) Keberadaan utilitas umum

5) Aksesibilitas lahan

6) Inisiatif para pengembang (developers)

Menurut Yunus (1997) ada dua elemen yang berpengaruh terhadap

dinamika perkembangan areal kekotaan di daerah pinggiran kota atau “urban

fringe” antara lain: 1) unsur manusia dan 2) fungsi-fungsi kekotaan yang ada.

Manusia menuju daerah pinggiran kota umumnya bertujuan untuk membangun

tempat tinggal serta fungsi-fungsi kekotaan menuju daerah pinggiran kota lebih

banyak berkaitan dengan upaya memperluas usaha kegiatannya. Adanya berbagai

kepentingan pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota menjadikan proses

perubahan pemanfaatan lahan berlangsung sangat kompetitif. Berkenaan dengan

proses perubahan pemanfaatan lahan tersebut, akan menimbulkan beberapa isu

pokok, yaitu: meningkatnya harga lahan, meningkatnya biaya dan harga

perumahan, meningkatnya gejala spekulasi tanah, dan meningkatnya gejala

fragmentasi tanah (Bryant, Russwurm, dan McLellan, 1982).

Menurut Colby (1959), proses berekspansinya serta berubahnya struktur

tata guna lahan sebagian besar disesbabkan oleh adanya daya sentrifugal

(centrifugal force) dan daya sentripetal (centripetal force) pada suatu kota. Lebih

jauh dijelaskan, bahwa secara garis besar kekuatan-kekuatan dinamis ini dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu :

1) Kekuatan Sentrifugal (Centrifugal Force)

Kekuatan sentrifugal adalah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan

25
terjadinya pergerakan penduduk dan fungsi-fungsi perkotaan dari

bagian dalam sesuatu kota menuju ke bagian luarnya.

2) Kekuatan Sentripetal (Centripetal Force)

Kekuatan sentripetal adalah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan

terjadinya pergerakan baik penduduk maupun fungsi-fungsi yang

berasal dari bagian luar menuju ke bagian dalam daerah perkotaan.

Gambar 2.6 : Pola Kekuatan Sentrifugal dan Sentripetal


(Sumber: Geografi Baru, 1992 )
Kekuatan-kekuatan tersebut timbul karena adanya faktor pendorong dan

penarik. Makin kuat faktor pendorong maupun penarik makin besar pula kekuatan

tersebut dan sebaliknya makin lemah faktor pendorong dan penarik makin lemah

pula kekuatan tersebut. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang terdapat di

daerah asal (place of origin) sedangkan faktor penarik adalah faktor-faktor yang

terdapat di daerah tujuan (place of destination). Kekuatan-kekuatan sentrifugal

yang merupakan kombinasi dari push factors pada bagian dalam dan pull factors

pada bagian luar dapat diperinci lagi ke dalam enam jenis kekuatan yaitu :

1) Kekuatan-kekuatan keruangan (spatial forces)

Kekuatan keruangan adalah kekuatan-kekuatan yang timbul karena adanya

kekuatan mendorong dan kekuatan menarik dari karakteristik ruang tertentu.

26
Kekuatan mendorong berasal dari ruang yang terletak pada bagian dalam kota

dan dalam hal ini muncul sebagai akibat adanya kepadatan struktur lalu lintas,

penduduk, dan lain sebagainya, sedangkan kekuatan-kekuatan menarik berasal

dari bagian luar kota dengan kondisi ruang yang relatif jauh lebih lega.

2) Kekuatan-kekuatan site (site forces)

Kekuatan site adalah kekuatan-kekuatan yang timbul dari adanya kekuatan

mendorong dan menarik dari karakteristik site. Kekuatan mendorong yang

berasal dari bagian dalam kota berujud penggunaan lahan yang terlalu intensif

sedang kekuatan-kekuatan menarik dari bagian luar kota berujud natural

landscape yang relatif masih belum banyak terjamah.

3) Kekuatan-kekuatan situasional (situational forces)

Kekuatan-kekuatan situasional adalah kekuatan-kekuatan yang timbul dari

adanya kekuatan mendorong dan kekuatan menarik dari situasi lokasi dalam

kaitannya dengan fungsi-fungsi lainnya.

4) Kekuatan-kekuatan evaluasi sosial (the forces of social evaluation)

Kekuatan-kekuatan evaluasi sosial adalah kekuatan-kekuatan yang timbul dari

penilaian individu/sekelompok individu terhadap elemen-elemen sistem

kehidupan dan lingkungan. Kekuatan yang mendorong dari dalam kota antara

lain adanya nilai lahan yang tinggi, pajak yang tinggi, larangan-larangan

tertentu yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat kota, sementara itu

kekuatan-kekuatan menarik dari daerah pinggiran kota antara lain harga lahan

rendah, pajak rendah dan, kebebasan yang lebih banyak dalam tatanan

kehidupan masyarakat.

27
5) Kekuatan-kekuatan status penempatan dan organisasi penempatan (the forces

of status and organization of occupance)

Kekuatan-kekuatan ini muncul sebagai akibat dari pada kondisi penempatan

fungsi ditinjau dari status dan organisasi sistem fungsi tersebut. Adanya

bentuk-bentuk fungsi yang tidak berkembang dengan baik, pola kepadatan lalu

lintas yang tinggi, fasilitas-fasilitas transportasi yang tidak memuaskan yang

ada di dalam kota merupakan kekuatan-kekuatan yang mendorong. Sementara

itu adanya bentuk-bentuk fungsi yang moderen, pola-pola yang dinamis, bebas

dari kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi dan fasilitas transportasi yang

jauh lebih baik di daerah pinggiran merupakan kekuatan-kekuatan yang

menarik.

6) Kekuatan-kekuatan persamaan harkat kemanusiaan (human equation forces)

Kekuatan-kekuatan ini timbul dari adanya persepsi manusia

(perorangan/kelompok) terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan keberadaan

dirinya sebagai anggota masyarakat, warga negara dan mahluk hidup yang

mempunyai kebebasan-kebebasan tertentu sesuai dengan hak asasinya.

Kekuatan-kekuatan sentripetal yang merupakan kombinasi dari push factors

pada bagian luar dan pull factors pada bagian dalam dapat diperinci menjadi lima

jenis yaitu :

1) Kekuatan site (site forces)

Kekuatan site yang menarik dari bagian dalam kota antara lain adanya

multiple levels use of building di pusat kota dari basement yang paling bawah

sampai tingkat yang paling tinggi dari bagian bangunan-bangunan pencakar

28
langit.

2) Kekuatan kemudahan fungsional (functional convenience forces)

Bagian dalam suatu kota memang menjanjikan kemudahan-kemudahan

business karena hampir seluruh fungsi kekotaan berada dan mengelompok di

central zone ini, bahkan zona ini merupakan pusat kegiatan tidak hanya untuk

wilayah kota, tetapi wilayah-wilayah di luar kota. Hal ini menampilkan

kekuatannya sebagai kekuatan fungsional yang tidak dipunyai oleh daerah-

daerah bagian luar kota.

3) Kekuatan magnetisme fungsional (magnetism functional forces)

Kota-kota besar memang menunjukan adanya gejala pengelompokan dan

fungsi-fungsi yang sejenis serta pemisahan dengan fungsi-fungsi yang

berbeda. Hal ini memang dimaksudkan agar pengeluaran untuk biaya

transportasi dan komunikasi dapat ditekan, kelancarannya dapat dipelihara

sehingga biaya operasi kegiatan dapat ditekan dan keuntungan dapat

ditingkatkan.

4) Kekuatan prestise fungsional (functional prestise forces)

Kekuatan prestise fungsional ini memang berkaitan dengan kekuatan

magnetisme fungsional. Hanya saja dalam kekuatan prestise fungsional ini

penekanannya pada segregesi fungsi-fungsi yang dianggap mempunyai nama

yang terhormat di masyarakat.

5) Kekuatan persamaan kemanusiaan (human equation forces)

Rasionalnya mirip pada kekuatan persamaan kemanusiaan pada centrifugal

forces hanya saja kini menganggap bahwa daerah bagian dalam kota

29
mempunyai kekuatan-kekuatan menarik dalam hal mengangkat harkat

kemanusiaannya. Hal ini dilandasi oleh persepsi seseorang atau sekelompok

orang terhadap daerah bagian dalam kota yang memberikan kesenangan-

kesenangan lahiriah maupun batiniah.

2.3.4 Alih Fungsi Lahan

Sesuai kepentingan manusia, sumberdaya lahan umumnya diolah dengan

cara mengubah bentuk pemanfaatannya atau mengalihfungsikan lahan. Menurut

Jayadinata (1986), beberapa dasar inisiatif penentu bentuk pemanfaatan lahan

antara lain:

1) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat tinggal

2) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat kegiatan ekonomi

3) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat ibadah dan kegiatan spiritual

lainnya

4) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat kegiatan sosial

5) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat rekreasi dan olah raga

6) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat pemakaman

7) inisiatif pemenuhan kebutuhan tempat kegiatan politik

8) inisiatif pemenuhan tempat kegiatan budaya

Beberapa inisiatif pemenuhan kebutuhan tersebut mengakibatkan

terciptanya perilaku yang berbeda-beda dari tempat yang satu ke tempat yang lain

dan dari waktu ke waktu.

Daerah pinggiran kota sebagai suatu daerah yang memiliki karakteristik

perpaduan antara desa dan kota sudah tentu memiliki daya tarik bagi pemenuhan

30
kebutuhan diatas. Meluasnya ekspansi wilayah perkotaan ke daerah pinggiran

kota menurut Sargent (1976) dipacu oleh lima kekuatan, yaitu :

a) Peningkatan jumlah penduduk yang besar sebagai akibat dari pertambahan

penduduk alami dan migrasi

b) Peningkatan kesejahteraan penduduk yang mendorong penduduk yang semula

tinggal di bagian dalam kota untuk mencari tempat baru di daerah pinggiran

kota (teori Colby mengenai kekuatan dinamis)

c) Peningkatan pelayanan transportasi sehingga meningkatkan mobilitas

penduduk

d) Gejala penurunan peranan pusat kota sebagai pusat kegiatan sehingga

mendorong fungsi-fungsi kekotaan untuk memindahkan kegiatannya ke

daerah pinggiran kota

e) Peningkatan peranan para pengembang (developers) dalam menyediakan dan

membangun lokasi-lokasi baruuntuk kompleks permukiman di derah

pinggiran kota dalam jumlah yang besar

Isu mengenai hilangnya lahan pertanian subur di daerah pinggiran kota

telah lama menjadi perhatian para ahli dan pemerhati lingkungan. Para ahli

memiliki persepsi yang sama bahwa hilangnya lahan pertanian tersebut

disebabkan karena tidak adanya pengendalian pertumbuhan fisik kota, hilangnya

lahan pertanian dapat mengancam kestabilan perekonomian dalam jangka

panjang, dan lahan pertanian produktif yang masih ada hendaknya dilindungi dari

konversi ke lahan pertanian yang terlalu dini (Yunus, 1987:145).

Menurut Bryant, Russwurm dan McLellan (1982) dan McGee (1997), alih

31
fungsi lahan pada suatu bidang lahan tertentu dapat mempengaruhi bidang lahan

didekatnya. Gejala ini disebut eksternalititas (externalitities phenomenon) atau

transboundary effects. Eksternalititas dari perubahan bentuk lahan pertanian

terhadap lahan pertanian yang masih bertahan pada suatu kawasan, antara lain:

terganggunya sistem irigasi yang ada, terganggunya pengolahan lahan,

terganggunya penanaman, terganggunya pertumbuhan, terganggunya produksi

dan produktivitas, dan lain lain.

Menurut Yunus (1997) dalam hubungannya dengan bentuk alih fungsi

lahan menjadi permukiman di daerah pinggiran kota, implikasi peningkatan

jumlah pendatang ke daerah pinggiran kota berdampak pada tiga hal, yaitu: 1)

perluasan lahan permukiman, 2) pengelompokan permukiman berkualitas baik

dan permukiman yang berkualitas jelek, dan 3) menjamurnya permukiman liar.

2.3.5 Adaptasi

Adaptasi merupakan konsep yang telah lama digunakan dalam studi

ekologi budaya/ekologi manusia sejak digunakan pertama kali oleh Julian

Steward (1955). Menurut Moran (1982), jika dilihat dari sudut pandang ekologi

manusia, adaptasi dipahami sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia

dalam merespon umpan balik negatif dari lingkungan hidup suatu makhluk hidup.

Umban balik yang dimaksudkan adalah segala perubahan yang disebabkan oleh

lingkungan, baik ekosistem/lingkungan biofisik dan sistem sosial.

Berdasarkan hal tersebut ditas maka, adaptasi terbagi dalam tiga tipe; 1)

adaptasi fisiologi, 2) adaptasi perilaku dan 3) adaptasi kebudayaan. Adaptasi

fisiologi dan adaptasi perilaku merupakan adaptasi biologi atau evolusi, agar

32
manusia dapat bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Sedangkan adaptasi

kebudayaan dipahami sebagai proses budaya yang terjadi dalam rangka untuk

memelihara keseimbangan antara populasi penduduk dengan sumber daya alam

dalam suatu ekosistem (Iskandar, 2009:209).

Dengan demikian, secara sederhana adaptasi merupakan respon dari

hambatan yang bersifat negatif bagi makhluk hidup. Hambatan tersebut terjadi

akibat keterbatasan fisik makhluk itu sendiri, selain memang telah menjadi hukum

alam. Bagaimana pun juga, dalam hal ini yang menjadi inti adalah hubungan

antara makhluk hidup dengan lingkungannya, dimana secara keseluruhan

semuanya hidup dalam suatu ekosistem.

Strategi Adaptasi atau Penyesuaian Diri (Adjustment)

Secara umum, strategi adaptasi (adaptive stategy) dapat diartikan sebagai

rencana tindakan yang dilakukan manusia baik secara sadar maupun tidak sadar,

secara eksplisit maupun implisit dalam merespon berbagai kondisi internal atau

eksternal. Sementara itu, Marzali (2003) strategi adaptasi merupakan perilaku

manusia dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dalam

menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan-pilihan tindakan yang tepat guna

sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi, dan ekologis di tempat

dimana mereka hidup.

Adaptasi bukan hanya terjadi di satu tempat saja melainkan di berbagai

tempat, tidak terkecuali di kota maupun desa. Keanekaragaman suku-bangsa dan

golongan sosial di kota, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi.

Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang diterapkan mencerminkan bentuk

33
kognitif yang dipelajari melalui sosialisasi dari pendukung suatu budaya, yang

kemudian diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial

yang dihadapi (Poerwanto, 2006:242). Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi

ditunjukkan dengan usahanya untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam

kondisi lingkungannya. Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai

nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu

makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk

tersebut (Soemarwoto, 2008:45).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori mengenai adaptasi ini

menentukan bagaimana kemampuan petani untuk beradaptasi terhadap kondisi

alih fungsi lahan yang terjadi yang secara spontan berpengaruh terhadap

kelangsungan hidupnya, berpindahnya matapencaharian pertanian ke sektor non-

pertanian menjadi suatu proses adaptasi untuk mencoba bertahan hidup.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan formulasi teori kedalam topik pembahasan

isu pada penelitian ini. Pada model penelitian akan dijabarkan variabel-variabel

apa saja yang menjadi objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian pada

penelitian ini (Arikunto, 1998). Variabel akan sangat memudahkan bagi penulis

untuk mencari apa saja data yang perlu diambil dan diobservasi dari lapangan.

Variabel penelitian dibagi menjadi dua antara lain ; 1) Variabel Bebas

dan 2) Variabel Terikat. Variabel bebas adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi/memicu terjadinya alih fungsi lahan, sedangkan variabel terikat

34
adalah faktor-faktor yang dipengaruhi oleh adanya fenomena alih fungsi lahan

pada penelitian ini. Secara spasial, variabel inilah yang akan membentuk

perkembangan pola spasial dan merupakan implikasi ruang yang muncul sebagai

akibat dari pertambahan jumlah penduduk serta kegiatannya.

Kedua variabel akan ditinjau ke dalam beberapa aspek antara lain ; 1)

Fisik, 2) Sosial Budaya, 3) Ekonomi dan 4) Kelembagaan. Dalam variabel akan

dibagi-bagi ke dalam sub-sub variabel lagi sebagai indikator yang menjelaskan

obyek pengamatan penelitian ini secara lebih mendetail. Diagram-diagram model

penelitian dibawah ini akan menjelaskan bagaimana keterkaitan variabel-variabel

dan sub-sub variabel terhadap isu penelitian yaitu terjadinya alih fungsi lahan

daerah pinggiran kota di Desa Batubulan, Gianyar.

35
VARIABEL BEBAS

INTERNAL
VARIABEL TERIKAT
 Karakter Fisik Lahan
 Aksesibilitas Alih Fungsi Lahan Daerah
 Infrastruktur
Pinggiran Kota di Desa
 Peraturan Tata Guna Lahan
Batubulan, Gianyar

EKSTERNAL

 Persepsi Petani/Pemilik
Lahan FISIK SOSIAL EKONOMI
 Persepsi Penduduk
BUDAYA
Pendatang
 Inisiatif Pengembang

Diagram 2.2 :
Model Penelitian pada Proses Penelitian

36
Jumlah Luas Lahan Pertanian &
Non Pertanian

Gangguan Usaha Tani


Fisik
Perkembangan Aksesibilitas

Kondisi Infrastruktur & Utilitas

Perubahan Orientasi Penggunaan


Alih Fungsi Lahan Daerah Lahan/Rumah Tinggal
Pinggiran Kota di Desa Sosial Budaya
Batubulan, Gianyar Sistem Kekerabatan

Tingkat Pertumbuhan Penduduk

Status Kepemilikan Lahan


Ekonomi
Fluktuasi Harga Tanah

Tingkat Pendapatan Daerah


Diagram 2.3 :
Skema Variabel Akibat pada Proses Penelitian

37
38

Anda mungkin juga menyukai