Anda di halaman 1dari 40

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai tinjauan pustaka, kerangka berpikir,

konsep, landasan teori dan model penelitian. Tinjauan pustaka yang akan

memaparkan tentang kajian terhadap penelitian mutakhir sebelumnya yang

relevan dengan penelitian yang akan dilakukan saat ini. Kerangka berpikir

merupakan hasil abstraksi dan sintesis dari teori yang dikaitkan dengan masalah

penelitian, konsep memberi batasan terhadap terminologi teknis dari kerangka

teori. Landasan teori merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori

yang sering diperlukan sebagai tuntutan dalam memecahkan permasalahan,

sedangkan terakhir adalah model penelitian yang menjelaskan abstraksi dan

sintesis antara teori dengan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam

bentuk gambar (bagan).

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta

hasil penelitian sebelumnya. Tinjauan pustaka digunakan untuk menghindari

terjadinya plagiasi yang kerap terjadi pada beberapa kasus penelitian. Tinjauan

pustaka juga dijadikan sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan penelitian

selanjutnya, guna memperoleh temuan-temuan baru yang berguna dalam

menambah pengetahuan. Adapun hasil-hasil penelitian sejenis yang dapat

dijadikan sebagai acuan penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan pola

8
9

perilaku di area ruang publik. Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya

akan dipaparkan secara terpisah, sesuai dengan tema penelitian. Penelitian yang

telah ada sebelumnya akan dipaparkan secara deskriptif.

Penelitian arsitektur mengenai hubungan ruang (setting) dengan perilaku

manusia telah banyak dilakukan, ada yang melihat mengenai hubungan interaksi

manusia pada suatu tempat dapat mempengaruhi lingkungan atau permukiman

disekitarnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (1987) dengan judul

“Telaah Toleransi Penduduk Kampung Kota di Daerah Aliran Sungai Code

Berdasarkan Perilaku Dalam Berhubungan Sosial Dengan Tetangga”; Penelitian

kedua, yang dilakukan oleh Najib (2005) dengan judul “Perilaku Pemukim

Terhadap Lahan Permukiman Sekitar Sungai Di Kawasan Pusat Kota”. Materi

bahasan yang sama pada kawasan yang berbeda menemukan hasil penelitian yang

sama. Masyarakat selalu memanfaatkan lingkungan di sekitar mereka dengan

semaksimal mungkin dan memanfaatkan ruang publik sebagai kebutuhan lain dari

fungsi utama ruang tersebut. Penggunaan ruang bersama tidak berdasarkan dekat

jauhnya ruang tersebut dengan tempat tinggal karena alasan kecocokan hubungan

sosial. Hubungan sosial suatu masyarakat tidak terlihat dari jauh dekatnya tempat

tinggal, sehingga terkadang orang menggunakan ruang bersama yang jauh dari

rumahnya, tetapi hubungan sosial dengan orang di tempat jauh tersebut sangat

dekat.

Penelitian mengenai penggunaan ruang juga telah banyak dilakukan.

Penelitian mengenai penggunaan ruang ini digunakan untuk melihat bagaimana

menentukan suatu pola ruang dalam suatu kawasan dan metode yang paling
10

efektif digunakan untuk menemukan suatu pola penggunaan ruang pada suatu

wilayah. Seperti yang dilakukan oleh Haryanti (2008) yang berjudul “Kajian Pola

Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima

Semarang”; Penelitian kedua, yang dilakukan oleh Kasuma dan Iwan (2011) yang

berjudul “Karakteristik Ruang Tradisional Pada Desa Adat Penglipuran, Bali”.

Penelitian pertama, melihat bagaimana pola pemanfaatan ruang berdasarkan ruang

publik, ruang terbuka hijau, pola pedestrian dan pola jalur lambat lebih. Penelitian

ini condong untuk meneliti pola ruang dalam bidang perkotaan. Penelitian kedua,

melihat kebutuhan ruang yang semakin bertambah dapat mengancam pola ruang

yang seharusnya tetap lestari pada Desa Adat Penglipuran (kajian etnik).

Selain itu, penelitian mengenai pola perilaku juga sering dilakukan untuk

membahas mengenai interaksi manusia dengan sesamanya maupun dengan

lingkungan tempat tinggalnya. Seperti yang dilakukan oleh Kurniadi, dkk (2002)

dengan judul “Konsep Perilaku Teritorialitas di Kawasan Pasar Sudirman

Pontianak”; Penelitian kedua mengenai pola perilaku oleh Hisani (2010) dengan

judul “Kajian Teori Pola Perilaku Bersirkulasi Diruang Terbuka (Pedestrian)”.

Persamaan penelitian ini adalah membahas mengenai batas wilayah penggunaan

ruang. Dalam penelitian ini, peneliti mengelompokkan teritori dalam tiga jenis,

antara lain; teritorialitas user group invator, teritorialiras user group aggressor

dan teritorialitas user group penderita. Teritorialitas user group invator terdiri dari

pedagang kaki lima, pemilik toko dan tukang parkir. Teritorialitas user group

aggressor terdiri dari pemilik toko, sedangkan teritorialitas user group penderita

adalah pejalan kaki dan pengendara kendaraan. Teori yang digunakan dalam
11

penelitian ini dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. Konflik penggunaan

ruang dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya upaya pengguna ruang untuk

mempertahankan atau memperjelas batas area kekuasaan.

Dari penelitian mengenai hubungan ruang dan perilaku, penelitian mengenai

penggunaan ruang, dan penelitian mengenai pola perilaku sama-sama

menggunakan metode kualitatif, tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan menggunakan pendekatan fenomenologi,

sedangkan penelitian oleh Najib menggunakan pendekatan naturalistik. Penelitian

mengenai penggunaan ruang yang dilakukan oleh Haryanti dan Kasuma

menggunakan pendekatan rasionalistik. Pendekatan fenomenologi dan naturalistik

ini mirip karena sama-sama melihat fenomena yang terjadi di lapangan tanpa

berbekal kerangka berpikir yang jelas. Selain itu, teknik pengumpulan data yang

digunakan oleh kedua peneliti juga sama, yaitu dengan cara observasi, survei, dan

dokumentasi. Penelitian melakukan observasi awal dengan mengambil foto-foto

dan melakukan pemetaan lokasi sebelum memetakan pola sirkulasi pejalan kaki

dan pengendara kendaraan. Teknik pengumpulan data dengan tiga cara ini

merupakan teknik yang paling sesuai dengan penelitian mengenai hubungan ruang

dan perilaku.

Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan Najib dengan

penelitian Pola Perilaku Wisatawan Pada Monumen Ground Zero Legian Kuta

adalah materi yang dibahas. Materi yang dihasilkan oleh Setiawan dan Najib sama

dengan materi yang ingin ditemukan di Monumen Ground Zero, yaitu ditemukan

suatu ruang atau pembentukan ruang dalam suatu area monumen dipengaruhi oleh
12

aktivitas dan pola perilaku wisatawan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh

Fery Kurniadi dan Dika Hisani dengan penelitian Pola Perilaku Wisatawan Pada

Monumen Ground Zero Legian Kuta adalah sama-sama membahas mengenai

batas wilayah penggunaan ruang. Selain itu kesimpulan yang didapat dari tinjauan

pustaka yang telah ada ini adalah penggunaan metode untuk kasus yang serupa

adalah penggunaan metode kualitatif.

2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep

2.2.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan gambaran tahap awal hingga akhir penelitian.

Tahapan-tahapan yang terjadi, dimulai dari ide dasar yang bertujuan untuk

menemukan fokus/masalah penelitian, merumuskan tujuan dan sasaran penelitian,

menentukan teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar terkait dengan

penelitian yang akan dilakukan, tahap pengumpulan data, kemudian menganalisis

data, hingga memperoleh suatu hasil penelitian, dan terakhir merumuskan

kesimpulan, rekomendasi studi dan saran. Kerangka berpikir disusun berdasarkan

studi teoritik dengan proses berpikir dedukatif dan studi empirik yang merupakan

hasil penelitian terdahulu. (Diagram 2.1)

Berkembangnya objek pariwisata di suatu wilayah, berdampak pada jumlah

kunjungan yang meningkat. Hal ini tidak lepas dari suatu perencanaan wilayah

pariwisata yang tentunya memberikan kenyamanan untuk semua pengguna

(users). Sarana dan prasarana penunjang kegiatan pariwisata tentunya juga harus

memadai untuk memfasilitasi semua aktivitas yang ada sehingga, yang direncakan

dengan matang dapat berjalan sesuai dengan perencanaan sebelumnya.


13

ISU
Didirikan ruang publik baru di Legian Kuta yaitu
Monumen Ground Zero untuk mengenang para korban
ledakan bom Pada Tanggal 12 Oktober 2002.

Idealnya, fungsi utama fasilitas ruang publik Realitanya, dimanfaatkan fasilitas ruang
di area Monumen Ground Zero dalam hal ini publik yaitu trotoar untuk aktivitas duduk-
yaitu trotoar difungsikan untuk pejalan kaki. duduk oleh wisatawan di area Monumen
Ground Zero.

1. Seperti apa aktivitas wisatawan domestik dan mancanegara pada area Monumen Ground
Zero Legian, Kuta?
2. Dimana spot-spot yang menjadi tempat berkumpul wisatawan domestik dan mancanegara di
area Monumen Ground Zero?
3. Apakah ada perbedaan aktivitas yang dilakukan wisatawan domestik dan mancanegara
berdasarkan dimensi waktu di area monumen Ground Zero Legian, Kuta?

1. Memahami dan mengetahui aktivitas wisatawan domestik dan mancanegara pada area
Monumen Ground Zero Legian, Kuta.
2. Mengetahui dimana spot-spot yang menjadi tempat berkumpul dari wisatawan domestik dan
mancanegara di area monumen Ground Zero.
3. Mengetahui jenis aktivitas yang dilakukan wisatawan domestik dan mancanegara
berdasarkan dimensi waktu di area monumen Ground Zero Legian, Kuta.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Kajian tentang hubungan ruang dengan perilaku
2. Kajian tentang penggunaan ruang publik
3. Kajian tentang pola perilaku

KONSEP PENELITIAN
Pola Perilaku Wisatawan Pada Monumen Ground Zero
di Legian, Kuta

LANDASAN TEORI

METODELOGI PENELITIAN

ANALISIS PENELITIAN

Diagram 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian


(Analisis Penulis, 2016)
14

2.2.2 Konsep

Dalam penelitian konsep dapat berupa bagian untuk menjelaskan arti dari

potongan kalimat yang terdapat dalam judul penelitian atau rumusan masalah.

Sama halnya dalam penelitian ini konsep berasal dari penggalan kata judul

penelitian dan dari rumusan masalah. Konsep digunakan untuk menyamakan

persepsi antara peneliti dengan pembaca, sehingga maksud peneliti atau penulis

dapat tersampai dengan benar terhadap pembaca dan tidak keluar dari lingkup

penelitian yang dilakukan.

A. Pola Perilaku

Suatu pola perilaku bisa terdiri dari beberapa perilaku secara bersamaan,

antara lain: perilaku emosional, perilaku untuk menyelesaikan masalah, aktivitas

motorik, interaksi interpersonal dan manipulasi objek. Kombinasi dari perilaku ini

membentuk suatu pola perilaku, terjadi pada lingkungan fisik tertentu, atau pada

milieu-nya. Teori yang berorientasi pada lingkungan dalam psikologi lebih banyak

dikaji berdasarkan behavioristik, yaitu teori yang memandang perilaku manusia

lebih ditentukan oleh faktor lingkungan dimana manusia hidup. Adanya

perbedaan lokasi dimana tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku

berbeda (Helmi, 1995:7). Dari pernyataan tersebut diatas memberikan gambaran

tentang keanekaragaman perilaku manusia yang dilatarbelakangi oleh lingkungan

yang akan membentuk karakteristik perilaku manusia. Adapun jenis dan faktor-

faktor yang mempengaruhi dan membentuknya, yaitu :

1. Jenis Perilaku
15

Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu perilaku

alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami

yang berupa reflek dan insting adalah perilaku yang dibawa manusia sejak

manusia dilahirkan. Sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk

melalui proses belajar, yang selanjutnya disebut sebagai perilaku psikologis

(Skinner, 1976:20). Pada manusia perilaku operan atau perilaku psikologis lebih

dominan berpengaruh akibat dari bentuk kemampuan untuk mempelajari dan

dapat dikendalikan atau diubah melalui proses pembelajaran. Sebaliknya reflek

merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat untuk dikendalikan.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya bahwa

perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga berpengaruh

terhadap lingkungan. Adapun secara spesifik faktor lingkungan dan individu

adalah sebagai berikut :

a. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,

bahkan sering kekuatan lebih besar dari faktor individu (Azwar, 1998:11).

Dalam hubungan antara perilaku dengan lingkungan dibagi dalam tiga

kelompok, yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan), lingkungan

sosial (organism sosial, tingkat pendidikan, mata pencaharian, tingkat

pendapatan) dan lingkungan budaya (adat istiadat, peraturan, hukum)

(Sumaatmaja, 1998: 18).

b. Faktor Individu
16

Faktor individu yang menentukan perilaku manusia antara lain adalah tingkat

intelegensia, pengalaman pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar, 1998:

14).

3. Pembentukan Perilaku

Pembentukan perilaku sangat diperlukan untuk mengendalikan perilaku

manusia agar seperti yang diharapkan (Bimo, 1990: 18) antara lain dengan:

a. Pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, adalah

pembentukan perilaku yang ditempuh dengan mengkondisikan atau

membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan.

b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight), adalah pembentukan

perilaku yang dilakukan dengan cara pembelajaran disertai dengan

memberikan pengertian.

c. Pembentukan perilaku dengan model atau contoh, adalah pembentukan

perilaku dengan menggunakan model atau contoh dan biasanya didasarkan

atas bentuk-bentuk perilaku yang telah ada.

Dalam rangkaian pembentukan perilaku manusia terdapat dua jenis

pembelajaran, yaitu pembelajaran secara fisik dan pembelajaran secara psikis

dimana seorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial

(sosial learning), dan selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah

lakunya sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya (Sarwono, 2002: 23).

Jadi pola perilaku yang dimaksud dalam penelitian yang berjudul “Pola Perilaku

Wisatawan Pada Monumen Ground Zero Legian, Kuta” adalah suatu aksi-reaksi
17

manusia yang melakukan kunjungan pada suatu objek dalam hal ini adalah

monumen Ground Zero.

B. Aktivitas

Menurut Mulyono (2001:26) menyebutkan aktivitas merupakan kegiatan atau

keaktifan, jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi

baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktivitas. Sedangkan menurut

Sriyono aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani

atau rohani. Dari penjelasan mengenai aktivitas dapat disimpulkan aktivitas

wisatawan di area Monumen Ground Zero merupakan segala kegiatan yang

dilakukan dalam proses interaksi (antara wisatawan satu dengan wisatawan

lainnya) dalam rangka mencapai tujuan mengunjungi area tersebut.

C. Wisatawan

Pengunjung merupakan orang-orang yang datang berkunjung disuatu tempat

atau negara, biasanya mereka disebut sebagai pengunjung yang terdiri dari

beberapa macam orang dengan bermacam-macam motivasi kunjungan termasuk

didalamnya adalah wisatawan. Terdapat banyak pengkategorian wisatawan,

menurut International Union Of Official Travel Organization (IUOTO)

menyebutkan, pengunjung yaitu setiap orang yang datang ke suatu negara atau

tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk melakukan

pekerjaan yang menerima upah. Pengunjung digolongkan dalam dua kategori,

yaitu:

1. Wisatawan (tourist) yaitu pengunjung yang tinggal sementara sekurang-

kurangnya selama 24 jam di negara yang dikunjungi.


18

2. Pelancong (excursionist) yaitu pengunjung sementara yang tinggal di suatu

negara yang dikunjungi dalam waktu kurang dari 24 jam.

Dari beberapa pengertian tersebut, dalam penelitian ini yang dimaksud

dengan wisatawan adalah seseorang yang melakukan kunjungan pada objek dan

daya tarik wisata yang dalam hal ini adalah objek Monumen Ground Zero baik itu

wisatawan domestik maupun mancanegara.

D. Monumen Ground Zero

Monumen Ground Zero adalah jenis bangunan yang dibuat untuk

memperingati hari bersejarah terjadinya bencana kemanusiaan yang merenggut

ratusan orang tak berdosa dari berbagai belahan dunia. Monumen peringatan

tersebut kemudian diberi nama Monumen Ground Zero yang terletak tepat di

bekas kejadian, yakni di Legian Kuta. Kawasan ini merupakan kawasan teramai

dan terpadat di Bali karena menjadi ikon pariwisata Bali. Di sepanjang jalan ini

terdapat banyak café, club,toko-toko dan hotel tempat menginap para turis.

Monumen ini dibangun dengan tujuan untuk mengenang para korban ledakan

bom Sari Club dan Paddy’s Café. Gagasan awal pembuatan monumen ini berasal

dari Ketua Persatuan Tourist Attraction Indonesia Bali yaitu Nyoman Rudana.

Maka, setelah terjadinya peristiwa pengeboman itu mulailah monumen tersebut

dibangun dan selesai pada tahun 2003 dengan diberi nama “Monumen Panca

Benua”.

Jadi, dalam penelitian dengan judul “Pola Perilaku Wisatawan Pada

Monumen Ground Zero” membahas area di sekitar monumen beserta ruang-ruang


19

pendukung aktivitas di area tersebut yang dibuat untuk memperingati peristiwa

terorisme yang terjadi yaitu peristiwa ledakan bom di Legian Kuta.

2.3 Landasan Teori

Dalam suatu penelitian, landasan teori memegang peranan yang cukup

penting karena dapat dimanfaatkan untuk menjawab atau memecahkan masalah

yang ada dalam penelitian. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini,

diperlukan berbagai teori yang relevan. Beberapa teori yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

2.3.1 Teori Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun

dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir,

berpendapat, bersikap) namun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan

ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan

interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut

pengetahuan dan sikap tentang pemanfaatan ruang publik. Perilaku aktif dapat

dilihat, sedangakan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi,

atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk perilaku dalam tiga domain

yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah

knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).


20

Perilaku spasial atau bagaimana orang menggunakan tatanan dalam

lingkungan adalah sesuatu yang dapat diamati secara langsung. Arsitek dan

perencanaan kota umumnya lebih menaruh perhatian pada perilaku secara mikro,

mulai dari ruangan hingga lingkungan atau distrik dalam kota. Pendekatan

perilaku-lingkungan mengenai perilaku manusia menunjukkan bahwa perilaku

seseorang adalah fungsi dari motivasinya, kemanfaatan lingkungan (affordances)

dan image-nya tentang dunia di luar persepsinya langsung dan makna citra

tersebut bagi orang yang bersangkutan.

Manusia bersosialisasi secara berbeda, dibesarkan di lingkungan geografis

dan sosial yang berbeda, mempunyai motivasi yang berbeda, melihat dan

menggunakan lingkungannya secara berbeda pula. Dari waktu ke waktu peran

seseorang dalam masyarakat berubah. Budaya memiliki posisi tertinggi dalam

hierarki kontrol, diikuti oleh kelompok sosial, kepribadian dan terakhir subsistem

organismik lingkungan. Artinya karakter fisik seseorang lebih mudah

dikendalikan dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan model ini, budaya

yang merupakan kepercayaan, tata nilai, simbol dan gaya yang menjadi

karakteristik sekelompok orang, mengendalikan banyak perilaku manusia. Banyak

kualitas yang menentukan kemampuan seseorang yang sukar diukur, terutama

yang berkaitan dengan budaya dan perilaku budaya.

Perubahan dapat terjadi diberbagai unsur kehidupan. Dalam teori yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa perubahan yang paling

mudah terjadi adalah pada unsur sistem peralatan hidup dan teknologi. Sedangkan
21

unsur yang paling sulit berubah adalah unsur religi. Berikut merupakan 7 unsur

budaya menurut Koentjaraningrat, antara lain:

1. Sistem religi yang meliputi kepercayaan, nilai dan pandangan hidup,

komunikasi keagamaan, serta upacara keagamaan.

2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi kekerabatan,

asosiasi dan perkumpulan, sistem keanekaragaman, serta sistem kesatuan

hidup.

3. Sistem pengetahuan yang meliputi flora dan fauna, waktu, ruang dan

bilangan, tubuh manusia, serta perilaku antar sesama manusia.

4. Bahasa meliputi bahasa lisan dan bahasa tulisan.

5. Kesenian yaitu seni patung/pahat, relief, lukisan dan gambar, ragam hias,

vokal, musik, bangunan, kesusastraan dan drama.

6. Sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi yang meliputi berburu dan

mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan

perdagangan.

7. Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi produksi, distribusi,

transportasi, peralatan komunikasi, peralatan komsumsi dalam bentuk wadah,

pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta senjata.

Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusia juga makhluk

sosial, hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi

kebutuhan sosial, menusia berperilaku sosial dalam lingkungannya yang dapat

diamati dari fenomena perilaku-lingkungan, kelompok pemakai dan tempat

terjadinya perilaku.
22

Menurut Teori Konvergensi oleh Stern menyatakan bahwa lingkungan dan

budaya berpengaruh dalam perkembangan manusia. Dalam hal ini dapat

dikemukakan dua hal, yaitu:

1. Manusia mengalami perubahan sebagai akibat dari perkembangan manusia

tersebut.

2. Dalam perkembangan manusia itu faktor pembawaan dan faktor lingkungan

secara bersama-sama mempunyai peran.

Dapat disimpulkan disini bahwa perilaku manusia berubah dan berkembang

sesuai dengan perubahan dan perkembangan manusia dan lingkungan. Faktor

lingkungan yang mempengaruhi manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu

lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Bentuk Perubahan Perilaku

Menurut WHO, perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga (Notoatmojo,

2007) :

a. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan oleh kejadian alamiah.

Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik

atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakatnyapun

akan mengalami perubahan.

b. Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

subjek.

c. Kesediaan untuk berubah (Readiness to Change)


23

Apabila terjadi inovasi, maka yang sering terjadi adalah sebagian masyarakat

dapat dengan cepat menerima perubahan dan sebagian lagi dapat dengan

sangat lambat menerima perubahan. Penyebabnya adalah setiap orang

memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menerima perubahan.

Proses Terjadinya Perubahan Perilaku

Menurut teori Roger dan Schoemaker, proses terjadinya perubahan perilaku

terjadi secara berurutan, antara lain:

a. Awareness (Kesadaran), yaitu pelaku yang mengalami perubahan menyadari

stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yaitu pelaku tersebut mulai tertarik terhadap stimulus.

c. Evaluation, yaitu pelaku tersebut mulai menimbang-nimbang, baik atau

tidaknya stimulus bagi pelaku.

d. Trial, pelaku mencoba melakukan perilaku baru.

e. Adoption, pelaku telah menjalani perubahan perilaku, sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (objek).

Teori perubahan perilaku berperan sebagai tolak ukur dalam melihat bentuk

perubahan perilaku yang terjadi terhadap wisatawan pada Monumen Ground Zero

di Legian, Kuta. Perubahan perilaku-perilaku wisatawan ini membentuk suatu

pola perilaku yang kemudian mulai memanfaatkan ruang publik di area Monumen

Ground Zero.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya bahwa

perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga berpengaruh


24

terhadap lingkungan. Adapun secara spesifik faktor lingkungan dan individu

adalah sebagai berikut :

1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,

bahkan sering kekuatannya lebih besar dari faktor individu (Azwar, 1998:11).

Dalam hubungan antara perilaku dengan lingkungan dibagi dalam tiga

kelompok, yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan dan kesehatan),

lingkungan sosial (organisme sosial, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan

tingkat pendapatan), lingkungan budaya (adat istiadat, peraturan, hukum)

(Sumaatmaja, 1998:21).

2. Faktor Individu

Faktor individu yang menentukan perilaku manusia antara lain adalah tingkat

intelegensia, pengalaman pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar,

1998:14). Faktor individu sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari dalam menata dan memperlakukan lingkungannya lebih baik.

Pembentukan Perilaku

Pembentukan perilaku sangat diperlukan untuk mengendalikan perilaku

manusia agar seperti yang diharapkan (Bimo, 1999:18), antara lain dengan:

1. Pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, adalah

pembentukan perilaku yang ditempuh dengan mengkondisikan atau

membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan.


25

2. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight), adalah pembentukan

perilaku yang dilakukan dengan cara pembelajaran disertai dengan

memberikan pengertian.

3. Pembentukan perilaku dengan model atau contoh, adalah pembentukan

perilaku dengan model atau contoh dan biasanya didasarkan atas bentuk-

bentuk perilaku yang telah ada.

Dalam rangkaian pembentukan perilaku manusia terdapat dua jenis

pembelajaran yaitu pembelajaran secara fisik dan pembelajaran secara psikis

dimana seorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial

(social learning), dan selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah

lakunya sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya (Sarwono, 2002:23).

Karakteristik Perubahan Perilaku

Perilaku manusia merupakan manifestasi kehidupan fisik yang terintegrasi

dari keseluruhan keadaan individu. Secara singkatnya, perilaku merupakan

responden terhadap stimulus atau rangsangan yang mengenai individu atau

organisme tersebut. Motif pendorong perilaku manusia tentunya juga tidak

terlepas dari keadaan individu dan lingkungan dimana individu itu berada (Bimo

Walgito, Pengantar Fisikologi Umum, 2010:6).

Individu secara sadarnya berperilaku dengan mempertimbangkan sesuatu

yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada disekitarnya.

Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini

dapat bersumber dari agama atau nilai-nilai luhur yang ada didalamnya, dalam hal

ini, agama dan budaya telah menyatu menetapkan norma-norma, nilai dan tujuan
26

yang mengatur perilaku anggotanya. Inilah yang kemudian membentuk suatu

kehidupan yang harmonis. Ruang lingkup perilaku manusia sangat luas dan

komplek. Bloom (seorang ahli psikologi pendidikan, 1908:57) menjelaskan bahwa

perilaku terdiri dari domain kognitif, domain afektif dan domain psikomotor.

Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli pendidikan menyepakati ketiga

domain tersebut dapat diukur melalui aspek pengetahuan, sikap dan tindakan

(Notoatmodjo, 1993).

Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau

lingkungan (Depdiknas, 2005:12). Dari pandangan biologis perilaku merupakan

suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Skiner (1938)

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus/rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses

adanya organisme. Kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini

disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon. Lebih lanjut Skiner

menambahkan, bahwa perilaku dapat dibedakan menjadi dua jika dilihat dari

bentuk respon terhadap stimulus, yaitu: (1) Perilaku tertutup, Respon seseorang

terhadap stimulus dalam bentuk terselumbung atau tertutup. Respon atau reaksi

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan,

kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan

belum dapat diamati secara jelas; (2). Perilaku terbuka, Respon seseorang

terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

yang dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari.


27

Dari pemaparan teori perilaku diatas dapat disimpulkan bahwa teori ini dapat

digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi di lapangan, yaitu

perilaku baru akan terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk

menimbulkan reaksi. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku juga

digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai perilaku wisatawan dalam

memanfaatkan fungsi ruang publik, dengan menggunakan teori perilaku sebagai

pedoman dasar.

2.3.2 Teori Behavioral Setting (Seting Perilaku)

Istilah behavioral setting atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan seting

perilaku, pertama kali diperkenalkan oleh Roger Barker, pelopor kajian ecological

psychology, sekitar tahun 1950-an bersama dengan Wright dalam studi mereka

tentang perilaku anak-anak di berbagai lokasi yang berbeda. Penelitian studi oleh

Berker dan Wright menemukan pola perilaku yang unik dan spesifik terkait secara

khusus dengan unsur-unsur fisik atau seting yang ada. Berdasarkan studi ini,

Barker dan Wright mengembangkan metode behavioral setting untuk mengkaji

kaitan antara perilaku dan sistem seting. Hasil-hasil kajian ini dituangkan oleh

Barker dalam suatu buku yang cukup monumental di bidang kajian arsitektur

lingkungan dan perilaku, yaitu Ecological Psychology yang terbit pada tahun

1969. Dalam buku ini dijelaskan penekanan dalam kajian seting perilaku adalah

bagaimana cara mengidentifikasikan perilaku-perilaku yang secara konstan atau

berkala muncul pada suatu tempat atau seting tersebut (Haryadi, 2010:28).

Behavioral setting didefinisikan oleh Roger Barker pada tahun 1968 dalam

bukunya yang berjudul Ecological Psychology sebagai kombinasi yang stabil


28

antara aktivitas, tempat dan kriteria sebagai berikut: (1) Terdapat suatu aktivitas

yang beruang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri atas satu atau lebih pola

ekstra individual; (2) Dengan tata lingkungan tertentu, milieu (lingkungan

pergaulan) ini berkaitan dengan pola perilaku; (3) Membentuk suatu hubungan

yang sama antar keduanya; (4) Dilakukan pada periode waktu tertentu (Laurens,

2004:175).

Behavioral setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi

antara kegiatan dengan tempat dan waktu yang spesifik. Dengan demikian,

behavioral setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan

sesuatu kegiatan aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut dan

tempat serta waktu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Manusia dan objek

adalah komponen primer. Manusia adalah bagian yang paling utama bagi

behavioral setting, tanpa keberadaan manusia sebagai pengguna behavioral

setting tidak akan terwujud. Meskipun demikian, hubungan antara manusia dan

objek fisik mewujudkan keberadaan behavioral setting (Haryadi, 2010:27).

Dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku istilah behavioral setting

dijabarkan dalam dua istilah, yaitu system of setting dan system of activity,

keterkaitan antara kedua istilah ini membentuk suatu behavioral setting tertentu.

System of setting atau sistem ruang diartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik

atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait sehingga dapat

dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. System of activity atau sistem aktivitas

diartikan sebagai rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau

beberapa orang. Kedua istilah ini menegaskan bahwa di antara beberapa unsur
29

ruang atau di antara beberapa kegiatan tersebut, terdapat suatu struktur atau

rangkaian yang menjadikan kesatuan kegiatan atau perilakunya mempunyai

makna, terlepas dari apakah makna ini dapat diartikan oleh orang lain yang tidak

terkait dengan kegiatan tersebut.

Behavioral setting mempunyai spectrum yang sangat luas, mulai dari sesuatu

yang mikro seperti kamar hingga yang berskala makro dalam hal ini contohnya

adalah kota. Setiap spectrum mempunyai batas area tersendiri yang dikenal

dengan teritorial, karena setiap sekelompok manusia dapat membentuk suatu

behavioral setting yang berbeda tergantung nilai-nilai, kesempatan dan keputusan

yang dibentuk oleh kelompok tersebut (Haryadi, 2010:28-29).

Teknik yang sering digunakan untuk mengamati kegiatan dalam suatu

lingkungan adalah behavioral mapping. Teknik ini mempunyai kekuatan utama

dalam aspek spasialnya. Dengan teknik ini akan didapat sekaligus atau bentuk

informasi mengenai fenomena (terutama perilaku individu dan sekelompok

manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya. (Haryadi, 2010:81).

Behavioral mapping digambarkan dalam sketsa atau diagram mengenai suatu

area dimana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk

menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi

perilaku serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud

perancangan yang spesifik (Sommer dalam Haryadi, 2010:81). Jenis perilaku

yang biasanya dipetakan adalah pola perjalanan, migrasi, kegiatan rumah tangga

serta penggunaan berbagai fasilitas publik.


30

Terdapat dua cara dalam melakukan pemetaan perilaku, yaitu place-centered

mapping dan personal-centered mapping (Haryadi, 2010:82-83).

1. Pemetaan berdasarkan tempat (place-centered mapping)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau kelompok

manusia memanfaatkan, menggunakan atau mengakomodasikan perilakunya

dalam situasi waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik

ini adalah salah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik

ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau

seting, meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku

pengguna ruang tersebut. Berikutnya membuat daftar perilaku yang akan diamati

serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam

kurun waktu tertentu, peneliti mencatat perilaku yang terjadi dalam tempat

tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah

disiapkan.

2. Pemetaan berdasarkan pelaku (personal-centered mapping)

Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada periode tertentu.

Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan beberapa tempat atau lokasi.

Pada pengamatan ini peneliti hanya mengamati seseorang yang telah ditentukan

sebelumnya. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilih seseorang yang

akan diamati perilakunya lalu mulai mengikuti pergerakan atau aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang diamati. Pengamatan dapat

dilakukan secara berlanjut atau hanya pada waktu-waktu tertentu tergantung dari

tujuan penelitian.
31

Berdasarkan pemaparan mengenai behavioral setting dapat diketahui bahwa

teori ini akan membantu dalam meneliti bagaimana pola perilaku wisatawan yang

dapat mempengaruhi seting yang menampung aktivitas tersebut.

Behavioral mapping akan sangat membantu dalam meneliti fokus dari

penelitian ini ingin melihat suatu aktivitas dan wadah dari aktivitas tersebut serta

bagaimana hubungan antara aktivitas dengan wadahnya begitupula sebaliknya,

sehingga ini merupakan salah satu teori yang baik digunakan untuk menemukan

jawaban dari permasalahan yang ada.

Dari teknik pemetaan perilaku, dapat dilihat bagaimana masing-masing pola

perilaku wisatawan di suatu seting yang ada di area Monumen Ground Zero ini,

seperti pada fasilitas umum berupa jalan, trotoar dan fasilitas umum yang ada.

Setelah meneliti perilaku wisatawan, selanjutnya penelitian dilakukan secara

terbalik, yaitu untuk melihat bagaimana seting yang ada di area monumen tersebut

dapat mempengaruhi aktivitas dari masing-masing perilaku wisatawan. Setelah

melakukan penelitian dengan menggunakan teknik behavioral mapping, maka

dapat diketahui bagaimana pola ruang yang terjadi di area Monumen Ground

Zero.

2.3.3 Teori Ruang Publik

Peran ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan

karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi

masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Secara

langsung nilai komersial yang ditawarkan tidak begitu menjanjikan bagi investor

yang berminat berkiprah menanamkan modalnya, karena masyarakat yang


32

menggunakan ruang publik untuk usaha atau kegiatan sosial lainnya tidak

memungkinkan ditarik pajak terlalu tinggi karena daya beli yang relatif rendah,

sehingga tidak dapat diandalkan untuk pengembalian modal bagi investor secara

langsung. Perlu dipikirkan keterkaitan antara fasilitas pelayanan umum yang

memiliki nilai komersial dengan ruang-ruang publik secara sinergis.

Ruang publik merupakan ruang umum yang dapat menampung

aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun

kelompok. Kebiasaan manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi

yang berpengaruh terhadap tipologi ruang kota yang direncanakan. Kelengkapan

ruang publik yang harus disediakan semakin berkembang, baik dari segi kualitas

desain, bahan, dan perawatannya. Misalnya: papan-papan informasi, dan reklame,

tempat sampah, telepon boks, lampu-lampu (Darmawan, 2009:48).

1. Defenisi dan Tipologi Ruang Publik

Berdasarkan ruang lingkupnya ruang publik dapat dibagi menjadi beberapa

tipologi (Carmona, 2003) antara lain :

a. External public space, Ruang publik ini berbentuk ruang luar yang dapat

diakses oleh semua orang seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki,

dan lain sebagainya.

b. Internal public space. Ruang publik ini berupa sebuah bangunan fasilitas

umum yang dikelola pemerintah dan dapat diakses oleh warga secara

bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi, dan

pusat pelayanan warga lainnya.


33

c. External and internal “quasi” public space. Ruang publik ini berupa

fasilitas umum yang dikelola oleh sektor privat dan ada batasan atau

aturan yang harus dipatuhi warga, seperti mall, restoran dan lain

sebagainya.

Salah satu fungsi public space adalah sebagai simpul kegiatan. Oleh

karenanya, publik space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek

aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran).

Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu

kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan.

Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan

mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas

perjalanan, sirkulasi diharapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui

experiencenya (Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007). Dan sirkulasi yang baik

memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.

Secara rinci dipertegaskan dalam pasal 29 UU RI Nomor 26 tahun 2007 yang

merupakan kelanjutan dari pasal 28, bahwa porsi ruang terbuka hijau pada

wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dan proporsi ruang

terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20%. Karena pentingnya

fungis ruang publik dalam perencanan kota perlu diuraikan sebagai berikut:

(Darmawan, 2003).

1) Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat, baik formal maupun informal

seperti upacara bendera, Sholat Ied pada Hari Raya Idul Fitri dan peringatan-

peringatan yang lain; kegiatan informal seperti pertemuan-pertemuan individu,


34

kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif seperti konser musik

yang diselenggarakan berbagai televisi.

2) Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor, jalan yang menuju

kearah ruang terbuka publik tersebut dan ruang pengikat dilihat dari struktur

kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya

serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah ke arah tujuan

lain.

3) Sebagai tempat pedagang kaki lima menjajakan makanan dan minuman,

pakaian, souvenir dan jasa entertainment seperti tukang sulap, tarian kera dan

ular, dan sebagainya.

4) Sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut, sekaligus

sebagai ruang evakuasi untuk menyelamatkan masyarakat apabila terjadi

bencana gempa atau yang lainnya.

2. Elemen Ruang Publik

Konsep lain dalam menilai kualitas ruang publik kota terdapat 8 elemen

yakni: aktivitas dan fungsi campuran; ruang publik dan khusus; pergerakan dan

keramahan pedestrian; skala manusia dan kepadatan; struktur, kejelasan dan

identitas; kerapian, keamanan dan kenyamanan; manajemen kota; dan beragam

visual menarik (Darmawan, 2009:89).

Aktivitas dan fungsi campuran mempengaruhi kecendrungan masyarakat

dalam memilih ruang publik. Masyarakat kota dalam melakukan aktifitasnya lebih

memilih tempat yang fasilitasnya memiliki fungsi campuran. Sehingga hampir di

berbagai kota di dunia mendesain kotanya dengan Mixed Use konsep. Ruang
35

publik dan ruang khusus adalah ruang publik dengan pengertian yang luas

memiliki arti penting masyarakat, sebagai area komunikasi, tempat kencan,

tempat apresiasi, dan rekreasi, area kemersial, pedagang kaki lima, tempat demo

mengemukakan pendapat dan sebagainya. Penyediaan ruang publik merupakan

faktor penting untuk membuat ruang kota menjadi hidup (lively). Pengadaan

ruang publik perkotaan sangat diperlukan untuk sarana kegiatan sosial, ekonomi,

dan fungsi lingkungan.

Pergerakan dan keramahan pedestrian area atau jalan pedestrian merupakan

faktor penting untuk mengatisifasi pergerakan orang dari satu fasilitas publik ke

tempat lainnya. Fasilitas ini dulu diabaikan, sekarang sudah mulai di perhitungkan

karena mengandung nilai kualitas lingkungan yang baik dan harus didesain sesuai

citra kawasan. Keramahan pedestrian akan memberi kenyamanan bagi masyarakat

dalam melakukan pergerakan. Skala manusia dan kepadatan akan mempengaruhi

kualitas ruang publik. Suatu desain harus memikirkan skala manusia agar lebih

manusiawi, keterlingkupan (enclosure) yang lebih erat, asesoris kota (townscape)

yang lebih menarik, utilitas kota yang berfungsi dengan baik. Intinya semua aspek

dirancang lebih manusiawi dan aksesbilitas bagi penyandang cacat sekalipun.

Kepadatan merupakan kondisi yang tidak seimbang antara fasilitas yang tersedia

dan masyarakat yang menggunakannya.

Struktur, kejelasan, dan identitas memberi pemahaman dengan cepat kepada

masyarakat akan keberadaan ruang publik. Sebelum memulai perencanaan secara

integral, wajib mengenali struktur kawasan kota yang akan dirancang, daerah

mana yang perlu dikembangkan, ruang terbuka mana yang bisa dipakai sebagai
36

rendevous point, bagaimana mengatur aksesbilitasnya. Hal ini untuk kejelasan

manajemen transportasi kawasan terhadap kota. Identitas merupakan unsur

penting yang dapat menarik perhatian di kawasan revitalisasi, karena orang akan

mudah terkesan dan selalu ingat apa yang pernah dilihat. Kerapian, keamanan,

dan kenyamanan merupakan elemen penting dalam peningkatan kualitas ruang

publik. Kerapian yang menyangkut infrastruktur, bangunan, utilitas, dan asesoris

kota merupakan faktor penting yang sering diabaikan oleh pengelola kota,

sehingga banyak keluhan masyarakat karena merasa tidak nyaman, terganggu dan

tidak aman.

Manajemen kota sangat diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan

kualitas ruang publik. Manajemen suatu kota sering tidak jelas siapa yang harus

bertanggung jawab, siapa yang berperan menggerakkan masyarakat menyadari

akan partisipasi terhadap pengelolaan kota. Peran stakeholder sangat penting

dalam manajeman kota, karena beban ini tidak dapat sepenuhnya diberikan pada

pemerintah kota karena berbagai keterbatasan. Beragam visual menarik yang ada

di kawasan revitalisasi sangat diperlukan untuk menambah nilai pemandangan

(vista) yang dapat meningkatkan daya tarik dan nilai estetika kawasan menjadi

berkualitas. Supaya nilai kawasan tersebut lebih positif maka dalam perencanaan

penataan kawasan harus memperhatikan potensi yang ada, dan menciptakan

karakter yang berjati diri kawasan setempat.

3. Faktor-faktor Kualitas Ruang Publik

Faktor lain yang mendasari perencanaan peningkatan kualitas ruang publik,

antara lain: keamanan, kenyamanan, pencapaian, vitalitas, dan citra (image)


37

(Darmawan, 2009:88-89). Faktor keamanan menjadi penting karena dapat

memberi kenikmatan bagi para pengguna. Faktor kenyamanan dapat dilakukan

dengan memberikan fasilitas-fasilitas pada ruang publik seperti: tempat-tempat

duduk yang terlindung dari matahari, tempat-tempat pemberhentian yang nyaman

untuk menunggu bus dan sebagainya. Kenyamanan juga bisa dicapai dengan

melakukan pelebaran trotoar yang sesuai dengan kebutuhan.

Faktor pencapaian sangat penting terutama bagi pejalan kaki atau pemakai

kendaraan bermotor, misalnya: transit mall yang mempermudah orang

menyeberang jalan dan memperlancar sirkulasi kendaraan/ bus. Vitalitas artinya

bahwa ruang publik seharusnya lebih diramaikan dengan adanya cafe, pedagang

kaki lima, dan kegiatan lain yang menggunakan ruang publik misalnya festival-

festival yang akan menghidupkan suatu kawasan. Image dapat diciptakan sesuai

keinginan perencana atau pengelola dengan menampilkan elemen-elemen yang

dapat memberi kesan khusus sehingga dapat menarik para wisatawan.

Menurut Carr dalam Sunaryo (2004) terdapat nilai kualitas yang seharusnya

dimiliki oleh ruang publik agar menjadi ruang publik yang baik, yaitu sebagai

berikut:

a. Ruang yang Responsif

Ruang publik yang didesain untuk melayani kebutuhan penggunanya. Carr

dalam Carmona (2003) mengatakan terdapat lima kebutuhan utama yang harus

dipenuhi, yaitu kenyamanan, relaksasi, dan keterlibatan pasif dan aktif serta

menemukan hal-hal baru.

1. Kenyamanan
38

Prasyarat ruang publik adalah kenyamanan. Indikator kenyamanan adalah

lamanya waktu orang tinggal di ruang publik. Dimensi rasa nyaman yaitu

faktor lingkungan, kenyamanan fisik, dengan kenyamanan sosial dan

psikologis.

2. Relaksasi

Kenyamanan psikologis bisa menjadi prasyarat relaksasi. Hadirnya unsur-unsur

alam seperti pepohonan rindang menjadi pembeda di wilayah perkotaan yang

biasanya didominasi oleh bangunan-bangunan atau gedung-gedung pencakar

langit sehingga dapat membuat mudah untuk santai dan menyegarkan pikiran.

3. Keterlibatan Pasif

Keterlibatan pasif dengan lingkungan dapat menimbulkan rasa relaksasi.

Bentuk dari keterlibatan pasif adalah melihat atau menonton. Hal yang menarik

adalah orang lain dengan kehidupan dan aktivitas yang mereka lakukan.

Biasanya tempat duduk yang sering digunakan adalah yang berdekatan dengan

jalur pejalan kaki. Bisa juga dengan melihat air mancur dan pertunjukkan seni

atau hiburan yang ada.

4. Keterlibatan Aktif

Keterlibatan aktif melibatkan langsung dengan orang-orang yang ada di

dalamnya. Meskipun beberapa orang sudah cukup puas dengan hanya

menonton, namun yang lain menginginkan untuk berkontak langsung dengan

keluarga, teman atau orang asing.

5. Penemuan Baru
39

Bertemunya budaya yang berbeda dan kemudian berinteraksi, memungkinkan

untuk seseorang menemukan hal yang baru, bisa melalui seni pameran, teater

jalanan, festival, pasar atau acara masyarakat.

b. Ruang yang Demokratis

Ruang publik dapat dipakai atau dinikmati oleh semua kalangan dan

memberikan kebebasan bertindak bagi penggunanya. Bebas bukanlah tanpa

aturan. Meskipun bebas melakukan aktivitas, namun tetap ada norma yang

harus dihormati sehingga kebebasan tersebut tidak mengganggu orang lain.

Ruang publik ternyata memberikan pelajaran tentang bagaimana hidup

bersama orang lain, yaitu saling menghargai.

c. Ruang yang Mempunyai Arti atau Bermakna

Ruang publik yang memberikan arti merupakan ruang publik yang

menumbuhkan rasa rindu kepada para pemakai atau wisatawan untuk datang

mengunjunginya kembali. Para wisatawan yang datang kembali akan membuat

lokasi ini menjadi ramai, sehingga berpotensi menjadi peluang usaha bagi para

pekerja informal seperti pedagang makanan minuman dan jasa.

4. Karakter Ruang Publik

Menurut Sunaryo (2010), ruang publik memiliki karakter seperti berikut:

a. Ruang tempat masyarakat berinteraksi, melakukan beragam kegiatan secara

berbagi dan bersama, meliputi interaksi sosial, ekonomi dan budaya,

dengan penekanan utama pada aktivitas sosial.


40

b. Ruang yang diadakan, dikelola dan dikontrol secara bersama baik oleh

instansi publik maupun privat, didedikasikan untuk kepentingan dan

kebutuhan publik.

c. Ruang yang terbuka dan akses secara visual maupun fisik bagi semua tanpa

kecuali.

d. Ruang tempat masyarakat mendapat kebebasan beraktivitas. Penekanan

adalah pada kebebasan ekspresi dan aktualisasi diri dan kelompok, meski

demikian bukan kebebasan tanpa batas. Kontrol norma, aturan dan regulasi

tetap ada dan disepakati bersama.

Dari perkembangan sejarah, ruang publik kota memberi pandangan yang

lebih luas tentang bentuk variasi dan karakternya. Pengertian ruang publik secara

singkat merupakan suatu ruang yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan

masyarakat yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya. Sikap dan

perilaku manusia dipengaruhi oleh perkembangan teknologi juga berpengaruh

terhadap tipologi ruang kota yang direncanakan. Asesoris ruang publik yang harus

disediakan semakin berkembang, baik dari segi kualitas desain, bahan dan

perawatannya. Tipologi ruang publik ini memiliki banyak variasi yang kadang-

kadang memiliki perbedaan yang tipis sehingga seolah-olah memberi pengertian

yang tumpang tindih (overlapping).

Menurut Stephen Carr (1992) ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe dan

karakter sebagai berikut:

1) Taman Umum (Public Parks)


41

Berupa lapangan/taman di pusat kota dengan skala pelayanan yang beragam

sesuai dengan fungsinya. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki

empat macam tipe, yaitu: Taman Nasional (National Parks), Taman Pusat

Kota (Downtown Parks), Taman Lingkungan (Neighborhood Parks,) dan

Taman Kecil (Mini Parks), Tempat bermain (play ground), Ruang komunitas

(community open space), jalan hijau dan jalan taman (greenway and

parkways).

2) Lapangan dan Plaza (Squares and Plazas)

Merupakan bagian dari perkembangan sejarah ruang publik kota, plaza atau

lapangan, yang dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran atau bangunan

komersial. Dapat dibedakan menjadi Lapangan Pusat Kota (Central Square)

dan plasa pengikat (Corporate Plaza).

3) Peringatan (Memorial)

Ruang publik yang digunakan untuk memperingati memori atau kejadian

penting bagi umat manusia atau masyarakat ditingkat lokal atau nasional.

Ruang publik tipe ini biasanya berbentuk tugu dan bentuk lainya yang

memberi karakter tentang peringatan suatu kejadian/peristiwa yang

mempunyai nilai bersejarah.

4) Pasar (Markets)

Pasar (markets) sebagai ruang terbuka atau ruang jalan yang dipergunakan

untuk transaksi biasanya bersifat temporer atau hari tertentu. Tingkat

pelayanan pasar ini ada yang beberapa lingkup. Lingkup pelayanan pasar

antara lain: tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan tingkat


42

desa/kelurahan. Jenis pasar melingkupi pasar khusus dan pasar umum.

Masing-masing pasar mempunyai karakteristik berbeda, tergantung dari

budaya setempat. Waktu beraktifitas bervariasi ada yang buka pasarnya pagi

hari ada yang malam hari.

5) Jalan (Streets)

Ruang terbuka sebagai prasarana transportasi. Menurut Stepen Carr (1992)

dan Rubeinstein. H (1992) tipe ini dibedakan menjadi Pedestrian Sisi Jalan

(Pedestrian Sidewalk), Mal Pedestrian (Pedestrian Mall), Mal Transit (Mall

Transit), Jalur Lambat (Traffic Restricted Street) dan Gang Kecil Kota (Town

Trail).

2.3.4 Teori Seting

Menurut Rapoport (1982:4-5), seting merupakan tata letak dari suatu

interaksi antara manusia dengan lingkungannya, seting mencakup lingkungan

tempat manusia (komunitas) berada (tanah, air, ruangan, udara, pohon, makhluk

hidup lainnya), yaitu untuk mengetahui tempat dan situasi dengan apa mereka

berhubungan sebab situasi yang berbeda mempunyai tata letak yang berbeda pula.

Dalam konteks ruang, seting dapat dibedakan atas seting fisik dan seting aktifitas.

Berdasarkan elemen pembentuknya, seting dapat dibedakan atas (Rapoport,

1982):

1. Elemen fixed, merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau perubahannya

jarang. Secara spasial elemen-elemen ini dapat diorganisasikan ke dalam

ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi dalam suatu kasus fenomena,
43

elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh elemen-elemen yang lain, meliputi:

bangunan dan perlengkapan jalan yang melekat.

2. Elemen semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap berkisar

dari susunan dan tipe elemen, seperti elemen jalan, tanda iklan, etalase toko

dan elemen-elemen urban lainnya. Perubahannya cukup cepat dan mudah,

meliputi parkir dan sistem penanda.

3. Elemen non fixed, merupakan elemen yang berhubungan langsung dengan

tingkah laku atau perilaku yang ditujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu

tidak tetap, seperti posisi tubuh dan postur tubuh serta gerak anggota tubuh,

seperti pejalan kaki, pergerakan kendaraan.

Aktivitas manusia sebagai wujud dari perilaku yang ditujukan mempengaruhi

dan dipengaruhi oleh tatanan (seting) fisik yang terdapat dalam ruang yang

menjadi wadahnya, sehingga untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan adanya:

1. Kenyamanan, menyangkut keadaan lingkungan yang memberikan rasa sesuai

dengan panca indra

2. Aksesibilitas, menyangkut kemudahan bergerak melalui dan menggunakan

lingkungan sehingga sirkulasi menjadi lancar dan tidak menyulitkan pemakai.

3. Legibilitas, menyangkut kemudahan bagi pemakai untuk dapat mengenal dan

memahami elemen-elemen kunci dan hubungannya dalam suatu lingkungan

yang menyebabkan orang tersebut menemukan arah atau jalan.

4. Kontrol, menyangkut kondisi suatu lingkungan untuk mewujudkan

personalitas, menciptakan teritori dan membatasi suatu ruang.


44

5. Teritorialitas, menyangkut suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya

dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu

tempat. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap

gangguan dari luar.

6. Keamanan, menyangkut rasa aman terhadap berbagai gangguan yang ada baik

dari dalam maupun dari luar.

Ruang yang menjadi wadah dari aktivitas diupayakan untuk memenuhi

kemungkinan kebutuhan yang diperlukan manusia, yang artinya menyediakan

ruang yang memberikan kepuasan bagi pemakainya. Seting terkait langsung

dengan aktivitas atau kegiatan manusia, sehingga dengan mengidentifikasi sistem

aktivitas yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem setingnya

yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang.

Pemaparan mengenai teori seting akan membantu menjawab permasalahan

yang dihadapi di lapangan terutama permasalahan mengenai gambaran aktivitas

wisatawan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku wisatawan dalam

memanfaatkan fungsi ruang publik di area monumen Ground Zero. Karena pada

teori seting ini dijelaskan mengenai suatu interaksi yang terjadi antara manusia

dengan lingkungannya, baik untuk mengetahui tempat maupun situasi, karena

situasi yang berbeda mempunyai tata letak yang berbeda pula. Selain itu, pada

teori seting ini juga dijelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi karena ruang

yang menjadi wadah dari aktivitas diupayakan untuk memenuhi kemungkinan

kebutuhan yang diperlukan manusia, yang artinya menyediakan ruang yang

memberikan kepuasan bagi pemakainya.


45

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dengan

permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk bagan. Latar belakang

utama dalam penulisan tesis ini adalah melihat fenomena pola perilaku wisatawan

di area pariwisata sekaligus pemanfaatan fungsi ruang publik di area Monumen

Ground Zero. Dua hal inilah menjadi permasalahan utama yang terdapat dalam

penelitian ini. Fenomena pola perilaku wisatawan di penelitian ini adalah aktivitas

dan interaksi yang dilakukan wisatawan di area monumen, untuk mencari perilaku

wisatawan terhadap perwujudan penggunaan ruang terdapat beberapa aspek yang

perlu diperhatikan seperti aktivitas, waktu, frekuensi dan tentunya tempat

terjadinya interaksi sosial tersebut.

Selanjutnya dari pola perilaku wisatawan di Monumen Ground Zero dilihat

pengaruhnya terhadap pemanfaatan fungsi ruang-ruang publik, seperti

pemanfaatan trotoar dijadikan tempat untuk duduk-duduk, area dilarang parkir

dijadikan tempat parkir bersama. Fenomena perilaku penunjung yang akan diteliti

dilakukan pada kawasan Legian, Kuta. Berdasarkan hal-hal inilah, maka

dilakukan penelitian mengenai Pola Perilaku Wisatawan Pada Monumen Ground

Zero.

Ketiga rumusan masalah yang ada saling berhubungan. Jawaban dari

rumusan masalah pertama sangat dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah

kedua dan begitu pula pada rumusan masalah ketiga dapat dijawab dengan

mengetahui jawaban dari rumusan masalah pertama dan kedua, dapat dilihat dari

Diagram 2.2.
46

Penelitian ini menggunakan beberapa teori atau pendekatan untuk dijadikan

pedoman bantuan untuk menemukan hal yang baru di lapangan. Sehingga

akhirnya didapatkan suatu temuan atau kesimpulan. Keempat teori tersebut adalah

teori perilaku, teori behavior setting, teori ruang publik dan teori seting.

Teori perilaku digunakan untuk membantu memecahkan rumusan masalah

pertama dan kedua, yaitu untuk memahami dan mengetahui aktivitas dan spot-

spot yang menjadi tempat berkumpul dari wisatawan, dalam hal ini yang

dimaksud adalah wisatawan domestik dan mancanegara pada Monumen Ground

Zero. Teori kedua, yaitu teori behavior setting digunakan untuk mengetahui

ruang-ruang yang dimanfaatkan oleh wisatawan melalui pemetaan berdasarkan

pelaku dan pemetaan berdasarkan tempat di area Monumen Ground Zero.

Teori ruang publik dan teori seting yang digunakan untuk membantu peneliti

mengetahui pengaruh ruang terhadap perilaku dan interaksi wisatawan

mancanegara dan domestik yang terjadi di area Monumen Ground Zero terhadap

pemanfaatan fungsi ruang publik. Untuk mengetahui jenis perbedaan aktivitas

yang dilakukan wisatawan berdasarkan dimensi waktu di area Monumen Ground

Zero. Serta, membantu dalam mengetahui faktor-faktor pengaruh wisatawan

dalam pemilihan spot-spot yang menjadi tempat berkumpul wisatawan di area

Monumen Ground Zero. Dengan demikian, teori ini digunakan untuk dijadikan

acuan memecahkan rumusan masalah kedua dan ketiga.


47

Pola Perilaku Pengunjung Pada Monumen Ground


Zero Legian, Kuta

Dimana spot-spot yang menjadi Apakah ada perbedaan aktivitas


Seperti apa aktivitas wisatawan tempat berkumpul dari yang dilakukan wisatawan
pada area Monumen Ground Zero wisatawan di area Monumen berdasarkan dimensi waktu di
Ground Zero Legian, Kuta? area Monumen Ground Zero
Legian, Kuta?
Legian, Kuta?

Teori Perilaku Teori Behavioral Teori Ruang Teori Seting


Setting Publik

Temuan

Diagram 2.2 Model Penelitian


(Analisis Penulis, 2016)

Anda mungkin juga menyukai