Anda di halaman 1dari 31

RELASI MAKNA KOSMOLOGIS

SITUS SUMBERAWAN MALANG

UJIAN DISERTASI

Oleh:
Ema Yunita Titisari
NIM. 137060100111026

PROGRAM DOKTOR TEKNIK SIPIL


MINAT ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

1
I. Pendahuluan

Penelitian ini dilatar belakangi oleh:


a. Teori arsitektur: arsitektur adalah representasi ide-ide kosmologi
penggubahnya. Kajian mengenai hal ini hanya ditemukan untuk objek
arsitektur kuno. Dengan pemahaman bahwa arsitektur adalah
representasi ide-ide kosmologi, maka semestinya arsitektur masa kini
pun adalah perwujudan ide-ide kosmologi.
b. Ide kosmologi tradisional bersifat holistik dan terimplementasikan ke
dalam artefak budaya termasuk arsitektur. Ketiadaan kajian mengenai
kosmologi dengan objek arsitektur masa kini bisa jadi karena
arsitektur telah meninggalkan nilai holistiknya sehingga berakibat
pada kerusakan ruang. Teori-teori ruang terbaru mengenai resiliensi
cenderung kembali kepada paradigma holistik dalam arsitektur,
termasuk kosmologi.
c. Dengan terjadinya dinamika budaya termasuk perubaha-perubahan
ide-ide kosmologi dalam masyarakat (hal ini dapat dilihat dari
dunamika arsitektur) maka objek kuno memiliki kemungkinan untuk
dimaknai secara berbeda oleh pengguna ruangnya di masa kini.
Fenomena Situs Sumberawan menunjukkan kemungkinan tersebut.
Objek kuno bernilai sakral tersebut kini tak hanya digunakan untuk
kegiatan ritual-sakral tetapi juga untuk kegiatan non-ritual-profan
seperti wisata, penelitian, olah raga, pertemuan outdoor, dan
pertunjukan kesenian. Kecenderungannya saat ini adalah pemanfaatan
potensi ekonomi-wisata yang semakin besar.
d. Atas dasar pemahaman teoritik dan fenomena yang terjadi di Situs
Sumberawan maka penelitian ini berupaya untuk menemukan relasi
makna kosmologis dari aspek tatanan spasial-arsitektural dan dari
kegiatan pengguna ruang.

Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah relasi makna kosmologis


ruang dari aspek tatanan spasial-arsitektural dan dari aspek kegiatan
pengguna ruang?
Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
2
1. Bagaimanakah makna kosmologis Situs Sumberawan dari aspek
tatanan spasial-arsitektural?
2. Bagaimanakah makna kosmologis Situs Sumberawan dari aspek
pengguna ruang?
3. Bagaimanakah relasi makna kosmologis Situs Sumberawan menurut
tatanan spasial-arsitektural dan menurut pengguna ruangnya?

Batasan Penelitian
Batasan dan lingkup penelitian ditentukan berdasarkan bidang keilmuan
peneliti (arsitektur), fokus dan tujuan penelitian. Untuk mengarahkan
penelitian ini pada fokus dan tujuannya, maka lingkup penelitian dan
kedalamannya dibatasi pada kajian makna ruang pada aspek kosmologi yang
berkaitan dengan ruang (arsitektur). Kajian dilakukan dari dua sudut tinjau
yaitu tatanan spasial-arsitektural dan manusia (pengguna ruang).
Penelitian ini juga membatasi kawasan penelitiannya sesuai dengan lokus
yang dipilih, yaitu Situs Sumberawan, dengan tetap memandang lokus
tersebut sebagai bagian dari wilayah lain yang berkaitan.

Tujuan
1. Membaca makna kosmologis Situs Sumberawan dari aspek tatanan
spasial-arsitektural
2. Membaca makna kosmologis Situs Sumberawan dari aspek kegiatan
pengguna ruang
3. Menemukan relasi makna kosmologis Situs Sumberawan dari aspek
tatanan spasial-arsitektural dan dari kegiatan pengguna ruang
Manfaat
1. Membangun KONSEP MAKNA KOSMOLOGI arsitektur kuno
dalam konteks masa kini.
2. Mengisi celah-celah teori RUANG pada Arsitektur Nusantara
khususnya tentang kosmologi.
3. Membangun cara atau metode untuk membaca makna ruang-
arsitektur dari perspektif kosmologi

Kebaruan
Kebaruan penelitian adalah pada topik dan objek penelitian. Makna ruang
dari perspektif kosmologi belum banyak diungkapkan pada objek arsitektur
3
dengan konteks masa kini. Selain itu Situs Sumberawan sendiri belum pernah
diteliti aspek kosmologinya. Yang ketiga, hasil penelitian akan dapat
memberikan sumbangan bagi teori ruang yang bersumber pada kekhasan
nilai-nilai Arsitektur Nusantara terutama yang berkaitan dengan candi. Yang
keempat, metode yang digunakan dan model yang ditemukan dalam
penelitian dapat memberikan sumbangan metodologi bagi pembacaan makna
arsitektur, khususnya Arsitektur Nusantara (Jawa).

II. Tinjauan Teori


Disertasi ini menggunakan dua kelompok teori utama, yaitu:
1. Teori-teori mengenai perwujudan ide-ide kosmologi pada arsitektur.
Teori-teori ini bersumber dari buku-buku referensi, artikel jurnal, dan
proseding. Teori yang berasal dari referensi adalah teori-teori yang
berada di tingkat filosofis mengenao kosmologi, sedangkan yang
berasal dari artikel ilmiah adalah hasil-hasil penelitian mengenai
perwujudan kosmologi pada arsitektur. Pada bagian ini ditinjau juga
teori-teori dan konsep mengenai candi, stupa, kosmologi Jawa, Hindu,
Budha, dan latar sosial-budaya-historis Singosari-Majapahit. Beberapa
teori dan hasil penelitian yang ditinjau pada bagian ini adalah teori
Norberg-Schulz, Elliade, Yi Fu Tuan, dan hasil-hasil penelitian
Blanchard, Akkerman, Sprajc, Snodgrass, Fussma, Ping Xu,
Wurianto, Santosa, dan lain-lain.
2. Teori-teori mengenai ruang dan kegiatan. Prinsip dari teori ini adalah
bahwa kegiatan yang dilakukan manusia tergantung skematanya.
Manusia akan memaknai ruang sesuai dengan persepsi dan
motivasinya. Persepsi ini dibangun salah satunya oleh struktur pikiran
nir-sadar, salah satunya kosmologi. Dengan ide-ide tersebut manusia
mengubah dan mengatur ruang sesuai dengan kebutuhan kegiatannya.
Bagaimana ia memaknai ruang akan sangat mempengaruhi
kegiatannya dan akhirnya mempengaruhi dinamika ruang. Beberapa
teori yang ditinjau pada bagian ini adalah teori perilaku Laurens,
Cosco et al, Haryadi, dan Rapoport.

4
Gambar 1. Bagan alir penelitian

III. Metode Penelitian


Untuk mengetahui makna kosmologis Situs Sumberawan digunakan
analisis strukturalis Levi yang memfokuskan proses analisis pada relasi-relasi
di antara elemen-elemennya. Metode strukturalisme yang dipakai adalah
strukturalisme Levi Strauss dalam Ahimsa Putra (Ahimsa-Putra, 2001),
ditambah penjelasan metode yang sama dalam konteks artefak pada
penelitian Suliensyar dan Sumardiyanto (Sumardiyanto, Antariksa, & Salura,
2016; Sunliensyar, 2017).
Beberapa teknik digunakan sebagai pendukung metode utama. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, kosmologi yang merupakan ide-ide di
bawah sadar (disebut skemata atau ruang eksistensial) berperan mendasar
dalam terbentuknya ruang empirik atau ruang arsitektural. Pada prosesnya
ruang sebagai objek empirik akan dimaknai, dipersepsi, digunakan, dan
dikelola oleh pengapresiasinya, yaitu pengguna ruang. Kegiatan pengguna

5
ruang tergantung pada pemaknaannya atas ruang tersebut, demikian pula
penentuan lokasi, zoning, teritori, dan hirarki. Maka ruang dan arsitektur
akan berada pada sebuah dinamika, mengiringi dinamika budaya masyarakat
pendukung dan penggunanya. Namun dinamika ini memiliki batas
fleksibilitas.
Beberapa teknik pendukung yang digunakan dalam proses identifikasi
dan deskripsi adalah:
Identifikasi dan deskripsi elemen-elemen spasial-arsitektural dengan
teknik deskripsi lansekap budaya (R. Page, Gilbert, & Dolan, 1998).
Pendekatan spatial behavior untuk mengidentifikasi dan
mendeskripsikan kegiatan pengguna ruang, dengan dua teknik yaitu person
centered mapping dan place centered mapping. Identifikasi dan deskripsi
pola-pola penggunaan ruang pada waktu-waktu tertentu dengan teknik
komunikasi non-verbal (Rapoport, 1990, 2011).

6
Gambar 2. Diagram Metode Penelitian

IV. Hasil Penelitian

Situs Sumberawan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Situs Sumberawan

Deskripsi tatanan spasial-arsitektural objek penelitian dapat dilihat sebagai


berikut:
Tabel 1. Elemen-elemen Lansekap Budaya Situs Sumberawan
No Elemen Keterangan Gambar
Lansekap
1 Sistem dan Terletak di kaki gunung Arjuno,
Ciri Alam dikelilingi hutan pinus dan areal
persawahan, berupa mata air
dengan beberapa titik sumber air
dan debit yang cukup besar,
terdapat kolam/telaga alami,
dikelola untuk irigasi dan
sumber air bersih

UTARA

7
2 Spatial  Zona konservasi: candi
Organization  Zona hutan pinus
 Zona perairan
 Zona fasilitas

3 Penggunaan  zona inti: konservasi candi


Lahan  zona penyangga: buffer
zona inti.
 Zona pengembangan
kegiatan
 Zona penunjang:
menyediakan fasilitas

4 Tradisi Legenda dan mitos air amerta


Budaya Keyakinan tentang
Kasurangganan
Ritual adat Tirta Amerta Sari
Larangan /tabu
Budaya tentang ke-sumber-air-
an

5 Penataan Dalam skala kawasan, Situs


Cluster Sumberawan membentuk cluster
Jarak dengan kampung terdekat
sekitar 500m.
Cluster candi dan fasilitas untuk
kegiatan ritual keagamaan,
1 2 3
penelitian, konservasi, dan
pementasan tari
4
Cluster fasilitas berupa: warung,
Ut musholla dan tempat
toilet,
5 untuk
ar istirahat
Cluster
a penginapan (sebelah
utara)

6 Sirkulasi dan Akses menuju lokasi berupa


Aksesibilitas jalan setapak (tanah) dan jalan
selebar 3 meter (tanah
diperkeras)
Kecuali di dalam area candi,
jalur sirkulasi terbentuk alami
Di dalam hutan dan area wisata
jalurnya berupa jalan tanah
dengan lebar bervariasi antara 1-
3 meter

8
Di area candi jalur sirkulasi
ditutup susunan batu lempeng

7 Topografi Tanah berkontur, bagian paling naik

rendah adalah area candi dan 1

kolam; paling tinggi area 2

penginapan 7 3
naik
4

5 Utara

8 Vegetasi Hutan didominasi pohon pinus


Tanaman hias: perdu dan bunga
Pepohonan di area candi:
klampok, beringin, bendha,
maja, jati, sono, bambu,
ketinggan.

9 Bangunan Candi berupa bangunan batu


dan Bangunan meditasi, warung-
Strukturnya warung, toilet, gazebo, dan
musholla adalah bangunan kayu
Pos juru kunci, gudang, dan
penginapan adalah bangunan
bata dengan struktur rangka.
Penginapan menggunakan
ornamen ekspose batu kali, batu
bata, dan kayu

10 View dan View didominasi nuansa natural


Vista hutan, sawah, dan sungai
ditambah objek arkeologis candi

11 Fitur-fitur Fitur air terdapat di kolam


Air Buatan Amerta, yakni patung dewi
Dhanwantari dan kepala naga
Basuki, serta kura-kura Kurma
di Kolam Penguripan. Fitur-fitur
buatan berupa pengatur aliran air
dan bendungan terdapat di
sungai dabn kolam besar

9
12 Fitur-fitur Simbol-simbol berupa patung-
Berskala patung dan relief yang
Kecil berhubungan dengan
kepercayaan Jawa dan air amerta

13 Kawasan Candi Sumberawan dibatasi


Arkeologi pagar sebagai penanda wilayah
konservasi Dinas Arkeologis

14 Mitos, Tirta Amerta dan toponim


Legenda, Toyomerto, mitos tentang
Cerita khasiat air, gunung suci,
Rakyat Kasurangganan

Hasil pengamatan kegiatan yaitu dengan teknik person-centered dan place


centered mapping seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Intensitas Penggunaan RuangMenurut Aktivitas di Tiap-tiap Zona


Candi Hutan Hutan Sungai, Penginapan
Selatan Utara Telaga, Warung
Makam Parkiran

R NR R NR R NR R NR R NR

Hari Libur

Jam ** *** - **** - **** - ** - **


06.00-
12.00

10
Jam ** *** - *** - *** - * - **
12.00-
17.00

Special
Event

Waisak ** *** * ** - ** - - - **
**
*

Tirta ** *** * *** - ** *** * - **


Amerta **
Sari *

Malam 1 ** **** ** *** * ** *** - * **


Suro ** * *

Kamis ** * - ** - * - - - *
Sore & **
Jumat Sore

Malam ** - * - * - * * * -
Jumat **
(Legi)

Slametan ** ** - ** - - - - - **
Banyu *

Keterangan:

- : tidak ada aktivitas


* - ***** : aktivitas rendah-tinggi

Dari tabel tersebut dan dari hasil diketahui bahwa:


1. Candi adalah zona yang paling banyak digunakan untuk kegiatan ritual
maupun non-ritual. Kegiatan ritual paling ramai adalah pada saat upacara
Waisak dan Slametan Tirta Amerta Sari.
2. Area atau zona yang paling banyak digunakan untuk kegiatan non ritual
adalah hutan pinus, tetapi tidak meninggalkan candi dan sumber air
sebagai objek yang wisata karena daya tarik berupa kekunoan dan
‘keajaiban airnya’. Hutan sebelah selatan menampung ‘tumpahan’
11
kegiatan besar yang dilakukan di candi. Hutan pinus sebelah utara
digunakan untuk kegiatan wisata.
3. Teritori dan tingkat privasi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan jenis
kegiatan. Batas teritori terbesar adalah jalur sirkulasi di luar situs dan
wilayah perairan, yakni pada saat digelar acara besar seperti Waisak, Tirta
Amerta Sari, atau Wisata Supranatural. Batas teritori terkecil adalah
dinding dan pintu pada kolam Amerta dan Kolam Penguripan, ruang
meditasi di dalam Kolam Amerta, sanggar pemujaan (sangat privat karena
hampir selalu terkunci), dan batu penutup tanah beserta susunan batu-batu
untuk duduk dan tempat sesajen di tempat pemujaan depan candi.
4. Batas teritori ruang sakral untuk kegiatan Waisak adalah lapangan candi
yang dialasi terpal, karpet, dan tikar serta dinaungi tenda. Batas vertikal
bagian depan adalah meja, patung dan perlengkapan upacara yang ditata
di atas meja di depan candi. Jalur sirkulasi yang mengelilingi candi
mempertegas batas ruang sakral. Batas ruang sakral pada saat Tirta Aerta
Sari adalah pagar kawat candi. Candi menjadi pusat kegiatan ritual
(kecuali slametan sumber).
5. Kolam Amerta dan Kolam (Sumber) Penguripan menjadi rangkaian tak
terpisahkan pada ritual pemujaan karena airnya.
6. Ada akses ganda untuk memasuki area Situs Sumberawan, dengan pintu
utama di sebelah utara. Untuk memasukinya harus membeli tiket dulu.
7. Akses ke area candi lebih terbatas karena setiap pengunjung / tamu wajib
lapor pada juru pelihara dan mencatat nama dan alamatnya di buku tamu.
8. Keamanan di dalam candi lebih tinggi karena ada penjaga ‘khusus’ dan
ada batas pagar kawat. Kenyamanan pengunjung terutama diperoleh dari
faktor alami yaitu pepohonan pinus dan peohonan besar di dekat sumber
air, hijaunya tanaman, air yang sejuk, dan udara yang bersih dan segar.
Pengunjung cenderung duduk-duduk di bawah pohon dengan alas tikar
atau tempat duduk yang disediakan. Kenyamanan juga diperoleh dari
tersedianya warung dan toilet.
Dari penjabaran atau deskripsi elemen-elemen fisik selanjutnya dilakukan
analisis sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan antar elemen
yang spesifik dan berulang meskipun dalam bentuk berbeda-beda adalah:
pusat, sumbu, hirarki, pola, zoning, dan teritori. Dengan melihat kedekatan
dan ke-saling-terhubung-annya, maka pembahasan mengenai pusat dilakukan
bersama dengan sumbu, hirarki dan pola, sedangkan zoning dengan teritori.
12
Pada tabel berikut hasil analisis sintagmatik dapat dilihat pada baris kiri ke
kanan. Jika ketiga hasil analisis sintagmatik pada setiap aspek dijajarkan
maka dapat dilihat adanya hubungan paradigmatik antar sub-aspek.

Tabel 3. Hasil Analisis Sintagmatik (baris horisontal) dan Analisis


Paradigmatik (kolom vertikal) Aspek Tatanan Spasial-Arsitektural

ZONING DAN TERITORI

13
Tabel 4. Hasil Analisis Sintagmatik (baris horisontal) dan Analisis Paradigmatik
(kolom vertikal) Aspek Kegiatan

Dari hasil analisis ditemukan bahwa kesatuan candi-sumber air


adalah pusat desa, kawasan situs, dan area candi. Candi sebagai pusat dapat
dimaknai sebagai simbol Budha (oleh umat Budha) atau punden (bagi
penganut kepercayaan Jawa, mereka yang meyakini khasiat air amerta
14
Sumberawan, dan warga Desa Toyomerto). Keberadaan candi sebagai simbol
Budha ataupun sebagai punden ditunjukkan pada peran dan posisinya sebagai
pusat dalam ritual yang berhubungan dengan proses kelahiran, kematian,
pencerahan, dan daur hidup seperti Waisak dan Tirta Amerta Sari. Ritual
tersebut bertujuan untuk mengembalikan manusia dan alam kembali ke
keadaan awal (cosmos). Prosesi ritual tersebut dilakukan dengan ‘perantara’
leluhur, yakni jejak perjalanan yang harus ditelusuri kembali ketika manusia
hendak kembali lagi ke titik asalinya, yaitu Gusti Kang Murbeng Dumadi,
sumber dari segala sumber kehidupan.
Filosofi air amerta sebagai air kehidupan yang diwujudkan pada
tatanan spasial-arsitektural di tingkat area candi hingga desa sekaligus
menjadi tamsil bagi diri manusia yang juga diciptakan dari setetes air.
Sehingga ritual (kosmogoni) yang dilakukan di Sumberawan bukan hanya
untuk keteraturan kembali alam semesta, tetapi juga manusia. Prosesi ritual
yang bersifat vertikal-transendental langsung tersambung dengan sumbu
horisontal-sosial dalam bentuk kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan
seluruh warga desa, instansi, dan kelompok-kelompok pengguna sumber air
dalam ritual Tirta Amerta Sari, dan antara sekte-sekte Budha pada peringatan
Waisak.

Gambar 4. Relasi Paradigmatik Unsur Pusat

15
Gambar 5. Konsep kesatuan makrokosmos-mikrokosmos dengan penanda air

Gambar 6. Hubungan antara candi-sumber air (pusat) dengan Prapatan


Ringin (pusat di area kampung) membentuk hirarki, zoning, dan teritori

16
Gambar 7. Temuan 1, Makna Pusat dan Sumber

Kegiatan non-ritual khususnya wisata yang terjadi di kawasan Situs


Sumberawan terutama adalah karena kini selain dimaknai sebagai objek
ritual-sakral candi juga dimakna sebagai objek wisata. Relasi antara kegiatan
ritual dan non-ritual di kawasan situs dapat digambarkan meurut oposisi biner
pada gambar 8. Dari diagram tersebut dapat diketahui bahwa meskipun
tampaknya berbeda, ada satu kerinduan yang sama antara pelaku ritual dan
non-ritual, yakni keadaan diri (batiniah, psikis, dan fisik) yang lebih baik
(mengubah chaos menjadi cosmos).
Kegiatan ritual dan non-ritual melahirkan ruang-ruang yang
digunakan untuk kegiatan yang berbeda. Perbedaan kegiatan tersebut
memunculkan perbedaan zoning, teritori, dan pola ruang. Sangat mungkin
terjadi kegiatan ritual dan non-ritual dilakukan pada satu waktu dan tempat
yang sama. Teritori kegiatan dapat berupa objek fisik ruang maupun objek
non-fisik seperti norma, etika, dan kegiatan itu sendiri.

17
Gambar 8. Bagan oposisi biner kegiatan ritual dan non-ritual

Gambar 9. Makna Situs Sumberawan Menurut Pengguna Ruang yang


diimplementasikan pada kegiatan

Gambar 10. Makna Kosmologis Menurut Pengguna Ruang menentukan pola


kegiatan dan dinamika pola ruang

18
Gambar 11. Perbedaan makna Situs Sumberawan berdampak pada dinamika
ruang

Hasil analisis paradigmatik makna kosmologis tatanan spasial-


arsitektural dan kegiatan pada Situs Sumberawan menunjukkan bahwa:
1. Perbedaan sudut tinjau penelitian bersifat paradigmatik. Keduanya
mengamati objek yang sama, yakni Situs Sumberawan. Sudut tinjau
pertama mengamati aspek tatanan spasial-arsitektural yang
mengandung ide-ide awal terkait air amerta, Sang Budha, dan punden
sumber air. Sudut tinjau kedua terfokus pada kegiatan pengguna ruang
yang berarti terkait dengan pemaknaan ruang oleh penggunanya.
Pengguna ruang mempersepsi tatanan spasial-arsitektural berdasarkan
ide-ide kosmologis dan skematanya. Pada konteks masa yang berbeda
ide-ide kosmologis mengalami dinamikanya sendiri. Perbedaan ide-
ide ini mempengaruhi pemaknaan ruang sehingga perilaku (termasuk
kegiatan) yang dilakukan pada ruang tersebut dapat berbeda-beda.
Tetapi tatanan spasial-arsitektural sekaligus juga menyediakan teritori
yang membatasi atau mengendalikan dinamika ruang tersebut.

19
Gambar 12. Relasi Paradigmatik Sudut Pandang Kajian

Gambar 13. Relasi Paradigmatik Latar Belakang Kosmologis

2. Makna Kosmologis: Candi dan Sumber Air sebagai Punden dan


Kasurangganan.
Makna ini berisi pesan mengenai dua hal, yakni sumber air sebagai
sumber kehidupan dan makna ketersambungan-kesinambungan.
Sumber air adalah wujud empiris (air) yang menjadi sumber
penguripan masyarakat manusia dan alam dengan candi sebagai
penandanya. Candi sekaligus penanda bagi keterhubungan air dengan
fenomena yang bersifat meta-empirik atau transendental, yaitu leluhur
dan Tuhan (Gusti) atau untuk umat Budha: Sang Budha dan Tuhan
(pada keadaan yang disebut dengan nibhana/nirvana).
20
Sumber air terletak di gunung, di mana gunung menjadi simbol pusat,
tempat leluhur dan dewa-dewa. Melalui sungai, air menjadi
penghubung antara gunung dan kampung, sekaligus menjadi tanda
yang menghubungkan sumber segala sumber kehidupan (Tuhan/Gusti)
dengan manusia. Candi Sumberawan bermakna axis-mundi. Dalam
prosesi keterhubungan yang dilakukan melalui ritual-ritual diperlukan
peran ‘perantara’ agar manusia bisa menembus batas antara ‘dunia
atas’ dan ‘dunia manusia’. Peran tersebut dibawakan oleh air (sebagai
pen-suci lahiriah-batiniah) dan leluhur. Penghormatan dan pemujaan
leluhur adalah tanda bakti, upaya meneladani sifat-sifat luhur para
pendahulu, dan penyampaian pesan kepada generasi berikutnya agar
menjaga yang dipundi-pundi, dalam hal ini air sumber kehidupan.
Dengan berbuat baik/mendoakan leluhur (sambung leluhur), alam,
dan sesama manusia (prosesi ritual Tirta Amerta Sari melibatkan
harmoni hubungan sosial), seseorang berharap dapat
mempersambungkan dirinya dengan Gusti, hingga akhirnya mencapai
titik tertinggi yaitu Manunggaling Kawula lan Gusti.
3. Candi sebagai Objek Wisata.
Makna ini mengakibatkan munculnya ruang baru, yaitu ruang untuk
kegiatan wisata. Konsekuensinya adalah penggunaan ruang untuk dua
kegiatan dengan karakter berbeda pada satu waktu, atau penggunaan
ruang untuk satu fungsi saja pada satu waktu. Akibatnya pola ruang
sakral-profan menjadi sangat dinamis tergantung pengguna ruang dan
waktu. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika
budaya dan munculnya fungsi baru bersifat saling
mempengaruhi/kausatif (gambar 14). Relasi makna Situs Sumberawan
dari aspek tatanan spasial-arsitektural dan kegiatan dapat dilihat pada
gambar 15.

21
Gambar 14. Diagram Relasi Makna antara Tatanan Spasial-Arsitektural dan
Penggunaan Ruang Situs Sumberawan

Gambar 15. Temuan Relasi Makna Kosmologi Situs Sumberawan Menurut Tatanan
Spasial dan Menurut Pengguna Ruang

22
Metode yang digunakan untuk membaca makna kosmologis Situs Sumberawan dalam
penelitian ini sekaligus dapat menjadi temuan metode. Metode tersebut dapat
digambarkan secara diagramatis sebagai berikut:

Gambar 16. Konstruksi Metode Membaca Relasi Makna Kosmologi Situs


Sumberawan

Disandingkan dengan kedua jenis teori yang menjadi pijakan awal pada
penelitian ini maka:
1. Teori-teori mengenai aristektur menyatakan bahwa arsitektur adalah
perwujudan skemata atau ide-ide ruang arsitek. Penelitian tentang
kosmologi menyatakan bahwa arsitektur adalah kosmogram, atau
perwujudan sistem kosmografi, atau mandala penciptanya. Pada
penelitian ini ditemukan bahwa ide-ide kosmologi sangat
mempengaruhi dinamika tatanan spasial-arsitektural. Ide-ide
kosmologi termasuk bagian dari struktur dasar yang bersifat
universal. Pada Situs Sumberawan ide-ide kosmologi tersebut
direpresentasikan dengan air sebagai sumber kehidupan. Air juga
menjadi unsur yang menyatukan makrokosmos dan mikrokosmos
dalam fenomena empirik (gunung-kampung; alam semesta-manusia)
dalam meta-empiriknya (Tuhan/Gusti-manusia).
2. Menurut teori, pengguna ruang memaknai ruang menurut skemata
yang dipengaruhi oleh ide-ide dasar-universal, sosial-budaya, dan
keunikan personal, termasuk di dalamnya pengalaman dan
23
pengetahuannya. Pada penelitian ini ditemukan bahwa seiring
dengan dinamika sosial-budaya dan kosmologi terjadi pemaknaan
ruang secara berbeda. Akibatnya terjadi perbedaan kegiatan yang
mengakibatkan dinamika ruang. Meskipun demikian ada makna
yang sifatnya tetap, yakni makna Situs Sumberawan sebagai sumber
kehidupan.

V. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan penelitian ini adalah:


1. Berdasarkan unsur-unsur spasial arsitekturalnya Candi Sumberawan
dan sumber air adalah sebuah kesatuan entitas. Candi adalah
bangunan suci yang menghubungkan sumbu vertikalitas-
transendental dengan sumbu horisontal-sosial melalui air sebagai
sumber penguripan. Dalam kaitannya dengan fungsi baru sebagai
objek wisata, candi tetap bermakna pusat.
2. Dengan latar belakang kosmologi berbeda-beda, pengguna ruang
memaknai Situs Sumberawan sebagai tempat sakral (untuk
pemujaan/ibadah) dan tempat untuk kegiatan profan terutama
wisata. Perbedaan ini berakibat pada dinamika ruang sesuai dengan
dinamika sosial-budaya dan kosmologi. Meskipun demikian fungsi
candi sebagai punden desa yang terkait dengan sumber air dan
sebagai simbol Budha masih tetap ada.
3. Relasi makna antara pembacaan kosmologi melalui tatanan spasial-
arsitektural dan melalui pengguna ruang dilakukan dengan cara
menemukan hubungan-hubungan paradigmatik makna kosmologis
Situs Sumberawan menurut tatanan spasial dan menurut kegiatan
penggunanya. Meskipun diteliti dari dua sudut pandang dan fokus
pengamatan yang berbeda, keduanya menunjukkan hubungan sebab-
akibat
Saran dan penelitian lanjutan:
1. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam hal:
a. Metodologis: penyusunan alat baca arsitektur khususnya
berkaitan dengan kosmologi dalam konteks masa kini

24
b. Substantif : pengembangan teori ruang arsitektur nusantara dari
perspektif kosmologi dan konsep kosmologis arsitektur kuno
dalam konteks masa kini
c. Paradigmatis: pemahaman makna ruang secara holistik
diperlukan untuk mengarahkan perkembagan dan dinamika
ruang ke arah yang tepat-terpadu
2. Penelitian-penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara lain:
a. Penelitian mengenai makna kosmologi arsitektur untuk kegiatan
ibadah pada konteks masa kini
b. Metode yang sama untuk mengungkapkan makna kosmologi
objek-objek arsitektur bersejarah
c. Penelitian mengenai representasi keterhubungan dan dinamika
dari nilai-nilai vertikalitas-transendental dan horisontal-sosial
pada objek-objek arsitektur
d. Penelitian mengenai dinamika budaya dan ruang pada
objek/kasus lain yang sejenis
e. Penelitian interdisipliner dengan objek arsitektur Nusantara
untuk mengungkapkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya
Nusantara

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Ahimsa-Putra, H. S. (2001). Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Galang Printika.
Akkach, S. (2012). Cosmology and architecture in premodern Islam: An architectural reading of
mystical ideas. SUNY Press.
Akkerman, A. (2016). The North, Axis mundi and Gender Myths in the Rise of Civic Space.
Dalam Phenomenology of the Winter-City (hlm. 33–49). Cham: Springer International
Publishing.
Ardika, I. W. (2003). Laut dan Orientasi dalam Kebudyaan Bali: 90Guratan Budaya dalam
Perspektif Multikultural. Dalam I. G. S. Astra (Ed.), Guratan Budaya dalam Perspektif
Multikultural. Denpasar: Fakultas Satra dan Budaya , Universitas Udayana.
Ashadi. (2017). Alun-alun Kota Jawa (1 ed.). Jakarta: Arsitektur UMJ Press.
Barker, R. G. (1978). Habitats, environments, and human behavior. Jossey-Bass Incorporated
Pub.
Blackburn, S. (2013). Kamus Filsafat (terjemahan The Oxford Dictionary of Philosophy).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cresswell, T. (2008). Space and place (1977): Yi-Fu Tuan. Dalam Key Texts in Human
Geography (hlm. 53–60). https://doi.org/10.4135/9781446213742.n6
Cresswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima
Pendekatan (Penerjemah: Ahmad Lintang Lazuardi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

25
Dumarcay, J. & M. S. (translate). (1991). The Temples of Java. Singapore: Oxford University
Press.
Elliade, M. (1987). The Sacred and The Profane, The Nature of Religion. New York: Harcourt,
Brace & World Inc.
Haryadi & Setiawan, B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Proyek Pengembangan
Pusat Studi Lingkungan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Hefner, R. W. (1985). Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam. Princeton New Jersey:
Princeton University Press.
Jung, C. G. (1990). The Archetypes and Collective Unconscious. New York: Princeton
University Press.
Jung, C. G. (2017). Mandala Symbolism:(From Vol. 9i Collected Works). Princeton University
Press.
Klassen, W. (1992). Architecture and Philosophy, Hermeneutics, Deconstruction. Cebu City
Philipines: University of San Carlos.
Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory The Role of The Behavioral Sciences in
Environmental Design. New York: Van Nostrand Reinhold Company.
Laurens, J. M. (2004). Arsitektur dan perilaku manusia. Penerbit PT Grasindo.
Lucas, S. Triyoga. (1987). Persepsi dan Kepercayaan Manusia Jawa terhadap Gunung Merapi.
Universitas Gadjah Mada.
Manuel, P. (2011). Traditions of india, china, and the middle east. The Routledge Companion to
Philosophy and Music, 245.
Moleong, L. J. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan 34. Ed. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, N. (1996). Metodologi penelitian kualitatif: Pendekatan positivistik, rasionalistik,
phenomenologik, dan realisme metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama. Rake
Sarasin.
Norberg-Schulz, C. (1971). Existence, Space, And Arcitecture. New York: Praeger Publisher.
Orzech, C. (2015). The legend of the iron stupa. Buddhism in Practice: Abridged Edition, 232.
Page, R. R., Gilbert, C., & Dolan, S. (1998). A guide to cultural landscape reports: Contents,
process, and techniques (Vol. 1). US Department of the Interior, National Park Service,
Cultural Resource Stewardship and Partnerships, Park Historic Structures and Cultural
Landscapes Program.
Pangarsa, G. W. (2006). Merah putih arsitektur Nusantara. Diterbitkan oleh Penerbit Andi untuk
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik
Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rapoport, A. (1990). The meaning of the built environment: A nonverbal communication
approach. University of Arizona Press.
Rapoport, A. (2011). The mutual interaction of people and their built environment. Walter de
Gruyter.
Rapoport, A. (2016). Human Aspects Of Urban Form: Towards A Man—Environment Approach
To Urban Form And Design. Elsevier.
Revianur, A. (2016). Forms and types of Borobudur’s stupas. In M. Budianta, M. Budiman, A.
Kusno, & M. Moriyama (Eds.), Cultural Dynamics in a Globalized World (pp. 567–
576). Depok.
Ronald, A. (2002). Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
Santosa, J. (2008). Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultur, dan Kuasa. Jakarta: Centropolis
Universitas Taruma Negara.

26
Santosa, R. B. (2000). Omah, Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Setiawan, H. B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Ditjen Dikti. Jakarta.
Snodgrass, A. (2018). The Symbolism of The Stupa. Cornell University Press.
Soekmono, Dr. (2010). Candi Borobudur—Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Soekmono, R. (1995). The Javanese candi: Function and meaning (Vol. 17). E.J. Brill. Koln
Netherlands.
Soekmono. (2010). Candi Borobudur—Pusaka Budaya Umat Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suwardono. (2003). Stupa Sumberawan.
Tuan, Y.-F. (1990). Topophilia: A study of environmental perceptions, attitudes, and values.
Columbia University Press.
Tuan, Y.-F. (1995). Space and Place, The Pesrspective of Experience (VI). London: University
of Minnesota Press.
Van Dyke, R. M., & Alcock, S. E. (2008). Archaeologies of memory. John Wiley & Sons.
Zoetmulder, P. J. (1994). Sekar Sumawur. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Artikel Jurnal:
Abrams, N. E., & Primack, J. R. (2001). Cosmology and 21st-century culture. Science,
293(5536), 1769–1770.
Ahimsa-Putra, H. S. (1999). Strukturalisme Levi-strauss Untuk Arkeologi Semiotik’. Jurnal
Humaniora, 11(3), 5–14.
Arista, I. M. (2013). Caru Panca Sata Simbol Keharmonisan Manusia dengan Kosmos. Widya
Duta, 1(1).
Ariani, C. (2003). Upacara Bersih Dusun Gua Cerme, Desa Selopamioro Kabupaten Bantul
sebagai Wujud Solidaritas Sosial. Patra Widya, 4(1).
Barth, C. (2013). “ In illo tempore, at the Center of the World”: Mircea Eliade and Religious
Studies’ Concepts of Sacred Time and Space. Historical Social Research/Historische
Sozialforschung, 59–75.
Brady, J. E., & Ashmor, W. (1999). “Mountains, caves, water: Ideational landscapes of the
ancient Maya.” Archaeologies of Landscape: Contemporary Perspectives, 124–145.
Buwono, N., Retno, Muda2, G. O., & Arsad, S. (2017). Pengelolaan Mata Air Sumberawan
Berbasis Masyarakat di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang The
Management Of Sumberawan Wellspring Based On The Community In The Toyomarto
Village Singosari District Malang Regency. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 9(1),
25–36.
Cahyani, R., Wulandari, L. D., & Antariksa. (2014). Simetrisitas Sebagai Kosmologi Ruang
Jawa Pada Rumah Kolonial Di Kampung Bubutan Surabaya (The Symmetricity of
Colonial House as Javanese Space Cosmology at Kampung Bubutan Surabaya). Tesa
Arsitektur (Terakreditasi B), 12(2), 141.
Cahyono, M. D. (2012). Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia–Gunung Api.
Kalpataru, 21(2), 85–102.
Cosco, N. G., Moore, R. C., & Islam, M. Z. (2010). Behavior mapping: A method for linking
preschool physical activity and outdoor design. Medicine & Science in Sports &
Exercise, 42(3), 513–519.
della Dora, V. (2011a). Engaging Sacred Space: Experiments in the Field. Journal of Geography
in Higher Education, 35(2), 163–184. https://doi.org/10.1080/03098265.2010.523682
Eni, S. P. (2019). Memahami Relief-Relief Pada Candi-Candi Kerajaan-Kerajaan Kediri,
Singasari Dan Majapahit Di Jawa Timur. Jurnal SCALE, 6(2), 69–93.
https://doi.org/10.33541/scale.v6i2.41

27
Fauzan, U. (2014). Analisis Wacana Kritis dari Model Faiclough Hingga Mills. Jurnal Pendidik,
6(1).
Finantoko, D., & Nurcahyo, A. (2015). Pengaruh Candi Cetho Sebagai Obyek Wisata Sejarah
Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Gumeng Kecamatan Jenawi
Kabupaten Karanganyar. Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, 5(02), 99–122.
Fussman, G. (1986). Symbolism of the Buddhist Stūpa. Journal of the International Association
of Buddhist Studies, 37–53.
Habib, F., & Sahhaf, S. M. K. (2012b). Christian Norberg-Schulz and the Existential Space.
International Journal of Architecture and Urban Development, 1(3), 45–50.
Isbell, B. J. (1982). Culture Confronts Nature in the Dialectical World of the Tropics. Annals of
the New York Academy of Sciences, 385(1 Ethnoastronom), 353–363.
https://doi.org/10.1111/j.1749-6632.1982.tb34276.x
Kassabaum, M. C., & Nelson, E. S. (2014). Expanding social networks through ritual deposition:
A case study from the Lower Mississippi Valley. Archaeological Review from
Cambridge, 29(1), 103–128.
Lelono, T. M. H. (2014). Sacrificial Rite in The Mayu Desa, Tengger Megalithic Tradition
(Ethnoarchaeology Study). Berkala Arkeologi, 34(2).
https://doi.org/10.30883/jba.v34i2.25
Loita, A. (2018). Simbol-Simbol dalam Gunungan Wayang Kulit Jawa. Magelaran: Jurnal
Pendidikan Seni, 1(2), 60–65.
Mashuri, M. (2010). Perwujudan Konsep Dan Nilai-Nilai Kosmologi Pada Bangunan Rumah
Tradisional Toraja. Ruang: Jurnal Arsitektur, 2(1), 1–8.
Mariantika, L., & Retnaningdyah, C. (2014). Perubahan struktur komunitas makroinvertebrata
bentos akibat aktivitas manusia di saluran Mata Air Sumber Awan Kecamatan Singosari
Kabupaten Malang. Biotropika: Journal of Tropical Biology, 2(5), 254–259.
Marsudi, M. (2017). Bangkitnya Tradisi Neo-Megalitik di Gunung Arjuna. Sejarah dan Budaya:
Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 9(1), 79–87.
Mazumdar S, Mazumdar S. Religion and place attachment: A study of sacred places. Journal of
Environmental Psychology. September 2004;24(3):385–97.
Moore, K. D. (2000). Culture meaning architecture: Critical reflections on the work of Amos
Rapoport. Ethnoscapes, hlm. xxix, 277.
Moore, R. C., & Cosco, N. G. (2010). Using behavior mapping to investigate healthy outdoor
environments for children and families. Innovative Approaches to Research Excellence
in Landscape and Health. New York: Routledge, 33–72.
Munandar, A. A. (2016). Kisah-kisah dan Kepercayaan Rakyat di Seputar Kepurbakalaan.
Paradigma, Jurnal Kajian Budaya, 2(1), 1–20.
Primack, J. R. (1997). Cosmology and culture. CTNS BULLETIN, 17, 9-15.
Pugh, T. (2001). Flood Reptiles, Serpent Temples, and the Quadripartite Universe: The Imago
Mundi of Late Postclassic Mayapan. Ancient Mesoamerica, 12(2), 247–258.
Rahadhian, P. H. (2011). The Persistence of ‘ Candi ’ Representation in Modern Architecture in
Indonesia A Study of Architectural Representation in Post-Colonial Era . International
Journal of Engineering & Technology IJET-IJENS Vol: 11 No: 04, 11(04), 134–141.
Rahardjanto, A. K. (2011). Studi Pendahuluan Model Pengelolaan Sumberdaya Air Partisipatif
Akomodatif Guna Antisipasi Konflik Pembagian Air (Kasus Sumberawan Kecamatan
Singosari Malang). Jurnal Salam, 13(2).
Rappenglück, M. A. (2013). The Housing of the World: The Significance of Cosmographic
Concepts for Habitation. Nexus Network Journal, 15(3), 387–422.
Rejeki, V. G. S., Soewarno, N., & Subroto, T. Y. W. (2010). Nilai Kosmologi pada Tata Spasial
Permukiman Desa Kapencar , Lereng Gunung Sindoro , Wonosobo. Forum Teknik,
33(3), 140–148.
Rema, N. (2016). Makna Air bagi Masyarakat Bali. Forum Arkeologi, 26(2), 109–124.

28
Robin C. Outside of houses. Journal of Social Archaeology. 11 Agustus 2016;2:245–68.
Rukmi, W. I., Djunaedi, A., Sastrosasmito, S., & Ahimsa-Putra, H. S. (2014). Situs Majapahit
Trowulan: Menuju Tersambungnya Ruang Absolut. Jurnal Studi Sosial, 6(1), 59-64.
Santosa, E. B. (2016). Ruang Permukiman Tradisional Jawa Berbasis Perlindungan. Journal of
Regional and City Planning, 27(1), 16–24. https://doi.org/10.5614/jrcp.2016.27.1.2
Shufairaa’Habiebah, R. A., & Retnaningdyah, C. (2014). Evaluasi kualitas air akibat aktivitas
manusia di mata air Sumber Awan dan salurannya, Singosari Malang. Jurnal Biotropika|
Vol, 2(1), 40.
Siegel, P. E. (1996). Ideology and Culture Change in Prehistoric Puerto Rico: A View from the
Community. Journal of Field Archaeology, 23(3), 313–333.
https://doi.org/10.1179/009346996791973819
Singh, Rana. (1993). Cosmic Layout of the Hindu Sacred City, Varanasi (Benares). Arch &
Company, 9(2), 239–250.
Singh, R. P. B. (2013). Indian Cultural Landscape vis-à-vis Ecological Cosmology: A Vision for
the 21st Century. Annals, National Association of Geographers of India, Annals-NAGI,
33(2), 36–62.
Siswadi, S., Taruna, T., & Purnaweni, H. (2011). Kearifan lokal dalam melestarikan mata air
(studi kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal). Jurnal Ilmu
Lingkungan, 9(2), 63–68.
Setyani, T. I. (2011). Meniti Sinkretisme Teks Tantu Panggělaran. Jurnal Kawistara, 1(2).
Sudarmadji, S., Sugiarto, F., Kurniasari, R. D., Riyanto, I. A., Cahyadi, A., & Sudrajat, S.
(2017). Tradisi Dan Religi Sebagai Upaya Konservasi Mata Air Masyarakat Perdesaan:
Studi Kasus Masyarakat Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo (Tradition and
religion as means of the rural community in spring conservation: A case study of
Girimulyo Distric,. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 1(1), 27–34.
Sugata, F. (2016). Keterkaitan Aktivitas Pradaksina pada Ragam Tipologi Bangunan Stupa. Serat
Rupa Journal of Design, 1(2).
Sumalyo, Y. (2001). Kosmologi dalam arsitektur toraja. Dimensi, 29(1), 64–74.
Sumardiyanto, Antariksa, & Salura, P. (2015). The Meaning of Public Space in Traditional
Houses of Javanese Society Study cases: Kotagede Yogyakarta. Journal of Applied
Environmental and Biological Science 5(11), 1–9.
Sumardiyanto, B. (2019). Pengaruh renovasi terhadap makna rumah tradisional masyarakat
Jawa, kasus studi: Kotagede Yogyakarta. ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur, 3(2), 99–
114.
Sumardiyanto, S., Antariksa, A., & Salura, P. (2016). Makna Ruang Publik Pada Rumah
Tradisional Masyarakat Jawa Kasus Studi: Desa Jagalan Kotagede Yogyakarta. Nalars,
15(1), 1–12.
Sunanang, A., & Luthfi, A. (2015). Mitos Dayeuh Lemah Kaputihan pada Masyarakat Dusun
Jalawastu Kabupaten Brebes (Tinjauan Strukturalisme Levi-Strauss). Solidarity: Journal
of Education, Society and Culture, 4(1).
Sunliensyar, H. H. (2017). Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara: Pendekatan
Strukturalisme Levi-Strauss. Berkala Arkeologi, 37(1), 51–68.
https://doi.org/10.30883/jba.v37i1.71
Titisari, E.Y., Antariksa, A., Wulandari, L. D., & Surjono, S. (2018). Water Resource as Axis-
Mundi: An Effort to Preserve Water Resource Sustainability. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science, 213(1). https://doi.org/10.1088/1755-
1315/213/1/012005
Titisari, Ema Y., Antariksa, Wulandari, L. D., & Surjono. (2018). Sumber Air dalam Ruang
Budaya Masyarakat Desa Toyomerto Singosari, Malang. RUANG: Jurnal Lingkungan
Binaan (SPACE: Journal of the Built Environment), 5(1), 77–90.

29
Wahyudi, D. Y. (2015). Kerajaan Majapahit: Dinamika Dalam Sejarah Nusantara. Jurnal Sejarah
dan Budaya, 7(1), 8–95. http://dx.doi.org/10.17977/sb.v7i1.4739
Wesnawa, I. G. A. (2010). Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Lingkungan permukiman
Perdesaan (Kasus Kabupaten Badung Provinsi Bali). Bumi Lestari Journal of
Environment, 10(2).
Widodo, J. (2009). Typological and Morphological Adaptations of Hakka Diaspora’s
Settlements in Cosmopolitan Southeast Asia: West Kalimantan case1.
Widyatmanta, S. (1962). Adiparwa. Jakarta: Urusan Adat-Istiadat & Tjeritera Rakjat, Djawatan
Kebudajaan, Department P.D. & K.
Wurianto, A. B. (2012). Aspek budaya pada upaya konservasi air dalam situs kepurbakalaan dan
mitologi masyarakat Malang. Jurnal Humanity, 4(2), 80–88
Wongphyat, W. (2009). Spatial anthropology of traditional Thai-Islamic dwellings in Eastern
Bangkok. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, 8(2), 347–354.
Xu, P. (2006). The Mandala Cultural Model can play a significant role in sustainable tourism:
Interweaving Tibetan Buddhist landscape with architecture, nature, religious and man´ s
movements. Revista Interamericana de Ambiente y Turismo-RIAT, 2(1), 60–75.
Xu, P. (2010). The Mandala as a cosmic model used to systematically structure the Tibetan
Buddhist Landscape. Journal of Architectural and Planning Research, 181–203.
Yoedana. (2011, Agustus 11). Mandala, Interpretasi Pondasi Sebuah Candi [Blog]. Diambil 12
November 2019, dari Yoedana Wordpress.com, Something are Better Left Unsaid
website: https://yoedana.wordpress.com/
Yondri, L. (2014). Punden Berundak Gunung Padang: Refleksi Adaptasi Lingkungan dari
Masyarakat Megalitik. Jurnal Sosioteknologi, 13(1), 1–14.

Proseding Seminar:
Ashadi, A. (2017). The Change of Form, Function, and Meaning of The City Open Space (Alun-
Alun) in Traditional Cities of Java, Indonesia. International Seminar and Workshop on
Urban Planning and Community Development, 2(1).
Blanchard, K. (2014). Maya in the Mountains: Ecology and Cosmology in The Rocks and Caves
of Highland Guatemala
Mills, B. J. (2008). Remembering while forgetting: Depositional practices and social memory at
Chaco. Memory Work: Archaeologies of Material Practices, 81–108.
Nelson, B. N., Lekson, S. H., Šprajc, I., & Sassaman, K. E. (2010). Shaping Space: Built Space,
Landscape, and Cosmology in Four Regions. Dalam Prepared by the Built
Space/Environment Working Group for the Santa Fe Institute Workshop on"
Cosmology & Society in the Ancient Amerindian World.
Rapoport, A. (2002). On ‘The Invisible in Architecture’: An Environment-Behaviour Studies
Perspective, dalam The Invisible in Architecture (R. van Toorn & O. Bouman, Ed.).
Academy Editions & Ernst and Sohn.
Sedyawati, Prof. Dr. E. (2001). Tantu Panggelaran Dan Manikmaya: Bandingan Kosmogoni.
Dalam F. U. Indonesia (Ed.), Seminar Jawa Kuno. Jakarta.
Sardjono, A. B., & Harani, A. R. (2017). Sacred Space in Community settlement of Kudus
Kulon, Central Java, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 99, 012023. https://doi.org/10.1088/1755-1315/99/1/012023
Siti Rukayah, R., Puguh, D. R., Susilo, E. S., & Indraswara, M. S. (2018). Local Wisdom of The
Native Settlement as A Main Gate in The Northern Axis of Javanese City Center In
Semarang. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 152, 012032.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/152/1/012032
Sprajc, I. (2009). Astronomical and cosmological aspects of Maya architecture and urbanism.
Cosmology Across Cultures, 409, 303.

30
31

Anda mungkin juga menyukai