Anda di halaman 1dari 28

MATA KULIAH PENGANTAR AKULTURASI DALAM ARSITEKTUR ARS 180440

DOMINASI ARSITEKTUR LOKAL- MODERN


ANANTA HOTEL, BALI

Nama: Karin Hasita S


Kelas : A
Dosen Kelas : Dr. Bachtiar Fauzy, Ir., M.T.

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
2022
ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kaya akan segalanya, termasuk budaya dan sejarah
arsitekturnya yang luar biasa. Arsitektur Indonesia tidak hanya menampilkan kekhasannya dari
segi fisiknya saja, namun dibalik perencanaannya selalu ada filosofi dan sarat akan makna baik
secara holistik maupun secara simbolik. Arsitektur tidak hanya berhenti pada perencanaan ruang,
fungsi dan bentuk saja. Namun ada yang namanya elemen ruang, elemen ruang ini dapat berupa
karya seni ornamen, karya seni pahat dan sebagainya sebagai penyempurna makna dan bentuk dari
arsitekturnya itu sendiri, sekaligus menyampaikan ciri khas tertentu dari suatu wilayah atau daerah.
Selain itu ornamen sebagai elemen ruang dapat dijadikan sebagai pendorong untuk menciptakan
suasana tertentu, terlebih di dunia yang sekarang sudah modern, guna membangkitkan suasana
yang khas dari suatu daerah tertentu dapat menggunakan elemen ruang berupa ornamen tersebut.
Selain hal-hal tersebut, yang menjadi cukup khas adalah konsep tata ruang yang juga melekat
dalam Arsitektur Indonesia, baik dari segi angka, orientasi mata angin dan lain-lain yang memiliki
nilai kesakralan tertentu. Contohnya pada bangunan Ananta Hotel ini, yang menggunakan elemen
ruang berupa ornamen floral khas Bali dan bangunan ini salah satunya menerapkan konsep dalam
penataan ruang yang disebut “natah” yakni mewujudkan adanya ruang terbuka di tengah-tengah
bangunan itu sendiri. Laporan ini akan menjabarkan dan menyimpulkan bagaimana proses
Akulturasi Arsitektur Ananta Hotel dengan budaya yang adadi lingkungan Bali.

Kata Kunci :
Arsitektur Indonesia, Elemen Ruang, Filosofi, Sarat Makna, Perencanaan Ruang, Sarat Makna,
Simbolik, Fungsi, Bentuk, Ornamen, Suasana, Tata Ruang, Akulturasi Arsitektur

2
3
DAFTAR ISI

JUDUL 1
ABSTRAK 2
BAB 1 PENDAHULUAN 5
1.1. Latar Belakang………………………………………………………………............... 5
1.2. Objek Studi..………………………………………………………….......................... 6
1.3. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….. 6
1.4. Tujuan dan Sasaran Penelitian………………………………………………………... 6
1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………….. 7
BAB II STUDI LITERATUR……………………………………………………………… 8
2.1. Teori Akulturasi dalam Arsitektur…………………………………………………….. 8
2.2. Teori Penataan Ruang dan Massa Arsitektur Modern…………..…………………….. 8
2.3. Tata Ruang-Massa dan Langgam Arsitektur Lokal Bali…………………………….... 9

BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 11


3.1. Konsep Desain Arsitektur Hotel Ananta…………………………………………….... 11
3.2. Proses dan Pengaruh Akulturasi dalam Perancangan Hotel Ananta………………….. 12
3.3. Analisis Implementasi Unsur Lokal-Modern dalam Arsitektur Hotel Ananta……….. 24
BAB IV KESIMPULAN………….……...………………………………………………... 26
4.1. Kesimpulan….………………………………………………………………………....

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….... 28

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Bali, merupakan salah satu pulau yang sangat terkenal diseluruh penjuru dunia
yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain Pulau Bali memiliki
keindahan alam, Pulau Bali juga menyimpan jutaan budaya yang telah melebur dalam berbagai
aspek, budaya Bali umumnya masih cukup kental walaupun di masa sekarang yang cenderung
adanya kemajuan teknologi dan aspek modern lainnya. Jika dilihat dalam ranah arsitektur, Bali
memiliki banyak sekali karya-karya arsitektur khas dan tradisional. Namun tidak menutup
kemungkinan di tengah-tengah banyaknya turis yang datang menuntut kebutuhan akan berbagai
resort atau fungsi penginapan yang lainnya. Banyak sekali konsep-konsep penginapan yang masih
peduli dengan budaya arsitektur sekitar, dan tidak mau menduakannya. Salah satunya adalah Hotel
Ananta di Legian Bali. Sekilas tampak bangunan modern, namun demikian pendekatan budaya
arsitektur lokal tidak selalu ditunjukan secara fisik, namun dapat ditunjukan secara filosofis dan
makna dari elemen-elemen pada bangunan. Oleh karena itulah laporan ini akan membahas sejauh
mana peranan budaya lokal dalam perencanaan bangunan Hotel Ananta ini dan sebaliknya.

1.2. Objek Studi


Fungsi : Penginapan (Hotel)
Arsitek : Airmas Asri
Lokasi : Jl. Werkudara no. 539 Legian Kuta, Bali , Indonesia
Luas : 3133 m2
Dibangun 2012

Hotel Ananta dan lokasinya di Legian, Bali (sumber gambar https://www.travelio.com/)

5
1.3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini bertujuan memberikan sebuah batasan dalam proses analisis kasus
studi, dan dari latar belakang diatas maka muncul beberapa pertanyaan dibawah ini :

1) Bagaimana pengaruh dan kontekstualisasi dari sistem sosial dan budaya masyarakat
setempat terhadap arsitektur Ananta Hotel, Bali?
2) Bagaimana proses masuknya budaya luar (modern) dan pengaruhnya terhadap arsitektur
Hotel Ananta, Bali?
3) Bagaimana proporsi dan dominasi elemen budaya lokal dan modern pada arsitektur Hotel
Ananta, Bali?

1.4. Tujuan dan Sasaran Penelitian

Tujuan dari proses penelitian atau analisis kasus studi ini adalah :

1) Mengenal dan mengetahui sejauh mana peran budaya lokal bali dalam prosesperancangan
Hotel Ananta ini sesuai dengan kaidah-kaidah teori fungsi, bentuk, dan makna.
2) Kemudian mengetahui bagaimana mengimplementasikan budaya setempat dalam tiga
bagian dalam bangunan yaitu kepala, badan, dan kaki bangunan.
3) Mengetahui penataan ruang dan massa secara modern pada bangunan Hotel Ananta yang
sesuai dengan kaidah-kaidah ordering principles, dan penataan ruang dan massa secara
lokal pada bangunan Hotel Ananta

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian atau analisis ini bermanfaat agar mengetahui bagaimana kaidah fungsi, bentuk,
makna lokal dalam mempengaruhi elemen-elemen pada bangunan. Adapun secara spesifik
manfaat atau kegunaan dari proses penelitian ini adalah :

1) Manfaat secara teoritis, diharapkan proses penelitian atau analisis menambah wawasan
dalam bidang arsitektur khususnya esensi dalam proses akulturasi dalam arsitektur.
2) Manfaat secara praktis, diharapkan kajian dari analisis ini dapat menjadi panduan dan
memberikan kontribusi pada pemikiran kami masing-masing bahwa pentingnya

6
melestarikan budaya setempat atau lokal dalam proses perancangan arsitektur khususnya
dari segi teori akulturasi dalam arsitektur.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian atau analisis pada laporan kasus studi ini adalah menggunakan pendekatan
metode penelitian korelasional, dengan mengumpulkan data-data dan fakta mengenai bangunan
Hotel Ananta kemudian di korelasikan dengan teori-teori yang ada diantaranya teori akulturasi,
teori archetypes, teori hubungan antara fungsi, bentuk, dan makna, serta teori penataan ruang
modern (ordering principle), serta teori penataan ruang lokal Bali itu sendiri. Diharapkan dapat
membeberkan bukti bahwa benar Hotel Ananta ini menggunakan kaidah-kaidah akulturasi dalam
arsitektur.

7
BAB II
STUDI LITERATUR

2.1. Teori Akulturasi dalam Arsitektur

Sebagai dasar pengetahuan yang melandasi kajian ini, pengertian akulturasi diambil dari
KBBI. Makna dari akulturasi menurut KBBI adalah: 1. (Nomina) - Percampuran dua kebudayaan
atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi 2. (Antropologi) - Proses masuknya
pengaruh budaya asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau
banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu 3. (Linguistik)
- proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa,
ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme.

Adapun teori yang digunakan untuk mengidentifikasi akulturasi dalam arsitektur adalah
sebagai berikut.
2.1.1. Teori Archetypes
Istilah Archetypes berasal dari bahasa Yunani arkhe yang berarti unsur dasar atau
materi utama dan tupos yang berarti model atau pola (O’Donnell 2009). Teori archetypes
ini merupakan sebuah cara menelaah kebudayaan (karya manusia termasuk arsitektur)
dengan mengidentifikasi unsur, bentuk dan struktur dasarnya. Pengkajian archetypesdalam
arsitektur ini menekankan pada elemen fisik bangunannya. Salah satu cara
mengidentifikasi bangunan dapat dilakukan dengan membaginya menjadi 3 bagian yaitu
kepala (atap bangunan), badan (bagian tengah bangunan) dan kaki (bagian bawah
bangunan) untuk mengungkap makna di balik bentuk fisiknya.
2.1.2. Teori Fungsi, Bentuk dan Makna (FBM)
Teori FBM atau teori fungsi, bentuk dan makna mengidentifikasi bangunan dengan
melihat relasi/hubungan setiap elemen bangunan dengan fungsi dan maknanya. Teori ini
menekankan pada relasi ketiganya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

2.2. Teori Penataan Ruang dan Massa Arsitektur Modern

Prinsip penataan ruang yang diambil dari pembahasan Ordering Principles oleh D.K.
Ching (2008) yang berisi mengenai elemen, sistem serta tatanan dasar yang membentuk sebuah
karya arsitektur. Prinsip-prinsip penataan terdiri dari:

a. Sumbu/Aksis
Yaitu garis yang diawali dan diakhiri oleh 2 buah titik yang menjadi panduan penataan
bentuk atau ruang. Dari adanya garis ini maka dapat dijadikan panduan untuk terciptanya

8
bentuk atau tatanan yang seimbang atau simetris.
b. Simetri,
Yaitu distribusi dan tatanan seimbang antara bentuk dan ruang yang setara pada sisi-sisi
berlawanan di suatu garis atau bidang pembagi, atau terhadap sebuah sumbu atau titik
pusat. Simetri terdiri dari dua jenis: bilateral dan radial. Suatu kondisi simetri tidak dapat
tercipta tanpa adanya sebuah sumbu atau titik pusat yang membentuknya.
c. Hirarki
Yaitu Aktualisasi kepentingan suatu bentuk atau ruang melalui ukuran, bentuk dasar, atau
penempatan relatif terhadap bentuk dan ruang lain dari organisasi tersebut. Hirarki
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang jelas pada elemen bentuk dan ruang.
d. Datum
Merupakan elemen garis, bidang, atau volume, yang karena kemenerusan dan
keteraturannya memiliki fungsi untuk mengumpulkan, mengukur dan mengatur pola dan
bentuk.
e. Irama
Yaitu pergerakan/penyatuan elemen atau motif yang diulang dan berpola padainterval-
interval yang beraturan maupun tidak.
f. Repetisi
Yaitu pengulangan serangkaian elemen yang dapat dikelompokkan berdasarkan kedekatan
bentuk atau sifat-sifat.
g. Transformasi
Merupakan perubahan atau manipulasi dan permutasi dari konsep, struktur, atau organisasi
arsitektural untuk menanggapi sebuah lingkungan khusus.

2.3. Tata Ruang-Massa dan Langgam Arsitektur Lokal Bali

Arsitektur tradisional Bali mengikuti hukum penataan bangunan yang ketat dan sakral.
Umumnya, rumah tradisional Bali berdiri pada halaman luas yang memiliki banyak ruang terbuka
dengan banyak paviliun kecil yang dikelilingi oleh tembok penyengker yang berfungsi sebagai
penanda batas kepemilikan tapak. Konsep penataan ruang yang digunakan khususnya pada Hotel
Ananta ini adalah konsep Sanga Mandala.
Istilah Sanga Mandala berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu sanga dan mandala.
Sanga berarti ‘angka sembilan’ atau ‘jumlah sembilan’ dan Mandala adalah wilayah atau zona.
Konsep ini intinya membagi suatu lahan atas sembilan petak wilayah atau sembilan zona yang
masing-masing memiliki nilai-nilai kesakralan profan tersendiri.
Sanga Mandala merupakan sebuah konsep yang membahas mengenai aturan pembagian
ruang dan zonasi. Sanga Mandala adalah konsep spasial mengenai arah yang membagi suatu
wilayah menjadi sembilan bagian menurut delapan arah mata angin utama dan pusat (zenith).
Sembilan arah mata angin ini terhubung dengan konsep Hindu tentang Penjaga arah, Dewata

9
Nawa Sanga atau sembilan dewa penjaga arah yang muncul dalam lambang Majapahit Surya
Majapahit. Pusat: Shiva, Timur: Isvara, Barat: Mahadeva, Utara: Wisnu, Selatan: Brahma, Timur
Laut: Sambhu, Barat Laut: Sangkara, Tenggara: Mahesora, dan Barat Daya: Rudra.
Konsep Sanga Mandala ini merupakan hasil penggabungan konsep Kaja-kelod danKangin-
kauh yang dikenal sebagai sumbu natural dan ritual masyarakat Hindu Bali. Kedua konsep tersebut
juga disisipi dengan kepercayaan masyarakat Bali tentang posisi tengah (madya) yang menjadi
zona transisi. Wilayah bersumbu Kaja-Kelod yang sebelumnya hanya terbagi atas zona sakral dan
profan, berkembang menjadi tiga zona, yaitu zona kaja yang bernilai sakral atau utama (Utama),
zona tengah yang bernilai menengah (Madya), dan zona kelod yang bernilai profan (Nista). Pada
wilayah bersumbu Kangin-Kauh juga berkembang menjadi tiga zona, yaitu zona kangin yang
sakral (utama), zona tengah yang menengah (madya), dan zona kaul yang profan (nista). Susunan
ruang pada Madya adalah Natah yang berfungsi sebagai halaman tengah yang dikelilingi
bangunan-bangunan.

Gambar 2.3.1
Sembilan Petak Wilayah menurut Konsep Sanga Mandala

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Konsep Desain Arsitektur Ananta Hotel, Bali


The Ananta Legian Hotel dirancang oleh Airmas Asri di dekat Pantai Legian, Bali. Ananta
dalam bahasa Sansekerta berarti tidak pernah berakhir, mencerminkan filosofi Hotel sendiri yang
menawarkan kesenangan yang tidak pernah berakhir dengan kemewahannya yang khas dan
layanan yang ramah dalam suasana hangat, pesona dan relaksasi. Desain arsitekturnya mengacu
pada tari Legong Bali dan bangunan pura, sejenis bangunan khas Bali yang berfungsi untuk tujuan
keagamaan. Elemen budaya dan arsitektur lokal Bali berusaha diusung untukmenciptakan genius
loci yang dapat memperkenalkan dan membawa pemahaman baru pada pengunjung tentang
arsitektur Bali. Contoh yang paling terlihat adalah pada lobby yang berbentuk seperti piramida
tumpul yang terinspirasi dari bentuk Candi Bentar. Secara umum, Ananta Hotel Legian
memadukan kepekaan lokal dan fungsionalisme guna menciptakan sebuah karya arsitektur
kontemporer.

Gambar 3.1.1
Block Plan Hotel Ananta

Kontekstualisme terhadap elemen lokal tersebut dikombinasikan dengan tata ruang dan
massa modern untuk menciptakan bangunan yang efisien dan menyesuaikan perkembangan
zaman. Tata ruang dan massa dari Hotel Ananta dapat dikatakan mengikuti ordering principle

11
DK Ching. Lima lantai bangunan hotel yang repetitif dan tipikal diatur dalam bangunan berbentuk
U sederhana dengan sudut di sisi kiri untuk menciptakan rasa ruang yang lebihdinamis. Bentuk ini
cenderung linear mengikuti sumbu yang tercipta dari lobby entrance sebagai focal point dan
diteruskan dengan kolam renang dan ruang terbuka yang memanjang. Ruang terbuka yang terletak
di tengah-tengah area hotel bertindak sebagai latar-ruang terbuka seperti di rumah-rumah
tradisional Bali. Di area ini, ruang terbuka berfungsi sebagai fasilitas umum yang dilengkapi
dengan kolam renang, restoran, kedai kopi, dan ruang pertemuan.

Gambar 3.1.2
Kolam Renang Hotel Ananta

Gambar : kolam renang yang terletak tepat di sumbu lobby, membuat pengunjung merasadisambut
dengan air yang mencerminkan suasana sekitarnya. Kolam renang dan paviliun lobby dirancang
dengan material, ornamentasi, dan suasana yang selaras dengan bangunan utama hotel sehingga
pemandangan yang mengesankan.

3.2. Analisis Implementasi Unsur Lokal-Modern dalam Arsitektur Hotel Ananta


3.2.1. Lobby
Pada Hotel Ananta, lobby didesain khusus
dan menjadi focal point karena dalam adat setempat
(Bali), pintu gerbang merupakan elemen arsitektural
penting dan bernilai kosmologis dan kultural tinggi.
Dalam arsitektur Bali yang menjadi tradisi turun
temurun, gerbang/gapura seperti Candi Bentar atau
Kori Agung tidak hanya membatasi bagian luar dan
dalam area pura atau bangunan keagamaan/budaya
lainnya, namun juga memiliki makna dan estetika
yang tinggi. Gerbang inimemiliki makna keagungan
yang juga berusaha diimplementasikan pada pintu
masuk hotel melalui
abstraksi Candi Bentar pada bangunan lobby. (sumber gambar : http://www.majalahsketsa.com/)

12
Menurut Setiadi, lobby pada hotel ini merupakan bangunan terpisah (tunggal) dari
bangunan kamar-kamar hotel yang berbentuk seperti piramida terpancung yang terinspirasi dari
bentuk Candi Bentar yang terkenal menjadi gerbang/gapura di Bali. Candi Bentar merupakan salah
satu Candi Hindu peninggalan Majapahit yang berbentuk seperti gerbang/gapura piramida tumpul
yang terbelah secara simetris, dengan tangga yang monumental tempat diadakannya seremonial
adat dan agama. Pada zaman dahulu, candi ini menjadi batas antara area dalam puri/istana raja
atau pura dengan bagian luar (bangunan penerima). Dalam perkembangannya, Candi Bentar tidak
hanya dibangun pada pura atau istana, melainkan juga perkantoran, fasilitas kepariwisataan, batas
wilayah dan sebagainya.

Abstraksi Candi Bentar pada Lobby Hotel Ananta, Bali (sumber gambar : Setiadi Aditama)

Berikut ini adalah kajian mengenai kesesuaian kontekstualisme lobby Hotel Ananta
dengan Candi Bentar yang merupakan manifestasi arsitektur lokal Bali, serta kajian seberapajauh
pengaruh modernisasi pada desain arsitekturnya.

a. Bentuk Morfologi
Secara morfologis, bentuk Candi
bentar dan Kori Agung yang memiliki nilai
budaya di Bali memiliki ciri khas tertentu,
yang berbeda pada gerbang/candi lain
seperti di Jawa. Candi Bentar adalah
sebutan bagi bangunan berupa pintu
gerbang atau gapura, terdiri atas sepasang
bangunan terbelah secara simetris oleh
tangga sebagai akses masuk yang tidak
beratap. Sedangkan gerbang lain seperti
Kori Agung yang juga disebut Paduraksa
memiliki atap penghubung di atas.

Gambar : Perbedaan morfologi bentuk dari Candi Bentar (kanan) dan Paduraksa/Kori Agung
(kiri) (sumber gambar : CEphoto, Uwe Aranas)

13
Menurut teori Archetypes, candi-candi Hindu baik Candi Bentar ataupun Kori
Agung/Paduraksa pada umumnya dapat dibagi menjadi kepala, badan, dan kaki secara jelas.
Menurut studi dari Universitas Dwijendra Denpasar, morfologi gapura arsitektur Bali terbagi
sebagai berikut :
● Bagian Kepala memiliki struktur atap bertingkat tiga, lima dan juga beratap ijuk sesuai
dengan tingkat keagungannya. Atap kori agung merupakan bagian lanjutan dari badan kori
agung atau merupakan atap dengan struktur yang terpisah dari bagian badannya.
● Bagian Badan merupakan bagian pertemuan sambungan dengan tembok pembatas
(penyengker), dan terdapat pula lubang pintu dikarenakan fungsinya sebagai pintu area
keluar masuk yang diapit oleh susunan pengawak, sipah dan paduraksa.
● Bagian Kaki terdapat pepalihan diantaranya : palih dasar/tanah, palih gajah, palihh taman,
palih sancak sesuai dengan ketinggian yang diperlukan pada lokasi pembangunan.
Disamping itu juga terdapat susunan anak tangga antara 9-20 anak tangga sesuai dengan
tingkat keanggunan, bentuk dan fungsinya

Secara sosok dan bentuk morfologis, lobby ini sangat jauh berbeda dengan Candi Bentar
pada umumnya. Dari kesesuaian bentuk juga sedikit keliru bila mengidentifikasi lobby hotel ini
merupakan abstraksi dari Candi Bentar yang berbentuk terbelah menjadi dua bagian secara
simetris. Bentuknya yang menggunakan atap datar lebih mengarah ke bentuk Paduraksa/Kori
Agung. Abstraksi yang diterapkan pada desain lobby hotel ini nampaknya mengabaikan
pembagian morfologis Candi Bentar atau Kori Agung yang orisinal. Bentuk yang digunakan
cenderung mengarah ke bentuk geometris modern yang jauh lebih sederhana tanpa lekukan,
tingkatan, maupun relief sehingga tidak dapat terdefinisi lagi kepala. badan, dan kakinya.

Bentuk morfologis bangunan lobby Hotel Ananta (b) susah teridentifikasi bagian kepala, badan,
dan kaki seperti Candi Bentar Pura Luhur Lempuyang, Bali (a), dan Paduraksa Pura Puseh Desa
Singapadu, Bali (c).

14
b. Makna Filosofis
Secara pemaknaan yang diwujudkan dari proporsi bentuk, lobby ini juga dinilai kurang
sesuai dengan pemaknaan Candi Bentar dan Paduraksa/Kori Agung Bali. Proporsi bangunan lobby
ini lebih cenderung seimbang antara tinggi dan lebarnya, sehingga kurang menunjukkan
kemegahan Kori Agung yang cenderung berbentuk meninggi, Kori Agung merupakanPelawangan
(pintu masuk di gunung yang merupakan kawasan suci) yang dirancang megah dan tinggi besar.
Bentuk Kori agung yang menjulang tinggi merupakan cerminan dari bentuk gunung yang
merupakan konsepsi masyarakat Hindu Bali mengenai alam semesta. Proporsi yang meninggi ini
yang mengandung makna keagungan yang kuat, yang dinilai kurang didapatkan pada lobby hotel.

Proporsi bangunan lobby Hotel Ananta (b) yang cenderung lebih menyerupai Paduraksa Candi
Majapahit di Jawa seperti Paduraksa Candi Jedong, Mojokerto (c) daripada proporsi Candi Bentar
yang meninggi menyerupai gunung yang terbelah (a).

Meski secara bentuk kurang sesuai dengan makna dari Candi Bentar, penggunaan tangga
besar yang diletakkan setelah lobby dapat menggambarkan makna adat dan tradisi lokal Bali.
Tangga ini menggambarkan suasana seremonial yang terinspirasi dari upacara adat Bali, seperti
upacara adat umat Hindu saat mengusung benda-benda sakral menuju sumber mata air dalam
upacara Melasti di Pura Besakih, Karangasem, Bali. Tangga ini dirancang untuk membawa
pengunjung merasakan suasana 'seremonial' yang biasanya diperuntukkan bagi pedanda —
pendeta tinggi di Bali.

15
Gambar : (kiri) penggunaan tangga pada area lobby Hotel Ananta dan (kanan) upacara adat melalui
Candi Bentar Pura Besakih, Karangasem, Bali. (sumber gambar :
https://www.goodnewsfromindonesia.id/)

c. Fungsi
Lobby Hotel Ananta memiliki kesesuaian
dengan fungsi dan penempatan dari Candi Bentar.
Candi Bentar dan Paduraksa/Kori Agung memiliki
fungsi yang sama, yaitu sebagai gerbang akses masuk
area suci dan pembatas ruang dalam dan ruang luar.
Meski sama secara fungsinya, Candi Bentar dan
Paduraksa memiliki sedikit perbedaan pada
penempatannya, dimana Paduraksa/Kori Agung
menandai pintu masuk ke tempat suci utama candi,
sedangkan Candi Bentar menandai pintu masuk ke
tempat suci bagian luar candi. Bangunan lobby yang
merupakan ruang penerima dan menjadi akses utama
hotel berhasil menciptakan suasana yang sama bagi pengunjung saat masuk ke area pura/istana
melalui Candi Bentar.

Gambar : Kompleks Candi/Pura suci di Bali yang menggunakan Candi Bentar dan Paduraksa/Kori
Agung sebagai gerbang (sumber gambar : Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana).

16
d. Tektonika dan Ornamentasi
Tektonika dan ornamentasi pada bangunan lobby Hotel Ananta didesain dengan tektonika
dan material modern, namun juga terinspirasi dari seni dan kerajinan lokal Bali. Selubung
bangunan yang merupakan second skin ini terinspirasi dari ornamen tradisional setempat, yaitu
kerajinan kaca Bali untuk menciptakan rasa kesakralan dan makna filosofis. Ornamen tradisional
ini diadopsi dari Patra Sari — lukisan karya I Wayan Lungguh, yang memiliki makna yang kuat
pada keilahian, kehidupan, dan keabadian. Perpaduan ornamen tradisional dengan bentuk dan
tektonika modern ini berusaha menggabungkan harmoni estetika tradisional dan filosofi klasik
Bali yang mendalam di tengah gaya hidup modern saat ini.
Lukisan yang menjadi ornamentasi lobby ini diubah menjadi ukiran buatan tangan dengan
bahan Fiber Glass Reinforced Concrete (GRC) dan diterapkan di selubung bangunan sebagai
second skin untuk membantu mengurangi panas dari matahari. Bangunan lobby dibangun dengan
struktur rangka baja untuk menyematkan dua lapisan, kaca di dalamnya dan ukiran di luar yang
terpisahkan 50 sentimeter untuk kebutuhan pemeliharaan. Untuk mencegah overheating di bagian
dalam gedung, itu dirancang dengan gerbang terbuka dan lapisan kaca berfungsi sebagai ventilasi
alami.
Sistem second skin dan layering ini menciptakan efek estetika tiga dimensi melalui
permainan cahaya-bayangan. Pada siang hari, tercipta bayangan berpola terlihat di lantai dan
dinding sehingga menghadirkan suasana ruang yang teduh. Pada malam hari, lampu interior
memancarkan cahaya dari dalam dan melalui ukiran. Hal ini mengubah massa lobby menjadi
semacam patung kontemporer yang berusaha menciptakan sense of delight atau rasa bahagia dan
ketenangan bagi orang Bali.

Gambar : Tektonika struktur, konstruksi dan material pada bangunan lobby Hotel Ananta
(sumber gambar : http://www.airmasasri.com/)

17
Ornamentasi pada bangunan lobby ini menampilkan tiga motif tradisional Bali yang
memiliki makna masing-masing, yaitu sebagai berikut.
● Padma (Lotus), melambangkan Kekudusan dan Kemuliaan Tuhan, mewakili Ananta
Legian Hotel sebagai oase kedamaian dan ketenangan di tengah kehidupan moden yang
sibuk.
● Cupu Manik, melambangkan Sumber Kehidupan dan Energi, mencerminkan Ananta
Legian Hotel sebagai tempat untuk beristirahat dan relaksasi menyegarkan harmoni dan
energi kehidupan.
● Karang, melambangkan Bumi. Ananta Legian Hotel adalah dunia yang unik tersendiri
dengan kebahagiaan, kesenangan dan kegembiraan yang tiada akhir.

Gambar : Penggunaan ornamen Padma, Cupu Manik, dan Karang pada bangunan lobby Hotel
Ananta (sumber gambar : http://www.airmasasri.com/)

18
Gambar : Penggunaan ornamen yang sama dengan lobby pada lounge di rooftop Hotel Ananta
(sumber gambar : http://www.airmasasri.com/)

3.2.2 Ruang Terbuka Komunal


Area ruang terbuka yang terletak di tengah-
tengah hotel merupakan ruang komunal yang didesain
menciptakan suasana hangat dan lega. Ruang komunal
ini meliputi fasilitas kolam renang, restoran, café dan
function hall. Unsur air, seperti kolam dengan pohon
kamboja dan air terjun buatan, yang menonjoldi area
ini menambah kesan natural/dekat dengan alam. Ruang
terbuka ini seakan-akan menjadi ruang privat yang
tenang dan terhindar dari keramaian lingkungan sekitar
karena dilingkupi oleh 5 lantai bangunan utama hotel.
Kisi-kisi logam dan tanaman rambat/green wall pada
selubung bangunan berfungsi melindungi bangunan
dari hujan, menghindari tampilan masif pada fasad, dan
memberikan suasana yang hangat pada ruang komunal.

Gambar : Ruang terbuka komunal di tengah-tengah


hotel (sumber gambar :
https://www.tripadvisor.co.id/)

Menurut website resmi Airmas Asri, perancang dari hotel ini, ruang terbuka komunal ini
berusaha dijadikan manifestasi dari dinamika sosial-budaya masyarakat lokal Bali dengan
mengadopsi konsep natah. Konsep natah dalam kosakata arsitektur Bali adalah lahan kosong

19
multifungsi yang terletak di tengah-tengah lingkungan terbangun seperti rumah, desa atau kota
(Putra, 2003). Natah menjadi cerminan
kehidupan sosial masyarakat, baik sosial
spiritual, sosial ekonomi, maupun sosial
budaya.

Gambar : Ruang terbuka kosong di dalam


Umah Bali yang disebut natah (sumber gambar
: https://bali.tribunnews.com/)

Berikut ini adalah kajian mengenai


kesesuaian kontekstualisme ruang terbuka
Hotel Ananta dengan konsep natah yang
merupakan manifestasi arsitektur lokal Bali, serta kajian seberapa jauh pengaruh modernisasi pada
desain arsitekturnya.

a. Bentuk Morfologi
Secara definitif dan bentuk morfologis, konsep natah pada ruang terbuka Hotel Ananta
kurang sesuai dengan konsep natah dalam arsitektur tradisional Bali. Menurut Putra (2003), natah
berbentuk ruang terbuka yang dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Secara fisik, keberadaan
natah memberi peluang bagi terciptanya penghawaan dan pencahayaan yang baik pada gugus-
gugus bangunan yang berada di sekelilingnya. Hal ini jelas berbeda dengan ruang terbuka Hotel
Ananta yang tampak seperti courtyard biasa yang dikelilingi bangunan masif berlantai 5.
Courtyard ini tentunya banyak didapatkan pada hotel-hotel lain di luar Bali, sehingga
kontekstualisasinya masih dipertanyakan. Konsep natah dengan penghawaan dan pencahayaan
alami yang didapat pada tipologi gugus-gugus massa tunggal agaknya kurang didapatkan pada
tipologi massa bangunan masif tinggi seperti Hotel Ananta. Contoh arsitektur modern yang dinilai
berhasil mewujudkan konsep natah dengan tipologi gugus-gugus massa unit-unit kecil adalah
Maya Ubud Resort, Bali karya Denton Corker Marshall.

20
Gambar : (kiri) Tipologi courtyard yang dikelilingi massa masif tinggi pada Hotel Ananta(sumber
gambar : https://www.tripadvisor.co.id/) dan (kanan) tipologi gugus-gugus unit resort pada Maya
Ubud Resort (sumber gambar : https://www.skysight.com.au/).

Secara zonasi, natah terbagi menjadi tiga zona. Pembagian natah menjadi tiga zona ini
melambangkan eksistensi tiga alam, yaitu alam dewa, alam manusia dan alam bhuta dalam
kepercayaan tradisional Bali. Oleh karena itu dalam upacara ritual “mecaru” yang mempunyai
makna mensucikan alam, dilakukan pada tiga natah tersebut.
Ketiga natah tersebut adalah sebagai berikut.
● Natah Merajan/Sanggah, terletak pada zone kaja kangin yaitu di tengah-tengah sanggah.
● Natah Bale/Umah, terletak ditengah-tengah umah sebagai pedoman penamaan gugus-
gugus bangunan yang mengelilinginya.
● Natah Penunggun Karang dan Natah Paon, terletak di kaja-kauh (barat laut), sesuaidengan
letak penunggun karang.

Meski pada Umah tradisional Bali natah terbagi menjadi tiga zona, tampaknya didapati
natah dengan bentuk lain seiring perkembangan massa. Pada permukiman desa pegunungan, natah
berupa ruang memanjang (linier) atau lahan datar yang dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Hal
ini disebabkan karena penyesuaian terhadap topologi tanah dan kondisi tapakyang lain.

21
Gambar : (kiri) Layout natah pada Umah tradisional Bali (sumber gambar : Gelebet, 1986,
Arsitektur Tradisional Daerah Bali) dan (kanan) layout natah pada Unit Pekarangan Rumah Desa
Pinggan (Sumber gambar : Yudantini, 2016)

Layout ruang terbuka pada Hotel Ananta lebih mengadopsi layout natah pada area
pegunungan yang linier daripada natah tradisional yang dibagi menjadi tiga zona. Hal ini
disebabkan keterbatasan tapak yang membuat ruang terbuka yang linier dipilih karena lebih
efektif. Pembagian zona juga tidak diterapkan karena pada ruang terbuka hotel ini tidak dilakukan
upacara adat, sehingga dinilai pembagian zona berdasarkan aktivitas ritual dinilai tidak perlu.

b. Fungsi
Secara garis besar kegunaan natah dapat dibedakan menjadi dua yaitu kegunaan yang
bersifat sakral dan kegunaan yang bersifat profan. Kegunaan yang bersifat sakral berkaitan dengan
upacara keagamaan, sedangkan kegiatan yang bersifat profan merupakan kegiatan sehari hari yang
tidak berkaitan langsung dengan upacara keagamaan. Kegiatan yang bersifat profan yaitu kegiatan
menjemur hasil bumi, transformasi ilmu pengetahuan, bermain, kegiatan penunjang pada upacara
ritual seperti menerima tamu, dan sebagainya.
Penggunaan ruang terbuka pada Hotel Ananta dinilai sudah sesuai dengan konsep natah
yang menjadi ruang untuk bersosialisasi. Ruang terbuka ini tentunya digunakan untuk aktivitas
profan yang kasual bagi pengunjung hotel. Konsep natah untuk menerima tamu dinilai sangat
sesuai dengan tipologi hotel yang menerima tamu/turis dari dalam atau luar negeri.

22
c. Makna Filosofis
Natah pada hakikatnya memiliki makna yang dalam sebagai ruang kosong/kekosongan.
Lou Tzu dalam Klassen (1990), dengan metaforanya tentang kekosongan, mengatakan bahwa
hanya di dalam kekosongan terletak kebenaran yang esensial. Natah melambangkan sesuatu yang
kosong (luang), karena dengan kekosongan dapat dipahami makna tentang isi (Swanendri, 2000).
Ruang terbuka pada Hotel Ananta agaknya kurang mewujudkan makna dari natah yang
merupakan ‘ruang kosong’ itu sendiri. Banyaknya perabot, ornamen pada pelingkup seperti neon
box berwarna terang, elemen desain tambahan seperti kain dan payung, justru dianggap
menjadikan suasana tampak ramai dan meriah. Harusnya dapat dilakukan simplifikasi dari desain
ruang terbuka tersebut sehingga mewujudkan suasana tenang, kosong, dan lega seperti makna
natah dalam arsitektur tradisional Bali. Sebagai perbandingan, desain Natah Bale Villas justru
lebih menunjukkan konsep kekosongan natah melalui kolam reflektif sederhana dan permainan
bentuk yang minimalis. Ini membuktikan bahwa sebenarnya konsep natah yang tradisional dapat
dikombinasikan dengan arsitektur modern.

Gambar : Ruang terbuka pada Hotel Ananta (sumber gambar : https://arahjalan.com/) dan ruang
terbuka pada Natah Bale Villas (sumber gambar : https://www.makemytrip.com/)

23
3.3. Produk Akulturasi Lokal-Modern dalam Arsitektur Hotel Ananta
Berikut ini adalah identifikasi elemen arsitektur Hotel Ananta yang merupakan produk
dari akulturasi unsur lokal dan modern.
No Unsur Unsur Unsur Keterangan
Arsitektur Lokal Modern

1. Tata Natah Sumbu Tata massa hotel


ruang- (ruang simetri, mengikuti ordering
massa terbuka di hirarki principle (DK Ching)
tengah) dengan menata massa
mengikuti sumbu
linear dengan lobby
sebagai hirarki (focal
point) dan ruang
terbuka di tengah
sejajar dengan
sumbu.
2. Paviliun Ornamenta Tektonika, Terdapat tangga
Lobby si, Material, penghubung lobby
Abstraksi Geometrik dan fasilitas umum
Bentuk. yang memberikan
Tangga
Seremonial kesan “upacara” yang
biasanya terdapat
pada budaya Bali.

3. Ruang Natah Geometrik Ruang terbuka


Terbuka (ruang komunal yang
Komunal terbuka di terletak di bagian
tengah), tengah hotel
Ragam hias memberikan kesan
ruang terbuka yang
berada pada
rumah-rumah
tradisional Bali.

4. Rooftop Ornamenta Tektonika, Dekorasi eksterior


Lounge si Material, fasad terinspirasi dari
Geometrik karakteristik
kerajinan kaca Bali
yang berpola floral
khas mahkota penari
Legong yang
dikombinasikan
dengan material

24
modern (GRC) mirip
seperti pada paviliun
lobby.

5. Eksterior Dekorasi Repetisi, Dekorasi eksterior


Bangunan fasad Geometrik fasad terinspirasi dari
, Material karakteristik
kerajinan kaca Bali
yang berpola floral
khas mahkota penari
Legong. Dekorasi
fasad tersebut
dikombinasikan
dengan material
modern yaitu Glass
Fiber Reinforced
Concrete (GRC).

6. Interior Furniture, Material, Nuansa Bali


Bangunan Ragam Konsep ditunjukkan dari
Hias minimalis, perabot seperti motif
Layout batik bali pada seprei
Ruang dan kerajinan kayu
bali. Banyak ruang
yang menggunakan
material modern dan
desain yang
minimalis seperti
pada hall dan ruang
rapat.

25
BAB IV
KESIMPULAN

Ananta Hotel merupakan hasil akulturasi budaya lokal Bali dengan modernisme dalam
arsitektur yang lebih didominasi oleh elemen modern. Elemen lokal digunakan sebagai bentuk
kontekstualisme tempat dan budaya, sedangkan elemen modern diaplikasikan sebagai upaya
efisiensi, pemenuhan kebutuhan fungsional, dan mengikuti kebutuhan zaman. Kontekstualisme
lokal banyak ditemui pada ornamen dan ragam hias, sedangkan elemen modern mempengaruhi
tata ruang-massa, simplifikasi bentuk, tektonika, dan fungsional.

26
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Lokasi Ananta Hotel. Sumber : Google Earth


Gambar 2.3.1. Sembilan Petak Wilayah Menurut Konsep Sanga Mandala
Sumber: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/lb/article/download/33138/75676581476
Gambar 3.1.1 Block Plan Hotel Ananta. Sumber: http://archdaily.com/ananta-legian-hotel
Gambar 3.1.2 Kolam Renang Hotel Ananta. Sumber: http://archdaily.com/ananta-legian-hotel

27
DAFTAR PUSTAKA

Wardani, Laksmi K. dkk. ESTETIKA RAGAM HIAS CANDI BENTAR DAN PADURAKSA DI
JAWA TIMUR. Surabaya : Program Studi Desain Interior Fakultas Seni dan Desain, Universitas
Kristen Petra (diakses melalui Konferensi Nasional Pengkajian Seni Arts and Beyond)

Rosilawati, Hana. PENERAPAN TATANAN MASSA RUMAH TRADISIONAL BALI


DALAM RANCANGAN RUMAH ETNIS JAWA-MANADO DI SURABAYA. Langkau
Betang: Program Studio Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Widya Kartika (diakses melalui
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/lb/article/download/33138/75676581476 pada 2022 )

Martana, Salmon. Arsitektur Bali. Denpasar : Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana
(diakses melalui https://repository.unikom.ac.id/35561/1/Arsitektur%20Bali.pdf pada 30 Oktober
2022)

Wiriantari, Frysa dan Gusti Ngurah Semarajaya,. 2018. Perancangan Kori Agung. Denpasar :
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Dwijendra.

Airmas Asri. ANANTA LEGIAN HOTEL - CONTEMPORARY INCULTURATION (diakses


melalui http://www.airmasasri.com/insight-details/contemporary-inculturation pada 30 Oktober
2022)

Suarya, I Made. 2003. Peranan Natah di dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Denpasar : JURNAL
PERMUKIMAN “NATAH” VOL. 1

Wijaya, I Kadek Merta. 2019. KONSEPSI NATAH DAN LEBUH SEBAGAI “RUANG
KESEIMBANGAN” DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI. Denpasar : Jurnal Arsitektur
Zonasi (diakses melalui http://ejournal.upi.edu/index.php/jaz pada 30 Oktober 2022)

O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius

28

Anda mungkin juga menyukai