Anda di halaman 1dari 21

EKSPLORASI TEORI DAN KRITIK ARSITEKTUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL, ARSITEKTUR VERNAKULAR DAN


ARSITEKTUR NUSANTARA

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Teori dan Kritik Arsitektur yang diampu
oleh dosen:

Dr. Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho, MT

Kelas: TA-A RTA 3322

Disusun oleh :

Jihan Nafa Avira


200406081

DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat,
hidayah dan taufik-Nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Eksplorasi
Arsitektur pada mata kuliah Teori dan Kritik Arsitektur ini. Makalah ini berisikan studi
literatur terhadap arsitektur tradisional, vernacular, dan nusantara.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik senantiasa akan saya tampung demi
kesempurnaan pada makalah ini

Medan, 8 April 2023

Jihan Nafa Avira

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN..........................................................................................................................
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................
1.3 Tujuan...............................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................
PEMBAHASAN.............................................................................................................................
2.1 Arsitektur Tradisional...........................................................................................................
A. Definisi............................................................................................................................
B. Bangunan Bergaya Arsitektur Tradisional......................................................................
1. Rumah Bubungan Tinggi..........................................................................................
2. Rumah Joglo.............................................................................................................
2.2 Arsitektur Vernakular...........................................................................................................
A. Definisi............................................................................................................................
B. Bangunan Bergaya Arsitektur Vernakular......................................................................
1. Rumah Adat Minangkabau (Rumah Gadang)........................................................
2. Rumah Adat Bali....................................................................................................
2.3 Arsitektur Nusantara...........................................................................................................
A. Definisi..........................................................................................................................
B. Bangunan Bergaya Arsitektur Nusantara......................................................................
1. Kampus Institut Teknologi Bandung......................................................................
2. Museum Tsunami Aceh..........................................................................................
BAB III.........................................................................................................................................
PENUTUP....................................................................................................................................
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................
3.2 Saran.............................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya merupakan sebuah proses perkembangan pola pikir yang terjadi secara
bertahap dalam waktu yang lama. Proses ini terjadi selama manusia ada dan terus
berkembang sesuai dengan pengembangan wawasan keilmuan. Setting lingkungan
merupakan salah satu faktor yang berperan kuat dalam pembentukan karakter budaya.
Di dalam pembahasan tentang tentang arsitektur di Indonesia sebelum kedatangan
Belanda/Eropa, selain istilah arsitektur nusantara, terdapat juga istilah lain seperti
arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular. Ada kalangan yang menganggap
ketiganya sama saja, bisa dipertukarkan satu sama lain. Padahal ketiganya tidak
berangkat dari logika dan awal-mula yang sama, sehingga tidak bisa disamakan secara
serampangan.
Istilah arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, dan arsitektur nusantara sangat
sering digunakan dalam ranah arsitektur. Ketiga istilah ini acap kali muncul ketika
dikaitkan dengan konsep dan desain yang bersentuhan dengan aspek budaya, genius
lokal, dengan rentang waktu (lifetime) dan sebagainya. Meski ketiganya memiliki akar
makna yang tidak jauh berbeda, ada hal hal prinsip yang dapat diungkapkan agar jelas
terlihat perbedaannya sehingga lebih mudah untuk dipahami dengan mengedepankan
contoh perbedaan dalam bentuk studi kasus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi dari arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, dan arsitektur
nusantara?
2. Bagaimana karakteristik arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, dan arsitektur
nusantara?
3. Bagaimana bentuk persamaan dan perbedaan karakter arsitektur tradisional,
arsitektur vernakular, dan arsitektur nusantara?
4. Seperti apa contoh bangunan bergaya arsitektur tradisional, arsitektur vernakular,
dan arsitektur nusantara?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi dari arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, dan
arsitektur nusantara.
2. Menjelaskan karakteristik arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, dan
arsitektur nusantara.
3. Menjelaskan bentuk persamaan dan perbedaan karakter arsitektur tradisional,
arsitektur vernakular, dan arsitektur nusantara.
4. Menjelaskan contoh bangunan bergaya arsitektur tradisional, arsitektur
vernakular, dan arsitektur nusantara.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arsitektur Tradisional

A. Definisi
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditionem, dari traditio yang berarti
"serah terima, memberikan, estafet", dan digunakan dalam berbagai cara berupa kepercayaan
atau kebiasaan yang diajarkan atau ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
biasanya disampaikan secara lisan dan turun temurun. Sebagai contoh adalah tradisi kegiatan
masyarakat di Indonesia saat perayaan peringatan hari kemerdekaan RI di setiap tanggal 17
Agustus. Masyarakat Indonesia kerap menyelenggarakan perlombaan-perlombaan,
tumpengan dan berbagai kegiatan unik lainnya. Kegiatan semacam ini tidak diketahui kapan
dimulainya dan siapa yang memulainya. Namun demikian, kegiatan ini telah berlangsung
sekian lama secara berulang-ulang sehingga masyarakat menjadikan kegiatan tersebut perlu
dan harus dilakukan. Inilah yang bisa disebut sebagai tradisi. Demikian pula kegiatan-
kegiatan yang mengatasnamakan aktivitas-aktivitas keagamaan.
Tradisi adalah sebuah praktek, kebiasaan, atau cerita yang dihafalkan dan
diwariskan dari generasi ke generasi, awalnya tanpa memerlukan sebuah sistem tulisan.
Tradisi sering dianggap menjadi kuno; dianggap sangat penting untuk dijaga. Namun
demikian ada juga beberapa tradisi yang memang sengaja diciptakan demi mencapai tujuan-
tujuan tertentu; sebagai alat untuk memperkuat kepentingan atas kalangan tertentu dan lain
sebagainya. Tradisi semacam itu ternyata dapat diubah sesuai dengan kebutuhan saat itu dan
perubahan itu masih bisa diterima sebagai bagian dari tradisi kuno. Sebagai contoh yang
termasuk "penemuan tradisi" di Indonesia adalah pada masa pendudukan kolonial Belanda,
mereka membutuhkan pengakuan kekuasaan di wilayah mereka berada sehingga usaha
terbaik yang harus mereka lakukan adalah dengan menciptakan sebuah "tradisi" yang bisa
mereka gunakan sebagai alat untuk melegitimasikan posisi mereka sendiri. Dalam hal ini
mereka memanfaatkan keberadaan seorang raja sebagai alat untuk mempersatukan rakyat
dibawahnya agar tetap loyal dan hormat pada sang raja sehingga mudah dikendalikan oleh
sang raja dan tentu saja oleh pendudukan kolonial yang menguasai sang raja. Dengan
demikian kekuasaan kolonial secara tidak langsung akan menyerap ke dalam tradisi rakyat
setempat.
Dalam tataran teoritis, tradisi dapat dipandang sebagai informasi atau terdiri
atas informasi. Informasi yang dibawa dari masa lalu ke masa kini dan dalam konteks sosial
tertentu. Sehingga informasi ini bisa dianggap sebagai bagian yang paling mendasar meski
secara fisik ada tindakantindakan atau aktifitas tertentu yang secara terus menerus juga
dilakukan pengulangan-pengulangan sepanjang waktu. Dengan demikian Tradisi adalah
sebuah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus atau sebuah kebudayaan atau sebuah
hasil karya yang dianggap berhasil dan memiliki legitimasi dalam kurun waktu yang cukup
panjang dan bahkan sangat panjang (lama) yang diikuti oleh generasi generasi berikutnya
secara turun temurun.

4
Sehingga arsitektur tradisional dapat didefenisikan sebagai penekanan dalam
arsitektur yang memfokuskan pada pengungkapan karakteristik dari bentuk bangunan yang
merupakan hasil senyawa dari nilai dan adat yang masih di anut oleh masyarakat daerah
setempat. Beraneka ragam arsitektur tradisional di Indonesia menandakan Indonesia memiliki
seni budaya yang luas dan berbeda satu sama lainnya. Kebudayaan merupakan bagian dari
warisan budaya yang seharusnya tetap dilestarikan sebagai modal dasar untuk identitas diri
yang ada di Indonesia.

B. Bangunan Bergaya Arsitektur Tradisional

1. Rumah Bubungan Tinggi

Arsitektur Tradisional pada Rumah Bubungan Tinggi


Sumber: Google

Perkembangan kebudayaan Melayu di daerah semenanjung Melayu


telah ada jauh sebelum adanya pendatang/imigran dari tanah Jawa ke
Kalimantan. Dan dalam sejarah perkembangan kebudayaan, imigran Jawa
lebih terpusat di daerah pedalaman daripada di pesisir. Sejarah kehidupan
pesisir dalam kerangka kerajaan Banjar terjadi setelah Sultan Suriansyah
(Pangeran Samudera) memindahkan eks pusat kerajaan dan penduduk Negara
Dipa. Dan berdasar hal ini perkembangan budaya yang lebih dominan
selanjutnya adalah budaya kehidupan pesisir (Melayu).
Aspek kebudayaan yang sangat terlihat bukti konkretnya adalah hasil
budaya berupa teknologi struktur bangunan.
Keunggulan teknologi ini didasarkan pada kearifan budaya masyarakat
Banjar dalam mengolah hasil alam (kayu) dan mengatasi kendala alam (tanah
basah). Struktur rumah bubungan tinggi seluruhnya terbentuk dari konstruksi
kayu. Selanjutnya kontruksi tersebut membentuk satu kesatuan sistem struktur
rangka yang sangat stabil dan memiliki kekakuan baik secara vertikal maupun
lateral. Secara vertikal, bangunan dengan ukuran yang sangat panjang mampu
berdiri seimbang di atas landasan yang sangat lemah. Hal ini tentu
membutuhkan keahlian untuk meng- hindari kemungkinan adanya penurunan
bangunan yang tidak merata. Secara lateral, bangunan mampu bertahan
terhadap adanya perbedaan beban bangunan. Kembali pada sejarah

5
terbentuknya masyarakat Banjar, tentunya konteks budaya yang lebih
maju/mengenal baik kondisi lingkungan pada masa itu sangat menentukan.

Organisasi Ruang pada Rumah Bubungan Tinggi


Sumber: Google

Melihat pada aspek desain dan konstruksi rumah Bubungan Tinggi,


nampak bangunan dibangun dengan tujuan untuk jangka waktu yang lama.
Hal ini berbeda dengan sebagian karakteristik permukiman masyarakat Dayak
di Kalimantan umum- nya yang bersifat non permanen. Dalam tradisi
permukiman masyarakat Dayak Bukit (Meratus) misalnya; permukiman
(Balai) dibangun dengan desain, bahan, dan juga konstruksi yang sangat
berbeda. Bahkan Balai sering berpindah-pindah mengikuti lingkungan
perladangan, dan bangunan selalu dibangun kembali di tempat yang baru.
Kunci kekuatan dan kestabilan bangunan terletak pada sistem struktur
rangka kaku yang dibentuk oleh 3 elemen utama, yaitu elemen tiang (tihang),
balok watun (watun barasuk), dan balok pengaku (panapih). Ketiga elemen
tersebut saling mengikat dan mengakukan, sehingga bangunan menjadi satu
kesatuan.
Pondasi pada rumah Bubungan Tinggi merupakan bagian yang utama.
Dengan besarnya ukuran, volume, dan berat bahan bangunan, ditambah faktor
bangunan berdiri di atas tanah yang memiliki daya dukung sangat lemah
(tanah rawa) maka konstruksi pondasi ini menjadi sangat penting. Dengan usia
bangunan yang lebih dari 100 tahun, kestabilan bangun

6
2. Rumah Joglo

Arsitektur Tradisional pada Rumah Joglo


Sumber: Google

Rumah Joglo adalah rumah tradisional dari Jawa yang kepopulerannya


terdengar sampai mancanegara. Itu karena desainnya identik dengan nilai
warisan nenek moyang sehingga fungsi pembuatannya ada banyak. Tidak
hanya dijadikan tempat tinggal saja. Namun juga memiliki banyak filosofi
lainnya.
Berdasarkan jenisnya, rumah tradisional ini memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakannya dengan yang lain.
Keunikan yang pertama terlihat dari desain atapnya. Itu karena
bentuknya tinggi serta disangga dengan 4 tiang. 4 tiang ini adalah soko guru.
Untuk bentuknya, rumah ini memiliki ukuran yang megah dan lebih besar
dibandingkan dengan hunian adat Jawa pada umumnya. Karena ukurannya
besar dan megah, hal ini membuat rumah ini umumnya dimiliki para
bangsawan saja.
Fakta unik inilah yang kemudian menyebabkan mitos masyarakat Jawa
Tengah mulai berkembang bahwa rumah Joglo tidak pantas didirikan dan
ditinggali oleh rakyat jelata. Itu karena material yang digunakan untuk proses
pembuatannya ada banyak dan semuanya mahal. Sehingga total biaya
pembangunan keseluruhannya menjadi mahal.
Karena pintunya ada 3, yaitu di tengah dan kedua sisi kanan dan kiri
bawah. Peletakan pintu ini menggambarkan kupu-kupu yang berkembang dan
berusaha terus berjuang untuk keluarga besarnya. Disamping itu, filosofi pintu
rumah yang diletakkan di tengah rumah ini menggambarkan keterbukaan dan

7
kedekatan antar pemilik rumah dengan tamu. Sehingga hal ini menjadikan
rumah ini terlihat unik.
Keunikan lain dari rumah Joglo ini terlihat dari ukuran terasnya yang
sangat luas. Dibagian ini umumnya punya fungsi tersendiri seperti rumah khas
tradisional Jawa Tengah yang lain. Yaitu untuk berinteraksi sosial antara
pemilik rumah dengan warga. Itulah kenapa setiap bangunannya memiliki
ukuran teras yang lebih luas dari yang lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bila rumah Joglo ini punya desain arsitektur
yang unik dan berkarakter. Sehingga hal ini menjadikannya terlihat menarik
dan disukai banyak orang. Mulai dari desain arsitekturnya, ruangannya, dan
fungsinya. Setiap ruang memiliki karakter sendiri sehingga hal tersebut
membuatnya terlihat semakin unik.
Disamping itu, hunian ini juga memiliki nilai filosofi Jawa di semua
bagian ruangannya. Itulah kenapa rumah ini menjadi lebih istimewa
dibandingkan dengan hunian pada umumnya.

2.2 Arsitektur Vernakular

A. Definisi
Menurut Yulianto Sumalyo (1993), vernacular adalah bahasa setempat, dalam
arsitektur istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya,
lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak
denah, struktur, detail-detail bagian, ornamen, dll).
Sementara definisi arsitektur vernakular menurut Paul Oliver dalam
Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World adalah terdiri dari rumah-rumah
rakyat dan bangunan lain, yang terkait dengan konteks lingkungan mereka dan sumber daya
tersedia yang dimiliki atau dibangun, menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk
arsitektur vernakular dibangun untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi
nilai-nilai, ekonomi dan cara hidup budaya yang berkembang.
Sebuah cerita menarik tentang perkembangan arsitektur vernacular ditulis oleh
Salura (2008) berikut ini.
Adalah Bernard Rudofsky (1910 – 1987) seorang pionir yang kemudian
mencuatkan kemunculan vernakular. Ia bukanlah seorang yang memiliki latar belakang
akademis; hanya seorang arsitek sekaligus seorang pengamat seni yang dengan
kemampuannya berhasil merilis sebuah buku tentang ”pakaian” yang berjudul Apakah
Pakaian Kita Modern? Buku yang berjudul asli “Are our Clothes Modern?” ini cukup
menarik untuk disimak yang menceritakan bahwa hampir semua kisah sejarah yang
ditemuinya memaparkan “pakaian” para raja-raja beserta lingkup kerajaannya serta pemuka
agama. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk mengumpulkan dan menyajikan

8
catatan maupun sketsa budaya pakaian masyarakat biasa dari berbagai penjuru negeri.
Catatan inilah yang kemudian menarik perhatian banyak kalangan termasuk penyandang dana
kelas dunia untuk mensponsori penelitian-penelitian berikutnya. Termasuk juga kajian
tentang arsitektur, yang tentunya tetap mengusung sesuatu kebudayaan yang berasal dari
masyarakat biasa – masyarakat yang memiliki keunikan arsitektur tanpa diketahui siapa sang
arsiteknya. Rudofsky menyebut karya penelitian ini dengan istilah non formal architecture.
Hingga akhirnya dari hasil penelitiannya tersebut pada tahun 1964, ia
pamerkan di sebuah museum seni modern di New York bersamaan dengan peluncuran
bukunya yang berjudul “Arsitektur Tanpa Arsitek”. Sesuai judulnya buku ini memaparkan
tentang pemukiman dan rumah-rumah masyarakat biasa, yang jelas sangat berseberangan
dengan kajian yang banyak muncul disaat yang sama dimana fokus yang dipaparkan rata-rata
lebih didominasi pada bangunan istana, kerajaan ataupun bangunan keagamaan. Dari buku
yang berjudul asli “Architecture Without Architects” ini membuat banyak kalangan menjadi
sadar bahwa pandangan sempit selama ini tentang seni bangunan yang cenderung pada obyek
kemegahan dan keagungan raksasa kerajaan tersebut harus segera di sejajarkan dengan
sebuah karya hasil kejeniusan lokal masyarakat biasa.
Demikianlah sejak Rudofsky menggelar pameran bertajuk sama dengan
bukunya yaitu “Architecture Without Architects” ia kemudian menyebut jenis arsitektur ini
dengan sebutan “vernacular-architecture”. Jika dirujuk kedalam kamus-kamus bahasa, Istilah
vernakular ternyata merujuk kedalam ilmu bahasa (linguistik) yang secara harfiah berarti
logat, dialek atau bahasa asli setempat, sehingga tepat rasanya jika label vernakular ini oleh
nya ditempelkan pada jenis bangunanbangunan rakyat yang menunjukkan kadar kekentalan
lokalitas setempat. Sejak itu pula muncul para teoritisi yang memposisikan dirinya sebagai
pengamat atau pengkaji baru dalam teori arsitektur vernakular ini. Salah satunya yang paling
dijadikan rujukan oleh para pengkaji vernakular adalah Amos Rapoport. Berdasarkan tradisi
cara membangunnya, Rapoport dalam buku klasiknya House Form and Culture, membagi
bangunan menjadi grand-tradition (tradisi megah) dan folk-tradition (tradisi rakyat).
Kemegahan Istana dan bangunan keagamaan digolongkan ke dalam grand-tradition.
Sementara architecture without architects digolongkan sebagai bangunan folk-tradition. Pada
klasifikasi folk-tradition ia menempatkan dua kelompok: arsitektur primitif dan arsitektur
vernakular. Rapoport kemudian mengidentifikasi lebih lanjut bahwa jenis arsitektur
vernakular yang ada dapat dipisahkan sebagai vernakular-tradisional dan vernakular-modern.
Arsitektur vernakular yang identik dengan perkembangan jenis karya
arsitektur tanpa arsitek (desainer formal) merupakan istilah atas langkah adaptatif dan
antisipatif manusia lokal untuk membuat perlindungan diri dengan lingkungannya secara try
and error. Maka, bila cara-cara 596 tersebut bisa berlangsung berulang-ulang melalui pola
estafet dari generasi ke generasi, vernakular akan menjadi tradisi.

B. Bangunan Bergaya Arsitektur Vernakular


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak ragam arsitektur
vernakular. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki arsitektur tradisional yang berbeda-
beda. Semuanya memiliki arsitektur yang berciri khas yang berbeda-beda yang dipengaruhi
oleh berbagai aspek-aspek yang disebut di atas.

9
Sejak kemunculan teori teori vernakular, banyak para praktisi yang berusaha
untuk melirik bangunan-bangunan vernakular untuk diadaptasikan dengan bangunan karya
modernnya. Inilah barangkali yang sekarang kita sebut sebagai gaya vernacular. Untuk itu
dalam tulisan ini akan diambil beberapa contoh bangunan vernakular dan juga bangunan
dengan gaya vernakular yang kiranya sesuai untuk bisa dilekatkan dengan unsur
tradisionalitasnya.

1. Rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang)


Arsitektur Vernakular yang lekat dengan tradisi Sumatra Barat ini
merupakan pengejawantahan dari hasil pembelajaran dan pemahaman masyarakat
Minangkabau terhadap alam. Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran
satu kaum dalam satu nagari, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti
tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan, sebagai
tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Terbentuknya Rumah Gadang
tersebut beserta perkampungannya dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti yang
mempengaruhi terbentuknya arsitektur vernakular pada umumnya.
Secara fisik, arsitektur Rumah Gadang menunjukkan keselarasan adaptasi
terhadap lingkungannya. Atapnya yang lancip merupakan adaptasi terhadap
kondisi alam tropis. Dengan atap lancip, niscaya air tidak akan mengendap. Oleh
karena itu, walaupun hanya terbuat dari ijuk yang berlapis-lapis, Rumah Gadang
tidak akan bocor. Demikian juga atap rumah yang membesar ke atas. Tujuannya
adalah agar bagian dalam rumah tidak basah karena tempias air hujan yang dibawa
angin.

Arsitektur Vernakular pada Rumah Gadang


Sumber: Google

Bentuk rumah yang berkolong juga tidak semata-mata untuk menghindar


dari serangan binatang buas, tetapi juga sebagai bentuk penyikapan pada kondisi
alam tropis yang panas. Kolong yang tinggi memungkinkan penghuninya
mendapatkan hawa segar. Selain itu, pembangunan Rumah Gadang yang
memanjang dari utara ke selatan akan menghindarkan penghuninya dari panas
matahari dan hembusan angin secara langsung.
Rumah Gadang merupakan media untuk mewariskan nilai-nilai adat
Minangkabau. Melalui Rumah Gadang, tindak-tanduk para kerabat diatur, seperti
kesopanan, tata pergaulan, cara makan, dan bagaimana melakukan interaksi

10
dengan anggota kaum ataupun pihak luar. Selain itu, fungsi utama Rumah
Gadang adalah sebagai simbol untuk menjaga dan mempertahankan sistem
budaya matrilineal – sistem kekerabatan dari garis ibu. Melalui Rumah Gadang
inilah, orang-orang Minangkabau menjamin lestarinya sistem matrilineal.
Sama halnya dengan daerah lain di Indonesia, Sumatra Barat juga
mengalami heterogenitas kultur yang cukup dominan, sehingga arsitektur
vernakularnya pun muncul dalam wujud “campur aduk”, berwujud tradisional,
namun tak bermakna, karena tidak perduli pada tatanan, hirarki makna, maupun
pengertian yang terkandung pada wujud aslinya.

Arsitektur Vernakular pada Balaikota Padang Panjang


Sumber: Google

Alhasil, arsitektur vernakular yang ada pada masa lalu yang penuh makna
dan filosofi, kini menjadi kisah yang kembali diungkap hanya sebatas bayang-
bayang atau pencitraan saja, seperti yang banyak ditemui di hampir di setiap
penjuru kota besar di Sumatra Barat. Salah satu contohnya adalah bangunan
Balaikota Padang Panjang

Arsitektur Vernakular pada Rumah Makan Padang


Sumber: Google

Namun dibalik semua itu ada sebuah kondisi yang unik yang sampai saat
ini masih terjaga kuat yaitu adanya tradisi matrilinear yang kental, sehingga
tradisi kaum lelaki yang harus merantau memberikan fenomena tersendiri. Seperti

11
yang kini banyak dijumpai di hampir seluruh kota besar di Indonesia, diyakini
bahwa sebagian perantau mengenangnya dengan memberikan citra pada tempat
usaha mereka. Contoh yang sering kita jumpai adalah Rumah Makan Padang
dengan citra khas bangunannya walaupun hanya sebatas fasade saja

2. Rumah adat Bali


Seperti yang sudah diurai diatas, arsitektur vernakular lekat dengan tradisi
yang masih hidup, tatanan, wawasan, dan tata laku yang berlaku sehari-hari
secara umum. Bali, khususnya daerah pedesaan yang belum banyak mengalami
perubahan dari pengaruh external, merupakan saksi atas arsitektur vernakular ini.
Sekedar ilustrasi saja bahwa adat istiadat Bali muncul dari hasil pengejawantahan
religi setempat yang memiliki konsep keagungan secara hirarkis. Sehingga
konsep ini menjadi salah satu pedoman untuk melakukan atau mengambil
keputusan dalam melakukan sesuatu termasuk di antaranya dalam konsepsi
mereka membuat zoning kegiatan pada bangunan rumah, yaitu konsep Sanga
Mandala

Inilah vernakular asli. Sangat bersahaja, merakyat, sangat beradaptasi


dengan lingkungannya, memiliki bahan material setempat yang menonjol seperti
batu-bata merah, ijuk, kayu, batu alam dsb, dan mampu bertahan dalam kurun
waktu yang lama serta dipercaya turun-temurun.

Arsitektur Vernakular pada Rumah Khas Bali


Sumber: Google

Pada perkembangan terkini, di mana heterogenitas kultur menjadi


dominan, arsitektur vernakular muncul dalam wujud “campur aduk”. Berwujud
tradisional, tapi tak bermakna, karena tidak perduli pada tatanan, hirarki makna,
maupun pengertian yang terkandung pada wujud “asli”-nya. Kondisi ini banyak
bermunculan di kota-kota besar di Bali, terutama pada daerah yang berbasis
pariwisata. Banyak bisa disaksikan arsitektur yang hanya “bergaya vernakular”,
seperti pada bangunan dengan tipologi baru yang tidak dikenal secara umum pada
tataran tradisional, yaitu pada rancangan hotel, toko, dan sebagainya.

12
Arsitektur Vernakular pada Bangunan Khas Bali
Sumber: Google

2.3 Arsitektur Nusantara

A. Definisi
Arsitektur nusantara menunjukkan bahwa jelajah pengetahuan yang dilakukan
di sini berpangkal pada dua hal, yaitu pertama membaca arsitektur dan kedua menafsir
arsitektur. Jadi, berbeda dari jelajah kebudayaan/ antropologi/ geografi yang mengawali
dengan membangun pengetahuan atas manusia atau suku tertentu, jelajah arsitektur nusantara
justru mengawali dengan menggarap arsitektur dan lingkungannya. Tindakan dalam
arsitektur nusantara ini dilakukan dengan pertimbangan dasar bahwa penjelajahan yang
dilakukan adalah penjelajahan atas artefak yang sudah ada, merupakan artefak dari masa lalu
dan manusia pengusungnya sudah tidak ada lagi (yang ada adalah manusia pengusung di hari
ini, yang mengatakan/ membicarakan tentang manusia masa lalu).
Dalam membaca arsitektur, yang dilakukan adalah analisis kritis atas tampang
dan gubahannya, pertalian antara bangunan dengan tapak dan lingkungannya, sistem struktur
dan konstruksi, serta komposisi dan gubahan ruangan. Dengan materi penjelajahan seperti ini,
diharapkan dapat diperoleh tatanan, pola dan sistem penalaran yang terdapat dalam arsitektur
nusantara. Temuan yang dihasilkan dari jelajah membaca ini lalu dilanjutkan dengan jelajah
kedua yakni jelajah tektonika, estetika dan makna. Jelajah yang satu ini dapat saja dikatakan
sebagai usaha membuat penafsiran-penafsiran atas segalanya yang terhimpun dalam jelajah
pertama. Dalam langkah jelajah ini, dilakukan pula penjumpaan dengan data kebudayaan
(antropologi, geografi, dan ilmu-ilmu lainnya).
Tujuan utama dari penjumpaan ini adalah untuk mendapat pembenaran atas
tafsir yang didapat dalam jelajah arsitektur nusantara. Apabila dipadankan dengan kajian
semiotika dari Saussure, maka jelajah pertama itu dapat dipadankan dengan jelajah denotatif,
sedangkan jelajah kedua adalah jelajah konotatif. Jelajah yang dilakukan oleh arsitektur

13
nusantara tidak hanya berhenti pada dua jelajah didepan. Kedua jelajah itu disampaikan
sepenuhnya untuk memperlihatkan perbedaannya dari arsitektur tradisional. Jelajah
selanjutnya adalah jelajah yang dapat dikatakan sebagai jelajah saling-silang. Dalam jelajah
ini dilakukan penjejeran dari arsitektur demi arsitektur yang ada di nusantara.
Maksud utama dari jelajah ini adalah untuk menunjukkan bahwa peristiwa
arsitektur nusantara di sebuah tempat bukanlah sebuah peristiwa tunggal dan terisolasi (sama
sekali tidak berkait dengan arsitektur lainnya, yakni arsitektur nusantara lainnya). Dari
penjejeran ini diarahkan agar dapat ditemukan kesamaan, keserupaan maupun kebedaan.
Temuan-temuan dalam jelajah ini dapat menjadi pembukti yang sahih bagi adanya
komunikasi antar anak bangsa nusantara dengan menempatkan lautan sebagai penghubung,
bukan sebagai pemisah.
Sementara itu, di dalam masing-masing arsitektur nusantara setempat juga
dilakukan penelusuran/ penjelajahan untuk membangun tipologi dan morfologi arsitektur
setempat. Jelajah seperti ini menjadi penting jika ingin menunjukkan bahwa arsitektur
nusantara itu tidak mandeg, melainkan berubah dengan tidak mengabaikan keajegan yang
dipandang penting. Begitulah rentang jelajah yang dilakukan dalam arsitektur nusantara.
Sebagai penjelajahan yang dilakukan terhadap arsitektur sebelum kehadiran arsitektur
Hindia-Belanda (arsitektur kolonial), maka sangat besar peluang bagi arsitektur nusantara
untuk tampil sebagai ‘induk, sumber’ arsitektur di nusantara. Bukan mustahil bila ‘induk,
sumber’ ini menunjukkan keserupaan dan kesejalanan dengan dictum Vitruvian: firmitas,
utilitas dan venustas, tetapi sama sekali tidak boleh diartikan bahwa arsitektur nusantara
harus memenuhi dictum Vitruvian ini.
Dari uraian di depan, dapat disampaikan rangkuman demikian: Yang ditunjuk
sebagai arsitektur nusantara adalah arsitektur di nusantara dengan kurun waktu sebelum 1800
Masehi. Ini berarti bahwa arsitektur nusantara menunjuk pada arsitektur dari masa silam,
sehingga dapat dinamakan bahwa arsitektur nusantara adalah arsitektur klasik Indonesia.
Dengan ketentuan kurun waktu itu, maka artefak yang dimasukkan ke dalam arsitektur
nusantara mencakup percandian (arsitektur batu dan bata) serta arsitektur anak bangsa, yaitu
arsitektur kayu.
Di bawah ini adalah penjelasanpenjelasan yang membahas mengenai arsitektur
Nusantara oleh beberapa peneliti, antara lain penelitian dari Maria I. Hidayatun (2003)
dengan judul “Belajar Arsitektur Nusantara dari Gereja Puhsarang Kediri, Tinjauan ke-
Bhineka Tunggal Ika-an” dan penelitian dari Galih Widjil Pangarsa (2008) dengan judul
“Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di laut Karawitan arsitektur”.
Dalam penelitian yang pertama, Hidayatun (2003:1&6) menjelaskan beberapa
prinsip dasar arsitektur Nusantara, dengan uraian sebagai berikut. Pertama, Arsitektur
Nusantara merupakan sebuah pernyataan yang mengandung beribu gambaran dan persepsi.
Belajar dari pengetahuan yang pernah dipelajari sejak sekolah dasar Nusantara merupakan
sebuah setting tempat yang luas, terdiri dari beberapa pulau dan berisikan penduduk dengan
latar belakang budaya yang sangat beragam. Di dasari oleh pengetahuan sejarah yang
diberikan sejak mulai dikenalkan dengan setting dimana Nusantara itu berada, adalah berawal
dari kekuasaan masa Majapahit. Dengan demikian, maka kita akan menjadi paham apabila
batasan tentang tempat menjadi sangat luas. Bicara tentang Nusantara, kita diingatkan oleh
sebuah karya besar Gajah Mada yakni sumpah Palapa yang antara lain berisi tentang ke-

14
Bineka Tunggal Ika-an yang menunjukkan bahwa tempat yang begitu luas dihuni oleh
berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang budaya, namum tetap dalam satu
naungan yakni Nusantara. Oleh karena itu pemahaman terhadap aarsitektur Nusantara harus
pula dipahami seperti “Sumpah Palapa” yang tidak menutup kemungkinan adanya pertalian
dari berbagai suku bangsa seperti misalnya antara Jawa-Madura-Sumba-Timor-Batak dsb.
Adalah sebuah pencarian tentang hakekat berarsitektur dalam bumi Nusanatara ini.
Kedua, belajar tentang arsitektur Nusantara adalah bagaimana mempelajari
kebergaman atau ke-Bineka Tunggal Ika-an dalam sebuah kacamata atau dalam kebersatuan.
Memang tidaklah mudah, tetapi satu sikap yang seharusnya dibina sejak awal mencoba
mengerti dalam sebuah pemahaman yang hakiki, berbicara tentang dasar, prinsip dan
pedoman. Oleh karena itu yang ditelusuri bukan dalam perbincangan fisik saja, tetapi lebih
pada pengetahuan dasar yang melatar belakangi sebuah fungsi, seperti misalnya bukan
berbicara dengan dasar sebuah kamar tidur atau bilik, melainkan berbicara tentang sebuah
pernaungan dengan nilai-nilai yang berada dibalik pernaungan itu.
Dalam penelitian yang kedua, Pangarsa (2008:8) menjelaskan arti dari
Nusantara bahwa Dari kata Kawi “nuswa” atau “nusya” yang berarti pulau, dan “antara”:
menunjuk area berpulau-pulau mulai Semenanjung Malaka di Barat, Papua di Timur, Pulau
Formosa di Utara pada batas garis lintang 23½º LU, dan Pulau Rote yang terletak di batas
paling Selatan Indonesia. Itu sering dilihat sebagai wilayah dimana bahasa dan tradisi
Malayo-Melanesia-Polynesian cukup dominan. Pengarsa (2008:2,3da&4) mencoba
menampilkan ciri utama dari arsitektur di wilayah Nusantara melalaui beberapa poin dengan
uraian sebagai berikut.
Pertama, Berdaun sepanjang tahun: arsitektur pernaungan. Ruang-luar
Arsitektur Nusantara adalah ruang berkehidupan bersama. Itulah yang menunjukkan bahwa
pernaungan adalah arsitektur bagi fitrah manusia. Arsitektur Nusantara bagai bayi di dalam
perlindungan rahim batas teritori yang kokoh, meski sebenarnya. ia hanya bernaung saja di
dalamnya. Di dalam kekokohan perlindungan rahim, ia tetap terkait dengan dunia-luar lewat
jasad sang ibu. Arsitektur pernaungan ada dalam kerangka-struktural dan kaitan-sistemik
dengan lingkungannya. Inilah universalitas yang sebenarnya dapat dipakai di mana pun di
muka bumi. Maka dapat dipahami, sangat sulit menerapkan konsep arsitektur pernaungan di
belahan bumi sub-tropik empat musim yang hanya berlingkungan-daun seperempat tahun
saja. Tiga perempat tahun yang lain, iklim dingin lebih banyak mendesak-paksa. manusianya
untuk masuk ke dalam ruang perlindungan. Ruang-luarnya sulit dimanfaatkan sebagai ruang
bersama yang bernuansa akrab. Arsitektur pernaungan adalah konsep yang sangat tergantung
pada sifat dan keadaan struktur dan sistem di luar tapak. Ketika keadaan eksternal berubah,
kualitas pernaungan itu pun ikut berubah.
Kedua, Arsitektur Nusantara berkembang dari tradisi berhuni di lingkungan
berpohon-pohon, bukan di lingkungan bergua-gua . dua tipologi tradisi berhuni prasejarah itu
sudah terbukti secara arkeologis. Arsitektur Nusantara yang pernaungan ialah hasil
kristalisasi pengalaman empirik selama ribuan tahun. Hampir seluruh penelitian mutakhir
tentang budaya bermukim di Asia tropis lembab, menunjukkan bahwa ruang bersama tempat
kehidupan sosial penuh keakraban bagi masyarakat manusia tropis lembab adalah pada jalan
lingkungan, gang, halaman bersama, ruang-bersama desa, sekitar pundèn, ruang antar-
émpèran rumah. Singkatnya: ruang-terbuka-bersama. Jika ada atap, batang-kayu kolom

15
strukturnya tetap memberi karakter terbuka dan dapat menjalin pertautan spasio-visual
dengan ruang lain. Kolom-kolom rumah panggung berupa garis, esensinya tak
mengkomsumsi ruang; lantai yang didukung kolom-kolom itu justru memproduksi ruang.
Kini arsitektur bangunan gedung di Indonesia dapat digolongkan menjadi “AC-tektur” dari
golongan berpunya yang dari awal memang sudah menolak berjendela, tertutup rapat serta
menjadi benteng perlindungan dari iklim-mikro kota yang makin panas-ganas dengan jalan
pintas untuk dirinya sendiri. Golongan kedua adalah “nonAC-tektur” dari golongan tak
berpunya lemah-papa dalam segala pengertian: sumpek, sumuk, dan semrawut. Nusantara
sungguh beruntung (di masa lalu) dianugerahi alam ramah.
Ketiga, Pulau-pulau Arsitektur Bahari Mentawai dan Nias berbeda ciri meski
letak geografisnya dekat; Madura dan Jawa Timur pedalaman pun tak dapat dipersamakan.
Keunikan lokalitas tak kenal jarak, tetapi ditentukan oleh eksklusifitas jejaring peradaban
yang di masa lalu, terbatasi oleh air laut. Satuan hunian ruang budaya di Nusantara terbentuk
lewat eksklusifitas pulau-pulau. Dengan demikian, pada hamparan lautnya nan luas,
kemajuan teknologi. Berkaitan pula dengan pertumbuhkembangan arsitekturnya masing-
masing.
Bagi masyarakat Arsitektur Nusantara Bahari ada kaitan antara arsitektur
dengan kemajuan teknologinya: mulai dari perahu bergalah, berdayung, bercadik tunggal atau
ganda, kemudian berkembang dengan layar, dan seterusnya. Pinisi berlayar merupakan
loncatan teknologi dari perahu berdayung Majapahit.
Pada intinya arsitektur nusantara adalah sebuah arsitektur yang mencerminkan
keberadaan antara manusia dan alam lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Arsitektur Nusantara dipahami sebagai kejamak-majemukan yaitu kebersamaan
dengan mahluk ciptaan yang lainnya serta dengan Sang Maha Pencipta. Kemajemukan
mengidentifikasi bahwa kehadiran nya tidak pernah eksis hanya sebagai individu, karena
selalu ada yang lain selain dirinya. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa arstektur
Nusantara mempunyai nilai tentang kekhasan dan keberagaman serta hubungan antara dirinya
dan kejamak majemukan dalam alam semesta. Hal ini dapat diartikan sebagai yang lokal
adalah dirinya, kekhasannya atau kesetempatannya dan yang universal adalah kesamaan cirri,
kejamak-majemukan alam semesta, atau kesemestaannya.

B. Bangunan Bergaya Arsitektur Nusantara

1. Kampus Institut Teknologi Bandung

16
Arsitektur Nusantara pada Bangunan ITB
Sumber: Google

Gedung Aula Barat dan Aula Timur ITB di Bandung, serta


Gereja Katolik di Puh Sarang, Kediri ialah contohcontoh
keberhasilan Maclaine Pont memakai bahasa arsitektur lokal
guna menghadirkan sosok bangunan modern. Hal yang serupa
juga dilaksanakan oleh Thomas Karsten yang merancang
kawasankawasan kota serta pasar-pasar dengan menyimak
kaidah-kaidah arsitektur lokal. Patut disayangkan inovasi seperti
dilaksanakan arsitek Belanda ini malah kurang dikembangkan
oleh semua arsitek anda masa kini.
Bangunan yang menarik untuk diperhatikan adalah dua bangunan
kembar yaitu aula barat dan aula timur ITB yang dirancang oleh seorang
arsitek dari Belanda, yaitu Henry Maclaine Pont pada tahun 1918. Aula
barat dan aula timur ITB sendiri, adalah satu dari empat bangunan di
Indonesia yang telah dirancang oleh Henry Maclaine Pont, yang pada
masanya telah melahirkan seni yang disebut sebagai arsitektur Indisch,
yaitu arsitektur yang memadukan unsur nusantara dengan arsitektur
Eropa.
Menurut Dr.Ing. Himasari Hanan, MAE, dosen program studi
Arsitektur ITB, keistimewaan aula barat dan aula timur adalah pertemuan
antara beberapa teknologi modern yang ada pada saat itu, yang diwakili
oleh laminater wood, yaitu kayu yang berlapis-lapis yang mengisi kolong
bangunan tersebut. Selain itu, Himasari Hanan juga mengatakan bahwa
komposisi yang apik dari kedua bangunan ini, dimana terdapat
keseimbangan di setiap bagian, menjadikan aula barat dan aula timur
semakin megah dan monumental.

Salah satu hal yang menarik perhatian dari bangunan kembar aula barat
dan aula timur adalah atap yang dimilikinya. Atap tumpu dengan gaya
tradisional membuat citra lokal yang diambil dari berbagai macam model
atap yang ada di Indonesia berpadu membentuk keserasian dengan gaya
bangunan Eropa modern. Beberapa aspek tradisional yang terdapat di
aula barat dan aula timur adalah bentang atap yang besar dan terbuat dari
kayu yang kecil-kecil. Pengaturan ventilasi, ruang dan pintu masuk yang
sesuai dengan iklim tropis menjadikan bangunan ini dianggap cukup
sempurna di masa itu.

Jika dilihat dari segi fungsi aula barat dan aula timur ITB yang sama
sekali tidak mengalami perubahan dari awal pembangunannya, maka
dapat dikatakan bahwa bangunan kembar ini memiliki nilai historis yang
sangat tinggi. Bentuk bangunan yang tidak pernah diganti pun membuat
bangunan kembar ini semakin layak untuk terus dijaga keasliannya.

17
Meskipun beberapa bagian pernah mengalami kerusakan ringan karena
termakan usia, bagian-bagian tersebut hanya diganti secukupnya tanpa
mengubah kerangka dasar aula barat dan aula timur ITB. Dengan tidak
adanya perubahan yang berarti pada bangunan kembar tersebut, maka
aula barat dan aula timur ITB memang tak pernah lekang oleh waktu.

2. Museum Tsunami Aceh

Arsitektur Nusantara pada Bangunan Museum Tsunami Aceh


Sumber: Google

Menggunakan etnik nusantara dalam bentuk, ragam hias yang penuh


metafora, museum yang didirikan pada tahun 2009 ini ditujukan untuk
mengenang peristiwa tsunami aceh pada tahun 2004 silam.
Merupakan hasil dari penggabungan tradisi adat Aceh berupa tarian
adat Saman pada bagian corak dan juga ragam hiasnya, bangunan ini
merupakan metaphora akan tragedi yang di peringatinya. Dalam hal ini,
arsitek bangunan museum tsunami aceh menerapkan gaya arsitektur
nusantara dengan modern.
Mulai dari air terjun buatan hingga penggunaan material yang dapat
mengingatkan setiap pengunjung yang datang akan betapa kelamnya
peristiwa tersebut. Unsur nusantara dihadirkan dalam façade luar eksterior
bangunannya

18
BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penjejeran pengetahuan arsitektur tradisional, arsitektur vernakular dan arsitektur
nusantara menunjukkan dengan langsung bahwa ketiga pengetahuan itu saling berbeda
ranahnya. Sebagai konsekuensinya pemahaman atas perancangan arsitektur menjadi sangat
mungkin untuk dilakukan dengan mendayagunakan pengetahuan arsitektur nusantara, tetapi
tidak bisa dengan arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular. Sikap tidak mau peduli
yang selama ini berlangsung di lingkungan sekolah arsitektur sudah harus diakhiri dengan
mengedepankan arsitektur nusantara dalam pengetahuan arsitektur mengenai arsitektur karya
anak bangsa hingga abad 18.

3.2 Saran
1. Hasil dari makalah teori dan kritik arsitketur tentang eksplorasi gaya arsitektur ini
diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberi solusi pada berbagai permasalahan
yang ada.
2. Hasil makalah ini diharapkan sebagai pembuka pikiran mahasiswa khususnya dalam
menemukan konsep dan ide desain serta menemukan jiwa dari suatu bangunan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, dkk. 2014. Tipe Teori pada Arsitektur Nusantara Menurut Josef Prijotomo. Media
Matrasain. 11 (2): 32-47.
Dekori, 2017. Mengenal Arsitektur Tradisional. URL https://dekori.id/pengertian-arsitektur-
tradisional-indonesia-bali-dan-contohnya. Diakses tanggal 7 April 2023.
Octavia, Linda. dan Prijomoto, Josef. 2018. Arsitektur Nusantara Bukan Arsitektur
Tradisional Maupun Arsitektur Vernakular. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia. 7
(4): 249-253.
Rumah.com, 2021. Rumah Joglo Keunikan, Adat dan Filosofinya. URL
https://www.rumah.com/panduan-properti/rumah-joglo-48100. Diakses tanggal 7
April 2023.
Suharjanto, Gatot. 2011. Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur
Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali. ComTech. 2
(2): 592-602.

20

Anda mungkin juga menyukai