Anda di halaman 1dari 18

ARSITEKTUR NUSANTARA

Dosen Pengajar : Dr. Johanes Adiyanto, S.T., M.T.

Mata Kuliah : Arsitektur Nusantara

Disusun Oleh
Nama : Adinda Qurota Irani

NIM : 03061381722067

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin.


Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.
Jurnal ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuannya tentang
“Arsitektur Nusantara yang Mengkini” yang kami sajikan berdasarkan pengamatan
dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen “Arsitektur
Nusantara ” kami yaitu Bapak Dr.Johanes Adiyanto,S.T,M.T dan juga teman-teman
yang telah membantu support dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.

Palembang, April 2018


Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………...………………...I
DAFTAR ISI…………………………………………………………...……………..ii
ABSTRAK………...………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................… 1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................……1
1.2. Rumusan Masalah...................................................……………………….....6
1.3.Tujuan………..………………………………………………………….…….6
1.4. Manfaat……………..............................................................................……...6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA….......................................................................... .. 7
2.1.Bandara Alor …......................................................................……..................7
BAB III PEMBAHASAN…..………...................................................................…..10
3.1. Pembahasan……….....................................................................................…10
BAB IV PENUTUP...............................................................................................….13
5.1. Kesimpulan..................................................................................................…13
5.2. Saran ...........................................................................................................…13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................….14

ABSTRAK
Arsitektur Nusantara merupakan sebuah fenomena tentang beragamnya karya
anak bangsa yang luar biasa, yang mencerminkan kekayaan arsitektur di Indonesia.
Arsitektur Nusantara secara mendasar juga merupakan hasil dari buah pikir yang sarat
dengan makna yang terungkap dalam setiap wujud fisiknya. Sementara itu
Regionalisme arsitektur adalah satu konsep arsitektur yang berdasar pada kekayaan,
potensi dan pengetahuan tentang arsitektur setempat/regional yang dapat menjawab
tantangan masa kini, dan menekankan pada pengungkapan karakteristik suatu daerah
atau tempat dalam arsitektur terkini (kontemporer).

Nilai-nilai dalam Arsitektur Nusantara merupakan sebuah kekuatan untuk


dijadikan dasar dan pedoman dalam pengembangannya ketika harus berhadapan
dengan kondisi terkini. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar pembentuk Regionalisme
Arsitektur Indonesia. Dalam analisisnya digunakan metode diskriptif untuk
menjelaskan tentang dasar pemikiran, makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Arsitektur Nusantara, sehingga dapat ditemukan hakekat pemikirannya. Sedangkan
untuk menghadapai tantangan Globalisasi digunakan teori kritis Paul Recoeur untuk
melakukan interpreasi kembali terhadap Arsitektur Nusantara dalam rangka mencari
Regionalisme Arsitetkur di Indonesia dari Arsitektur Nusantara. Hasil dari penelitian
ini merupakan sebuah konsep tentang Regionalisme Arsitektur Indonesia yang
berangkat dari Arsitektur Nusantara sebagai sebuah karya Arsitektur yang
menekankan pada karakteristik daerah.

Kata kunci: Arsitektur Nusantara, Nilai, Makna, Regionalisme.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

TEORI DAN METODA PERANCANGAN


Suatu Kajian Pola Pemikiran Josef Prijotomo Terhadap Arsitektur Nusantara

Dalam menggelarkan arsitektur Nusantara, ada baiknya ditampilkan suatu


penghambat, kenapa arsitektur Nusantara telah dianggap sebagai peningalan kuno,
klenik (usang) dan tidak berkembang. Masuknya Belanda di Indonesia juga ditandai
oleh langkah kolonialisasi pendidikan terutama di bidang pengetahuan arsitektur. Di
dalam dunia kearsitekturan di Indonesia,khususnya pada sekolah-sekolah arsitektur,
sebuah peta mental pemikiran Vitruvian maupun ilmu dalam disiplin budaya telah
menjadi sebuah langkah universalisme pengetahuan arsitektur yang sudah dari dulu
dan hingga sekarang masih tumbuh subur dan menjadi ikon yang membanggakan.

Salah satu bentuk universalisme pengetahuan arsitektur di Indonesia, adalah


bahwa arsitektur daerah-daerah (tradisional) telah dimasukkan ke dalam kelompok
vernacularsebagai kelas kedua dari arsitektur Vitruvian. Kini, arsitektur bukan lagi
dikaji dalam ranah pengetahuan arsitektur, tetapi lebih kepada kajian disiplin ilmu
kebudayaan. Kebudayaan telah menjadi latar depan (foreground) dan menjadi
“payung” bagi arsitektur, dan meletakkan arsitektur sebagai “cermin budaya”.
Sebutan ini menunjukkan sebuah malapetaka dan matinya arsitektur daerah- daerah,
terkotak-kotak dalam lingkup fanatisme kedaerahan. Ini adalah alasan pertama.

Yang kedua adalah, sebuah sebuah peta mental telah terpatrikan di benak para
penghadir bangunan (arsitek), di mana mereka mengatakan bahwa “inilah zaman
modern, dan zaman untuk melokal, sudah lewat”. Alasan lain juga yang mereka
lontarkan yaitu “dalam merancang arsitektur yang Indonesia, belum ada sebuah
patokan (referensi, buku-buku teori) atau acuan perancangan yang Nusantara /
Indonesiawi”. Kedua alasan ini mereka segaja lontarkan guna mempertahankan peta
mental pengetahuan Vitruvian yang telah berakar di pikiran.

Ada seorang arsitek sekaligus peneliti dan kritikus Indonesia yang mengambil
bagian dalam menyanggah kedua alasan di atas sekaligus melakukan pembenaran-
pembenaran terhadap arsitektur Nusantara. Dia itu adalah Josef Prijotomo. Prijotomo,
telah melakukan berbagai penelitian yang sudah dimulainya di tahun 1980-an dengan
awal mengeluarkan pengetahuan masyarakat Jawa tentang bangunan. Hingga saat ini
(kurang lebih dua dekade) kegiatan penelitian masih tetap dilakukan dalam
mengungkap pengetahuan arsitektur Nusantara seperti

yang telah diserukan oleh Pangarsa (2012), bahwa “para arsitek seharusnya berterima
kasih kepada Josef Prijotomo, karena telah mempopulerkan kembali konsep arsitektur
pernaungan (Arsitektur Nusantara)”, kemudian dengan mengutip pernyataan Prijtomo
bahwa “Arsitektur Nusantara berlandasakan atas filsafat, ilmu dan pengetahuan
arsitektur dan mampu setara dengan arsitektur Vitruvian (Barat).” Dengan beranjak
dari pernyataan ini, maka kegiatan pengungkapan pengetahuan Arsitektur Nusantara
ini menjadi fokus utama dalam pengkajian penelitian ini.

Tema-Tema

Tema 1 : Ciri Arsitektur Nusantara

Ideologi

Prijotomo secara ekplisit menyatakan bahwa, keragaman atau ke-bhineka tunggal


ika-an dapat ditempatkan sebagai preseden (acuan) dalam melakukan pengkinian
arsitektur Nusantara. Arsitektur daerah- daerah tidak lagi dipandang sebagai kotak-
kotak kedaerahan atau fanatisme kedaerahan, karena ke-bhineka tunggal ika-an telah
dipandang sebagai kebersatuan, dalam artianberagam tetapi satu, yaituNusantara
(Indonesia).

Filsafat kearsitekturan Nusantara

Sama halnya dengan ideologi, bahwa filsafat kearsitekturan Nusantara ini


bersumber dan berakar dari Arsitektur Klasik Nusantara, yakni arsitektur percandian
dan arsitektur tradisonal etnik Nusantara.

Landasan pengetahuan Arsitektur Nusantara

Ditegaskan oleh Prijotomo, bahwa pengetahuan arsitektur Nusantara itu berada


dalam disiplin arsitektur (Theory in). Arsitektur Nusantara bukanlah sinonim dengan
arsitektur tradisional, sebab pengetahuan (Theory about) arsitektur tradisional ini telah
berada dalam lingkaran disiplin kebudayaan. Sehingga pakem / kelompok yang
non-arsitektural harus ditempatkan sebagai pengetahuan sekunder atau tersier.
Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahaman terhadap kebaharian dan pernaungan.
Atap dan geladak adalah konsekuensi dari pendayaagunaan lingkungan yang menjadi
tempat munculnya arsitektur.

Bentuk Lingkung-Bina etnik

Bentuk atau pola lingkung-bina etnik Nusantara pada umumnya dijumpai berupa
pelataran yang diapit oleh gugus-gugus bangunan (berderat tunggal atau ganda), yang
disebut dengan pola linier. Pada pemukiman etnik di darat, pola linier dalam tata
lingkungan, tidak lagi meletakkan titik pusat (suci) pada bagian tengah, dan bisa saja
diletakkan dibagian terdalam dari arah masuk, misalnya Toraja, Madura, percandian
Jawa Timur maupun di Sumba.

Berbeda dengan tata lingkungan di perairan misalnya di Biak, penempatan titik


pusat (Rum Sram) diletakkan pada bagian terdepan dari akses jalan dari laut, dan
menjadi titik suci terdalam jika akses dari darat (menuju laut). Pola linier pada
pemukiman perairan ini berbeda dengan pola linier di daratan. Pola yang terbentuk
tidak harus membentuk sebuah garis geometrik yang lurus.

Pola tatanan Radial (Symmetris)

Percandian Jawa Tengah masih berbentuk candi tunggal, dan bangunan-


bangunan di kompleks percandian mengelilingi candi sebagai titik suci. Tatanan suci
yang berbentuk lingkaran ini, juga dijumpai pada lingkung-bina Nias.Berbeda dengan
pola tatanan percandian di Jawa Timur yang tidak lagi menggunakan pola radial,
tetapi menggunakan kembali pola prasejarah, yaitu pola Cluster. Titik suci tidak lagi
berada di tengah-tengah (setangkup-simmetris), tetapi di bagian terdalam dari arah
masuk kompleks percandian. Disebut sebagai pola simmetris- assimetris, maksudnya
pola yang berbentuk simetris tidak sepenuhnya.Fungsi Ruang

Konsep rumah pada lingkung-bina etnik Nusantara, misalnya di Bali dan Jawa, di
mana rumah yang dihadirkan tidak hanya memiliki satu unit rumah saja, melainkan
gugus-gugus bangunan dalam sepetak lahan yang dipagari. Gugus-gugus bangunan ini
mengapit sebuah ruang kosong (natah: Bali) atau ruang dalem yang diapit oleh
senthong pada rumah Jawa. Gugus bangunan inilah yang menjadi bilik-bilik dari
rumah, sehingga dapat disebut sebagai interior rumah, bukan ruang luar. Begitu juga
dengan gugus-gugus bangunan yang dihadirkan di lingkung-bina etnik Nusantara
pada umumnya. Sebuah pelataran / jalan yang diapit oleh gugus- gugus bangunan ini
disebut sebagai interior pemukiman desa. Pada lingkung-bina etnik Nusantara,
mendekorasi bangunan menjadi perhatian utama dalam menjadikan bangunan / rumah
lebih ekpresif dan estetis. Selain itu, ornamen dan dekorasi juga menandai sebuah
kegiatan atau aktifitas keseharian berlangsung.

Pelataran, kolong (rumah panggung) dan beranda (teras), menjadi ruang


publik bagi masyarakatnya. Bermain, berdialog, bekerja merupakan kegiatan
keseharian yang sangat tinggi frekuensinya dibandingkan di dalam rumah. Jadi,
pelataran, kolong dan beranda menjadi interior multi aktifitas (multifungsi). Dalam
kegiatan peribadahan orang Kristen dan Islam, interior bangunan cenderung
diletakkan di bagian dalam bangunan, dan bagian dalamnya diberi ornamen dan
dekorasi rang beragam corak. Ornamen dan dekorasi pada interior gereja atau mesjid
menandakan tingkat frekensi peribadahan di dalam bangunan. Kedua interior
bangunan ibadah ini, dibatasi oleh lantai, dinding dan atap. Di percandian, orang
melakukan peribadahan di luar candi dan penggunaan ornamen dan dekorasi juga
terkonsentrasi di bagian luar. Sama dengan interior pada Gereja maupun Mesjid,
interior candi ini batasi oleh dinding candi itu sendiri, selasar candi, dan langitan
yang sesungguhnya. Jadi bagian luar ini disebut sebagai interior percandian.

Tema 2: Pengetahuan Teori Arsitektur Nusantara

Penjelasan umum tentang pengetahuan teori arsitektur Nusantara ini dapat


ditemui pada Kategori [6 dan 7]. Seperti yang telah disampaikan, bahwa arsitektur
Nusantara mendasarkan pemahaman atas kenyataan tradisi tanpa tulisan, di mana
segala bentuk pemikiran dan pengetahuan masyarakat lisan, baik dalam bentuk
upacara, artefak, nyayian, doa-doa, ornamen dan dekorasi, relief percandian,
merupakan rekaman keping- keping pengetahuan. Sebagai kedudukannya pada theory
in architecture, di mana pengertian teori ini memiliki penjelasan umum aspek-aspek
formal, tektonika, struktur, representasional, dan prinsip-prinsip estetika yang
melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha merumuskan dan mendefinisikan
prinsip-prinsip teoritis dan praktis yang penting bagi penciptaan desain bangunan
yang baik. Sebagai contoh pada naskah-naskah Jawa, misalnya primbon. Primbon
juga berisi pengetahuan praktis tentang tektonika dan menentukan struktur maupun
desain bangunan yang baik dan nyaman. Semua ini dijalankan dengan berpatokan
pada prinsip-prinsip petungansebagai sistem ukuran, misalnya panjang- lebar
bangunan.Atap adalah analogi dari pohon yang rindang, ketika hujan deras dan tanah
menjadi basah dan becek, maka geladak yang ditinggikan menjadi cara mengatasi
solusi ini. Begitu juga arsitektur perairan di Biak. Untuk menghindari genangan air
laut di geladak (dermaga) pada rum sram atau keret, maka geladak dibuat lebih tinggi.

Dalam hal struktur dan konstruksi bangunan, misalnya pada arsitektur Wae Rebo
yang didesain dengan struktur rangka kayu dengan konstruksi ika, dengan tinggi
bangunan mencapai lima lantai dan lantai dasarnya bisa menampung sekitar 100
orang. Sungguh sebuah kecemerlangan yang luar biasa. Begitu juga dengan
pemahaman masayarakat Sumba dalam membangun Uma. Tiang-tiang kayu
penopang bangunan masih menyalurkan beban dengan baik meski menggunakan
tiang kayu yang tak sepenuhnya lurus. Struktur kayu dan konstruksi ikat lazim
ditemui di arsitektur etnik Nusantara, yang disebut sebagai konstruksi goyang.
Bergoyang-goyang saat gempa, namun tidak mengalamai kerusakan. Inilah
kecemerlangan masyarakat lisan yang seharusnya didayagunakan dalam pengkinian
arsitektur Nusantara. Pengetahuan- pengetahuan seperti ini, bukanlah kearifan lokal
(local wisdom) atau genius loci, sebab, kedua label ini berlatarbelakang Eropa-
Amarika (Erorika). Sebagai pengganti kedua label ini adalah sebutan “cerlang-tara”
(kecemerlangan Nusantara).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari dalam latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
sebagai berikut.

1. Mengapa banyak yang mengkinikan Arsitektur Nusantara ?

2. Faktor apa yang menyebabkan orang menjadi ingin mengkinikan Arsitektur


Nusantara?

3. Keterkaitan Arsitektur Nusantara & Mengkinikannya ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari karya tulis ini adalah :

1. Membuka kesadaran akan Arsitektur Nusantara

2. Menjelaskan Pembahasan tentang Arsitektur Nusantara yang Mengkini

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah :

1. Dapat memahami Arsitektur Nusantara yang mengkini dan keterkaitannya

2. Dapat mengetahui tentang Arsitektur Nusantara secara singkat padat dan jelas
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BANDARA ALOR NTT

Arsitek : Kantor Konsultan Arsitek Nataneka

Lokasi : Pulau Alor Nusa Tenggara Timur

Kategori : Bandara

Area : 2.119 km²

Proyek Tahun : 2015

Merepresentasikan pesona alam dan budaya Alor, Nusa Tenggara Timur, ke


dalam rancang bangun Bandar Udara Mali, sukses membawa PT. Nataneka Asimetris
menjadi pemenang pertama, di Sayembara Desain Bandar Udara Nusantara 2015,
yang diselenggarakan PT. Propan Raya, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif RepubIik Indonesia.Menurut Sukendro
Sukendar Priyoso, ketua tim PT. Nataneka Asimetris mengatakan bahwa bandara
merupakan pintu gerbang sebuah negara. Karena itu desain yang dibuatnya bersama
tim tidak lepas dari tampilan modern dengan tetap menonjolkan keunikan budaya
setempat.Seperti menyuntikkan unsur batu, kain, ikan, tanaman herbal, hingga
wangian kenari yang menjadi ciri khas dan daya tarik Alor kepada pengunjungnya.
Indonesia sangat kaya akan arsitektur tradisional yang beraneka ragam, unik,
mencerminkan kearifan budaya lokal, ramah lingkungan, dan beradaptasi dengan
alam. Dengan mengolaborasikan warisan budaya dan teknologi yang sudah ada ke
dalam inovasi dan ide kreatif, maka karya arsitektur kita akan dipandang sampai ke
tingkat dunia.Saat ini Pemerintah Indonesia, khususnya Badan Ekonomi Kreatif,
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, serta para pemimpin kota dan kabupaten
di Indonesia memang sedang intensif mengembangkan daerahnya sebagai
kota/kabupaten yang kreatif. Pengembangan ini nantinya akan berimbas pada
meningkatkan pertumbuhan industri kreatif yang berdampak terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional.Sifat bandara adalah futuristik, menggambarkan masa depan.
Dengan memenangi sayembara ini kami berharap bisa memberi peluang besar kepada
negara untuk lebih maju meski berangkat dari warisan leluhur.Identitas lokal memang
santer terasa pada desain Mali Alor Aiport karya Nataneka ini.

Dari atap bandaranya saja, mereka mengadopsi atap rumah adat suku Alor
setempat yang berbentuk segitiga.Desain yang sangat sederhana. Sebagai airpot tentu
memerlukan bentang yang besar sehigga mudah di-maintenence dan mudah diakses
oleh penumpang.Memilih segitiga yang sangat dominan pada arsitektur
setempat.Untuk itu, mereka membuat 20 kuda-kuda besar berbentuk segita setebal 1,5
meter untuk struktur atap bandara. Tim arsitek sengaja membuat kuda-kuda yang
tidak terlalu besar agar suasana homey lebih terasa. Nantinya, kuda-kuda tersebut
akan dilapisi kayu yang ramah lingkungan.membuat airport yang terasa natural bukan
yang berwarna putih mengilap. Hal ini agar suasana di bandara terasa lebih hangat.

Bentuk Bandara Unik Khas Alor tak hanya menceriman kearifan lokal setempat,
bentangan atap setiga ini juga akan membentuk void yang sangat besar sehingga
udara yang masuk ke dalam bandara berlimpah.Agar bandara menjadi lebih sejuk, tim
arsitek juga akan menempatkan kolam pantul di sisi kanan kiri bandara.Kolam pantul
adalah kolam yang memantulkan bayangan objek yang ada di sekitar kolam tersebut.
Salah satu fungsi kolam pantul adalah menciptakan suasana teduh yang hening dan
cantik.Karena berada di alam natural Alor, tim arsitek akan menggunakan
material-mataerial alam setempat. Di gerbang pintu masuk bandara misalnya.Mereka
akan melapisi dinding dengan batu-batu untuk menghadirkan nuasa alam yang kental.
Gerbang bandara ini bisa menjadi perhentian para penumpang untuk update
status.Yang paling menarik ada di area drop off. Di area itu, Nataneka tidak
memisahkan area drop off dengan bangunan sehingga penumpang masih mendapat
merasakan bentangan atap segitiga yang menjadi identitas lokal.
BAB III

PEMBAHASAN

Globalisasi banyak membawa pengaruh ke dalam kehidupan masyarakat


Indonesia. Dampak paling umum yang bisa dirasakan adalah terjadinya
penyeragaman bentuk. Masyarakat yang dulunya beragam karena tradisi dan adat
istiadat yang berbeda di tiap daerah, kini menjadi seragam akibat pelepasan diri dari
tradisi dan adat istiadat yang mengikat mereka untuk mengikuti gaya hidup global
yang dianggap modern. Hal ini pun terjadi di bidang arsitektur. Hampir seluruh
bangunan yang berdiri di Indonesia telah mengalami perubahan, yang awalnya selalu
menunjukkan identitas lokal dengan mengikuti aturan yang berlaku di daerahnya, kini
terlihat adanya keseragaman bentuk secara global sehingga tidak jelas lagi itu
bangunan apa dan berasal dari mana.
Indonesia memiliki kekayaan arsitektur atau disebut dengan arsitektur
Nusantara, yang tercermin dari ragam bentuk rumah adat tradisionalnya. Namun
sekarang, kekayaan ragam tersebut tidak lagi terlihat dan tergantikan oleh
keseragaman bangunan-bangunan bergaya arsitektur . Masyarakat lebih memilih
mendirikan bangunan yang bertemakan kemewahan, seperti bangunan klasik Eropa
yang banyak menampilkan ornamen-ornamen rumit atau lukisan-lukisan bergambar
manusia. Atau sebaliknya, masyarakat akibat pengaruh kehidupan modern yang
menuntut kemudahan dan efisiensi waktu, akhirnya lebih memilih mendirikan
bangunan dengan konsep minimalis. Kedua gaya ini sama sekali tidak mencerminkan
identitas asli bangsa Indonesia.
Gejala perubahan ini juga dialami oleh para perancang bangunan. Sulit
menemukan corak kenusantaraan pada hasil karya arstitek sekarang. Rancangan
bangunan yang dibuat, kini banyak mengadaptasi rancangan tokoh baik dari segi
desain maupun pemilihan material pembangunnya. Tuntutan masyarakat akan
kemudahan dan efisiensi waktu membuat arsitek mau tidak mau harus mengikuti
pemikiran tokoh untuk merancang bangunan yang mengutamakan fungsinya.
Konsekuensinya, ornamen pada bangunan dikurangi, beton dipilih sebagai material
utama, dan bentuk bangunan diubah menjadi lebih sederhana, yaitu tidak jauh dari
bentuk kubus. Konsep perancangan ini berbeda dengan konsep asli Indonesia yang
identik dengan ukiran tradisional, bentuk fisik bangunan yang kompleks, dan material
lokal seperti kayu atau batu alam.
Suasana kean juga bisa dirasakan di bidang perumahan. Seperti dalam makalah
Hariwardono Soeharno yang berjudul “Globalisasi dan Pemikiran Budaya pada
Kompleks Perumahan” (Soeharno, 2010), makin banyak kompleks perumahan di
Indonesia yang mengambil nama-nama asing seperti San Diego, Raffles Garden, atau
Rich Palace. Demi membentuk citra kelas tinggi, nama-nama asing tersebut
digunakan dalam penamaan jalan, fasilitas perumahan, dan tipe rumah. Nama-nama
asli Indonesia cenderung dihindari karena dirasa kuno dan dinilai tidak bisa
membentuk citra kepada siapa perumahan tersebut dipasarkan. Fenomena ini
memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia sekarang tidak bangga dan
cenderung malu atas budaya miliknya sendiri, kemudian beralih meniru budaya
yang dianggap lebih maju.
Masyarakat yang telah mengikuti pola hidup modern akan selalu mengedepankan
segala hal yang mudah dan cepat sehingga akan berdampak pula pada keinginan
mereka untuk mendirikan bangunan yang fungsional. Di sisi lain, arsitektur Nusantara
adalah arsitektur yang memiliki makna di setiap bagiannya sehingga arsitektur ini
menjadi rumit dan banyak memakan waktu. Perbedaan mudah dan rumit, serta cepat
dan lama inilah yang membuat eksistensi arsitektur Nusantara semakin tergeser oleh
arsitektur .
Dari sudut pandang arsitek, berbagai filosofi, langgam, bahan, struktur, dan
konstruksi terbaru sudah demikian membingungkan. Tatanan dan aturan tradisional
dengan berbagai keunikan cara dan penamaan elemen konstruksi menjadi tambahan
permasalahan baru bagi arsitek masa kini yang ingin mencoba bereksplorasi dengan
kenusantaraan. Kerumitan inilah yang membuat arsitektur Nusantara semakin dijauhi.
Oleh karena itu, perlu formula baru untuk mengurangi kesulitan ilmu arsitektur dan
perlu pemahaman baru agar dapat menerapkan arsitektur Nusantara dengan lebih
sederhana.
Arsitektur Nusantara dinilai kuno karena tidak bisa berkembang mengikuti
perubahan jaman. Ibarat pakaian, agar arsitektur Nusantara dapat diterapkan kembali
oleh masyarakat, maka ia harus ditampilkan menjadi sosok yang masa kini. Itu
berarti, arsitektur Nusantara harus dikolaborasikan dengan apa yang menjadi tren
sekarang. Seperti saat ini, batik sudah bisa digunakan dalam acara sehari-hari mulai
acara formal hingga informal. Hal ini karena batik telah mengalami transformasi
bentuk, bukan lagi berupa kain yang melilit tubuh bagian bawah dengan kebaya
sebagai atasannya, atau sebagai pakaian acara resmi para orang tua di acara formal.
Batik sekarang telah diaplikasikan ke dalam bentuk yang lebih beragam seperti tas,
gaun, jaket, dan bahkan motif sepatu sehingga kain batik bukan lagi sebagai pakaian
untuk kalangan tertentu saja, tapi dapat digunakan oleh seluruh kalangan.
Arsitektur Nusantara seharusnya juga dapat meniru kain batik yang mampu
bangkit kembali menjadi identitas bangsa. Membangkitkan kembali semangat
berarsitektur Nusantara bukan berarti harus mengikuti segala aturan yang berlaku
dalam tradisi atau membangun bangunan dengan fisik yang mirip sekali dengan
rumah-rumah tradisional. Menurut F. Silaban salah seorang Arsitek besar pada era
Soekarno (dalam Yu Sing, 2010), untuk mengadopsi arsitektur tradisional, bukan
bentuknya yang diambil, tetapi dipelajari jiwanya. Barangkali memang itulah sikap
yang tepat untuk mengembangkannya, yaitu dengan melakukan adaptasi, bukan
duplikasi atau replikasi.
Mengadaptasi nilai lokal dapat dilakukan dengan menjadikan ciri-ciri fisik,
makna filosofi, adaptasi terhadap iklim, material lokal, potensi alam, dan
ornamen-ornamen tradisional sebagai sumber eksplorasi untuk dikembangkan.
Arsitektur Nusantara tidak harus terlihat tradisional secara fisik, tetapi dengan adanya
eksplorasi tadi, maka arsitektur Nusantara akan dapat lebih luwes diterapkan di masa
sekarang dengan tampilan unik seperti halnya batik dalam wujud pakaian masa kini.
Dengan cara seperti itu, arsitektur Nusantara bukan lagi menjadi sesuatu yang
harus ditutupi dan disisihkan, tetapi harus dikembangkan dan diperkenalkan kepada
dunia sebagai arsitektur identitas bangsa. Sebagai contoh ialah bandara alor yang
didesain oleh arsitek nataneka yang mengkinikan arsitektur nusantara dengan
menggunakan filosofi serrta bentuk dari rumah adat Takpala.Transformasi bentuk
lokal memunculkan kebaruan.Seperti 3 atapnya melambangkan 3 jenis rumah adat
desa aloe,dalam posisi horizontal mencirikan pola penataan rumah adat yang liner dan
dalam proporsi vertikal mencirikaan 3 zona dalam kehidupan serta wujud perdamaian
dari kehidupan suku abui atas perbedaan.
BAB IV

KESIMPULAN & SARAN

4.1 Simpulan
1. Globalisasi memberi pengaruh ke dalam arsitektur Indonesia, mengubah
perwajahan arsitektur di Indonesia menjadi seragam mengikuti model arsitektur
sehingga tidak lagi menampakkan identitas bangsa.
2. Arsitektur Nusantara sulit diterapkan di kehidupan sekarang karena masyarakat
sudah banyak terjejali pengaruh arsitektur global yang dianggap maju sehingga
mereka menganggap arsitektur Nusantara menjadi hal yang kuno. Masyarakat
hidup dalam dunia modern juga menuntut segala sesuatunya mudah dan cepat,
sementara arsitektur Nusantara memiliki makna di setiap bagiannya sehingga
arsitekur Nusantara ini menjadi rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk dapat didirikan.
3. Arsitektur Nusantara dapat kembali dikembangkan dengan membentuk formula
baru yang mengombinasikan arsitektur Nusantara dengan pengetahuan arsitektur
masa kini sehingga dapat mengurangi kompleksitas arsitektur Nusantara ketika
diterapkan. Pola pikir para arsitek juga harus diubah menjadi lebih kreatif agar
dapat menghadirkan corak Nusantara ke dalam karya-karyanya.

4.2 Saran
1. Meningkatkan intensitas kuliah formal maupun non formal tentang arsitektur
Nusantara bagi mahasiswa.
2. Mengadakan penelitian secara rutin untuk mengkaji lebih dalam mengenai
arsitektur Nusantara dan penerapannya di kehidupan modern.
3. Mengadakan sayembara desain yang bertemakan Nusantara kepada mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.coroflot.com/melaniawina/Mali-Alor-Airport

https://www.99.co/blog/indonesia/intip-bandara-unik-khas-alor/

https://majalahkonsultan.com/bandara-mali-alor-gaya-arsitektur-berak

sen-nusantara/

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/01/22/mengintip-desain-b

andara-cantik-surga-di-timur-matahari

http://repository.petra.ac.id/17347/1/Publikasi1_85012_1514.pdf

http://repository.petra.ac.id/17366/1/Publikasi1_85012_2286.pdf

http://rumah-yusing.blogspot.com/2011/05/tampilan-arsitektur.html

https://www.academia.edu/21247786/Arsitektur_Nusantara_Sebagai_J

ati_Diri_Bangsa_Indonesia?auto=download

Anda mungkin juga menyukai