Disusun Oleh
Nama : Adinda Qurota Irani
NIM : 03061381722067
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018/2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………...………………...I
DAFTAR ISI…………………………………………………………...……………..ii
ABSTRAK………...………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................… 1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................……1
1.2. Rumusan Masalah...................................................……………………….....6
1.3.Tujuan………..………………………………………………………….…….6
1.4. Manfaat……………..............................................................................……...6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA….......................................................................... .. 7
2.1.Bandara Alor …......................................................................……..................7
BAB III PEMBAHASAN…..………...................................................................…..10
3.1. Pembahasan……….....................................................................................…10
BAB IV PENUTUP...............................................................................................….13
5.1. Kesimpulan..................................................................................................…13
5.2. Saran ...........................................................................................................…13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................….14
ABSTRAK
Arsitektur Nusantara merupakan sebuah fenomena tentang beragamnya karya
anak bangsa yang luar biasa, yang mencerminkan kekayaan arsitektur di Indonesia.
Arsitektur Nusantara secara mendasar juga merupakan hasil dari buah pikir yang sarat
dengan makna yang terungkap dalam setiap wujud fisiknya. Sementara itu
Regionalisme arsitektur adalah satu konsep arsitektur yang berdasar pada kekayaan,
potensi dan pengetahuan tentang arsitektur setempat/regional yang dapat menjawab
tantangan masa kini, dan menekankan pada pengungkapan karakteristik suatu daerah
atau tempat dalam arsitektur terkini (kontemporer).
Yang kedua adalah, sebuah sebuah peta mental telah terpatrikan di benak para
penghadir bangunan (arsitek), di mana mereka mengatakan bahwa “inilah zaman
modern, dan zaman untuk melokal, sudah lewat”. Alasan lain juga yang mereka
lontarkan yaitu “dalam merancang arsitektur yang Indonesia, belum ada sebuah
patokan (referensi, buku-buku teori) atau acuan perancangan yang Nusantara /
Indonesiawi”. Kedua alasan ini mereka segaja lontarkan guna mempertahankan peta
mental pengetahuan Vitruvian yang telah berakar di pikiran.
Ada seorang arsitek sekaligus peneliti dan kritikus Indonesia yang mengambil
bagian dalam menyanggah kedua alasan di atas sekaligus melakukan pembenaran-
pembenaran terhadap arsitektur Nusantara. Dia itu adalah Josef Prijotomo. Prijotomo,
telah melakukan berbagai penelitian yang sudah dimulainya di tahun 1980-an dengan
awal mengeluarkan pengetahuan masyarakat Jawa tentang bangunan. Hingga saat ini
(kurang lebih dua dekade) kegiatan penelitian masih tetap dilakukan dalam
mengungkap pengetahuan arsitektur Nusantara seperti
yang telah diserukan oleh Pangarsa (2012), bahwa “para arsitek seharusnya berterima
kasih kepada Josef Prijotomo, karena telah mempopulerkan kembali konsep arsitektur
pernaungan (Arsitektur Nusantara)”, kemudian dengan mengutip pernyataan Prijtomo
bahwa “Arsitektur Nusantara berlandasakan atas filsafat, ilmu dan pengetahuan
arsitektur dan mampu setara dengan arsitektur Vitruvian (Barat).” Dengan beranjak
dari pernyataan ini, maka kegiatan pengungkapan pengetahuan Arsitektur Nusantara
ini menjadi fokus utama dalam pengkajian penelitian ini.
Tema-Tema
Ideologi
Bentuk atau pola lingkung-bina etnik Nusantara pada umumnya dijumpai berupa
pelataran yang diapit oleh gugus-gugus bangunan (berderat tunggal atau ganda), yang
disebut dengan pola linier. Pada pemukiman etnik di darat, pola linier dalam tata
lingkungan, tidak lagi meletakkan titik pusat (suci) pada bagian tengah, dan bisa saja
diletakkan dibagian terdalam dari arah masuk, misalnya Toraja, Madura, percandian
Jawa Timur maupun di Sumba.
Konsep rumah pada lingkung-bina etnik Nusantara, misalnya di Bali dan Jawa, di
mana rumah yang dihadirkan tidak hanya memiliki satu unit rumah saja, melainkan
gugus-gugus bangunan dalam sepetak lahan yang dipagari. Gugus-gugus bangunan ini
mengapit sebuah ruang kosong (natah: Bali) atau ruang dalem yang diapit oleh
senthong pada rumah Jawa. Gugus bangunan inilah yang menjadi bilik-bilik dari
rumah, sehingga dapat disebut sebagai interior rumah, bukan ruang luar. Begitu juga
dengan gugus-gugus bangunan yang dihadirkan di lingkung-bina etnik Nusantara
pada umumnya. Sebuah pelataran / jalan yang diapit oleh gugus- gugus bangunan ini
disebut sebagai interior pemukiman desa. Pada lingkung-bina etnik Nusantara,
mendekorasi bangunan menjadi perhatian utama dalam menjadikan bangunan / rumah
lebih ekpresif dan estetis. Selain itu, ornamen dan dekorasi juga menandai sebuah
kegiatan atau aktifitas keseharian berlangsung.
Dalam hal struktur dan konstruksi bangunan, misalnya pada arsitektur Wae Rebo
yang didesain dengan struktur rangka kayu dengan konstruksi ika, dengan tinggi
bangunan mencapai lima lantai dan lantai dasarnya bisa menampung sekitar 100
orang. Sungguh sebuah kecemerlangan yang luar biasa. Begitu juga dengan
pemahaman masayarakat Sumba dalam membangun Uma. Tiang-tiang kayu
penopang bangunan masih menyalurkan beban dengan baik meski menggunakan
tiang kayu yang tak sepenuhnya lurus. Struktur kayu dan konstruksi ikat lazim
ditemui di arsitektur etnik Nusantara, yang disebut sebagai konstruksi goyang.
Bergoyang-goyang saat gempa, namun tidak mengalamai kerusakan. Inilah
kecemerlangan masyarakat lisan yang seharusnya didayagunakan dalam pengkinian
arsitektur Nusantara. Pengetahuan- pengetahuan seperti ini, bukanlah kearifan lokal
(local wisdom) atau genius loci, sebab, kedua label ini berlatarbelakang Eropa-
Amarika (Erorika). Sebagai pengganti kedua label ini adalah sebutan “cerlang-tara”
(kecemerlangan Nusantara).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari dalam latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1.3 Tujuan
Tujuan dari karya tulis ini adalah :
1.4 Manfaat
2. Dapat mengetahui tentang Arsitektur Nusantara secara singkat padat dan jelas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kategori : Bandara
Dari atap bandaranya saja, mereka mengadopsi atap rumah adat suku Alor
setempat yang berbentuk segitiga.Desain yang sangat sederhana. Sebagai airpot tentu
memerlukan bentang yang besar sehigga mudah di-maintenence dan mudah diakses
oleh penumpang.Memilih segitiga yang sangat dominan pada arsitektur
setempat.Untuk itu, mereka membuat 20 kuda-kuda besar berbentuk segita setebal 1,5
meter untuk struktur atap bandara. Tim arsitek sengaja membuat kuda-kuda yang
tidak terlalu besar agar suasana homey lebih terasa. Nantinya, kuda-kuda tersebut
akan dilapisi kayu yang ramah lingkungan.membuat airport yang terasa natural bukan
yang berwarna putih mengilap. Hal ini agar suasana di bandara terasa lebih hangat.
Bentuk Bandara Unik Khas Alor tak hanya menceriman kearifan lokal setempat,
bentangan atap setiga ini juga akan membentuk void yang sangat besar sehingga
udara yang masuk ke dalam bandara berlimpah.Agar bandara menjadi lebih sejuk, tim
arsitek juga akan menempatkan kolam pantul di sisi kanan kiri bandara.Kolam pantul
adalah kolam yang memantulkan bayangan objek yang ada di sekitar kolam tersebut.
Salah satu fungsi kolam pantul adalah menciptakan suasana teduh yang hening dan
cantik.Karena berada di alam natural Alor, tim arsitek akan menggunakan
material-mataerial alam setempat. Di gerbang pintu masuk bandara misalnya.Mereka
akan melapisi dinding dengan batu-batu untuk menghadirkan nuasa alam yang kental.
Gerbang bandara ini bisa menjadi perhentian para penumpang untuk update
status.Yang paling menarik ada di area drop off. Di area itu, Nataneka tidak
memisahkan area drop off dengan bangunan sehingga penumpang masih mendapat
merasakan bentangan atap segitiga yang menjadi identitas lokal.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Simpulan
1. Globalisasi memberi pengaruh ke dalam arsitektur Indonesia, mengubah
perwajahan arsitektur di Indonesia menjadi seragam mengikuti model arsitektur
sehingga tidak lagi menampakkan identitas bangsa.
2. Arsitektur Nusantara sulit diterapkan di kehidupan sekarang karena masyarakat
sudah banyak terjejali pengaruh arsitektur global yang dianggap maju sehingga
mereka menganggap arsitektur Nusantara menjadi hal yang kuno. Masyarakat
hidup dalam dunia modern juga menuntut segala sesuatunya mudah dan cepat,
sementara arsitektur Nusantara memiliki makna di setiap bagiannya sehingga
arsitekur Nusantara ini menjadi rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk dapat didirikan.
3. Arsitektur Nusantara dapat kembali dikembangkan dengan membentuk formula
baru yang mengombinasikan arsitektur Nusantara dengan pengetahuan arsitektur
masa kini sehingga dapat mengurangi kompleksitas arsitektur Nusantara ketika
diterapkan. Pola pikir para arsitek juga harus diubah menjadi lebih kreatif agar
dapat menghadirkan corak Nusantara ke dalam karya-karyanya.
4.2 Saran
1. Meningkatkan intensitas kuliah formal maupun non formal tentang arsitektur
Nusantara bagi mahasiswa.
2. Mengadakan penelitian secara rutin untuk mengkaji lebih dalam mengenai
arsitektur Nusantara dan penerapannya di kehidupan modern.
3. Mengadakan sayembara desain yang bertemakan Nusantara kepada mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coroflot.com/melaniawina/Mali-Alor-Airport
https://www.99.co/blog/indonesia/intip-bandara-unik-khas-alor/
https://majalahkonsultan.com/bandara-mali-alor-gaya-arsitektur-berak
sen-nusantara/
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/01/22/mengintip-desain-b
andara-cantik-surga-di-timur-matahari
http://repository.petra.ac.id/17347/1/Publikasi1_85012_1514.pdf
http://repository.petra.ac.id/17366/1/Publikasi1_85012_2286.pdf
http://rumah-yusing.blogspot.com/2011/05/tampilan-arsitektur.html
https://www.academia.edu/21247786/Arsitektur_Nusantara_Sebagai_J
ati_Diri_Bangsa_Indonesia?auto=download