Anda di halaman 1dari 4

Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 9

https://doi.org/10.32315/ti.9

Arsitektur Nusantara sebagai Dasar Pola Pikir


dalam Berarsitektur di Indonesia
Akbar Al Ghifari

Sejarah dan Teori Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya.

Email korespondensi: barghifari@student.ub.ac.id

Abstrak

Arsitektur Nusantara adalah sebuah konsep yang perlu didiskusikan, diperdebatkan, dipertanyakan,
dikritisi, dan dikembangkan. Untuk keperluan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan.
Apakah kita telah memahami seperti apa Arsitektur Nusantara itu? Apakah kita telah
mengaplikasikannya dalam kegiatan berarsitektur? Dan apakah Arsitektur Nusantara tidak bisa
beradaptasi dengan era modernisasi yang terjadi saat ini? Artikel ini mempertanyakan adanya
keberadaan Arsitektur Nusantara yang kerap kali menjadi perbincangan jika kita membahas tentang
karakteristik bangsa Indonesia dalam berarsitektur. Hal tersebut menjadi tamparan keras bagi kita
semua apakah Arsitektur Nusantara benar-benar menjadi dasar pola pikir para arsitek di Indonesia
dalam menggarap sebuah desain.

Kata-kunci : arsitektur Nusantara, dasar, aplikasi, modenisasi

Pengantar

Arsitektur Nusantara adalah sebuah konsep. Jika kita mengacu pada pernyataan Josef Prijotomo
(2006), maka kita melihat Arsitektur Nusantara sebagai sebuah liyan. Konsep ini adalah sebuah liyan
di tengah dominannya Arsitektur Modern yang cenderung kebarat-baratan dalam pemikiran arsitektur
di Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, apakah setiap arsitektur non-Barat merupakan
sebuah liyan yang ada namun terpinggirkan? Atau jangan-jangan ada arsitektur non-Barat yang justru
merupakan suatu konstruksi dari paradigma arsitektural yang dominan? Saya menggaris bawahi
pendapat yang kedua. Jika saya harus mengambil sebuah contoh arsitektural non-Barat yang
merupakan suatu konstruksi oleh paradigma arsitektural yang dominan, maka saya akan mengambil
“Arsitektur Jawa” sebagai sebuah contohnya. Saya berpendapat bahwa “Arsitektur Jawa” merupakan
sebuah konstruksi, atau pembayangan, Barat. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan Arsitektur
Kolonial Belanda yang ada di Indonesia. Ketika pertama kali mendirikan bangunan di Indonesia, arsitek
Belanda hanya mendesain sebagaimana bangunan yang ada di negerinya. Namun seiring berjalannya
waktu para arsitek Belanda mulai memodifikasi desainnya terhadap keadaan di Indonesia dan yang
banyak menjadi dasaran mereka adalah “Arsitektur Jawa”.

Tanpa ingin berpanjang lebar mengenai pendapat saya tentang “Arsitektur Jawa” hal yang ingin saya
tekankan di sini adalah, jangan sampai kita terjebak dalam konstruksi arsitektural yang kita anggap
sebagai dominan. Untuk menghindari kemungkinan semacam itu, saya berpendapat bahwa ada hal
yang perlu dicatat ketika kita ingin membicarakan konsep yang disebut sebagai Arsitektur Nusantara.
Universitas Gunadarma, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Pancasila, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2021 | 1
Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Tarumanegara
ISBN xxx-xxx-xxxxx-x-x E-ISBN xxx-xxx-xxxxx-x-x
Arsitektur Nusantara sebagai Dasar dalam Berarsitektur di Indonesia

Sebagai konsep, ia sebaiknya dipandang tidak hanya sebagai histori yang telah lama berlalu, tetapi
juga sebagai pola pikir dalam mendesain.

Arsitektur Nusantara sebagai dasar Pola Pokir

Nusantara secara geografis adalah suatu tempat yang terletak diantara 2 benua dan 2 lautan besar
serta dilintasi oleh garis khatulistiwa, merupakan Negara kepulauan yang beriklim tropis lembab
dengan curah hujan yang cukup tinggi. Banyaknya pulau-pulau memberikan keberagaman budaya,
tradisi maupun lingkungan alam yang beraneka banyaknya walau dalam nuansa tropis lembab.

Pemahaman tentang Arsitektur Nusantara harus dilihat bagaikan bumi Nusantara itu sendiri. Di
permukaan tanah masa kini, terbentang luas keragaman 726 bahasa suku, yang pasti menyertai
keanekaan ciri arsitekturnya dimana tiap daerah tampak tersimpan kesamaan cirinya. Disini tersirat
bahwa arsitektur Nusantara adalah arsitektur yang beragam tetapi tetap mempunyai kesamaan ciri,
dan inilah yang kemudian disebut sebagai kesamaan dalam keberagaman.

Arsitektur nusantara mencerminkan keberadaan antara manusia dan alam lingkungan sebagai
kesatuan yang tak terpisahkan. Arsitektur Nusantara dipahami sebagai kejamak-majemukan yaitu
kebersamaan dengan mahluk ciptaan yang lainnya serta dengan Sang Maha Pencipta. Kemajemukan
mengidentifikasi bahwa kehadiran nya tidak pernah eksis hanya sebagai individu, karena selalu ada
yang lain selain dirinya sendiri. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa arsitektur Nusantara
mempunyai nilai tentang kekhasan dan keberagaman serta hubungan antara dirinya dan kejamak-
majemukan dalam alam semesta. Hal ini dapat diartikan sebagai yang lokalitas adalah dirinya,
kekhasannya atau kesetempatannya dan yang universal adalah kesamaan ciri, kejamak-majemukan
alam semesta, atau kesemestaannya.

Pangarsa menjelaskan bahwa hubungan antara yang lokal dengan yang universal adalah hubungan
kesetempatan dan kesemestaan, hal ini sudah terjadi sejak masyarakat Indonesia masih menyandang
sebagai masyarakat Nusantara. Selain hal tersebut, dalam hubungannya dengan pengertian ke-
Nusantara-an, Pangarsa juga menjelaskan bahwa kesetempatan dan kesemestaan menjadikan hal
yang unik dalam arsitektur di Indonesia berkaitan dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. Selain
Pangarsa, Prijotomo juga mengatakan bahwa beragamnya karya arsitektur yang mencerminkan
keberagaman etnis dan budaya menunjukan adanya kesetempatan yang luar biasa, sementara
kesamaan dalam dasar pengetahuan yang menjadi dasar berarsitektur merupakan sebuah pemikiran
tentang kesemestaan yang memang bersifat umum.

Dengan demikian pemahaman arsitektur Nusantara mempunyai 2 nilai yakni kesetempatan dan
kesemestaan. Dalam diskusi yang telah dilakukan maka nilai-nilai inilah yang menjadi dasar bagi
arsitektur Nusantara untuk menjawab tantangan yang setiap kali dihadapi dalam perjalanan
berarsitektur sampai saat ini, dan hal ini menunjukan sebuah karya yang mempunyai makna
kelestarian dan keberlanjutan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia nantinya. Sementara itu
dibalik nilai-nilai tersebut ternyata terkandung berbagai makna, baik makna sinkronik maupun makna
diakronik. Makna sinkronik yakni makna yang berhubungan dengan gejala yang meluas pada ruang
tetapi dalam waktu yang terbatas artinya hanya berhubungan dengan kondisi tertentu sehingga makna
sinkronik ini akan berubah pada kondisi dan waktu yang berbeda tergantung pada situasi dan latar
belakang keadaan tersebut. Sedangkan makna diakronik adalah makna yang berhubungan dengan
waktu atau proses dan sejarah, dari makna diakronik inilah maka dapat disimpulkan bahwa arsitektur
Nusantara adalah sebuah karya yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, artinya dari
makna diakronik dalam arsitektur Nusantara ini merupakan karya yang sangat lestari dan sustainable.
Kedua makna ini tentunya akan menjadi hal yang penting ketika arsitektur Nusantara menjadi dasar
untuk pengembangan berarsitektur di Indonesia
2 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2021
Akbar Al Ghifari
Aplikasi terhadap Modernisasi

Dengan menggunakan teori kritis Paul Riceour tentang interpretasi didapatkan bahwa arsitektur
Nusantara harus diinterpretasikan kembali terhadap nilai dan makna yang terkandung di dalamnya
guna menghadapi era modernisasi. Nilai kesetempatan dan kesemestaan merupakan nilai yang tetap
dari waktu ke waktu, nilai ini yang akan menunjukkan terhadap ciri atau jati diri arsitektur Nusantara.

Nilai kesetempatan tetap ada tetapi harus diinterpreasikan kembali karena kebutuhan manusia saat
ini lebih kompleks. Hal ini diperlukan guna menjaga terhadap agar arsitektur Nusantara tidak hanya
menjadi artefak peninggalan masa lalu tetapi tetap eksis dapn aplikatif pada masa kini.

Nilai kesemestaan menjadi bagian yang penting karena berkaitan dengan harmonisasi terhadap
lingkungan semesta yang harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya. Dalam menghadapi
modernisasi yang terjadi, semesta menjadi sebuah titik berpijak untuk menentukan bagaimana
bangunan itu hadir dan tidak merusak lingkungan tetapi justru kehadirannya membawa sebuah
harmonisasi terhadap lingkungan sekitarnya. Interpretasi yang dilakukan untuk mewujudkan
haromisasi ini adalah dengan mengkaji ulang dan bersikap kritis ketika mendesain bangunan di tempat
tersebut.

Demikian juga halnya dengan makna dibalik kesemestaan dan kesetempatan, baik makna sinkronik
maupun makna diakronik dalam diskusi pembahasannya diperlukan suatu pemikiran yang kritis dan
perlu dilakukan tafsir ulang. Makna sinkronik perlu di tafsir ulang kembali, dikarenakan pada saat ini
kebutuhan manusia sudah semakin kompleks, teknologi semakin canggih serta informasi semakin
mudah di dapatkan. Hal ini akan berdampak pada perkembangan dan perubahan terhadap fungsi
bangunan, walaupun hakikatnya bisa saja tetap tetapi fungsinya pasti yang akan berubah nantinya.

Sedangkan untuk makna diakronik sangat tergantung pada perubahan dari waktu ke waktu.
Inerpretasi yang dilakukan adalah dengan memahami kembali lingkungan semestanya. Kalau pada
masa lalu semesta merupakan alam yang begitu ramah, saat ini semesta merupakan bencana yang
dapat berbahaya apabila tidak disikapi secara bijak. Dengan demikian makna diakronik juga harus
disikapi secara kritis agar alam bukan menjadi musuh bagi bangunan yang didesain tetapi menjadi
kesatuan yang hidup bersama secara harmonis.

Kesimpulan

Pengaplikasian Arsitektur Nusantara masih menjadi pertanyaan apakah benar-benar telah diterapkan
oleh para praktisi arsitek di Indonesia. Sampai saat ini kebanyakan orang beranggapan bahwa
Arsitektur Nusantara adalah Arsitektur Tradisional. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah
maupun benar. Karena Arsitektur Tradisional tersebut merupakan Arsitektur Nusantara/Vernakular
pada masanya.

Arsitektur Nusantara saat ini bukan berarti menggunakan bahan material tradisional maupun meniru
bentuk-bentuk rumah tradisional, tapi lebih dari itu. Arsitektur Nusantara adalah pola pikir, adalah
filosofi, adalah keselarasan antara kesetempatan dengan kesemestaan. Hal-hal inilah yang harusnya
dijadikan dasaran dalam pengaplikasian Arsitektur Nusantara dalam mendesain bangunan. Eko
Prawoto pernah mengatakan bahwa kita harus ndeso dahulu untuk memahami arsitektur di pedesaan.
Mengapa desa? Karena di sanalah kita bisa mendapatkan ilmu-ilmu maupun filosofi-filosfi Arsitektur
Nusantara yang masih murni dan bisa dikembangkan. Oleh sebab itu marilah kita semua mendalami
Arsitektur Nusantara itu sendiri tanpa membatasi keilmuannya, karena Arsitektur Nusantara sangat
luas dan tak akan pernah ada habisnya.

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2021 | 3


Arsitektur Nusantara sebagai Dasar dalam Berarsitektur di Indonesia

Daftar Pustaka

Ricoeur, Paul (1985). Time and Narative vol. II. Chicago: University of Chicago Press.
Prijotomo, Josef (1998). Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Surabaya: CV Arjun.
Pangarsa, Galih Wijil (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
Prijotomo, Josef (2006). (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa: Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan. Surabaya: Wastu
Lanas Grafika.
Hidayatun, Maria Immaculata (2008). Nilai-Nilai Kesetempatan dan Kesemestaan dalam Regionalisme di Indonesia.
Yogyakarta: Prosiding Seminar Seminar Nasional SCAN #4

4 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2021

Anda mungkin juga menyukai