Anda di halaman 1dari 4

ARSITEKTUR YANG MEMBODOHKAN

“Peran Alam dan Makna Budaya”

Calvin Rinaldi Ocktavius – 20162320004

Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Matana

Pendahuluan

Terdapat dua topik pembahasan yang akan disampaikan melalui artikel ini, yakni arsitektur
sebagai produk lingkungan alam dan arsitektur sebagai produk budaya. Ketika berbicara
tentang arsitektur, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua topik ini seringkali menjadi pokok
permasalahan bagi para arsitek dalam merancang sebuah bangunan, kawasan, bahkan
perkotaan. Keduanya memiliki akar pemasalahan sendiri yang bermacam-macam. Pada
topik arsitektur sebagai produk lingkungan alam, penulis menceritakan keresahannya
terhadap kondisi arsitektur zaman sekarang yang miris kepedulian terhadap alam.
Masyarakat kurang memiliki pemahaman akan pentingnya lingkungan alam. Penulis juga
menyatakan kekecewaannya terhadap arsitek-arsitek yang bahkan mengerti green
architecture, namun tidak menerapkannya dalam perancangan arsitektur.

Pada topik arsitektur sebagai makna budaya, penulis bercerita tentang bagaimana sebuah
budaya dapat mempengaruhi arsitektur, baik dari segi spasial, wujud dan bentuk serta
stilistik. Sayangnya, lagi-lagi masyarakat khususnya arsitek zaman sekarang seakan tidak
mau ambil pusing terhadap makna atau esensi dari budaya dalam kegiatan perancangan.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan-bangunan yang seakan-akan berdiri di suatu
kawasan tanpa memiliki makna terhadap sejarah kawasan tersebut. Segalanya seakan
merupakan copy-an dari arsitektur dari daerah lain atau bahkan dari negara lain.

Pembahasan

“Bagaimana mengingkari peran alam dalam perancangan arsitektur?”

Saat ini, kerap kali kita temukan komunitas-komunitas berbasis arsitektur yang peduli
terhadap lingkungan alam, sebut saja Komunitas Arsitektur Hijau. Komunitas-komunitas
seperti ini bukan tanpa maksud berdiri, namun memiliki tujuan yaitu menyebarkan konsep
green architecture terhadap isu-isu lingkungan yang ada di Indonesia, bahkan dunia.
Namun, istilah green architecture ini seringkali disalah artikan. Ada yang mengartikan
green architecture tentang bangunan yang ditanam-tanami tumbuh-tumbuhan sampai
bangunan yang dicat hijau. Pemahaman-pemahaman dangkal ini yang tampaknya menjadi
hambatan dalam merancang arsitektur yang prinsipnya green dan sustainable. Arsitektur
dikatakan green ketika sesuatau yang dibangun setidaknya tidak “menambah” kerusakan
pada lingkungan atau yang lebih baik lagi bisa “mengurangi” kerusakan lingkungan.
Kabarnya esensi dari arsitektur hijau itu adalah bagaimana merancang arsitektur dengan
acuan mempertahankan keseimbangan alam saat ini dan sekaligus tetap dinamis dengan
berorientasi pada acuan keberlanjutan.[1] Jangkauan rancangan sebaiknya ditetapkan dalam
lingkup yang lebih jauh sekaligus dipikirkan untuk masa mendatang.[2]
Lucunya, arsitektur-arsitektur tradisional lah yang secara tidak sadar menerapkan prinsip
green architecture. Arsitektur-arsitektur yang seringkali disebut-sebut modern justru
menjadi kontradiksi terhadap konsep green itu sendiri. Contohnya rumah adat tradisional
yang ada di papua, rumah Honai, secara tidak sadar menerapkan prinsip hijau. Rumah ini
dibangun bukan semata-mata beruba bangunan yang ditanami tumbuhan, namun lebih dari
itu. Terlepas dari filosofi kebudayaan masyarakat papua, Bangunan ini dibangun sebagai
jawaban atas kebutuhan masyarakat papua disana dalam merespon kondisi iklim yang
dingin. Material yang digunakan pada rumah Honai adalah material sekitra lingkungan
papua yang memang sumber dayanya masih melimpah, yakni kayu buah serta jerami
sebagai unsur material utama.

Rumah Honai di Papua


Sumber : Googleimage

Penerapan prinsip green architecture sebenarnya memiliki kesamaan dengan lingkup


perancangan arsitektur. Lingkup perencanaan arsitektur yang dimaksud adalah pertama
lingkup lingkungan sekitarnya. Kedua, lingkup tapak. Ketiga lingkup bentuk. Keempat,
lingkup sosok. Kelima, lingkup siklus.[3] Pada dasarnya, aspek-aspek yang diperhatikan
dalam kajian arsitektur hijau dan perancangan arsitektur, tidaklah berbeda. Keduanya
sama-sama memiliki tujuan demi kenyamanan si penghuni dan lingkungan sekitarnya. Jadi
apabila kembali ke pertanyaan “Bagaimana mengingkari peran alam dalam perancangan
arsitektur?”, maka jawabannya sederhana. Tidak usah lah lagi menjadikan lingkungan alam
sebagai bahan pertimbangan dalam mendesain. Tidak perlu lagi peduli terhadap sumber
daya seolah sifatnya kekal dan tak akan habis.

“Bagaimana meniadakan makna budaya dalam perancangan arsitektur?”

Merupakan bahasan yang menarik tentunya, ketika arsitektur menjadi produk dari sebuah
budaya di suatu daerah tempat arsitektur itu berdiri. Kemudian hal ini berubah menjadi
pertanyaan, ketika suatu arsitektur tidak memiliki makna kultur atau historis di tempat
arsitektur itu berpijak. Dari mana dan bagaimana bisa arsitektur yang seperti ini terbentuk?
Jawabannya adalah tak lain dan tak bukan karena kurangnya eksistensi gaya arsitektur itu
sendiri. Sudah menjadi hal yang biasa, ketika yang kuat menang atas yang lemah, yang
lemah di dominasi oleh yang kuat. Hal ini juga berlaku dalam arsitektur, khususnya
kebudayaan. Seperti yang kita tahu bahwa negara-negara barat selalu saja menjadi acuan
dalam mendesain suatu arsitektur. Memang tidak dapat disalahkan juga, bahwa arsitektur
barat, khusus nya di kota-kota besar lebih maju daripada Indonesia. Arsitektur barat
cenderung dibangun berdasarkan makna historis yang memang ada. Tidak seperti
Indonesia, banyak bangunan-bangunan di kota-kota besar seperti Jakarta, khususnya
bangunan tinggi, hanya dibangun seolah-olah seperti copy paste. Bentukannya yang sama
yaitu gedung tinggi full kaca menjadi konsep utama. Hal ini akan menjadikan sebuah kota
kehilangan jati diri dan memorinya sendiri (city without memory). Gaya internasionalisme
akan menjadi wajah kota dan memudarkan eksistensi budaya asli.

Dalam penerapannya, hubungan budaya dengan arsitektur juga sering kali dikaitkan
dengan genius loci (spirit of place). Hal ini benar adanya, karena suatu tempat (yang
tadinya ruang) ketika memiliki budaya, maka tempat itu akan memiliki karakter yang tidak
dimiliki tempat lain. Tempat tersebut akan memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging)
karena pengguna merasa itu lah budaya mereka. Contoh, Venice sebagai salah satu kota
terbesar di Italy merupakan tempat yang memiliki genius loci kuat. Hal ini terjadi karena
budaya mereka kuat. Budaya masyarakat venice yang terkenal sebagai kota dengan jalur
perdagangan air yang besar, tidak akan dengan mudah digantikan atau di akulturasikan
dengan budaya lain.

Venice
Sumber : Googleimage

Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa sudah sewajarnya, bahwa yang kuat mendominasi
yang lemah begitupun sebaliknya. Ketika suatu tempat memiliki budaya yang kuat, maka
tempat tersebut juga akan memiliki karakter yang kuat juga, dengan demikian eksistensi
tempat tersebut tidak akan pudar dengan mudah. Begitulah permasalahan yang ada di
Indonesia, masyaratnya seolah-olah enggan untuk peduli dengan budaya atau sejarahnya
sendiri, yang mereka pedulikan, khususnya kaum kapitalis adalah untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Mau tidak mau, masyarakatpun hanya berperan sebagai
penonton saja dan selalu mengikuti arus kemana mereka dibawa.
DAFTAR PUSTAKA

Pursal, Arsitektur yang Membodohkan (Bandung: CSS Publishing, 2010).

Anda mungkin juga menyukai