Anda di halaman 1dari 21

Abstrak

Arsitektur bukan wujud fisik belaka, di balik wujud tersebut tersimpan nilai makna
bahkan juga menggambarkan kekuatan ideologi dan kepercayaan yang dianutnya.
Identitas atau ciri seperti ideologi, kepercayan dan lainnya merupakan aspek yang
sangat penting di karenakan menjadi indentitas dari arsitektur tersebut. Seiring berjalan
nya waktu globalisasi sangat berpengaruh terhadap identitas arsitektur terutama
arsitektur yang bersifat tradisional, sehingga mulai mucul ide dari beberapa arsitek yang
megadopsi atau menggabungkan antara arsitektur modern dan arsitektur tradisonal.

Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan
komperatif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai cara atau prosedur pemecah
masalah dari suatu objek atau subyek bedasarkan fakta-fakta yang ada. Sedangkan
metode komperatif adalah metode deskriptif yang di pakai untuk mencari sebab dan
akibat dari suatu fenomena ataupun masalah.

Kata kunci : arsitektur dan identitas

Abstract

Architecture is not a mere physical form. Behind this form, there is a meaningful value
that even describes the strength of the ideology and beliefs it embraces. Identity or
characteristics such as ideology, beliefs and others are very important aspects because
they become the identity of the architecture. Over time, globalization has greatly
influenced architectural identity, especially traditional architecture, so that some
architects have adopted or combined modern and traditional architecture ideas.

In writing this paper, the methods used are descriptive and comparative methods.
Descriptive method can be defined as a method or procedure to solve the problem of
an object or subject based on existing facts. While the comparative method is a
descriptive method that is used to find the causes and effects of a phenomenon or
problem.

Key words: architecture and identity


1. pendahuluan
Dalam era globalisasi hari ini, memanfaatkan media informasi yang telah menjadi
konsumsi utama manusia di planet bumi adalah hal yang kelewat mudah. Saking
mudahnya, pertikaian dan persatuan atas dasar identitas bisa bergantian dalam
waktu yang sangat cepat. Pada 27 Juni 2015 lalu di OMAH Library diadakan
diskusi tentang identitas dalam arsitektur di Indonesia dengan mengundang M.
Nanda Widyarta, seorang dosen mata kuliah sejarah dan seni di Universitas
Indonesia dan Universitas Tarumanegara Jakarta. Paparannya diawali dengan
jawaban sederhana dari pertanyaan apa itu identitas. Maknanya terbagi menjadi
dua hal. Sebagai penanda yang menempel pada individu atau sebuah kelompok.
Mereka berusaha menunjukan fakta “ini adalah saya, bukan dia” dan “ini adalah
kami, bukan mereka”. Keduanya berfungsi sebagai penunjuk, penanda, atau
pembeda yang memperlihatkan keberadaan.
Dalam diskursus sejarah arsitektur di Indonesia, berulang kali identitas
menjadi topik yang hangat untuk dibahas. Pada periode 1920an dan 1980an,
identitas pernah menjadi polemik yang muncul ke permukaan. Bahkan hingga
hari ini, dimana era globalisasi telah membentuk keberagaman pola pikir tentang
arsitektur, isu identitas sering tiba-tiba menjadi sebuah permasalahan yang
dianggap penting. Sayangnya, cara menghadapi permasalahan ini seakan-akan
pada orientasi yang sama. Hal ini di karenakan di era modern ini bangunan yang
di rancang cenderung hanya mementingkan nilai dan prinsipnya masing-masing
sehingga nilai-nilai seperti budaya cenderung hilang. Oleh karena itu pada studi
kasus kali ini saya akan membahas tentang bagaimana nilai-nilai yang terdapat
pada arsitektur. Dan apakah nilai tersebut sudah diaplikasikan.
2. Tinjaun Pustaka
Kajian yang akan dilakukan pada pemahaman judul “Desain Arsitektur dan
identitas dan identitas arsitektur waktu ke waktu" Penjelasan istilah dalam judul
sebagai berikut :
2.1. Arsitektur dan identitas
Arsitektur adalah suatu karya cipta, karsa dan rasa para arsitek secara sadar
maupun tidak merupakan pertunjukan maupun pergulatan identitas. Kenapa
identitas begitu penting ?.
Identitas menjadi penting karena slogan satu dunia yang menghapus
batas-batas berakibat pada kian derasnya arus informasi melalui iptek akan
dapat memengaruhi sendi-sendi lokal genius yang menjadi konsep dan
filosofis berkreasi dan berinovasi khususnya yang terkait dengan identitas.
Arsitektur dan identitas adalah dua topik yang sangat akrab untuk
menuturkan atau menuliskan dirinya.
Apa itu identitas? Secara umum dapat dijelaskan bahwa identitas adalah:
ciri ataupun jati diri yang dapat saja berupa fisik maupun sosial budaya.
Identitas diciptakan, dan setiap identitas bisa saja merupakan milik
perseorangan, kelompok, hingga bangsa dan negara. Dengan kata lain
identitas adalah merupakan produksi tanda dan simbol yang sangat
dilatarbelakangi oleh modal sosial dan modal budaya mereka masing-masing.

2.2. Identitas dari waktu ke waktu


Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai
kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di
masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika
perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka
perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus
tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.
Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di
Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan
pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok
ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu
tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke
dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa
makna serta pesan yang akan disampaikan. Pada saat ini terasa sulit
membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena
perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang
tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya.
Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu
memiliki kesamaan pandang – kendati pada kenyataannya terdapat banyak
perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya arsitektur tersebut
tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu
wadah atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan
tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan masyarakat sebagai pemakai
dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis.

3. Metode penulisan
Penulisan ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan
kualitatif. Metode deskriptif analisis yaitu suatu metode yang berfungsi untuk
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui
data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Kemudian
melakukan analisis terhadap data yang sudah diperoleh untuk mencapai tujuan.
Mengfokuskan pada rancangan elemen bangunan baik itu eksterior maupun
interior, dan makna/identitas dari bangunan tersebut.

4. Hasil dan pembahasan


4.1 Studi Kasus Arsitektur ( dideskripsikan )
Pada abad ke-21,  muncul gerakan post-modernisme yang resah akan
tawaran universal dari gerakan modernisme sebelumnya. Gerakan baru
yang melawan keseragaman dengan mengembalikan identitas sebagai jati
diri atau sekedar pembeda sebuah karya dari karya lainnya. Ada yang
beranggapan perlawanan dapat dilakukan dengan kembali pada identitas
lokal, ada juga yang berbuat semaunya untuk terlihat beda. Proses ini
mendorong lahirnya pemikiran konsep seni yang baru. Seperti yang
dilakukan oleh Zaha Hadid dalam usaha untuk menunjukan bahwa “ini
saya, bukan dia”. Publik pun dapat mengenal dengan mudah karya-karya
yang dihasilkannya.
Pada dasarnya kedua bangunan ini mengadopsi bentuk dan identitas
arsitektur dari daerah masing-masing atau bisa dikatakan bahwa arsitek
yang merancang berani untuk membuat suatu terobosan, yang dimana,
pengadopsian lebih banyak terlihat pada bagian eksterior. Berikut ini
merupakan studi kasus arsitektur yang saya ambil :
4.1.1 Gereja oikumene, sajau Kalimantan utara
Sebagai fasilitas peribadatan umat kristiani, gereja dapat
merepresentasikan respon arsitekturalnya melalui berbagai aspek.
Dua di antaranya adalah aspek alam dan budaya, seperti yang
diterapkan pada gereja Oikumene di Sajau, Kalimantan Utara.
Gereja yang didesain oleh TSDS Interior Architects ini merespon
alam dan budaya melalui penggunaan material dan arsitektur
tradisional Kalimantan.

 Adaptasi rumah bentang


Bentuk massa Gereja Oikumene mengadaptasi bentuk Rumah
Betang sebagai bangunan arsitektur tradisional Kalimantan.
Adaptasi ini terlihat di bagian atap dan dinding gereja yang
miring. Atap miring yang ditopang dinding tersebut juga memiliki
makna filosofis mengenai bagaimana Tuhan menyelamatkan
manusia dari dosa.
 Optimalisasi detail dan material kayu

 Secara visual : gereja ini menciptakan kesan yang dekat dengan


lingkungan sekitar karena menggunakan material alam kayu yang
identik dengan rumah tradisional Kalimantan.
 Material yang dominan digunakan : kayu bengkirai dan meranti
yang juga merupakan hasil produksi dari sawmill di kawasan
perkebunan ini. Bangunan Gereja Oikumene Sajau ini memiliki
orientasi barat-timur dan punya keunikan pada bentuk massa-nya.
 Pada ketiga sisi fasad, terdapat selasar yang dibatasi dengan
railing kayu.
 Bersandingan dengan suara gemeresik dedaunan dan rerumputan
di sampingnya, umat yaitu pengunjung gereja diajak untuk
merasakan semilir angin dan cahaya matahari yang menelisik
lewat kisi-kisi susunan kayu pada koridor samping gereja sebagai
jalan masuk menuju gereja. Umat diajak untuk terhubung dengan
alam sekitarnya sebelum akhirnya berdoa pada Tuhan, Sang
Pencipta.
 Desain gereja ditujukan untuk memiliki sirkulasi udara yang baik
serta penggunaan cahaya matahari untuk mengurangi
penggunaan energi listrik. Bayangan dan cahaya yang meliputi
suasana gereja menghasilkan perasaan tenang dan hangat.
 Cahaya matahari yang menyelusup melewati salib di dinding
gereja, menciptakan suasana yang spiritual.

Tampak altar

Tampak pintu
masuk
 Denah

 Ruangan di bangunan gereja terdiri dari 4 bagian yaitu : ( ruang


persiapan, ruang pastor, altar dan tempat duduk umat.

4.1.2 Masjid raya Sumatra barat


 Bentuk Arsitektur (Eksterior Bangunan)
Masjid Raya Sumatera Barat ini dibangun di lahan seluas sekitar
40.000 meter persegi dengan luas bangunan utama kurang dari
setengah luas lahan tersebut, yakni sekitar 18.000 meter persegi,
sehingga menyisakan halaman yang luas. Pada struktur konstruksi
bangunan menunjukkan pola rumah gadang dengan pola segitiga
ke bawah, bahan material kayu dan ornament pada passade masjid
merupakan bentuk ukiran yang terdapat pada rumah gadang,
gonjong yang dihadirkan berakar dari bentuk gonjong pada rumah
gadang. Bagian atap (kubah) pada masjid ini sangat ikonik, atap
masjid ini terlihat seperti gonjong rumah gadang diikuti dengan
bentuk ukiran kayu yang terdapat pada bagian dinding-dinding
atap (Passade) yang mengambil bentuk ukiran pada rumah
gadang. Jika diperhatikan lebih lanjut, atap dari masjid ini
mengikuti bentuk pola rumah gadang yang berpola segitiga ke
bawah dan kembang ke atas, yang artinya berpegangan ke pada
bumi.
Lihatlah kedua pola bangunan di atas, bangunan rumah gadang
melebar ke atas, begitu pula dengan MRSB, hal ini menunjukkan
struktur bangunan yang sama, bentuk gonjong pada rumah gadang
juga menunjukkan pola desain yang sama meskipun tidak persis
sama dengan pola gonjong rumah gadang. Hal ini menunjukkan
bahwa masjid ini tersinspirasi dari bentuk rumah gadang, kemudian
memodifikasinya dengan bentuk yang lebih sederhana. Pola yang
sama ini disebut segitiga terbalik atau orang Minang menyebutnya
dengan mambasuik bumi.

 Bentuk Interior Bangunan

Pada bagian interior ini terdiri dari bagian Mihrab, Liwan dan Sahn.
Pada bagian Mihrab ini mengusung bentuk desain yang lebih
modern, bentuk lingkaran bulat telur itu mengingatkan penulis
kepada karya rancangan desainer terkenal dunia yaitu Karim
Rashid seorang desainer yang sangat terkenal dengan gaya
futuristiknya, dia sering membuat bentuk-bentuk yang hampir
serupa dengan rancangan mihrab masjid ini. Di lain sisi, bentuk
mihrab seperti bulat telur juga mengingatkan kepada bentuk hajar
aswad yang berada di makkah. Sedangkan bentuk Liwan pada
masjid di desain sangat bersih dan kelihatan kokoh dengan
menggunakan material beton dan keramik. Pada bagian dinding
ruangan didominasi oleh pintu-pintu dan jendela yang memiliki
lubang-lubang vertikal sebagai sirkulasi udara yang masuk dari luar
ke dalam ruangan. Pada bagian plafonnya terdapat bentuk bagian
dalam kubah yang langsung membungkus semua ruangan,
meskipun tidak menampakkan bentuk kubah pada bagian luar,
namun bentuk kubah dapat terlihat pada bagian dalam masjid.
Plafon tersebut dipenuhi dengan tulisan kaligrafi Asmaul Husna
(nama-nama Allah) dan pada bagian tengah liwan terdapat
susunan
lampu-lampu yang menggantung membentuk lingkaran pada
bagian atas plafon ruangan, hal ini menunjukkan bentuk modern
dan tidak terlihat bentuk tradisional dari dalam masjid ini.
Sahn atau tempat berwudu pada masjid ini di desain sangat
sederhana dengan warna gelap. Tempat berwudu ini di desain
terbuka sehingga membabawa udara yang masuk ke dalam
sehingga menghasilkan hawa kesekukan. Tempat berwudu ini
terbilang modern dan ramah lingkungan dengan terbukti dari sistim
pemanfaatan air hujan yang digunakan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur yang kuat pada
elemen-elemen interior yaitu didominasi oleh bentuk-bentuk yang
unik, bersih dan licin. Selain itu sistim yang digunakan untuk
menampung air sudah menggunakan teknologi menetralisir air
hujan. Hal ini menunjukkan bahwa desain yang digunakan pada
masjid ini sudah mengarah kepada sistem kecanggihan tekonologi
dan ramah lingkungan, desain ini sangat populer akhir-akhir ini.
Sedangkan pada bagian arsitektur masjid atau eksterior masjid
didominasi oleh bentuk-bentuk tradisional seperti bentuk gonjong
dan ukiran khas.
Minangkabau yang terinspirasi dari motif kain songket
Minangkabau pada kubah masjid.
 Denah

Bangunan Masjid terdiri dari beberapa bagian yang menjadi ciri


khas dari bangunan masjid, bagian-bagian tersebut dijelaskan
dalam (Situmorang, 1988: 24) meliputi Mihrab (tempat Imam
memimpin Sholat) Mimbar, Liwan (tempat makmum), Menara,
kubah, pintu masuk, serambi, dan sahn (tempat berwudu). Dalam
penelitian ini, bagian-bagian pada ruangan tersebut akan dibagi ke
dalam dua kategori yang pertama yaitu bagian eksterior yang
tampak pada bangunan arsitektur masjid secara keseluruhan
termasuk kubah dan struktur bangunan dan yang kedua yaitu
bagian interior masjid meliputi liwan, sahn dan bentuk bagian
dalam masjid secara keseluruhan.

4.2 Analisis ( Diskusi )


4.2.1 persoalan identitas dalam arsitektur
Selain agama & bisnis, arsitektur termasuk salah satu disiplin ilmu
yang memiliki cakupan yang cukup luas. Artinya, ia dapat
didefinisikan & dikaitkan dengan banyak bidang. Jika melihat dari
sejarah, arsitektur dimulai dari dinamika antara kebutuhan
masyarakat akan lingkungan yang kondusif dan cara
pemenuhannya. Dari sana muncullah berbagai tipologi bangunan
baru yang berkembang sesuai dengan jumlah penduduk/skala kota
dan teknologi. Perkembangan arsitektur menjadi lebih dinamis
berkat banyaknya karya tulis mengenai arsitektur yang di kemudian
hari dijadikan sebagai aturan yang harus dipatuhi. Berbagai bidang
ilmu silih berganti memberikan pengaruh terhadap arsitektur, mulai
dari tradisi, agama, seni, hingga teknologi.

Identitas Arsitektur mulai goyah pertama kali ketika pemahaman


Beaux Arts dipopulerkan di Prancis. Arsitek dilatih untuk
menciptakan desain yang indah tanpa memberikan perhatian yang
mencukupi pada konteks. Bencana yang serupa terulang lagi pada
masa arsitektur modern ketika kecepatan, keseragaman &
kuantitas bangunan sebagai produk industrialisasi sangat
mendominasi & menurunkan nilai arsitektur pada titik yang sangat
rendah. Munculnya arsitektur post-modern yang menekankan
konsep filosofis & estetika visual pada suatu desain tampaknya
menjadi jawaban yang cerdas terhadap arsitektur modern. Namun
sayangnya jika dicermati lebih dalam, apa yang terlihat adalah
kebayakan arsitektur post-modern banyak terjebak ke dalam
“romantisme yang dangkal” akan masa keemasan Renaissance. Hal
ini dikarenakan mereka terlalu larut pada pembahasan konsep
filosofis & estetika sehingga seringkali cenderung
mengesampingkan kepentingan pengguna/lingkungan.
Dari kedua arsitektur yang saya kaji persoalan terbesar yang
sering di temui adalah presepsi masyarakat terkait bangunan
arsitektur apakah bangunan yang telah di bangun sudah betul
mengadopsi nilai-nilai budaya maupun filosofi atau hanya
menedepankan estetika semata.
4.2.2 identitas arsitektur Indonesia
Setidaknya ada tiga kali perdebatan tentang identitas arsitektur di
Indonesia yang menurut Pak Nanda hadir dengan latar belakang
yang berbed-beda. Pertama, perdebatan ini muncul di era kolonial.
Pada era ini, para arsitek kolonial berusaha membangun istilah
“arsitektur Hindia” dalam beberapa pendekatan. Mulai dari usaha
menghadirkan arsitektur Belanda di tanah Hindia demi menunjukan
karakter kekuasaan, melakukan adaptasi terhadap iklim untuk
memaksimalkan performa fungsi bangunan, dan kembali
mengangkat akar arsitektur tradisional dan kemampuan lokal untuk
mendapatkan sintesis rupa arsitektur yang baru. Ketiganya tetap
tidak terlepas dari pandangan yang menjadikan Indonesia sebagai
subjek yang pasif, seperti kelinci percobaan.
Kedua, di era pasca kemerdekaan situasi politik negara Indonesia
berada di posisi yang belum stabil. Dengan beragam suku dan
budaya yang dimiliki Indonesia menjadi negara yang rentan
terhadap perpecahan. Lantas presiden Soekarno membangun visi
pembentukan identitas Indonesia yang baru sebagai pemersatu
bangsa. Ia tidak merujuk pada satu suku dan budaya tertentu,
melainkan sebagai angan-angan wajah baru bangsa Indonesia,
yang modern dan tidak kuno. Soekarno ingin menunjukan kepada
dunia tentang kekuatan ekonomi negaranya melalui pembangunan
infrastruktur besar-besaran di awal kemerdekaan.
Ketiga, setelah tahun 1980-an perdebatan dilanjutkan kembali.
Pemikiran tentang arsitektur modern di dunia juga telah digantikan
oleh arsitektur posmodern. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia
(LSAI) hadir dengan konsep identitas mereka, yakni “arsitektur
nusantara”, sebuah pemahaman yang menggali kembali akar
perkembangan arsitektur di Indonesia sebelum diganggu oleh
kolonialisme. Profesor Josef Prijotomo dengan tegas menyebutkan
bahwa nusantara lebih jelas, memiliki relasi budaya dengan
negara-negara lain di Asia Tenggara di luar Indonesia. Gaya
arsitektur nusantara juga mengakar pada budaya masyarakat tanah
nusantara pada saat sebelum era modern. Dengan memahami dan
mendalami kembali arsitektur nusantara, arsitektur yang berjati diri
dapat lahir melalui rupa dan jiwanya. Lantas pertanyaan yang
selalu muncul kemudian adalah bagaimana wujud nyata dari
arsitektur nusantara yang di hari ini, yang mampu menjawab
kemajuan zaman dengan segala konsekuensinya.

4.2.3 Identitas arsitektur NTT


Arsitektur hadir sebagai pemenuhan akan kebutuhan manusia,
dimana seluruh upaya manusia untuk bertahan serta memudahkan
kehidupannya di dalam dunia ini kemudian diberi label kebudayaan.
Arsitektur merupakan sebuah produk budaya dan arsitektur
semakin berkembang tanpa batas hingga munculnya isu terpopuler
saat ini adalah tentang globalisasi yang terkait dengan
universalisasi, internasionalisasi, liberisasi dan westernisasi (Scolte,
2005). Diawali dengan keprihatinan terhadap kebudayaan lokal
yang semakin hari menjadi terkikis oleh isu modernisasi maka fokus
penelitian ini berorientasi pada akulturasi yang terjadi pada
arsitektur modern yang mencoba mengangkat kembali arsitektur
lokal sebagai satu simbol dalam membentuk identitas dalam era
modernisasi.
Contoh yang bisa kita lihat adalah bangunan Gedung Kantor
Walikota Kupang yang menjadi simbol pimpinan tertinggi dalam
pemerintahan wilayah kota tentunya memiliki nilai–nilai budaya
lokal setempat, bergerak dari sinilah esensi dari arsitektur
tradisional perlu dijaga agar tetap menjadi satu bukti nyata bahwa
lokalitas menjadi sangat penting dan tidak lekang oleh zaman.
Konsep yang berbeda antara Arsitektur lokal dan Arsitektur modern
menghasilkan suatu bentuk baru dalam akulturasi yang dapat
menghasilkan interpretasi yang berbeda, terhadap sebuah karya
arsitektur, dalam upaya membentuk identitas budaya NTT dalam
arsitektur, untuk menyingkapinya tujuan penelitian ini adalah
mencoba melakukan salah satu upaya pelestarian arsitektur
tradisional budaya NTT khususnya di Kota Kupang.

4.2.4 Ugensi identitas lokal dalam arsitektur


Arsitektur Nusantara seharusnya karya-karyanya memiliki karya
yang seragam dengan ciri-ciri yang cukup jelas mewakili citra per
wilayah Indonesia. Karena negara kita adalah negara kepulauan
dan setiap pulau memiliki kebudayaan sebagai ciri dari kesukuan
mereka.
Maka hal tersebut sebaiknya kita hargai dan dapat dijadikan
sebagai sumber pengetahuan dan dasar perencanaan
pembangunan dalam ilmu arsitektur, secara turun temurun
arsitektur Indonesia.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi bentuk/wujud
bangunan arsitektur yaitu:
 Agama,
 Budaya dan Adat istiadat atau Tradisi sehari-hari
 Filosofi dan cara pandang hidup dari tiap suku
 Iklim.
Dari sisi Agama, masuknya agama islam dan kristiani banyak
meninggalkan bangunan maupun budaya yang sangat
mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan, seperti artifak benda
bersejarah dan lingkungan serta Budaya adat istiadat.
Permasalahan yang paling mendasar pada arsitektur adalah ketidak
berlanjutan budaya akibat ketidak seimbangan antara konsep-
konsep baru dan konsep-konsep lama yang bertahan. Kondisi ini
menyebabkan lunturnya budaya lokal sehingga terjadi fenomena
kehilangan jati diri kebudayaan yang berdampak pada nasib
keberlanjutan kebudayaan. Jika hal ini terjadi secara terus menerus
tanpa solusi pemecahan maka akan menyebabkan lebih sulit dalam
mencari solusinya di kemudian hari.
Masalah ketidak serasian keberlanjutan budaya ini menjadikan
pemikiran bahwa kebudayaan yang berkembang saat ini berada di
tengah-tengah derasnya arus globalisasi.
Secara umum bahwa globalisasi justru menjadi ajang pertemuan
antara nilai-nilai eksternal global dengan nilai-nilai internal lokal
sehingga terjadi proses lokalisasi.
Sementara fenomena yang terjadi adalah sebaliknya, budaya
eksternal yang lebih kuat mendominasi melunturkan budaya lokal.
Padahal pada budaya lokal tersebut terdapat warisan lokal yang
menjadi tiang-tiang kehidupan masyarakat.
Sebagai seorang mahasiswa yang masih memiliki rasa tanggung
jawab sebagai bangsa Indonesia khususnya yang berkecimpung
pada dunia arsitektur dan berasal dari salah satu suku yang ada di
Indonesia ini, saya memiliki tugas untuk memberikan apresiasi
dalam bentuk disain bangunan dengan fungsi apa saja.
Revitalsasi kebudayaan dalam bentuk apapun yang dikaitkan
dengan perencanaan dan perancangan arsitektur.
 Konsep ruang
Konsep ruang yang di gunakan sendiri masih menggunakan konsep
asli dari agama atau kepercayaan asli dari bangunan.

 Konsep bentuk
Konsep bentuk sendiri sudah mengadopsi dari bentuk daerah asal (
arsitektur lokal) yaitu bentuk rumah adat.
5. Kesimpulan
Arsitektur dan identitas merupakan dua hal yang tidak bisa di pisahkan
mengapa? Karena identitas sendiri adalah jati diri dari sebuah daerah atau pun
kelompok. di era globalisasi saat ini identitas cenderung tidak diperhatikan,
arsitek-arsitek saaat ini cenderung lebih mementingkan estetika dan filosofi yang
yang ia mau, tanpa memperhatikan lingkungan sekitar sehingga budaya atau
pun ciri khas dari suatu daerah cenderung dikesampingkan. Oleh karena itu
sebagai calon arsitek kita di haruskan untuk menghidukan Kembali nilai-nilai
maupun budaya dalam bentuk karya arsitektur.

Daftar Pustaka

https://www.bluprin.com/id/project/gereja-ouikemene

http://www.constructionplusasia.com/id/gereja-oikumene-sajau

https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Raya_Sumatra_Barat

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/nucturenature/article/view/2436
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai