Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MATA KULIAH

ARSITEKTUR TRADISIONAL KHUSUS

Dosen Pengampuh:
Dr.techn. Andi Abidah, S.T., M.T.
Prof. Dr. Mithen Lululangi, M.T.

Disusun Oleh :
Andira Azzahra Putri Rahmat
210211502003
Arsitektur 02/B

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
LATAR BELAKANG

Secara Umum arsitektur tradisional adalah kebudayaan fisik yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang
berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. ekspresi yang sangat fisik dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan tempat dia
dibesarkan dan semakin banyak, sehingga perbedaannya signifikan sosial budaya dan lingkungan mempengaruhi representasi dalam
arsitekturnya. Arsitektur tradisional juga merupakan salah satu faktor budaya yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan
suatu suku bangsa. Karena arsitektur tradisional adalah salah satu identitas usaha budaya, arsitektur tradisional mencakup aspek ideal, sosial,
dan material dari suatu budaya. Unsur budaya ini di hayati, sehingga lahirlah rasa bangga dan cinta terhadap arsitektur tradisional ini. Proses
perubahan budaya di Indonesia khususnya di pedesaan menyebabkan perubahan bentuk budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional.
Seiring dengan perkembangan zaman, arsitektur pun ikut semakin berkembang pesat. Hal ini tidak lain disebabkan oleh perkembangan
kehidupan manusia.

Semakin peradaban manusia berkembang, maka semakin menuntut perkembangan dunia arsitektur agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Arsitektur sebagai karya seni budaya diakui sebagai salah satu jenis budaya yang dapat dijadikan cerminan
kehidupan masyarakat, dari waktu ke waktu. Arsitektur sebagai bagian dari budaya tak ubahnya sebagai bentuk bahasa manusia nonverbal
yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi nonverbal manusia dengan pengertian sastra, tidak jauh berbeda dengan sastra
linguistik metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metaforik keindahan, dari mana fitur-fiturnya diwujudkan.

Konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat
yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan, mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah, bentuk arsitektur, hingga
penyelenggaraan upacara ritual ketika proses pembangunannya. Kota Makassar adalah ibu kotanya Provinsi Sulawesi Selatan menjadi
pusatnya pelayanan daerah, tumbuh bersama dengan dibangunnya berbagai fasilitas termasuk kantor untuk mendukung fungsinya. Bagian
gedung perkantoran di kota Makassar melakukan arsitektur tradisional setempat sebagai inspirasi perencanaan dan perencanaan. Arsitektur
sebagai aspek budaya adalah mewujudkan nilai-nilai yang dianut dan dilestarikan untuk ditransmisikan dari generasi ke generasi Berikutnya.
Keberadaan arsitektur tradisional Makassar di dusun Giring-Giring, desa Bontolangkasa dan desa Maccinibaji yang merupakan wilayah
permukiman pengolah batu bata di kabupaten Gowa memiliki ciri dan karakteristik budaya yang diterapkan dalam wujud ideal, wujud sosial,
dan wujud material/fisik suatu kebudayaan.

Budaya yang dimiliki setiap daerah mempunyai salah satu ciri melalui arsitektur tradisionalnya secara terpadu. Arsitektur tradisional
adalah salah satu unsur kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa. Arsitektur
tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa, karena di dalamnya terkandung segenap peri kehidupan masyarakatnya.
Keberadaan arsitektur tradisional Makassar lekat dengan hidup keseharian masyarakatnya yang masih menganut tata kehidupan kolektif, yaitu
memiliki keserasian dan keselarasan antara makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (bangunan). Untuk keberadaan budaya ini
dihayati dan dipraktikkan, lalu timbul rasa bangga dan cinta arsitektur tradisional.

Kemajuan yang kuat saat ini sedang berlangsung, Padahal, proses inovasi di segala bidang itulah yang menjadi penggeraknya
perubahan besar di bidang kebudayaan, khususnya di bidang arsitektur tradisional. Berkembang pesat dalam berbagai bidang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang terus berkembang menimbulkan inovasi pada rumah adat dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Proses pembaruan menyebabkan perubahan budaya suatu bidang arsitektur Secara tradisional, itu disebut akulturasi. proses akulturasi
merupakan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai tradisional yang memunculkan arsitektur bercampur tetapi identitas arsitektural asli suatu distrik
dipertahankan.

Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan
adat istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terwujud baik
dalam tingkah laku, cara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya. Adat
istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima
langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial.

Suku Bugis dikenal sebagai suku yang suka merantau. Mereka pergi merantau ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau
mencari pengalaman. Banyak tujuan, penyebab, dan motivasi yang mendorong mereka untuk pergi merantau. Para Perantau Bugis dikenal
mampu beradaptasi dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah di tempat perantauannya. Hal ini dikarenakan, Suku Bugis memiliki
semboyan “Dimana Tanah Dipijak, Disitu Langit Dijunjung”. Semboyan di atas bermakna bahwa Suku Bugis harus bisa menghargai kultur
dan budaya di tempat perantauan, tanpa harus kehilangan budaya Bugis. Model dan bentuk rumah adat yang dibangun, masing-masing
memiliki keunikan dan kekhasan yang mencerminkan budaya yang dimiliki. Seperti rumah adat lainnya, Rumah Adat Bugis memiliki
karakteristik tersendiri. Sebagaimana unsur kebudayaan lainnya, teknologi arsitektur tradisional mengalami perkembangan dan perubahan,
jika dikaitkan dengan norma dan budaya.

Oleh karena itu, demi memenuhi kebutuhan hidup manusia, arsitektur harus berkembang sesuai dengan aman dan lokasi
keberadaannya. Karena, pada lokasi yang berbeda, memiliki tingkat peradaban dan kebudayaan yang berbeda pula. Hal ini sangatlah
mempengaruhi perkembangan arsitektur. Berbagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap
diadakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan prosesi budaya bangsa. Termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah. Tata
cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari
kepercayaan dan adat istiadat yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan; mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah, bentuk
arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.
TINJAUAN PUSTAKA

Arsitektur sebagai bagian karya budaya yang bermakna hidup, adalah menghargai lingkungan alam, hingga ekspresi perwujudan seni
estetika jiwa manusia. Arsitektur tradisional dibangun berdasarkan kaidah-kaidah tradisi yang dianut masyarakat setempat. Arsitektur
tradisional juga merupakan suatu bentukan dari unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu
suku bangsa sehingga dijadikan sebagai suatu identitas suku bangsa tersebut. Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, ragam
hias dan cara pelaksanaannya diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Arsitektur tradisional adalah cermin tata nilai dan budaya
yang ditradisikan oleh masyarakatnya (Budihardjo, 1997).

Arsitektur tradisional adalah salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu
suku bangsa sehingga arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari suatu pendukung kebudayaan yang dianut secara turun
temurun.(Sukawi, 2010). Setiap daerah memiliki simbol dan makna budaya yang dianut secara turun temurun. Arsitektur tradisional adalah
cermin tata nilai budaya yang ditradisikan oleh masyarakatnya (Budihardjo,1997). Arsitektur tradisional erat kaitannya dengan kepribadian
masyarakatnya, kebiasaan dan aturan serta adat-istiadat daerahnya. Arsitektur tradiasional merupakan bentukan dari unsur kebudayaan.
Arsitektur tradisional merupakan sebuah bangunan yang bentuk, struktur, fungsi dan ragam hias serta proses pembuatannya diwariskan dari
turun temurun dan dipakai untuk menunjang aktivitas sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Menurut Amos Rapoport (1960), Arsitektur tradisional merupakan bentukan arsitektur yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Mempelajari bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi masyarakat yang lebih dari sekadar tradisi membangun
secara fisik. Masyarakat tradisional terikat dengan adat yang menjadi konsesi dalam hidup bersama.

Sedangkan menurut Saliya (2003), mengatakan bahwa arsitektur tradisional pada dasarnya tidak mengenal ukuran yang formal seperti
meter atau feet. Ukuran yang digunakan adalah selalu bersifat kongkrit yakni merujuk pada ukuran atau besaran benda, misalnya: ukuran
bagian tubuh manusia, seperti depa, hasta, tinggi pundak, rentang-rentang tegak dan lebar langkah. Arsitektur tradisional sebagai salah satu
bentuk warisan budaya merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara berurutan.

Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami
alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut Sulapa Appa, menunjukkan upaya untuk
menyempurnakan diri. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk Segi Empat. Filosofi
yang bersumber dari mitos asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin. Bagi masyarakat
tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman Struktur
kosmos dimana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas, alam tengah, dan alam bawah.

Abu Hamid (1978:30-31) dalam “Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan” menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun
dari tiga tingkatan yang berbentuk segi empat, dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka,
anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau banua atas, alam tengah banua tengah dan
alam bawah banua bawah. Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut Dewata Seuwae
(dewa tunggal), bersemayam di Botting-Langik (langit tertinggi). Benua tengah adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi
yang mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut Uriliyu (tempat
yang paling dalam) dianggap berada di bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan rumah harus
berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi
kegenerasi.

Menurut Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektur tidak
diarahkan pertama kali demi penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan hidup secara kosmis. Artinya selaku
bagian integral dari seluruh kosmos atau semesta raya yang keramat dan gaib. Beberapa hal yang penting diketahui bahwa dalam proses
mendirikan rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta pertimbangan dari Panrita Bola atau Panre bola untuk
pencarian tempat, menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik. Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan
rumah dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang (aliri), berapa pasak (pattolo) yang akan dipakai, Termasuk pengerjaan
elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta perlengkapannya. Dalam hal ini
peranan seorang Panrita Bola sangat menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah
kepercayaan tentang adanya pengaruh kosmologis sudah sangat dimaklumi masyarakat Bugis-Makassar.

Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaaan Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada
dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan tersebut mendiami sebagian besar jasirah Selatan pulau Sulawesi termasuk propinsi Sulawesi
Selatan yang terdiri dari empat suku yaitu Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar.

Berdasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis,
Mandar, dan Makassar. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusastraan tertulis sejak berabad-abad lamanya yaitu
lontara, yang berasal dari Sangsekerta. Lingkungan perkampungan suku Bugis berbentuk mengelompok dan berbanjar merupakan bagian
dari strategi pemilihan lokasi. Alasan ekologi itu untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan untuk komunikasi yang lancar.

Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya
berderet, menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari
kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama), dengan suatu pohon beringin besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah
pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya memiliki langgar atau mesjid.

Pola perkampungan orang Bugis umumnya mengelompok padat dan menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran
rendah, dekat persawahan, pinggir laut dan danau. Sedangkan pola menyebar, banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu
perkampungan orang Bugis dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:

1. Pallaon ruma (kampung petani)


2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)

Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan
mesjid/mushallah. Filosofi bentuk rumah tradisional yang bersegi empat senantiasa dibangun menghadap pada empat penjuru angin , yaitu
timur, barat, utara dan selatan.

Orientasi arah rumah senantiasa menghadap utara dan timur. Arah utara mengandung makna sumber kehidupan positif dan arah
timur merupakan sumber cahaya. Bentuk rumah masyarakat Bugis dibangun atas dasar sebuah pandangan yang berasal dari model
keseimbangan kosmos. Ini berdasarkan pada falsafah yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat suku Bugis yang memandang bahwa jagad
raya berbentuk segi empat (sulapa eppa) yang terdiri dari langit, bumi dan pertiwi.

Arsitektur rumah Bugis dan Makassar sering kali digabung menjadi Arsitektur Bugis-Makassar bermula dari suatu pandangan hidup
ontologism, bagaimana memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat Bugis-Makassar disebut “sulapa appa” yang
menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika
berbentuk “segi empat”. Filosofi ini bersumber dari mitos asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air,
api dan angin.

Masyarakat Bugis Makassar berfikir secara totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman “struktur
kosmos” dimana alam terbagi atas 3 bagian yaitu: alam atas, alam tengah dan alam bawah.

Gambar 1. Denah Rumah Tradisional Bugis-Makassar


(Sumber: Pallemui dalam Abidah, 2010)

Bentuk denah persegi empat didasari pada pandangan bentuk sulapa eppa dimana secara horizontal dianggap sebagai diri manusia
yaitu ada kepala, badan dan kaki. Pandangan ini diaplikasikan kedalam bentuk ruangan yaitu ruang depan, tengah dan belakang. Pandangan
ini tercermin pula pada bentuk, dinding dan areal tanah yang ditempati semuanya bersegi empat yang berorientasi pada empat unsur yaitu
tanah, api,air dan angin. Mengandung makna semakin tinggi derajat seseorang semakin kuat unsur tersebut menyatu.
Gambar 2. Denah berbentuk persegi empat panjang. X adalah lebar rumah,
Y adalah panjang rumah & Z adalah tinggi rumah
Sumber: Syarif Beddu

Manusia, sebagai hasil pengukuran dimensi secara antropometrik, berdasarkan ukuran tubuh dan elemen tubuh manusia yaitu
penghuni. Bentuk rumah tradisional suku Bugis yang berbentuk rumah panggung dimana secara vertikal yang tersusun dari tiga tingkatan
yaitu ruang atas, ruang tengah dan bawah. Ini berdasarkan pandangan bahwa alam raya ini (makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan yaitu
alam atas (langit), alam tengah (bumi) dan alam bawah (pertiwi). Dengan demikian rumah merupakan kosmos lebih kecil (mikrocosmos).

Bentuk rumah masyarakat Bugis dibangun atas dasar sebuah pandangan yang berasal dari model kosmos struktur rumah tersusun
dari tiga tingkatan yaitu alam atas atau benua atas (oberWelt), benua tengah (indekwelt) dan benua bawah (underwelt) yang dianggap berada
di bawah air (urwasser).

Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang
terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah
atap (Sumatardja,1981) dalam Umar (2002).

Gambar 3. Filosofi Bentuk Rumah Tradisional Bugis-Makassar


(Sumber: Buletin KKSS. Edisi 10. Tahun 1995)

Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang
dinamakan tamping. Tamping ini biasanya disebut juga sebagai tapping, merupakan bangunan tambahan pada setiap bangunan rumah adat
suku Bugis sesudah badan rumah. bangunan tambahan itu terletak di samping badan rumah dan memanjang sepanjang badan rumah.

Konsepsi Jagad Raya (Kosmos) Dalam konsep tradisional Bugis, secara vertikal kosmos dibagi dalam tiga
dimensi, antara lain:
1. Dimensi Alam Atas (Boting Langi) Alam atas merupakan alam supranatural atas yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang berderajat
tinggi, seperti dewa-dewa, bidadari, dan Iain-lain
2. Dimensi Alam tengah (Ale Kawa) Alam tengah ini merupakan alam materi atau dunia yang kita huni.
3. Dimensi Alam Bawah (Uri Liyu) Alam bawah yaitu alam supranatural bawah yang gerbangnya mengarah ke pusat bumi. Alam ini
dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang jahat, seperti jin, dan sebagainya.

Urutan-urutan hirarki kosmos diatas tercermin pada pembagian zone vertikal pada sebuah rumah tradisional Bugis Makassar :
1. Bagian Atap (Rakkeang), melambangkan alam atas, yang dianggap suci dan digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda
sakral, seperti senjata pusaka.
2. Bagian Badan (Ale Bold), melambangkan alam tengah dan merupakan zone hunian.
3. Bagian Kolong (Awa Bold), melambangkan alam bawah yang tingkatannya paling rendah.

Selain secara vertikal, konsep arsitektur tradisional Bugis juga mengenai pembatasan kosmos secara horizontal, yaitu kosmos dibatasi oleh 4
buah bidang, sehingga bentuknya mirip sebuah kotak. Konsep ini memiliki arti filosofis, diantaranya dihubungkan dengan :
• 4 unsur alam pembentuk kosmos (api, air, angin, tanah)
• 4 arah mata angin (utara, timur, selatan, barat)
• 4 sisi badan manusia yang dianggap sebagai miniatur kosmos

Dengan demikian, secara vertikal sebuah rumah tradisional menggambarkan hirarki kosmos (Jagad Raya), sedangkan secara
horizontal, bentuk ruang merupakan typikal bentuk kosmos. Berdasarkan status sosial bagi yang menempatinya. rumah tradisional Bugis
dibedakan menjadi dua, yaitu Sao Raja (Sallasa) dan Sola. Sao Raja yang berarti

Untuk Sao-raja, ada tambahan dua ruangan lagi:


1. Lego-lego
Lego-lego (teras) adalah suatu bangunan di depan bangunan induk yang merupakan bangunan tambahan yang mempunyai bentuk
atap yang tidak ubahnya sebuah rumah dengan ukuran yang lebih kecil, didempetkan sejajar dengan bangunan induk.
2. Dapureng
Biasanya diletakkan di belakang atau di samping, Dapur adalah bangunan tambahan yang dibuat di belakang bangunan induk sebagai
tempat penyelenggaraan kegiatan untuk menyiapkan keperluan sehari-hari bagi penghuni rumah disebut dapureng (dapur).

Rumah besar adalah rumah yang ditempati oleh ketururan raja atau kaum bangsawan, sedangkan Bola adalah rumah yang ditempati
oleh rakyat biasa. Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil dari segi bentuk bangunan,
hanya berbeda dalam status sosial penghuninya

Gambar 4. Rumah dalam refleksi wujud manusia


(Sumber: Pallemui dalam Abidah, 2010)

Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain
persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan
berdandan.
2. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk
menerima tamu, tidur, makan.
3. Awa-bola adalah kolong rumah, berlantai tanah dan tidak berdinding. Awa-bola berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat
pertanian seperti rakkala, ajoa,dan saiaga atau tempat bertenun kain,tempat bercanda, dan bermain bagi anak-anak

Secara arsitektural typologi dari rumah tradisional Bugis Makassar adalah sebagai berikut :
• Bentuk keseluruhan bangunan adalah rumah panggung
• Bentuk dasar denah rumah adalah berbentuk persegi panjang.
• Atap berbentuk prisma (pelana), dan memakai tutup bubungan yang disebut Timpa Laja. Khusus untuk Timpa Laja terdapat
perbedaan antara Sao Raja dan Bola, yaitu pada Sao Raja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara 3 hingga 5 tingkatan,
sedangkan pada Bola (rumah rakyat biasa) maksimal hanya 2 tingkat.

Gambar 5. Timpa Laja – Rumah Sao Raja


Sumber: Arsitektur Tradisiomal daerah Sulawesi Selatan

Gambar 6. Timpa Laja – Rumah Rakyat (Bola)


Sumber: Arsitektur Tradisional daerah Sulawesi Selatan

Gambar 7. Konstruksi Rumah Tradisional Bugis-Makassar


Sumber: Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan
Secara horizontal rumah Bugis terbagi atas tiga bagian, yaitu
1. Lontang Risaliweng (ruang depan) yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah,
tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke kuburan. Berdasarkan fungsi - fungsi diatas, ruangan
depan nampaknya mempunyai arti penting dalam komunikasi penghuni rumah dengan orang luar. Oleh karena itu ruangan depan
ini sudah seharusnya memenuhi syarat kebersihan, keindahan dan keluasan. Sifat ruang semi private, berfungsi
sebagai tempat menerima tamu, empat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan
mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk.
Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).

2. Lontang Retengngah (ruang tengah) yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama istri dan anak-anak yang belum
dewasa. Hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga frekuensinya lebih banyak berlangsung di ruang tengah ini. Sifat
ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada
ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.

3. Lontang Rilaleng (ruang dalam) yang berfungsi sebagai tempat tidur gadis dan orang-orang tua seperti nenek atau kakek Fungsi
ruangan ini memperlihatkan bahwa segi pengamanan dari anggota rumah tangga. sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat
tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.

Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang) baik untuk bangsawan (sao raja)
maupun rumah rakyat biasa (bola), terdiri dari loteng dan atap. Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut timpak laja.
Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara “sao raja dan bola.” Bentuk segitiga pada timpak laja secara vertikal bermakna langit, secara
horisontal bermakna bumi. Jadi totalitas dari makna tersebut adalah perpaduan dua unsur kosmos yaitu langit dan bumi. Sedangkan makna
dari bentuk atap kerucut semakin ke atas semakin kecil. Ini mengandung arti semakin tinggi tingkatan sosial seseorang maka makin kecil
mereka di hadapan Tuhan.

Gambar 8. Rumah tradisional Bugis, ketinggian atap/puncak rumah


ditentukan dengan mengambil ukuran ½ dari lebar rumah ditambah dua jari
isteri pemilik rumah. Rumah tradisional Bugis memiliki kemiringan 45°.
Sumber: Shirly Wunas

Untuk jelasnya berikut ini dipaparkan bentuk-bentuk timpak laja yang dikenal dengan suku Bugis pada zaman dulu:
1. Timpak laja lima’susun (lima susun), khusus bagi istana raja. Raja adalah pemimpin tertinggi dalam bidang pemeritahan dan
pertahanan. Karena raja adalah penguasa tertinggi, maka istananya dibuat lebih besar dari rumah-rumah lainnya dalam wilayah
kerajaan Bugis sehingga istana tersebut diberi nama saoraja (rumah yang besar). Bukan saja besar badan rumah serta tinggi tiangnya
melainkan perangkat-perangkatnya harus berbeda dengan rumah penduduk di sekitar kerajaan, utamanya timpak laja.
2. Timpak laja pata’susun (empat tingkat). Rumah yang mempunyai timpak laja empat tingkat hanya boleh dihuni/dimiliki oleh
golongan bangsawan yang memegang jabatan tinggi di kerajaan Bugis. Selain itu seorang bangsawan yang telah turun dari
kedudukannya sebagai raja berhak menempati rumah dengan timpak laja empat’susun.
3. Timpak laja tellu’susun (tiga tingkatan). Rumah yang mepunyai timpa’laja tiga tingkat adalah warga keturunan arung (bangsawan),
baik yang berasal dari keturunan To manurung maupun keturunan raja lokal yang tidak mempunyai jabatan formal atau yang
menduduki jabatan dan pejabat lain yang sederajat dari keturunan bangsawan. Orang yang berasal dari golongan ini apabila terangkat
menjadi raja, maka akan menduduki istana raja yang bertimpak laja lima susun dan apabila raja tersebut turun tahta maka yang
bersangkutan tidak kembali menduduki rumah yang bertimpak laja susun tiga tapi menempati rumah yang bertimpak laja bersusun
empat.
4. Timpak laja dua’susun (dua tingkat) adalah peranginan atap yang digunakan oleh golongan to mardeka (to sama). Golongan inilah
yang biasanya membuat timpak laja dua’susun.
5. Timpak laja sisusun (satu tingkat) adalah bentuk timpak laja yang diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang berstatus to’barani
dan suro. Pemasangan timpak laja satu tingkat ini tidak dibuat miring seperti yang dilakukan pada timpak laja lima’susun, dua’susun,
melainkan rata dari atas kebawah dan pada bidang petak tidak boleh ada tanda-tanda lain yang mencampurinya (tidak terukir).
6. Timpak laja rata (tidak bertingkat) artinya rata dan hanya jeruji yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang dipasang bersilangan.
Bentuk yang demikian diharuskan pada golongan ata.

Timpak laja lima susun Timpak laja empat susun

Timpak laja tiga susun Timpak laja dua susun

Timpak laja satu susun

Gambar 9. Tipe Timpa,laja Golongan Bangsawan, Timpa’laja Golongan Merdeka dan Ata
Sumber: Shirly Wunas

Dinding yang terbuat dari kayu disusun secara horisontal. Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu
(babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah. Tempat pintu biasanya di letakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya
ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus di letakkan pada depa yang ke-6 (enam) atau ke-4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila
penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, menurut kepercayaan dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau
penjahat. Bukaan lain adalah jendela (tellongeng).

Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara
ke dalam ruangan. Perletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang
(Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah
bilangan ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali jumlahnya 3-5 menunjukkan rakyat biasa dan jika 7-
9 menunjukkan rumah bangsawan.

Menurut masyarakat Bugis angka sembilan merupakan angka penjumlahan tertinggi, mengandung makna bahwa ada sembilan bendabenda
yang ada di jagad raya ini yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia, diantaranya bumi, bulan, matahari, bintang, langit, gunung, air,
udara dan api. Daun jendela yang berjumlah satu pasang, mengandung makna bahwa di dalam kehidupan harus ada keseimbangan yaitu ada
malam ada siang, ada kematian ada kelahiran, ada kasar dan ada yang halus dan sebagainya.

Rumah tradisional Bugis Makassar memiliki ruang tambahan yang diletakkan pada bagian depan rumah yang disebut lego-lego, yang
digunakan sebagai tempat duduk tamu sebelum memasuki rumah, tempat sandaran tangga depan, tempat menonton ruang luar (halaman),
dan tempat istirahat menikmati udara segar.

Apabila ruangan tambahan tersebut terletak dibelakang atau disamping, maka ruangan itu disebut dapureng atau jongke, yang berarti
dapur. Ruangan ini mempunyai fungsi yang lebih utama untuk melayani kebutuhan anggota rumah tangga. Misalnya untuk memasak makanan
untuk kebutuhan rumah tangga. Tempat untuk melakukan pertemuan baik untuk kepentingan musyawarah ataupun upacara - upacara seperti
perkawinan, khitanan dan khatam haji dilakukan di ruang depan dari rumah tempat tinggal. Karena ruang depan ini tempatnya kurang luas
maka biasanya kalau ada upacara - upacara dibuatkan bangunan tambahan di samping depan rumah tempat tinggal. Bangunan tambahan ini
disebut baruga

Pada umumnya rumah - rumah tradisional memakai ragam hias. Ragam hias selain berfungsi untuk keindahan suatu bangunan,
dilain pihak mengandung maknamakna yang menjadi acuan kebudayaan penghuninya. Oleh karena itu pada setiap ragam hias terkandung
arti yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Dalam ragam hias dengan sendirinya pula terpatri sistem budaya
yang dominan dalam masyarakat tersebut.

Pada flora rumah - rumah tradisional Bugis ada semacam ragam hias yang disebut bnnga parenreng atau bunga melati Ragam hias
ini ditempatkan pada papan jendela, induk tangga atau tutup bubungan

Gambar 10. Ragam Hias Bunga Parereng


Sumber: Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Arti yang dibawakan oleh ragam hias ini adalah rezeki yang tidak putusputusnya, seperti menjalarnya bunga parenreng tersebut.
Dengan pemasangan ragam hias ini di pintu, tangga dan bubungan yang merupakan tempat yang mudah dilihat, selanjutnya akan dapat
menjadi pedoman bagi penghuninya, bahwa rezeki akan murah dan terus menerus jika usaha dijalankan

Dalam alam fauna ada tiga macam ragam hias yang digunakan pada rumah tradisional Bugis. Ragam hias tersebut adalah ragam hias
ayam jantan, ragam hias kepala kerbau dan ragam hias berbentuk naga.
Gambar 11. Ragam Hias Ayam Jantan
Sumber: Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Ayam jantan yang dalam bahasa Bugis disebut manuk merupakan lambang keberanian. Ragam hias ini ditempatkan pada pucuk
bubungan Ragam hias avam jantan ini mempunyai maksud agar kehidupan keluarga dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan tenteram

Gambar 12. Ragam Hias Kepala Kerbau


Sumber: Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Ragam hias kepala kerbau banyak pula didapati. Kerbau itu sendiri bagi orang-orang Bugis merupakan lambang kekayaan dan status
sosial, sehingga arti yang dilambangkan oleh ragam hias ini adalah kekayaan dan status sosial.
Gambar 13. Ragam Hias berbentuk Naga
Sumber: Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan

Naga atau ular besar sering pula dijadikan motif untuk ragam hias. Menurut kepercayaan orang Bugis, naga itu hidup dilangit dan
merupakan perlambang kekuatan yang maha dahsyat. Ragam hias naga ditempatkan pada puncak bubungan rumah atau induk tangga.

Arsitektur tradisional Sulawesi Selatan yang merupakan arsitektur masa lampau menggunakan bahan dan konstruksi yang sangat
sederhana sesuai dengan masanya, yaitu kayu dengan berbagai jenis yang mudah didapatkan, dan karena bentuknya adalah rumah panggung,
sehingga tidak memakai pondasi, tetapi diletakkan diatas batu yang disebut pallangga aliri2
RUMAH BUGIS

Gambar 14 . Rumah Adat Bugis Makassar


Sumber: Arsitektur di Nusantara

Masyarakat Bugis adalah salah satu dari 4 etnis penduduk asli Sulawesi Selatan, dimana ketiga etnis lainnya yaitu : Makassar, Toraja
dan Mandar. Etnis Bugis merupakan yang terbesar dan mendiami lebih dari setengah wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Sehingga oleh karena
itu etnis Bugis mempunyai pendukung yang paling banyak. Salah satu wujud dari ekspresi budaya tradisional Bugis yang masih dapat kita
jumpai adalah Arsitektur tradisional setempat.

Di Sulawesi Selatan, corak arsitektur terbagi atas 2 macam, yaitu Style Bugis - Makassar dan Toraja. Secara fisik etnis Bugis dan
Makassar memiliki gaya arsitektur yang mirip, sehingga umumnya disatukan dengan nama gaya Bugis Makassar. Dalam konsep tradisional
Bugis Makassar, sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga dimensi kosmologis dan filosofis
yang dalam. Budaya dan kepercayaan, dua hal berkaitan menghubungkan antara arsitektur dan bugis

Rumah dianggap sebagai miniatur dan simbol dari Kosmos (Jagad Raya), dimana hirarki Kosmos tampak pada zone vertikal sebuah
rumah tradisional. Rumah juga merupakan simbol eksistensi penghuninya. Dimensi dan lambang - lambang tertentu pada sebuah rumah
adalah cermin status sosial penghuni dalam sebuah komunitas sosial.Rumah adat Bugis Makassar tidak hanya unik karena bentuknya namun
juga karena landasan filosofinya. Bangunan yang kini makin sulit ditemui itu setidaknya menggambarkan 3 hal yakni botting langi (dunia atas),
ale kawa (dunia tengah) dan awa bola (dunia bawah).

Boting langi atau dunia atas menggambarkan bahwa kehidupan diatas alam sadar manusia terkait dengan kepercayaan yang tidak
nampak. Seperti dalam pemahaman budaya Makassar bahwa di dunia atas tersebut bersemayam Dewi Padi. Karena pemahaman inilah maka
banyak masyarakat Bugis yang menggunakan bagian atas rumah sebagai tempat penyimpanan padi dan hasil pertanian lainnya.

Sedangkan ale kawa menunjukkan bahwa di kehidupan manusia selalu terkait dengan aktivitas keseharian. Nah, pada rumah
tradisional Bugis Makassar ada tiga bagian rumah yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti bagian depan yang digunakan untuk
menerima kerabat, bagian tengah untuk ruang tidur dan ruang dalam untuk kamar tidur anak.

Sementara itu, dunia bawah atau awa bola mengacu pada ruangan yang digunakan untuk mencari rejeki seperti tempat menyimpan
alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak. Menariknya, rumah tradisional Bugis Makassar
dapat dibedakan berdasarkan status sosial si empunya. Rumah saoraja adalah rumah besar yang ditempati para keturunan raja atau kaum
bangsawan. Sedangkan bola adalah rumah yang ditempati rakyat biasa. Sebenarnya baik saoraja maupun bola memiliki tipologi yang sama.

Keduanya sama-sama memiliki berbentuk persegi panjang. Hanya saja, saoraja berukuran lebih luas. Atapnya yang berbentuk prisma
– biasa disebut timpak laja – bertingkat-tingkat antara 3 hingga 5 sesuai dengan kedudukan penghuninya. Selain unik secara filosofis dan
bentuk, proses pendirian rumah juga sangat menarik. Si empunya harus meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan
arah yang dianggap baik.

Beberapa prinsip dalam pendirian rumah adalah sebaiknya menghadap matahari terbit, menghadap ke dataran tinggi dan menghadap
ke salah satu arah mata angin. Waktu pendirian rumah juga tidak bisa sembarangan. Biasanya hari atau bulan baik ditentukan oleh mereka
yang memilki kepandaian dalam hal tersebut. Sebelum rumah didirikan didahului dengan upacara ritual yang kemudian diteruskan dengan
mendirikan bagian-bagian rumah secara berurutan. Tiang pusat utama rumah terlebih dahulu dikerjakan, kemudian baru tiang-tiang yang lain.

Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan).
Bentuknya biasanyamemanjang ke belakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan, orang bugis menyebutnya lego

Gambar 15. Tampak samping Rumah adat Bugis


Sumber: Rumah Adat Bugis

Berikut adalah bagian-bagian utamanya :


1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. Tetapi
pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.2.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas
sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya. Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki
kolong

Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta
ini terdiri atas 3 agian,bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawah (paratiwi ). Mungkin itulah yang
mengilhami orang bugis ( terutamayang tinggaldi kampung ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.

Bagian- bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :


1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit langit ( eternit ). Dahulu biasanyadigunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bolaini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah rumah bugis ini adalah bahwa rumahinidapat berdiri
bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murnimenggunakankayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat
/dipindah.
Gambar 16. Pembagian Zona Vertikal Rumah adat Bugis
Sumber: Rumah Adat Bugis

Teridiri atas:
1. Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2. Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3. Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut)

Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan).
Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya
lego - lego ].

Gambar 17. Arsitektur Panggung Khas Adat Bugis


Sumber: Rumah Adat Bugis

Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :


1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi
pada umumnya,terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya
Gambar 18. Denah Rumah Panggung Khas Adat Bugis
Sumber: Rumah Adat Bugis

Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya:
sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah satu arah mata angin. Selain itu salah
satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang
baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.

Dalam pandangan kosmologis Bugis, rumah tradisional mereka adalah 'mikrokosmos' dan juga merupakan refleksi dari 'makro
kosmos' dan 'wujud manusia'.Tradisi Bugis menganggap bahwa Jagad Raya (makro kosmos) bersusun tiga,yaitu Boting langi (dunia atas),
Ale-kawa (dunia tengah), dan Buri-liung (dunia bawah).

Ketiga susun dunia itu tercermin pada bentuk rumah tradisional Bugis, yaitu:
(1) Rakkeang: loteng di atas badan rumah merupakan simbol 'dunia atas',tempat bersemayam Sange-Serri (Dewi Padi). Ruangan ini
digunakan khusus untuk menyimpan padi.
(2) Watang-pola (badan rumah) simbol 'dunia tengah'. Ruangan ini merupakan tempat tinggal. Terdiri atas tiga daerah, yaitu:(a) Ruang
Depan: untuk menerima tamu, tempat tidur tamu, dan tempatacara adat dan keluarga;(b) Ruang Tengah: untuk ruang tidur kepala
keluarga, isteri dan anak-anak yang belum dewasa, tempat bersalin, dan ruang makan keluarga;(c) Ruang Dalam: untuk ruang tidur
anak gadis dan nenek-kakek. Ada bilik tidur untuk puteri, ruang yang paling aman dan terlindung dibanding ruang luar dan ruang
tengah.
(3) Awa-bola: kolong rumah tidak berdinding, simbol 'dunia bawah'. Tempat menaruh alat pertanian, kuda atau kerbau, atau tempat
menenun kain sarung, bercanda, dan anak-anak bermain. Ukuran panjang, lebar dan tinggi rumah ditentukan berdasarkan ukuran
anggota tubuh - tinggi badan, depa dan siku - suami-isteri pemilik rumah. Dengan demikian, proporsi bentuk rumah merupakan
refleksi kesatuan wujud fisik suami-isteri pemilik rumah.

Arsitektur rumah tradisional bangsawan suku Bugis di Sulawesi Selatan merupakan unsur kebudayaan nasional yang memiliki
karakter bentuk fisik, fungsi dan style serta sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Bugis pada masa lalu dimana wujud fisik rumah
tradisional bangsawan Bugis sangat dipengaruhi stratafikasi derajat sosial yang berlaku dimasyarakatnya. faktor-faktor pembentuk yang
berpengaruh terhadap karakter arsitektur rumah tradisional bangsawan Bugisdan ditinjau berdasarkan Spatial system, Phisical system,dan
Stylistic system.Lingkup penelitian ini mencakup basis kerajaan suku Bugis di Kota Adiministratif Bone, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten
Wajo. pembentuk karakter arsitektur rumah tradisional bangsawan Bugis secara spasial tata ruang luar berada pada lahan persegi yang luas
dan dominan berbentuk asimetris yang terdiri atas bangunan induk dilengkapi ruang tambahan yang terpisah dengan tegas sehingga
membentuk massa bangunanyaitu lego-lego dan jongke. Pada tata ruang dalam yang juga luas dengan pengelompokan ruang berdasarkan
perbedaan tinggi lantai ditandai dengan adanya tamping dan pembatas dinding yang tegas, pola tersebut tidak terdapat pada konsep tataruang
dalam rumah Bugis.

Dalam sistim fisik konstruksi dan bahan bangunan yang digunakan terdapat suatu keragaman kerumitan alami dalam suatu
hubungan yang saling berpengaruh serta membentuk keseimbangan dalam satu kesatuan sistem komposisi fasadnya. Dimana modul struktur
alliri kearah panjang dan lebar bangunan tidak sama, jumlah alliri yang lebih banyak serta dimensi alliri yang lebih besar, sedangkan alliri posi
bola tidak ada passu yang kesemuanya merupakan hegemoni kebangsawanan yang tetap dipertahankan, karena setiap elemen-elemen tersebut
dapat mempengaruhi persepsi bagi yang melihat sebesar apa pengaruh seseorang dan setinggi apa status sosialnya dalam masyarakat.

Pada struktur dinding dan konstruksi ujung-ujung balok pattolok riawa serta arateng diukir dengan berbagai ragam hias ciri masing-
masing daerah tempat rumah itu berada. Sedangkan Penggunaan timpa laja lebih dominan sebagai simbol derajat kebangsawanan pemiliknya.
Dalam tatanan komposisi fasad dan elemen-elemen bentuk fasad setiap bangunan menyatakan hirarki melekat dalam fungsi-fungsi yang
dimiliki, para pemakai yang dilayani, tujuan-tujuan atau arti yang disampaikan, lingkup atau konteks yang dipaparkan memunculkan karakter
arsitektur budaya setempat dalam suatu komposisi bangunan dilingkungan mana berada dan siapa pemiliknya.
Setiap budaya memiliki Ciri Khas Rumah Adatnya Masing-masing. Begitu Pula Dengan Bugis, rumah adat bugis itu terdiri dari tiga Bagian.
Yang dimana kepercayaan. Tersebut terdiri atas :

1. Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)


2. Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3. Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) yang masih mempercayai bahwa

Rumah adat suku Bugis Makassar dapat di bedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya, Rumah Saoraja (Sallasa)
berarti rumah besar yang di tempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang di tempati oleh rakyat biasa. Tipologi
kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat
persegi panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan tiang penyangganya, atap berbentuk prisma
sebagai penutup bubungan yang biasa di sebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan
penghuninya

Rumah adat suku bugis baik saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian: Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah,
yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk
menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian. Alle bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan
dinding yang terletak antara lantai dan loteng.Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti
menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya.

Badan rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti: · lotang risaliweng, Pada bagian depan badan rumah di sebut yang berfungsi
sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum
dibawa ke pemakaman. Lotang ritenggah atau Ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya
yang belum dewasa, hubungan social antara sesame anggota keluarga lebih banyak berlangsung disini. · Lontang rilaleng atau ruang belakang,
merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan dapureng
atau jonghe. · Rakkeang ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung,kacang dan hasil
perkebunan lainnya

Sebagaimana halnya unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisionalpun senantiasa mengalami perubahan dan
perkembangan. Hal ini juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa bugis antara lain bola ugi yang dulunya berbentuk rumah
panggung sekarang banyak yang diubah menjadi rumah yang berlantai batu.

Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah
mendirikan rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih dahulu, menyusul pemasangan
tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan.

Seperti kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah
tradisional Bugis-Makassar pada dasarnya terwujud dalam beberapa macam yaitu :
1. Rumah Kaum Bangsawan “Arung” atau “Karaeng”
Untuk rumah bangsawan “Arung” atau “Karaeng” yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih
sambulayang /timpalaja. Tiang kesamping dan kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang
kesamping dan kebelakang 4 hingga 5 tiang.
2. Rumah Orang Kebanyakan “Tosama”
Untuk rumah “Tosama” atau orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak
sambulayang/timpalaja hanya dua susun.
3. Rumah Hamba sahaya “Ata” atau “Suro”
4. Bentuk rumah “Ata” atau “Suro”- hamba sahaya berukuran yang lebih kecil, biasanya hanya terdiri dari tiga petak, dengan
sambulayang/ timpalaja yang polos.

Pada umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga
bagian yaitu :
1. Rakkeang / Pammakkang, terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat atap bertumpu dan menaungi, juga berfungsi
sebagai gudang penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan menjadi tempat
penyimpanan atribut adat kebesaran.
2. Ale bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian ini ada sebuah tiang yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang lainnya.
Ruangannya terbagi atas beberapa petak dengan masing – masing fungsinya. Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas
interaksi penghuni rumah.
3. Awaso / siring, terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat
bertukang, pengandangan ternak, dan lain lain.

Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu :
1. “Lontang ri saliweng/padaserang dallekang”, letaknya diruang bahagian depan.
2. “Lontang ri tengnga/padaserang tangnga”, terletak diruang bahagian tengah.
3. “Lontang ri laleng / padaserang riboko”, terletak diruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian belakang “Annasuang” atau “Appalluang”- ruang dapur, dan ruang
samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut “tamping”, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut “lego-lego” atau
“paladang”- tempat berbincang atau bercengkerama. Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar,
memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis-Makassar terbagi atas :
Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar),
“Pattolo”(Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah.
Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain. “Palangga”(Makassar), “Arateng” (Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya
lebih sedikit dari panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain. Fungsinya yaitu: Penahan
berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah
bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang. Pondasi/ “Umpak”, tempat meletakkan
tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.

Struktur badan rumah, komponen komponen utama bagian ini adalah :


1. Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “Arung”,lantai
rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk
golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.
2. Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok
anak,merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20
hingga 50 cm.

Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil
untuk menahan gaya.

Komponennya terdiri atas : Balok makelar “soddu” atau “suddu”. Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi
sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian
disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung” = ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan “Tosama”
= ½ lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan “Ata” = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.

Kaki Kuda – kuda “Pasolle”. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai penahan bidang atap sistem
konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi
sebagai tempat bertumpunya balok “suddu”, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar
yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen, dimensi balok ± 4/12 cm.

Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar
rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu
maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok
pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander
“Bare” atau “Panjakkala”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok,
pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat,
dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai “Rakkeang” atau “Pammakkang”.

Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan. Sistem
konstruksinya, jepit dan ikat. “Sambulayang” atau “Timpalaja”, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat
berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok
“Pattikkeng”. Les plank “Ciring”, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin
yang berpegang pada balok gording dengan sistem sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap, bahan dari
nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga 40°.
PENUTUP

Kesimpulan

Arsitektur tradisional merupakan faktor budaya yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan suatu suku bangsa.
Karena arsitektur tradisional adalah salah satu identitas usaha budaya, arsitektur tradisional mencakup aspek ideal, sosial, dan material dari
suatu budaya. Unsur budaya ini di hayati, sehingga lahirlah rasa bangga dan cinta terhadap arsitektur tradisional ini. Proses perubahan budaya
di Indonesia khususnya di pedesaan menyebabkan perubahan bentuk budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional.

Suku Bugis dikenal sebagai suku yang suka merantau dan mampu beradaptasi dengan adat istiadat di lingkungan perantauannya
tanpa kehilangan budaya sendiri. Budaya dan kepercayaan, dua hal berkaitan menghubungkan antara Arsitektur dan Bugis. Tumbuh dan
berkembang dalam lingkup masyarakat Bugis yang memegang nilai-nilai luhur telah diturunkan dari generasi ke generasi, melahirkan sebuah
prinsip yang diterapkan dalam membangun sebuah rumah, tempat untuk bernaung. Desa Suku Bugis berasal dari Sulawesi Selatan, memiliki
ciri utama pada bahasa, adat kepercayaan dan istiadatnya yang salah satunya tercemmin dalam rumah dari suku bugis, sebagai contohnya
terletak di Desa Belae, Biraeng, Minasatene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Rumah Bugis dibagi menjadi dua unit bangunan yakni, Rumah Sao-raja (Sallasa) yang didiami keluarga bangsawan (Anakarung) dan
Rumah Bola yang didiami rakyat biasa. Filosofi hidup masyarakat Bugis-Makassar disebut “sulapa appa” yang menunjukkan upaya untuk
menyempurnakan diri. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk “segi empat”.
Filosofi ini bersumber dari mitos asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api dan angin. Sehingga
Bentuk denah persegi empat didasari pada pandangan bentuk sulapa eppa dimana secara horizontal dianggap sebagai diri manusia yaitu ada
kepala, badan dan kaki

Secara keseluruhan bagian Rumah Adat Bugis terbuat dari kayu dengan atap berbentuk prisma (pelana), dan memakai tutup
bubungan yang disebut Timpa Laja. Ukuran panjang, lebar dan tinggi Rumah Adat Bugis berhubungan dengan bagian-bagian badan manusia
yang dimana ukuran rumah dianggap sangat berpengaruh terhadap nasib serta keberuntungan dari penghuni rumah. Omamen hias pada
arsitektur adat Bugis bersumber dari alam sekitar, pada bagian atas menggunakan ornamen motif ayam jantan (manu), motif kepala kerbau
(ulu tedong), motif ular naga (naga), motif bunga parenreng dan motif bulan bintang. Sedangkan pada badan rumah menggunakan motif
pucuk rebung/jantung pisang (cobo') dan motif geometris. Bagian bawah menggunakan motif bunga parenreng dan ular naga. Bunga
Parenreng merupakan jenis bunga yang hidup menjalar dan dimaksudkan agar penghuni rumah mendapatkan rezeki yang tidak putus-
putusnya. Peletakan umumnya terdapat pada jendela, induk tangga serta Timpa Laja. Motif Bunga Parenreng Motif Ayam Jantan Sedangkan
ornamen fauna yang digunakan ada tiga macam diantaranya adalah ayam jantan yang bermakna keuletan dan keberanian, kepala kerbau
dengan makma simbol kekayaan atau simbol status pemilliknya serta naga yang memiliki makna wanita lemah lembut tetapi memiliki
kekuatan. Ornamen fauna biasa diletakkan pada Timpa Laja.

Pembagian zona secara vertikal rumah Bugis merupakan perwujudan dari penggambaran alam semesta oleh masyarakat Bugis,
Botting Langi (alam atas), Ale-Bala (alam tengah) dan Awa Bola (alam bawah). Pembagian Ruang secara Horisontal dimana bagian atas
(Rakkeang), biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru dipanen. Bagian tengah (Ale Bola): bagian dimana yang menjadi tempat
tinggal, serta Bagian bawah atau kolong (Awa Bola) yang berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas untuk naik ke atas, atau pada
zaman sekarang digunakan untuk menempatkan kendaraan pribadi.

Pembagian ruang secara horisontal dimana "Lontang Risaliweng" (ruang depan) Merupakan ruang yang bersifat semi privat,
"Lontang Retenggah/Latte Retengngah" (ruang tengah) Suasana kekeluargaan pada ruang ini sangat kental sehingga bersifat privat, "Lontang
ilaleng" (Latte Rilaleng) Ruang yang memiliki sifat sangat privat, "Lego-lego" (Teras) Lego-lego berfungsi sebagai tempat untuk menerima
tamu dan "Tamping" Tamping merupakan ruang yang berfungsi untuk kegiatan memasak dan mencuci.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi Ady. (1997). BAB III ARSITEKTUR TRADISIONAL DAN KONTEKSTUAL. Asrama Pelajar dan Mahasiswa Sulawesi Selatan
di Yogyakarta.

Sukawi. (2010) ADAPTASI ARSITEKTUR SASAK TERHADAP KONDISI IKLIM LINGKUNGAN TROPIS. Jurnal Berkala Teknik.

Sulawesi Djaeli (2012). ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN. Diakses pada 23 Februari 2023, dari
https://harapandjaeli.blogspot.com/2012/12/arsitektur-tradisional-sulawesi-selatan.html

Rosyidah Sitti. (2009). KETERKAITAN KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH BUGIS DENGAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN PENGHUNI (Studi Kasus di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng Sulawesi selatan)

Mardanas dkk. (1985). Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud

Raodah. (2012). BALLA LOMPOA DI GOWA (Kajian Arsitektur Tradisional Makassar). Vol. 4, No. 3, September 2012: 378-390.

Rahmansah. Bakhrani Rauf. (2014). ARSITEKTUR TRADISIONAL BUGIS MAKASSAR (Survei pada Atap Bangunan Kantor di Kota
Makassar). Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014

Firdha Ayu Atika. (2018). TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTUR RUMAH ADAT BUGIS DI JALAN USMAN SADAR III/36,
GRESIK

Tato, S. (2008). Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan dari Masa ke Masa.

Imriyanti. Shirly Wunas. Mimi Arifin. Idawarni J. Asmal. (2017).Telaah Wujud Kebudayaan dalam Arsitektur Tradisional Makassar.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta

Imriyanti. (2020). AKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL MAKASSAR BERBASIS PERUMAHAN PRODUKTIF SEBAGAI
MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN HUMANIS (Kasus: Permukiman Pengolah Batu Bata di Kabupaten Gowa).

Mardanas, Izarwisma et.al. (1985). Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.Direktorat Jenderal Kebudayaan, Publikasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Arsiterian.tk (2016). KONSEP KOSMOGONI MAKASSAR / RUMAH ADAT MAKASSAR. Diakses pada 23 Februari 2023, dari
https://arsiteriania.blogspot.com/2016/04/konsep-kosmogoni-makassar-rumah-adat.html.

Makassar Guide. (2015). Mengenali Rumah Adat Bugis Makassar. Diakses pada 23 Februari 2023, dari
https://www.makassarguide.com/2015/03/mengenali-rumah-adat-bugis-makassar.html

Nur Alfinah. (2017). Makalah Rumah Adat Suku Bugis

Sani, Andi Asrul, Bambang Supriyadi dan R.Siti Rukayah. (2015). Bentuk Dan Proporsi Pada Perwujudan Arsitektur Vernakular Bugis. Jurnal
Teknik Sipil &4 Perencanaan. Volume 17(2): 99-100.

Marwati, Kurniati Rizka Rishalatul Qur'ani. (2016). Pengaruh Adat Terhadap Fasad Rumah Tradisional Bugis Bone. Jurnal Teknosains. Vol.
10(1): 69–88.

Gunawan, Y. (2015). Budaya Tektonika Bugis di Kabupaten Bone.

Nurhuzna, Artiza dkk, (2012). Transformasi Fungsi Dan Bentuk Arsitektur Bugis-Makassar Di Pesisir Pantai Buti Merauke, Makassar, Unhas

Hartawan dkk. 2015. Perubahan Sistem Struktur Bangunan Rumah Bugis Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Rian Hidayat, (2017). Makalah Suku Bugis. Dikutip dari https://www.academia.edu/36168656/MAKALH_SUKU_BUGIS. Diakses pada
23 Februari 2023.

Ismail Suardi Wekke. (2013). Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama Dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Analisis. Vol. 13(1):
28-35.

Etta Adil. (2018). Rumah Adat, Tradisi Menre' Bola, dan Dapur Orang Bugis Makassar di https://palontaraq.id/2018/04/24/rumah-adat-
tradisi-menre-bola-dan-dapur-orang-bugis-makassar Diakses pada 23 Februari 2023
Wasilah, A. Hildayanti, (2016). Filosofi Penataan Ruang Spasial Vertikal Pada Rumah Tradisional Saoraja Lapinceng Kabupaten Barru. Jurnal
RUAS, Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702.

Hasan, Raziq, Hendro Prabowo. (2002). Perubahan Bentuk dan Fungsi Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara, Jakarta
Utara (Form and Function Change of the Buginese Traditional Architecture At Kamal Muara Coastal Area, North Jakarta.
Department of Architecture Gunadarma University Jakarta,Indonesia

Kemendikbud. (2014). Menre Bola Baru (Upacara Adat Bugis Naik Rumah). https/kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/menre-bola-
baru-upacara.

Anda mungkin juga menyukai