Anda di halaman 1dari 9

FAKTOR SOSIAL DAN KEBUDAYAAN SEBAGAI

PEMBENTUK ARSITEKTUR

Ressy Wulandari
Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan – UPI, Bandung, Indonesia

Abstrak - Arsitektur tidak akan pernah bisa lepas dari faktor-faktor geografis yang
mempengaruhinya sejak dulu. Salah satunya adalah social dan budaya. Di sisi lain, sosial
dan budaya pun memiliki ketergantungan terhadap arsitektur walaupun tidak terlalu besar
pengaruhnya. Arsitektur merupakan suatu fenomena budaya yang memiliki hal-hal
berkaitan di dalamnya. Arsitektur sendiri dapat tersusun dan terbentuk oleh kebudayaan
masyarakat disekitarnya dan kehidupan sosial yang terjadi secara berulang atau dapat
disebut dengan Arsitektur Vernakular. Oleh, karena itu, arsitektur memiliki makna lebih
selain sebagai kegunaan dan bentuk fisiknya. Arsitektur mencerminkan kebiasaan dan
kebudayaan manusia yang dicerminkan dalam bentuk fisik. Arsitektur telah menjadi
refleksi bagaimana cara manusia menyesuaikan dirinya serta belajar dari keadaan
lingkungan alam di sekitarnya. Kebudayaan beserta dengan produknya berarti arsitektur
telah menjadi jendela dalam mengkaji masyarakat pada suatu lingkungan yang
mempunyai ciri khas atau karakter menarik. Arsitektur Tradisional di Indonesia
merupakan salah satu bentuk arsitektur yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan
kebudayaan. Budaya konsep maupun budaya material tidak cukup hanya untuk dikaji dan
diungkapkan secara kontekstual saja namun penting untuk didokumentasikan dan
direalisasikan dalam bentuk fisik untuk menambah kekayaan informasi dan dokumentasi
budaya dan arsitektur dimasa mendatang demi perkembangan teknologi arsitektur.

Kata Kunci – arsitektur, sosial budaya, vernakular

Pendahuluan

Beragamnya kebudayaan dan rekatnya hubungan sosial diantara masyarakat Indonesia


membuat saya penasaran dengan Arsitektur Indonesia yang pastinya juga beragam
karena dipengaruhi kedua hal tersebut. Sehingga membuat saya meneliti Arsitektur di
Indonesia yang dipengaruhi oleh Sosial serta Kebudayaannya.

Pada mulanya manusia beserta nalurinya dapat membuat suatu bangunan berdiri dan
dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Tanpa adanya
Faktor geografis yang mempengaruhi baik dari segi sosial maupun budaya. Sedangkan
makin kesini pengaruh sosial dan budaya semakin erat kaitannya dengan dunia Arsitektur.
Sosial dan budaya sudah menjadi ciri khas tersendiri bagi suatu bangunan Arsitektur.

Di masa modern ini Perkembangan model Arsitektur sangatlah beragam. Bermacam-


macam bentuk bangunan sekarang dapat kita lihat dari mulai perkotaan sampai pedesaan
sekalipun. Banyak orang yang berlomba-lomba ingin memiliki hunian ataupun kantor
dengan design modern kekinian yang dapat membuat nyaman orang yang menempatinya.
Sebagai contoh sekarang sedang banyak hunian yang mengusung tema green house atau
Rumah hijau. Rumah dengan Arsitektur modern dan minimalis yang di dalam nya
dipadukan dengan ruang terbuka yang penuh dengan tumbuhan hijau sehingga
menimbulkan kesan rileks kepada setiap orang yang berada di dalamnya.

Tapi, tak jarang banyak orang yang melalaikan kondisi sosial dan budaya di lingkungan
sekitar. Padahal itu merupakan hal penting didalam dunia Arsitektur. Bangunan tidak akan
nyaman Ketika ditempati bagaimanapun arsitekurnya jika tidak sesuai dengan keadaan
sekitar. Hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan sang pemilik maupun warga sekitar.
Misalkan kita berada di lingkungan komplek rumah tradisional jawa maka tidak mungkin
jika kita membangun rumah bernuansa Modern didaerah sana karena ada budaya yang
mengikatnya.

Metode Penulisan

Penulisan artikel ini diawali dengan membaca dan mempelajari berbagai jurnal sebagai
acuan. Gagasan-gagasan pokok yang sudah terangkum didalam jurnal-jurnal yang saya
baca akan saya bandingkan satu sama lainnya, lalu saya juga melakukan research lebih
mendalam lagi sehingga saya dapat memastikan kebenaran yang terjadi dengan apa yang
saya dapatkan dari mereview jurnal. Setelah itu gagasan-gagasan tersebut akan saya
susun menjadi sebuah bentuk argument. Kemudian gagasan tersebut saya lihat
penerapan yang sebenarnya di kehidupan nyata. Metode ini biasa disebut dengan metode
kajian Pustaka.

Kajian Teori
PENGERTIAN SOSIAL BUDAYA

Andreas Eppink berkata bahwa Sosial budaya atau kebudayaan merupakan segala
sesuatu atau nilai yang diterapkan dalam sebuah masyarakat yang kemudian menjadi ciri
khas dari masyarakat tersebut. Sosial budaya merupakan suatu hubungan individu
maupun kelompok dalam kumpulan masyarakat yang diterima oleh sebagian besar
masyarakat karena berdasar kepada nilai-nilai budaya yang sudah menjadi bagian pola
hidup sehari-hari masyarakat itu sendiri.

Budaya

Budaya merupakan suatu integritas dari pola perilaku manusia yang tergambarkan melalui
seni, keyakinan, institusi-kelembagaan, karya pikir dan benda yang dihasilkan. Semua pola
ini mengekspresikan zaman, kelas masyarakat dan populasi tertentu.(Nuryanto, 2010)

Kebudayaan

Kebudayaan dapat dikatakan sebagai ciri manusia yang berakal atau berilmu. Peradaban
manusia dilahirkan lewat kebudayaan. Karena itu pun kebudayaan telah menjadi bagian
penting dari bahasan tentang manusia di dalam pengaturan sosial.

Kebudayaan memiliki arti yang cukup luas, penjelasannya bergantung kepada tujuan
bahasan, bidang atau penelitian yang dilakukan mengenai kebudayaan. Ada 3 Konsepsi
atau gagasan kebudayaan yang memiliki sifat materialis menyatakan bahwa kebudayaan
itu adalah suatu sistem hasil penyesuaian manusia kepada lingkungannya agar dapat
mempertahankan kehidupan mereka, ini disebut dengan Sistem Adaptif. Gagasan
kebudayaan ini mengkaji kebudayaan dari objek yang teraga. Pada sisi lain ada gagasan
kebudayaan yang memiliki sifat idealistis yaitu kebudayaan yang lebih memfokuskan apa
yang terdapat dalam akal manusia. Faham kebudayaan ini memiliki penilaian bahwa
fenomena luar merupakan perwujudan dari yang dalam.(Agung, 2010)
RUANG, MANUSIA, DAN KEBUDAYAAN

Ciri khas ruang serta bentuk rumah tinggal dan bangunan sebagai ketentuan dari budaya
yang diciptakan oleh manusia bisa dipergunakan untuk melihat derajat peradaban dan
kebudayaan manusia yang hidup pada saat itu(Kartono, 1999). Bangunan yang dihasilkan
pada masa itu tidak mungkin tidak mencerminkan kebudayaan yang berkembang pada
masanya. Jika suatu bangunan bertentangan dengan kebudayaan masa itu maka
keberadaan bangunan tersebut eksistensi nya tidak akan bertahan lama, eksistensi
bangunan tersebut akan kalah seiring dengan perkemangan budaya yang terjadi pada
masa itu. Itulah kenapa suatu ruang dan bangunan yang tercipta pastilah berhubungan
dengan kebudayaan yang sedang berlangsung.

Hasil pembangunan tempat bernaung yang dibangun mengungkapkan tingkat


kebudayaan manusia yang dimiliki masyarakat pada zaman itu. Kesulitan suatu ruang dan
penyelesaian pola arsitektur rumah dan gedung yang terwujud menyebabkan terjadinya
perbedaan pemahaman yang lumayan mendasar dalam hal memakluminya alhasil akan
tumbuhlah permasalahan.(Kartono, 1999)

Fletcher,(1938) telah menstrukturisasikan perkembangan sumber kearsitekturan


dengan “tree of architecture” atau pohon arsitektur, terdapat 6 jenis aspek yang memegang
kendali rupa arsitektur antara lain: geografi, geologi, agama, iklim, sosial dan sejarah.
Secara konseptual hal ini menunjukkan bahwa suatu wujud arsitektur sangatlah konseptual
dan heterogen, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

HUNIAN DAN KEBUDAYAAN

Menurut Rappoport (1981), arsitektur merupakan ruang loka hayati insan yg lebih
berdasarkan sekedar bukti diri fisik, akan tetapi jua meliputi tradisi-tradisi budaya dasar.
Pranata ini meliputi; rapikan alur kehidupan sosial & budaya dalam rakyat, yg mewadahi &
sekaligus mensugesti arsitektur. Pada masa lampau pembangunan tempat tinggal dapat
menjadi perindikasi adanya suatu kehidupan & kegiatan rakyat penghuninya. Kehidupan
dipengaruhi sang agama, kebudayaan & rakyat, dengan tempat tinggal pada hal ini adalah
hunian yg menggenggam peranan sangat krusial pada penciptaan jatidiri insan, lantaran
tempat tinggal adalah loka dimana pertama kali insan mengenal alam &
lingkungannya.(Ode et al., 2019)

Kartono (2000) menyatakan bahwa tradisi menghuni dalam aneka macam rakyat
mempunyai corak yang beranekaragam sinkron menggunakan kebudayaan yang
dipegang masyarakatnya. Dari loka bernaung elementer berupa goa, tenda, hingga
menggunakan bentuk tempat tinggal yang diketahui masa ini. Kebutuhan insan terhadap
loka tinggal, apabila padaperhatikan berdasarkan strata & budaya rakyat penggunanya,
berdasarkan Maslow (1954) dihasilkan terdapat 6 klasifikasi, yaitu: (1) psychological needs
(kebutuhan psikologi seperti beristirahat, makan, minum), (2) paling aman and security
needs (Identitas keamanan terhadap, pencurian, cuaca), (3) affiliation/social needs
(kebutuhan berhubungan sosial antar insan), (4) self-esteem needs (kebutuhan
penghargaan, peran dan status), (5) self actualization needs (kebutuhan terhadap
aktualisasi aktualisasi diri) & (6) cognitive and aesthetic needs (kebutuhan terhadap nilai &
rasa estetika).(Kartono, 1999).

Rumah menjadi hunian adalah cerminan berdasarkan interaksi diantara kebudayaan &
lingkungan, dimana dapat ditinjau bagaimanakah sebuah kebudayaan yang terhubung
menggunakan lingkungannya.
ARSITEKTUR DENGAN KEBUDAYAAN MANUSIA

Arsitektur suatu rumah atau bangunan akan memberitahukan & mengidentifikasi banyak
hal, yaitu iklim & faktor lingkungan, kebudayaan yg berkembang, asal teknologi yg terdapat,
struktur famili & kekerabatan, agama, kosmologi serta etos yg dianut sang rakyat
penghuninya. Sesuatu yg didapatkan sang insan ini terbentuk lantaran ideologi, ekonomi,
sosial & budaya insan atau menggunakan istilah lain dampak sosial budaya manusianya.

Arsitektur suatu bangunan adalah suatu kenyataan budaya, yg mana bentuk &
organisasinya sangat ditentukan sang kebudayaan dimana dia berada. Oleh karena itu,
lingkungan fisik yang tercipta akan menggambarkan kekuatan sosio-kultural, seperti adat,
interaksi kekerabatan, organisasi sosial, cara hayati, kepercayaan, & interaksi sosial antar
individu. (Rahardjo, 2006)

Dalam konteks perwujudan bentuk arsitektur berupaya hadir sebagai aktualisasi diri
budaya rakyat setempat, nir hanya yg menyangkut fisik bangunannya saja, namun jua bisa
sebagai semangat & jiwa yg terkandung pada dalamnya. Hal ini mempetegas bahwa begitu
pentingnya rumah atau hunian bagi insan, & mereka jua masih mengikuti anggaran-
anggaran yg berlaku dan pola-pola yg sudah padatanamkan semenjak jaman dahuulu.
Aturan-anggaran tadi lantaran terus dipakai secara berulang, akhirnya sebagai sesuatu yg
baku, seperti anggaran anggaran terhadap alur massa, atau anggaran terhadap bentuk,
struktur bangunan, juga ornament yg menciptakan arsitektur bangunan tadi. (Mentayani &
Muthia, 2017)

Pada dunia arsitektur terdapat konsep yang mengkolaborasikan arsitektur beserta alam
sekitar, yeitu melestarikan potensi budaya dan keadaan sosial budaya sekitar yang ada,
yang dikatakan juga arsitektur vernakular. Rancangan arsitektur suatu bangunan akan
disesuaikan dengan alam melalui bentuk bangunan design interior dan eksterior, struktur
bangunan, system uttilitas bangunan hingga penggunaan materialnya. Selain disesuaikan
dengan kondisi alam dan kebudayaan setempat, arsitektur ini pun disesuaikan dengan
iklim lingkungan setempat. (Permana, 2011)

Berdasarkan penuturan Anselm (2006) arsitektur vernakular menegaskan kepada


tradisi serta keadaan sosial budaya masyrakat untuk ketentraman manusia yang
menghuninya. Oleh karena itu, arsitektur suatu bangunan dalam suatu daerah dapat
memiliki model yang sama, namun berbeda dengan daerah lainnya, karena keadaan sosial
budaya dari mereka sendiri masing-masing berbeda.

Permasalahan yang biasanya ada dan paling fundamental pada arsitektur merupakan
ketidak berlanjutannya kebudayaan diakibatkan oleh adanya kesenjangan diantara
konsepsi-konsepsi baru dan konsep terdahulu yang masih mampu bertahan. Kondisi
seperti ini dapat mengakibatkan memudarnya budaya lokal sehingga terjadilah ketiadaan
identitas kebudayaan yang berdampak kepada nasib kelanjutan kebudayaan. Jika hal
tersebut terjadi secara kontinu tanpa adanya solusi pemecahan maka akan mengakibatkan
lebih sulit dalam mencari solusinya di kemudian hari.

PERAN SOSIAL DAN BUDAYA TERHADAP LINGKUNGAN

Pada zaman dahulu pendirian suatu tempat tinggal dapat menjadi perindikasi adanya
kehidupan & kegiatan warga penghuninya. Sebuah kehidupan dipengaruhi sang agama,
kebudayaan & warga, dimana tempat tinggal pada hal ini merupakan hunian
yg memegang peranan yg sangat krusial pada pembentukan jatidiri insan, lantaran tempat
tinggal adalah loka dimana pertama kali insan mengenal alam & lingkungannya. (Rahardjo,
2006)
Peranan budaya pada suatu lingkungan binaan dapat kita lihat berdasarkan 3 (tiga)
sudut pandang yang berbeda, yaitu: loka yang melingkupi ciri lokasi, topografi, kekhasan
syarat alam, iklim, & sebagainya, gerombolan yang melibatkan tokoh yang terlibat,
kebutuhan, impian & lain sebagainya serta kenyataan tingkah laris sosial yg menyangkut
istinorma istiadat, religi, ritual & lain sebagainya. Sedangkan pada sistem religi masih ada
komponen-komponen khusus, yaitu: emosi, keyakinan, upacara keagamaan & kesatuan
umat. Hubungan antara lingkungan menggunakan proses konduite individu pada
lingkungan hunian akan membuat skemata pemanfaatan lingkungan yaitu: (1) pengaturan
fisik yg akan menghipnotis persepsi, kognisi & afeksi, respon emosi, konduite spasial dan
pandangan terhadap output konduite, (2) pengaturan sosial yg menghipnotis kebutuhan
dan motivasi

ARSITEKTUR TRADISIONAL NUSANTARA SEBAGAI CONTOH PENGARUH SOSIAL


BUDAYA TERHADAP ARSITEKTUR

Nusantara atau Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang menjadi


percampuran budaya kehidupan manusia pada abad pra sejarah. Percampuran budaya ini
alhasil membentuk sebuah penyebaran budaya yang beragam terhadap seluruh wilayah
Nusantara. Keragaman budaya arsitekturnya juga mempunyai perjalanan yang sangat
lama diantara banyaknya budaya suku di Nusantara ini. Hasil perwujudan budaya tersebut
merupakan sebuah kekayaan arsitektur yang sangat mengagumkan.(Wardiningsih, 2015)

Keberagaman arsitektur tradisional yang terdapat di Indonesia menjadi aset budaya


yang memikat untuk diteliti, utamanya didalam hubungan serta proses modernisasi &
penyesuaian diri dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. ss

Kebudayaan arsitektur nusantara yg juga mempunyai kelebihan & berdasarkan dalam


kearifan lokal sebagai akibatnya bisa memberikan kesan untuk kehidupan manusia.
Perwujudan arsitektur ditimbang berdasarkan pandangan filsafat manusia, sebagai
akibatnya bisa diketahui terdapatnya nilai-nilai religius yg melandasi ungkapan tadi
terkandung pada keberagaman saat mewujudkan karya arsitektur nusantara. Faktor
keberagaman dalam setiap bentuk arsitektur Nusantara ini, terjadi lantaran motif
kebudayaan dan lingkungan sebagai akibatnya terjadi disparitas dalam wilayah tadi.
(Wardiningsih, 2015)

Arsitektur Tradisional Nusantara pada umumnya merupakan arsitektur yang terlahir


dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya kebudayaan di Indonesia. Apalagi jika kita
mengunjungi pedesaan atau tempat-tempat yang cukup jauh dari perkotaan maka akan
banyak ditemui rumah-rumah atau bangunan lain yang masih menggunakan arsitektur
tradisional sesuai dengan kebudayaan yang mereka anut. Namun, seiring berjalannya
waktu dan kemajuan teknologi yang terjadi membuat kebudayaan dan tata cara hidup
masyarakat Nusantara juga ikut berubah. Dengan demikian, arsitektur tradisional di
Nusantara ini secara perlahan mulai pudar eksistensinya. Arsitektur di Nusantara pun
dipengaruhi oleh gaya Aarsitektur modern yang dibawa oleh pengaruh
globalisasi.(Wardiningsih, 2015)

Rapoport (1990) menerangkan arti arsitektur tradisional lingkungan (vernacular


environment) terbagi pada 2 jenis yaitu ciri proses & ciri produk. Karakteristik proses
mengaitkan interaksi menggunakan bagaimana proses terbentuknya lingkungan,
bagaimanakah lingkungan itu tercipta, proses penciptaan termasuk pada dalamnya proses
tidak sadar diri perancang (un-selfconscious); sedangkan ciri produk akan bekerjasama
erat menggunakan bagaimana karakteristik-karakteristik lingkungan tersebut, persepsi
pemakai, kualitas lingkungan, dan aspek keindahan bangunan. (Prasetya, 2007)

Rapoport (1969) jua memecah arsitektur tradisional warga pada 2 bagian yaitu
arsitektur primitif & arsitektur vernakular. Arsitektur vernakular sendiri oleh Rapoport
digolongkan sebagai 2 bagian berbeda lagi yaitu vernakular tradisional & vernakular
popular. Budaya vernakular berdasarkan Rapoport (1969) adalah cara hayati yg
mendasarkan diri dalam tradisi & aktivitas turun temurun, budaya vernakular jua
menunjukan bahwa bukti diri insan dipengaruhi sang kehadirannya pada grup mini atau
famili besar. Bangunan vernacular itu sendiri bisa diartikan menjadi bangunan yg terbentuk
lantaran latar belakang sosial budaya warga sekitarnya. (Prasetya, 2007)

Arsitektur tempat tinggal tradisional adalah suatu wujud bentuk tempat tinggal karya
insan, adalah galat suatu sistem kebudayaan yg ikut tumbuh & berkembang bersamaan.
Seiring menggunakan pertumbuhan & perkembangan kebudayaan suatu warga , suku
atau pun bangsa yang unsur-unsur dasarnya permanen bertahan pada kurun saat yang
lampau & permanen sinkron menggunakan perkembangan & pertumbuhan kebudayaan
suatu warga, suku atau bangsa yg bersangkutan. Oleh karena itu, arsitektur tradisional
adalah galat satu bukti diri menjadi pendukung kebudayaan warga , suku atau bangsa
setempat. (Prasetya, 2007)

Pada ketika ini warga tradisional telah mengalami proses globalisasi menjadi dampak
menurut adanya perkembangan teknologi, & proses akulturasi budaya pun tidak dapat
dihindari & sebenarnya tidak wajib mencoba bertahan lantaran setiap kebudayaan
mempunyai cara sendiri buat menyeleksi nilai-nilai/ kebiasaan-kebiasaan mana yg bisa
diserap & mana yg wajib ditolak. (Prasetya, 2007)

ARSITEKTUR KAMPUNG NAGA SEBAGAI CONTOH ARSITEKTUR TRADISIONAL

(Sumber: Padma, 2001: 11).

Kampung Naga merupakan kawasan perkampungan pedalaman di


kawasan Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perkampungan ini tidak jauh berbeda dengan perkampungan lainnya di Indonesia. Para
penduduknya memiliki kebiasaan hidup yang apik dan rapi, berbaur dengan alam dan
lingkungan sekitar mereka. Mereka merupakan penduduk yang tergolong awam dan
terbelakang terhadap perkembangan teknologi diluar sana memiliki prinsip dan mutu
sederhana yang dapat ditafsirkan menjadi suatu kebersahajaan, sebagai akibatnya pada
kehidupan mereka tidak terdapat cita-cita berlebih pada memenuhi kebutuhan hidup, yang
nantinya dibutuhkan akan melindungi penduduk Kampung Naga menurut impak luar yang
negatif yang bisa menggeser nilai-nilai kehidupan mereka. Menurut (Padma, 2001) Konsep
warisan leluhur seperti ini bisa terwujud hingga dalam kehidupan bermukim melalui aturan-
aturan khusus tertentu, sebagai akibatnya secara fisik terlahirlah sebuah Kampung
menggunakan tempat tinggal -tempat tinggal seragam yang sarat menggunakan makna
dibaliknya.(Maslucha, 2011)

Kawasan Kampung Naga dibagi kedalam 3 bagian utama yaitu Kawasan


permukiman, Kawasan hutan, dan Kawasan luar kampung. Kawasan pemukiman terdiri
dari bangunan pemukiman beserta bangunan penyangga pemukiman seperti masjid, leuit
(lumbung), bale patemon ( balai pertemuan) dan rumah benda keramat.
Para masyarakat Kampung Naga pun memanfaatkan potensi alam yang ada disekitar
mereka untuk kebutuhan hidup mereka. Seperti pada material yang digunakan pada rumah
disana, mereka memanfaatkan bahan-bahan alam seperti rotan, kayu, ranting, bambu, dan
lain-lain secara tidak berlebihan. Sehingga hal ini menyebabkan keadaan lingkungan alam
disekitar mereka terjaga dengan baik dan seimbang karena adanya daur kehidupan yang
jelas dan saling menguntungkan. Dapat dilihat bahwa telah terjadi suatu hubungan timbal
balik yang saling menguntungkan antara lingkungan dan manusia. Perilaku ini
membuktikan bahwa lingkungan yang dibangun tidak hanya berpengaruh pada perilaku
manusia didalamnya (architectural determinism) berpengaruh pada desain arsitektur di
daerah tersebut. (Maslucha, 2011)

Sumber: jurnal.unpand.ac.id

Bangunan rumah yang ada di Kampung Naga tidak sembarangan saat dibangun,
terdapat beberapa aturan yang harus dipenuhi seperti rumah tersebut harus dibangun
diatas tanah dan saling membelakangi atau berhadapan, bentuknya haruslah memanjang
dari barat ke timur dan pintu rumahnya haruslah menghadap utara atau selatan. Hal ini
juga terjadi pada kondisi rumah yang berdampingan, sisi yang berdampingan haruslah
bagian yang sama dengan dengan rumah disebelahnya yaitu bagian ruang tamu. Rumah
di Kampung Naga akan berdampingan dengan bagian ruang tamu rumah yang lainnya,
begitu pula dengan posisi dapur akan berdampingan lagi dengan dapur. Rumah nya pun
berbentuk rumah panggung (tidak menyentuh tanah) hal ini dikarenakan menurut mereka
manusia yang masih hidup tidak tinggal ditanah(dikubur) dan juga tidak di langit, tetapi
ditengah antara tanah dan langit. (Hermawan, 2014)

Rumah di Kampung Naga yang memanjang dari Barat ke Timur dan Rumah Panggung
( sumber : disparpora.tasikmalaya.go.id )

Terdapatnya peraturan mengenai daerah kotor dan daerah bersih yang menengahi
kegiatan yang kotor seperti kandang hewan serta kegiatan manusia di kamar mandi
dengan kegiatan bersih lainnya dan peraturan mengenai siklus makanan yang disusun
secermat mungkin mempengaruhi terhadap tata letak dan kondisi permukiman mereka,
sehingga lingkunagan mereka senantiasa bersih dan teratur. Dengan ini, dapat dibuktikan
bahwa sistem teknologi sebagai salah satu unsur kebudayaan dari suatu masyarakat
sangat berpengaruh pada desain permukiman mereka secara arsitektural.(Maslucha,
2011)

Di pada tempat tinggal warga Kampung Naga ini juga masih terdapat tata cara atau
yang mengharuskan adanya pemisahan zona perempuan & laki-laki yg diterapkan dalam
rapikan ruang pada tempat tinggal tinggal mereka. Zona perempuan terletak pada sebelah
kanan tempat tinggal yg masih ada pawon (dapur) & goah. Sedangkan tempat tinggal
sebelah kiri yaitu tepas & golodog merupakan wilayah yang sering dipakai sang pria. Selain
itu masih ada pangkeng (ruang tidur) dan tengah imah (ruang tengah) yang merupakan
wilayah netral (wilayah laki-laki & perempuan ). Hal ini sejalan menggunakan anggaran yg
terdapat didalam kepercayaan Islam buat memisahkan pria & perempuan. Lantaran
keseharian mereka yang lekat menggunakan kepercayaan, maka tidak heran apabila
bangunan tempat tinggal mereka arsitekturnya tidak tanggal menurut anggaran sosial &
religi yang menciptakan gaya tempat tinggal mereka khas.(Maslucha, 2011)

Denah rumah Kampung Naga (Sumber : Padma, 2001: 21).

Semua bangunan yang dibangun di lingkungan Kampung Naga haruslah


mengikuti pentunjuk yang telah diturunkan oleh para leluhur mereka. Seperti hingga saat
ini berdasarkan pintu masuk, rumah di Kampung Naga dibagi kedalam dua jenis, yaitu
Rumah pintu satu (Bumi panto hiji) atau bisa disebut dengan rumah yang belum direnovasi
dan rumah pintu dua (bumi panto dua) atau disebut dengan rumah yang sudah direnovasi).
(Hermawan, 2014)

Rumah pintu satu merupakan bangunan rumah yang paling tua, bagian ini terdiri
atas dapur, goah, dan kamar. Sedangkan rumah pintu dua bangunannya telah mengalami
renovasi secara menyeluruh, ukuran bangunannya pun lebih luas dibanding dengan rumah
pintu satu. Tatanan arsitektur bangunan ini sudah lebih modern. Lantai rumah nya sudah
menggunakan papan meskipun bagian dapur masih menggunakan tanah, memiliki
jendela, dan tidak lagi menggunakan bilik tetapi sudah menggunakan kayu. (Hermawan,
2014)

Selain rumah penduduk ada juga bangunan yang disebut dengan Bumi Ageung
yang merupakan rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumah penduduk. Hanya saja
ada perbedaan pada bahan bangunan yang digunakan, yaitu dindingnya yang
menggunakan bilik anyaman dan tidak memiliki jendela. Bangunan ini berfungsi sebagai
penyimpanan benda-benda pusaka warisan leluhur.(Hermawan, 2014).
KESIMPULAN

Berdasarkan kepada materi yang telah dijabarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
memang sosial dan kebudayaan sangat berperan penting sebagai pembentuk Arsitektur
keadaan Sosial dan juga kebudayaan yang terjadi disekitar masyarakat membuat
Arsitektur ditempat tersebut haruslah sesuai dengan itu semua. Karena, jika suatu
bangunan bertentangan dengan kebudayaan masa itu maka keberadaan bangunan
tersebut eksistensi nya tidak akan bertahan lama, eksistensi bangunan tersebut akan kalah
seiring dengan perkemangan budaya yang terjadi pada masa itu. Itulah kenapa suatu
ruang dan bangunan yang tercipta pastilah berhubungan dengan kebudayaan yang
sedang berlangsung.Di Indonesia hal ini sudah tidak asing lagi karena arsitektur Indonesia
sangatlah dipengaruhi oleh kebudayaan dan keadaan sosial. Hal ini disebabkan oleh
beragamnya atau banyaknya kebudayaan yang tersebar diberbagai kepulauan Indonesia.
Sehingga banyak sekali Arsitektur yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kebudayaan
salah satunya yaitu Arsitktur Kampung Naga di Jawa Barat. Arsitektur di kampung tersebut
masihlah sangat lekat dengan kebudayaan dan kepercayaan yang mereka pangku dari
leluhur mereka. Lingkungan sosial mereka juga yang tertutup dari dunia luar membuat
arsitektur bangunan di kampung mereka cukup berbeda dengan arsitektur bangunan
kebanyakan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung. (2010). Bab ii. tinjauan referensi. 14–44.


Fletcher, S.B., A History of Architecture on The Comparative Method, Charles Scribner‟s
Sons, New York, 1938.
Hermawan, I. (2014). Bangunan Tradisional Kampung Naga : Bentuk Kearifan. Sosio
Didaktika, 1(2), 141–150.
Kartono, J. L. (1999). Ruang , Manusia Dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan. Dimensi
Teknik Arsitektur Vol. 27, No. 2, Desember 1999: 6 - 14, 27(2), 6–14.
Maslucha, L. (2011). KAMPUNG NAGA: Sebuah Representasi Arsitektur sebagai Bagian
dari Budaya. El-HARAKAH (TERAKREDITASI), 1(1), 35–49.
https://doi.org/10.18860/el.v1i1.421
Mentayani, I., & Muthia, P. R. (2017). Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah,
Unsur, dan Aspek-Aspek Vernakularitas. I109–I116.
https://doi.org/10.32315/ti.6.i109
Nuryanto. (2010). Hubungan Arsitektur dan Budaya. Bahan Kuliah.
Ode, L., Hasan, A., Kadir, I., Indira, W., Aulia, R., Arsitektur, J., Teknik, F., Halu, U., &
Kendari, O. (2019). Galampa identitas keramahan dalam arsitektur sapo tada
kaledupa. 339–345.
Permana, A. Y. (2011). Penerapan Konsep Perancangan Smart Village Sebagai Local
Genius Arsitektur Nusantara. Jurnal Arsitektur KOMPOSIS, 9(1), 24–33.
Prasetya, L. E. (2007). Adaptation and Sustainable Architecture ; Manggaraian Traditional
Architecture in age of Globalization 1. International Conference of Tropical
Architecture within Tradition-Globalization, 1–9.
Rahardjo, W. (2006). Hubungan Manusia-Lingkungan : Sebuah Refleksi Singkat. Jurnal
Penelitian Psikologi, 11(2), 157–162.
Rapoport, Amos, (1969). House Form and Culture. Prentice Hall Inc. New York.
Wardiningsih, S. (2015). Arsitektur Nusantara Mempengaruhi Bentuk Bangunan yang
Berkembang di Indonesia. Scale, 2(2), 274–283. http://repository.uki.ac.id/492/1/5.
Sitti Wardiningsih.pdf

Anda mungkin juga menyukai