Abstrak
Perkembangan teknologi yang terus tumbuh sejak dimulainya revolusi industri abad ke i6, telah banyak
mengubah pola hidup manusia, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, kolonialisasi, imperialisme, perubahan pola
konsumsi hingga pencemaran, adalah sedikit dari sekian banyak dampak buruk industrialisasi. Meskipun tak
dapat dipungkiri bahwa teknologi telah membawa manusia pada kemajuan yang sebelumnya tidak pernah
terbayangkan, segala kemudahan, perkembangan ilmu pengetahuan yang menciptakan manusia yang lebih sehat,
lebih terampil, lebih cerdas.
Keragaman arsitektur tradisional yang ada di Indonesia menjadi kekayaan budaya yang menarik untuk diteliti,
terutama dalam hubungan dengan proses modernisasi dan adaptasi dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Salah satu diantaranya adalah arsitektur tradisional Manggarai, yang terletak di Pulau
Flores, salah satu gugusan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.
Budaya Manggarai yang bersandarkan pada kepercayaan yang kuat pada nilai-nilai religi dan kepercayaan
akan arwah-arwah para leluhur serta kuatnya ikatan kekerabatan sebagai komunitas sosial patrilineal memiliki
keunikan yang khas, yang dalam era modern saat ini mengalami proses adaptasi budaya, baik budaya fisik
maupun non-fisik. Masyarakat Manggarai saat ini mengalami proses transisi akibat sentuhan dengan
kebudayaan luar, terutama menyangkut perkembangan sistem kepercayaan, serta pengaruh sistem pengetahuan
dan teknologi serta kemajuan teknologi yang membuka isolasi mereka dari dunia luar, persentuhan dengan
material bangunan modern yang kesemuanya telah merubah wajah arsitektur tradisional Manggarai dari
budaya primitif menuju budaya vernakular tradisional.
Era globalisasi dalam arsitektur tradisional Manggarai sepatutnya berada dalam bingkai kesadaran modern
saat ini, dalam semangat pembangunan arsitektur berkelanjutan yaitu suatu usaha untuk beradaptasi dengan
modernitas tanpa kehilangan kearifan lokal yang ada. Menuju penciptakan rancangan-rancangan arsitektur
yang secara arif memanfaatkan sumber daya alam secara lebih bijaksana, diiringi dengan adaptasi dalam pola
perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya, sebagai bagian dari usaha untuk menyelamatkan bumi.
Kata kunci:perkembangan teknologi, arsitektur Tradisional Manggarai, adaptasi budaya, arsitektur
berkelanjutan
1
Presented on ”International Conference of Tropical Architecture within Tradition-Globalization”, 17 Agustus
1945 University (UNTAG), Surabaya, April 24th 2007.
2
Graduate Student: Architecture Engineering, Gadjah Mada University and Master Program of Architecture,
Diponegoro University.
1
PENDAHULUAN
Arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai arsitektur
kuno. Kata “tradisi’ berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau dari kata
“traditium” yang berarti mewariskan. Jadi kata tradisi dapat diartikan sebagai suatu proses penyerahan
atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa
generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan jaman, maka tak
terelakkan arsitektur juga mengalami perubahan. Namun pola dan bentukkannya tidak akan jauh
berubah dari pola dan bentuk yang terlebih dahulu diwariskan oleh generasi sebelumnya. Hal tersebut
dapat dipahami karena “tradisi” dapat diartikan sebagai suatu “proses”, tetapi dapat pula dipahami
sebagai suatu “produk” atau hasil akhir.
Lebih jauh Rapoport (1990) menjelaskan makna arsitektur tradisional lingkungan (vernacular
environment) yang terbagi dalam dua atribut yaitu karakteristik proses dan karakteristik produk.
Karakteristik proses menyangkut hubungan dengan proses terbentuknya lingkungan, bagaimanakah
lingkungan tersebut tercipta, proses penciptaan termasuk di dalamnya proses tak sadar diri perancang
(un-selfconscious); karakteristik produk akan berhubungan erat dengan bagaimanakah ciri-ciri
lingkungan tersebut, kualitas lingkungan, persepsi pemakai serta aspek estetika bangunan.
Rapoport (1969) juga membagi arsitektur tradisional masyarakat dalam dua bagian yaitu: arsitektur
primitif dan arsitektur vernakular, sedangkan arsitektur vernakular sendiri digolongkan oleh Rapoport
menjadi dua bagian lagi yaitu vernakular tradisional dan vernakular popular. Budaya vernakular
menurut Rapoport (1969) adalah cara hidup yang mendasarkan diri pada tradisi dan kegiatan turun
temurun, budaya vernakular juga memperlihatkan bahwa identitas manusia ditentukan oleh
kehadirannya dalam kelompok kecil atau keluarga besar. Bangunan vernakular sendiri diartikan
sebagai bangunan yang terbentuk karena latar belakang sosial budaya masyarakatnya. Dalam proses
pembentukan budaya vernakular, peran tukang (craftsman) mengantikan peran masyarakat primitif
yang selama ini menjadi satu-satunya pembangun lingkungan, dengan adanya tukang terjadi
spesialisasi dan pendelegasian tugas pembangunan rumah/ lingkungan dari masyarakat kepada tukang
tersebut. Perbedaan budaya primitif dan vernakular menurut Rapoport dapat digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel 1
Identifikasi arsitektur menurut Rapoport
PROSES PRODUK
BANGUNAN
Pelaku Wujud Model Kerjasama
Non vernakular Masyarakat Cermin budaya Tunggal Tinggi
masyarakat
Primitif
Vernakular Masyarakat dan Cerminan budaya Model yang Cukup tinggi
Tukang masy. dan tukang disepakati umum/
Tradisional
kelompok
Vernakular Pemilik dan Cerminan pemilik Banyak model Cukup
tukang/ arsitek dan tukang
Populer
Non vernakular Institusi/ arsitek Identitas institusi/ Banyak model individual
arsitek
High style
Sumber: tafsiran penulis dari ‘house, form and culture’, Rapoport 1969.
2
Yoseph Prijotomo (1997) memahami arsitektur tradisional lebih sebagai kerangka waktu. Menurut
Yoseph, arsitektur tradisional sebenarnya sudah memiliki pengertian yang bersumber dari antropologi/
etnologi yang sangat menekankan pada adat dan budaya sebagai sebuah proses budaya.
Arsitektur rumah tradisional adalah ungkapan bentuk rumah karya manusia, merupakan salah satu
unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan suatu masyarakat, suku atau bangsa yang unsur-unsur dasarnya tetap bertahan untuk kurun
waktu yang lama dan tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan suatu
masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, arsitektur tradisional akan
merupakan salah satu identitas sebagai pendukung kebudayaan masyarakat, suku atau bangsa tersebut.
Bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor-faktor fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi
merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian yang luas.
Faktor sosial budaya merupakan kekuatan utama dan rumah jauh memiliki arti dari pada sekedar
pelindung.
Menurut J. Lukito Kartono (1999), saat ini masyarakat tradisional sudah mengalami proses globalisasi
akibat dari adanya perkembangan teknologi, proses akulturasi budaya tidak dapat dihindari dan tidak
perlu defensif karena setiap kebudayaan mempunyai selalu mempunyai tirai untuk menyeleksi nilai-
nilai/ norma-norma mana yang dapat diserap dan mana yang harus ditolak.
Proses adaptasi budaya yang terwujud dalam akulturasi terhadap kebudayaan asing terdiri dari dua
pola, yaitu :
1) Bagian inti kebudayaan (covert culture) yang sulit berubah, kalaupun berubah
membutuhkan waktu lama, seperti sistem budaya, keyakinan, adat istiadat.
2) Bagian perwujudan lahiriah (overt culture) yang cepat berubah seperti alat-alat, tata cara,
gaya hidup, teknologi.
Akibat persaingan budaya lokal dengan budaya asing dan proses tawar menawar serta tukar menukar
elemen budaya yang dimiliki, terjadi akulturasi desain. Adapun pola perubahan dalam arsitektur
cenderung sebagai berikut :
3
dirinya sendiri dengan sederet penyangkalan dan penolakan, tetapi selalu dihantui oleh realitas
yang disangkal dan ditolaknya. Untuk memperoleh dunianya sendiri ia mendesakralisasi dua
nenek moyangnya, tetapi dengan demikian ia harus menerima lawan dari tipe sikap nenek
moyangnya dan sikap ini secara emosional masih tetap hadir dalam dirinya, sikap ini selalu
muncul dan diwujudkan kembali dalam bentuk-bentuk tertentu.
Bentuk baru dengan makna tetap.
Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dalam pengertian unsur-unsur
lama yang diperbaharui, jadi tidak lepas sama sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap
bentuk lama, tetapi diberi makna yang lama untuk menghindari kejutan budaya (culture
shock). Hal ini terjadi pada masyarakat transisi, dimana dalam proses akulturasi dengan
kebudayaan asing masih menyadari tidak bisa menghilangkan sama sekali sikap religius
sebagai warisan leluhurnya.
Bentuk baru dengan makna baru.
Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dengan disertai makna yang baru,
karena terjadi perubahan paradigma berarsitektur secara total dalam berakulturasi desain,
kebudayaan lama sudah ditinggalkan, kalaupun dipakai hanya dipakai sebagai tempelan
(ornamentasi/ dekorasi). Hal ini terjadi cenderung terjadi pada masyarakat pasca transisi yang
mempunyai kebebasan mengolah bentuk dengan tuntutan skemata yang ada dalam pikirannya.
Perubahan suatu lingkungan dapat pula disebabkan oleh proses yang terjadi dari dalam (endogen) yang
dimulai dari kegiatan budaya masyarakatnya yang lambat laun akan mengalami berbagai variasi dan
juga pengaruh dari luar luar (eksogen) yang meliputi industrialisasi, kontak budaya dengan budaya
lain, hal ini menimbulkan berbagai dampak. Difusi akan terjadi bilamana terdapat perbedaan pada
sektor tertentu, atau bahkan akan terjadi akulturasi yaitu perubahan secara menyeluruh pada semua
sektor.
Bagaimana proses globalisasi dan adaptasi dapat berpengaruh dan bagaimana bentuk pengaruh tersebut
dalam perkembangan arsitektur tradisional Manggarai, menjadi sebuah alasan penelitian ini beranjak.
4
Peletakkan natas menggambarkan respon orang Manggarai terhadap iklim setempat, dimana faktor
angin menjadi pertimbangan, agar angin bisa mencapai semua bagian rumah pada kampung itu.
Demikian juga faktor curah hujan yang tinggi pada wilayah barat Flores, terakomodasi dalam respon
arsitektur tradisional mereka.
Gambar 1
Contoh Pola perkampungan di Manggarai
Pada pola permukiman/ lingkungan masyarakat Manggarai ada empat karakteristik dasar yang harus
ada yaitu:
Perkembangan arsitektur tradisional Manggarai secara khusus akan diamati pada rumah adat dan altar
batu dan kelengkapannya, karena secara umum dua bagian ini mengalami pergeseran bentuk dan
makna yang terkandung di dalamnya, terutama setelah adanya interaksi antara masyarakat Manggarai
dengan dunia luar, yang ditandai dengan adanya unsur religi yang baru (Katholik) menggantikan unsur
agama suku (agama lokal).
5
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL MANGGARAI
6
profan, sakral karena inilah tempat roh leluhur bertemu dengan masyarakat yang dijaganya, profan
karena pada kenyataannya, pelataran terbuka ini sekaligus juga berfungsi sebagai tempat kontak sosial,
pusat aktivitas (menjemur kopi, menumbuk kopi, menenun, lapangan bermain anak, dan aktivitas
sosial lainnya).
Natas dan compang sebagai pusat kampung merupakan perwujudan mikrokosmos dan makrokosmos,
tempat pertemuan dua dimensi dunia tersebut memiliki arti bahwa alam arwah dan alam dunia yang
menyatu, saling menjaga dan mengawasi.
Tata lingkungan dengan natas dan compang sebagai pusat orientasi menggambarkan dengan jelas akan
adanya ‘sesuatu’ yang menjadi tujuan dalam kehidupan fana masyarakat, serta penggambaran
kehidupan baka yang menjadi tujuan mereka. Menghargai nenek moyang (empo, roh leluhur) menjadi
sentral dalam kehidupan masyarakat Manggarai, sistem kepercayaan ini menjadi nyata
dimanifestasikan dalam lingkungan permukiman mereka. Ditinjau dari budaya sebagai sebuah produk
(artefak), maka natas dan compang ini menjadi penggambaran dari ‘core’ permukiman sebagai produk
artefak tertinggi yang ada dalam perkampungan di Manggarai.
Dapat dinyatakan bahwa natas dan compang sebagai pusat orientasi, dengan pemaknaan religius yang
sangat mendalam sebagai tempat bertemunya leluhur dengan masyarakat, merupakan sebuah totalitas
semangat suatu tempat (spirit of the place). Semangat tempat yang pada dasarnya merupakan sintesa
antara fenomena alami dan lingkungan binaan dalam lingkup tempat yang bersifat lokal, merupakan
gambaran dari genius loci kampung tersebut. Beberapa perubahan dan adaptasi yang ada dalam
perkembangan arsitektur manggarai dapat ditunjukkan pada gambar-gambar berikut:
7
Bentuk tetap dengan makna baru.
8
Melihat kenyataan perkembangan jaman yang semakin melunturkan peran kampung tradisional
sebagai salah satu peninggalan budaya, yang seharusnya tetap terpelihara lestari, perlu adanya upaya
preservasi dan konservasi permukiman tradisional.
Upaya preservasi dan konservasi permukiman tradisional pada kawasan Manggarai, merupakan
kebutuhan yang mutlak perlu karena saat ini tanpa disadari kemajuan pengetahuan dan teknologi telah
merubah kebudayaan Manggarai, baik kebudayaan dalam segi material (ujud arsitektur) maupun
kebudayaan dalam ujud gagasan dan pikiran (perubahan pola pikir).
Paparan ini mengungkapkan telah terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Manggarai dan
perubahan budaya material (dalam ujud arsitektur) merupakan manifestasi dari telah berubahnya
budaya immaterial (dalam ujud konsep, gagasan, ide dan sistem kepercayaan), sehingga untuk para
penentu kebijakan (Pemerintah Daerah) perlu dirumuskan strategi-strategi budaya sebagai upaya
menjaga kelestarian budaya Manggarai dalam kerangka preservasi nilai-nilai budaya dan konservasi
arsitektur tradisional Manggarai.
DAFTAR PUSTAKA
Dagur, Antony Bagul, 1997, Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan
Nasional, Ubhara Press, Surabaya
Erb, Mariberth, 1999, The Mangaraians; A Guide to Traditional Lifestyles, Times Edition Pte Ltd,
Malaysia
Hemo, Doroteus, 1987, Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Pemda NTT
Kent, Susan. 1990. Domestic Architecture and The Use of Space. Cambridge University Press.
Cambridge.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta.
. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta.
. 1987. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.
Kostof, Spiro, 1991, The City Shaped; Urban Pattern And Meanings Through History, London.
Lawang, Robert M.Z., 1989, Stratifikasi Sosial di Cancar-Manggarai Flores Barat, Disertasi yang
tidak dipublikasikan, Universitas Indonesia, Jakarta
,1999, Konflik Tanah di Manggarai, Flores Barat; Pendekatan Sosiologik, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta
Pelly, Usman dan Menanti, Asih, 1994, Teori-teori Sosial Budaya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta.
Prijotomo, Joseph, 1997, Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, Pasca Sarjana FTSP, ITS Surabaya.
Rapoport, Amos, 1969. House Form and Culture. Prentice Hall Inc. New York.
, 1982. The Meaning of The Built Environment. Sage Pubications Ltd. London.
Spradley, James, 1999, Metode Etnografi, terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Sularto, Robbi, 1995, Arsitektur Nusantara, Majalah ASRI No. 144, Jakarta
Toda, Dami N., 1999, Manggarai; Mencari Pencerahan Historiografi, Nusa Indah, Ende
Verheijen, Jilis A.J., 1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi, terjemahan Alex Beding dan Marcel
Beding, LIPI-RUL, Jakarta
Wiryoprawiro, Zein , 1993, Ciri-Ciri Arsitektur Tradisional Indonesia, Materi Kuliah SPA, FTSP ITS,
Surabaya.