Anda di halaman 1dari 9

Adaptation and Sustainable Architecture;

Manggaraian Traditional Architecture in age of Globalization 1


L. Edhi Prasetya, ST,MT 2

Abstrak
Perkembangan teknologi yang terus tumbuh sejak dimulainya revolusi industri abad ke i6, telah banyak
mengubah pola hidup manusia, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, kolonialisasi, imperialisme, perubahan pola
konsumsi hingga pencemaran, adalah sedikit dari sekian banyak dampak buruk industrialisasi. Meskipun tak
dapat dipungkiri bahwa teknologi telah membawa manusia pada kemajuan yang sebelumnya tidak pernah
terbayangkan, segala kemudahan, perkembangan ilmu pengetahuan yang menciptakan manusia yang lebih sehat,
lebih terampil, lebih cerdas.
Keragaman arsitektur tradisional yang ada di Indonesia menjadi kekayaan budaya yang menarik untuk diteliti,
terutama dalam hubungan dengan proses modernisasi dan adaptasi dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Salah satu diantaranya adalah arsitektur tradisional Manggarai, yang terletak di Pulau
Flores, salah satu gugusan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.
Budaya Manggarai yang bersandarkan pada kepercayaan yang kuat pada nilai-nilai religi dan kepercayaan
akan arwah-arwah para leluhur serta kuatnya ikatan kekerabatan sebagai komunitas sosial patrilineal memiliki
keunikan yang khas, yang dalam era modern saat ini mengalami proses adaptasi budaya, baik budaya fisik
maupun non-fisik. Masyarakat Manggarai saat ini mengalami proses transisi akibat sentuhan dengan
kebudayaan luar, terutama menyangkut perkembangan sistem kepercayaan, serta pengaruh sistem pengetahuan
dan teknologi serta kemajuan teknologi yang membuka isolasi mereka dari dunia luar, persentuhan dengan
material bangunan modern yang kesemuanya telah merubah wajah arsitektur tradisional Manggarai dari
budaya primitif menuju budaya vernakular tradisional.
Era globalisasi dalam arsitektur tradisional Manggarai sepatutnya berada dalam bingkai kesadaran modern
saat ini, dalam semangat pembangunan arsitektur berkelanjutan yaitu suatu usaha untuk beradaptasi dengan
modernitas tanpa kehilangan kearifan lokal yang ada. Menuju penciptakan rancangan-rancangan arsitektur
yang secara arif memanfaatkan sumber daya alam secara lebih bijaksana, diiringi dengan adaptasi dalam pola
perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya, sebagai bagian dari usaha untuk menyelamatkan bumi.
Kata kunci:perkembangan teknologi, arsitektur Tradisional Manggarai, adaptasi budaya, arsitektur
berkelanjutan

1
Presented on ”International Conference of Tropical Architecture within Tradition-Globalization”, 17 Agustus
1945 University (UNTAG), Surabaya, April 24th 2007.
2
Graduate Student: Architecture Engineering, Gadjah Mada University and Master Program of Architecture,
Diponegoro University.

1
PENDAHULUAN
Arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai arsitektur
kuno. Kata “tradisi’ berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau dari kata
“traditium” yang berarti mewariskan. Jadi kata tradisi dapat diartikan sebagai suatu proses penyerahan
atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa
generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan jaman, maka tak
terelakkan arsitektur juga mengalami perubahan. Namun pola dan bentukkannya tidak akan jauh
berubah dari pola dan bentuk yang terlebih dahulu diwariskan oleh generasi sebelumnya. Hal tersebut
dapat dipahami karena “tradisi” dapat diartikan sebagai suatu “proses”, tetapi dapat pula dipahami
sebagai suatu “produk” atau hasil akhir.
Lebih jauh Rapoport (1990) menjelaskan makna arsitektur tradisional lingkungan (vernacular
environment) yang terbagi dalam dua atribut yaitu karakteristik proses dan karakteristik produk.
Karakteristik proses menyangkut hubungan dengan proses terbentuknya lingkungan, bagaimanakah
lingkungan tersebut tercipta, proses penciptaan termasuk di dalamnya proses tak sadar diri perancang
(un-selfconscious); karakteristik produk akan berhubungan erat dengan bagaimanakah ciri-ciri
lingkungan tersebut, kualitas lingkungan, persepsi pemakai serta aspek estetika bangunan.
Rapoport (1969) juga membagi arsitektur tradisional masyarakat dalam dua bagian yaitu: arsitektur
primitif dan arsitektur vernakular, sedangkan arsitektur vernakular sendiri digolongkan oleh Rapoport
menjadi dua bagian lagi yaitu vernakular tradisional dan vernakular popular. Budaya vernakular
menurut Rapoport (1969) adalah cara hidup yang mendasarkan diri pada tradisi dan kegiatan turun
temurun, budaya vernakular juga memperlihatkan bahwa identitas manusia ditentukan oleh
kehadirannya dalam kelompok kecil atau keluarga besar. Bangunan vernakular sendiri diartikan
sebagai bangunan yang terbentuk karena latar belakang sosial budaya masyarakatnya. Dalam proses
pembentukan budaya vernakular, peran tukang (craftsman) mengantikan peran masyarakat primitif
yang selama ini menjadi satu-satunya pembangun lingkungan, dengan adanya tukang terjadi
spesialisasi dan pendelegasian tugas pembangunan rumah/ lingkungan dari masyarakat kepada tukang
tersebut. Perbedaan budaya primitif dan vernakular menurut Rapoport dapat digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel 1
Identifikasi arsitektur menurut Rapoport
PROSES PRODUK
BANGUNAN
Pelaku Wujud Model Kerjasama
Non vernakular Masyarakat Cermin budaya Tunggal Tinggi
masyarakat
Primitif
Vernakular Masyarakat dan Cerminan budaya Model yang Cukup tinggi
Tukang masy. dan tukang disepakati umum/
Tradisional
kelompok
Vernakular Pemilik dan Cerminan pemilik Banyak model Cukup
tukang/ arsitek dan tukang
Populer
Non vernakular Institusi/ arsitek Identitas institusi/ Banyak model individual
arsitek
High style
Sumber: tafsiran penulis dari ‘house, form and culture’, Rapoport 1969.

2
Yoseph Prijotomo (1997) memahami arsitektur tradisional lebih sebagai kerangka waktu. Menurut
Yoseph, arsitektur tradisional sebenarnya sudah memiliki pengertian yang bersumber dari antropologi/
etnologi yang sangat menekankan pada adat dan budaya sebagai sebuah proses budaya.
Arsitektur rumah tradisional adalah ungkapan bentuk rumah karya manusia, merupakan salah satu
unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan suatu masyarakat, suku atau bangsa yang unsur-unsur dasarnya tetap bertahan untuk kurun
waktu yang lama dan tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan suatu
masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, arsitektur tradisional akan
merupakan salah satu identitas sebagai pendukung kebudayaan masyarakat, suku atau bangsa tersebut.
Bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor-faktor fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi
merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian yang luas.
Faktor sosial budaya merupakan kekuatan utama dan rumah jauh memiliki arti dari pada sekedar
pelindung.
Menurut J. Lukito Kartono (1999), saat ini masyarakat tradisional sudah mengalami proses globalisasi
akibat dari adanya perkembangan teknologi, proses akulturasi budaya tidak dapat dihindari dan tidak
perlu defensif karena setiap kebudayaan mempunyai selalu mempunyai tirai untuk menyeleksi nilai-
nilai/ norma-norma mana yang dapat diserap dan mana yang harus ditolak.
Proses adaptasi budaya yang terwujud dalam akulturasi terhadap kebudayaan asing terdiri dari dua
pola, yaitu :
1) Bagian inti kebudayaan (covert culture) yang sulit berubah, kalaupun berubah
membutuhkan waktu lama, seperti sistem budaya, keyakinan, adat istiadat.
2) Bagian perwujudan lahiriah (overt culture) yang cepat berubah seperti alat-alat, tata cara,
gaya hidup, teknologi.
Akibat persaingan budaya lokal dengan budaya asing dan proses tawar menawar serta tukar menukar
elemen budaya yang dimiliki, terjadi akulturasi desain. Adapun pola perubahan dalam arsitektur
cenderung sebagai berikut :

 Bentuk tetap dengan makna tetap.


Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi bentuk lama walaupun dengan
menggunakan perubahan material bangunan dan makna yang lama (mitologi, kosmologi dan
genealogi). Hal ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang masih homogen, kuat struktur
sosialnya dan masih berpegang pada nilai-nilai/norma-norma yang dianut sehingga dalam
berakulturasi desain, nilai-nilai lokal masih cukup dominan. Secara arsitektural tidak terjadi
perubahan yang mendasar, penghuni rumah masih memegang budayanya secara ketat beserta
seluruh atribut-atributnya.
 Bentuk tetap dengan makna baru.
Penampilan bentuk arsitekturnya tetap mengadopsi bentuk lama tetapi diberi makna baru, hal
ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang baru mengalami transisi akibat pengadopsian
nilai-nilai budaya asing, mereka masih enggan meninggalkan kebudayaan masa lalu dan
kalaupun terpaksa meninggalkan kebudayaan masa lalu membutuhkan waktu yang lama.
Untuk mengadopsi kebudayaan baru serta menghindari kejutan kebudayaan (culture shock)
maka diberi makna baru yang bersifat sakral dirubah menjadi profan, juga usaha desakralisasi
serta usaha untuk menghilangkan segala yang berbau mistik. Masyarakat ini membentuk

3
dirinya sendiri dengan sederet penyangkalan dan penolakan, tetapi selalu dihantui oleh realitas
yang disangkal dan ditolaknya. Untuk memperoleh dunianya sendiri ia mendesakralisasi dua
nenek moyangnya, tetapi dengan demikian ia harus menerima lawan dari tipe sikap nenek
moyangnya dan sikap ini secara emosional masih tetap hadir dalam dirinya, sikap ini selalu
muncul dan diwujudkan kembali dalam bentuk-bentuk tertentu.
 Bentuk baru dengan makna tetap.
Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dalam pengertian unsur-unsur
lama yang diperbaharui, jadi tidak lepas sama sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap
bentuk lama, tetapi diberi makna yang lama untuk menghindari kejutan budaya (culture
shock). Hal ini terjadi pada masyarakat transisi, dimana dalam proses akulturasi dengan
kebudayaan asing masih menyadari tidak bisa menghilangkan sama sekali sikap religius
sebagai warisan leluhurnya.
 Bentuk baru dengan makna baru.
Penampilan bentuk arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dengan disertai makna yang baru,
karena terjadi perubahan paradigma berarsitektur secara total dalam berakulturasi desain,
kebudayaan lama sudah ditinggalkan, kalaupun dipakai hanya dipakai sebagai tempelan
(ornamentasi/ dekorasi). Hal ini terjadi cenderung terjadi pada masyarakat pasca transisi yang
mempunyai kebebasan mengolah bentuk dengan tuntutan skemata yang ada dalam pikirannya.

Perubahan suatu lingkungan dapat pula disebabkan oleh proses yang terjadi dari dalam (endogen) yang
dimulai dari kegiatan budaya masyarakatnya yang lambat laun akan mengalami berbagai variasi dan
juga pengaruh dari luar luar (eksogen) yang meliputi industrialisasi, kontak budaya dengan budaya
lain, hal ini menimbulkan berbagai dampak. Difusi akan terjadi bilamana terdapat perbedaan pada
sektor tertentu, atau bahkan akan terjadi akulturasi yaitu perubahan secara menyeluruh pada semua
sektor.
Bagaimana proses globalisasi dan adaptasi dapat berpengaruh dan bagaimana bentuk pengaruh tersebut
dalam perkembangan arsitektur tradisional Manggarai, menjadi sebuah alasan penelitian ini beranjak.

ARSITEKTUR TRADISIONAL MANGGARAI


Dalam kehidupan masyarakat Manggarai, setiap bagian dari rumah memiliki arti dan makna simbolik
sebagai penggambaran hubungan antara aspek-aspek manusia-kemanusiaan dan spriritualitas roh-roh
leluhur. Beberapa bagian dari ruang sebuah rumah secara signifikan menampakkan adanya keterkaitan
tersebut.
Aspek religi sangat dominan untuk memahami arti dari sebuah rumah bagi masyarakat Manggarai,
segala hal yang mereka ungkapkan sebagai konstruksi dari ide-ide mereka merupakan nilai-nilai
simbolik dari kehidupan kini dan masa lampau yang mengejawantah dalam roh-roh leluhur mereka,
sebuah ekspresi “multi-dimensional” dari “sesuatu yang lain”.
Rumah adat merupakan salah satu pengenal desa/ kampung di Manggarai yang erat hubungannya
dengan keberadaan permukiman. Orientasi rumah menghadap ke pelataran terbuka pada pusat
permukiman, pola permukiman pada Rumah Adat, sebagaimana pola permukiman di Manggarai pada
umumnya adalah radial/ melingkar dengan pusat lingkaran nya adalah natas. Natas atau pelataran
terbuka menjadi pusat kegiatan-kegiatan ritual di kampung itu, pada pusat dari natas terdapat compang
atau altar batu, tempat di mana persembahan-persembahan kepada roh leluhur dihaturkan.

4
Peletakkan natas menggambarkan respon orang Manggarai terhadap iklim setempat, dimana faktor
angin menjadi pertimbangan, agar angin bisa mencapai semua bagian rumah pada kampung itu.
Demikian juga faktor curah hujan yang tinggi pada wilayah barat Flores, terakomodasi dalam respon
arsitektur tradisional mereka.

Gambar 1
Contoh Pola perkampungan di Manggarai

Sumber: Prasetya, 2002

Pada pola permukiman/ lingkungan masyarakat Manggarai ada empat karakteristik dasar yang harus
ada yaitu:

1. Rumah adat/ rumah kepala suku beserta rumah-rumah di sekitarnya


2. Mata air (Wae Teku)
3. Altar batu beserta kelengkapannya yaitu ruang bersama komunal (Compang dan natas)
4. Makam (Boa)

Perkembangan arsitektur tradisional Manggarai secara khusus akan diamati pada rumah adat dan altar
batu dan kelengkapannya, karena secara umum dua bagian ini mengalami pergeseran bentuk dan
makna yang terkandung di dalamnya, terutama setelah adanya interaksi antara masyarakat Manggarai
dengan dunia luar, yang ditandai dengan adanya unsur religi yang baru (Katholik) menggantikan unsur
agama suku (agama lokal).

5
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL MANGGARAI

Arsitektur tradisional Manggarai, termasuk pembentukan permukiman di dalamnya ditinjau dari


pandangan Kostof merupakan sebuah permukiman yang tumbuh organik dan spontan, dipengaruhi oleh
sistem budaya yang ada, sesuai dengan kondisi alamiah tempat permukiman itu berada. Pandangan
Kostof tersebut nampak dari kuatnya kohesi sosial pada masyarakatnya, dengan perekat utama dari
terciptanya permukiman itu adalah unsur-unsur religi dan ikatan sosial/ kekerabatan.
Ditinjau dari teori yang dikembangkan oleh Amos Rapoport dan melihat karakteristik proses
menyangkut hubungannya dengan proses penciptaan, proses terbentuknya lingkungan, ataupun melihat
karakteristik produk yang berhubungan dengan ciri-ciri lingkungan, kualitas lingkungan, aspek estetis
bangunan, dan lain-lain. Rapoport membagi arsitektur tradisional dalam dua bagian yaitu primitif dan
vernakular, dimana dalam proses pembentukan budaya vernakular peran tukang (craftsman) telah
mengantikan peran masyarakat primitif. Arsitektur tradisional Manggarai, menampakkan adanya
pergeseran dari budaya primitif menjadi budaya vernakular tradisional, budaya primitif dengan ciri
model tunggal, dengan pelaku (aktor pembangun) masyarakat, telah beralih dengan budaya vernakular
tradisional yang berciri model yang merupakan kesepakatan umum, dengan pelaku masyarakat dengan
bantuan tukang.
Pada kenyataan peran masyarakat sebagai pemilik bangunan telah mulai berkurang dari penentu bentuk
menjadi konsultan bentuk karena faktor tukang yang memiliki keahlian lebih dibanding pemilik.
Melihat kondisi bangunan-bangunan yang ada di Manggarai, tampak dengan jelas adanya pengaruh
tukang yang cukup dominan, karena bentuk bangunan yang ada tak lagi tunggal namun merupakan
model yang merupakan kesepakatan umum.
Budaya vernakular tradisional yang ditandai dengan munculnya peran tukang membawa perubahan
pada bentuk arsitektur tradisional Manggarai karena pengetahuan-pengetahuan baru yang dibawa oleh
para tukang, yang sebagian merupakan tukang domestik namun memiliki pengalaman dan interaksi
dengan dunia luar. Perubahan arsitektur tradisonal Manggarai menyangkut perwujudan lahiriah (overt
culture) sedangkan bagian inti kebudayaan (covert culture) belum banyak berubah. Pengaruh-pengaruh
penyebab perubahan tersebut terutama karena gaya eksogen berupa interaksi dengan sistem
pengetahuan dari luar.
Akulturasi desain arsitektur tradisional karena pengaruh gaya eksogen tersebut, membentuk arsitektur
tradisional yang memiliki bentuk yang baru dengan makna yang tetap, bentuk baru karena pengaruh
gaya eksogen berupa persentuhan dengan budaya tukang, sedangkan makna tetap masih
dipertahankannya bentuk arsitektur tradisional yang berorientasi pada compang dan natas. Masih
kuatnya gaya endogen untuk bertahan terhadap perubahan dari luar karena interaksi dan kohesi sosial
yang kuat karena masih dipertahankannya interaksi tatap muka antar mereka dalam ujud pola
permukiman yang radial tersebut.
Arsitektur tradisional Manggarai sebagai integrasi nilai-nilai religi, kekerabatan, mata pencaharian
pada akhirnya dalam perkembangan jaman telah pula terpengaruh oleh sistem pengetahuan dan
teknologi, sehingga pada saat ini pengaruh perkembangan pengetahuan dan teknologi juga lambat laun
merubah wajah permukiman tradisional Manggarai.
Pengaruh sistem religi pada bentuk permukiman tradisional Manggarai, adalah adanya komponen-
komponen pembentuk kampung yang mewakili simbol-simbol religius masyarakatnya, baik religi yang
formal (agama) maupun religi non-formal (kepercayaan adat).
Tata lingkungan kampung tradisional Manggarai memiliki pola radial (melingkar), dengan pusat
orientasi pada ruang luar bersama (komunal) yang merupakan pelataran terbuka yang disebut natas,
natas ini mengelilingi altar batu (compang) dan natas ini memiliki sifat dan dimensi sakral sekaligus

6
profan, sakral karena inilah tempat roh leluhur bertemu dengan masyarakat yang dijaganya, profan
karena pada kenyataannya, pelataran terbuka ini sekaligus juga berfungsi sebagai tempat kontak sosial,
pusat aktivitas (menjemur kopi, menumbuk kopi, menenun, lapangan bermain anak, dan aktivitas
sosial lainnya).
Natas dan compang sebagai pusat kampung merupakan perwujudan mikrokosmos dan makrokosmos,
tempat pertemuan dua dimensi dunia tersebut memiliki arti bahwa alam arwah dan alam dunia yang
menyatu, saling menjaga dan mengawasi.
Tata lingkungan dengan natas dan compang sebagai pusat orientasi menggambarkan dengan jelas akan
adanya ‘sesuatu’ yang menjadi tujuan dalam kehidupan fana masyarakat, serta penggambaran
kehidupan baka yang menjadi tujuan mereka. Menghargai nenek moyang (empo, roh leluhur) menjadi
sentral dalam kehidupan masyarakat Manggarai, sistem kepercayaan ini menjadi nyata
dimanifestasikan dalam lingkungan permukiman mereka. Ditinjau dari budaya sebagai sebuah produk
(artefak), maka natas dan compang ini menjadi penggambaran dari ‘core’ permukiman sebagai produk
artefak tertinggi yang ada dalam perkampungan di Manggarai.
Dapat dinyatakan bahwa natas dan compang sebagai pusat orientasi, dengan pemaknaan religius yang
sangat mendalam sebagai tempat bertemunya leluhur dengan masyarakat, merupakan sebuah totalitas
semangat suatu tempat (spirit of the place). Semangat tempat yang pada dasarnya merupakan sintesa
antara fenomena alami dan lingkungan binaan dalam lingkup tempat yang bersifat lokal, merupakan
gambaran dari genius loci kampung tersebut. Beberapa perubahan dan adaptasi yang ada dalam
perkembangan arsitektur manggarai dapat ditunjukkan pada gambar-gambar berikut:

Bentuk tetap dengan makna tetap.

Bangunan rumah adat sebagai tempat


kediaman kepala suku, yang ada di Satar
Mese, Todo, ini merupakan contoh
bangunan yang masih dilestarikan dengan
konsep bentuk yang tetap/ menyerupai
bangunan yang pertama kali didirikan,
dengan bentuk yang tetap dan makna yang terkandung, nilai-nilai filosofis dan simbolik bangunan
yang tetap. Dibangun pada tahun 1980-an setelah pernah terbakar habis pada tahun 1960-an,
direkonstruksi kembali berdasarkan sketsa yang pernah dibuat dari peninggalan pemerintah Hindia
Belanda dan data-data berupa foto, mengunakan material tradisional, berupa bambu dan ijuk.

7
Bentuk tetap dengan makna baru.

Bagian dari natas/ lapangan komunal, yang


memiliki dimensi sakral sebagai tempat
melakukan upacara adat, namun juga diberi
makna baru, sebagai ruang profan; sebagai
tempat melakukan aktifitas sosial, interaksi
komunal, olah raga dan mengolah hasil
kebun. Gambar di samping, merupakan
suasana natas di Kampung Laci, Kecamatan
Cibal, Manggarai.

Bentuk baru dengan makna tetap.

Gambar disamping adalah bentuk dari


compang (altar batu) yang telah
dimodifikasi, meskipun demikian, bentuk
baru tersebut tidak menghilangkan makna
yang telah ada, yaitu sebagai altar
persembahan untuk mempersembahkan
hasil panen kepada para leluhur (Empo).
Perubahan bentuk yang sangat radikal
adalah altar batu, yang pada umumnya di
manggrai berupa altar terbuka, di kampung
Cumpe, Cibal ini diberi penutup atap dari
bahan ijuk, atap pada compang ini sekaligus
merupakan replika dari rumah adat (rumah kepala suku), yang karena perkembangan jaman dan
teknologi telah berubah menjadi bangunan kayu dengan atap seng, sebagaimana bangunan yang ada di
belakang compang tersebut.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Perubahan dan kemajuan jaman sedikit demi sedikit akan merubah permukiman tradisional Manggarai,
interaksi sosial tatap muka yang selama ini muncul karena keberadaan permukiman yang bersifat
radial, lambat namun pasti telah bergeser karena tuntutan privasi keluarga, sehingga melunturkan
ikatan kekerabatan yang ada. Akibat terburuk yang akan muncul dari lunturnya ikatan kekerabatan
adalah hilangnya permukiman tradisional yang khas dengan pola radialnya tersebut, Melihat fenomena
ini perlu dicari pemecahan untuk memelihara permukinan tradisonal yang ada agar tetap hidup dan
terpelihara.

8
Melihat kenyataan perkembangan jaman yang semakin melunturkan peran kampung tradisional
sebagai salah satu peninggalan budaya, yang seharusnya tetap terpelihara lestari, perlu adanya upaya
preservasi dan konservasi permukiman tradisional.
Upaya preservasi dan konservasi permukiman tradisional pada kawasan Manggarai, merupakan
kebutuhan yang mutlak perlu karena saat ini tanpa disadari kemajuan pengetahuan dan teknologi telah
merubah kebudayaan Manggarai, baik kebudayaan dalam segi material (ujud arsitektur) maupun
kebudayaan dalam ujud gagasan dan pikiran (perubahan pola pikir).
Paparan ini mengungkapkan telah terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Manggarai dan
perubahan budaya material (dalam ujud arsitektur) merupakan manifestasi dari telah berubahnya
budaya immaterial (dalam ujud konsep, gagasan, ide dan sistem kepercayaan), sehingga untuk para
penentu kebijakan (Pemerintah Daerah) perlu dirumuskan strategi-strategi budaya sebagai upaya
menjaga kelestarian budaya Manggarai dalam kerangka preservasi nilai-nilai budaya dan konservasi
arsitektur tradisional Manggarai.

DAFTAR PUSTAKA
Dagur, Antony Bagul, 1997, Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan
Nasional, Ubhara Press, Surabaya
Erb, Mariberth, 1999, The Mangaraians; A Guide to Traditional Lifestyles, Times Edition Pte Ltd,
Malaysia
Hemo, Doroteus, 1987, Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Pemda NTT
Kent, Susan. 1990. Domestic Architecture and The Use of Space. Cambridge University Press.
Cambridge.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta.
. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian Rakyat, Jakarta.
. 1987. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.
Kostof, Spiro, 1991, The City Shaped; Urban Pattern And Meanings Through History, London.
Lawang, Robert M.Z., 1989, Stratifikasi Sosial di Cancar-Manggarai Flores Barat, Disertasi yang
tidak dipublikasikan, Universitas Indonesia, Jakarta
,1999, Konflik Tanah di Manggarai, Flores Barat; Pendekatan Sosiologik, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta
Pelly, Usman dan Menanti, Asih, 1994, Teori-teori Sosial Budaya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta.
Prijotomo, Joseph, 1997, Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, Pasca Sarjana FTSP, ITS Surabaya.
Rapoport, Amos, 1969. House Form and Culture. Prentice Hall Inc. New York.
, 1982. The Meaning of The Built Environment. Sage Pubications Ltd. London.
Spradley, James, 1999, Metode Etnografi, terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Sularto, Robbi, 1995, Arsitektur Nusantara, Majalah ASRI No. 144, Jakarta
Toda, Dami N., 1999, Manggarai; Mencari Pencerahan Historiografi, Nusa Indah, Ende
Verheijen, Jilis A.J., 1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi, terjemahan Alex Beding dan Marcel
Beding, LIPI-RUL, Jakarta
Wiryoprawiro, Zein , 1993, Ciri-Ciri Arsitektur Tradisional Indonesia, Materi Kuliah SPA, FTSP ITS,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai