Anda di halaman 1dari 15

Degradasi nilai permukiman heritage pada kampung heritage perkotaan

Wahyu Prabowo
Doktor Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
22/500569/STK/00991
Abstraksi
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan bekas jajahan bangsa eropa yang tentunya
memiliki ikatan budaya dengan bangsa eropa yang pernah mendiami negara ini. Pada masa
tersebut bangsa eropa akan mengalami proses adaptasi alami yang secara tidak langsung
membawa kebudayaannya ke indonesia khususnya kota surakarta, salah satunya dalam
bentuk arsitekturalnya. Dalam proses adaptasi tersebut terjadi asimilasi budaya yang
menyebabkan bangunan Eropa di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan
bangunan Eropa di Eropa. Dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, kepemilikan dan fungsi
gedung-gedung tersebut beralih, baik kepada pemerintah Indonesia maupun kepada pribadi
atau milik perseorangan. Jika dilihat dalam skala yang lebih besar lagi, pemukiman kuno
yang telah berkembanng di Indonesia mempunyai ciri keberagaman yang sangat majemuk,
tentunya tidak hanya pemukiman yang berbasis pada pemukiman bangsa eropa saja, namun
pemukiman tradisional yang berbasis pada kaum pribumi yang bercorak kelokalan. Sudah
tentu pemukiman-pemukiman yang mempunyai nilai heritage tersebut mempunyai usia yang
sudah cukup tua dan perlu adanya sebuah tindakan pelestarian untuk menjaga nilai warisan
budayanya, supaya tidak terjadi penurunan atau degradasi nilai pemukiman heritage.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan apa saja yang terjadi dalam sebuah
pemukiman heritage dan faktor penyebabnya, kemudian menyimpulkan apakah terjadi
penurunan atau degradasi nilai pemukiman heritage.

Keywords : Pelestarian, Arsitektural, Permukiman Heritage, Nilai Heritage

I. Pendahuluan secara “formal” sebagaimana dimaksud dalam


MO 1931 yang telah menekankan pentingnya
Setelah kemerdekaan Indonesia, secara
dari segi keilmuan. Padahal, masyarakat tentu
formal, peraturan yang mengatur mengenai
memiliki makna tersendiri yang lebih
pelestarian cagar budaya hanya terdapat dua
beragam dan praktis secara umum. Akibatnya,
peraturan yaitu UU no 5 tahun 1992 yang
upaya pengelolaan cagar budaya di Indonesia
kemudian dimutakhirkan menjadi UU no 11
sering diwarnai konflik kepentingan antara
tahun 2010. Sedangkan sebelum tahun 1992,
masyarakat dan pemerintah (Tanudirjo;
di Indonesia hanya mengenal sebuah
1998). Lahirnya Undang-Undang Republik
perjanjian yang dinamai Monumenten
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Ordonnantie 1931. Pada umumnya
Cagar Budaya memberikan pandangan baru
masyarakat menafsirkan warisan budaya
bagi kita sebagai anak bangsa dalam
memahami cara merawat cagar budaya. yang berupa pemukiman. Menurut Ilyas
Undang-undang tersebut juga menjelaskan (2016) manusia tidak dapat lepas dari
arti kata pelestarian karena menjawab lingkungannya.
kebutuhan masa kini akan kelestarian warisan
Menurut Constantinos A. Doxiadis dalam
budaya untuk masa depan. Pelestarian adalah
Darmawan (2018), disebutkan bahwa
upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan
perkembangan perumahan permukiman
penelitian, perencanaan, perlindungan,
(development of human settlement)
pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan,
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1.
dan/atau pengembangan secara selektif untuk
Growth of density (Pertambahan jumlah
menjaga kelangsungan, keserasian, dan daya
penduduk) Dengan adanya pertambahan
dukungnya dalam menjawab dinamika zaman
jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan
untuk membangun kehidupan bangsa yang
adanya pertambahan jumlah keluarga, maka
lebih berkualitas.
akan membawa masalah baru. Secara
Seiring dengan perjalanan waktu dan manusiawi mereka ingin menempati rumah
dinamika perkembangan masyarakat, milik mereka sendiri. Dengan demikian
tantangan terhadap Cagar Budaya semakin semakin bertambahlah jumlah hunian yang
meningkat. Potensi dampak negatif terhadap ada di kawasan permukiman tersebut yang
pelestarian fisik Cagar Budaya menjadi menyebabkan pertumbuhan perumahan
signifikan. Faktor-faktor yang menyebabkan permukiman. 2.Urbanization (Urbanisasi)
turunnya kelangsungan Cagar Budaya ini, Dengan adanya daya tarik pusat kota maka
seperti penurunan kualitas fisik Cagar Budaya akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota
karena jenis dan sifat material serta umurnya, maupun dari luar kota ke pusat kota.
kerusakan yang disebabkan oleh faktor
Menurut Setiawan (2010) kampung adalah
lingkungan pendukung, perubahan
unik, karena merepresentasikan kekhasan
penggunaan lahan dengan pembongkaran
sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan
Gedung Cagar Budaya, kurangnya
bahkan jiwa merdeka warganya; kekhasan
pemahaman pemilik, pembangunan dan
pada aspek fisik terletak pada pola-pola fisik
pemanfaatan yang tidak terkendali, serta
yang beragam, organik, seringkali surprising.
ancaman yang disebabkan oleh faktor alam
seperti fluktuasi cuaca atau gempa bumi. II. Kajian Teori

Dalam perkembangannya, cagar budaya tidak II. a. Kajian Nilai Heritage


hanya berhenti pada bangunan saja namun
Kajian nilai heritage tidak bisa dijauhkan dari
juga berkembang kepada lingkungan binaan
aspek budaya yang melingkupi kehidupan
masyarakat pada suatu wilayah manusia perilaku positif manusia dalam berhubungan
bermukim. Koentjaraningrat (1993: 25) dengan alam dan lingkungan sekitarnya, yang
menyatakan bahwasanya kebudayaan terdiri dapat bersumber dari nilai agama, adat-
dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam istiadat, petuah nenek moyang atau budaya
alam pikiran sebagian besar warga setempat, yang terbangun secara alamiah
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus dalam suatu komunitas masyarakat untuk
mereka anggap amat bernilai dalam hidup. beradaptasi selaras dengan lingkungan
Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya sekitarnya. Tingginya perkembangan ilmu
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi pengetahuan dan teknologi (IPTEK) membuat
kelakuan manusia. Sistem-sistem tata masyarakat Indonesia sudah mulai melupakan
kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih identitas kebudayaannya. Ini terlihat dari pola
konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum tingkah prilaku yang menyimpang dalam
dan norma-norma, semuanya juga berbagai aspek kehidupan, seperti berbahasa,
berpedoman kepada sistem nilai budaya itu. berpakaian, tingkat kriminalitas dan lain
Bentuk-bentuk tersebut menurut Sirtha dalam sebagainya. Hal ini berdampak pada rusaknya
Sartini (2004: 112) yaitu nilai, norma, etika, kondisi lingkungan akibat aktivitas manusia.
kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat dan Sehingga nilai-nilai kebudayaan di Indonesia
aturan-aturan khusus. Budaya merupakan satu harus dipertahankan dan diidentifikasi sebagai
dari beberapa unsur yang terdapat dalam warisan nilai bangsa Indonesia untuk hidup
kearifan lokal atau nilai positif berkehidupan selaras dengan lingkungan,
dan berprilaku dalam masyarakat, masyarakat
Menurut Koentjaraningrat (1987:12) bahwa
sendiri menurut Maclver (1955: 5) dalam
karakteristik atau bentuk kebudayaan sebagai
Harsojo (1984: 127) merupakan sistem dari
suatu unsur-unsur yang universal. Unsur-
cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan
unsur kebudayaan tersebut adalah sebagai
saling bantu-membantu yang meliputi
berikut:
kelompok-kelompok dan pembagian sosial
a. Sistem religi dan upacara keagamaan, yaitu
lain, sistem dari pengawasan tingkah laku
sistem kepercayaan dengan segala bentuk
manusia dan kebebasan, dalam sistem
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-
tersebut perlu aturan yang tidak tertulis akan
hari;
tetapi ditaati dan dijadikan pedoman dalam
b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
bermasyarakat tersebut, yang dikenal dengan
yaitu adanya tatanan masyarakat yang
istilah kearifan lokal. Ernawi dalam
mempunyai pola hubungan tertentu,
Wikantiyoso dan Tutuko (2009: 7)
menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan
misalnya sistem kekerabatan, organisasi lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang
politik, sistem hukum, sistem perkawinan; mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan
c. Sistem pengetahuan, yaitu hasil daya (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik
cipta, karya, dan karsa manusia; tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya
d. Bahasa yaitu alat komunikasi yang sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang
digunakan golongan masyarakat; akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya
e. Kesenian, berbagai bentuk bentuk seni akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto,
(seni rupa, seni suara, seni gerak, dan visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan
sebagainya); pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada
f. Mata pencaharian hidup, yaitu sistem tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat; yaitu :
dan 1) Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya
g. Sistem teknologi dan peralatan, yaitu yang kelihatan kasat mata (jelas)
produk ciptaan manusia berdasarkan ilmu. 2) Sikap, tindak laku, gerak gerik yang
Ditegaskan lagi oleh Koentjaraningrat muncul akibat slogan, moto tersebut
(1987:12) bahwa unsur-unsur kebudayaan 3) Kepercayaan yang tertanam (believe
dalam kehidupan masyarakat selanjutnya system) yang mengakar dan menjadi
akan terwujud menjadi tiga macam, yaitu kerangka acuan dalam bertindak dan
sebagai berikut: berperilaku (tidak terlihat)
a. Kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, Hubungan antara arsitektur dan kebudayaan,
gagasan, norma-norma dan peraturan yang dijelaskan dengan sangat baik oleh Habraken
bersifat abstrak, disebut sebagai culture (1988:3) bahwa, jika suatu masyarakat
system; senantiasa ingin berhubungan dengan tradisi
b. Kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kebudayaannya harus dimulai dari
kekuatan yang berpola dari manusia dalam mempelajari secara mendalam produk
masyarkat, bersifat lebih konkrit dan arsitektur yang merepresentasikan
disebut sebgai social system; dan kebudayaan masyarakatnya. Memahami
c. Kebudayaan benda–benda hasil karya secara mendalam wujud suatu obyek
manusia (artefak), mempunyai sifat paling arsitektur dapat diketahui melalui identitas
konkrit, dapat diraba, diobservasi dan kultural masyarakat pembangunnya
didokumentasi, disebut sebagai (Habraken,1988:3). Rapoport (1969:46)
kebudayaan fisik atau physical culture. sebagaimana dengan Habraken, menyatakan
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yangpula mengenai keterkaitan antara arsitektur
disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat,dan kebudayaan bahwa arsitektur adalah
sebuah institusi yang dibangun dengan kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
berbagai tujuan yang kompleks, tidak hanya secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
sekedar struktur visual. E.W. Burgess, (1925), berpendapat kota
II. b. Kajian Pemukiman dianggap sebagai suatu obyek studi dimana di
dalamnya terdapat masyarakat manusia yang
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang
sangat komplek, telah mengalami proses
Perumahan dan Permukiman, rumah adalah
interrelasi antar manusia dan antara manusia
bangunan yang berfungsi sebagai tempat
dengan lingkungannya. Mckenzi, (1929),
tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
kota/area perkotaan digambarkan sebagai
keluarga. Dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa
organisme hidup, dimana tata guna lahan
rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai organ tubuh, jaringan transportasi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
sebagai syaraf dan darah, serta kapling
pembinaan keluarga. Sementara Wikantiyoso
sebagai sel. Colby, (1933), menyatakan setiap
dalam Krisna (2005:17) menjelaskan, bahwa
struktur ruang kota merupakan hasil dari
permukiman tradisional adalah aset kawasan
suatu interaksi dua kekuatan setrifugal dan
yang dapat memberikan ciri ataupun identitas
sentripetal. Kemudian Sinulingga, (2005),
lingkungan. Identitas kawasan tersebut
menjelaskan model Struktur Ruang apabila
terbentuk dari pola lingkungan, tatanan
dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanannya
lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya
diantaranya:
dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata
a. Mono centered, terdiri dari satu pusat dan
ruang permukiman mengandung tiga elemen,
beberapa sub pusat yang tidak saling
yaitu ruang dengan elemen penyusunnya
terhubung antara sub pusat dengan sub
(bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan
pusat yang lain.
(formation) yang mempunyai makna
b. Multi nodal, terdiri dari satu pusat dan
komposisi, serta pattern atau model dari suatu
beberapa sub pusat dan sub pusat yang
komposisi.
saling terhubung satu sama lain. Sub pusat-
1. Pemukiman Perkotaan sub pusat selain terhubung langsung

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia dengan sub pusat juga terhubung langsung

nomor 26 tahun 2007, tentang Penataan dengan pusat.

Ruang, dijelaskan yang dimaksud dengan c. Multi centered, terdiri dari beberapa pusat

Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu

permukiman dan sistem jaringan prasarana sama lain.

dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung d. Non centered, pada model ini tidak
terdapat node sebagai pusat maupun sub
pusat. Semua node memiliki hirarki yang umum. Bentuk tatanan fisik lingkungan
sama dan saling terhubung antara satu permukiman atau hunian juga dapat dipandang
dengan yang lainnya. sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri dari
2. Pemukiman Traditional Spatial System, Physical System dan Stylistic
System. Spatial system berkaitan dengan
Untuk membentuk Struktur Ruang tidak
organisasi ruang yang mencakup hubungan
hanya orientation yang terpenting, tetapi juga
ruang, organisasi, pola hubungan ruang dan
objek nyata dari suatu identifikasi. Dalam
sebagainya. Physical system meliputi
suatu lingkungan, tempat suci berfungsi
penggunaan sistem konstruksi dan penggunaan
sebagai pusat yang selanjutnya menjadi
material, sedangkan stylistic system
orientasi dan identifikasi bagi manusia, dan
merupakan kesatuan yang mewujudkan
merupakan Struktur Ruang (Norberg-Schulz
bentuk, meliputi bentuk fasade, bentuk pintu,
1979 dalam Sasongko 2005:2-3). Tata nilai
bentuk jendela serta ukuran-ukuran ragam hias
menjadi salah satu pertimbangan penting di
baik di dalam maupun di luar bangunan
dalam Struktur Ruang masyarakat tradisional.
(Habraken1978, dalam Is, 1994 :25).
Kepercayaan bahwa roh leluhur ada di
Lingkungan hunian sebagai salah satu bentuk
puncak-puncak gunung yang tinggi
ruang arsitektur biasanya mencerminkan ide
menciptakan sumbu geografis imaginer.
dan gaya hidup masyarakat penciptanya.
Sumbu geografis ini memandang tempat yang
Masyarakat menterjemahkan ruang-ruang
memiliki posisi lebih tinggi memiliki nilai
yang berkaitan dengan fungsi publik dan ritual
ritual di atas tempat yang lebih rendah.
ke dalam lingkungan huniannya dengan cara
Tempat-tempat yang lebih tinggi ini disebut
yang berbeda dan membentuk variasi-variasi
sebagai hulu. Sementara arah yang
tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam
berlawanan dengan arah gunung memiliki tata
(Waterson, 1990 : 43).
nilai lebih rendah disebut teben, (Mahaputra,
Terbentuknya lingkungan permukiman
2005).
dimungkinkan karena adanya proses
Berkaitan dengan penggunaan ruang tertentu pembentukan hunian sebagai wadah
bagi berbagai peristiwa ritual, Knowles fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas
(1996:96) menyatakan bahwa manusia dalam manusia serta pengaruh seting atau rona
segenap tindakannya selalu berkait dengan lingkungan baik yang bersifat fisik maupun
ritual, dimanapun dia berada dalam belahan non-fisik (sosial-budaya) yang secara langsung
bumi ini, dalam berbagai tipe masyarakat. mempengaruhi pola kegiatan dan proses
Beberapa ritual diurai sebagai atribut budaya, pewadahannya (Rapoport, 1990:9). Untuk
merupakan tindakan kolektif dalam ruang dapat memahami lingkungan hunian sebagai
fenomena fisik tampaknya akan menjadi lebih Mungkin konsep ini erat kaitannya dengan
jelas jika karakter kultur, pandangan dan tata "rumah" (bahasa sansekerta). karena pada
nilai masyarakat setempat dapat digali dan hakekatnya ruang hunian (rumah dan
ditemukan. Perbedaan atau persamaan suatu permukiman) hanya dapat diungkap dengan
kultur dengan kultur lainnya dapat dinilai dan baik, apabila dikaitkan dengan manusia yang
ditandai berdasarkan unsur-unsur universal menghuninya. Menurut Eko Budihardjo
dalam sistem kebudayaan yang terangkum (1984), rumah merupakan pengejawantahan
dalam 3 wujud, yaitu : diri pribadi manusia, yang mampu
1. Cultural System, yaitu wujud menampung dinamika manusia, dan bersifat
kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, multi dimensional. Dengan peran multi
gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan dimensional tersebut, rumah bukan hanya
peraturan yang bersifat abstrak. sebagai benda fisik, sebagai tempat berteduh
2. Social System, yaitu wujud saja, tetapi mencakup seluruh lingkungan
kebudayaan sebagai kompleks fisik dan sosial budaya secara luas dalam
aktifitas kelakuan yang berpola dari kehidupan manusia.
manusia dalam masyarakat. Permukiman secara harfiah mengandung arti
3. Physical System, yaitu wujud tidak sekedar fisik saja. Tetapi juga
kebudayaan benda-benda hasil karya menyangkut hal-hal kehidupan non fisik
manusia yang mempunyai sifat paling (Sujarto,1991:30). Pengertian ini
kongkrit, dapat diraba, diobservasi menunjukkan bahwa suatu permukiman atau
dan didokumentasikan atau disebut ‘human settlements' pada dasarnya
juga kebudayaan fisik. merupakan suatu bagian wilayah tempat,
Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki dimana penduduk tinggal (bermukim),
urutan yang makin mewujud pada bentuk berkiprah dalam berbagai kegiatan kerja dan
kongkrit dan teraga dimulai dari cultural kegiatan usaha, berhubungan dengan sesama
system menuju social system dan akhirnya pemukim, sebagai suatu kesatuan
adalah physical system (Koentjaraningrat, masyarakat, memenuhi berbagai kegiatan
1990-26). kehidupan, serta memperoleh berbagai
kebutuhan kehidupannya. Budaya bermukim
3. Makna permukiman orang jawa
urban di Jawa tidak dapat dipisahkan dari
Bermukim hanya terjadi setelah dibangun proses dan pengertian tradisional, tentang
struktur yang dalam bahasa Jawa kuno bermukim urban dalam konteks negara.
disebut 'humah', artinya lantai yang Konteks ini membawa Jawa bukan sekedar
terlindungi oleh atap (Bagoes, 1995:25). memberi tempat perkembangan budaya,
tetapi juga peradaban kota (Bagoes, topografi abad ke-19 dan ke-20 di
1995:31). Indonesia. Katalog ini dapat diakses
III. Metode Penelitian melalui tautan
https://digitalcollections.universiteitleiden
Data yang akan digunakan dalam penelitian
.nl/maps-kitlv. Pada dasarnya penelitian
ini adalah data-data visual berupa peta lama
ini dilakukan untuk mengetahui
dan baru, data peta ini akan digunakan untuk
perubahan apa saja yang terjadi pada
mengetahui bagaimana perubahan bentuk
pemukiman heritage. Melalui
morfologi permukiman heritage di kota
perbandingan pet aini kita akan
Surakarta dari tahun ke tahun. Dengan
mengetahui bagaimana perkembangan
mengetahui perubahan bentuk pemukiman
pemukiman di kota Surakarta dari tahun
heritage yang ada di perkotaan diharapkan
ke tahun, dari yang semula merupakan
dapat diketahui bagaimana apakah terjadi
pemukiman yang berbenuk desa, yang
degradasi nilai heritage pada permukiman
terbentuk melalui konsep kearifan lokal,
heritage di kota Suurakarta. Selain data peta
sampai menjadi perkotaan yang sudah
yang akan diperbandingkan untuk
mengedepankan fungsional kota alih –
mendapatkan kondisi lingkungan
alih memperthankan bentuk pemukiman
permukiman heritage, data-data visual lain
kota yang masih memegang tradisi.
seperti foto bangunan lama dan saat ini. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
perubahan nilai heritage pada bangunan
heritage.

IV. Hasil dan Pembahasan

1. Studi Kasus pada permukiman heritage di


Kota Surakarta
Penelitian dilakukan pada bebrapa
permukiman bercorak heritage pada kota
Surakarta dengan cara membandingkan
data-data berupa peta kuno yang telah
didapat dari Perpustakaan Digital
Universitas Leiden Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Gambar 1. Peta Kota Surakarta Tahun 1920
(KITLV) yang merupakan katalog peta Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
Peta diatas merupakan peta kota Surakarta
yang dirilis oleh Topografische Inrichting
(Batavia) pada tahun 1920. Pada peta
tersebut sudah terlihat perkembangan kota
Surakarta. Meskipun masih terlihat
sederhana namun pada peta tersebut sudah
terlihat jaringan jalan dan jalur kereta api
pada kota Surakarta.

Gambar 3. Peta Kota Surakarta Tahun 1970


Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Peta diatas merupakan peta yang


Gambar 2. Peta Kota Surakarta Tahun 1935
Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl dikeluarkan oleh direktorat penataan
lahan departemen dalam negeri dan
Sedangkan peta diatas adalah peta kota
dirilis pada tahun 1970. Pada peta diatas
Surakarta tahun 1935 yang dirilis oleh
sudah terlihat bagaimana kota Surakarta
KITLV. Pada peta tersebut terlihat kota
sudah berkembang menjadi kota yang
Surakarta telah berkembang menjadi
padat penduduk, bahkan sampai terlihat
sebuah perkotaan yang padat penduduk.
pemukiman di kota Surakarta tidak hanya
Pada peta tesebut terlihat kota Surakarta
terpusat pada perkotaannya saja namun
meskipun sudah padat penduduk namun
juga menyebar kearah luar wilayah kota
sebaran pemukiman masih terpusat pada
Surakarta. Hal ini menyebabkan
sumbu kosmologi jawa yaitu Keraton
penyebaran pemukiman yang cukup liar
Surakarta.
hingga menyebabkan fenomena Urban
Sprawl.
1935, pemukiman berkembang mengarah
menyebar menjauhi Keraton, kemudian
pada 1970, peta tata guna lahan
menjelaskan bahwa pemukiman di kota
Surakarta sudah semakin padat bahkan
pemukiman di luar wilayah Surakarta
sudah mulai berkembang dan cenderung
menunjukkan fenomena urban
Gambar 4. Peta Kota Surakarta Tahun 2022
Sumber : Dokumen Pribadi sprawl. Kemudian pada peta terbaru
pada tahun 2022, pemukiman di kota
Peta diatas adalah peta tata guna lahan Surakarta sudah menjadi pemukiman
sebaran pemukiman kota Surakarta tahun padat dan berdampingan dengan fungsi
2022, dimana sebaran pemukiman sudah tata guna lahan yang lain. Hal ini
menyebar dan merata ke area yang menandakan bahwa perkembangan
menjauhi pusat kosmologi jawa yaitu pemukiman di Kota Surakarta sudah
Keraton Kasunanan. mengedepankan fungsi sebagai tempat
Dari perbandingan peta yang dilakukan tinggal ketimbang nilai-nilai konsep
melalui peta tersebut dapat diketahui kosmologi dalam pengembangan kotanya.
bagaimana perkembangan tata guna lahan Komparasi dengan menggunakan peta
di kota Surakarta yang menandakan merupakan salah satu teknik dalam
bagaimana kota Surakarta berkembang melihat perkembangan kota dari tahun ke
dari sebuah kumpulan pemukiman tahun, dari tata guna lahan pemukiman
menjadi sebuah kota yang yang tersentral pada pusat kosmologi jawa
mengedepankan fungsional. yaitu Keraton, menjadi menyebar dan
Melalui peta-peta diatas, dapat diketahui membentuk sebuah urban fabric
bagaimana perkembangan pemukiman perkotaan. Dari urban fabric yang
secara makro di kota Surakarta sudah terbentuk dari sebuah kota ini, dapat
berkembang pesat, dari yang semula terlihat bagaimana wajah kota tersebut.
kumpulan pemukiman yang punya titik Namun data dari peta-peta tersebut dirasa
konsentris pada Keraton Kasunanan. Dari perlu dilakukan verifikasi kembali
tata guna lahan yang ada di kota menggunakan dokumentasi foto lama
Surakarta, pada tahun 1920, pemukiman dikomparasikan dengan foto baru,
berada di dekat sumbu konsentris atau sehingga terlihat perubahan dan
sumbu kosmologi jawa, kemudian pada penurunan nilai heritage suatu bentuk
arsitektur melalui bentuk dan ragam hias tersebut, dan terdapat pemukiman yang
bangunan. Melalui bentuk dan ragam hias ada di sekitaran kelenteng. Bentuk
bangunan diharapkan dapat dipahami arsitektur dan ragam hias yang ada pada
bagaimana perubahan dan penurunan nilai sekitaran kelenteng ini bercorak bangunan
heritage pada sebuah kawasan pemukiman tradisional. Jika dikomparasikan dengan
heritage. Bentuk dan ragam hias pada penampakan saat ini, dokumentasi yang
sebuah bangunan ataupun kawasan terlihat akan sangat berbeda jauh dengan
pemukiman heritage yang telah terjaga kondisi awalnya.
dalam waktu yang lama menjadikan
sebuah identitas kawasan pemukiman.
Karena pada dasarnya identitas pada
sebuah pemukiman merupakan nilai
kearifan lokal yang berasal dari awal
proses pembentukan sebuah pemukiman.

Gambar 6. Foto Kelenteng Tien Kok Sie Tahun 2022


Sumber : Gmaps 2022

Foto diatas adalah foto pada tempat yang


sama diambil pada tahun 2022 melalui
Google maps. Pada foto tersebut terlihat
bentuk kelenteng masih terjaga namun
bentuk pemukiman yang ada di
Gambar 5. Foto Kelenteng Tien Kok Sie Tahun 1900 sekitaran kelenteng tersebut sudah
Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl
berubah menjadi bangunan yang
Dokumentasi diatas adalah dokumentasi bersifat komersil. Pada layer pertama
foto salah satu rumah peribadatan yang jalan RE. Martadinata ini sudah
ada di Surakarta, yaitu Kelenteng Tien didominasi oeh bangunan komersil dan
Kok Sie yang terletak di sebelah selatan tidak ditemukan lagi bangunan yang
pasar Gedhe. Foto tersebut diambil dari berfungsi sebagai pemukiman. Fungsi
perpustakaan digital KITLV dan pemukiman bergeser pada layer kedua
diperkirakan foto pada tahun1900. Jika pada kawasan ini.
dilihat dari foto lama tersebut, terlihat
bagaimana bentuk asli dari arsitektur
tionghoa pada bangunan kelenteng
yang masih terjaga sampai sekarang.
Secara fungsi, peruntukkan lahan pada
kawasan ini masih berupa pemukiman
sama seperti peruntukkan lahan awal
pembentukan. Berbeda dengan lokus
sebelumnya, kawasan pemukiman yang
telah berubah menjadi kawasan
perekonomian, pada kawasan Loji wetan
ini masih menjadi kawasan
Gambar 7. Foto Pemukiman Lojiwetan Tahun 1900
Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl pemukiman yang mempertahankan
nilai heritagenya.
Berikutnya adalah pemukiman Loji wetan
Selanjutnya pada kawasan Kepatihan
yang terletak di timur benteng vastenburg,
yang terletak di Utara Pasar Gedhe
merupakan pemukiman yang terbentuk
Surakarta, dimana kawasan ini awalnya
guna memenuhi kebutuhan hunian tentara
merupakan kawasan kediaman dan kantor
belanda yang menghuni benteng
seorang patih pada Keraton Kasunanan,
vastenburg, sehingga dari bentukan
namun saat ini fungsinya telah berubah
bangunan, pemukiman ini banyak
menjadi kawasan perkantoran.
menggunakan corak eropa. Foto diatas
adalah foto pada tahun 1900 yang diunduh
dari perpustakaan digital KITLV.

Gambar 9. Foto Pemukiman Kepatihan Tahun 1900


Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Gambar 8. Foto Pemukiman Lojiwetan Tahun 2022


Sumber : Gmaps 2022

Pada foto diatas adalah foto yang diambil Foto diatas merupakan foto yang diambil
tahun 2022 melalui Google maps yang pada tahun 1900 pada saat kawasan
masih menampakkan salah satu bangunan kepatihan ini masih digunakan sebagai
kediaman dan kantor kepatihan patih degradasi nilai heritage yang terdapat
Keraton Kasunanan. Pemukiman yang pada lokus-lokus tersebut. Seperti halnya
terbentuk mengelilingi kantor kepatihan pada kawasan pasar Gedhe, yang awalnya
ini dan didominasi oleh abdi dalem merupakan fungsi campuran antara
keraton yang mengabdi pada kantor pemukiman dan ekonomi, saat ini hanya
kepatihan. menyisakan sedikit fungsi pemukiman
yang terselip diantara fungsi ekonomi.
Begitu pula yang terjadi di kawasan
Kepatihan, pemukiman yang awalnya
berada di sekitaran kediaman dan kantor
Kepatihan saat ini sudah berubah menjadi
perkantoran dan pertokoan, dan lagi – lagi
pemukiman berada diantara fungsi kantor
dan toko yang ada di kawasan
Gambar 10. Foto Kepatihan Tahun 2022 tersebut. Berbeda dengan dua lokus
Sumber : Gmaps 2022
sebelumnya, pada kawasan Loji wetan

Pada foto tahun 2022 diatas, terlihat sudah masih dipertahankan sebagai kawasn

terjadi pergeseran fungsi kawasan yang pemukiman dan mempertahankan bentuk

sebelumnya berupa pemukiman saat ini dan ragam hias arsitekturnya. Secara nilai

didominasi menjadi perkantoran dan heritage, kawasan Loji wetan masih

pertokoan. Fungsi pemukiman masih memiliki nilai historis yang terlihat secara

terdapat di sebagian sisi kawasan, namun kasat mata, bahkan sesuai dengan Surat

kantor kepatihan sendiri saat ini sudah Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang kota

tidak ada dan berganti menjadi kantor Surakarta Nomor 646/40/I/2014, kawasan

kejaksaan, sehingga secara toponim, Loji wetan merupakan kawasan cagar

kawasan ini hanya meninggalkan nama budaya yang harus dijaga kelestariannya.

kepatihan saja tanpa ada fungsi yang VI. Daftar Pustaka

masih terdapat disana. Hartanto, Tri. 2016. Eksistensi Nilai-nilai


Tradisi dan Budaya Keraton Sebagai
V. Kesimpulan
Elemen Pembentuk Kekhasan Struktur
Ruang Kampung Negari Di Surakarta.
Dari tiga lokus yang sudah dibahas
Disertasi, Universitas Gadjah Mada,
mengenai perubahan yang terjadi pada Yogyakarta.
lokus penelitian, secara garis besar
terdapat perubahan signifikan terhadap
Habraken, NJ, 1988, Type As a Social Seto, A.P.B., Kusumastuti, Andisetyana
Agreement, Paper, Asian Congress P.R. 2017. Kesesuaian Komponen
of Architects Seoul. Kawasan Wisata kampung Laweyan
A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Terhadap Aspek Revitalisasi Kawasan
Antropologi.(Jakarta : Akademik Wisata Cagar Budaya. Region, Vol.
Pressindo,1985) hal. 4 12, No. 1, 2017 : 25-35.
Hamidah, Noor., Rijanta, R., Setiawan, Rosali, E. S., Mainaki R. 2019. Nilai-nilai
B., Aris Marfai, M., (2016). Kampung Kebudayaan Di Kampung Adat Dukuh
Sebagai Model Permukiman Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Hidup
Berkelanjutan Di Indonesia. Jurnal Selaras Dengan Lingkungan. Jurnal
INERSIA, Vol. XII No. 2, Desember Geografi Gea, Vol 19, No 1.
2016. 115.
Al-shalabi, Billa, L. 2012. Modelling
Koentjaraningrat (1990), Pengantar Ilmu Urban Growth Evolution and land-use
Antropologi. PT.Rineka Cipta, Jakarta chages using GIS based cellular
automata and SLEUTH models : the
Khudori, K., (2002). Menuju Kampung
case of Sana’a metropolitan city,
Pemerdekaan ; Membangun
Yemen. Springer-Verlag Berlin
Masyarakat Sipil dari akar-akarnya
Heidelberg 2012.
belajar dari Romo Mangun di pinggir
kali Code. Yayasan Pondok Rakyat. Nair, P. Pratap Singh, D. 2021.
Yogyakarta. Challenges and New Paradigms in
Conservation of Heritage-based
Willems, K.,2000, Form, Meaning and
Villages in Rural India-A case of
Refereence in Natural Language.
Pragpur and Garli Villages in
Journal of the International Council of
Himachal Pradesh. Advances in
Onomastic Science, Vol. 35, 86.
Science, Technology and Engineering
Sumintarsih dan Adrianto, Ambar. 2014. Systems Journal Vol. 6, No. 1, 1112-
Dinamika Kampung Kota 1119 (2021)
Prawirotaman Dalam Perspektif
Tan, R., Liu, Y. et.al. 2014. Urban
Sejarah dan Budaya. Departemen
Growth and its determinants across
Pendidikan dan Kebudayaan Balai
the Wuhan urban agglomeration.
Pelestarian Nilai Budaya. Yogyakarta
Central China. Habitat International 44
I Made Ratih Rosanawati. 2019. (2014)
Arsitektur Barat dan Puro
Sugestiadi, M.I., Basuki, Y. 2018.
Mangkunegaran. Keraton : Journal of
Dinamika Pertumbuhan Perkotaan di
History Education and Culture Vol. 1,
Kawasan Perkotaan Surakarta. Seminar
No. 1.
Nasional Geomatika 2018:
Darmawan, S. Budi, U.T. 2018. Pola Penggunaan dan Pengembangan
Pemanfaatan Ruang terbuka Pada Produk Informasi Geospasial
Pemukiman Kampung Kota. Mendukung Daya Saing Nasional.
Vitruvian : Jurnal Arsitektur,
Gunawan, M.S., Ramdhon, A. 2019.
Bangunan dan Lingkungan Vol. 7 No.
Perubahan Kampung Kota (pengaruh
3, 2018 : 127-136.
hadirnya mall dan hotel terhadap
Riyadi. Modernisasi Kota Surakarta Awal pemukiman masyarakat kampung
Abad XX. Tidak Terpublikasi sekayu dan jayenggaten dalam
perubahan sosial di Semarang abad ke Perspectives of Stakeholders at Pura
21). Journal of Development and Tanjung Sabtu, Terengganu.
Social Change, Vol. 2, No. 2, Oktober Proceedings of the First International
2019 Conference on Science, Technology,
Engineering and Industrial Revolution
Rapoport, A. 1969. House Form and
(ICSTEIR 2020)
Culture. University of Winconsin
Milwaukee. Fenta, A.A., Yasuda H. et.al. 2017. The
dynamics of urban expansion and land
Yuliasari, I. 2020. Hakekat Arsitektur
use/land cover changes using remote
Kampung Kota Dalam Konteks
sensing and spatial metrics : the case
Filosofis. Lakar : Jurnal Arsitektur,
of Mekelle City of northern Ethiopia.
Vol. 03. No. 02.
International Journal of Remote
Yuwono, S., Wardiningsih, S., 2016. Sensing, 38:14, 4107-4129, DOI:
Mempertahankan Keberadaan 10.1080/01431161.2017.1317936
Kampung Di Tengah-tengah Kawasan
Undang-undang Cagar Budaya No 11
Modern Jakarta. NALARs : Jurnal
Tahun 2010
Arsitektur Vol. 15 No. 1 2016 : 73-80.
Surat Keputusan Kepala Dinas Tata ruang
Kusumastuti. 2016. Proses dan Bentuk
kota Surakarta Nomor 646/40/I/2014
“Mewujudnya” Kota Solo Berdasarkan
Teori City Shaped Spiro Kostof. https://
Region, Vol. 1, No. 1, Januari 2016: 1- digitalcollections.universiteitleiden.nl/
51
www.google.co.id/maps/place/
Noorfathehah, Madzlan. 2020. The Kota+Surakarta,+Jawa+Tengah
Potential of Developing a Heritage
Village to Safeguard Intangible
Cultural Heritage from the

Anda mungkin juga menyukai