Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317166889

Understanding Mangunwijaya’s Space

Conference Paper · January 2009

CITATIONS READS

0 3,462

1 author:

Yenny Gunawan
Universitas Katolik Parahyangan
17 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tectonic Culture View project

Crafting Tradition View project

All content following this page was uploaded by Yenny Gunawan on 26 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Memahami Ruang Y.B. Mangunwijaya
1
Yenny Gunawan

1. Perspektif terhadap Praktik Berarsitektur

Sejak pameran Rudofsky2 yang berjudul “Arsitektur Tanpa Arsitek” pada tahun
1964, diskusi seputar arsitektur termasuk arsitektur Nusantara seringkali mengarah pada
pembedaan pemahaman antara arsitektur vernakular dengan arsitektur yang didesain
oleh arsitek. Arsitektur vernakular lebih banyak dipahami dari segi bentuk, antropologi
dan makna -yang seringkali dikaitkan dengan kepercayaan atau mitos dalam kebudaya-
an tertentu-. Sedangkan arsitektur yang didesain oleh arsitek kontemporer lebih banyak
dipahami dari segi konsep3 -yang kerap tidak berangkat dari tempat atau budaya masya-
rakat penggunanya-, atau dari segi praktis seperti: tektonika (struktur dan material), dan
fisika bangunan.

Oleh karena itu dalam praktik berarsitektur kontemporer, arsitektur vernakular di-
anggap berada di pihak lain dan tidak relevan. Walaupun beberapa arsitek masa kini
menghargai arsitektur vernakular, namun pemahaman mereka kerap hanya terbatas pa-
da bentuk dan ornamen saja. Hal-hal yang berkaitan dengan makna (yang mengacu pa-
da mitos atau kepercayaan tertentu) sangat sulit ditarik hubungannya ke dalam praktik
berarsitektur kontemporer yang berada dalam lingkup masyarakat ‟modern‟. Sebab itu,
upaya menghubungkan arsitektur vernakular dengan praktik berarsitektur kontemporer
kerap hanya terbatas pada persamaan bentuk, misalnya meng-copy paste atap Bagon-
jong pada gedung perkantoran modern di Padang.

Y.B. Mangunwijaya tidak menyetujui copy-paste bentuk dalam praktik berarsitek-


tur4. Beliau kemudian merumuskan sebuah pendekatan dalam praktik berarsitektur yang
tidak didasarkan pada copy-paste bentuk, tetapi didasarkan pada fungsi, tektonika, fisika
bangunan, makna dan antropologi. Pendekatan ini dapat memahami kedua arsitektur ter-
sebut secara seimbang dan saling melengkapi5. Dengan demikian, tidak ada pembedaan
kedua „jenis‟ arsitektur tersebut. Tulisan ini akan menelaah praktik berarsitektur beliau
yang didasarkan pada ilmu filsafat6.

2. Berarsitektur adalah berkomunikasi

Salah satu tokoh filsafat yang mempengaruhi Y.B. Mangunwijaya dalam praktik

1
Dosen Tetap di Jurusan Arsitektur, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Peneliti dan Penulis Lepas.
2
Bernard Rudofsky (1905-1988) dilahirkan di Austria, bekerja di Amerika sebagai penulis, arsitek, pengajar, desainer, dan
sejarawan sosial. Beliau tertarik pada banyak hal, mulai dari arsitektur vernakular sampai toilet dan desain sandal Jepang.
3
Makna atau meaning berbeda dengan konsep atau concept. Dalam Meriam Webster Dictionary Online, kata meaning
berarti significant quality; especially: implication of a hidden or special significance, sedangkan concept berarti an abstract
or generic idea generalized from particular instances; something conceived in the mind.
4
“Janganlah permasalahan pemribumian, gedung-gedung gereja cuma diartikan pengambilan bentuk-bentuk tradisional
belaka; dipakai kulitnya, diberkati air-suci lalu jadi gereja, unsur-unsur pribumi dan bentuk hiasan-hiasan tradisionil yang
ditempelkan gado-gado belumlah memberi suatu kewajaran arti yang asli dan berisi; belumlah melahirkan jiwa budaya
yang tersiram rahmat iman yang jujur“ (Mangunwijaya, Mencari 190-191).
5
“Alasan-alasan gaib, mitis atau magis itu bukanlah satu-satunya alasan atau pedoman berarsitektur bagi manusia kuna.
Mereka pun cerdas dalam menganalisa realita dan penanganan praktis permasalahan permukiman serta bangunan-
bangunan“ (Mangunwijaya, Wastu 106), dan bahwa hal-hal yang sifatnya praktis, seperti pemilihan dan penggunaan
material juga ada dimensi budayanya (Mangunwijaya, Pasal 358-360).
6
Pemahaman ini dipengaruhi oleh latar pendidikannya di Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta (1959) yang
banyak berhubungan dengan ilmu filsafat.

1
berarsitektur adalah A. Merleau-Ponty yang membahas mengenai bahasa ungkapan 7:
”Tubuh merupakan ruang yang mengungkapkan diri, ...tidak hanya benda fisik, tetapi ia
lebih-lebih karya seni...“ (Mangunwijaya, Wastu 5). Dengan demikian, pemahaman pen-
ciptaan arsitektur Y.B. Mangunwijaya diperkaya oleh A. Merleau Ponty. Arsitektur seba-
gai hasil karya seni manusia adalah tubuh sekaligus ruang yang mengungkapkan diri.
Seseorang berkata-kata, berpakaian dan berarsitektur untuk mengungkapkan dirinya.
Berdasarkan pengertian ini, kita dapat memahami bahwa penciptaan arsitektur beliau pa-
da hakekatnya adalah sama dengan berbahasa atau berkomunikasi dengan sesamanya.

Pengertian hakekat penciptaan arsitektur sebagai bahasa ini sangat berkaitan


8
dengan pemahaman citra. Kata ‟citra‟ yang dimaksud disini adalah suatu gambaran
(image) yang berarti representasi dari sesuatu yang bermakna bagi sekelompok masya-
rakat. Di sinilah citra dikaitkan dengan kebudayaan. Beliau berpendapat bahwa dalam ci-
tra bangunan terkandung kebudayaan masyarakat pembangun-nya9. Banyak contoh arsi-
tektur vernakular muncul dalam buku-bukunya untuk menjelaskan pemahaman citra ini,
mulai dari citra arsitektur Jepang yang damai, wajar, serta sederhana, citra arsitektur me-
nara Einstein di Berlin yang romantis, mistis dan bernafsu dekorasi, sampai citra arsitek-
tur Indonesia kontemporer yang dinilainya awut-awutan10. (Mangunwijaya, Wastu 26,29).

Namun, sesuai dengan judul pameran Rudofsky di atas, dalam pemahaman citra
ini belum ada unsur arsitek sebagai individu. Dengan pemahaman berarsitektur sama de-
ngan berbahasa inilah, unsur individu arsitek dihadirkan. Cara tiap-tiap orang berkomuni-
kasi dapat beragam: unik secara individu dengan logatnya, pemilihan kata sebagai eks-
presi dirinya namun tetap dapat dimengerti oleh komunitasnya11. Demikian pula halnya
dengan berarsitektur. Y.B. Mangunwijaya beranggapan bahwa dalam menciptakan kar-
ya arsitektur, seorang arsitek sejogjanya mem-bahasa-kan kebudayaan masyarakat ter-
tentu dengan tidak mengekang upaya ekspresi diri individu penciptanya12.

3. Translasi Ruang dalam Praktik Berarsitektur Y.B. Mangunwijaya

Berangkat dari pemahaman arsitektur sebagai bahasa ungkapan dan ruang yang
mengungkapkan diri, kata ‟translasi‟ ruang (bukan bentuk) dipilih sebagai cara Y.B. Ma-
ngunwijaya merancang karya arsitekturnya. Dalam kamus Meriam Webster Online Dictio-
nary13, translasi (to translate dalam bahasa Inggris) berarti 1. to change appearance to
another (to transform); 2. to express in different terms and especially different words; 3. to
express in more comprehensible terms (to explain, to interpret). Sesuai dengan definisi
translasi tersebut, translasi ruang di sini berarti mentransformasikan ruang yang satu
menjadi ruang yang lain namun tetap mengekspresikan makna budaya yang serupa.

7
Selain A. Merleau-Ponty, tokoh filsafat yang juga mempengaruhinya adalah J.B. Metz: “Agar menjadi roh manusia yang
sempurna, ia (manusia) harus menjadi semakin badan“ (Mangunwijaya, Wastu 1).
8
Dalam Meriam Webster Online Dictionary, kata gambaran berarti a visual representation of something, a mental picture
or impression of something, a mental conception held in common by members of a group and symbolic of a basic attitude
and orientation.
9
“Citra menunjuk pada tingkat kebudayaan (culture), sedangkan guna lebih menuding pada segi ketrampilan/kemampuan
atau peradaban (civilization)“ (Mangunwijaya, Wastu 25-37, Pasal 5-9)
10
“Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu jelek di tengah alam dan masyarakat
yang begitu cantik? ...Ya kesejatian diri (atau bahasa citra) sudah hilang dari masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu
bertubi-tubi diserang desintegrasi politik, ekonomi maupun kebudayaan. Dimana-mana arsitektur selalu menjadi detektor
yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa. Begitu gado-gado dan simpang siur perwatak-
an gedung-gedung itu, minta ampun. (jikalau ada wataknya)“ (Mangunwijaya, Burung 199).
11
“Percakapan tidak hanya ditandai oleh kata-katanya, tetapi juga oleh aksennya, warna nadanya, gerak ulah dan sikap
badan...“ (Mangunwijaya, Wastu 5)
12
“Bila kita berarsitektur, artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan material
dan suasana tempat, dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisi-
nya, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan; dengan nurani dan tanggungjawab penggunaan bahasa
arsitektural yang baik...tidak harus mengikuti mode mutakhir, gaya yang sedang laku, dan sebagainya...“ (Mangunwijaya,
Wastu 7-9).
13
http://www.merriam-webster.com/dictionary/translate 2009. Web. 14 July 2009.

2
Sedangkan kata ruang dipilih karena Y.B. Mangunwijaya berpendapat bahwa ci-
tra arsitektur dapat dipahami bukan dari bentuknya, melainkan dari ruangnya. Hal ini di-
nyatakannya dalam buku Wastu Citra (5): “Ruang yang ekspresif... nah disinilah perjum-
paan kita dengan penghayatan arsitektural, penghayatan ruang, beserta pembatas dan
pelengkap ruang-ruang, yakni gatra-gatra atau volume-volume secara manusia berbuda-
ya”. Dari pernyataan ini, dapat digarisbawahi bahwa penghayatan arsitektural berarti
penghayatan ruang. Dan bahwa gatra yang notabene mengacu pada bentuk arsitektur14
hanyalah pembatas dan pelengkap ruang. Oleh karena itu, penghayatan bahasa ruang
menjadi penting sebagai langkah awal penciptaan arsitektur Y.B. Mangunwijaya.

Tulisan ini akan membahas dua hal; pertama, citra ruang Jawa yang menjadi
konsep perancangan beliau, dan kedua, guna ruang Jawa yang menjadi landasan pro-
gram perancangan beliau. Citra ruang Jawa yang dibahas dalam tulisan ini mengacu pa-
da tulisan beliau mengenai Gereja Maria Asumpta (Mangunwijaya, Simbolisasi 19-28).
Pembahasan terkait pada lima elemen arsitektur: atap, pendukung atap, alas, lantai dan
dinding (Mangunwijaya, Pasal 275-353), untuk melihat bagaimana beliau mengekspresi-
kan diri dalam bahasa arsitektur.

Tiga karya arsitektur beliau yang ada di Pulau Jawa dipilih sebagai studi kasus
dalam tulisan ini: Gereja Maria Asumpta di Klaten-Jawa Tengah, Wisma Kuwera di Yog-
yakarta-Jawa Tengah dan Galeri Seni Bentara Budaya di Jakarta. Tiga karya arsitektur
ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda; sebagai gereja, rumah tinggal dan galeri seni.
Pembedaan fungsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap me-
ngenai bagaimana beliau menterjemahkan ruang Jawa tersebut dalam karya arsitek-
turnya.

3.1. Citra Ruang Jawa sebagai Konsep

Dalam tulisan Gereja Maria Asumpta, pemahaman „bahasa‟ ruang dalam arsitek-
tur Jawa dimulai dengan „citra‟; apa yang ingin diekspresikan oleh masyarakat Jawa da-
lam „ruang‟ arsitekturnya. Beliau berangkat dari bahasa atau kata-kata yang dipakai se-
hari-hari yang menunjuk pada rumah, “Aku ingin menengok kampung halaman” (Ma-
ngunwijaya, Simbolisasi 20). Dari kalimat ini, beliau mempunyai ide rumah Jawa sebagai
halaman15. Dari ide ini, beliau menarik relevansinya dengan bahasa ruang yang ada da-
lam pendopo. Beliau menyatakan bahwa “Pendopo secara prinsip hanyalah sebagian da-
ri halaman rumah yang diberi payung, tempat komunikasi antara pihak penghuni rumah
dan masyarakat luar...Pendopo harus terbuka. Kalau tidak, esensi pendopo sebagai ke-
terbukaan terhadap dunia luar sudah hilang“ (Mangunwijaya, Wastu 153, Simbolisasi 20).

Disini terlihat beliau memahami citra ruang Jawa sebagai ruang yang terbuka
dan menaungi seperti payung di dalam halaman (foto 1). Atap menjadi elemen yang do-
minan. Sedangkan dinding bukan merupakan elemen yang statis tetapi lepas (gebyok),
fleksibel, dinamis. “Dinding-dinding rumah Jawa selalu mudah dilepas praktis bila ada ke-
perluan pesta besar.“ (Mangunwijaya, Simbolisasi 20). Atau terkadang bersifat semi
transparan yang berupa seketeng atau „screen‟16. Dinding ini memisahkan antara dalem

14
Pengertian kata gatra yang mengacu pada bentuk dijelaskan oleh Y.B. Mangunwijaya dalam buku Wastu Citra h. 191-
234 dan h.271-300. Beliau menjelaskan melalui arsitektur Yunani “yang pada dasarnya memang ahli memahat patung;
dan dunia patung selalu terolah dari gatra-gatra,.. Kenikmatan estetikanya ada pada kepuasan memandang gatra-gatra
selaku bentuk-bentuk seni pahat.” Selanjutnya beliau juga menjelaskan mengenai seni ruang dengan contoh-contoh
arsitektur bangsa Romawi dan Jepang.
15
Beliau juga menduga bahwa konsep halaman ini berkaitan dengan sejarah Jawa yang konon adalah masyarakat Hindu
seperti orang-orang Bali. Hal ini diperkuat dengan eksistensi gerbang dan pagar sebagai penanda teritori, penanda area
publik dengan privat, termasuk pada keraton Yogyakarta.
16
Walaupun dalam bahasa Jawa, terdapat elemen dinding yang disebut seketeng, namun saya menduga bahwa prinsip ini
juga dipengaruhi oleh kesukaannya terhadap arsitektur vernakular Jepang. Beliau menyebut arsitektur Jepang sebagai
seni ruang lembut transparan (Wastu 235-243).

3
dan pendhopo. (Mangunwijaya, Simbolisasi 21). Ruang luar dan ruang dalam pada prin-
sipnya adalah menyatu, sebagai halaman. Dinding seketeng ini -dengan susunan mate-
rial papan kayu (foto 2) atau anyaman bambu juga membuat celah-celah kecil- secara
tidak langsung mengakibatkan ventilasi silang secara horisontal. Dengan demikian, ke-
nyamanan fisik dalam ruangan dapat terjaga. Citra ruang Jawa yang menaungi dan din-
ding seketeng ini kemudian menjadi konsep utama beliau dalam berarsitektur.

Foto 1 (kiri). Pendopo di Kotagede yang men-citra-kan ruang Jawa yang terbuka dan menaungi seperti payung.
Foto 2 (kanan). Dinding yang mudah dilepas pada rumah Joglo di Lasem. Celah-celah kecil akibat susunan
kayu menghadirkan ventilasi silang secara horisontal.

Konsep ini terlihat baik pada Gereja Maria Asumpta, Wisma Kuwera maupun pa-
da Galeri Seni Bentara Budaya. Konsep ruang Jawa seperti payung di halaman ini mun-
cul dalam proporsi elemen atap yang dominan, serta berbagai variasi bentuk, material
dan konstruksi yang kebanyakan didasarkan pada bentuk atap pelana (foto 3a-c). Varia-
si atap ini tetap mempertimbangkan unsur guna 17: prinsip atap rapat yang menjelang ke
muka, lebar dan kemiringan yang tajam. Seperti yang telah disebutkan di atas, citra
ruang Jawa ini didukung oleh dinding seketeng yang juga muncul dalam berbagai variasi
bentuk, tekstur dan material (foto 4-6). Material yang digunakan tidak terbatas pada
material-material yang digunakan pada arsitektur tradisional seperti bambu dan kayu,
tetapi juga material modern seperti kaca, semen dan beton.

Foto 3. Elemen atap yang dominan dengan berbagai variasi bentuk dan material sebagai pen-citra-an ruang
Jawa yang menaungi; a (kiri). Gereja Maria Asumpta; b. (tengah). Galeri Seni Bentara Budaya; c. (kanan)
Wisma Kuwera.

17
Kata guna menunjuk pada pemanfaatan yang diperoleh (use dalam bahasa Inggris), menyangkut penggunaan material
sesuai karakternya, logika strukturnya, fisika bangunan dan fungsi, yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
(Mangunwijaya, Wastu 31). Contoh yang beliau gunakan untuk menjelaskan pemanfaatan ini adalah lumbung padi di Mi-
nang: “Wadah padi yang tinggi di atas tanah menjadikan padi cepat kering serta hama tikus lebih mudah dikontrol.
Dinding yang cukup rapat dapat menahan cukup namun cukup berlubang demi ventilasi agar tidak membusuk bila lem-
bab... Sungguh suatu cara berkonstruksi yang bermutu tinggi dan berpengetahuan alam yang sangat cerdas,“
Mangunwijaya, Pasal 7.

4
Foto 4 (kiri). Dinding seketeng dari material kayu, kaca transparan dan bambu pada ruang penghubung zoning
privat dan publik pada Wisma Kuwera. Foto 5 (kiri). Dinding seketeng dari material bata dan semen yang
memisahkan ruang Misa dengan ruang terbuka (taman) di Gereja Maria Asumpta. Foto 6 (kanan). Dinding
seketeng dari material kaca pada ruang pameran Galeri Seni Bentara Budaya.

Untuk memperkuat citra payung yang berada di halaman, bangunan tidak mewu-
jud sebagai sebuah massa bangunan yang besar, melainkan dibagi menjadi beberapa
massa bangunan dalam tapak. Pagar pendek kemudian ditempatkan di sekeliling massa
bangunan. Selain itu, untuk memperkuat citra halaman, beliau memakai material lantai
outdoor atau teras pada lantai interior bangunan (foto 7).

Foto 7. Material lantai outdoor dan teras yang digunakan pada interior. a (kiri). Ruang Misa Gereja Maria
Asumpta; b. (tengah). Material ini digunakan di seluruh interior Galeri Seni Bentara Budaya; c. (kanan) Ruang
lantai 1 Wisma Kuwera banyak memakai material ini.

Seperti elemen atap yang tetap mempertimbangkan unsur guna, dinding seke-
teng ini menghadirkan ventilasi silang dalam bangunan. Selain itu, kreasi dinding ini juga
memperhatikan unsur guna lainnya seperti: melindungi ruangan dari arus angin luar, me-
ngatur derajat kelembaban, menghalangi kalor yang datang dari luar serta mengatur ca-
haya matahari yang masuk ke dalam ruangan sesuai dengan fungsi ruangan, dan lain-
lain. Sesuai dengan fungsi ruangnya, pada bagian-bagian tertentu yang memerlukan pri-
vacy, dinding seketeng digantikan oleh dinding tebal yang tidak tembus pandang (masif).
18 19
Dinding masif ini terkadang dihiasi oleh ornamen dekoratif dengan motif-motif alam,
seperti dedaunan, dan sebagainya (foto 8), yang menghasilkan tekstur tertentu pada
dinding. Ornamen ini adalah ekspresi 20 beliau yang sejalan dengan fungsi bangunan itu
sendiri: agar ruang bangunan tersebut lebih bermakna bagi penggunanya.

Selain itu, untuk mendukung konsep ruang Jawa yang menaungi serta dinding
seketeng, Y.B. Mangunwijaya juga menghadirkan kesatuan ruang luar dan ruang dalam
pada arsitektur Jawa. Kesatuan ini juga memperlihatkan ide rumah Jawa yang berada di
halaman. Kesatuan ruang ini dicapai dengan memadukan elemen dinding dan atap dan
tampil dalam beberapa bentuk. Pertama, dengan menghadirkan ruang-ruang terbuka

18
Ornamen dekoratif ini juga muncul pada berbagai elemen desain, seperti: pada kolom, bangku, bahkan pada lampu.
Misalnya: lampu gantung Gereja Maria Asumpta melambangkan roh Kudus yang turun dari surga.
19
Beliau beranggapan bahwa “bila kita merencanakan bangunan, maka kita harus sekaligus merencanakan unsur tum-
buh-tumbuhan”. Beliau juga menyatakan bahwa arsitektur flora memegang peran yang sangat vital. (Mangunwijaya,
Pasal 379-383).
20
Pemakaian ornamen dekoratif ini juga didorong oleh semangat humanis Y.B. Mangunwijaya. Dengan adanya, ornamen-
ornamen ini, para tukang dapat bekerja lebih lama sehingga mereka dapat mendapatkan upah lebih banyak dan kontinu.

5
kecil di dalam interior bangunan. Ruang terbuka ini hadir dengan menghilangkan elemen
atap, dan biasanya berupa kolam (foto 12). Dan kedua, ruang terbuka yang berfungsi se-
bagai ruang antara yang memisahkan zoning privat dan publik. Ruang antara dapat beru-
pa sirkulasi penghubung (foto 4) atau berupa teras dengan menghilangkan elemen din-
ding (foto 13). Namun tidak tertutup kemungkinan ruang antara ini dihadirkan sebagai
akibat dari penempatan massa-massa bangunan (foto 14). Kesatuan ruang luar dan da-
lam ini juga sangat membentuk dalam menghadirkan ventilasi silang dalam bangunan.

Foto 8 (dari kiri ke kanan). Tekstur dinding ukiran kayu dengan motif dedaunan pada dinding altar Gereja Maria
Asumpta; relief dedaunan pada dinding ruang misa Gereja Maria Asumpta, pagar besi berbentuk seperti pohon
pada ruang pameran lantai 2 Galeri Seni Bentara Budaya.

Foto 9 (kiri). Konstruksi elemen atap dan dinding yang tidak menyatu pada Gereja Maria Asumpta, memperli-
hatkan efek pencahayaan tertentu serta menghadirkan ventilasi silang dalam bangunan. Foto 10 (tengah). Void
pada area privat, memperlihatkan pencahayaan yang datang dari atas pada Wisma Kuwera. Foto 11 (kanan).
Ruang pameran Galeri Seni Bentara Budaya yang tidak mempunyai ventilasi silang dan menggunakan AC.

Foto 12 (kiri). Ruang terbuka berupa kolam ini hadir dengan menghilangkan elemen atap pada Wisma Kuwera.
Foto 13 (tengah). Ruang antara berupa teras sebagai pembatas antara zoning privat dan publik pada Gereja
Maria Asumpta. Pada foto terlihat bahwa elemen dinding dihilangkan. Foto 14 (kanan). Ruang antara yang
terbentuk akibat dari penempatan massa-massa bangunan pada Galeri Seni Bentara Budaya.

Dari penelaahan tiga karya arsitektur beliau, kita dapat melihat bagaimana pema-
haman bahasa ruang Jawa ditranslasikan menjadi bahasa ruang arsitektur Y.B. Mangun-
wijaya. Tidak ada copy paste pada proses berarsitektur beliau. Citra ruang Jawa yang

6
menaungi dan dinding seketeng ini bertindak sebagai konsep desain Y.B. Mangunwijaya.
Beliau berkreasi dengan permainan elemen dinding, atap serta variasi material: mulai da-
ri kombinasi jenisnya (kayu, kaca, semen, bata), sistem konstruksinya, warnanya, teks-
turnya, dan sebagainya. Di samping itu, beliau memperhatikan segi ekonomis dari keter-
sediaan material dan kebenaran logika struktur. Dengan demikian, kita dapat memahami
bagaimana citra ruang Jawa ini ditranslasikan menjadi berbagai bahasa ruang arsitektur
yang tidak terpatok pada 1 material ataupun bentuk.

3.2. Guna Ruang Jawa sebagai Program

Pemahaman ruang Jawa yang kedua berhubungan dengan programming dalam


praktek berarsitektur kontemporer. Pemahaman ini berangkat dari observasi citra yang
berkaitan dengan kegunaan ruang dalam arsitektur vernakular Jawa. Hal ini meliputi pe-
mahaman tata ruang serta penggunaannya sesuai dengan kebiasaan masyarakat Jawa.
Tiap-tiap ruang dipahami sesuai dengan aktivitas masyarakat setempat serta bagaimana
mereka menamai dan memakai ruang-ruang yang ada, baik antar bangunan, luar ba-
ngunan maupun dalam bangunan.

Misalnya, gandog menunjuk pada ruang tempat pemilik rumah beraktivitas pada
siang hari, dipahami sesuai dengan makna budayanya sebagai ruang aktivitas kegiatan-
kegiatan sehari-hari yang profan. Sebaliknya, dalem adalah ruang yang lebih sakral, tem-
pat bersemayamnya Dewi Sri. Oleh karena itu, dalem hanya digunakan pada waktu-wak-
tu tertentu, misalnya pada acara perkawinan. Sedangkan, pendopo dipahami sebagai ru-
ang publik dalam halaman, tempat para tetamu dijamu. Pendopo biasanya berdekatan
dengan pringgitan atau teras depan rumah. Selain itu, beliau juga memahami penataan
atau sequence ruang tersebut. Pemahaman penggunaan, penataan dan makna ruang
bagi masyarakat ini kemudian dianalogikan terhadap fungsi bangunan yang akan diba-
ngun. Pemahaman ini juga menyangkut sirkulasi dan zoning ruang dalam bangunan.

Dua pemahaman ruang Jawa di atas tidak lepas dari prinsip-prinsip dasar fisika
bangunan untuk menciptakan kenyamanan fisik bagi penggunanya, agar bangunan da-
pat berfungsi sebaik mungkin. Pemahaman ini berangkat dari unsur guna yang sifatnya
lebih general dan tidak terpaku pada rumah Jawa, tetapi meluas karena didasarkan pada
iklim tropis. Pada daerah-daerah yang beriklim tropis, termasuk Indonesia, beliau menya-
takan bahwa arsitekturnya mempunyai kesamaan dalam hal penyelesaian kenyamanan
fisik dalam ruangnya, terutama pada atap dan ventilasi silang secara horisontal. Atap
pada daerah beriklim tropis berfungsi untuk menghindari curah hujan yang lebat dan terik
21
matahari, maka atap dibuat menjulang ke muka , lebar dengan kemiringan yang cukup
tajam. Y.B. Mangunwijaya mendefinisikan fungsi atap sebagai perisai panas dan perisai
hujan. Sedangkan ventilasi silang secara horisontal diperlukan untuk mengurangi kelem-
baban dan panas dalam ruangan. Ventilasi silang ini berkaitan dengan dinding seketeng
yang telah dibahas sebelumnya. Dengan demikian, prinsip-prinsip bangunan berdasar-
kan iklim22 ini kemudian menjadi salah satu bahasa arsitektur yang digunakan oleh Y.B.
Mangunwijaya berdampingan dengan konsep ruang Jawa yang menaungi serta tata letak
bangunan.

Telaah bahasa ruang Jawa yang kedua berangkat dari citra ruang yang berkaitan
dengan kegunaan ruang dalam arsitektur vernakular Jawa. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, fungsi tiga karya arsitektur Y.B. Mangunwijaya berbeda-beda. Berdasarkan
logika fungsi, tentunya penataan dan penganalogian ruang lebih mudah dilakukan pada
fungsi rumah. Namun pada penelaahan tiga karya arsitektur beliau, translasi ruang yang

21
“Di alam tropika kaya hujan, bila anda ingin modern pun, ikutilah kebijaksanaan nenek moyang kita yang selalu memba-
ngun atap rapat yang menjulang jauh kemuka. Indah sekaligus fungsional” (Mangunwijaya, Pasal 52).
22
Keseluruhan prinsip bangunan berdasarkan iklim tropis, khususnya untuk Indonesia, dibahas dalam buku Pasal-Pasal
Pengantar Fisika Bangunan. Prinsip-prinsip ini mempertimbangkan sinar matahari, hujan dan kelembaban, angin, gempa
bumi, bahaya kebakaran, statika elektro bangunan dan bunyi.

7
berkaitan dengan program ini sangat nyata terlihat pada Gereja Maria Asumpta,23 bukan
pada Wisma Kuwera. Penataan ruang pada Gereja Maria Asumpta sangat mirip dengan
tata ruang pada rumah-rumah Jawa. Pengunjung masuk melalui pendopo (ruang pene-
rima), kemudian mendapati pringgitan (semacam teras perluasan ruang misa dan untuk
kegiatan selain misa), baru kemudian masuk ke dalem (ruang misa). Sementara gandog
(pastoran) terletak di samping dalem.

Pada gereja ini, tiap-tiap fungsi ruang Jawa dicari analoginya dalam fungsi
bangunan gereja sesuai dengan makna budaya. Gandog, sebagai ruang profan tempat
tinggal penghuni, dianalogikan menjadi tempat tinggal para pastor yang merupakan
bangunan existing. Sedangkan dalem, sebagai ruang sakral tempat tinggal Dewi Sri, dia-
nalogikan menjadi tempat misa; pringgitan menjadi semacam teras perluasan ruang misa
dan digunakan untuk kegiatan selain misa, seperti tempat hidangan makanan pada misa
perkawinan; dan pendopo menjadi ruang tempat aktivitas masyarakat selain kegiatan
misa. Selain itu, senthong tengah sebagai ruang sakral di dalam dalem menjadi ruang
tempat penyimpanan tabernakel (foto 15).

Foto 15. (kiri) Perluasan ruang misa yang dapat digunakan untuk kegiatan lain selain misa (pringgitan) –pada
gambar terlihat permainan level lantai dan plafond- ; (tengah) ruang misa utama yang sakral (dalem) –pada
gambar terlihat letak altar di samping, tidak di tengah seperti gereja-gereja di Eropa, ruang tengah menjadi
ruang tempat penyimpanan tabernakel- ; (kanan) tempat tabernakel (senthong tengah).

Sedangkan pada Wisma Kuwera –yang berfungsi sebagai rumah tinggal-, pena-
taan ruang berdasarkan sequence ruang Jawa sulit dipahami. Yang terlihat hanya perle-
takan gandog dan dalem yang terpisah, serta penempatan senthong tengah dalam zo-
ning privat. Saya menduga hal ini disebabkan oleh pembangunan wisma secara bertahap
24
dan tidak direncanakan sejak awal . Penganalogian fungsi pada Wisma Kuwera juga ha-
nya sebatas pembedaan gandog dan dalem. Gandog sebagai ruang aktivitas sehari-hari
yang sifatnya lebih publik dan keseharian dianalogikan menjadi ruang kerja, ruang ma-
kan, dapur, perpustakaan, sedangkan dalem sebagai ruang aktivi-tas yang sifatnya lebih
privat dan sakral menjadi kamar tidur. Pendopo sebagai ruang tempat para tetamu dija-
mu muncul pada kedua bagian rumah (foto 16). Pada area dalem terdapat tempat doa
yang dapat dianalogikan sebagai senthong tengah sebagai tempat sakral dalam arsitek-
tur Jawa (foto 17). Pembedaan ini didukung oleh perbedaan kualitas ruang sesuai de-
ngan masing-masing fungsi; dalem lebih tertutup, gandog cukup terbuka, pendopo serta
pringgitan lebih terbuka.

Sedangkan, pada Galeri Seni Bentara Budaya, analogi ruang Jawa hanya terlihat
pada ruang antara massa-massa bangunan yang dapat dianalogikan dengan pringgitan
dalam arsitektur Jawa (foto 18). Pada bangunan ini, fungsi utama ruang bukan untuk
tempat tinggal untuk manusia, melainkan untuk memamerkan barang seni. Manusia

23
Hal ini dikemukakan juga oleh Y.B. Mangunwijaya dalam tulisan “Simbolisasi Gedung Gereja”.
24
Informasi mengenai tahapan-tahapan perencanaan dan pembangunan wisma ini didapatkan melalui beberapa nara
sumber, namun detil tiap-tiap tahapan masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

8
hanya menempati bangunan ini secara temporer. Pemanfaatan ruang seperti ini dalam
arsitektur Jawa dapat dianalogikan dengan dalem. Saya menduga bahwa rumah Kudus
yang diletakan di tengah sebagai pusat dari kompleks Galeri Seni ini dianalogikan
senthong tengah dalam arsitektur Jawa. Namun, hal ini masih perlu ditelusuri lebih lanjut.
Pada Galeri Seni Bentara Budaya, penataan ruang Jawa hanya muncul dalam prinsip
kesimetrisan dalam rumah Joglo.

Foto 16. Ruang tamu yang berangkat dari perpaduan antara pendopo yang menaungi dan dinding seketeng
pada Wisma Kuwera: (kiri) ruang tamu pada dalem yang lebih privat dan tertutup, dan (kanan) ruang tamu pada
gandog yang lebih terbuka.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, analogi ruang ini kemudian ditransla-
sikan dalam pembedaan kualitas ruang, misalnya dalem yang lebih tertutup dan pringgit-
an yang lebih terbuka. Disini, permainan elemen dinding serta kesatuan ruang luar dan
ruang dalam yang telah dibahas pada sebelumnya muncul kembali. Selain itu, pembeda-
an kualitas ruang juga didukung oleh permainan elemen lantai dan plafond, mulai dari
tekstur, warna, perbedaan level sampai pemilihan karakter material. Permainan ini juga
mengakibatkan perbedaan proporsi ruang yang sangat membantu pendefinisian (batas-
batas) sebuah ruang (foto 15 – foto 18). Pembedaan proposi serta kualitas ruang ini seja-
lan dengan pembagian bangunan menjadi beberapa massa sesuai dengan fungsinya
yang memperkuat konsep berada di halaman (foto 3).

Foto 17 (kiri). Tempat doa (senthong tengah) pada area privat (dalem) Wisma Kuwera. Pada gambar, kita dapat
melihat level lantai yang diangkat untuk membedakan ruang doa ini dengan ruang-ruang lainnya. Foto 18
(kanan). Ruang antara massa rumah Kudus dengan ruang serbaguna yang dapat dianalogikan sebagai
pringgitan, tempat para tetamu duduk. Foto 19 (kiri). Lantai kayu yang hangat digunakan pada ruang istirahat
Wisma Kuwera, proporsi ruang disesuaikan dengan penggunaan ruang tersebut (duduk bersila).

Dalam hal proporsi ruang, beliau terlihat sangat menjaga skala manusiawi dan
peruntukan jumlah pengguna ruang. Skala manusiawi yang dipakai oleh Y.B. Mangunwi-
jaya berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Jawa menggunakan lantai -sama seperti
orang Jepang-: untuk bekerja, tidur, makan, dan sebagainya25. Penggunaan ini juga men-

25
“Lantai rumah-rumah pribumi kita sebenarnya sekaligus adalah tempat-duduk, meja-kerja, meja-makan, tempat-tidur
dan sebagainya”. (Mangunwijaya, Pasal 329).

9
jadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan bahan bangunan, seperti misalnya: kayu
yang hangat, cocok untuk tempat kerja atau area santai (foto 19) dan pada beberapa ru-
ang tidur pada Wisma Kuwera, sedangkan batu yang dingin -namun memperkuat kesan
berada di dalam halaman- digunakan pada Gereja Maria Asumpta karena lantai tidak di-
gunakan sebagai tempat duduk (foto 7a).

Selain itu, translasi ruang juga dilakukan dengan menganalogikan makna ruang
Jawa yang berkaitan dengan kegunaan ruang dalam arsitektur vernakular Jawa. Kesulit-
an-kesulitan analogi yang muncul akibat timbulnya fungsi-fungsi baru, seperti misalnya
dalam hal Galeri Seni Bentara Budaya, diselesaikan dengan sudut pandang analogi yang
lebih general. Dengan demikian, translasi ruang Jawa yang berkaitan dengan fungsi
sifatnya lebih dinamis, tidak mengikat karena berkaitan dengan kegunaan bangunan ser-
ta konteks lokasi dimana arsitektur tersebut dibangun. Selain itu, kita dapat melihat ba-
gaimana Y.B. Mangunwijaya berkreasi menggunakan elemen arsitektur lantai, plafond,
dinding, material dan konstruksinya, untuk menciptakan kualitas masing-masing ruang.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat melihat mengapa unsur bentuk ha-
nyalah sebagian kecil dari unsur-unsur yang dipakai dalam praktik berarsitektur Y.B. Ma-
ngunwijaya. Arsitektur yang tercipta hanya dari copy-paste bentuk kehilangan ke‟guna„an
dan makna kebudayaannya (citra).

4. Kesimpulan

Dari karya-karya arsitektur Y.B. Mangunwijaya, kita dapat melihat bagaimana


beliau memahami arsitektur Jawa tidak melalui bentuknya, melainkan melalui ruangnya.
Pemahaman ruang ini menjadi konsep ruang (Jawa) yang ditranslasikan ke dalam berba-
gai bentuk, menggunakan berbagai variasi konstruksi dan material. Dengan translasi, ru-
ang Jawa tidak hilang -seperti kebanyakan terjadi pada praktik berarsitektur kontem-
porer- tetapi mengalami evolusi bentuk. Makna atau konsep ruang Jawa tidak berubah,
tetapi ditranslasikan mengikuti perubahan kebutuhan dan perkembangan jaman. Dengan
demikian, translasi menyediakan ruang bagi arsitek untuk mengekspresikan diri namun
tetap memperhatikan konteks makna budaya setempat.

Ekspresi Y.B. Mangunwijaya, sebagai seorang arsitek, muncul dalam permainan


tektonika (konstruksi dan material), ornamen, analogi fungsi dan tata ruang serta unsur
guna yang berkaitan dengan konteks tempat. Keanekaragaman tektonika26 inilah yang
merupakan bahasa arsitektur (khas) Y.B. Mangunwijaya dalam mengkomunikasikan
ruang yang dicitrakan oleh arsitektur vernakular Jawa, tentunya dengan tidak mengabai-
27 28
kan unsur guna bangunan tersebut . Dengan demikian, tantangan arsitek disini adalah
pada bagaimana membuat sinergi antara arsitektur vernakular dengan perkembangan ja-
man dengan memunculkan ide-ide baru atau inovasi berdasarkan kebaruan material, ser-
ta perkembangan kebutuhan seiring dengan perkembangan kebudayaan dan teknologi.

Saya menyadari bahwa pemahaman Y.B. Mangunwijaya mengenai ruang Jawa


menyangkut interpretasi yang sifatnya tidak statis dan subjektivitas yang cukup tinggi.
26
Bahasa ungkapan arsitektur beliau berdasarkan permahaman material dan logika struktur ini dibahas dalam buku yang
berjudul Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya.
27
Perlu digarisbawahi bahwa unsur guna pada arsitektur vernakular jarang ditelaah baik oleh para pemerhati arsitektur
vernakular maupun para arsitek kontemporer. Padahal unsur ini dapat menjadi salah satu landasan bagi para arsitek
kontemporer untuk mewujudkan arsitektur yang dapat menyediakan kenyamanan penggunanya, karena sesuai dengan
iklimnya dan tempatnya.
28
Pengertian citra lebih menunjuk pada hal-hal yang sifatnya tidak terukur atau spi-rituil, sedangkan guna menunjuk pada
hal-hal yang sifatnya lebih terukur. Pemahaman arsitektur secara guna dan citra ini diduga dipengaruhi dua latar belakang
pendidikan beliau. Pemahaman guna dipengaruhi latar pendidikan arsitektur di Reinish Westfaelische Technische
Hochschule di Aachen, Jerman (1966) yang berfokus pada logika struktur dan fungsi. Dan pemahaman citra dipengaruhi
oleh latar pendidikan di Fellow Aspen Institute for Humanities Studies di Colorado, Amerika Serikat (1978) yang berfokus
pada manusia dan budaya.

10
Namun, disadari pula bahwa dalam interpretasi, seorang arsitek dapat menggunakan
imajinasi dan kreativitasnya. Sedangkan, subjektivitas dalam proses interpretasi dapat di-
reduksi dengan pemahaman yang cukup detil dan mendalam mengenai arsitektur verna-
kular secara seimbang dari segi guna dan citra. Pemahaman arsitektur yang tidak dalam,
hanya pada permukaan, akan mengarah pada copy-paste bentuk. Dengan demikian, pe-
mahaman bahasa ruang dalam arsitektur Y.B. Mangunwijaya dilihat sebagai sebuah pen-
dekatan baru pemahaman arsitektur vernakular yang hasilnya dapat digunakan dalam
praktek berarsitektur kontemporer.

Tulisan ini juga dapat dilihat sebagai sebuah gambaran awal mengenai salah
satu metode perancangan arsitektur Nusantara yang sesuai dengan masyarakatnya,
tempatnya dan waktunya.

Daftar Pustaka

 Mangunwijaya Y.B. (n.d.), “Mencari bangunan gereja di Jawa Tengah” dalam Sejarah
Gereja Indonesia.
 Mangunwijaya, Y.B. (1981), Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan, cetakan kedua,
PT. Gramedia, Jakarta.
 Mangunwijaya, Y.B. (1992), Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur,
Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, cetakan kedua, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
 Mangunwijaya, Y.B. (1993), “Simbolisasi Gedung Gereja” dalam Buku Kenangan Paroki
Santa Maria Assumpta, Klaten.
 Mangunwijaya, Y.B. (1999), Burung-Burung Manyar, cetakan kedelapan, Djambatan,
Jakarta.
 Mangunwijaya, Y.B. (2008), Rara Mendut: Sebuah Trilogi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
 Meriam Webster Dictionary Online, www.merriam-webster.com, mengacu pada Merriam-
Webster; 11th edition (July 2003).
 Prijotomo, Josef, (2006), (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa: griya Jawa dalam tradisi tanpa
tulisan, Wastu Lanas Grafika, Surabaya.
 Prawoto, Eko A. (1999), Tektonika Arsitektur Y.B. Mangunwijaya, Cemeti Art House,
Yogyakarta.
 Tjahjono, Gunawan, (1989), Cosmos, center, and duality in Javanese architectural
tradition: The symbolic dimensions of house shapes in Kota Gede and surroundings,
Doctor of Philosophy Dissertation, University of California, Berkeley.

11

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai