Anda di halaman 1dari 10

Perencanaan dan Penataan

Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

KEARIFAN LOKAL, ETIKA ARSITEK DAN LINGKUNGAN


MENUJU HARMONISASI ARSITEKTUR BALI YANG KREATIF, ESTETIKA DAN
TERPADU
I Kadek Pranajaya, ST., MT
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: kparchitects@gmail.com

ABSTRAK
Unsur yang akan selalu ada dalam proses penciptaan karya arsitektur adalah kreatifitas dan
keindahan. Keindahan selalu menjadi latar belakang atau tuntutan dalam sebuah karya arsitektur.
kreativitas selalu bergerak mengikuti perjalanan dan perkembangan arsitektur, namun tidak hanya
ditujukan pada perwujudan fisik, melainkan terlebih pada suasana kehidupan manusia dan
masyarakat sebagai pemakai beserta tata nilai yang dikandungnya. Selain mengutamakan keindahan
dan kratifitas, kearifan lokal wajib diperhatikan bagi seorang arsitek dalam mendesain sebuah karya
arsitektur. Kearifan lokal merupakan sebuah nilai luhur kebudayaan yang dimiliki masyarakat untuk
selalu menghargai alam, lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat.Telah banyak kasus
pelanggaran yang terjadi dalam praktek berarsitektur di Bali bahkan Kecenderungannya semakin
menjadi. Dalam situasi ini etika membantu arsitek jangan sampai kehilangan orientasi dalam setiap
perwujudan karya arsitektur dan harus diterapkan di dalam situasi konkrit, janganlah tenggelam
dalam daya kekuatan arsitektur yang tak berwajah itu. Etika lingkungan hidup berbicara mengenai
perilaku manusia terhadap alam serta hubungan antara semua kehidupan alam semesta. Arsitek
merupakan salah satu bagian yang terintegrasi dengan lingkungan. Etika lingkungan bagi arsitek
sangat penting dan merupakan kewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjaga nilai-nilai
yang terkandung di dalam lingkungan, sehingga lingkungan tetap lestari.
Kata kunci : Kearifan Lokal, Etika Arsitek dan Lingkungan

1.1. Pendahuluan

Arsitektur sangat berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Selain menjadi bukti
untuk menelusuri perjalanan sejarah dan modal pengembangan karakter bangsa, karya arsitektur juga
melambangkan kreativitas yang merupakan suatu perpaduan dari seni, budaya dan teknologi. Saat ini
beberapa pihak telah banyak mendorong upaya pelestarian bangunan bersejarah, termasuk menjaga
langgam arsitektur tradisional, kearifan lokal dan cara hidup masyarakat di masa lampau baik dalam
pendekatan fisik dan nonfisik. Untuk pendekatan fisik misalnya membuat disain yang kontemporer
dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisional, penggunaan material lokal, perencanaan dan disain.
Sementara untuk nonfisik misalnya melalui penciptaan even dan merumuskan kebijakan ruang publik.
Arsitektur yang menjadi salah satu subsektor dari ekonomi kreatif diarahkan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan memberikan nilai tambah. Dengan cara mendukung pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dengan tetap memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat dalam perkembangan
arsitektur yang memperhatikan kearifan lokal dan budaya, memperhatikan keseimbangan antara
lingkungan dan nilai budaya dan sosial sebagai inspirasi bagi insan kreatif, mendukung
pengembangan karya arsitektur yang memperhatikan kondisi alam dan lingkungan, mengedepankan
konservasi lingkungan melalui karya arsitektur yang mengembangkan konsep arsitektur hijau (green
architect), ramah lingkungan dan efisien. Arsitek merupakan salah satu bagian yang terintegrasi
dengan lingkungan. Sebagai makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, arsitek memiliki
kewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam
lingkungan, sehingga lingkungan tetap lestari. Tidak semua arsitek memiliki komitmen seperti itu,
beberapa arsitek telah menjadikan lahan ruang publik dan ruang terbuka hijau sebagai ajang

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 43


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

permainannya. Peraturan perundangan maupun Peraturan daerah tergeser oleh perubahan tata ruang
telah bergeser menjadi tata uang. Belum lagi masuknya modal dari kota-kota besar di Indonesia dan
pemodal asing dalam investasi di bidang pariwisata dan pembangunan properti, mereka datang
dengan membawa arsitek dari kota dan negaranya sendiri tanpa melibatkan aritek lokal didalamnya.

Perkembangan arsitektur modern di Bali saat ini, semata-mata berbasis pada rasionalitas
estetika, efisiensi fungsi, formalisme dan international style dengan komersialisme dan
konsumtivisme untuk menghasilkan suatu karya arsitektur yang arogan, tak kontekstual, dan
eksploatatif sehingga mengabaikan kelestarian lingkungan. Banyak biro arsitek asing saat ini terlibat
aktif perancangan arsitektur di Bali. Kehadiran mereka tidak bisa dipungkiri banyak membawa nuansa
dan warna baru terhadap desain arsitektur di Bali, di antaranya menghadirkan nuansa modern yang
disatukan dengan dengan muatan arsitektur lokal dengan gaya arsitektur bersifat universal yang
menjadikan arsitektur bernuansa Bali tetapi modern, atau arsitektur dengan tampilan modern tetapi
bercitra Bali. Hal ini disebabkan karena tuntutan investor, maka mereka menggunakan arsitek asing.
Sisi positifnya adalah karya mereka menghadirkan sesuatu yang baru, memberi pengajaran dan ajakan
kepada komunitas arsitek lokal untuk berani keluar dari belenggu dan pakem (kaidah) arsitektur yang
konservatif, konvensional dan mengekang penjelajahan desain. Dari sisi negatifnya juga ada dan
menggejala. Di antara mereka, ada yang datang dengan membawa gaya arsitektur modern dan
universal yang berlebihan dan menafikan rupa arsitektur lokal. Terkadang arsitek bukan merancang
arsitektur tetapi hanya merancang bangunan karena karyanya menjadikan disharmoni, rupa bangunan
tanpa ekspresi lokal, ruang menjadi individual hilang komunalitas dan kebersamaan rasa ruang.
Banyak pembangunan proyek villa mengorbankan aliran subak yang telah menjadi warisan nenek
moyang kita, jalan lingkungan menuju pura di desa-desa menjadi terputus atau aksesnya menjadi sulit
hanya untuk keangkuhan bangunan villa, pantai menjadi privat sehingga terbatasnya akses dan ruang
untuk masyarakat untuk berwisata bahakan ritual melasti pun terkadang terhalangi.Akibatnya sering
terjadi konflik antara investor dan masayarakat setempat. Arsitek yang rancangannya mengakibatkan
disharmoni seperti ini seharusnya wajib dikecam dan diberi sanksi oleh pemerintah melalui organisasi
profesi yang diakui di Indonesia yaitu IAI dengan kode etik yang mengatur etika dalam berprofesi.

Saat ini banyak arsitek yang memahami etika, keberpihakan dan aspek hukum. Namun,
karena dijepit oleh tekanan ekonomi ditunjang oleh sistem yang tidak kondusif untuk beridealisasi,
akhirnya banyak yang tunduk demi survive kondisi ekonominya. Problem belum stabilnya kondisi
ekonomi para arsitek di Bali menjadikan kode etik profesi arsitek sebagai standar norma yang
sepertinya hanya di awang-awang dan tidak acceptable untuk dihayati agar menjadi arsitek yang
berdedikasi dan berintegritas. Ini adalah realitas soal integritas mayoritas arsitek di Bali. Bila arsitek
bekerja dengan penuh dedikasi dan integritas, terkadang seringkali sulit mendapatkan proyek atau
pekerjaan. Ini dikarenakan realitas pasar yang sering memihak pada arsitek yang karena tekanan
ekonomi bekerja saling menyerobot proyek, dengan standar fee yang lebih rendah bahkan sangat
rendah daripada yang mestinya berlaku,, selain itu seringkali merupakan pesanan dari client/owner
yang menginginkan arsitektur seperti itu. Berdasarkan hal tersebut, sudah saatnya pembangunan di
Bali berakar pada keragaman kekayaan alam, keunikan budaya lokal, dan menghargai komunitas,
tanpa meninggalkan konsep dan elemen modernitas serta berdasarkan etika dan kesantuanan yang
ada. Kearifan lokal berupa keselarasan interaksi manusia dengan lingkungan, yang disinergikan
dengan kekayaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, akan menghasilkan kekuatan fusi
arsitektur dari apa yang disebut arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture)

1.2. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mendapatkan pemikiran mendalam mengenai kearifan lokal dan etika yang
mendukung kelestarian budaya, tata lingkungan, arsitektur dan alam.
2. Aturan dan etika yang mengarahkan kreativitas arsitek untuk mendukung pelestarian
kebudayaan, arsitektur dan alam secara berkelanjutan.
3. Memberikan masukan bagi seluruh arsitek agar memiliki kesantunan dalam berprofesi
sebagai arsitek dengan memegang kode etik sebagai dasar dalam mendesain

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 44


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

1.3. Estetika, Inovasi dan Kreatifitas Arsitek, bukan Egoisme Arsitek

Hasil karya arsitektur tentunya memiliki nilai ekonomis yang berbeda satu dengan lainnya,
nilai ekonomis sebuah bangunan berbanding lurus dengan kreatifitas sang arsitek dalam merancang
bangunan tersebut. Arsitektur memang gabungan bidang keteknikan dan seni. Keteknikan bersifat
sangat obyektif, praktis dan rasional. Sedangkan seni bersifat sangat subyektif dan imajinatif,
sehingga seorang arsitek dapat bersifat rasional atau irasional di dalam melakukan pendekatan-
pendekatan dalam merancang. Bagaimanapun pendekatannya, yang penting dia dapat
mengembangkan proses kreatif selancar dan se-intens, serta tentunya dapat memuaskan dirinya dan
orang lain. Satu kompleksitas kreativitas mau tidak mau harus selalu bergerak mengikuti perjalanan
dan perkembangan arsitektur, dalam pengertian menyeluruh dan totalitas, menyangkut wadah dan isi,
tidak hanya ditujukan pada pembangunan fisik saja berupa gedung-gedung, melainkan terlebih pada
suasana kehidupan manusia dan masyarakat sebagai pemakai, pengunjung beserta tata nilai yang
dikandungnya. Kreativitas di dalam arsitektur seringkali diwujudkan dalam pengolahan bentuk fisik
bangunan yang aneh dan menarik perhatian. Semakin aneh dan menarik perhatian bentuk yang
dihasilkan, semakin kreatiflah si arsitek itu dianggap oleh diri dan lingkungannya. Pemaknaan
kreativitas sebagai kemampuan pengolahan bentuk semata, seperti dijelaskan di atas, sebenarnya
merupakan sebuah pandangan yang memaknai kreativitas secara sempit. Kerangka pikir ini akhirnya
mengarahkan para arsitek untuk berlomba-lomba mencari bentuk-bentuk baru yang rumit, menarik
perhatian dan mencengangkan. Sebaliknya, mereka tampaknya tidak terlalu peduli apakah bentuk-
bentuk yang baru itu memiliki makna yang dipahami oleh masyarakat ataukah tidak. Padahal,
masyarakatlah yang sehari-hari akan berinteraksi dengan bangunan yang mereka rancang. Sebaliknya,
sang arsitek mungkin hanya satu dua kali, atau mungkin tidak pernah lagi mengunjungi bangunan
yang dirancangnya. Dengan demikian, ia tentu tidak akan pernah menyadari dampak apa yang
ditimbulkan oleh bangunan yang dirancangnya kepada orang lain.
Kreativitas bisa jadi bukanlah sebutan yang tepat bagi sebuah tindakan penonjolan bentuk
fisik sebuah obyek arsitektur, terlebih jika hal itu dibingkai pula oleh ketidakpedulian si arsitek akan
dampak tindakannya di kemudian hari. Tidak jarang pula terjadi, arsitek bahkan tidak menyadari
apakah kreativitas yang ia miliki dan ia wujudkan dalam bentuk-bentuk yang aneh itu merupakan
cerminan dari idealisme-nya sebagai arsitek, ataukah egoisme-nya yang ingin diakui, dikenal dan
dihargai. Idealisme hadir sebagai wujud pertanggungjawaban dari latar belakang pendidikan yang
dimilikinya. Di dunia yang majemuk ini, tampaknya para arsitek harus dapat menarik garis tegas
untuk memisahkan egoisme mereka dengan dealisme dalam berarsitektur, terutama untuk hal-hal yang
dianggap membenturkan kreativitas. Ada kalanya arsitek perlu belajar untuk lebih banyak mendengar,
merasakan, berempati dan mengakui bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki kekurangan.
Dengan demikian, mereka tidak akan memaksakan, dengan alasan kreativitas, untuk menghadirkan
bentuk-bentuk arsitektural yang bisa jadi hanya baik di mata mereka sendiri, bukan di mata
masyarakat banyak.
Kreativitas yang dimiliki si arsitek tidak selalu harus diukur dengan seberapa terkenalnya
mereka di masyarakat, fenomena yang berbeda tampak saat ini, di mana kebanyakan arsitek
berlomba-lomba untuk dikenal padahal belum tentu dapat menghasilkan karya yang layak disebut
sebagai sebuah karya arsitektur. Kreativitas ternyata bukanlah sesuatu yang harus selalu terbentur oleh
batasan yang ada. Kreativitas justru hadir di tempat-tempat di mana batasan itu ada, bukan untuk
menerobosnya, melainkan untuk mengolah secara optimal segala sesuatu yang ada di dalam batasan
itu menjadi lebih berdaya guna. Agar proses kreatif dapat berjalan dengan baik. Bentuk itu ditemukan,
bukan diciptakan oleh kita, dalam konteks berarsitektur, segala bentuk yang berkaitan dengan

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 45


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

manusia dialam semesta ini sebenarnya telah diciptakan oleh Tuhan, tugas kita tinggal memilah yang
paling sesuai dengan kebutuhan. Kedua bahwa proses ber-arsitektur adalah suatu proses merancang
melalui eksplorasi bentuk, mengubah, mempertimbangkan, menyimpulkan, mengubah dan seterusnya,
sampai akhirnya diputuskan bentuk-bentuk yang ditemukan menjadi suatu keputusan rancangan yang
final. Inovasi sendiri bagi arsitek adalah pengenalan dari sesuatu yang baru. Inovasi sebagai konsep
yang baru dikenalkan kepada kita dan kemungkinan besar belum terjadi atau sedang terjadi.
pendukungnya. Biaya yang terbatas merupakan tantangan arsitek dalam mewujudkan inovasi dan
kreatifitas ide yang lebih estetik, sedangkan kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan manusia
untuk berinovasi dalam temuan baru dalam arsitektur. Modern bukan sekedar gaya saja tetapi juga
merupakan cara berpikir dan sikap keseharian kita. Dalam konteks hunian, unsur modern masih
sangat dominan dan mengalami pengembangan sesuai dengan apresiasi desainer dan pemilik hunian.
Kreativitas bisa jadi bukanlah sebutan yang tepat bagi sebuah tindakan penonjolan bentuk fisik
sebuah obyek arsitektur, terlebih jika hal itu dibingkai pula oleh ketidakpedulian si arsitek akan
dampak tindakannya di kemudian hari, apakah sudah sesuai dengan peraturan bangunan setempat,
apakah sudah mengadopsi arsitektur Bali. Tidak jarang pula terjadi, arsitek bahkan tidak menyadari
apakah kreativitas yang ia miliki dan ia wujudkan dalam bentuk-bentuk yang aneh itu merupakan
cerminan dari idealisme-nya sebagai arsitek, ataukah egoisme-nya yang ingin diakui, dikenal dan
dihargai. Idealisme hadir sebagai wujud pertanggungjawaban dari latar belakang pendidikan yang
dimilikinya. Di dunia yang majemuk ini, tampaknya para arsitek harus dapat menarik garis tegas
untuk memisahkan egoisme mereka dengan idealisme dalam berarsitektur, terutama untuk hal-hal
yang dianggap membenturkan kreativitas tanpa meperhatikan peraturan yang telah ditetapkan. Ada
kalanya arsitek perlu belajar untuk lebih banyak mendengar, merasakan, berempati dan mengakui
bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki kekurangan. Dengan demikian, mereka tidak akan
memaksakan, dengan alasan kreativitas, untuk menghadirkan bentuk-bentuk arsitektural yang bisa
jadi hanya baik di mata mereka sendiri, bukan di mata masyarakat Bali. Mewujudkan kreatifitas
dalam arsitektur Bali sebenarnya tidak sulit, tinggal kita sendiri mau mengolahnya dan tidak terlalu
terbelenggu dengan arsitektur dari luar.

1.4. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Yang Berkesinambungan

Local wisdom atau kearifan lokal memiliki arti sebagai bentuk kearifan yang berasal dari
daerah setempat yang berkaitan dengan sosio-budaya, sosio-ekonomi maupun sosio-ekologi yang
terjadi pada masyarakat. Lokal wisdom saat ini sebagai salah satu solusi sebagai bentuk kebijakan atau
kearifan lokal guna mengimbangi atau menanggulangi derasnya dampak globalisasi. Kearifan lokal
dalam bidang arsitektur upaya penggalian kearifan lokal yang dimiliki dan dijalankan oleh suatu
kelompok masyarakat dalam bentuk kebijakan yang terdiri dari tata-bangunan dan tata lingkungan
yang ada. Salah satu tujuan penggalian nilai-nilai local wisdom tersebut adalah untuk keserasian dan
berlanjutan lingkungan. Upaya penggalian nilai-nilai kearifan lokal dalam bidang arsitektur bukan
sebatas penggalian bagaimana atau cara-cara solusi cerdas tanpa diimbangi bagaimana cara-cara
solusi arif dan bijaksana. Sehingga penyelesaian masalah yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-
hari bukan saja mendapatkan jawaban smart (cerdas) tetapi juga sekaligus jawaban yang wisdom (arif)
sehingga dapat berdampak pada keserasian dan keberlanjutan pada generasi penerus di masa yang
akan datang.
Penggalian nilai-nilai kearifan lokal pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari tata sosial-
budaya masyarakat setempat, tata sosial-ekonomi warga masyarakat setempat hingga tata kelola
social-ekologi lingkungan di mana masyarakat setempat berada. Khusus dalam bidang arsitektur,
maka upaya penggalian nilai-nilai lokal wisdom akan berhubungan dengan tata kelola dari
perencanaan/ perancangan bangunan, proses pendirian bangunan, perencanaan tata lingkungan sekitar
dan tata kelola lingkungan alam sekitar. Kearifan lokal merupakan sebuah nilai luhur kebudayaan
yang dimiliki masyarakat untuk selalu menghargai alam dan lingkungannya. Penyediaan ruang
terbuka hijau harus benar-benar diperhatikan guna menyeimbangi tanah yang ditutup oleh beton, yang
dipadukan dengan konsep tidak tersekatnya antara ruang dalam dan ruang terbuka hijau tersebut,
sehingga menimbulkan suasana yang menyatu dengan alam sekitar untuk menjaga keharmonisan

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 46


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

dengan alam. Selain guna menjaga keharmonisan, rancangan tanpa sekat tersebut atau perbanyak
bukaan juga sangat menguntungkan bagi sebuah hunian di iklim tropis untuk sirkulasi udara dan
cahaya. Penggunaan material-material juga layak dioptimalkan, seperti penggunaan kembali bahan-
bahan alam atau material-material yang masih layak pakai.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur
kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral. Kearifan lokal
telah menjadi tradisi, fisik, budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk
bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan.
Kearifan lokal sudah mengatur harmonisasi antara kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata
letak, dengan kemampuan alam. Harmonisasi dicapai oleh masyarakat tradisional dengan terlebih
dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat
menguasai konsep ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara
makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan yang seimbang,
serasi dan selaras (Frick 1998). Arsitektur yang bagus adalah sebuah arsitektur yang berkonsep dan
menyatu dengan alam. Dimana semuanya di desain berkesan alami dan banyak memakai bahan-bahan
dari alam sekitar dengan mengusung tema history, cultural heritage, scientists dan lainnya. Kearifan
lokal sekarang banyak menjadi sumber inspirasi desain. Keunikan dan ciri khas suatu karya akan
menjadi nilai tambah dan kekuatan untuk menghadapi era global yang kompetitif. Salah satu sumber
keunikan itu bisa digali dari budaya dan kearifan lokal itu sendiri.

1.5. Etika Berarsitektur Harus Dipegang Teguh Oleh Arsitek

Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang
tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi ini etika mau membantu agar arsitek jangan kehilangan
orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan
demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahwa
etika itu harus diterapkan dalam situasi konkrit, janganlah tenggelam dalam daya kekuatan arsitektur
yang tak berwajah itu. Setiap bentuk arsitektur dan tata ruang hendaknya menghasilkan etika, tetapi
untuk menumbuhkan etika itu diperlukan suatu ”counter play” juga. Yang bersifat normatif,
itulah counter partner sejati bagi masyarakat. Etika dapat dipandang sebagai kebiasaan hidup yang
baik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika berisikan aturan tentang bagaimana
manusia harus hidup yang baik sebagai manusia, perintah dan larangan tentang baik buruknya
perilaku manusia untuk mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang
dianggap baik dan penting. Dengan demikian etika berisi prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan
pegangan dalam menuntun perilaku.

Kode etik profesi dapat dijadikan acuan dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota
profesi. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan
teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan
yang bermanfaat. berkenaan dengan pekerjaan profesional, Bahwa kaidah berprofesi adalah: mencari
nafkah dengan mengabdikan keahlian sebagai pelayanan untuk, kepentingan masyarakat, tidak
merugikan masyarakat dengan menghindari terjadinya pertentangan, kepentingan dan oleh karena itu
memiliki pegangan kode etik dan kaidah tata laku profesi, bahwa pengertian professional adalah
seorang yang mencari nafkah dengan berprofesi,yang berciri utama sebagai berikut : mandiri-
independent, bekerja penuh, purna waktu, berorientasi pada pelayanan, mengabdi pada kepentingan
umum, memiliki keahlian khusus yang berlatar belakang pendidikan tertentu, terus menerus
mengembangkan ilmu dan keahliannya, profesional juga berarti cara kerja yang tertib, bertanggung
jawab.
Praktek berprofesi berarti melaksanakan janji komitmen secara profesional, untuk berkarya
sebaik-baiknya sesuai dengan keahlian yang kita miliki tentunya didasarkan kepada landasan hukum
untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat yang menggunakan jasa professional itu, serta

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 47


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

arsitek yang bekerja secara profesional. Kata “profesional” berarti pencaharian atau orang yang
mempunyai keahlian tertentu dan harus memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu: (1)
memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas; memiliki pengetahuan umum yang luas,
memiliki keahlian khusus yang mendalam, (2) merupakan karier yang dibina secara organisatoris;
adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesi, memiliki otonomi jabatan, memiliki kode etik
jabatan, merupakan karya bakti seumur hidup, (3) diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang
mempunyai status profesional; memperoleh dukungan masyarakat, mendapat pengesahan dan
perlindungan hukum, memiliki prasyarat kerja yang sehat, memiliki jaminan hidup yang layak
Arsitek profesional harus memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang
kearsitekan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai arsitek dengan kemampuan
maksimal, dan terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
Kewajiban yang diharus dimiliki oleh arsitek sesuai dengan yang tercantum dalam kaidah kode etik
yang ada di IAI adalah para arsitek menguasai pengetahuan dan teori mengenai seni-budaya, ilmu,
cakupan kegiatan, dan keterampilan arsitektur, yang diperoleh dan dikembangkan baik melalui
pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Proses pendidikan, pengalaman, dan peningkatan
keterampilan yang membentuk kecakapan dan kepakaran itu dinilai melalui pengujian keprofesian di
bidang arsitektur. Hal itu dapat memberikan penegasan kepada masyarakat, bahwa seseorang
bersertifikat keprofesian arsitek dianggap telah memenuhi standar kemampuan memberikan
pelayanan penugasan profesionalnya di bidang arsitektur dengan sebaik-baiknya. Secara umum, para
arsitek memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk selalu menjunjung tinggi dan meningkatkan
nilai-nilai budaya dan arsitektur, serta menghargai dan ikut berperan serta dalam mempertimbangkan
segala aspek sosial dan lingkungan untuk setiap kegiatan profesionalnya, dan menolak hal-hal yang
tidak profesional. Arsitek dituntut melakukan penerapan keahlian khusus untuk melakukan
perencanaan, perancangan (design), konstruksi, operasi dan perawatan dari produk, proses, maupun
sistem kerja tertentu secara efektif-efisien serta meningkatkan profesioanlismenya melalui wadah
organisasi profesi baik untuk lingkup nasional (negara) maupun internasional (global)
Seorang arsitek profesional jelas harus memiliki keahlian yang diperoleh melalui sebuah
proses pendidikan maupun pelatihan dan penataran pengembangan keprofesian arsitek atau secara
internasional disebut sebagai continuing Profesional Development (CFD) atau program strata.
Seorang arsitek profesionalisme harus memiliki rasa pengabdian (panggilan profesi) di dalam
melaksanakan suatu kegiatan kerja untuk umat manusia tanpa semata-mata bertujuan untuk mencari
nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Penataran pengembangan keprofesian Terdapat tiga
watak kerja yang merupakan persyaratan dari seorang profesional, yaitu (a) harus dilandaskan itikad
untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digelutinya (dalam artian
tidak hanya mementingkan imbalan upah materiil semata); (b) harus dilandasi oleh kemahiran teknis
yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang,
ekslusif dan berat; (c) diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral, harus menundukkan diri pada
sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam
sebuah organisasi profesi.

1.6. Prinsip Etika Lingkungan Bagi Arsitek

Etika lingkungan hidup berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam serta hubungan
antara semua kehidupan alam semesta. Etika lingkungan (etika ekologi) adalah pendekatan terhadap
lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang
saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Prinsip etika ekologi
adalah semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut
penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Etika lingkungan dapat
dibedakan menjadi etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 48


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika
pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan
semua mahluk. Beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi arsitek dalam
berhadapan dengan alam.

1. Sikap Hormat terhadap Alam (Respect For Nature). Hormat terhadap alam merupakan prinsip
dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Setiap anggota komunitas
ekologis, termasuk manusia, berkewajiban menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan
spesies serta menjaga keterkaitan dan kesatuan komunitas ekologis.
2. Prinsip Tanggung Jawab (Moral Responsibility For Nature). Manusia mempunyai tanggung jawab
terhadap alam semesta (isi, kesatuan, keberadaan dan kelestariannya).
3. Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity). Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia
adalah bagian yang menyatu dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup memiliki
perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain.
4. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam (Carring For Nature). Manusia digugah
untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa
diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota
komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak
disakiti, dan dirawat.

Cowan dan Ryn (1996) mengemukakan prinsip-prinsip desain yang ekologis sebagai berikut:

1. Solution Grows from Place: solusi atas seluruh permasalahan desain harus berasal dari
lingkungan di mana arsitektur itu akan dibangun. Prinsipnya adalah memanfaatkan potensi
dan sumber daya lingkungan untuk mengatasi setiap persoalan desain. Pemahaman atas
masyarakat lokal, terutama aspek sosial-budayanya juga memberikan andil dalam
pengambilan keputusan desain. Prinsip ini menekankan pentingnya pemahaman terhadap
alam dan masyarakat lokal. Dengan memahami hal tersebut maka kita dapat mendesain
lingkungan binaan tanpa menimbulkan kerusakan alam maupun ‘kerusakan’ manusia.
2. Ecological Acounting Informs Design: perhitungan-perhitungan ekologis merupakan upaya
untuk memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan. Keputusan desain yang diambil
harus sekecil mungkin memberikan dampak negatuf terhadap lingkungan.
3. Design with Nature: arsitektur merupakan bagian dari alam. Untuk itu setiap desain arsitektur
harus mampu menjaga kelangsungan hidup setiap unsur ekosistem yang ada di dalamnya
sehingga tidak merusak lingkungan. Prinsip ini menekankan pada pemhaman mengenai living
process di lingkungan yang hendak diubah atau dibangun.
4. Everyone is a Designer: melibatkan setiap pihak yang terlibat dalam proses desain. Tidak ada
yang bertindak sebagai user atau participant saja atau designer/ arsitek saja. Setiap orang
adalah participant-designer. Setiap pengetahuan yang dimiliki oleh siapapun dan sekecil
apapun harus dihargai. Jika semua orang bekerjasama untuk memperbaiki lingkungannya,
maka sebenarnya mereka memperbaiki diri mereka sendiri.
5. Make Nature Visible: proses-proses alamiah merupakan proses yang siklis. Arsitektur
sebaiknya juga mampu untuk melakukan proses tersebut sehingga limbah yang dihasilkan
dapat ditekan seminimal mungkin.

Pola perencanaan dan perancangan Arsitektur Ekologis (Eko-Arsitektur) adalah sebagai berikut:
1. Elemen-elemen arsitektur mampu seoptimal mungkin memberikan perlindungan terhadap
sinar panas, angin dan hujan.
2. Intensitas energi yang terkandung dalam material yang digunakan saat pembangunan harus
seminimal mungkin, dengan cara-cara:
a) Perhatian pada iklim setempat
b) Substitusi, minimalisasi dan optimasi sumber energi yang tidak dapat diperbaharui
c) Penggunaan bahan bangunan yang dapat dibudidayakan dan menghemat energi

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 49


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

d) Pembentukan siklus yang utuh antara penyediaan dan pembuangan bahan bangunan,
energi, atau limbah dihindari sejauh mungkin
e) Penggunaan teknologi tepat guna yang manusiawi

1.7. Menuju Arsitektur Berwawasan Lingkungan

Konsep arsitektur berwawasan lingkungan serta kualitas konstruksi dan bahan bangunan
untuk rumah sehat dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Dalam penerapannya, alam
merupakan suatu pola perencanaan eko-arsitektur. Lingkungan alam sebagai makrokosmos dan
lingkungan buatan (rumah) sebagai mikrokosmos. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pola perencanaan eko arsitekur antara lain :
1. Penyesuaian terhadap lingkungan alam setempat. Perencanaan pembangunan hendaknya
memperhatikan orientasi terhadap sinar matahari, arah angin, perubahan suhu siang dan malam
serta penggunaan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Hal ini dilakukan sebagai suatu usaha
untuk menghemat energi.
2. Menghemat sumber energi alam yang tidak dapat diperbaharui dan mengirit penggunaan energi.
Beberapa hal yang bisa dilakuan antara lain dengan meminimalisasi penggunaan energi untuk alat
pendingin, optimalisasi pada penggunaan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui,
menggunakan energi alternatif dan energi surya.
3. Memelihara sumber lingkungan udara, tanah, dan air yaitu dengan memperhatikan berbagai aspek
bahan pencemar yang bisa mengganggu peredaran air, kebersihan udara dan tanah.
4. Memelihara dan memperbaiki peredaran alam. Setiap aktivitas manusia harus memperhatikan
semua ekosistem yang harus dimengerti sebagai suatu peredaran di alam dan manusia tidak boleh
merusaknya. Contoh : dalam kegiatan penggunaan bahan bangunan harus memperhatikan rantai
bahannya sehingga tetap berfungsi juga sebagai peredaran.
5. Mengurangi ketergantungan pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah).
6. Penghuni ikut serta secara aktif pada perencanaan pembangunan, dan pemeliharaan perumahan.
7. Tempat kerja dan pemukiman dekat. Hal ini dimaksudkan agar akses atau pencapaian dari rumah
ke tempat kerja bisa dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda sehingga mampu mengurangi
emisi atau gas buangan yang terlalu banyak dari kendaraan bermotor.
8. Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhannya sehari – hari.
9. Menggunakan teknologi sederhana yaitu dapat dilakukan dengan cara menggunakan teknologi
mudah dirawat dan dipelihara serta sesuai dengan teknologi pertukangan.

1.6. Desain Komite dan Partner Lokal Sebagai Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Pelestarian
Arsitektur Bali.

Untuk arsitek asing yang melembaga, seharusnya bisa bekerja sama dengan arsitek lokal.
Tapi dalam kenyataannya tak sedikit arsitek asing beroperasi di daerah tanpa diketahui asosiasi
profesi arsitek yang diakui di Indonesia yaitu Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Bahkan arsitek asing
sudah banyak yang memiliki izin dengan nomani sebagai tameng dalam perijinan, hal ini
mengakibatkan kurang menguntungkan bagi arsitek lokal. Sudah selayaknya arsitek luar mengajak
tuan rumah untuk berpartisipasi secara langsung dalam mendesain. Keterlibatannya tidak sekedar
memberi tugas dan meminta sejumlah persyaratan, tetapi menjadikan tuan rumah sebagai perancang
kedua yang lebih memahami aturan main di Bali. Berkolaborasi secara produktif antardua belah pihak
tentu akan semakin menyuburkan tumbuhnya kreatifitas dan pencitaan desain yang baik. Kedekatan
dan kesamaan pandang terhadap penyelesaian masalah-masalah rancangan menjadi kunci akhir dari
keberhasilan sebuah dsain itu sendiri. Ego arsitek perlu dibatasi karena membuat jarak dengan tuan
rumah hanya akan menimbulkan pertanyaan besar. Peran arsitek akan berhenti setelah bangunan
berdiri dan difungsikan sebagaimana mestinya. Namun, peran dan hak-hak tuan rumah akan berlanjut
sepanjang masa. Peran dan komitmen pemerintah harus menyikapi dengan bijak kondisi seperti ini
dengan membuat aturan serta kebijakan terkait peran arsitek local dalam setiap pembangunan di Bali.
Di Singapura dan Malaysia, pemerintahnya membuat aturan yang melibatkan arsitek lokal dalam

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 50


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

pembangunan properti. Ketika arsitek asing masuk, mereka diharuskan bermitra dengan arsitek lokal
sehingga membuat arsitek belajar serta menunjukkan kemampuannya. Pemerintah di Indonesia
harusnya membuat regulasi tepat untuk ini, jangan sampai arsitek Indonesia jadi penonton di
rumahnya sendiri.

Upaya harmonisasi kearifan lokal terhadap perencanaan arsitektur dapat berbentuk pelibatan
arsitek lokal sebagai local partner dalam setiap rancangan arsitektur yang ada di Bali, karena arsitek
lokal lebih paham dan mengetahui akan kearifan local dan peraturan-peraturan yang ada pada suatu
daerah. Pemanfaatan forum-forum diskusi dan evaluasi terhadap rancangan desain dalam setiap
pengajuan IMB seperti Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) yang baru terbentuk di Kota Denpasar
dan Kabupaten Badung perlu ditingkatkan dan dikembangkan oleh kabupaten lainnya sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Desain Komite juga sangat efektif dalam menfilterisasi setiap desain yang
diajukan oleh arsitek melalui forum diskusi dan proses konsultasi publik secara efektif dalam rangka
upaya harmonisasi kearifan lokal dengan aspek pembinaan. Salah satu keterlibatan Desain Komite
dan local partner di tahun 2013 adalah Perancangan Pintu Gerbang Tol Ruas jalan Nusa Dua- Ngurah
Rai- Benoa yang berawal dari MOU antara Ikatan arsitek Indonesia (IAI) Bali dengan pihak PT. Jasa
Marga Bali Tol. Desain Komite Perancangan Pintu Gerbang Tol terdiri dari unsur Pemerintah (Dinas
Tata Ruang dan Permukiman Kota Denpasar dan Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung melalui Tim
Ahli Bangunan Gedung (TABG)), Perguruan Tinggi (Universitas Udayana), Ikatan Arsitek Indonesia
(IAI) Bali, Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) Kota Denpasar dan unsur tokoh masyarakat dengan
hasilnya sangat efektif dalam perwujudan harmonisasi arsitektur Bali dengan brand colour dari Jasa
PT. Marga Bali Tol sendiri. Bahan yang diusulkan pada saat review adalah GRC mengingat
pertimbangan cuaca dan maintenance kedepan tidak memungkinkan menggunakan bahan alami
karena mudah keropos. Warnanya pun diharapkan tetap menampilkan warna bata dan paras sebagai
ciri dari arsitektur Bali.

Gambar diatas Proses Hasil Review Desain Komite Perancangan Pintu Gerbang Tol
Nusa Dua- Ngurah Rai- Benoa Melalui Partisipasi Partner Lokal di Bali Tahun 2013
(Pada saat Penulisan Makalah ini proses review masih sedang berjalan dan masih menunggu masukan dari SKPD Terkait di
Kabupaten Badung dan Kota Denpasar)
1.7. Simpulan
Layaknya, untuk menciptkan arsitektur berkearifan lokal sebagai dasar arsitektur
berkesinambungan, selayaknya bangunan tersebut dapat menyatu dengan keadaan sosial, budaya,
serta alam lingkungannya yang kemudian diikuti oleh fungsi bangunan tersebut. Diperhatikan pula
subyek dan obyek bangunan tersebut dipergunakan. Hal ini dimaksudkan agar tidak menjadi
bangunan yang angkuh berdiri sendiri tanpa peduli sekitar dengan pendekatan bahwa arsitektur
sebagai hunian manusia yang makhluk sosial juga harus menjadi benda sosial untuk bisa bersosialisasi

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 51


Perencanaan dan Penataan
Proceeding Seminar Nasional Kawasan terintegrasi

dengan sekitarnya untuk menciptakan bentuk ruang yang kongkrit tempat kehidupan itu berlangsung
sebagai cerminan kebudayaan atau kearifan lokal. Local Partner dan Desain Komite adalah salah satu
solusi yang efektifnya dalam rangka upaya harmonisasi kearifan lokal di Bali. Ada hal yang menarik
yang dapat diambil tentang upaya seorang arsitek memaknai kembali kearifan lokal dengan
menerapkan pada kehidupan modern. Dalam proses perancangan tidak harus mengambil tipologi
bentukan lama (tradisional), tetapi mengambil esensi ruang atau detail tradisi yang lain, seperti
kebiasaan tertentu. Ada baiknya seseorang tetap mempertahankan perletakan ruang. Gaya boleh
mutakhir sesuai selera tetapi tidak menghilangkan identitasnya yaitu masih menerapkan material lokal
dan menghargai alam.

1.8. Daftar Pustaka

Antariksa. (2009). Architecture Articles : Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan
Lingkungan Bhnaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 5 November 2010).

Budihardjo, Eko. 1996. Menuju Arsitektur Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Budiharjo.E.1997, Arsitek dan Arsitektur Indonesia Menyongsong Masa Depan, Penerbit


Andi,Yogjakarta.

Budiharjo.E.1997,Jati Diri Arsitek Indonesia,Penerbit Alumni,Bandung.

Cowan, Stuart and van de Ryn, Sims. 1996. Ecological Design. USA: Island Press

Ema Yunita Titisari dkk, Jurnal RUAS, Volume 10 N0 2, Konsep Ekologis pada Arsitektur di Desa
Bendosari, Desember 2012

Frick, H, dan Mulyani, Tri Hesti. 2006. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Frick H, FX Bambang Suskiyanto, (1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Hui, Sam C. M. 1996 (updated 2002). Sustainable Architecture.


http://www.arch.hku.hk/research/beer/sustain.htm. Didownload November 2011.

Mackenzie, L.D., dan Masten, S.J. 2004. Principles of Environmental Engineering and Science.

Keterlibatan Penulis sebagai Desain Komite Fasade Gerbang Tol Benoa- Nusa Dua Tahun 2013

Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana 52

Anda mungkin juga menyukai