Anda di halaman 1dari 17

Estetika Sunda dan Implementasinya

dalam Desain Kontemporer

Dr. Jamaludin, M.Sn

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Abstrak
Estetika adalah dasar dari penciptaan seni.Setiap karya seni adalah produk budaya masyarakat
penciptanya yang memiliki konsep estetika sendiri yang lahir dari sistem kepercayaan dan
kebudayaan masyarakat tersebut.Setiap karya seni, kriya atau desain yang diciptakan
sekelompok masyarakat tidak hanya dalam hubungannya dengan aspek fungsi produk tersebut
tetapi juga merupakan produk yang memiliki aspek simbolik yang berhubungan dengan
kepercayaan termasuk kosmologi atau mitologi yang hidup di masyarakat tersebut.Arsitektur
tradisional Sunda merupakan produk masyarakat Sunda pada zamannya yang memiliki kaitan
dengan berbagai faktor seperti sistem kepercayaan, geografis dan lingkungan sosial.
Makalah ini membahas kerangka estetika dalam budaya Sunda dengan menggunakan sumber
ungkapan dan peribahasa.Temuan tiga bentuk dasar yaitu persegi, lingkaran dan segitiga dan
makna simboliknya dalam ungkapan dan peribahasa Sunda.Persegi terdapat dalam hirup kudu
masagi, lingkaran dalam niat kudu buleud dan segitiga dalam bale nyungcung dan buana
nyungcung.Ketiga bentuk dasar tersebut dapat dijadikan sebagai sumber baru bagi
pengembangan desain kontemporer berbasis budaya Sunda termasuk di dalam
arsitektur.Selain bentuk dasar, karakteristik geografis Tatar Sunda dan budaya masyarakatnya
juga dapat dijadikan sumber kreativitas dalam perancangan desain kontemporer.

Kata kunci: estetika, Sunda, tradisional, kontemporer, bentuk dasar, desain

A. Pendahuluan
Secara umum untuk menentukan identitas desain dan arsitektur Sunda sering mengacu kepada
ciri-ciri yang terdapat dalam arsitektur tradisional Sunda.Hal yang masih memungkinkan
mengingat di wilayah habitat masyarakat Sunda masih terdapat kampung adat seperti
Kampung Naga di Salawu Tasikmalaya dan Kanekes di Lebak Banten. Hal yang pokok dan
dapat dianggap sebagai ciri khas dan menjadi faktor pembeda adalah unsur estetika yang
dikandungnya. Unsur estetika ini dapat berupa fisik atau formal dapat juga berupa simbol
yang dilekatkan kepada bentuk fisik atau formal suatu karya seni atau arsitektur.
Unsur estetika baik formal maupun simbolik dalam prakteknya tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan bagian integral dari suatu artefak budaya masyarakat yang terkait erat dengan
kemampuan setiap masyarakat yang dihubungkan dengan lingkungannya. Teori yang dapat
dipakai untuk menjelaskan kemampuan manusia tradisional (pra-modern) mengembangkan
kemampuan diri dalam hubungannya dengan kondisi lingkungan diungkapkan Walker (1989)
yang mengutarakan temuan Karl Popper dan E.H. Gombrich berupa teori deterministik yang
disebutnya Logika Situasi (Situational Logic) sebagai berikut.
Karl Popper and E.H. Gombrich have argued for a situational logic in which
humans are contrained by time, place and circumtance but even so have a degree of

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

freedom to pursue alternative direction. Certainly, wahterver the limist imposed on a


designer by money, technology, the brief, and so on, there is usually more than one
way of solving a design problem (Walker, 1989)
Bahwa manusia dibatasi oleh waktu, tempat dan kondisi yang meskipun demikian masih
memiliki derajat kebebasan untuk mencapai tujuan alternatif.Umumnya, faktor alam seperti
iklim dan geografi sangat relevan dalam pengembangan desain dan arsitektur (Walker, 1989).
Sementara James Fitch dan DanielBranch mengutarakan teorinya bahwa penentu desain
dalam masyarakat primitif (tradisional, vernakular) adalah lingkungan, seperti Eskimo dan
Indian Amerika Utara bergantung pada material alam khas yang ada di lingkungannya: salju
bagi orang Eskimo dan kulit binatang dan ranting kayu bagi orang Indian adalah material
yang dipakai untuk hunian mereka. Agar dapat bertahan mereka harus membangun hunian
dengan material yang cocok dengan iklim lokal. Demikian juga dengan orang Sunda pada
masa lalu yang membangun hunian dengan material yang disediakan alam sekitarnya.

Selain faktor alam, faktor pola hidup juga memberi bentuk terhadap cara manusia
membangun model hunian. Masyarakat peladang berpindah akan berbeda dengan masyarakat
petani sawah dalam caranya mengembangkan hunian. Masyarakat dengan lingkungan yang
sering terjadi peperangan akan membangun benteng pertahanan. Desain vernakular dalam
konteks arsitektur tradisional merupakan hasil dari kearifan pragmatis yang telah berlangsung
berabad-abad.

B. Enam Paparan Arsitektur Vernakular


Istilah desain tradisional, lebih dahulu muncul dalam khasanah arsitektur dan dikenal dengan
istilah arsitektur vernakular. Menurut Victor Papanek (1995), arsitektur vernakular didasarkan
atas pengetahuan praktis dan teknik tradisional, biasanya dibangun sendiri oleh pemilik
dibantu oleh kerabat dan tukang bangunan setempat dengan menunjukkan kualitas
pertukangan tertinggi yang dimiliki. Struktur desain vernakular cenderung mudah dipelajari
dan dipahami. Material yang dipakai sebagian besar diambil dari lingkungan sekitar. Dari segi
bentuk dan penggunaan material, bangunan merupakan solusi yang tepat dipandang dari segi
ekologi dalam arti cocok dengan iklim, lingkungan dan cara hidup masyarakatnya. Desain
vernakular tidak bersifat menonjolkan diri tetapi menyeleraskan diri dengan alam sekitar. Dari
segi ukuran, desain vernakular senantiasa berskala manusiawi, proses pembuatan sama
pentingnya dengan hasil akhir. Desain vernakular adalah gabungan dari kecocokan dengan

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

lingkungan, berskala manusia, dibuat dengan usaha terhadap kualitas pertukangan yang tinggi
yang pada kasus tertentu disertai dengan perhatian yang besar terhadap dekorasi, ornamentasi
dan hiasan dengan cita rasa sederhana yang menghasilkan desain yang indah.

Papanek lebih jauh mengemukakan enam paparan (six explanations) mengenai arsitektur
vernakular. Pertama, Paparan Metodologis (Methodological Explanation), yaitu bahwa desain
vernakular dapat dilihat dari metodenya yang merupakan gabungan dari material, alat dan
proses. Dalam konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai,
memiliki karakteristik yang khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga khas untuk
mengolahnya dengan melalui proses pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan sifat
material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu tertentu misalnya, dapat dipakai
dalam keadaan utuh, dibelah, atau dibuat anyaman. Masing-masing jenis bambu dipakai untuk
bagian tertentu di dalam konstruksi bangunan. Bambu utuh untuk kaso penyangga atap,
bambu gombong dibelah dan diratakan dipakai untuk lantai (palupuh) sedang awi tali (bambu
tali) dianyam dijadikan bilik untuk dinding.

Gambar 1 Proses pengeringan bahan lantai


dari bambu (palupuh).
Lokasi: kampung Gajeboh Baduy

Gambar 3 Proses memperkuat kayu


dengan cara direndam di kolam.
Lokasi: kampung Gajeboh Baduy

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Gambar 2 Proses pengeringan daun kiray


yang telah dianyam untuk bahan atap.
Lokasi: kampung Gajeboh Baduy.

Gambar 4 Proses pembuatan bahan


atap dari daun kiray.
Lokasi: kampung Ciranji Baduy

Kedua, Paparan Dispersi dan Konvergensi (Dispersion and Convergence Explanation).


Dispersimenunjuk padapenyebaran suatu gaya desain dari suatu wilayah ke wilayah lain
mengalami perubahan dalam upaya adaptasi dengan kondisi lingkungan baru.

Teori

konvergensi menjelaskan gaya desain tertentu akan memusat pada suatu kondisi geografi dan
iklim yang sama dan cenderung menggunakan pola-pola desain yang sama. Pendapat ini
didukung Hyppolite Taine (Walker, 1986) yang mengemukakan bahwa model ini mengacu
pada faktor biologi (seperti ras dan keturunan) untuk menjelaskan karakter desain dalam
masyarakat tertentu. Teori ini dapat menjelaskan fakta adanya kesamaan bentuk dan material
di dalam konteks desain tradisional Sunda mulai dari Kampung Kuta di ujung timur hingga
Kanekes (Baduy) di barat. Meskipun dipisahkan oleh jarak ratusan kilometer, bentuk dasar
model rumah di Kampung Kuta dan desa Kanekes relatif memiliki kesamaan yaitu model
rumah panggung dengan penggunaan material yang ada di lingkungannya. Latar budaya dan
keturunan yang sama, dalam hal ini budaya dan etnik Sunda, yang secara langsung
dipengaruhi oleh kondisi geografis dan iklim, tampaknya memberi pengaruh utama. Lebih
jauh lagi, kesatuan geografi dan iklim, dalam berbagai hal secara relatif akan memiliki
kesamaan.

Gambar 5 Rumah di kampung Kaduketug


desa Kanekes Leuwidamar Lebak

Gambar 7Rumah di Kampung Kuta Tambaksari


Ciamis

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Gambar 6 Rumah di kampung Naga desa


Neglasari Salawu Tasikmalaya

Gambar.8 Rumah di Kampung Pulo Garut

Gambar 9 Peta beberapa lokasi rumah tradisional & kampung adat Sunda
Ketiga, Paparan Evolusi (Evolusionary Explanation), yaitu bahwa meskipun arsitektur
vernakular berakar pada nilai-nilai tradisional, menyimbolkan kontinuitas di dalam
masyarakat, pada bagian tertentu tampak adanya sejumlah perubahan meskipun cenderung
lamban. Dalam observasi ke dua wilayah studi kasus, teori ini juga tampak relevan terutama
di kawasan Kampung Kuta Ciamis. Perubahan penggunaan material baru hasil industri
terbatas pada perabotan tertentu yang disesuaikan dengan nilai tradisi yang dianut dan
dipertahankan. Dengan kata lain penggunaan material hasil industri disesuaikan dengan
pemahaman terhadap aturan adat yang berlaku. Bahan bangunan buatan pabrik seperti kayu
lapis dan alas lantai dari plastik (vinyl) telah dipakai seperti secara umum di Kampung Kuta,
tetapi model rumah tetap dipertahankan berbentuk panggung.

Gambar 10. Penggunaan material hasil industri seperti


kaca pada rumah di Kampung Kuta Ciamis.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Perubahan yang relatif lamban dan khas terjadi di kawasan desa Kanekes (Baduy). Di Baduy,
terdapat kawasan yang disebut Baduy Luar yang memungkinkan warganya dapat
menggunakan peralatan lain di luar peralatan tradisional tetapi dalam jumlah dan jenis yang
terbatas karena keterikatan pada adat yang berpusat di Baduy Dalam masih berlangsung.

Keempat, Paparan Lingkungan Sosial (Social-Enviromental Explanation) yaitubahwa


bangunan vernakular mencerminkan kebutuhan masyarakat dan kemasyarakatan (social and
societal needs), keinginan dan hasrat masyarakat yang lebih langsung dibanding bangunan
yang dibuat arsitek. Dengan model desain vernakular, masyarakat dapat menentukan sendiri
model hunian dalam bangunan yang dikehendaki langsung sesuai dengan kebutuhan. Hal ini
berbeda dengan bangunan yang dirancang arsitek yang umumnya tidak berhubungan langsung
dengan pemakai terutama untuk bangunan komersial dan publik seperti bank, mal, kantor dan
pabrik. Tata nilai sosial yang dianut masyarakat di Kampung Kuta dan Baduy juga mengatur
bentuk dan model rumah bukan hanya terbatas pada masalah kebutuhan tetapi juga dalam
hubungan yang lebih luas dengan bentuk dan model rumah sekitar. Misalnya di Baduy, salah
satu syarat membangun rumah adalah jangan sampai membuat tetangga merasa silau.

Kelima, Paparan Budaya (Cultural Explanation) yaitu bahwa bangunan vernakular


dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat terutama dalam tata cara mendirikan bangunan
dan perhitungan atau aturan mendirikan bangunan berdasarkan budaya dan kepercayaan
setempat seperti perhitungan waktu yang tepat, arah hadap bangunan, lokasi, feng-shui,
berbagai upacara yang menyertai berbagai tahapan pembangunan, dan sebagainya.

Keenam, Paparan Estetika Formal (Formal Aesthetic Explanation) yaitu bahwa estetika
desain vernakular/tradisional berbeda dengan desain karya arsitek yang menonjolkan nilai
artistik individualistik yang dipandang sebagai sebuah ungkapan cita rasa arsitektural. Desain
vernakular

tidak

muncul

sebagai

sebuah

pernyataan

arsitektural,

tetapi

lebih

mengedepankan unsur simbolik dibanding unsur fisik. Teori ini menunjukkan adanya ruang
bagi munculnya upaya memahami bentuk dan makna desain tradisional dengan pendekatan
yang berbeda dengan desain modern. Desain tradisional harus pertama-tama didekati dengan
pemahaman terhadap latar budaya masyarakatnya, karena desain adalah produk dari suatu
budaya masyarakat.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Meskipun estetika adalah hal yang universal, perbedaan latar budaya masyarakat pencipta
karya seni tersebut menjadi faktor penting dalam proses penciptaan. Selain karena faktor
dasar seperti fase kebudayaan yang menghasilkan karya seni atau desain tersebut. Masyarakat
dengan budaya mitis berbeda cara pandangnya dengan masyarakat modern dengan budaya
ontologis. Seluruh teori tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan yang oleh
Papanek disebut jaring dinamis (Dynamic Web) sebagaimana dapat terlihat pada Matriks
Vernakular (Papanek, 1995).

Gambar 11. Diagram Matriks Vernakular


(sumber: Papanek, 1995)

Matriks vernakular di atas dapat dipakai untuk menjelaskan kondisi desain tradisional. Suatu
karya desain tradisional merupakan gabungan dari berbagai unsur dan setiap unsur saling
terkait satu sama lain. Pada matrix vernakular di atas dapat diketahui unsur-unsur yang
berpengaruh pada desain tradisional yaitu metode, (material, alat, proses dan skala),
budaya(citra ruang kolektif, agama-moralitas, kerja-hiburan, dan status), Desainer (pembuat,
pemakai, pemilik), lingkungan-sosial (iklim, konteks), evolusi (historis, tipologi) dan estetika
(formalis, ornamental, organik).Posisi atau kedudukan masing-masing unsur tersebut di dalam
suatu proses penciptaan desain tradisonal bersifat khas. Misalnya unsur Desainer, di
masyarakat tradisional sekaligus adalah pembuat, pemakai, dan pemilik, sedang unsur
Evolusimenunjuk pada perubahan bentuk secara evolusioner baik secara tipologis maupun
historis.Tipologis menunjuk pada adanya perbedaan tertentu tetapi dengan tipe bentuk yang
sama, sedang unsur historis menunjuk pada faktor sejarah perkembangan desain tersebut.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

Unsur Dispersiyang terdiri dari dua faktor yaitugeografis dan sosial menunjuk pada sifat
desain tradisional yang menyebar dalam wilayah dalam batas geografis dan lingkungan sosial
tertentu. Dengan kata lain suatu desain tradisional tertentu umumnya dapat ditemui di dalam
wilayah yang sama secara geografi dan sosial yaitu kesamaan kelompok masyarakat berdasar
ras atau etnik dan berdasarkan unsur Budaya memiliki kesamaan dalam faktor agama dalam
pengertian sistem kepercayaan dalam arti luas menyangkut unsur kosmologi.

Unsur estetikyang mencakup faktor bentuk (formalis), ornamentasi dan organikmenunjuk


adanya acuan baku yang dimiliki masyarakat pencipta desain tersebut dalam hal bentuk, jenis
ornamentasi dan karakteristik organik. Pengertian organik kemungkinan mengacu pada
bentuk yang bersumber pada karakteristik serta bahan atau material alami dan simbolik yang
merupakan bagian integral dari kebudayaan penciptanya. Seluruh unsur tersebut merupakan
warisan dari generasi sebelumnya yang ditiru generasi berikut tanpa perubahan yang berarti
sebagaimana karakteristik umum desain tradisional.

B. Konsep Estetika Berdasarkan Ungkapan dan Peribahasa Sunda


Estetika adalah dasar sekaligus tujuan dari penciptaan seni, desain dan arsitektur. Dalam
desain kontemporer dimungkinkan pencarian gagasan atau sumber estetika tidak hanya dari
bentuk berbagai artefak tradisional tetapi juga dari berbagai sumber lain termasuk kondisi
geografis dan kekayaan budaya lainnya yang dimiliki masyarakatnya dalam hal ini
masyarakat Sunda. Beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan adalah kosmologi Sunda,
bahasa dalam hal ini ungkapan dan peribahasa serta naskah Sunda kuno.Dalam khasanah seni
rupa, desain dan arsitektur serta matematika dikenal tiga bentuk dasar yaitu segi empat
bujursangkar, lingkaran dan segitiga. Ketiga bentuk dasar ini juga ditemukan dalam babasan
(ungkapan) dan paribasa (peribahasa) Sunda.

Segi Empat
Bentuk segi empat bujur sangkar terdapat dalam ungkapan Hirup kudu masagi. Ungkapan
yang berisi petuah yang artinya hidup harus serba bisa.Bentuk lain, jelema masagi
(Natawisastra,1979, Hidayat, dkk, 2005) artinya orang yang memiliki banyak kemampuan
dan tidak ada kekurangan. Masagi berasal dari kata pasagi (persegi) yang artinya menyerupai
(bentuk) persegi. Ciri bujursangkar adalah keempat sisinya berukuran sama. Kesamaan
ukuran empat bidang pada bentuk bujursangkar ini diibaratkan berbagai aspek dalam bentuk

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

tindakan atau perbuatan di dalam kehidupan yang harus sama dalam kualitas dan
kuantitasnya. Umumnya ungkapan ini dipahami sebagai perlambang untuk hidup serba bisa
sehingga tercipta kesempurnaan perbuatan atau perilaku dalam hidup. Pengertian serba bisa
atau serba dilakukan dalam arti positif dengan penekanan utama mengarah pada dua aspek
pokok kehidupan manusia, yaitu kehidupan duniawi (bekerja, hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam) dan kehidupan di akhirat nanti (hubungan manusia
dengan Tuhan). Bentuk segi empat bujur sangkar secara absolut tidak terdapat di alam.
Dengan kata lain, bentuk ini adalah ciptaan imajinasi manusia hasil abstraksi dari rupa yang
ada di alam. Bentuk segi empat lainnya, seperti empat persegi panjang adalah turunan dari
bentuk bujur sangkar ini.

Lingkaran
Bentuk lingkaran terdapat dalam ungkapan Niat kudu buleud (niat harus bulat). Niat
berkaitan dengan persoalan keteguhan sikap, keyakinan serta kepercayaan yang pada
ujungnya bermuara pada masalah keimanan atau spiritual. Bentuk bulat dibuat dari garis
melingkar dengan ujung saling bertemu, dengan jari-jari dari titik pusat ke setiap sisi
berukuran sama. Bila mengacu pada bentuk-bentuk yang ada di alam tampak bahwa lingkaran
terdapat pada berbagai objek seperti bulan dan matahari di angkasa, berbagai bentuk bungaseperti bunga teratai dan beberapa jenis daun memiliki bentuk dasar lingkaran atau bulat.
Bentuk lingkaran mempunyai keunikan yang tidak dimiliki bentuk dasar lain, seperti riak di
permukaan air. Bila permukaan air tersebut terganggu seperti karena suatu objek jatuh pada
permukaan air tersebut, di sekitar objek, karena pengaruh gravitasi, air bereaksi dengan
membentuk lingkaran yang bergerak membesar mengitari objek.

Bentuk lingkaran dan makna yang dikandungnya sebagaimana terdapat dalam ungkapan dan
peribahasa Sunda dapat diimplementasikan ke dalam bentuk bangunan yang secara fungsi
memiliki kesamaan dengan makna lingkaran.Salah satu bangunan yang menggunakan model
lingkaran adalah gedung Rektorat Universitas Padjadjaran di Jatinangor. Bentuk lingkaran
dan maknanya sebagaimana terdapat dalam ungkapan dan peribahasa Sunda dapat diterapkan
di dalam menjelaskan konsep bentuk gedung ini. Dengan demikian kehadiran arsitektur
kontemporer ini masih merupakan ekspresi budaya Sunda tradisional yang dikemas dalam
bentuk kontemporer.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

10

Gbr 12. Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran


Jatinangor menggunakan bentuk dasar lingkaran:
contoh implementasi estetika Sunda dalam arsitektur
Segi tiga
kontemporer (Foto: flicker.com)

Gbr 13. Gedung Senat di dalam komplek Gedung


Rektorat Universitas Padjadjaran Jatinangor
(foto: unpad.ac.id)

Bentuk segi tiga terdapat dalam ungkapan bale nyungcungdan Buana Nyuncung (tempat
para dewa dan hyang dalam kosmologi masyarakat Kanekes). Bale Nyungcung adalah sebutan
lain untuk tempat atau bangunan suci, yang dalam Islam adalah masjid. Kalimat ka bale
nyungcung dalam percakapan sehari-hari maksudnya melangsungkan akad nikah, yang jaman
dahulu umumnya dilakukan di masjid. Bale nyungcung menunjuk pada model atap masjid
jaman dulu yang menggunakan model gunungan atau meru bertumpuk tiga dengan puncak
berbentuk atap limas yang disusun dari empat bentuk segitiga. Bentuk yang juga dapat
ditemui pada atap pura di Bali dan bangunan model tropis. Bentuk segitiga dalam posisi
normal, salah satu ujungnya berada di bagian atas, menjadi bagian puncak sehingga memiliki
arah orientasi yaitu ke atas (langit).

Mengacu pada alam, bentuk nyungcung adalah bentuk umum gunung. Gunung berperan
penting dalam perjalanan sejarah Sunda khususnya karena berbagai situs megalitikum dan
makam keramat umumnya terdapat di gunung (Wessing, 2006). Wessing lebih jauh
mengungkapkan penelitian Hidding (1933 dan 1935) bahwa pegunungan adalah perbatasan
antara hunian manusia (settled area) dan wilayah asing tempat kehidupan manusia berakhir
dan kehidupan lain mulai. Misalnya situs Gunung Padang di Cianjur dan Ciwidey, Astana
Gede Kawali dan Arca Domas di gunung Kendeng desa Kanekes (Baduy). Menurut Fadillah
(2001) sejumlah keramat, terutama dalam bentuk makam, meskipun tidak berada di puncak
gunung tetapi merupakan representasi gunung atau dibayangkan sebagai gunung. Fadillah
menggunakan contoh makam Syarif Hidayatullah di sebuah bukit bernama Sembung di
Cirebon, masyarakat menyebutnya Sunan Gunung Jati.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

11

Menurut Claire Holt (1967) puncak puncak gunung di Indonesia dipercaya secara luas sebagai
tempat tinggal para dewa dan roh-roh leluhur. Juga gunung-gunung berapi dianggap memiliki
kehidupan serta roh mereka sendiri, dipuja dan dihormati. Gunung dianggap sebagai jembatan
dunia atas dan bawah, oleh karenanya tempat-tempat pemujaan didirikan di tempat yang
tinggi atau dibuat meniru bentuk gunung (gunungan) seperti punden berundak dan candi serta
piramid sebagai jembatan transendental antara dunia atas dan dunia bawah (Dharsono, 2007).
Dalam pandangan Hindu-Budha, gunung dianggap berperan dalam menstabilkan jagat raya
(univers), menyangga langit dan bumi, menetralkan kekuatan jahat,

kekacauan,

ketidakstabilan dan ketidakteraturan. Gunung adalah lambang kekuasaan tertinggi dan sebagai
pengikat jagat raya (Snodgrass, 1985).

Gbr 14. Segitiga, bentuk dasar gunung


(foto: garut.go.id)
Gbr 15. Masjid tradisional dengan atap model meru tiga
tingkat. Puncaknya berbentuk limasan tersusun dari empat
segitiga yang disebut nyungcung. (foto:kitlv)

Pengertian atau makna simbolik lainnya mengenai segitigadituturkan Ajip Rosidi (wawancara
1 Desember 2008) yaitu bahwa bentuk segitiga (dalam bahasa Sunda disebut jurutilu) juga
dipakai sebagai simbol vagina atau yoni, tempat bagi kelahiran manusia. Tampaknya simbol
itu dalam bentuk segitiga terbalik atau salah satu sudut terletak di bawah. Dengan demikian
segi tiga mengandung makna sebagai tempat suci bagi transformasi kehidupan. Segi tiga
dengan satu sudut di atas melambangkan tempat suci bagi transformasi ke alam lain melalui
kematian sedang segi tiga dengan satu sudut di bawah melambangkan tempat suci bagi
transformasi dari alam rahim ke alam dunia melalui kelahiran.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

12

Telah sejak lama di Indonesia umumnya terdapat dua model atap mesjid.Pertama
menggunakan atap model tradisonal yaitu limasan yang menjadi ciri khas bangunan tropis,
kedua atap dengan menggunakan kubah sebagai pengaruh dari arsitektur Timur
Tengah.Mesjid dengan atap model limasan yang runcing membuat masjid dikenal dengan
sebutan Bale Nyungcung.Atap limasan dapat diterapkan kembali ke dalam model atap mesjid
sebagaimana terdapat pada model atap masjid tradisional.Salah satu contohnya adalah masjid
Universitas Pendidikan Indonesia.

Gbr. 16.Masjid Universitas Pendidikan Indonesia.Bale nyungcung


dalam arsitektur kontemporer. (Foto: kaskus.com)

Selain penggunaan bentuk dasar dengan makna seperti yang terdapat di dalam ungkapan dan
peribahasa Sunda di atas, juga berbagai karakteristik geografis Tatar Sunda dan kebudayaan
masyarakatnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan bagi penciptaan identitas lokal atau
dalam hal ini estetika Sunda di dalam berbagai bangunan. Selain sebagai bentuk atap limasan,
bentuk segitiga juga dapat dikembangkan ke karya seni dan arsitektur lain dengan muatan
maknanya sebagaimana yang terkandung di dalam ungkapan dan peribahasa.
C. Karakteristik Lingkungan dan Budaya Sebagai Sumber Estetika
Pemahaman mengenai kondisi geografis Tatar Sunda dan kekayaan budaya lainnya dari
masyarakat Sunda dapat diterapkan ke dalam desain secara formal (bentuk).Sebagaimana
diketahui, masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan air.Hal itu
dibuktikan dengan banyaknya penamaan berbagai tempat dengan menggunakan kata ci atau

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

13

air.Karakteristik ini dapat diolah menjadi salah satu sumber penciptaan estetika Sunda
bersumber pada karakteristik lingkungan.

Unsur Air
Unsur air dapat diimplementasikan sebagai bagian integral dari suatu desain sebagai upaya
menciptakan estetika berbasis budaya Sunda.Upaya ini telah dilakukan oleh arsitek atau
desain interior.Contohnya adalah pada hotel Hilton Bandung. Pada lobby Hotel Hilton
terdapat kolam yang cukup besar, sementara pada dinding di atasnya terdapat semacam seni
monumental interior berupa mural dengan tema ombak. Kolam di dalam lobby hotel ini selain
dapat berfungsi teknis juga dapat dilihat sebagai upaya membuat unsur representasi lanskap
dan geografis wilayah Tatar Sunda.

Gbr. 17 Lobby Hotel Hilton Bandung dilengkapi dengan kolam yang


terinspirasi dari karakteristik lanskap geografis Tatar Sunda yang banyak air.

Legenda
Salah satu kekayaan budaya adalah mitologi, kosmologi dan legenda.Di Kota Bandung
legenda yang terkenal adalah legenda Tangkubanparahu yang berpusat pada cerita
Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Legenda ini dapat menjadi upaya penciptaan estetika lokal
Sunda dengan cara kreatif .Salah satu contohnya adalah di hotel Holiday Inn Jl. Ir. H Djuanda
Bandung. Lobby hotel itu dihiasai dengan beberapa patung yang merupakan representasi
tokoh dalam legenda Sangkuriang atau Tangkubanprahu. Patung-patung tersebut diletakkan di
dekat dinding pada pintu masuk lobby hotel Holiday Inn, dengan dudukan cukup tinggi.
Keberadaan patung-patung tersebut yang pada bagian bawahnya diberi keterangan mengenai

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

14

karakter masing-masing tokoh, sebagai upaya menciptakan identitas khas Kota Bandung yang
bersumber pada legenda. Kehadiran patung-patung tersebut membuat lobby hotel lebih
estetik.

Patung tokoh-tokoh legenda Tangkubanparahu di loby


hotel Holiday Inn Bandung
(foto: members.virtualtourist.com)

Artefak budaya
Berbagai artefak budaya yang dihasilkan masyarakat Sunda dapat dipakai sebagai bagian
integral dari suatu karya seni atau arsitektur sebagai representasi budaya Sunda.Upaya ini
dapat dilakukan dalam bentuk formal maupun simbolik. Upaya ini telah dilakukan antara lain
seperti yang terdapat pada dinding lift hotel Hyatt Regency Bandung. Pada bagian tengah
void dengan atap sky light, dibuat taman yang merepresentasikan taman tropis. Sementara
pada dinding lift yang berada di sisi void dihiasi dengan berbagai motif keramik dari berbagai
tempat penghasil keramik di Jawa Barat. Seni monumental interior berbasis budaya keramik
Jawa Barat ini adalah karya pematung Rita Widagdo. Pada bagian bawah karya tersebut
dimuat informasi mengenai sumber acuan karya tersebut yaitu budaya keramik dari berbagai
tempat di Jawa Barat sehingga masyarakat dapat mengenalnya.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

15

Dinding lift pada tepi void hotel Hyatt Regency Bandung berhiaskan berbagai abstraksi seni keramik dari
berbagai tempat pembuatan keramik di Jawa Barat

Kesimpulan
Konsep estetika Sunda dapat ditelusuri selain dari artefak tradisional yang dihasilkan
kebudayaan masyarakat Sunda juga dapat ditelusuri dari sumber lain seperti kosmologi,
bahasa dan naskah Sunda kuno. Dari temuan yang ada pada berbagai sumber tersebut dapat
dikembangkan upaya kreatif dalam penciptaan produk baru seperti desain dan arsitektur
kontemporer. Unsur lain seperti geografis, artefak budaya juga dapat menjadi bahan bagi
penciptaan unsur estetika berbasis budaya Sunda di dalam berbagai karya seni dan arsitektur
kontemporer. Beberapa contoh sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu upaya
menciptakan identitas lokal pada setiap karya desain yang pada akhirnya menciptakan estetika
yang khas budaya Sunda.

Peniruan terhadap artefak budaya tradisional sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan
sedapat mungkin tanpa merusak karakteristik bentuk formal.Misalnya bentuk atap julang
ngapak harus tetap memperhatikan karakterisitk bentuk julang ngapak.Inovasi yang
dilakukan sering membuat karakteristik bentuk tradisional menjadi hilang dan berubah
sementara istilah dan pemahamannya tetap. Seperti penyebutan atap julang ngapak tetapi
sudah dalam bentuk yang lain.

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

16

Pustaka
Dharsono, Soni Kartika (2007), Estetika, Rekayasa Sains, Bandung
Fadillah, Moh. Ali (2006): Pengultusan Orang Suci pada Masyarakat Sunda: Sebuah
Kontinuitas Unsur Budaya, prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, jilid 1,
Bandung, Rosidi, Ajip, Ekadjati, Edi S., Alwasilah, A. Chaedar, Editor, Yayasan
Kebudayaan Rancage, 419-432
Hidayat, Rachmat Taufik, Haerudin Dinding, Muhtadin, Teddy AN Darpan, Sastramidjaja,
(2005): Peperenian Urang Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung
Holt, Claire, (1967): Art in Indonesia, Cornel University Press, New York.
Jamaludin, (2011): Makna Simbolik Estetika Sunda: Kajian Wadah Makanan Pokok di
Masyarakat Baduy, disertasi, Program Ilmu Seni Rupa dan Desain Sekolah
Pascasarjana ITB.
Natawisastra, Mas (1979): Saratus Paribasa Jeung Babasan III, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Papanek, Victor (1995): The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and
Architecture, Thames and Hudson, London
Walker, John A. (1989): Design History and the History of Design, Pluto Press London

Konferensi Internasional Budaya Sunda II

17

Anda mungkin juga menyukai