Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MATA KULIAH : ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH : Ir. PILIPUS JERAMAN, MT

ARSITEKTUR NUSANTARA

( Studi Kasus : Arsitektur Sumba, Kampung Adat Praigoli )

Disusun Oleh :

Theresa Oldebert Shonya Parera ( 221 18 031 )

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2020

1
ABSTRAK

Arsitektur Nusantara adalah sebagai wujud fisik kebudayaan manusia yang memiliki
dimensi fungsi sebagai wadah atau alat yang bermakna dalam kehidupan manusia.
Arsitektur adalah dimensi makna dan menjadi tolok ukur tinggi rendahnya budaya
manusia. Kebudayaan arsitektur nusantara yang memiliki keunggulan dan berpijak
pada kearifan lokal sehingga dapat memberi makna bagi kehidupan manusia.
Keragaman arsitektur nusantara memberikan kekayaan budaya bagi bangsa Indonesia.
Pengetahuan mengenai arsitektur telah lama dimiliki oleh masyarakat adat dan
menerapkannya pada rumah adat mereka. Pengetahuan-pengetahuan ini diwariskan
secara lisan oleh satu generasi ke generasi yang lain. Namun, belum banyak
pengetahuan-pengetahuan tersebut diwariskan secara tulisan dan dijadikan acuan
dalam membangun hunian yang lebih modern. Oleh karena itu, makalah ini memiliki
tujuan untuk mengetahui tentang bagaimana rumah adat yang berada di Sumba
mengatasi masalah-masalah yang yang terdapat di tapak tersebut dengan
menerapkan prinsip-prinsip arsitektur sehingga dapat menerapkannya pada hunian
maupun bangunan yang lebih modern dengan menggunakan metode deskriptif,
sehingga mendeskripsikan mengenai pola tapak, fungsi tapak dan elemen-elemen
tapak serta tata ruang dalam, fungsi dan bentuk dari arsitektur suku Praigoli.

Kata Kunci : Arsitektur Nusantara, Arsitektur sumba, Praigoli

2
PENDAHULUAN

Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara


keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya
merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata Nusa
yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa digunakan dalam
konsep kenegaraan ―Jawa, artinya dikenakan pada daerah di luar pengaruh
budaya Jawa. Secara internasional keadaan ini juga dirasakan oleh beberapa arsitek
yang peduli terhadap lingkungan baik fisik maupun non fisik, baik alam maupun
buatan. Kejenuhan terhadap rancangan yang bersifat global dan universal mulai
muncul sekitar th.1960-an dengan sebuah gerakan yang ingin memunculkan kembali
ciri kedaerahan yang disebut Regionalisme Arsitektur[ CITATION Hid \l 1033 ]

Demikian juga dengan gejala yang terjadi di Indonesia, usaha untuk


memunculkan kembali identitas lokal dan regionalpun mulai banyak dilakukan. Dari
keadaan tersebut, maka potensi arsitektur Nusantara mempunyai kekuatan yang luar
biasa untuk menjawab tantangan globalisasi dikarenakan arsitektur Nusantara
mempunyai nilai kedaerahan yang menunjukkan ciri dan identitas arsitekturnya dan
yang mampu menjamin keberhasilannya. Sejalan dengan isu internasional tentang
regionalisme, maka arsitektur Nusantara mempunyai peluang menjadi dasar dari
regionalisme arsitektur di Indonesia. Keadaan inilah yang membuat timbulnya
kesadaraan untuk mempelajari dan menjaga arsitektur nusantara sehingga menjadi
suatu kekayaan dan ciri khas dari daerah tersebut. Oleh karena itu, makalah ini akan
membahas mengenai nilai-nilai budaya kedaerahan berkaitan dengan cirri dan
identitas arsitektur dari daerah sumba khusunya pada Kampung Praigoli, Kabupaten
Sumba Barat.

3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Arsitektur Nusantara
ciri utama dari arsitektur di wilayah Nusantara melalaui beberapa poin dengan
uraian sebagai berikut :
 Pertama, Berdaun sepanjang tahun: arsitektur pernaungan. Ruang-luar
Arsitektur Nusantara adalah ruang berkehidupan bersama. Itulah yang
menunjukkan bahwa pernaungan adalah arsitektur bagi fitrah manusia.
Arsitektur Nusantara bagai bayi di dalam perlindungan rahim batas teritori
yang kokoh, meski sebenarnya. ia hanya bernaung saja di dalamnya. Di
dalam kekokohan perlindungan rahim, ia tetap terkait dengan dunia-luar
lewat jasad sang ibu. Arsitektur pernaungan ada dalam kerangka-struktural
dan kaitan-sistemik dengan lingkungannya. Inilah universalitas yang
sebenarnya dapat dipakai di mana pun di muka bumi. Maka dapat dipahami,
sangat sulit menerapkan konsep arsitektur pernaungan di belahan bumi sub-
tropik empat musim yang hanya berlingkungan-daun seperempat tahun
saja. Tiga perempat tahun yang lain, iklim dingin lebih banyak mendesak-
paksa. Manusianya untuk masuk ke dalam ruang perlindungan.Ruang-
luarnya sulit dimanfaatkan sebagai ruang bersama yang bernuansa akrab.
Arsitektur pernaungan adalah konsep yang sangat tergantung pada sifat dan
keadaan struktur dan sistem di luar tapak. Ketika keadaan eksternal
berubah, kualitas pernaungan itu pun ikut berubah.
 Kedua, Arsitektur Nusantara berkembang dari tradisi berhuni di lingkungan
berpohon-pohon, bukan di lingkungan bergua-gua . dua tipologi tradisi
berhuni prasejarah itu sudah terbukti secara arkeologis. Arsitektur Nusantara
yang pernaungan ialah hasil kristalisasi pengalaman empirik selama ribuan

4
tahun. Hampir seluruh penelitian mutakhir tentang budaya bermukim di Asia
tropis lembab, menunjukkan bahwa ruang bersama tempat kehidupan sosial
penuh keakraban bagi masyarakat manusia tropis lembab adalah pada jalan
lingkungan, gang, halaman bersama, ruang-bersama desa, sekitar pundèn,
ruang antar-émpèran rumah. Singkatnya: ruang-terbuka-bersama. Jika ada
atap, batang-kayu kolom strukturnya tetap memberi karakter terbuka dan
dapat menjalin pertautan spasio-visual dengan ruang lain. Kolom-kolom
rumah panggung berupa garis, esensinya tak mengkomsumsi ruang; lantai
yang didukung kolom-kolom itu justru memproduksi ruang. Kini arsitektur
bangunan gedung di Indonesia dapat digolongkan menjadi “Arsitektur” dari
golongan berpunya yang dari awal memang sudah menolak berjendela, tertutup rapat
serta menjadi benteng perlindungan dari iklim-mikro kota yang makin panas-ganas
dengan jalan pintas untuk dirinya sendiri. Golongan kedua adalah “non- AC-tektur”
dari golongan tak berpunya lemah-papa dalam segala pengertian: sumpek, sumuk,
dan semrawut. Nusantara sungguh beruntung (di masa lalu) dianugerahi alam ramah.
 Ketiga, Pulau-pulau Arsitektur Bahari Mentawai dan Nias berbeda ciri meski
letak geografisnya dekat; Madura dan Jawa Timur pedalaman pun tak dapat
dipersamakan. Keunikan lokalitas tak kenal jarak, tetapi ditentukan oleh
eksklusifitas jejaring peradaban yang di masa lalu, terbatasi oleh air laut.
Satuan hunian ruang budaya di Nusantara terbentuk lewat eksklusifitas
pulau-pulau. Dengan demikian, pada hamparan lautnya nan luas, kemajuan
teknologi. Berkaitan pula dengan pertumbuh kembangan arsitekturnya
masing-masing. Bagi masyarakat Arsitektur Nusantara Bahari ada kaitan
antara arsitektur dengan kemajuan teknologinya: mulai dari perahu
bergalah, berdayung, bercadik tunggal atau ganda, kemudian berkembang
dengan layar, dan seterusnya. Pinisi berlayar merupakan loncatan teknologi
dari perahu berdayung Majapahit.

5
Sumber : [ CITATION Hid03 \l 1033 ]

Hasil kajian pemikiran teori arsitektur Nusantara menurut Prijotomo sebagai berikut:

1. Ideologi

Arsitektur Nusantara berpedoman pada semboyang ke- Bhineka-an. Bhinneka


Tunggal Ika melihat Toraja adalah Indonesia, Jawa adalah Indonesia.
(Prijotomo, 1988:41).

2. Menghargai Sejarah Masa Lampau

Arsitektur Nusantara menjadikan arsitektur Klasik Indonesia (percandian dan


Tradisional) sebagai akar kearsitekturan. Penempatan sebagai sumber dan akar
sama sekali tak boleh harus kembali ke masa lampau, tetapi arsitektur Klasik
Indonesia itu saling dikawinkan (dikombinasikan). Di sini, proses stilisasi
menjadi bagian penting dalam menghadirkan suatu bentukan baru yang
Indonesiawi

3. Arsitektur Nusantara Sebuah Pengetahuan dari Disiplin Arsitektur

Arsitektur Nusantara bukan sebagai pengetahuan yang mengklaim disiplin lain


sebagai disiplinnya sendiri. Misalnya saja di dalam arsitektur diberlakukan rumus
yang mengatakan bahwa pergerakan udara terjadi kalau terdapat selisih
tekanan udara, tetapi rumus ini tetap saja tidak dikatakan sebagai rumus
arsitektur, melainkan rumus fisika.

4. Arsitektur yang Berkelanjutan (Continuation)

Keberkelanjutan arsitektur Klasik Indonesia menuntut adanya pengkinian.


Tujuan dari pengkinian arsitektur Nusantara adalah menjaga kesinambungan
dan keharmonisan antar arsitektur percandian maupun etnik Nusantara,

6
(Prijotomo 2004:115). Menurut Hidayatun pemahaman terhadap arsitektur
Nusantara harus pula dipahami seperti “Sumpah Palapa (Bhineka Tunggal Ika)”
yang tidak menutup kemungkinan adanya pertalian dari berbagai suku bangsa
seperti misalnya antara Jawa-Madura-Sumba-Timor-Batak dsb. Adalah sebuah
pencarian tentang hakekat berarsitektur dalam bumi Nusanatara ini.

5. Arsitektur Nusantara Menerima Teknologi Modern

Teknologi modern tetap dijadikan sebagai tamu (eksternal), untuk itu perlu
distilir kedalam gagasan arsitektur Nusantaran (internal). Artinya,
pengkombinasian (tranformasi dan modifikasi) antara gagasan modern dengan
gagasan arsitektur Klasik untuk mencapai suatu karya arsitektur yang berciri
Nusantara di sini, arsitektur Nusantara dapat diglobalkan (memodernkan
arsitektur Indonesia). Contoh dari pengkombinasian ini dapat dilihat pada hasil
penelitian Maria I. Hidayatun (2003) pada karya Gereja Puhsarang karya
Mclaine Pont.

6. Arsitektur Pernaungan

Lingkungan masyarakat dua musim seperti Indonesia, bangunan diperlukan bukan


untuk melindungi diri dari ancaman iklim yang mematikan, melainkan sebagai
penaung terhadap iklim yang hanya menghadirkan kemarau yang terik dan
penghujan yang lebat. Bagi sebuah pernaungan, atap adalah penaung yang
diperlukan, dan daerah bayangan yang terjadi oleh adanya penaung tadi
menjadi ruang-ruang dasar yang dimunculkan. menyatakan bahwa Keberadaan
bangunan sebagai penaung itu sekaligus juga merupakan pernyataan
masyarakat Nusantara mengenai hubungan dan sikap manusia Nusantara

7
terhadap iklim dan ekologinya. Hidup bukanlah penguasaan alam tetapi adalah
bersama alam, (Prijotomo, 2004:209).

7. Arsitektur Tanpa Paku, Tanggap Gempa dan Konservasi

Bangunan Nusantara adalah adalah bangunan dengan sistem konstruksi


(tektonika) sambungan (pasak-lubang dan pen-lubang).Cara penyambungan
pasak danlubang maupun pada pen-dan-lubang. Keduanya tidak dilakukan
dengan tingkat ketepatan (presisi) yang tinggi, sehingga sambungan-
sambungan ini bisa bergerak gerak. Prijotomo (dalam Hikmansyah, dkk.
2010:8), Dengan menamakan konstruksi di Nusantara ini sebagai konstruksi
goyang (sebagai lawan dari konstruksi mati, sebutan bagi konstruksi yang
menggunakan paku), kehandalan dari arsitektur Nusantara menjadi semakin
terbukti bila dihadapkan dengan gempa. Sebagai mana yang dinyatakan oleh
Pradipto (dalam Budihardjo,2009:120) bahwa, belajar dari dari bencana 27 Mei
2006, bencana tektonis di Yogyakarta menunjukkan bahwa kerusakan dan
kehancuran bangunan terutama pada konstruksi beton atau batuan. Bangunan
yang menggunakan kayu dan bambu hanya mengalami keurakan relative kecil.
Bangunan dengan menggunakan bahan tumbuhan setempat sudah banyak
membuktikan kekuatan dan ketahannya terhadap kondisi iklim dan alam.

8. Kebaharian Nusantara

Nusantara menempatkan diri sebagai arsitektur yang dalam posisi generiknya


menunjuk pada arsitektur kelautan dan arsitektur kedaratan. Sementara ihwal
arsitektur kedaratan telah berlimpah dengan informasi kultural, tidaklah
demikian halnya dengan arsitektur kelautan. Bumi Nusantara belumlah sebutan
yang lengkap bagi Nusantara. Selengkapnya haruslah bumi-laut Nusantara,
(Prijotomo, 2004). Laut atau perairan adalah adalah penghubung pulau dengan

8
pulau dan daratan, bukan sebagai pemisal (pengisolasi), (Prijotomo, dalam
Hikmansyah, Dkk.2010). Dengan penguasaan laut dan pemanfaatannya, sama
sekali tak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan pertalian antara Batak
dengan Toraja; lalu, antara Jawa-Madura-Sumba- Timor Leste, lalu pertalian
Jepang-Taiwan- Sulawesi, Pasifik-Papua-Maluku-Nusa Tenggara Timur-Nusa
Tenggara Barat-Bali-Jawa. Di sini, transformasi (transformation) atau evolusi
bentuk arsitektur tidak hanya bercorak internal, yakni pengembangan
“dirisendiri”, tetapi juga merupakan malihan (transformation) yang
mengkombinasikan dua sumber bentukan.

9. Tradisi Tanpa Tulisan

Masyarakat Nusantara adalah masyarakat dari tradisi lisan, bukan dari tradisi
tulis. Di dalam masyarakat lisan, ucapan dan benda menjadi medium yang
digunakan untuk mencatat dan merekam pengetahuannya. Rekaman-rekaman
ini tentu tidak lagi dikatakan sebagai “system kepercayaan” tetapi “keping-
keping pengetahuan”. Penyampaian-penyampaian ini tentu saja dengan ragam
cara yang dilakukan yakni, rupa-rupa cerita (cerita rakyat hingga mitos dan
legenda), nyayian, puisi lisan, hikayat, babad, pepatah dan petuah maupun
matra dan doa.[ CITATION Bak14 \l 1033 ]

B. Arsitektur Sumba

Nama Sumba konon berasal dari kata humba, yang berarti “asli”. Masyarakat
Sumba menyebut diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli yang mendiami
Pulau Sumba. Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Indonesia, dengan luas keseluruhan sekitar 10.710 km². Daerah Sumba
terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi dengan titik tertinggi ada di
puncak Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba terletak pada posisi astronomis

9
90 401 Lintang Utara dan 1200 001 Bujur Timur. Sumba berbatasan dengan
Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan
Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di
bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah
selatan dan barat.

gambar 1. Peta Pulau Sumba. Sumber : Google Maps.

Masyarakat Sumba terdiri dari banyak klan yang dalam istilah lokal disebut
kabihu. Kabihu sendiri merupakan garis kekerabatan berdasarkan garis
keturunan ayah (patrilineal). Masyarakat Sumba di masa lalu terbagi menjadi
setidaknya tiga golongan yakni bangsawan (maramba), masyarakat biasa
(kabihu) dan golongan budak (ata). Saat ini penggolongan kasta di Sumba tidak
lagi setegas dahulu. Sistem kekerabatan Sumba, habei atau unit klan berasal
dari satu pendiri rumah atas unit eksogami, dimana pendiri rumah disebut
sebagai satu rumah ibu (uma habei) atau rumah besar (uma bakul). Habei tidak
berdiri sendiri, di banyak desa leluhur jumlah habei dikelompokkan bersama
untuk mendirikan klan yang lebih lengkap. Pola yang umum dalam istilah habei
digunakan untuk bagian klan, dan kabihu dipakai untuk istilah seluruh klan.

10
4. UPACARA (RITUAL) DAN TRADISI SUMBA

Pendukung budaya megalitik berlanjut di Sumba masih memegang teguh ajaran


nenek moyang dengan menjalani ritual upacara-upacara adat yang hakekatnya
adalah penghormatan pada Sang Pencipta dan leluhur. Di sinilah faktor menarik
dari keberadaan bangunan-bangunan megalitik di situs-situs megalitik berlanjut.
Artefak tersebut tidak sekedar bendabenda mati, melainkan merupakan benda-
benda yang masih selalu dimanfaatkan dan melekat erat dengan ritme religi
masyarakatnya hingga saat ini. Pemujaan arwah para leluhur ( ancestor worship)
menjadi inti dari setiap pendirian dan pemanfaatan bangunan megalitik
tersebut, yang bersumber dari kepercayaan asli masyarakat. Upacara-upacara
yang ditujukan untuk memohon kepada Tuhan atau leluhur agar memberikan
kesejahteraan kepada mereka, terdiri atas berbagai jenis upacara antara lain
upacara untuk mengangkat ketua adat, upacara syukuran setelah
menyelesaikan pekerjaan, upacara menolak bahaya, upacara memperbaiki
rumah adat, upacara mohon turun hujan, upacara tanam padi dan upacara
panen.

Upacara Tarik Batu (Tengi Watu)

Upacara tarik batu merupakan rangkaian prosesual dari upacara penguburan


tradisi megalitik di Sumba. Upacara ini sangat menarik karena berlangsung di
tengah masyarakat modern, namun dalam balutan budaya megalitik. Upacara
tarik batu merupakan bentuk dedikasi seorang anak pada orangtua atau leluhur.

Upacara Kematian Menurut Adat Marapu

Upacara kematian di Sumba terutama pada penganut Marapu memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia. Sesaat setelah kematian, jenazah
ditempatkan di ruang tabalo yang terletak di sebelah kiri pintu rumah. Setelah itu

11
diadakan upacara yang dipimpin oleh rato. Dalam adat Sumba, sesaat setelah
kematian harus diadakan acara pahadanganu (membangunkan) yang fungsinya untuk
meyakinkan bahwa almarhum benar-benar telah meninggal dunia. Sebelum upacara
pahadanganu, keluarga atau kerabat dilarang mengeluarkan air mata. Setelah yakin
bahwa almarhum benar-benar telah meninggal dunia, baru dilanjutkan dengan acara
memberitahu kerabat (dungangu). Pada hari-h penguburan, acara dimulai dengan
penyambutan (lodu taningu), penerimaan sumbangan (pangadi), meratap
(padadurungu), memberi makan si mati (pawondungu), menurunkan jenazah dari rumah
(papapurungu), penguburan (taningu), dan menjamu tamu (tuangu kameti). (Woha,
2007: 305).

METODE PENELITIAN

12
Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan dalam sebuah penelitian
untuk mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian atau sering disebut juga
metodologi penelitian adalah sebuah desain atau rancangan penelitian. Rancangan ini
berisi rumusan tentang objek atau subjek yang akan diteliti, teknik-teknik
pengumpulan data, prosedur pengumpulan dan analisis data berkenaan dengan fokus
masalah tertentu. Metode penelitian (research methods) adalah “cara-cara yang
digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, pengolah data, dan menarik
kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu”.[ CITATION Suk1 \l
1033 ]. Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode deskriptif
dan komparatif. Metode penelitian deskriptif merupakan Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang
terjadi pada saat sekarang atau yang sedang berlangsung, bertujuan untuk
mendeskripsikan apa saja yang terjadi sebagaimana mestinya pada saat penelitian
dilakukan. Sedangkan metode penelitian komparatif merupakan metode yang
menggunakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya untuk
mendapatkan hasil atau tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan mendeskripsikan mengenai pola tapak dan elemen tapak pada Kampung Praigoli,
fungsi, tatanan massa oreintasi dari rumah adat di Praigoli serta pola ruang dalam dan
fungsi serta bentuk dan tampilan dari arsitektur tradisional pada rumah adat yang ada
di Kampung Praigoli, Sumba Barat.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

13
4.1 Deskripsi Objek Studi
Letak

Objek studi berada di wilayah pulau Sumba. Pulau Sumba adalah sebuah pulau di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, dengan luas keseluruhan sekitar 10.710
km². Daerah Sumba terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi dengan titik
tertinggi ada di puncak Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba terletak pada
posisi astronomis 90 401 Lintang Utara dan 1200 001 Bujur Timur.

gambar 2. Peta Pulau Sumba. Sumba : Google Earth,2020

Objek studi berada di Kampung Praigoli yang terletak 15 kilo meter dari kota
Waikabubak, Desa/Kelurahan Wehura, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba
Barat. Arti/makna dari nama kampung tersebut yaitu Praigoli berasal dari kata
“Prai” yang berarti Kampung dan “Goli” yang merupakan nama dari pohon besar
( pohon Goli) berarti kampung Praigoli memiliki arti yaitu Kampung Pohon Goli.
Mitos atau legenda mengenai kampung tersebut yaitu Asal-Usul masyarakat
Kampung Praigoli sama seperti pada masyarakat sumba yang lainnya yaitu berasal
dari tanjung sasar. Selanjutnya mereka berpencar mencari tempat untuk menetap,

14
sehingga suku pertama yang menetap di Wanokaka adalah suku Praigoli. Oleh
karena itu, suku Praigoli disebut sebagai Ina-Ama ( Bapa-Mama) dari suku lainnya
di Wanokaka.
Musik
alat music yang dimainkan antara lain Gong dan Tambor. alat-alat music tersebut
diletakan di tempat atau wadah khusus bernama Keripani, lalu kemudian di simpan
di atas loteng. alat-alat music tersebut masih tetap digunakan hingga saat ini dan
dijaga sebagai warisan dari nenek moyang. Terdapat beberapa larangan dalam
memainkan alat music yaitu :

1. Alat music tersebut tidak boleh dimainkan oleh sembarang orang.


2. Terdapat irama-irama tertentu yang tidak dapat dimainkan oleh
sembarang orang.
3. Disimpan hanya di rumah Rato ( kepala kampung) dan tidak dapat
dipindah-pindahkan.
Alat music tersebut dapat dimainkan pada acara-acara tertentu, antara lain :
a. dipukul ketika membangun rumah adat.
b. Upacara Kematian
c. Upacara Pasola, dll
Seni Tari

Tarian yang ditarikan oleh masyarakat Kampung Praigoli adalah Kataga dan
Woleka. Tarian-tarian ini dimainkan pada saat melaksanakan upacara adat dan
pada saat menyambut tamu-tamu penting. busana yang dikenakan pada tari-
tarian tersebut, antara lain :
 Tarian kataga ditarikan oleh laki-laki. Busana yang dikenakan yaitu
Kalabo ( kain Laki-laki ), Kapauta ( ikat kepala), dan parang.
 Tarian Woleka ditarikan oleh wanita. Busana yang dikenakan yaitu

15
o Ye’e yaitu kain tenun berbentuk sarung yang dipakai menutup
tubuh dengan cara dilingkarkan di sekeliling dada.
o Kaleku Pamama yaitu tas tradisional dari anyaman pandan atau
kulit kayu yang digunakan di bahu sebelah kiri.
o Mamoli yaitu perhiasan telinga berbentuk belah ketupat dengan
lubang ditengah.
o Puli yaitu giwang terbuat dari emas atau perak dengan model
yang khas
o Maraga yaitu perhiasan dada serupa pita besar yang terbuat dari
emas, kuningan atau perak.
o Tabelo yaitu perhiasan kepala berbentuk bulan sabit atau tanduk
kerbau terbuat dari emas atau perak.
o Lele yaitu gelang
o Lado Mawine yaitu hiasan kepala dari bilah rotan bercabang tiga
yang ditarik bulu ekor kuda. Dipakai dengan cara disematkan
pada Kapouta. Kapouta sendiri terbuat dari pelepah pinang. Lado
Mawine hanya digunakan oleh para penari.
diluar rumah yaitu tepatnya berdipentaskan di halaman depan
kampung hingga ke halaman tengah.
Seni Kriya
Jenis seni kriya yang masih dikembangkan oleh masyarakat setempat yaitu
anyaman, tenun ikat dan ukir-ukiran. Untuk jenis-jenis anyaman yang masih
dikembangkan oleh masyarakat setempat yaitu Anyaman Tikar ( Tapu ), Tempat
Siri ( Karera ) dan Tempat penyimpanan Padi ( Bola ). Bahan yang digunakan
untuk membuat anyaman tersebut adalah daun pandan dan kulit kayu. Fungsi atau
kegunaan dari anyaman antara lain : Anyaman tikar berfungsi sebagai alas duduk
saat menerima tamu di bale-bale, Anyaman tempat siri untuk menyimpan siri dan

16
pinang dan Anyaman Bola untuk menyimpan padi. tidak ada tempat-tempat khusus
untuk menyimpan anyaman, kecuali untuk Bola di letakan di atas loteng.
Sedangkan untuk tenun ikat yang masih dikembangkan oleh masyarakat setempat
yaitu Pahiking (kain tenun yang hanya terdapat satu motif), Labaleku (Kain tenun
yang tidak memiliki ukiran), Sulam (Gabungan antara kain tenun Pahiking dan juga
kain tenun Labaleku) bahan yang digunakan yaitu menggunakan benang yang
terbuat dari kapas dan pewarna dari akar mengkudu, serat kayu hingga lumpur.

4.2 Pola Kampung dan Elemen-Elemen Ruang Luar


pola permukiman pada kampung Praigoli berbentuk bulat lonjong. Hal ini dapat
terjadi karena setiap rumah di Kampung Praigoli berorientasi menghadap ke arah
tempat ritual atau halaman khusus untuk menjalankan ritual adat. unsur-unsur
penting yang terdapat pada tata tapak permukiman yaitu Batu Kubur atau Batu
Mega Litik.

Pola Kampung
Praigoli

Elemen tapak berupa


Batu Kubur.

Jumlah batu kubur di Kampung Praigoli sebanyak 5 buah. Batu-batu tersebut


antara lain :

17
 Batu megalitik Kajiwa
Dibuat sebagai penghormatan atas jasa dari kedua pasangan suami-istri
sebagai penggagas dan pendiri kampung Praigoli dan pemilik batu kubur Kajiwa
yang membawa keagungan bagi kampung adat Praigoli.
 Batu megalitik Katala
 Batu megalitik Todi Kabungu
 Batu megalitik Uma Kahi
elemen-elemen tapak tersebut masi tetap dipertahankan hingga saat ini. tidak ada
aturan yang berkaitan dengan tata letak rumah adat dengan rumah tingggal biasa
karena rumah adat juga digunakan sebagai rumah adat.

4.3 Kaitan Iklim dan Tata Ruang Luar


Kampung Praigoli memiliki tatanan pola yang dikelilingi oleh pepohonan besar.
Masyakat Kampung Praigoli percaya bahwa tanaman-tanaman berupa pohon-pohon
besar tersebut memiliki makna atau roh yang dapat menjaga kampung tersebut
sehingga tanaman-tanaman tersebut sangat di jaga, namun jika dilihat dari segi ilmu
pengetahuan, tanaman-tanaman tersebut berfungsi untuk melindungi kampung
tersebut dari potensi angin kencang, cahaya matahari yang berlebihan dan lain-lain,
karena kampung tersebut berada di tempat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa masyarakat kampung Praigoli sangat menghargai kehadiran tanaman
yang ada di lahan, dengan tidak mudah menebang pohon-pohon, sehingga tumbuhan
yang ada menjadi bagian untuk berbagi dengan bangunan.

18
gambar 3. Adanya jarak antar kampung membuat udara bergerak bebas. Sumber : dokumentasi
pribadi, 2020.

Rumah Adat ini juga memanfaatkan penghawaan alami yaitu angin atau udara
yang bisa dirasakan dengan bebas. Hal ini dapat terjadi karena bangunan-
bangunan yang berada diKampung Praigoli saling berjarak dan terdapat ruang
terbuka ( halaman tengah kampung ) yang memungkinan udara bergerak dengan
bebas.

4.4 Fungsi dan Konsep Tata Ruang Luar Serta Tata Massa dan Orientasi
Bangunan
Masyarakat mengenal pola perkampungan mereka sebagai berikut :

a. Halaman bagian depan kampung (nama dan fungsi ruang) disebut Talora yang
berfungsi sebagai gerbang masuk kampung sakaligus untuk menyambut tamu-
tamu penting.
b. Halaman bagian tengah kampung (nama dan fungsi ruang) disebut talora biha
yang berfungsi sebagai tempat melangsungkan ritual adat dan juga sebagai
tempat penyembelihan hewan-hewan kurban. Halaman tengah ini merupakan
unsur terpenting dari kampung Praigoli.

19
c. Halaman bagian belakang kampung (nama dan fungsi ruang) disebut , yang
berfungsi sebagai tempat memelihara kerbau.
Dahulu terdapat pagar yang terbuat dari bambbo menjadi batas wilayah bagi
Kampung Praigoli, namun karna kurang adanya perhatian masyarakat untuk
merawat pagar tersebut sehingga pagar itu rusak. Unsur lainnya yaitu pepohonan.
pola pemukiman tersebut tidak mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi karena
semua rumah adat di kampung tersebut tidak boleh berpindah tempat. Sehingga
pola perkampungan tetap terjaga dari dahulu kala. bangunan rumah adat di
Kampung Praigoli berorientasi menghadap ke arah halaman tengah kampung
( Talora Biha).

gambar 4. Talora Biha. Sumber : dokumentasi pribadi,2020

Talora Biha dianggap sebagai pusat atau rahim dari kampung Praigoli. Talora Biha
menjadi tempat berkumpul warga untuk melaksanakan ritual adat sehingga
terdapat tempat-tempat yang disucikan atau dianggap kemarat di bagian Talora
Biha. Rumah-rumah adat di Kampung Praigoli berorientasi mengelilingi Talora biha
sedangkan 2 rumah di bagian depan kampung saling berhadapan sebagai bentuk
dari rumah penjaga kampung.

20
4.5 Fungsi dan Konsep Tata Ruang Dalam

rumah adat di Kampung Praigoli pada zaman dahulu berjumlah 11 buah rumah
adat. Namun pada saat ini rumah yang telah dibangun dan ditempati
berjumlah 7 buah rumah, sisanya belum dibangun kembali. Adapun nama-
nama rumah tersebut antara lain :

 Uma Bakul
Uma bakul merupakan rumah induk yang menjadi tempat tinggal rato. .
adapun fungsi dan peranan uma bakul antara lain :
 Sebagai pusat musyawarah keluarga dalam perpecahan
masalah dan berbagai hal dalam kampung Praigoli.
 Berperan aktif sebagai rato nyale pasola Wanukaka
 Sebagai penjaga dan pemelihara batu megalitik kajiwa
sebagai pewaris keturunan.
 Menjadi penguhung dengan kampung lainnya yang memilki
ikatan sejarah dan budaya.
 Uma Hara
Uma hara berfungsi sebagai tempat musyawarah pelaksanaa perkawinan
adat dan sebagai tempat dilakukan percikan air pada bagian muka
tangan dan kaki bagi mempelai wanita yang baru masuk di Kampung
Praigoli.
 Uma Tagauru
Sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan jala ikan di muara
Wanukaka
 Uma Taribang
Uma Taribang berfungsi sebagai berikut :

21
 Menyimpan batu Guntur, kris pusaka, gong kecil yang antic
dan diamggap memiliki kekuatan gaib.
 Memiliki kekuatan gaib yang berhubungan dengan Guntur
yang dapat mencelakakan pelaku kejahatan di dalam
Kampung Praigoli.
 Tempat penerimaan keluarga asal Taribang kaabupaten
Sumba Timur sebagai wujud ikatan persaudaraan,
perjanjian dan sumpah nenek moyang.
 Uma A’a Gallu
Berfungsi sebagai rumah penjaga ternak dan melindungi dari pencurian.
 Uma Mawu Jirik
Berfungsi sebagai penasihat dalam urusan perselisihan rumah tangga.
 Uma Tabina Deta
Fungsi dan perannya adalah sebagai penjaga pintu gerbang bagian atas
atau sudut kiri kampung Praigoli.
 Uma Tabina Wawa
Fungsi dan perannya yaitu sebagai penjaga pintu bagian bawah atau
sudut kanan kampung praigoli.
 Uma Ka-hi
Fungsi dan perannya adalah menyelesaikan segala bentuk permusuhan
pertengkaran dan perkelahian.
 Uma Lahi Pewu
Fungsi dan perannya yaitu sebagai penghubung dengan Kampung
Marapahi dalam pelaksanaan rumah adat di Kapung Praigoli.
 Uma Praihaloru
Fungsi dan perannya yaitu sebagai pusat ritual adat ketika ternak ayam,
babi dan ternak lainnya terserang penyakit.

22
4.6 Kaitan Iklim dan Tata Ruang Dalam

Daerah Sumba Barat memiliki cuaca yang lebih sejuk dibandingkan dengan daerah
sumba Timur maupun wilayah sumba yang lainnya. Pada malam hari udara di sekitar
tapak akan terasa sangat dingin , namun di siang hari akan terasa panas. Oleh karena
itu rumah adat di sumba di dominasi oleh atap yang menjurai hingga ke bawah di
bandingkan Dinding. Atap yang menjurai ke bawah dapat memberikan kehangatan di
malam hari yang sangat dingin, sedangkan pada siang hari, masyarakat kampung
lebih memilih untuk beraktivitas di luar ruangan seperti bercocok tanam, menenun,
memancing maupun kegiatan lainnya. Sehingga, walaupun dalam keadaan siang hari
yang panas tidak mengganggu aktivitas masyarakat setempat.

Selain itu, daerah Nusa Tenggara Timur memiliki dua musim yaitu musim hujan dan
kemarau. Musim hujan memiliki intensitas kemiringan air hujan yang cukup tinggi dan
pada musim kemarau, cahaya matahari dapat menembus hingga kebagian dalam
ruangan dan cukup menyengat apabila tidak dihalangi oleh sesuatu. Atap pada rumah
sumba membantu pemilik rumah untuk mengatasi masalah tersebut dimana atap
sumba yang menjurai hingga menutupi dinding membantu agar air hujan langsung
jatuh ke tanah dan tidak mengenai dinding. Begitu pula pada musim kemarau, atap
membantu menghalau sinar matahari langsung mengenai dinding sehingga dinding
rumah tetap awet. Namun kekurangan dari penggunaan atap ini adalah cahaya

23
matahari tidak dapat masuk ke dalam ruangan sehingga membutuhkan cahaya buatan
seperti lampu listrik maupun lampu minyak sehingga memboros energy.

4. 7 Konsep dan atau Filosofi Bentuk dan Tampilan serta Ragam Hias

Struktur rumah adat secara vertikal terbagi tiga bagian yakni bagian atap rumah
dengan konstruksi atap menara, badan rumah dan bagian bawah (kolong rumah).
Struktur bagian badan rumah secara horizontal, terbagi tiga yaitu beranda depan
(totan tabalo), ruangan dan beranda belakang (totano karabawawe). Pintu masuk dari
arah depan diperuntukkan bagi laki-laki dan pintu masuk dari arah belakang
diperuntukkan bagi wanita.

Bentuk atap menara pada rumah rumah sumba secara kebudayaan dipercayai sebagai
bentuk kepercayaan masyarakat setempat untuk mencapai surga. Semakin tinggi atap
tersebut dan semakin mendekati langit maka semakin suci bangunan tersebut.
Sehingga bagian atap rumah digunakan untuk menyimpan barang-barang pusaka yang
menyangkut marapu ( kepercayaan kuno orang sumba ) dan nenek moyang.
Selanjutnya tingkatan ke dua atau Bei Uma yang merupakan tempat tinggal bagi

24
manusia. Sedangkan untuk tingkatan terbawah atau yang biasa di sebut Kali Kabunga
difungsikan sebagai kandang ayam atau bebek.

Secara arsitektural, bentuk tersebut merupakan tanggapan dari masalah –masalah


yang terdapat di tapak. Contohnya rumah panggung pada arsitektur sumba
merupakan cara penyelesaian masyarakat sumba terhadap kelembapan tanah yang
tinggi karena berada di wilayah yang sangat dingin. Rumah panggung membuat
penghuninya merasa nyaman dan hangat ketika menghadapi cuaca dingin di malam
hari, selain itu adanya rumah panggung dapat menghindari masyarakat dari penyakit
akibat terkena kelembapan yang tinggi.

25
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah di atas maka kesimpulan yang dapat
di ambil yaitu :

Penerapan konsep arsitektur yang ramah lingkungan dan efisien telah


diterapkan oleh masyarakat daerah sumba khususnya masyarakat Kampung
Praigoli sejak zaman dahulu kala walaupun menurut masyarakat setempat
merupakan keharusan yang tidak boleh dilanggar (pamali). Namun secara
arsitektural, prinsip-prinsip atau konsep tersebut merupakan hal yang sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar dalam merancang suatu bangunan hal tersebut
dapat kita lihat pada penerapan tapak yang memiliki tempat terbuka atau
tempat berkumpul bersama sebagai tuntutan aktifitas dari masyarakat
kampung tersebut terutama pada saat melakukan upacara adat.
Bentuk dan tampilan pada rumah adat sumba khususnya di desa Praigoli
memiliki bentuk atap yang menjulang dan denah berbentuk kotak. Bentuk ini
hadir sebagai salah satu akibat dari adanya penyesuaian iklim yang ada di
Indonesia. rumah panggung pada arsitektur sumba merupakan cara
penyelesaian masyarakat sumba terhadap kelembapan tanah yang tinggi
karena berada di wilayah yang sangat dingin. Rumah panggung membuat
penghuninya merasa nyaman dan hangat ketika menghadapi cuaca dingin di
malam hari, selain itu adanya rumah panggung dapat menghindari
masyarakat dari penyakit akibat terkena kelembapan yang tinggi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Waani, J. O., & Rengkung, J. (2014). TIPE TEORI PADA ARSITEKTUR
NUSANTARA. MEDIA MATRASAIN , 36-41.

Hidayatun, & Maria., I. (2003). Belajar arsitektur Nusantara dari Gereja Pusharang
Kediri. Simposium Internasional Jelajah Arsitektur Nusantara , 6.

Hidayatun, M. I., prijotomo, J., & Rachmawati, M. (2014). ARSITEKTUR NUSANTARA


SEBAGAI DASAR PEMBENTUK REGIONALISME. Seminar Rumah Tradisional , 1-2.

Sukmadinata, N. S. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

27
LAMPIRAN

28
29
30

Anda mungkin juga menyukai