Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

Filsafat Kontemporer dan Posmodernisme


‖Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Landasan Teknologi
Pendidikan dengan Dosen.Dr.Bayu Insatyo, M.Or

Disusun Oleh :

NOPRI PARDIANSON
NIM: A2M020015
HINDA DEICI SAPUTRI
NIM:A2MO20015
ELYNA,SE
NIM:A2M02008
R.BUDHI ERNAWA PANCA PUTRA
NIM : A2M020007
Tonsri
NIM :A2M020006

PROGRAM PASCA SARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ―Filsafat
Kontemporer dan Posmodernisme‖ untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Filsafat Umum.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Filsafat
Umum yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-
teman dan pihak-pihak lain yang turut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.


Penulis mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan
sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk
membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, penulis sudah berusaha menyajikan
makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca,
peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang.

Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................ 2
BAB II FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME
A. FILSAFAT KONTEMPORER ............................................................... 3
B. PRAGMATISME ...................................................................................... 3
1. Terminologi Pragmatisme ................................................................... 3
2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme ......................... 4
3. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap............................................
Ilmu Pengetahuan Masa Kini ................................................................. 7
C. EKSISTENSIALISME............................................................................. 8
1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme ......................................... 9
2. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme
Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini .............................................. 18
D. FENOMENOLOGI ............................................................................... 18
1. Pengertian .............................................................................................. 18
2. Riwayat hidup tokoh ............................................................................. 19
3. Ajaran dan karya kefilsafatannya .......................................................... 19
4. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini .............................. 22
E. POSTMODERNISME ............................................................................. 25
1. Pengertian ............................................................................................. 25
2. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme............................................. 25
3. Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme.......................................... 27
4. Fenomena faktual Posmodernisme ........................................................ 33
5. Sumbangsih Filsafat Postmodernisme ................................................ 34
6. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme ...................... 39
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran
ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya
berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap
perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah
perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan
zaman kontemporer.
Begitu pula dengan filsafat, dalam perkmbangannya filsafat dibagi menjadi 4
babakan yakni Filsafat klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM
dan berakhir pada 529 M dominasi oleh rasionalisme. Filsafat abad pertengahan
meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada
abad ke-15 M didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Filsafat modern dan
filsafat kontemporer yang didominasi kritik terhadap filsafat modern.
Pada tahun 1880-an Nietzsche menyatakan bahwa budaya Barat telah berada di
pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio. Hingga pada tahun 1990-
an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga karena terlalu
mendewakan rasio. Rasionalisme Filsafat modern perlu di dekonstruksi karena ia
Filsafat yang keliru dan juga keliru cara penggunaannya, akibatnya budaya Barat
menjadi hancur (Tafsir, 2009 : 257).
Renaisans yang secara berlebihan mendewakan rasio manusia. Mencerminkan
kelemahan manusia modern. Akibatnya timbulah kecenderungan untuk menyisihkan
seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan hidup,
sehingga manusia modern yang mewarisi sikap positivistik cenderung menolak
keterkaitan antara substansi jasmani dan rohani manusia, mereka juga menolak adanya
hari akhirat, akibatnya manusia terasing tanpa batas.
Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat. Seluruh pengembangan
tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pemikiran pada periode ini memfokuskan diri
pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan

1
emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh
Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat
kontemporer dan filsafat postmodern sebagai ‗isme‘ yang mengritik modernitas, juga
akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini, ajarana-ajaran pokok dan
sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini..

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan
Posmodernisme?
3. Siapa tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
4. Apa ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
5. Apa sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu
pengetahuan masa kini?
6. Apa kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
2. Mengetahui pengertian Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan
Posmodernisme?
3. Mengetahui tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernism
4. Mengetahui Mengetahui ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan
Posmodernisme?
5. Mengetahui sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu
pengetahuan masa kini?
6. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?

2
BAB II
FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME

A. FILSAFAT KONTEMPORER
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi
pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa,
kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi,
heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai
filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh
para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu
pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup
manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi,
teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin
filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing,
tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi
professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka
masing-masing (Zaenal, 2011: 124).
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm
Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941),
Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.

B. PRAGMATISME
1. Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata ―pragma” (bahasa Yunani) yang berarti
artinya adalah tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki
kegunaan bagi kehidupan nyata ( Hakim, dkk, 2008:319).
Pragmatism berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu
memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran,
jika agama memberikan kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran jika
memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai
kuantitatif atau kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemudharatan, tindakan yang
dimaksud bukan kebenaran.

3
2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme
Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914),
filosof Amerika yang yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode
filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles,
Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran pragmatisme alangka
baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang menpopulerkan dan pandangannya :
a. C.S. Peirce (1839-1914)
Peirce, seorang matematikus, fisikawan,
filosof pendiri aliran pragmatism, dilahirkan di
Cambrigde, Massachausetts pada tahun 1839.
Peirce mendalami filsafat dan logika hingga masa
ia kerja pada instansi survei panata dan geodesi.
Sebagai filosof yang sistematik, tulisan-tulisan
Peirce mencakup hampir segala aspek filsafat.
Sumbangannya yang terbesar adalah dalam
bidang logika, tetapi ia juga secara luas menulis
tentang epistimologi, metode ilmiah, semiotics, metafisika, kosmologi, ontology,
matematika dan sedikit tentang etika, agama, sejarah, dan fenomenologi. Berbagai
buah pemikiran filsafatnya di dalam beberapa system yang merupakan fase-fase
perkembangan kematangannnya dalam olah intelektual. Akan tetapi, semua itu
menyatu dan menjadi konsep yang utuh.
Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya :
1) Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles
Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
2) The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the
Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992,
1998).
3) The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic,
Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical
Miscellanea, Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele
(Mouton Publishers, The Hague, 1976).
Pierce banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting bagi filsafat
pragmatisme. Diantara sumbangan terpenting pemikiran kefilsafatan pragmatisme

4
pierce adalah theory of meaning sebagai salah satu aspek epistimologi, khususnya
implikasinya dalam bahasa. Pragmatism berusaha menemukan asal mula serta hakikat
terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan
tersebut luar biasa sulitnya.
Penganut pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka memandang hidup
manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus-menerus dan
yang terpenting ialah konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi tersebut erat
sekali hubungannya dengan makna dan kebenaran.

b. William James (1842-1910 M)

William James lahir di New York


pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr.
ayahnya adalah orang yang terkenal,
berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif.
Selain kaya, keluarganya memang dibekali
dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Keluarganya juga menerapkan humanisme
dalam kehidupan serta mengembangkannya.
William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab
yang membuat pragmatism menjadi terkenal diseluruh dunia. William James
mengatakan bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita
ketahui (Tafsir, Filsafat Umum: 190).
Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya ia mengalami
konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran tentang
asal tujuan dan hakikat bagi orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasil
yang kongkret (Muzairi,2009:141).
Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Kaitannya dengan agama, apabila ide-
ide agama dapat memperkaya kehidupan maka ide-ide itu benar.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), The
Sentiment of Rationality (1879), The Dilemma of Determinism (1884), The Will to
Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), Pragmatism (1907), The
Meaning of Truth (1909), dll. Karena terbitnya buku, Pragmatism (1907), The
Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatism meluncur seolah-olah akan menguasai
5
filsafat abad ke-20. Pragmatism lebih banyak disangkutkan dengan James daripada
dengan Peirce sekalipun James berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan
pragmatism sebagai suatu metode. James memang berbeda dengan Peirce. Peirce
tidak bersedia menggunakan pragmatism dan filsafat ilmiahnya pada masalah penting
yang vital seperti maslah agama, moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru
disinilah filsafat pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan
bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya kita siap untuk
bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu yang berguna di dalam membuat sesuatu
terjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar (Tafsir, 2001:194).

c. John Dewey (1859-1952)

John Dewey adalah seorang filsuf dari


Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang lahir
di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Ia
masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875
dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian
melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons
Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih
gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas
tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah
mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang
menggagas munculnya pragmatisme. Ia kemudian mendirikan Laboratory School
yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Sebagai pengikut filsafat
pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-
pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat
harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan
berubah, jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh
karena itu, berfikir merupakan alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari
pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan, satu-satunya
cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya
yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu

6
pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral (Hakim,
dkk, 2008: 321).
Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh
ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya
yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun
1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian,
1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas
Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and
Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903),
dll.
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada
bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang
pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual.
Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan
seni.

3. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini


Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola
pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat
berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 –
1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S.
Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika
epistemologi, filsafat, politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan
mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan misalnya,
menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan
materi pelajaran.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan
merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan
moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul
dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan
sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat
menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

7
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik demokrasi. Dalam
kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi
kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat ilmu
berkembang dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran
baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama.

C. EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex
yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri
dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia
sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai ―aku‖ atau pribadi. Pikiran semacam ini
dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada) (Tafsir,
2009:218).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia
itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan
dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah
selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang
ini atau sedang itu (Tafsir, 1992:191)
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia
dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan
tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia,
ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia.
Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek
artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut
dengan obyek (Hasan, 1974:7)
Ciri-ciri aliran eksistensialisme meliputi:
1. Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
2. Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;

8
3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan
badan;
4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.

1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme


Tokoh-tokoh pada aliran Eksistensialisme diantaranya: Sooren Kierkegaard
(1815-1855), Martin Haidegger (1889-1976), Karr Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini
berasal dari Jerman, sedang tokoh dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973),
Jean Paul Sartre (1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert Camus dan
Simon Beauvoirh.

a. Søren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard adalah seorang


filsuf pada abad ke-19. Dia lahir pada tanggal 5
Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark dan
meninggal dunia tanggal 11 November 1855 saat
berumur 42 tahun. saat ini soren dianggap sebagai
bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran
eksistensialisme dan dia sangat bertentangan
dengan Hegelian. Ayah dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen
Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat taat terhadap agama. Dia yakin bahwa
ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-
anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun.
Pekerjaan ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan
makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari ilmu filsafat ketika ia
bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di Borgerdydskolen. Sedangkan ibu
Søren Kierkegaard bernama Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard. (Dagun,
1990:47).
Søren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh bersaudaranya.
Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal dunia ketika di usia muda. Ayah
Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum
ayahnya meninggal dunia, ayahnya meminta Søren agar menjadi pendeta. Saat itu

9
Søren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari ayahnya. Regine Olsen
sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hidup Søren, Regine merupakan
orang yang dicintai oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8
Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine.
Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi menikahi Regine.
Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa dan melankolis dengan
pernikahannya. Kurang dari satu tahun pernikahannya ia pun menyelesaikan
pernikahannya dengan Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat
melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk menikah. Walaupun
sampai dia meninggal alasan mengapa dia menyelesaikan pernikahannya tidaklah
jelas. (Dagun, 1990:48-49).
Ajaran yang diberikan oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme. Yang
artinya adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada
manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap
manusia menginginkan adanya sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana
yang benar dan yang tidak benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan
hal tersebut, melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing.
Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang mengajarkan
akan kecemasan dan keputusasaan eksistensial. (Dagun, 1990:49).
Eksistensialisme mempersoalkan akan adanya keberdaan manusia, dan
keberadaan itu yang datang dari kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan adalah
sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui
dimana kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri,
dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah maksud dari
eksitensialisme.
Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam
perkembangan religius. Dari apa yang disebutkan Søren tahap estetis, tahap etis,
hingga tahapan religius. Tahapan estetis adalah tahapan pertama ketika manusia
berada dalam pandangan kesenangan terhadap indrawi, dimana manusia mencari
kesenangan mereka masing-masing. Tahapan selanjutnya merupakan pada saat
manusia terjun ke dalam keberadaan itu dengan mulai mempertimbangkan hal yang
benar dan salah. Lalu tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren
menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan. Dalam hal ini kita tidak
dapat membedakan mana yang salah dan benar, karena dalam keimanan ini adalah

10
hubungan langsung manusia dengan Allah. Soren pun tidak dapat
mengkategorikannya, karena menurutnya ini dinilai begitu tidak umum.
Ajaran-ajaran Soren baru terkenal setelah berpuluh-puluh tahun setelah
kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa, khususnya di daerah Denmark.
Namu saat itu Gereja-Gerejad di sekitar Denmark menolak akan adanya karya-
karya Soren. Karena ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Soren yang
berjudul ―Fear and Trembling‖. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf
yang ternyata menggunakan konsep Soren, mengenai pemahaman kecemasan, dan
keputusasaan serta pentingnya individu manusia.
Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering
menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran yang ia kemukakkan adalah sebagai
kritik atas Hegel, yang menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan
membuat individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis, bahkan akan
menghilangkan eksistensi.

b. Jean Paul Sartre


Tekanan Kiekegaard pada pentingnya arti
eksistensi individu itu telah melahirkan semacam
kesadaran umum pada tanggung jawab
setiappribadi dalam kehidupan ini. Pandangan
tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi
inilah karyanya yang kelak menjadi intisari filsafat
yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan
cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia.
Seklipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan
pemikiran kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat
jauh. Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih dulusebelum
keberadaannya.
Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama
cara beradanya manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada pada
manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan,
bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat

11
eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia
kepada dirinya sendiri. (Tafsir:225)
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului
essensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang
essensinya mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata
(existency) dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya, jadi, hakekat manusia
memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang membuat manusia berbeda dari
makhluk lain. Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri. Oleh karena itu
dikatakan eksistensi manusia mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl,
972:33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam
filsafat eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan
eksistensi manusia mendahului essensinya (existence precedes essence) itu. Jika
seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku. Ia mestinya talah
mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku yang akan dibuatnya itu.
Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai dengan konsep yang telah ada
padanya. Dalam konteks pembicaraan ini kita tidak dapat membayangkan
seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku.
Dapatlah dikatakan bahwa konsep buku merupakan essensi buku dan wujud buku
adalaheksistensinya. Jelaslah bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh
pembuatnya, yaitu manusia. Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului
eksistensinya. Ini tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila
eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah diajarkan
oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225)
Bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan
membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka
Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah
eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan ―terlibat‖ dalam
dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya. (Wibowo.2011:23)
Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari
keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan
mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai ―yang menakutkan‖ dan
selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan
mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti
langkah kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi

12
―tatapan‖ mata

13
Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada
suatu ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat
bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang
dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2
Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu
berarti ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia
berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia, inilah
yang dianggap sebagi ajaran yang utama dan pertama dari filsafat
eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu
bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada seluruh
manusia.
Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia
bukan hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan
bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang
hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah mengherankan
apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu, khususnya eropa barat
tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup dinikmati dan dinikmatkan dengan
cara yang sehebat-hebatnya (Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh
berbagai sistem pemikiran yang hidup ketika itu
Sartre adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan.
Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya
manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia
ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa
eksistensi manusia, mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan
untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya
kepada Tuhan.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada
dirinya sendiri bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri
lain hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa
salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld, 1973:602).
Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di duni ini. Sartre
menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu,
menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah
bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia,

14
dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab menyeluruh (StruhI dan StruhI:38
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan,
memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa
orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya
dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga
Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul
berat dunia seoarang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh
Sartre ‖adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan
sedikitpun‖ (Beerling:232).
Manusia harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai
bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan
saya itu benar, tanpa bantuan orang lain, dan saya harus
mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu bukanlah
suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana batin yang pokok. Rasa
ini harus dibedakan dari getar. Getar itu jelas objeknya, sedangkan takut tidak
menentu objeknya, tidak jelas takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui
dengan tepat terhadap apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-
tiba kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang tidak
ada, seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya adalah takut
kepada wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan membuat kita menjadi
terpecil (lihat Beerling: 223 -24).
Akan tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut
manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung jawab?.
Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri sendiri. Ini karena
dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak
berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut
muncul arena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu
tidak ada pada hewan, tumbuhan dan bebatuan.
Bagi Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi)
persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul tanggung jawab.
Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sinilah muncul
kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan
lagi‖: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantser) manusia itu selalu

15
menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri
sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu termuat dalam suatu perbuatan.
Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Tentang perbuatan itu manusia
menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia
itu, demikian Sartr
Manusia itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya.
Ia membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain itu
tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah dicapai pasti
mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil berbuatnya tidak akan
memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu semacam hukuman yang tak
terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat
dirumuskan dalam kalimt ini:―yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada‖.
Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre
itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat pustus asauntuk apa
mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika sesuatu itu dicapai, ia akan
mengingkarinya. Jadi, semua usaha diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi
manusia harus berbuat. Ia harus meluncur terus samapi ia terengah-engah
kepayahan. Untuk membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan:
menjadi yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh diri.
Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Akan tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan
oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal, Sartre
lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti mengalih,
menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak membangun. Akan
tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab? Ini haruslah
berarti bahwa manusia harus membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia.
Terasa ada kontradiksi di sini.
Bila Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan,
karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa harapan, maka
hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda manusia ingin membangun
dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya: apakah manusia dapat merasa puas?
Jawabannya terletak pada orangnya. Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia
tidak akan pernah merasa puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang

16
selalu ingin yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat ini
harus dipahami dari pandangan ateisme.
Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman.
Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In nausee). Kata ini dapat berarti muak,
mual, Jemu, rasa hendak muntah.
Mengapa mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus
menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi akan
muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada
yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan, kemualan, ketertindasan,
putus asa. Demikian memang reallitas hidup ini menurut Sartre
(Drijarkara:75)
Pikiran ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang
hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula ―yang ada tidak dimaui dan
yang dimaui ilah yang belum ada‖. Manusia selalu membelum, menjadi.
Filsafat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang
yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak merasakan
hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan hakikat keberadaa
manusia.
Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang
hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang
lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang
terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya menekati orang lain, menurut Sartre
tidak dapat diartikan selain bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak
menjadikannya objek (Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap
saya. Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik
atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar, sombong
adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya tatkala bertemu dengan
orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam hubungan antarmanusia itu, menurut
Sartre, hanya ada dua kemungkinan: menjadi subjek atau maenjadi objek,
memakan atau dimakan (Drijarkara:89). Kelihatannya Sartre sedikit ―lembut‖
tatkala ia mengatakan bahwa relasi antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta
kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku
diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling
merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre. Sekalipun

17
demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini pun konflik tetap ada
(Peursen:226).
Di sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat
Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani
eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Tepat
kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling memusuhi. Sekarang semakin
lengkaplah keterhukuman manusia, keterdamparannya, dan kesengsaraannya.
Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa.
Berikut kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh
dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi
manusia: eksistensi manusia mendahului asensinya. Mulainya manusia
bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang dihadapinya. Itu
berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tangging
jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan,
memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu
takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi
penderitaan.
Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah,
selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum
ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah, meluncur terus. Manusia
laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin cepet ia berlari, secepat itu pula
bayangannya pergi. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia
dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme
ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga.
Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka
bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan
seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh
pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya
dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara
menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
―Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre
bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat
pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji‖

18
2. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa
Kini
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,
terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham
materialisme yang mengatakan bahwa : ―manusia itu pada hakekatnya
adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi
manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi‖. Bagi eksistensialis,
manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu.
a. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern
dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada
setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa
dalam menentukan pilihannya.
b. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang
mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya
dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
c. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan
tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
d. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program
menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini,
karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah
mengikari eksistensi siswa sebagai individu.
e. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan
kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis
menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian
obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi,
estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
f. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran
atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional,
hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia

D. FENOMENOLOGI
1. Pengertian
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari
bahasa Yunani phaenomeno dan logos. Phaenomenon berarti tampak dan phaenen

19
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan
(Muzairi, 2009:141). Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan
sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran.

2. Riwayat hidup tokoh


Pada awalnya banyak ahli filsafat mendefinisikan
fenomenologi hanya suatu gaya berfikir bukan sebagai
mazhab filsafat, adapula yang mendefinisikan fenomenologi
adalah suatu metode dalam mengamati, memahami,
mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran
filafat. Akan tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi
memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Lalu kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi
berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang
mengusung tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk
mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Edmund Gustav Aibercht Husserladalah seorang filosof yang lahir di Prestejov
(dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada tanggal 8 April 1859 dari
keluarga yahudi (Hamersma, 1983:114). Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu
falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan
Wina. Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti.
Setelah Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano.
Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen
sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin,
London, Paris, Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang
diciptakan olehnya yakni metode ―Fenomenologi‖ yang oleh murid-muridnya
diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya
dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983: 114).

20
3. Ajaran dan karya kefilsafatannya
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju
kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek
kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari
ilmu-ilmu empiris.( contohnya orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran
bahwa orang tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum
dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki dahulu,, apakah
orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya... dan ternyata orang tersebut flu
karena dia menghirup merica)....
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: ―menunda keputusan‖ atau ―mengosongkan diri dari keyakinan
tertentu‖. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan
satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau
dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial
objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam
teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.
2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-
fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

21
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada
hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala
presuposisi (peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan
begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab
flu tadi apakah penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai ―hakikat segala sesuatu.
Berikut karya filsafat dari Edmund Husserl
a. Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun
1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus
dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan
(obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan
sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke
dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan
akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan
akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan
mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal
(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-
tentang-fenomenologi-edmund.html)
b. Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen
Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu
filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik
ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat ―menempatkan di
antara tanda kurung‖, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah
fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk
melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas,
karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-
mana dan menyebabkan analisa yang keliru
(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-
tentang-fenomenologi-edmund.html)

22
c. Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini
dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin
penting. ―Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan
kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui
atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya
menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak
mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga
yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya
dunia intersubjektif
(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-
tentang-fenomenologi-edmund.html)
Subjek filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan
sungguh-sungguh dan mendalam.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep ―dunia kehidupan‖
(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu
pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam'
dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah
mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan
pengalaman manusia ke formula-formula impersonal (Muslih, 2005 : 35).
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan
jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada
ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial.
Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti
dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman
(verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan
kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari

23
pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus
masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk
dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah
lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‗endapan makna‘ yang
merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna
dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‗akurasi‘ kebenarannya
sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‗endapan makna‘
yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana
banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

4. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini


Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik
tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic
vision. Epoché merujuk kepada makna ―menunda semua penilaian‖, atau ia sama
dengan makna ―pengurungan‖ (bracketing) (ex. seorang yang meludahi Nabi
Muhammad ketika beliau pulang solat dari mesjid. kita menganggap bahwa orang
tersebut jahat, tapi kita lihat ke sisi yang lain, bahwa orang tersebut taat kepada
ajarannya bahwa ajarannya menganngap bahwa Nabi adalah seorang musuh). Ini
berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang
diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-
konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah
pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan
kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan
tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi
sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan
refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif
tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang ―objektif‖.
Banyak sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah
satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu
sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap
gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang
terdapat dalam ilmu sosial itu dalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum

24
dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai
gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat.
Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis
sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku
seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun demikian implikasi secara
teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari
kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih
merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan
penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang
terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan
ilmu sosial.
Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas
sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris
(ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode
penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai
subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi itu
sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalangan
ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagai
salah satu pendekatan dalam ilmu sosial.
Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada
perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan
fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang
memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi
Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa
dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun
pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai
sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam
dunia sosial.
Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual
antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan
psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat
kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-
tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah

25
pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama,
fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang
bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain,
pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi
dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-
gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of
interest) dari fenomenologi sosiologi.
Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu
bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang
termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan.
Pendekatan model ini sedikit banyak terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran
kritis yang selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi
sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan kata
lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang akan ditinjau dari tulisan
singkat ini sedikit banyak juga akan membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai
sebuah pendekatan untuk secara akademis memperjuangkan kepentingan
emansipatorisnya.
Implikasi dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam
inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya meletakkan
tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental. Pemikiran transendental ini
dibangun berdasarkan konstruksi berpikir yang terpengaruh logika positivistik seperti
aritmatika dan geometri. Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi
Husserl hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental. Tradisi
pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan Max Scheler yang juga
akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai bahan yang memperkaya perspektif
pemikiran fisafat fenomenologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama
banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi
yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan legitimasi
sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini (Tevenaz, 1962:38).

5. POSTMODERNISME
1. Pengertian
Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada
tahun 1939 lewat bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Toynbee yakin

26
benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik
perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah
itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik
pada pemikiran tersebut (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-
itu-meta-narrative/).
Secara etimologis post modern terdiri dari dua kata yaitu ―post‖ dan
modern. Kata post yang berarti ―later or after‖ dan modern. Selain itu,
menurut kubu postmodernisme lainnya ―post‖ berarti melampaui kematian
modernism (Muzairi, 2009:148).
Sedangkan secara terminologis postmodern merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalanya memenuhi janji-janjinya. Postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu
akumulasi pengalaman peradaban Barat. Postmodernisme merupakan aliran
pemikiran yang menjadi paradigma baru sebagai antithesis dari modernisme yang
dianggap gagal dan tidal lagi relevan dengan perkembangan zaman. (Maya Syifa
dalam Aceng dkk, 2011: 104).
Dari bebrapa pengertian di atas dapat pula diartikan bahwa posmodernisme
merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan
pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernisme
yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji
modernisme.

2. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme


Pada tahun 1970-an Jean Francois Lyotard lewat karyanya The Postmodern
Condition: A Report and Knowlage menolak ide dasar filsafat modern. Menurut
Lyotard, aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative
(cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal.
Lyotard menolak keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran
tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran (Aceng
dkk, 2011: 94).
“The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil
karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah
disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep

27
tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan
kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir
akibat ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep
tersebut.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak
pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern
yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan
mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki
cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness,
progress dan liberty. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang
pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat.
Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal
pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan
juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi
mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping
kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang
modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan (Surya,
http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-postmodern/).
Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu
pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia.
Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat
dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang
kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan
tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini,
teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia.
Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya,
justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknolog instan yang ada saat ini
justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah
postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai
mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu
pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas

28
modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan
apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.
.
3. Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme
a. Jean Francois Lyotard (1924-1998)
Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di
Versailles di sebuah kota kecil di Paris bagian selatan.
Setelah berakhir Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di
Sorbonne dan mendapat gelar agre‘gation de philosophie
tahun 1950. Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai
seorang aktivis yang beraliran Marxis, akan tetapi sejak
tahun 1980-an ia dikenal sebagai pemikir
posmodernisme non-Marxis yang terkemuka.
Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII,
Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau
Emeritus. Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern di
dalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern
Explained to Children, Toward the Postmodern, dan Postmodern Fables. Pada
Tahun 1998, selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on
Postmodernism and Media Theory, ia meninggal dengan tak diduga-duga karena
leukemia yang telah mengendap dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Père
Lachaise Cemetery di Paris (Fahmi,
http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html).
Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena
ia memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya
terhadap konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep
perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).
Adapun ajaran Jean Francois Lyotard :
1) Penolakan Grand- Naratives
Meta-narrative berasal dari dua kata: meta- dan narrative. Meta- disini
berarti transcending, encompassing, overarching. Dan narrative secara
sederhana berarti cerita atau kisah. Kalau digabung, meta-narrative berarti
sebuah kisah yang melingkupi semuanya (the overarching story). Atau, dalam
pengkalimatan yang lebih baik, meta-narrative adalah sebuah ide yang

29
menjelaskan secara ringkas suatu pengalaman, sejarah, atau kisah tertentu..
Karena itulah, meta-narrative dapat disebut pula master narrative atau grand
narrative (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-
narrative/ ).
Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap narasi agung sebagai salah
satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan
diri dari Grand- Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi).
Grand- Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia
yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias
ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi
besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya
bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar
dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan mitos-mitos yang dipakai
masyarakat primitif.
Grand Narrative ―narasi besar‖ seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi
kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah
mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti
religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan
sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. (Fahmi,
http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html)
Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard bahwa
sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu
pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah
muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa ilmu
pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress). Namun
era modern telah membuktikan banyak hal yang tidak rasional dan bertentangan
dengan narasi besar itu seperti Perang Dunia ke- II, pembunuhan sekitar 6
(enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti
dari kegagalan proyek modernitas (Ummy,
http://www.tokohposmodernisme.com/html/).
Dalam bukunya ―The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.‖
Lyotar diminta untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh
perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad
ke-20 tersebut. Ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan

30
yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat
informasi.
Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat
tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat
puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait
erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik,
komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan
bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan.
Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh,
klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa
sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi
besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki
apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak
lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan
hanya akan diciptakan untuk dijual (Akhyar, http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-
François_Lyotard).
2) Language games
Lyotard membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan
mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada keanekaragaman
penggunaaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing
bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri.
Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference. Sesuai dengan
konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres de
discours (wacana maka postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka
suara bagi yang lain (the other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional,
etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang
bersifat lokal, etnik, menghasilkan deskripsi atau narasi khas dengan rezim frase
dan genre diskursus masing-masing.
3) Antifundasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan
bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang
dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah
cacat. Karena itu kita harus mencoba menghasilkan model pengetahuan yang
lebih sensitif terhadap berbagai bentu perbedaan. Hal ini dimungkinkan ketika

31
para intektual menggantikan peran mereka sebagai legislator kepercayaan
kepercayaan menjadi seorang interpreter. Karena itu Postmodernis lebih
menerima metode interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan
logika/metode linear yang dominan pada era moder
Berikut ini kara-karya dari Jean Francois Lyotard: The Postmodern
Condotion: A Report On Knowledge, The Differend: Phrase in Dispute, The
Inhuman: Reflections on Time, The Postmodern Explained to Children:
Correpondence 1982-1985(http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism).
Secara ringkas Pemahaman pemikiran postmodernis menurut Jean Francois
Lyotard menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu
pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk dianalisis hanya
berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,
homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan
dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas, perbedaan,
heterogenitas, budaya local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari.

b. Jacques Derrida (1930-2004


Derrida yang mempunyai nama lengkap
Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi.
Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang
agak terpencil, pada 15 Juli 1930. Setelah meraih gelar
kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar
di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk
mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Tahun
1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis
melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David
Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda.
Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun
yang sama, dia juga menerbit an L’ecriture et la Difference yang kemudian
diterjemahkan menjadi Writing And Difference
(http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).

32
Derrida seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi sebagai pendiri ilmu
dekonstruktivisme. Istilah dekonstruksi sama sekali tidak menghancurkan
metafisika lama. Ia justru berniat untuk menggali dan menghimpun konsep-
konsep, metaphor-metafor atau makna laten (tersembunyi) di dalam
keseluruhan narasi metafisika sehingga menjadi makna-makna penting dan
sentral di dalam narasi tersebut.
1) Dekonstruksi
Dalam modernisme rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan
menentukan, baik dalam mengatur arah dan gerak sejarah, mengontrol
kekuatan social ekonomi dan bahasa, maupun dalam berbagai aktivitas
manusia lainnya. Sejarah atau peradaban tidak selalu ditentukan oleh rasio
tetapi juga ada kuasa diluar control rasio. Hal tersebut terbukti dengan
mengangkat ke permukaan peranan manusia-manusia marginal, manusia
pinggiran atau manusia ―irrasional‖ dalam lingkungan manusia
yang
―rasional‖.
Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan untuk menentang teori
strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan
kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat
dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini,
menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam
teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca
teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis
tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua
orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan
penafsiran masing-masing (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).
2) Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa
struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan ―lebih tua‖
ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-
self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis
sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-
difference yang bisa berarti ―berbeda‖ sekaligus ―menangguhkan/menunda.

33
Kata-kata ini berasal dari kata, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena

34
pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak
keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa
tulisan lebih unggul ketimbang ujaran
(http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/).
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau
―makna absolute,‖ makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada
oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan
(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya
hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau
kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini
membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah ―kebenaran‖
ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak ―kebenaran‖ lain di depannya,
dan begitu seterusnya.
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal
yang ―ada di depan,‖ tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan
pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah
ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan
(deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah
yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan
ketidakpastian.
Selain itu, Derrida mengkritik adanya oposisi biner (Binary Opposition)
yang selalu memberikan dikotomisasi dalam segala hal. Adanya dikotomi
baik/buruk, makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen,
maskulin/feminin, benar/salah, lisan/tulisan, dan sebagainya. Dikotomisasi
seperti ini pada akhirnya akan memunculkan hirarki, yang menjadikan satu
diatas dari yang lain. Misalnya, maskulin lebih baik dari feminim, lisan lebih
baik dari tulisan, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut Derrida, yang harus
dilakukan adalah pembalikan (inverse). Maksudnya, segala sesuatu dalam
dekonstruksi harus dianggap satu. Tidak ada lagi oposis biner yang memisah-
misahkan.

35
4. Fenomena faktual Posmodernisme
Melihat dan menelaah situasi dunia saat ini, masalah postmoderrnisme juga
kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki
semua negara menerapkan sistem demokrasi ala Amerika yang konon katanya
paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem
demokrasi harus dianut terlebih dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin
menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala
Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat dianggap sebagai Negara terdepan
pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam
peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi
anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan
menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi
dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak
langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan
sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka
Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem
demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM
(menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia
tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan
yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat
dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu ciri penting, yaitu
universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter
penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah).
Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka
sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek
mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism
tidak mungkin bisa tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan
keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, sosial, politik dan terlebih lagi budaya.
Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang
penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.

36
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik
oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam
dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh
yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan
agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna
masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran
tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua
agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap
Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran,
tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya
sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik
local/identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada
tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi.
Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip
Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah
Bhineka Tungggal Ika (http://librarianship-
umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme.html# uds-search-
results).

5. Sumbangsih Filsafat Postmodernisme


a. Postmodern Dalam Bidang Agama
Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan
cara beragama yang baru, manusia mempunyai hubungan dengan realitas
tertinggi yakni Allah. Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lain
yakni kesadaran akan kekuatan yang diluar dirinya.
Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya dengan Tuhan
dan hubungannya dengan sesama. Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama
dalam membangun dan membuat manusia sejahtera.
Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai
dan sejahtera bagi kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari
agama dipegang orang sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada

37
manusia dari manakah hakikat asalanya dan kemana akan pergi. Kepastian yang
dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan simbol-simbol
memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk menyatakan
kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran, penekanan
saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan kerajaan
Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan. Lihatlah kepada Yesus
manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga hubungan yang akrab
dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya sebagai rasa
solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan manusia dan
sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah.

b. Postmodern Dalam Bidang Ilmu pengetahuan


Sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-
modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang didasarkan pada
komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan pabrikasi yang
fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi
media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan
terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan
pergeseran pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik
dan sistem pemerintahan.

c. Postmodern Dalam Bidang Seni


Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti
Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya
seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan
membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya. Dengan cara ini, para seniman
modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal).
Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu:
"univalence".
Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya
hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni
postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern
menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni."

38
Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi
berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai
macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada.
Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak
dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan
elemen, penafsiran, dan respons.
Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan
teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah
"collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur")
menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan
namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang
dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna
yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para
pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam
campuran di dalamnya.

d. Postmodern Dalam Bidang Teater


Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling
jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak
terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai
tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern
melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-
potong. Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan
pertunjukan.
Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka
membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa,
latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater
postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika
ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak
adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan.
Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence").
Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara,
tergantung dari situasi dan konteksnya.

39
e. Postmodern Dalam Bidang Tulisan-Tulisan Fiksi
Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern
menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-
elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk
menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan
beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut.
Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh
khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan
itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia.
Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang
khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun
turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui
ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini
menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. Teknik
pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme.
Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya,
kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat
berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur.

f. Postmodernisme Dalam Bidang Pendidikan


Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan
proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah
(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai
‗dewa‘ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan
masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru.
Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang
bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu
melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta
deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja
yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan
betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya

40
dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of
knowledge (transformasi pengetahuan).
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran
seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal
dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami
degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi
iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah
mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan
berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.

g. Postmodernisme Sebuah Fenomena Dalam Budaya Pop


Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas
postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik
tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan
kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan
budaya pop dan media massa.
Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan
sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh
orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian,
postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional
dan populer.

h. Pembuatan Film Sebagai Dasar Pijakan Budaya Postmodern


Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi-
sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film.
Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni:
film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film
adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris.
Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis
dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan
dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi.

41
Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan
sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang
penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan
dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik
secara waktu maupun tempat.
Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan"
atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil
pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat,
ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses
pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu
adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak
ada hubungannya satu sama lain.
Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi
sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara
kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara
postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos
postmodern.

i. Televisi Dan Penyebaran Budaya Postmodern


Televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos
postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Karena inilah televisi telah menjadi
kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Televisi mampu menayangkan
fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film.
Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia
mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai
kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan
yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan).
Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang
dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa
televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern:
menghapus batas antara masa lalu dan masa kini, dan menempatkan pemirsa
dalam ketegangan terus-menerus.

42
6. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme
a. Kelebihan Posmodernisme adalah:
Pertama, Pengingkaran atas semua jenis ideology. Konsep berfilsafat dalam
era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran.
Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran
filsafat tertentu.
Kedua, menggantikan peran cerita-cerita besar menuju cerita-cerita kecil,
dimana aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative dari
kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek
yang rasional, dan sebagainya.
Ketiga, aliran ini tidak meniru sesuatu yang ada (pemikiran) tetapi
menggunakan sesuatu yang sudah ada dengan gaya baru.
b. Kelemahan Postmodernisme adalah :
Pertama, postmodernisme tidak memiliki asas-asa yang jelas (universal dan
permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang
tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali hal itu
bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri, sebagaimana postmodernisme selalu
menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal
dan permanen.
Kedua, adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak
dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui
premis-premis modern di sana-sini saja. Ini dimaksudkan lebih merupakan "kritik
imanen" terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi
negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan
hanya sains sebagai ideologi dan scientism saja di mana kebenaran ilmiahlah yang
dianggap kebenaran yang paling sahih dan meyakinkan.
Ketiga, pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak
berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang paling populer dan digemari
oleh kelompok ini adalah "dekontruksi".

43
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:


Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan
filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis,
epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu
mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Filosuf yang terkenal sebagai
tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Mereka
berdualah yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang,
karena di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan
melekatnya nama William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey. Diakui
atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir
bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan.
Inti pemikiran aliran eksistensialisme adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan
dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru
mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang
berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
Søren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre dianggap filosof yang dapat
mewakili aliran ini. Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam
perkembangan religius. Sartre sendiri mengatakan manusia itu memiliki
kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya sendiri.
Posmodernisme merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui
nilai-nilai dan pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada
modernisme yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan
kritik atas janji modernisme. Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis
pada sekitar tahun 1970-an, ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya
tentang kondisi legitimasi era posmodern, dimana narasi-narasi besar dunia
modem. Aliran posmodernisme berkembang pesat pada 1970an dengan beberapa
tokoh yang gigih menolak aliran modernism, tokoh-tokoh tersebut antara lain Jeans
Francois Lyotard, Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, Jacques Derrida, Michel
Foucalt dan lain sebagainya.
44
Fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati, memahami,
mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan tetapi dalam
mazgab filsafat fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah menjadi
sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung
tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap
fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal
sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat
hendaknya tertuju kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga
akan nampaklah objek kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia
kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi
sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan
praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah
satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian
yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka
penyusunan.
Postmodernisme bersifat relative. Kebenaran adalah relative, kenyataan
(realita) adalah relative, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan
satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi bagaimana kita
memandang diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan devisi dari
Friedrich Wiliam Nietzsche (1844-1900) yang dikenal sebagai nabi dari
postmodernisme. Dia mengatakan bahwa ‖Ada banyak macam mata. Bahkan sphink
juga mamiliki mata, dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh
sebab itu tidak ada kebenaran.
Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan
cara beragama yang baru, dialog dan cara beragama yang baru melalui
kemanusiaan titik pijak yang baru. Manusia mempunyai hubungan dengan realitas
tertinggi yakni Allah. Sedangkan sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan

45
peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang
didasarkan pada komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan
pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-
masivisasi media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan
terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan pergeseran
pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem
pemerintahan.

46
DAFTAR PUSTAKA

Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarata: Prenada Meda Grup.
Cahyani, Rina. 2011. Derrida; Biografi Dan Pemikiran.
Http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/. Diakses tanggal 27
Februari 2013 pukul 15:51 WIB
Hadiwijoyo, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Percetakan Kanisius,
Yogyakarta. Hadiwijono, H.1995. Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Kattsoft, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. (terjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Magnis Suseno, Franz., 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.
Rodliyah, Ummi. 2011. Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard.
http://www.tokohposmodernisme.com/html/.(diakses tanggal 27 Februari 2013
pukul 15:51 WIB)
Septin. 2007. Metanarative. http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-
narrative/
Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung:
Pusta Setia
Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Surya.2010. Mengenal Postmodern.http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-
postmodern/).
Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia
Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.
Thevenaz, Pierre.1962. What is Phenomenology? Chicago: Quadrangle Books

Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada


(http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html. diakses pada
tanggal 14-02-2013
Yanur, Fadli. 2008. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan.
Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html)

47
48

Anda mungkin juga menyukai