Anda di halaman 1dari 60

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rakhmat dan karunia-Nya makalah dengan judul “Pengaruh Kebudayaan pada
Arsitektur di Sekitar Danau Tamblingan, Studi Kasus: Desa Munduk, Buleleng,
Bali” dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan sesuai harapan meskipun
banyak hambatan yang dialami dalam proses pengerjaannya.
Makalah ini disusun berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber
seperti dari media elektronik yaitu internet dan mencari referensi dari buku-buku
yang memuat materi yang digunakan untuk penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik tentunya tidak
terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu, membimbing, serta
memberikan banyak saran dan masukan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasi khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Putu Rumawan Salain, MSi selaku dosen pembimbing kelas B Mata Kuliah
Arsitektur dan Budaya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh
Dosen Pengampu Mata Kuliah Arsitektur dan Budaya, Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Udayana, antara lain:
a. Dr. Ir Ida Bagus Gde Wirawibawa, MT
b. Dr. Ir. Tjok Oka Artha Ardana Sukawati, Msi
c. G. A. M. Suartika, ST, Meng, Sc,Ph.D
d. Nyoman Ratih Prajnyani Salain, ST., MT
Kita semua tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna seperti pepatah
mengatakan tak ada gading yang tak retak. Makalah yang telah disusun ini masih
jauh dari kesempurnaan karena masih banyak terdapat kekurangannya baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Sangat diharapkan saran-saran dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca guna menuju ke arah yang lebih
baik.

Denpasar, 20 Desember 2017

Penulis

i
Dewa Ayu Ema Nadila Sumantara K Ni Luh Pradnya Dewi Putu Gde Bey Nanda Ryandana
1504205019 1504205030 1504205032

Ngurah Ketut Pramestri Nirartha I Made Susila Salma Chrisna Padmasari


1504205035 1504205042 1504205043

Putu Sarthana Putra


1504205044

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................... 3
1.5 Metode Penulisan ................................................................................................ 4
1.6 Sistematika Penulisan ......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................................... 5
2.1 Definisi Arsitektur .............................................................................................. 5
2.2 Definisi Kebudayaan ........................................................................................... 7
2.3 Unsur-Unsur Kebudayaan ................................................................................. 10
2.4 Hubungan Arsitektur dengan Kebudayaan ....................................................... 14
2.5 Permukiman ...................................................................................................... 17
2.5.1 Pengertian Permukiman ........................................................................ 17
2.5.2 Pengertian Permukiman Desa ............................................................... 18
2.5.3 Ciri Permukiman Desa .......................................................................... 18
2.5.4 Pola Tata Ruang Desa di Bali ............................................................... 21
2.5.5 Filosofi dan Konsepsi Desa di Bali ...................................................... 22
2.6 Rumah ............................................................................................................... 24
2.6.1 Pengertian Rumah................................................................................. 24
2.6.2 Pengertian Rumah Tradisional Bali ...................................................... 26
2.6.3 Konsep Rumah Tradisional Bali ........................................................... 26
2.7 Pura ................................................................................................................... 29
BAB III TINJAUAN OBJEK STUDI .............................................................................. 33
3.1 Sejarah Desa Munduk ....................................................................................... 33
3.2 Lokasi Desa Munduk ........................................................................................ 40
3.3 Data Statistik Desa Munduk ............................................................................. 43
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................................. 44
4.1 Permukiman ...................................................................................................... 44
4.2 Rumah ............................................................................................................... 51
4.2.1 Rumah Nelayan .................................................................................... 51
4.2.2 Rumah Petani Bunga ............................................................................ 51
4.3 Pura ................................................................................................................... 51
4.3.1 Pura Kahyangan Tiga ........................................................................... 51
4.3.2 Pura Luhur Pande, Pura Ulun Danu Tamblingan, Dan Pura Rambut
4.3.3 Pura Gubug ........................................................................................... 51
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 52
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 52
5.2 Saran ................................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 54

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arsitektur adalah hidup, sebagai bagian dari lingkungan hidup,
arsitektur dan masyarakat penciptanya, saling hidup menghidupi, arsitektur
selalu berubah, tumbuh, berkembang dan berganti, selaras dengan kebutuhan
dan kesesuaian dengan manusia dan zamannya (Eko Budihardjo, 1983 : 33).
Arsitektur adalah sebuah proses menciptakan ruang dan lingkungan yang
mampu berfungsi dalam kondisi alami (Eko Budihardjo, 1983 : 51).
Menurut Mangunwijaya, 1982 (dalam Eko Budihardjo, 1983 : 61)
“Arsitektur (bhs. Yunani: arkhe = yang asli, awal, utama, otentik; tektoon =
berdiri stabil, kokoh, stabil statis; arkhitekton = pembangunan utama, tukang
ahli bangunan) dalam arti terbatas maupun Wastu (bhs. Sansekerta: vasthu =
norma, tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang
berbentuk) dalam arti total komprehensip selalu datang dari dalam, dari inti,
galih, jatidiri, pandangan semesta, sikap hidup serta kebudayaan bangsa; dari
galaksi keyakinan dasar suatu komunitas, konkrit, historis. Berarsitektur,
mengarsitektur, berwastu atau mewastu adalah sebentuk Bahasa manusiawi.”
Kebudayaan merupakan sistem atau rangkaian nilai-nilai yang
mempengaruhi pembentukan pola orientasi, sikap, dan tingkah laku anggota
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya sehari-hari (Alfian, 1985 :
168). Menurut Taylor, 1871 (dalam Alfian, 1985 : 154) “ Kebudayaan adalah
suatu pengertian yang menyeluruh dan kompleks yang tercakup dalam
pengetahuan (knowledge), kepercayaan, seni, hukum, moral, adat/tradisi,
kapabilitas, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki seseorang sebagai
anggota sesuatu masyarakat.”
Hubungan antara kebudayaan dengan manusia, salah satunya adalah
hubungan dengan arsitektur. Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan
salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia, alat komunikasi manusia
nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan
sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana

1
keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. (Alfian, 1985 :
172)
Konteks kebudayaan dalam bentuknya yang akan tercermin dalam
karya arsitektur meliputi 7 unsur sebagai berikut: bahasa, sistem pengetahuan,
sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, teknologi, religi, sistem mata
pencaharian, kesenian. Nilai sebagai salah satu perwujudan kebudayaan akan
mencakup hal yang berkenaan dengan kebenaran (logika), kebaikan (etika),
keindahan (estetika). Faktor fungsi dari kebudayaan dalam wujud arsitektur
ditentukan oleh kebutuhan, teknologi, asosiasi, estetika, telesik
(kesejamanan), pemakaian yang tepat.
Sebagaimana setiap suku bangsa mempunyai corak rumah masing-
masing baik bentuk maupun fungsi dari rumah tinggal yang di huninya.
Rumah tempat tinggal dapat berlainan menurut ukuran serta kemewahannya,
karena sebuah rumah dapat juga memperlihatkan bagaimana status sosial dari
penghuninya. Arsitektur merupakan salah satu hasil budaya yang dapat
menunjukkan identitas masyarakat pendukungnya. Karya arsitektur akan
selalu mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang terlibat dalam
proses penciptaannya. Sekurang-kurangnya akan tercermin tata nilai yang
mereka anut. Dengan demikian jika diperhatikan secara cermat mengamati
sejumlah karya arsitektur suatu masyarakat maka lambat laun akan mengenali
ciri-ciri budaya masyarakat tersebut.
Oleh sebab itu, yang melatarbelakangi tugas mata kuliah Arsitektur
Budaya sesuai yang telah disebutkan diatas, maka kami melakukan observasi
di Desa Munduk untuk mempelajari, memahami dan mengidentifikasi
pengaruh orientasi Danau Tamblingan terhadap kebudayaan dan arsitektur di
desa tersebut.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu:
1. Apa saja kebudayaan yang berkembang di sekitar Danau Tamblingan,
khususnya di Desa Munduk?
2. Mengapa kebudayaan tersebut berkembang di Desa Munduk?
3. Bagaimana pengaruh kebudayaan di sekitar Danau Tamblingan terhadap
arsitektur di Desa Munduk?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kebudayaan yang berkembang di sekitar Danau
Tamblingan, khususnya di Desa Munduk.
2. Untuk mengetahui penyebab kebudayaan tersebut berkembang di Desa
Munduk.
3. Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan di sekitar Danau Tamblingan
terhadap arsitektur di Desa Munduk.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis:
a. Penulis dapat mengetahui dan memahami bagaimana perkembangan
arsitektur dan Kebudayaan di Indonesia.
b. Penulis dapat mengetahui unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di
sekitar Danau Tamblingan.
2. Bagi Pembaca:
a. Pembaca dapat mengetahui bagaimana perkembangan arsitektur dan
Kebudayaan di Indonesia.
b. Pembaca dapat mengetahui unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di
sekitar Danau Tamblingan.
c. Sebagai sarana edukasi dan penambah wawasan tentang arsitektur
budaya di Indonesia.

3
1.5 Metode Penulisan
1. Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan adalah jenis penulisan deskrptif
kualitatif, yaitu dengan menggunakan metode studi pustaka dengan
mengkaji dan membandingkan dengan sumber- sumber yang relevan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah berupa studi
pustaka, yaitu dilakukan dengan mencari serta mengumpulkan data-data
berupa literature, buku, artikel, dan lain-lain yang berhubungan dengan
materi yang dibawakan.

1.6 Sistematika Penulisan


Makalah ini dibagi atas beberapa bagian, diantaranya :
1. BAB I - Pendahuluan
Berisikan tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan serta sistematika
penulisan.
2. BAB II - Tinjauan Teori
Bagian kedua berisikan tentang teori yang mendukung pembahasan.
3. BAB III - Tinjauan Objek
Berisi informasi umum tentang objek penelitian.
4. BAB IV - Pembahasan
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai kondisi fisik objek dan unsur-
unsur kebudayaan yang terdapat pada objek studi.
5. BAB V - Penutup
Berisi kesimpulan mengenai data yang telah di bahas dan saran atau
masukan sesuai dengan materi yang dibawakan.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Arsitektur


Menurut Ronald (2015: 24) telaah arsitektur pada umumnya berpijak
pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan ujud nyata dari bangunan
sebagai lingkungan buatan dan lingkungan di sekililingnya … .
Dalam bukunya Ronald (2015: 24) juga mengemukakan bahwa
arsitektur dalam tatanan bahasa Belanda dan Inggris dapat ditelusuri
pengertian dan sekaligus juga pemahamannya dalam penggunaan,
sebagaimana berikut ini: … architectuur = bouwstjil (gaya bangunan),
boankunst (seni bangunan), pada awalnya istilah ini digunakan untuk
menjelaskan bahwa dalam sebuah bangunan gedung dapat diungkapkan gaya
bangungan atau seni bangunan.
Menurut Suardana (2015: v) arsitektur merupakan perpaduan antara
seni, desain, ilmu, teknologi (rekayasa), kandungan falsafah, makna dan
pengetahuan pendukung lainnya yang terkait dengan prilaku (behavior) dan
lingkungan (environment).
Arsitektur merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu, yang
mencakup sistem nilai yang beraneka ragam. (Suardana, 2015: 8)
Arsitektur adalah bentukan yang estetik. Atau arsitektur adalah
bentukan yang bermakna dan berlambang. Arsitektur itu adalah seni, dalam
hal itu arsitektur disebut seni hanya sebatas estetika (dalam persepsi estetis
belum berarti bermakna). Arsitektur itu merupakan sebagai bahasa
(linguistik), jika arsitektur itu sebagai sesuatu yang bermakna. Jika
dijabarkan, arsitektur sebagai ilmu dan seni boleh dikata arsitektur itu sebagai
produk atau benda (design thinking). Sementara jika arsitektur dikatakan
sebagai bahasa, arsitektur adalah sebagai sarana komunikasi. (Suardana,
2015: 15)
Menurut Suardana (2015: 96) arsitektur membuat makna-makna yang
realistis, serta melahirkan kiasan-kiasan konkrit. Arsitektur juga suatu seni,
namun agak berbeda dengan seni pahat atau seni lukis. Arsitektur merupakan

5
suatu disiplin sintesis yang digayuti oleh berbagai persyaratan teknis,
fungsional, iklim, topografi, sosial budaya dan sebagainya.
Suardana (2015: 133) juga mengemukakan bahwa arsitektur adalah
wujud yang memiliki jati diri, menampilkan wujud yang berhubungan dengan
proporsi, skala, sequence, struktur dan kontruksi, estetika dan juga makna
yang ada di dalam arsitektur tersebut.
Menurut Pangarsa (2006: 1) … arsitektur cenderung dimasukkan
sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas
daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang
“seni bangunan”.
Prijotomo (2006: 1) mengemukakan bahwa walaupun arsitektur itu
niscaya adalah lingkungan-bina yang mampu menjadi wadah bagi aneka
kegiatan manusia, memiliki pesona estetika ataupun makna yang tertentu,
akan tetapi pengetahuan arsitektur tidak mesti dibatasi dan disempitkan
dengan menggunakan keniscayaan itu.
Menurut Sachari (2007: 88) arsitektur merupakan unsur visual utama
yang mengisi khasanah perkotaan.
Menurut Ishar (1992: 1) … arsitektur bangunan ialah susunan ruang-
ruang yang dirancang untuk kegiatan tertentu yang diintegrasikan dengan
harmonis ke dalam sebuah komposisi.
Berdasarkan beberapa pengertian arsitektur dari para ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa arsitektur adalah ilmu perancangan bangunan yang
didalamnya mencakup lingkungan buatan (environment) dan segala sesuatu
yang diwadahinya.

6
2.2 Definisi Kebudayaan
Menurut Ronald (2015:24) … telaah kebudayaan selalu berpijak pada
unsur-unsur buah pikiran (idea), perbuatan (sikap dan perilaku) dan hasil
karya (artefak). Seringkali disinggung-singgung pula bahwa objek budaya
adalah bayangan cermin dari kehidupan manusianya.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W. J .S. Poerwadarminta
dalam Budihardjo (1991: 2), budaya sama dengan pikiran, akal budi (penulis:
intuisi); kebudayaan = hasil kegiatan, dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan sebagainya.
Menurut kamus Poerdarminta dan kamus Inggris-Indonesia dari John
M. Echols dan Hassan Shadily seperti yang juga dikutip Budihardjo (1991:
2): kebudayaan = culture = kultur.
Sementara itu L. A. White (1949) dalam Budihardjo (1991: 11)
menganggap kebudayaan sebagai sistem terpadu dan terorganisasi (integrated
organized system) yang dapat terperinci dalam tiga bagian atau aspek, yaitu
sustem teknologi, sistem sosial, dan sistem idea.
Budihardjo (2009: 89) juga menjelaskan: … kata “budaya” juga bisa
dilacak dari khasanah Bahasa Indonesia atau Melayu “budi” dan “daya”. Budi
adalah kemampuan manusia memproses secara terus-menerus potensi
pribadinya (batiniah maupun lahiriah) secara tepat-terpadu dengan potensi
alam lingkungan hidupnya, untuk terus tetap naik secara berjenjang.
Demikian, sehingga manusia dapat menangani seluruh aspek kehid,upannya
menuju ke arah keterpujian, keluhuran, dan kesempurnaan hidup (dalam arti
“sempurna” untuk ukuran atau kodrat kemanusiaannya). Untuk itu, manusia
mesti mempunyai ketenangan berupa niat, tekad-ketetapan hati untuk
memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan. Itulah daya. Jadi budaya
menyangkut pola mentalitas (lebih dominan segi spiritualitasnya) dan pola
pikir (lebih banyak intelektualitasnya).
Menurut Said (2004: 3), kebudayaan itu sendiri adalah kesatuan dari
gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya
dan perilaku manusia … . Said (2004: 1-2) juga memaparkan: kebudayaan
paling sedikit mempunyai tiga kategori yaitu: a. Berupa wadah bagi suatu

7
kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan.
…; b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas manusia yang berpola,
menciptakan suatu sistem sosial bagi masyarakat yang bersangkutan; c.
Berupa wadah untuk menghasilkan benda-benda pakai dan karya seni,
berbentuk nyata sebagai objek riil, seperti bangunan rumah, lukisan patung,
kerajinan, benda pakai, senjata (Koentjaraningrat, 1974: 200-2001).
Dalam buku Culture, a Critical Review of Concept and Definitions, dua
ahli antropologi yaitu A. L. Kroeber dan C. Kluckholn, seperti yang dikutip
Said (2004: 2) mengemukakan sebagai berikut: Kebudayaan terdiri dari pola-
pola yang nyata maupun tersembunyi, mengarahkan perilaku yang
dirumuskan dan dicatat oleh manusia melalui simbol-simbol yang menjadi
pengarah tegas bagi kelompok-kelompok manusia; termasuk perwujudannya
dalam barang-barang buatan maunsia. Di satu pihak sistem-sistem
kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil tindakan, di pihak lainnya sebagai
landasan (unsur-unsur) yang mempengaruhi tindakan selanjutnya.
Menurut Pangarsa (2006: 24) pengertian budaya yang paling lazim
dipakai adalah “tradisi atau perilaku adat-kebiasaan berulang yang mewarisi
antargenerasi”. Namun tak ada salahnya budaya juga dimengerti sebagai
“kerangka/pola fikir dan mentalitas untuk menyempurnakan/menumbuh-
kembangkan seluruh potensi kandungan hidup dan kehidupan makhluk
ciptaan menurut ketetapan Yang Maha Pencipta secara berkesetimbangan”.
Pangarsa (2006: 24) memaparkan: Di Indonesia umumnya kata
“culture” dari bahasa Inggris atau “kultuur” dari bahasa Belanda, langsung
diserap maknanya dalam kata “kebudayaan”. “Culture” atau “kultuur” berasal
dari bahasa Latin abad XII cultura: mengolah tanah untuk suatu hasil. Kata
ini berkembang dalam pengertian pembudidayaan hewan atau tanaman,
penumbuhan mikro-organisme pada suatu medium nutrien, pola karakteristik
perilaku umum suatu masyarakat, sebuah gaya ekspresi artistik atau sosial
yang dimiliki golongan tertentu atau dalam pengertian aktifitas seni dan
intelektual (lihat Kamus Oxford, Concise, dll). Dalam kata culture, Capra
(2004) juga mengidentikasi kandungan makna cult, dari bahasa Latin cultus,
bentuk lampau dari colere atau “memuja”. Jadi, sebetulnya ada kandungan

8
filosofi pemujaan nilai-nilai materialistik berorientasi hasil-perbuatan, yang
inherent dalam konsep makna kata culture.
Pangarsa (2006: 24) juga mengemukakan konsep makna harafiah dari
sudut pandang etimologi, menunjukkan akar kata-kata “budi” (akal-budi,
pikiran) dan “daya” (tenaga, kemampuan). Demikian, sehingga “budaya”
yang dapat dimaknai sebagai kemampuan berakal-budi dengan nilai-nilai
luhur berketuhanan, untuk mengawali hidup dengan suatu proses yang adil,
harmonis, selaras dalam kedamai-tenteraman yang berbukti pada kesatuan
jalinan kehidupan antarmakhluk ciptaan Allah.
Menurut Snyder (2005: 14) kebudayaan menyangkut sekelompok
manusia yang memiliki seperangkat nilai dan keyakinan dan suatu pandangan
terhadap dunia yang mewujudkan suatu cita-cita.
Menurut Sutrisno (1983: 25) dalam Rumawan (2013: 155) … hakikat
kebudayaan adalah perwujudan proses pertumbuhan dan perkembangan
manusia dalam suatu masyarakat.
Menurut Keesing (1999: 68), budaya lebih diartikan sebagai himpunan
pengalaman yang dipelajari.

9
2.3 Unsur-Unsur Kebudayaan
Kluckhon dalam bukunya yang berjudul Universal Categories of
Culture membagi kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia
dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga
sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan. Kluckhon
membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau
disebut dengan kultural universal. Menurut Koentjaraningrat, istilah universal
menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat
ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar di berbagai
penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem
pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian.
(Siany dan Atiek Catur, 2009:58)
Menurut Koentjaraningrat dalam Rumawan (2013: 152), unsur
kebudayaan yang merupakan sistem dalam budaya yaitu agama, pengetahuan,
kesenian, organisasi kemasyarakatan, teknologi, mata pencaharian, dan
bahasa. Satu dengan lainnya memberi kontribusi dalam pertumbuhan dan
perkembangan budaya. Di samping itu, tentu pula dapat terjadi saling silang
pengaruh dalam sistem tersebut. Diagram di bawah ini menampilkan tujuh
unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang selanjutnya diolah dan
digambarkan dalam bentuk lingkaran dalam satu kesatuan sistem.

Gambar 2. 1 Tujuh Unsur Kebudayaan Digambarkan dalam Satu Kesatuan Sistem


yang Saling Mempengaruhi
Sumber: Rumawan, 2013: 152

10
Gambar 2. 2 Tujuh Unsur Kebudayaan Digambarkan dalam Satu Kesatuan Sistem
yang Saling Mempengaruhi
Sumber: Rumawan, 2013: 152

Bila diagram lingkaran tersebut diatas dipandang sebagai sebuah strata,


maka strata ke tujuh adalah sistem teknologi dan peralatan. Strata ke tujuh ini
paling rentan dan rapuh terhadap perubahan. Perubahan yang terjadi dalam
sistem tersebut akan mempengaruhi sistem yang berada diatasnya, seperti
sistem mata pencaharian kemudian bahasa dan selanjutnya hingga ke sistem
religi dan upacara keagamaan. Hanya derajat perubahannya makin ke tengah
semakin kecil dan bahkan mungkin tidak terjadi perubahan, khususnya pada
sistem religi dan upacara keagaaman. (Rumawan, 2013: 152-153)
Adapun perubahan akan berlangsung dengan sangat cepat dan
revolusioner bila terjadi perubahan dalam sistem religi dan upacara
keagamaan. Rangkaian perubahannya akan serta merta mengubah seluruh
sistem yang ada dibawahnya, bahkan sangat mungkin memusnahkannya.
(Rumawan, 2013: 153)
Dengan memperhatikan bekerjanya sistem tersebut diatas, itu berarti
bahwa yang sangat mudah berubah adalah sistem teknologi dan peralatan di
mana selanjutnya akan membawa pengaruh dan juga dampak perubahan
dalam sistem di atasnya. Itu menunjukkan bahwa sistem tersebut bekerja akan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (Rumawan, 2013: 153)
Disamping itu, yang mana pun dari ketujuh unsur tersebut yang
dipandang sebagai lokomotif perubahan akan memberi pengaruh dan dampak

11
kepada lainnya, keras lemah pengaruh tersebut sangat tergantung bagaimana
sistem tersebut didukung oleh para pengusungnya misalnya, kalau dirancang
mengedepankan sistem teknologi dan peralatan maka sistem tersebut akan
menjadi lokomotif perubahan dalam sistem itu sendiri. Sistem satu dengan
yang lainnya saling berhubungan demi perubahan yang sering tidak
dirasakan. Pada gambar dibawah ini akan menggambarkan bagaimana sistem
tersebut bekerja. (Rumawan, 2013: 153)

Gambar 2. 3 Tujuh Unsur Kebudayaan Berproses dalam Suatu Sistem dengan Contoh
Sistem Teknologi dan Peralatan Menjadi Objek yang Mengalami Perubahan
Sumber: Rumawan, 2013: 154

12
Sementara sistem teknologi dan peralatan berproses dalam hubungan
timbal balik, maka keenam sistem lainnya juga akan saling berhubungan dan
berproses. Seumpama sistem teknologi dan peralatan yang dipergunakan
dalam kehidupan dan penghidupan para petani dengan sentuhan bibit unggul,
pupuk kimia, menggunakan traktor, dan lainnya maka dengan serta merta
akan ada berbagai dinamika dalam keenam sistem tersebut hingga akhirnya
akan mempertanyakan posisi peran bahasa sampai dengan sistem religi dan
kepercayaannya. Dengan cara yang sama semua sistem dapat dijadikan obyek
atau subyek dalam proses pembangunan budaya. (Rumawan, 2013: 153)

13
2.4 Hubungan Arsitektur dengan Kebudayaan
Terdapat hubungan antara arsitektur dengan kebudayaan. Kebudayaan
sebagai buah pikiran masyarakat (ide, gagasan, nilai, peraturan), dalam pola
aktivitas dan sistem sosialnya akan menghasilkan benda-benda pakai dan
karya seni, berbentuk nyata sebagai objek riil, termasuk arsitektur seperti
bangunan rumah, pola permukiman, dan lain-lain. Berdasarkan hal ini dapat
dikatakan bahwa arsitektur merupakan hasil atau perwujudan dari
kebudayaan.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Ronald (2015: 24) yang
mengemukakan bahwa ternyata arsitektur adalah salah satu dari ujud
kebudayaan yaitu bahasa, yang dalam ini adalah bahasa non-verbal.
Arsitektur sebagai salah satu unsur kebudayaan dapat dipandang
sebagai pengetahuan yang memasalahkan pemberian bentuk serta
mengandung makna yang tak dapat dipisahkaan dengan segenap aktivitas
kehidupan manusia. (Suardana, 2015: 2)
Menurut Prijotomo (2008: 9) … arsitektur adalah buah budaya dan
sekaligus bagian dari kebudayaan sesuatu masyarakat tradisional kita. Hal-hal
penting yang harus diingat dari keyakinan tadi adalah bahwasannya budaya
dan kebudayaan dimana arsitektur tadi berada berlaku dalam ruang dan waktu
yang tertentu.
Selain itu Prijotomo (2008: 9) mengemukakan bahwa arsitektur
sepenuhnya konsekuensi logis dari kebudayaan yang bersangkutan; arsitektur
itu buah yang dimunculkan oleh pohon kebudayaan.
Arsitektur sebagai hasil atau perwujudan kebudayaan secara otomatis
akan mencerminkan ciri kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu
karya arsitektur memiliki makna dan nilau mengenai konsepsi perilaku dan
tata kehidupan manusia ataupun masyarakat yang diwadahinya. Setiap
bentukan arsitektur cenderung dilatarbelakangi oleh hubungan
manusia/masyarakat dengan lingkungannya. Proses adaptasi manusia dengan
lingkungannya akan menghasilkan kebudayaan yang berbeda-beda.
Bervasiasinya kebudayaan ini akan menyebabkan keberagaman kekhasan
arsitektur yang ada.

14
Budihardjo (1991: 24) mengemukakan bahwa suatu karya arsitektur
hampir selalu, secara disadari ataupun tidak, mencerminkan ciri budaya dari
kelompok manusia yang terlibat di dalam proses penciptaannya.
Sedangkan menurut Suardana (2015: 96) Arsitektur merupakan bagian
dari kebudayaan, dari suatu karya arsitektur memiliki makna akan hak yang
mendasar tentang konsepsi perilaku dan tata kehidupan manusia ataupun
masyarakat yang diwadahinya. Suatu sosok karya arsitektur hampir
senantiasa mencerminkan ciri budaya dari kelompok dari manusia yang
terkait dalam proses penciptaannya.
Sementara itu Salura (2015: 8) mengemukakan bahwa arsitektur
meyakini bahwa suatu bentukan umumnya tercipta untuk memenuhi tujuan
tertentu. Setiap bentukan arsitektur cenderung dilatarbelakangi oleh sistem
kognisi yang ditentukan oleh kualitas hubungan antara manusia dengan
lingkungan. Tananan serta bentuk arsitektur yang masih kuat berlandas tradisi
merupakan ekspresi dari makna, nilai, dan kepercayaan yang dianut suatu
komunitas dalam kurun waktu tertentu.
Prijotomo (2008: 14) juga memaparkan bahwa karya arsitektur disidik
pencerminan kebudayaan melalui sejumlah pola, struktur atau susunan, dan
wujud rinupanya. Mengingat bahwa pola dan struktur lebih cenderung untuk
tidak dengan segeraa tampak bagi penglihatan maka masyarakat awam lebih
mengandalkaan wujud-rinupa dalam ‘mengenali’ kebudayaan yang
tercerminkan dalam sesuatu karya.
Selain itu menurut Snyder (2005: 14) … arsitektur terutama sekali
merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, dan dengan definisi kita
tentang perancangan yang mencakup pengubahan-pengubahan yang paling
berguna terhadap lingkungan fisik, arsitektur dapat dianggap sebagai suatu
konstruksi yang dengan sengaja mengubah lingkungan fisik menurut suatu
bagan pengaturan.
Seiring perkembangan zaman, kebudayaan tidak luput dari perubahan.
Pola pikir, pola aktivitas, dan sistem sosial masyarakat dapat berubah akibat
berbagai faktor baik yang berasal dari dalam maupun faktor yang berasal dari
luar. Perubahan ini akan mempengaruhi perkembangan arsitektur. Oleh

15
karena itu perkembangan kebudayaan menjadi faktor yang sangat
menentukan dalam perkembangan arsitektur.
Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Suardana (2015: 97)
bahwa … pada hakikatnya kebudayaan itu berkembang. Maka pada
perkembangan tersebut kebudayaan menjadi faktor yang sangat menentukan
bagi perkembangan dunia arsitektur.
Selain itu Salura (2015: 4) juga mengemukakan bahwa arsitektur
sebagai wujud kebudayaan pun tidak luput dari tekanan perubahan.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa arsitektur dan
kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Arsitektur merupakan hasil
atau perwujudan dari kebudayaan. Perkembangan kebudayaan akan turut
mempengaruhi perkembangan arsitektur. Arsitektur sebagai wujud nyata
kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana kala kebudayaan
sebagai suatu sistem keseluruhan mengalami perubahan.

16
2.5 Permukiman
2.5.1 Pengertian Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri
atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman pada Bab I (Ketentuan Umum)
Pasal 1 ayat 5)
Menurut Sastra (2006: 37) permukiman merupakan suatu
kesatuan wilayah dimana suatu perumahan berada, shingga lokasi dan
lingkungan perumahan tersebut sebenarnya tidak akan pernah dapat
lepas dari permasalahan dan lingkup keberadaan suatu permukiman.
Sastra (2006: 37) memaparkan bahwa … permukiman juga dapat
diimplementasikan sebagai suatu tempat bermukim manusia yang
menunjukkan sutau tujuan tertentu.
Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari
terjemahan kata human settlements yang mengandung pengertian suatu
proses bermukim. Dengan demikian terlihat jelas bahwa kata
permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam prosesnya.
Melalui kajian tersebut terlihat bahwa pengertian permukiman dan
pemukiman berbeda. Kata pemukiman mempunyai makna yang lebih
menunjuk kepada objek, yang dalam hal ini merupakan unit tempat
tinggal (hunian).
Menurut Doxiadis (1997), permukiman merupakan suatu sistem
yang terdiri dari lima unsur, yaitu alam, masyarakat, manusia, lindungan
dan jaringan. Bagian permukiman yang disebut wadah tersebut
merupakan paduan tiga unsur: yaitu alam (tanah, air, udara), lindungan
(shell) dan jaringan (networks), sedang isinya adalah manusia dan
masyarakat. Alam merupakan unsur dasar dan di alam itulah ciptakan
lindungan (rumah, gedung, dan lainnya) sebagai tempat manusia tinggal
serta menjalankan fungsi lain. (Zulkifli, 2015: 123)

17
2.5.2 Pengertian Permukiman Desa
Menurut N. Daldjoeni (1998) dalam Dwijendra dan Keramas
(2016:3), desa dalam arti umum adalah permukiman yang terletak di
luar kota dan penduduknya hidup dari agraris. Desa merupakan
masyarakat yang homogeny dengan kehidupan yang serba tradisional,
kebudayaan mereka memiliki hubungan erat dengan alam. Penduduk di
desa merupakan satu unit sosial dan unit kerja dengan jumlah yang
relative tidak terlalu besar dan struktur ekonomi pada umumnya adalah
agraris.

2.5.3 Ciri Permukiman Desa


Menurut N. Daldjoeni (1998) dalam Dwijendra dan Keramas
(2016:3-4), ciri-ciri permukiman desa antara lain sebagai berikut:
1. Kehidupan masyarakat bersifat tradisional, baik dalam teknologi,
orientasi, organisasi, maupun pengelolaannya.
2. Ikatan kekeluargaan masyarakat yang sangat kuat, taat pada tradisi
dan kaidah sosial.
3. Kehidupan masih tergantung pada hasil perkebunan dan pertanian.
4. Orientasi tradisional tercermin dari motif pergerakan yang ditujukan
untuk mencari keuntungan maksimal, penggunaan sumber daya
yang tidak secara optimal, kurang tanggap terhadap rangsangan dari
luar sebagai peluang untuk memajukan diri, sekedar
mempertahankan hidup serta pemenuhan kepuasan sosial dan
bersifat konservatif serta merupakan masyarakat yang tertutup dan
statis. Apabila ditinjau dari segi arsitektur, ciri-ciri arsitektur
pedesaan yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi
Lebih didominasi oleh perumahan dan permukiman dengan
kelengkapan sarana dan prasarana, seperti contohnya bangunan
tempat ibadah, bangunan balai desa, bangunan pasar desa (pasar
tradisional).

18
b. Lokasi
Menempati daerah tertentu yang biasanya menempati daerah
yang memiliki kelebihan sumber alamnya seperti, daerah subur,
air mengalir sepanjang tahun yang mana tempat ini mengarah ke
daerah pertanian, di pinggir pantai dengan kelebihan potensi
pantainya yang mana mengarah keperumahan, nelayan,
sepanjang sungai airnya mengalir sepanjang tahun, di pinggir
danau, di pinggir hutan dengan potensi hutan.

c. Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan termasuk kepadatan rendah (KDB berkisar
20%-30%) masih banyak terdapat ruang-ruang kosong, dan
biasanya ditanami/ditumbuhi pohon-pohonan, memberikan
suasana hijau dan menyegarkan. Sangat jarang ditemukan
bangunan-bangunan bertingkat, kalaupun ada itu merupakan
bangunan-bangunan dengan fungsi fasilitas umum.

d. Bentuk dan Luas Bangunan


Bentuk bangunan sesuai dengan tradisional setempat dimana
sangat terikat oleh norma-norma tradisional tersebut, dengan
penerapan pola menyebar (satu bangunan dipisahkan oleh yang
lain), membentuk pola tertentu (pola linear/garis, pola
gride/kotak, pola elaster/melingkar). Namun ada juga yang
dibangun bergandengan antara bangunan lama dengan bangunan
baru, ini biasanya ditentukan oleh keluarga besar dan suku yang
ada. Luas bangunan relatif kecil.

e. Konstruksi Bangunan Penerapan Konstruksi


Konvensional dan lebih banyak penerapan konstruksi tradisional
dengan sistem sederhana, bentang kecil mengingat ruang yang
diperlukan relatif kecil.

19
f. Material
Pemanfaatan material alami yang lebih dominan sesuai dengan
potensi wilayah yang mereka tempati misalnya, bila di pinggir
hutan mereka lebih banyak memanfaatkan bahan kayu dan
bambu untuk konstruksi, lantai dinding dan kadang atapnya juga
dari kayu di dalam membangun rumahnya. Untuk di dataran
rendah dan pantai lebih banyak menggunakan batu alam, batu
bata untuk pondasi, lantai, dinding, dan atap menggunakan
genteng, bambu, alang-alang dan lainnya sesuai potensi
desanya. Dan kadang di daerah pertanian banyak yang
menggunakan jerami untuk atap rumahnya sehingga tidak
bertahan lama hanya sekitar 5 tahun harus direhabilitasi.

g. Tampilan dan Suasana


Tampilan suasana pedesaan sangat menonjol dan diperkuat oleh
tampilan bangunan perumahan rakyat yang sederhana, lebih
mengarah pada kesan alami merupakan ciri yang menonjol.

20
2.5.4 Pola Tata Ruang Desa di Bali
Menurut Ardi P. Parimin dalam Dwijendra dan Keramas
(2016:4), pola tata ruang desa di Bali dibagi menjadi dua (2) tipe, yakni:
1. Pola linear yang terdapat pada desa Bali Aga (desa tua). Secara
garis besar wujud fisiknya adalah membentuk ruang terbuka secara
linear membujur ke arah utara-selatan atau kaja-kelod.
2. Pola crossroad yang terdapat pada sebagian besar desa-desa
dataran di Bali yang merupakan tipe/pola yang masih muda. Wujud
fisiknya secara garis besar membentuk jalan silang (crossroad)
yang terdiri dari dua sumbu jalan utama arah utara-selatan (kaja-
kelod) dan rimut-barat (kangin-kauh). Pola ruang tipikal hunian
tradisional Bali secara garis besar bila ditinjau dari aspek lokasi dan
perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tipe pola
daerah dataran dan tipe pola daerah pegunungan disebut juga tipe
Bali Aga. Untuk daerah dataran bentuk pekarangan agak bujur
sangkar, sedang di daerah pegunungan berbentuk
memanjang/membujur, sejajar garis kontur topografi.
3. Tipe pola daerah pegunungan diseut juga tipe Bali Aga. Pola ini
disebut juga pola linear dan banyak muncul pada permukiman
tradisional Bali yang merupakan peninggalan zaman Bali Aga, dan
mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana pada dearah hulu
merupakan kawasan suci, daerah tengan merupakan unit hunian
dan daerah teben merupakan daerah nista dan biasanya
diperuntukan untuk daerah kuburan.
4. Tipe pola daerah dataran pola ruang tipikal hunian di daerah
dataran lebih banyak dijumpai di daerah-daerah sekitar pusat
kerajaan berkembang pada zaman Bali Arya yang dipengaruhi oleh
budaya Majapahit. Norma-norma yang dipakai sepenuhnya termuat
dalam lontar Asta Kosala-Kosali & Asta Bumi, yaitu konsep tata
ruang memakaai Sanga Mandala, dimana letak pekarangan dibagi
menjadi sembilan nilai zoning, sesuai peruntukannya.

21
2.5.5 Filosofi dan Konsepsi Desa di Bali
Filosofi dan konsepsi tata nilai desa tradisional adalah sebagai
berikut (Kaler, 1993 dalam Dwijendra dan Keramas 2016:6-7):
1. Manik Ring Cucupu
Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam
keadaan harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu
(rahim ibu). Rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan,
perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian pula
halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada
alam semesta. Dengan alasan itu pula setiap wadah kehidupan atau
lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan bhuana
agung, dengan susunan unsur-unsur yang utuh (Tri Hita Karana).

2. Tri Hita Karana


Konsepsi Tri Hita Karana adalah sebagian unsur pembentuk
kesempurnaan hidup yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Di dalam bentuk desa adat terdiri dari unsure parahyangan/tempat
suci (jiwa), pawongan/penduduk (tenaga), palemahan/teritorial
desa (angga). Parahyangan mewujudkan hubungan antara manusia
dengan penciptanya/Tuhan, pawongan mewujudkan hubungan
antara manusia dengan manusia/leluhurnya, dan palemahan
mewujudkan hubungan antara manusia dengan alam
lingkungannya.

3. Tri Angga
Tri Angga artinya tri (tiga), angga (badan) yang dimaksud adalah
tiga unsur susunan badan (manusia) yang terdiri dari kepala,
badan, dan kaki. Pembagian Tri Angga ini diterapkan secara
bertingkat dari pola ruang makro hingga ke mikro dari tata
bangunan utuh hingga ke elemen-elemen bangunan yang sekecil-
kecilnya. Konsepsi Tri Angga berlaku menyeluruh dalam
perancangan arsitektur tradisional, baik itu tata letak, tata nilai, tata

22
guna, dan ragam hias berlaku pembagian tiga-tiga mengecil ke arah
atas semakin halus dan ke bawah semakin kasar.

4. Hulu-Teben
Merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan
penyelarasan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Hulu-Teben
memiliki orientasi antara lain, berdasarkan kaja-kelod (gunung dan
laut), arah tinggi rendah dan berdasarkan arah matahari terbit dan
terbenam, timur-barat.

23
2.6 Rumah
2.6.1 Pengertian Rumah
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat
tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat
dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. (Undang-
Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 ayat 7)
Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya Freedom to
Build mengatakan rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman,
dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu
proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial
ekonomi penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dari
rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar
fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan
penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa
yang dilakukan penghuni terhadap rumah. (Agusrahayu, 2016)
Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat,
1991: 432) dalam Agusrahayu (2016), rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang
digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup
lainnya, rumah merupakan tempat awal pengembangan kehidupan.
Menurut kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan
perumahan dan permukiman seperti yang dikutip Agusrahayu (2016)
menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Selain
berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam/cuaca dan
makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai
pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan,
penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam
kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya maka
terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan

24
datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan
permukimannya. (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan
dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman)
Sadana (2014: 9-10) memaparkan bahwa dalam bahasa Inggris,
rumah memiliki dua arti, yaitu house dan home. Rumah dalam arti
house dapat digambarkan bagaikan sebuah kandang. Gambaran ini
menempatkan rumah dalam pengertian umum, yaitu rumah sebagai
suatu tempat berlindung yang bersifat fisik. Dalam pengertian umum,
rumah adalah sebuah bangunan yang dijadikan tempat tinggal manusia
dalam jangka waktu tertentu. Sebagai bangunan, rumah berbentuk
ruangan yang terrletak di atas tanah, dibatasi oleh dinding di
sekelilingnya dan dilindungi dengan atap. Rumah juga dilengkapi
dengan pintu sebagai jalan masuk, dan memiliki jendela. Bagian bawah
rumah disebut lantai. Lantai rumah dapat berupa tanah, ubin, keramik,
atau bahan-bahan lainnya. Pada masa kini rumah modern dilengkapi
dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi spesifik, seperti: kamar tidur,
kamar mandi, dapur, dan sebagainya.
Rumah dalam arti home memiliki arti khusus sebagai kampung
halaman. Sebagai kampung halaman, keberadaan rumah mengacu
kepada konsep-konsep sosial kemasyarakatan, yaitu kehidupan yang
terjalin di dalam bangunan. Rumah dalam pengertian konsep sosial
kemasyarakatan adalah suatu keluarga, tempat bertumbuh, tempat
makan, tempat tidur, tempat beraktivitas, dan sebagainya.
Dari dua pengertian yang dijelaskan sebelumnya, Sadana (2014:
10) mengemukakan bahwa rumah dapat dimaknai sebagai tempat
berlindung dan sekaligus merupakan tempat menetap bagi seseorang.
Terkait dengan kehidupan sosial lainnya, rumah juga dapat
menggambarkan tingkat sosial pemiliknya dalam masyarakat.

25
2.6.2 Pengertian Rumah Tradisional Bali
Menurut Dwijendra (2008), rumah tradisonal Bali merupakan
rumah yang dibangun dengan cara yang sama dari generasi kegenerasi
dan tanpa atau sedikit mengalami perubahan. Rumah tradisional Bali
dapat juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan
memperhatikan kegunaan, serta fungsi sosial dan arti budaya dibalik
corak atau gaya bangunan. Rumah tradisional Bali mewadahi kegiatan
sehari-hari penghuninya, termasuk upacara adat. Rumah tradisional Bali
ialah ungkapan bentuk rumah masyarakat Bali yang merupakan salah
satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang dalam
masyarakat Bali.

2.6.3 Konsep Rumah Tradisional Bali


Rumah tradisional Bali tidak terlepas dari sendi-sendi agama, adat
istiadat, kepercayaan, dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek
kehidupan. Rumah tradisional Bali merupakan arsitektur yang
berlandaskan pada ajaran Agama Hindu yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat Bali. Adapun konsep-konsep Rumah tradisional
Bali adalah sebagai berikut: (Dwijendra, 2008)
1. Konsep Sanga Mandala
Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan
konsep sumbu ritual menghasilkan konsep Sanga Mandala. Konsep
tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari
sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang
menyebar di delapan arah mata angin ditambah satu ditengah
dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur
tradisional Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan
diletakkan di daerah Utamaning Utama, dan kegiatan yang
dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista, sedangkan

26
kegiatan di antaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal
dengan pola Natah.

Gambar 2. 4 Konsep Sanga Mandala


Sumber: Dwijendra, 2008.

27
2. Proporsi dan Skala Manusia
Dalam hal pembangunan rumah, masyarakat Bali mempunyai
tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk tempat tinggal serta
bangunan tempat suci yang sesuai dengan landasan filosofis, etis,
dan ritual. Semua hal tersebut memperhatikan konsepsi
perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun
rumah, serta pelaksanaan pembangunan rumah yang disebut Asta
Kosala Kosali.
Asta Kosala Kosali merupakan cara penataan lahan untuk
tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan dan
pengukuran jarak antar bangunan dalam satu pekarangan
didasarkan oleh ukuran tubuh sang pemilik rumah. Jadi, luas rumah
nantinya akan sesuai (ideal) dengan pemiliknya. Dalam hal
pengukuran ini, masyarakat Bali tidak menggunakan hitungan
meter, tetapi menggunakan ukuran-ukuran tubuh manusia.

28
2.7 Pura
Pura adalah istilah tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Secara
etimologi kata pura berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -
puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng atau kota dengan
menara atau istana. Pada awalnya, istilah Pura berasal dari bahasa Sansekerta,
yang berarti kota atau benteng yang sekarang artinya berubah menjadi tempat
pemujaan Sang Hyang Widhi. Sebelumnya, tempat suci/ tempat pemujaan
disebut Kahyangan atau Hyang. (Maharlika, 2010)
Pura dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis, namun walaupun
demikian, tidak mempengaruhi bentuk fisik dari pura tersebut.
Pengelompokkan adalah sebagai berikut: (Maharlika, 2010)
1. Berdasarkan Fungsinya
a. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang
Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
manifestasinya atau dengan segala perwujudannya.
b. Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja roh suci
leluhur. Masyartakat Bali percaya bahwa setelah melalui upacara
penyucian, roh leluhur memasuki alam dewata. Secara fisik tidak
terlihat perbedaannya, tetapi hal tersebut dapat dibedakan dengan
pedagingannya.
2. Berdasarkan Pemuja Pura
a. Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu
keluarga atau mempunyai hubungan darah. Kelompok Pura ini
adalah Sanggah, sebutan untuk golongan jaba (diluar Tri Wangsa),
Pemerajan (sebutan untuk golongan Tri Wangsa), Dadia dan
Kawitan.
b. Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu
wilayah atau teritorial yang sama. Kelompok Pura ini pura
Kahyangan Tiga (Pura Desa dan Bale Agung, Pura Puseh, Pura
Dalem). Pura Kahyangan Tiga memiliki tiga macam Pura yang
masing-masing merupakan tempat pemujaan Trimurthi (perwujudan
Sang Hyang Widhi), yaitu;

29
a) Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam
semesta. Pura ini letaknya di pusat desa dan biasa disebut
sebagai Pura Desa.
b) Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam
semesta. Pura ini disebut Pura Puseh dan letaknya berdekatan
dengan Pura Desa atau satu tempat dengan Pura Desa.
c) Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Pura
ini disebut Pura Dalem, dan biasanya terletak di dekat kuburan
desa, di tepi, atau di luar desa.
c. Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai kepentingan
yang sama atau fungsional. Pura ini biasa disebut sebagai Pura
Pengulu. Pura ini diperuntukkan bagi umat Hindu yang memiliki
profesi yang sama, sebagai contoh petani, nelayan, dan lain-lain.
d. Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai ikatan
keagamaan secara umum untuk seluruh umat tidak ada batasannya.
Kelompok Pura ini adalah Pura Sad Kahyangan (Pura Besakih, Pura
Lempuyang, Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Bukit
Pengelengan, Pura Watukaru), Pura Kahyangan jagat (Pura Batur,
Pura Andakasa, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki, dan lain – lain
termasuk Pura Sad Kahyangan di atas) yang tersebar di seluruh Bali.
Biasanya Pura Sad Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan
upacara yang diperuntukkan untuk alam, seperti hutan, kebun,
ladang, gunung, laut, danau, dan lain-lain.

3. Pura Penunggu
Pura Penunggu, yaitu Pura yang sengaja dibangun di tempat-tempat
yang dianggap angker atau ada penunggunya, seperti goa,lokasi tempat
terjadi kecelakaan, dekat pohon besar yang dianggap angker, dan lain-
lain.

30
Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian,
yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah)
dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari
dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam)
dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung
Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi
makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian
(halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhurloka (bumi),
bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua)
halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah
(adhaa), yaitu akauadan pativi. (Maharlika, 2010)
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan
melambangkan "saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang
terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka
dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari
"ekabhuvana", yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas.
Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah
pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih
adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan
prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal
adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan
konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan
simbolis dari pada "Super natural power". (Maharlika, 2010)
Sebagian besar pura di Bali menggunakan struktur denah Pura Tri
Mandala, yaitu: (Maharlika, 2010)
1) Nista Mandala
Nista Mandala atau yang biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar
dari arsitektur Pura. Bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan
tidak sakral dari sebuah pura. Setiap orang dapat memasuki bagian ini.
Bangunan yang terdapat pada mandala ini diantaranya : Bale Kulkul,
sebagai tempat kentongan digantung, Bale Wantilan, yaitu balai tempat
pementasan kesenian yang diadakan di dalam pura, kemudian Bale

31
Pawaregan yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji
dibuat, dan Lumbung yaitu bangunan yang digunakan untuk menyimpan
beras.

2) Madya Mandala
Madya Mandala atau biasa disebut jaba tengah, adalah bagian tengah dari
arsitektur Pura. Bagian madya mandala adalah bagian dalam pura yang
sakral. Pada bagian ini umat Hindu sudah mulai terfokus untuk
menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Biasanya pada areal ini terdiri dari
bangunan Bale Agung (Balai Panjang), Bale Pagongan (Balai tempat
gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat
menyimpan barang-barang berharga Pura) biasanya di atas pintu masuk
bale panyimpenan terdapat karang Bhoma,yang berfungsi untuk menjaga
barang-barang yang berada dalam ruangan tersebut.

3) Utama Mandala
Utama Mandala atau jeroan adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral
dari sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat diharuskan benar-benar
fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan meningggalkan nafsu
keduniawiannya. Di bagian ini terdapat pelinggih-pelinggih seperti
padmasana untuk menstanakan Sang Hyang Widhi (sebagai Trimurthi
atau Tripurusa) atau pelinggih-pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur.
Selain bangunan pelinggih, juga terdapat bale Piasan, dan bangunan
Panglurah (bangunan yang menempatkan pangawal Sang Hyang Widhi).
Untuk memasuki jeroan, umat Hindu satu persatu masuk melalui pintu
pada Kori Agung yang dijaga oleh Karang Bhoma. Biasanya jika tidak
ada upacara keagamaan, umat Hindu memasuki jeroan lewat bebetelan.

32
BAB III
TINJAUAN OBJEK STUDI

3.1 Sejarah Desa Munduk


Desa Munduk berasal dari Banjar Munduk yaitu bagian dari Desa
Gobleg. Pada Tahun 1892 oleh Pemerintah Belanda melalui Punggawa
Distrik Banjar dijadikanlah Banjar Munduk menjadi Desa Munduk yang
merupakan pemerintahan desa yang dipegang oleh seorang perbekel. Perbekel
pertama saat itu bernama Mekel Ragi, namun baru setahun menjabat yang
bersangkutan sakit-sakitan, maka diganti oleh Mekel Ketut Djada.
Adapun nama-nama yang pernah dan sedang menjabat perbekel Desa
Munduk adalah sebagai berikut:
1. Perbekel pertama : Mekel Ragi
2. Perbekel Kedua : Ketut Djada/ Ketut Mekel
3. Perbekel Ketiga : Wayan Dana
4. Perbekel Keempat : Nyoman Canang
5. Perbekel Kelima : Putu Suwanda
6. Perbekel Keenam : Nyoman Soenoe
7. Perbekel Ketujuh : Putu Wijana
8. Perbekel Kedelapan : Gede Djapa
9. Perbekel Kesembilan : Ketut Dasna
10. Perbekel Kesepuluh : Nengah Wirota
11. Perbekel Kesebelas : Made Darmawan
12. Perbekel Kedua belas : I Putu Suparnaya
13. Perbekel Ketiga belas : Nengah Yuhena
14. Pj. Perbekel : I Made Yasna
15. Perbekel Keempat belas : I Nyoman Niryasa, SH (menjabat saat ini
periode tahun 2016-2021)
Adapun wilayah pemerintahan Desa Munduk saat itu terdiri dari Banjar
Munduk Dangin Rurung, Banjar Munduk Dauh Rurung, Banjar Gesing, dan
Banjar Umejero. Sedangkan palemahan yang ada saat itu adalah karang kitri
bukan ayahan tetapi merupakan tegak rumah/tanah perumahan milik
perorangan berpipil. Lahan perkebunan dominan tanaman kopi arabica dan

33
robusta, di samping kebun kopi di tiap banjar terdapat juga tanah sawah
antara lain Subak Munduk dengan luas areal yaitu 142 Ha, Subak Gesing
yaitu seluas 27 Ha, dan Subak Umejero yaitu seluas 36 Ha. Ketiga subak itu
dipimpin oleh seorang Kelian Subak Munduk dan merupakan kelian subak
pertama yang bernama I Nyoman Dangin.
Pada tahun 1901 Pemerintah Belanda mendirikan bangunan
pesanggrahan di Banjar Uma dan tanah lokasi yang dipergunakan adalah
tanah hak milik Pan Ruma. Dengan adanya pesanggrahan di Desa Munduk,
maka Pemerintah membangun jaringan perpipaan air minum dengan sumber
air mengambil dari Sungai Gelar tepatnya sekarang di Banjar Dinas Taman
sebelah utara Pura Subak Abian Desa Munduk sampai dengan pesanggrahan
yang sekarang menjadi lokasi SD. No. 1 Munduk dan Hotel Puri Sunny. Dari
ujung pipa ini kerama desa/warga Desa Munduk secara swadaya
menyambung jaringan perpipaan ke arah barat desa dengan membuat tiga
titik kran umum yaitu pertama di Banjar Mangkalan sekarang menjadi lokasi
Pura Padmasana Br. Dinas Beji, Kedua di muka pasar Desa Munduk sekarang
menjadi lokasi Pasar Desa Munduk Br. Dinas Taman dan yang ketiga di
Banjar Dauh Rurung tepatnya sekarang di sebelah barat Rumah Komang
Armada Br. Dinas Bulakan dan kesemua kran umum tersebut dilengkapi
Dengan kamar mandi umum.
Semenjak ada pesanggrahan, jalan raya di Desa Munduk mulai
diperkeras dengan batu pecah, kerikil serta batu split dan sejak saat itu sekitar
tahun 1925 warga di Desa Munduk sudah mulai ada yang memiliki kendaraan
dan kendaraan pertama adalah Kendaraan merk overland milik Jro Pande lalu
disusul kendaraan merk Ford T. Buick Dan Fiat.
Desa Munduk saat itu adalah merupakan sentra kopi arabica nomor satu
di Bali yang diekspor ke Negara Belanda dan Jerman melalui pelabuhan laut
di Desa Temukus dan anggkutan barang dari Desa Munduk menuju
pelabuhan menggunakan gedebeg/gerobak yang ditarik kerbau.
Sejak tahun 1905 pesanggrahan mulai beroperasi dan sejak saat itu
tempat tersebut sering menjadi tempat menginapnya tamu-tamu asing
(tourist) Yang melancong ke Bali dan dari Desa Munduk para tourist

34
tersebut melanjutkan perjalanan ke Pesanggrahan Bedugul dengan
menggunakan angkutan kuda tunggang. Pesanggrahan di Desa Munduk juga
berfungsi sebagai sanatorium bagi orang-orang kota kalangan atas yang
menderita penyakit TBC.
Di jaman pendudukan Jepang, pesanggrahan tersebut oleh pihak Jepang
dijadikan tempat tentara Jepang dan di tempat ini pula pernah tinggal seorang
mantri kesehatan jepang yang bernama Kitamura. Saat revolusi
mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, pesanggrahan
tersebut dijadikan tangsi militer (KNIL) oleh pihak Belanda, sedangkan para
pejuang dari Desa Munduk (sekarang disebut veteran) bergerilya di pinggiran
desa seperti di Banjar Penyabangan, Banjar Tanah Miah, Banjar Tengemel,
dan Banjar Bedolan sampai Dengan penyerahan kedaulatan Negara Republik
Indonesia oleh Belanda sekitar tahun 1950-an.
Pada masa pemerintahan perbekel Wayan Dana dengan wakil perbekel
yang bernama Wayan Gewar (ayahnya Pak Wayan Putru), beliau ini sangat
berpengaruh di desa dan secara berani menentang kerja rodi/paksa yang
diterapkan pihak Belanda dalam pembongkaran jalan dari Desa Munduk
menuju Bedugul. Dan punggawa saat itu dijabat/dipegang oleh Ida Punggawa
Gede Suwanda. Secara ringkas kami sampaikan proses dan runtutan
keperbekelan Desa Munduk adalah Seperti berikut:
a. Pada tahun 1892, I pertama adalah Mekel Ragi, baru setahun menjabat
karena kondisi kesehatannya terganggu, maka diganti oleh Ketut
Jada/Ketut Mekel setelah itu berikutnya Wayan Dana dan pada masa
Proklamasi Kemerdekaan RI perbekel dijabat Nyoman Canang dengan
wakil perbekel Nyoman Soenoe dan sekitar tahun 1953 ditunjuk Putu
Suwanda menjadi Plt. Perbekel dan seterusnya menjadi perbekel sampai
tahun 1962. Dan tahun 1962 warga desa memilih Nyoman Soenoe
menjadi perbekel dengan wakil perbekel Putu Wijana, Pada tahun 1965
Bapak Nyoman Soenoe karena ada kesibukan usaha maka ditunjuklah
wakil perbekel yaitu Putu Wijana menjadi Pjs. Perbekel dan pada tahun
1966 Putu Wijana dipilih warga desa menjadi perbekel atas restu dari
Ketua PNI saat itu.

35
b. Pada masa pemerintahan Putu Wijana ini banyak terobasan dan kemajuan
di bidang pemerintahan dan pembangunan diantaranya pembangunan SD
No. 3 dan SD Asah Munduk, serta pembongkaran/pembuatan jalan raya
dari Desa Munduk lewat Dusun Asah Munduk/Banjar Dinas Tamblingan
menuju pertigaan Asah Gobleg yang kini jalan tersebut merupakan jalan
tengah jurusan Singaraja-Denpasar lewat Desa Wanagiri. Juga dibangun
Gedung Ampera bertingkat dua di lokasi pasar desa sekarang, yang di
lantai bawah terdiri dari empat ruangan dan satu ruangan digunakan
untuk Kantor Perbekel Munduk sisanya lagi tiga ruangan disewakan
untuk lokasi pertokoan, sedangkan lantai atas digunakan untuk ruangan
pertemuan. Pada masa tersebut tahun 1967 atas gagasan perbekel Putu
Wijana dengan tokoh-tokoh masyarakat desa didirikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) swasta dengan nama SMP Ampera tapi
gedungnya masih meminjam gedung SD No. 3 Munduk (sekarang
Kantor Perbekel Munduk), namun karena keterbatasan fasilitas dan
tenaga guru maka pada tahun 1971 sekolah tersebut bubar.
Wantilan/arena Desa Munduk yang dahulu berlokasi di areal pasar desa
sekarang dipugar dan dipindahkan kesebelah utara Pura Dalem Desa
Munduk hingga sekarang.

c. Pada tahun 1967 Banjar Gesing dan Banjar Umejero melepaskan diri dari
Desa Munduk dan menjadi desa difinitif. Mulai sejak itu maka batas
wilayah Desa Munduk adalah:
a) Sebelah utara : Desa Gobleg
b) Sebelah timur : Hutan Pemerintahan
c) Sebelah selatan : Desa Gesing
d) Sebelah barat : Kayuputih

d. Pada tahun 1972 perbekel Putu Wijana diganti oleh Gede Djapa hingga
tahun 1977, dan pada masa itu Kantor Perbekel dipindahkan ke rumah
milik Wayan Guniarsa dan juga pernah dipindahkan ke SD No. 3
Munduk dengan meminjam sebuah ruangan sekolah tersebut. Dimasa

36
pemerintahan tersebut sektor pertanian, holtikultura, dan perkebunan
cukup berkembang khususnya pengembangan komuditi baru yaitu
tanaman cengkeh disamping juga pengembangan budidaya tanaman lain
varitas unggul.

e. Tahun 1978 Gede Djapa diganti oleh Ketut Dasna, pada masa ini
dibangun Wantilan/Arena Desa Munduk yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan dan dibuat ruangan untuk kantor perbekel dan ruang
penyimpanan Gong Desa. Pada masa ini pula Untuk menggambarkan
Desa Munduk adalah Desa Pertanian dan Perjuangan, maka dibangun
Monumen Petani di pinggir jalan Banjar Mangkalan dan Patung Pejuang
di sebelah Arena Desa Munduk dan di sebelah barat SD No. 1 Munduk.

f. Tahun 1983 Ketut Dasna diganti oleh Nengah Wirota dan kantor
perbekel dibangun di lokasi Polindes sekarang. Pada pemerintahan
perbekel Nengah Wirota dilaksanakan pembagian wilayah dusun yakni
menjadi 4 (empat) Dusun dintaranya Dusun Taman , Dusun Bulakan,
Dusun Beji, dan Dusun Tamblingan. Dibidang pembangunan fisik
dilaksanakan pembongkaran jalan raya dari pertigaan Mangkalan Br.
Dinas Bulakan menuju Br. Dinas Tamblingan lewat Banjar Limpah.
Keberhasilan lainnya juga adalah Pembentukan Badan Pengelola Air
Minum Pedesaan dan penertiban penggunaan air dengan menggunakan
water meter. Pula pada masa ini Desa Munduk mengikuti Festival Gong
Kebyar tingkat kabupaten dan meraih juara II (dua) dan Tahun 1985
juara III (tiga) dalam Lomba Desa tingkat Kabupaten Buleleng.

g. Pada Tahun 1993 Nengah Wirota diganti oleh Made Darmawan dan
berkantor di kantor perbekel lokasi Polindes sekarang, tahun 1996 kantor
perbekel pindah lagi ke Arena Desa Munduk. Pada masa pemerintahan
ini desa berhasil melaksanakan penggeladagan jalan desa jurusan ke
Banjar Dinas Tamblingan lewat Banjar Limpah serta pembangunan
lainnya secara umum. Di sektor kepariwisataan Desa Munduk menjadi

37
Desa tujuan wisata yang sampai saat ini menunjukan prospek cukup
bagus.

h. Pada tahun 2001 masa jabatan perbekel Made Darmawan habis dan
ditunjuk Sekretaris Desa (Ketut Wardana) menjadi Pjs. Perbekel selama
satu tahun, maka pada tahun 2002 dilaksanakan pemilihan perbekel dan
yang terpilih adalah I Putu Suparnaya (Pensiunan TNI-AD). Dimasa ini
kantor perbekel pindah lagi dari Arena ke lokasi bekas SD No. 4
Munduk hingga sekarang. Pembangunan sarana dan prasarana cukup
berhasil dilaksanakan diantaranya pembangunan Kantor Perbekel
Munduk dan lain-lain termasuk Program Peningkatan Kwalitas Kerja
Aparat Desa.

i. Tahun 2007 masa jabatan perbekel I Putu Suparnaya berakhir maka


dilaksanakan pemilihan perbekel dan yang terpilih adalah Nengah
Yuhena dengan masa tugas 2008-2013. Pada masa kepemimpinan
perbekel Nengah Yuhena banyak program pembangunan yang dapat
dilaksanakan diantarannya:
a) Pengaspalan jalan selau- tukad cangkup program PNPM Pariwisata
tahun 2009.
b) Semenisasi Jalan Petaluh program PNPM tahun 2010.
c) Pergantian pipa induk program PNPM tahun 2010.
d) Rehab total Arena Desa Munduk bantuan dari pemerintah pusat
tahun 2010.
e) Rehab Gedung TK Kumara Stana tahun 2011.
f) Semenisasi jalan Batugalih menuju penyabangan program PNPM
tahun 2012.
g) Pembangunan gapura pembatas desa dengan Desa kayuputih tahun
2012.
h) Tercapainya Juara II Desa Wisata tingkat nasional pada tahun 2012.
i) Semenisasi jalan keserasian social di penigehan Br. Dinas
Tamblingan tahun 2013.

38
j. Pada bulan januari 2014 berakhirlah masa jabatannya dan selanjutnya
diterbitkan SK Bupati tentang penjabat perbekel yang dibebankan
kepada I Made Yasna yang selama ini menjabat sebagai sekretaris desa,
masa periode PJ. Perbekel yaitu tahun 2014-2015. Selama
kepemimpinan Pj. Perbekel I Made Yasna ada beberapa program yang
dapat dilaksanakan:
a) Pemasangan pipa baru dan penambahan sumber air dari tutub
menuju kaptering gelar yang merupakan program PNPM tahun 2014.
b) Pembangunan tempat pembangkit listrik bio masa di Penigehan Br.
Dinas Beji yang merupakan bantuan dari pusat pada tahun 2014.
c) Rehab Pasar Desa bantuan dari dinas perdagangan kabupaten tahun
2015.
d) Penyenderan diatas dan dibawah tempat pengolahan sampah pada
tahun 2015 bantuan dana pusat.
e) Pelaksanaan program padat karya program Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Buleleng tahun 2015.
f) Semenisasi jalan limpah sepanjang 400m dan penyenderan
dipertigaan selau tahun 2015.
g) Rehab penyengker pura dalem pada bagian timurnya program ADD
tahun 2015.
h) Pemasangan tiang listrik dan pemasangan jaringan listrik di Petaluh
Br, Dinas Bulakan tahun 2015.
i) Pemasangan tiang listrik dan pemasangan jaringan dari Selau
menuju Penigehan tahun 2015.

k. Pada bulan Oktober 2015 diadakan pemilihan perbekel dan dipilihlah I


Nyoman Niryasa sebagai perbekel periode tahun 2016-2021.

39
3.2 Lokasi Desa Munduk
Desa Munduk adalah sebuah desa yang terletak di utara Pulau Bali,
tepatnya di Kabupaten Buleleng (Singaraja), ketinggian antara 800 – 900m di
atas permukaan laut. Dengan ketinggian tersebut, Desa Munduk memiliki
udara yang sangat dingin dan sangat cocok untuk daerah pertanian tanaman
pangan, terutama kopi dan cengkeh.

Gambar 3. 1 Lokasi Desa Munduk pada Peta Pulau Bali


Sumber: https://www.google.co.id/maps/

Gambar 3. 2 Lokasi Desa Munduk pada Peta Kabupaten Buleleng


Sumber: https://www.google.co.id/maps/

40
Gambar 3. 3 Peta Lokasi Desa Munduk
Sumber: https://www.google.co.id/maps/

41
Gambar 3. 4 Satelit Desa Munduk
Sumber: https://www.google.co.id/maps/

DESA WANAGIRI

DESA GOBLEG

DESA
PANCASARI

DESA GESING

Gambar 3. 5 Letak Desa di Sekitar Desa Munduk


Sumber: https://www.google.co.id/maps/

42
3.3 Data Statistik Desa Munduk
1. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin:
NO Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 508 jiwa
2 Perempuan 543 jiwa
Total 1051 jiwa
Sumber: Website Desa Munduk, 2015.

Berdasarkan ajaran agama yang dianut, Penduduk Desa Munduk


terdiri dari 90% yang beragama Hindu, 5% beragama Kristen, dan
sisanya beragama Islam.

2. Mata pencaharaian penduduk:


NO Mata Pencaharian Penduduk Jumlah
1 Petani 399 jiwa
2 Buruh tani 70 jiwa
3 PNS 32 jiwa
4 TNI - Jiwa
5 Polri 4 jiwa
6 Pensiunan PNS, TNI, dan Polri 10 jiwa
7 Pengusaha kecil dan menengah 54 jiwa
8 Karyawan swasta 46 jiwa
9 Tukang 20 jiwa
Sumber: Website Desa Munduk, 2015.

3. Potensi desa yang dikembangkan:


NO Potensi Desa Jumlah
1 Intensifikasi perkebunan 200.25 Ha
2 Intensifikasi pertanian 21.00 Ha
3 Peternakan 500 ekor
Sumber: Website Desa Munduk, 2015.

43
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pola Permukiman

Gambar 4. 1 Peta Lokasi Desa Munduk


Sumber: Googlemap.com

Desa munduk merupakan desa yang berlokasi didaerah dataran tinggi


yang memiliki ketinggian yang berbeda-beda. Perbedaan ketinggian tersebut
berdampak pada pola pemukiman desa tersebut. secara keseluruhan pola
pemukiman masyarakat desa munduk tersebar dan beberapa berpola linier
mengikuti jalur jalan yang melintasi desa tersebut.

Gambar 4. 2 Pola Permukiman Liner Banjar Gambar 4. 3 Pola Permukiman


Taman Tersebar Banjar Taman
Sumber: Googlemap.com Sumber: Googlemap.com

44
Berikut ini pengaruh unsur-unsur kebudayaan terhadap pola
permukiman Desa Munduk.
1. Sistem Religi
Pada desa Munduk ini, mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.
Sedangkan, untuk agama Kristen hanya berjumlah 5% dari keseluruhan
warga serta terdapat 2 sampai 3 orang yang beragama Islam. Jumlah
penduduk yang bermayoritas agama hindu berpengaruh pada pola
pemukiman masyarakatnya dimana desa munduk menerapkan konsep tri
madala dimana terdapat hulu, madya dan teben desa.
Hasil:
Agama merupakan suatau ajaran kebaikan yang di percayain oleh
sekelompok orang sebagai landasan dalam menjalani sebuah kehidupan.
Mayoritas masyarakat desa munduk beragama hindu dimana kepercayaan
ini juga mempengaruhi pola pemukiman masyarakat desa munduk.
Keterikatan masyarakat desa dengann tri kayangan yaitu Pura Desa, Pura
puseh, dan Pura dalem secara tidak langsung membentuk pola
pemukiman masyarakat munduk. Dimana pola yang di bentuk yaitu tri
mandala dimana pura puseh berlokasi pada hulu desa (utama mandala),
pura desa ditengah-tengah desa (madya mandala), dan pura dalem
berlokasi pada hilir desa (nista mandala). Tri mandala tersebut dikaitkan
dengan tri hita karana dimana pawongan yang menjadi area masyarakat
berdekatan dengan madya mandala. Sehingga pola pemukiman warga
masyarakat yang terbentuk oleh unsur kebudayaan ini terbentuk di area
pawongan atau area madya madala desa munduk.

2. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi


Di desa Munduk ini terdapat organisasi karang taruna, serta
kelompok muda-mudi di masing-masing banjar adat. Organisasi Karang
Taruna biasanya melakukan kegiatan gotong royong setiap hari Jumat
yang disebut Jumat Bersih. Terdapat 4 banjar dinas di Desa Munduk,
antara lain: Banjar Dinas Tamblingan, Taman, Bulakan, Beji.

45
Hasil:
Sitstem kemasyarakatan dan oganisasi social sangat banyak
terdapat di desa munduk dimana salahsatunya yang menjadi organisasi
social yang pokok yaitu banjar. Terdapat 4 banjar yang tersebar di desa
munduk yaitu Banjar Dinas Tamblingan, Taman, Bulakan, Beji. Diaman
banjar ini akan membentuk suatu pola pemukiman yang akan di
sesuaikan dengan wiayah banjar tersebut. Dimana mayoritas masyrakat
yang tergabung dalam suatu banjar akan medirikan rumahnya pada
wilayah banjar tersebut sehingga membentuk suatu pola permukiman
berdasarkan banjar.

Gambar 4. 4 Pola Pemukiman Linier Br. Taman


Sumber: Googlemap.com

3. Sistem Pengetahuan
Terdapat 1 Taman Kanak-kanak, 6 Sekolah Dasar. Sedangkan,
SMP terdapat di desa Kayuputih, dan SMA terdapat di desa Banyuatis
serta SMK di desa Pancasari. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya
menjanga keselarasan alam di desa munduk sangat tinggi dan kesadaran
tersebut di turunkan dari generasi ke generasi.

46
Hasil:
Tingkat pengetahuan sekelompok masyarakat berpengaruh pada
tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Dimana semakin tinggi tingkat
pengetahuan sekelompok masyrakat merupakan suatu cerminan
tingginya peradaban masyarakat tersebut. Masyarakat desa munduk
merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Salah
satu contoh tingginya pengetahuan masyarakat desa munduk akan
pentingnya menjaga keseimbangan alam desa munduk dilakuakan dalam
bentuk menjaga keberadaan hutan di sekitar danau tamblingan guna
menjaga kesakralan danau dan sebagai area resapan air sehingga tidak
menimbulkan banjir pada saat musim penghujan. Ada kepercayaan yang
berkembang pada masyarakat desa munduk dimana jika huta di sekeliling
danu tamblingan tetap dijaga maka danau tamblingan tidak akan pernah
kering dimana masyarakat desa juga meyakini arir yang mengalir di desa
munduk berasal dari danau tamblingan. System pengetahuan ini
berpengaruh pada pola pemukiman masyarakat desa munduk. Dimana
guna menjaga keasrian hutan dan kesakralan danu tamblingan
masyarakat desa munduk membuat suatu awig-awig atau atauran yang
melarang masyarakat membanguan rumah dua ratus meter dari tepi
danau. Hal ini di lakuakan untuk menjaga keseimbangan alam dan
kesakralan danau tamblingan itu sendiri.

Gambar 4. 5 Hutan Di Sekeliling Desa Tamblingan


Sumber: Dokumentasi pribadi

47
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup
80% warga desa Munduk bermata pencaharian sebagai petani (60%
petani cengkeh, 40% petani sawah, kopi, dan bunga kembang seribu),
20% sebagai pedagang dan bidang pariwisata. Selain petani dan
pariwisata, terdapat 30 orang yang bekerja sebagai bendega di danau
Tamblingan.
Hasil:
Mata pencaharian merupakan suatau profesi yang dilakoni
seseorang guna memberi penghidupan bagi dirinya dan orang lain.
Terdapat beberapa mata pencaharian yang terdapat di desa munduk
diantaranya nelayan, petani, pedagang, dan lain-lain. Mata pencaharian
yang dilakoni masyarakat desa munduk akan berpengaruh pada pola
pemukimannya, diman mata pencaharian tersebut akan berhubungan
dengan tempat mereka bekerja, seperti contoh pola pemukiman yang
terbentuk akibat dari masyarakat yang berprofesi sebagai seorang
bendega. Danau tamblingann yang merupakan sumber penghidupan di
kelilingi oleh hunian bendega/ nelayan danu yang sehari-hari mencari
penghidupan di danau tamblingan. Untuk pola yang dibentuk yaitu
memiliki satu bukaan ke dalam rumah yang dihuni oleh beberapa
bendega yang memiliki hubungan darah.

Gambar 4. 6 Pemukiman Banjar Tamblingan Dipengaruhi oleh Mata


Pencaharianya
Sumber: Dokumentasi pribadi

48
Gambar 4. 7 Pemukiman Banjar Tamblingan Dipengaruhi oleh Mata
Pencaharianya
Sumber: Dokumentasi pribadi

5. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi


Di bidang pertanian, 70% masih menggunakan tenaga sapi untuk
menggarap sawah yang dijadikan sebagai hal yang dapat menarik minat
wisatawan dan merupakan ciri khas dari desa ini. Sedangkan, 30%
sisanya sudah menggunakan mesin seperti tractor dll. Masyarakat di desa
ini sudah mulai mengikuti perkembangan jaman, namun tidak
meninggalkan ciri khas daerah dan system tradisional.
Untuk persediaan listrik, masih terdapat beberapa area yang belum
mendapatkan aliran listrik. Namun dalam satu bulan terakhir, sudah
mulai masuk ke area-area pedalaman dan masih dalam proses untuk
penerangannya. Sebelumnya, untuk persediaan listrik digunakan 7 buah
kincir angin yang dibuat sendiri oleh masyarakat sekitar dan dapat
menyalurkan listrik ke 50 KK. Masyarakat sekitar memutuskan untuk
tidak mengembangkan kembali kincir angin tersebut karena daya yang

49
dihasilkan sangat kecil dan dianggap kurang cukup untuk persediaan
listrik di desa Munduk.
Hasil:
Seiring berkembangnya jaman dan derasnya larus globalisasi
berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam menjalani kehidupanya
sehari hari. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat desa munduk,
dimana teknologi dan peralaan hidup sudah sangat berkembang di desa
ini diman peralatan dan teknologi tersebut secara tidak langsung
berpengaruh pada pola masyarakat desa muduk. Akibat pesatnya
perkembangan teknologi dan perlatan hidup sebagai salah satu contoh
masyarakat desa munduk sudah mengunakan kendaraan bermotor
sebagai alat untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-
hari. keberadaan jalan jalan sebagi media penghubung menjadi hal yang
pertama mengalami dampak perkembangan ini dimana jalan di desa
munduk sudah dilapisi dengan aspal guna menunjang peralatan hidup
yang berkembang tersebut. Keberadaan jalan ini juga menjadi salah satu
factor pengaruh pola pemukiman di desa munduk diman masyarakat
mulai menyadari bahwa jalan dapat menjadi suatu sumber penghidupan
sehinga beberapa rumah di desa munduk di bangun tidak jauh dari jalan
utama.

50
4.2 Rumah
4.2.1 Rumah Nelayan
4.2.2 Rumah Petani Bunga

4.3 Pura
4.3.1 Pura Kahyangan Tiga
4.3.2 Pura Luhur Pande
4.3.3 Pura Ulun Danu Tamblingan
4.3.4 Pura Rambut Sedana
4.3.5 Pura Gubug

51
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Desa Munduk merupkan desa yang terkenal akan alamnya yang masih
natural dan alami. Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang mempengaruhi
Desa Munduk diantaranya yaitu berdasarkan sistem bahasa menurut Keesing,
kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan
pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan
mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa.
Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa
kebudayaan manusia.
Menurut sistem pengetahuan masyarakat pedesaan yang hidup dari
bertani akan memiliki sistem kalender pertanian tradisional yang disebut
sistem pranatamangsa yang sejak dahulu telah digunakan oleh nenek moyang
untuk menjalankan aktivitas pertaniannya. Dalam sistem organisasi unsur
budaya berupa sistem kekerabatan yang merupakan usaha antropologi untuk
memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai
kelompok sosial. Sistem peralatan hidup menurut Koentjaraningrat, pada
masyarakat tradisional terdapat delapan macam sistem peralatan dan unsur
kebudayaan fisik yang digunakan oleh kelompok manusia yang hidup
berpindah-pindah atau masyarakat pertanian.
Mata pencaharian merupakan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidup (ekonomi) dengan cara bekerja. Sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
berupa sistem religi dan sistem kesenian. Di Desa munduk ini yang meliputi
sistem religi jika dilihat dari segi arsitektur terdapat beberapa pura-pura yang
masih tradisional dan asri. Sedangkan dari nilai kesenian dapat dilihat adanya
ornament, ukiran serta pepatran yang masih menghiasi bangunan pura-pura
tertentu di Desa Munduk. Jadi jika dikaitkan dengan ketuju unsur kebudayaan
tersebut bangunan-bangunan arsitektur di Desa Munduk memiliki keterkaitan
yang erat dengan ketujuh unsur tersebut. Dintanya perbedaan anatara rumah
warga berdasarkan profesi serta mata pencahariannya.

52
5.2 Saran
Kepada Pemerintah hendaknya ikut berpartisipasi untuk memajukan
Desa Munduk sebagai kawasan pariwisata namun pembangunan tetap diikuti
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Hendaknya juga pemerintah
membuat peraturan baru terkait pembangunan di Desa munduk sehingga
dapat dikontrol agar tidak merusak alam sekitar. Pembangunan Desa Munduk
sekarang ini masih minim namun dengan berkembangnya kawasan ini
sebagai pariwisata tidak menutup kemungkinan untuk berkembangnya
pembangunan di tempat ini.
Kepada masyarakat sebaiknya ikut menjaga dan elestarikan keberadaan
Desa Munduk dengan ikut serta menjaga lingkungan di Dsa Munduk serta
membuang sampah pada tempatnya. Selain itu potensi-potensi yang terdapat
di desa munduk hendaknya dikembangkan agar tidak terpaku dengan adanya
PLN dan Internet. Sehingga penduduk dapat lebih maju dan berkembang
dengan hasilnya sendiri. Selain menghemat energy listrik hal tersebut juga
membuat masyarakat berhemat dari segi ekonomi.
Kepada mahasiswa diharapkan natinya juga dapat menjaga lingkungan
dan alam di Desa Munduk bukan malah merusaknya dengan pembuangan
sampah maupun penangkapan hewan liar yang dilindungi. Selain itu untuk
pembangunan hendaknya mahasiswa dapat membuat bangunan nantinya yang
dapat menyatu dengan alam seperti sustainable arsitektur yang marak
berkembang seperti sekarang ini.

53
DAFTAR PUSTAKA

Agusrahayu. 2016. Kajian Teori Prumahan dan Permukiman.


http://rumahwaskita.com/artikel/kajian-teori-perumahan-dan-permukiman/.
16 Oktober 2017 (19: 33 WITA).
Armada, Komang. 2017. Tarian Mematikan Pancak Silat Desa Munduk.
http://munduk.co/tarian-mematikan-pencak-silat-desa-munduk/. 13
November 2017 (21:47 WITA).
Arya. 2017. 7 Unsur Kebudayaan Universal Beserta Pengertian dan Contohnya.
http://sahabatnesia.com/unsur-kebudayaan-
universal/#2_Sistem_Pengetahuan. 13 November 2017 (22:30 WITA).
Budhardjo, E. 2009. Percikan Pemikiran Para “Begawan” Arsitek Indonesia
Menghadapi Tantangan Globalisasi. PT Alumni: Bandung.
Budihardjo, E. 1991. Jati Diri Arsitektur Indonesia. PT Alumni: Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kesenian.
http://belajartuntas.tripod.com/SMA.pdf. 13 November 2017 (19:47 WITA).
Dwijendra, N. K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah tradisional Bali. Denpasar:
Udayana University Press.
Dwijendra, N. K.Acwin dan N. G. R. A. Keramas. 2016. Keunikan Desa Trunyan.
Denpasar: Sekolah Tinggi Desain Bali.
Fawaz. 2017. Made Trip: Maestro Karawitan Bali. http://munduk.co/made-terip-
maestro-karawitan-bali/. 13 November 2017 (20:49 WITA).
Kamsori, M. 2008. Study Masyarakat Pedesaan di Indonesia. FPIPS UPI:
Bandung.
Keesing, R. M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Penerbit Erlangga: Jakarta.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Djambatan:
Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Mahardika, Rika. 2017. Made Terip Seniman Karawitan Asal Munduk yang
Diakui Dunia. http://www.koranbuleleng.com/2017/11/06/made-terip-
seniman-karawitan-asal-munduk-yang-diakui-dunia/. 13 November 2017
(20:49 WITA).

54
Maharlika, F. 2010. Tinjauan Bangunan Pura di Indonesia. Jurnal Waca Cipta
Ruang, 2(2).
Pangarsa, G. W. 2006. Merah Putih Arsitektur Nusantarai. Andi Offset:
Yogyakarta.
Pujianto, E. 2015. Sistem Kemasyarakatan Orang Bali.
https://dokumen.tips/documents/sistem-kemasyarakatan-orang-bali.html. 12
November 2017 (07:04 WITA).
Ronald, A. 2015. Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Rumawan Salain, Putu. 2013. Arsitektur Posmo pada Masjid Al Hikmah dalam
Serapan Arsitek Tradisional Bali. Udayana University Press: Denpasar.
Sadana, A. S. 2014. Perencanaan Kawasan Permukiman. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Said, A. A. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja. Ombak:
Yogyakarta.
Sam, H. 2016. Definisi Kebudayaan Beserta Unsurnya Menurut Para Ahli.
http://www.dosenpendidikan.com/definisi-kebudayaan-beserta-unsurnya-
menurut-para-ahli/. 13 November 2017 (22:23 WITA).
Sastra M., S. dan E. Marlina. 2006. Perencanaan dan Pengembangan
Perumahan. C.V Andi Offset: Yogyakarta.
Siany L. dan Atiek Catur B. 2009. Khazanah Antropologi Jilid 1 untuk Kelas XI
SMA dan MA. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Sistem Informasi Desa dan Kawasan. 2015. Desa Munduk, Kecamatan Banjar,
Kabupaten Buleleng. http://munduk-buleleng.desa.id/web/c_home. 14
November 2017 (24:05 WITA).
Snyder, J. C. dan A. J. Catanese. 2005. Pengantar Arsitektur. Erlangga: Jakarta.
Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta.
Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya untuk Kelas
XI Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Bahasa. PT. Setia
Purna Inves: Bandung.

55
Syifa. 2017. 10 Unsur-Unsur Kebudayaan Beserta Contohnya.
http://materiips.com/unsur-unsur-budaya. 13 November 2017 (22:20
WITA).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Perumahan dan
Kawasan Permukiman. 12 Januari 2011. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 7. Jakarta.
Zulkifli, A. 2015. Pengelolaan Kota Berkelanjutan. Graha Ilmu: Yogyakarta.

56

Anda mungkin juga menyukai